Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN PEMAHAMAN SOP PENDAKIAN TERHADAP

APLIKASINYA OLEH PENDAKI DI GUNUNG SEPUTAR JAWA TENGAH

Oleh :

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki keberagaman hayati yang
tinggi dengan bentang alam yang luas. Indonesia dengan keberagaman
hayati dan bentukan alam (kepulauan, gunung, perbukitan, pantai, dan
sebagainya),

merupakan

potensi

yang

tidak

ternilai

di

dalam

kepariwisataan alam. Hal ini yang membuat bertambahnya destinasi


wisata alam di Indonesia. The International Ecotourism Society (TIES)
(2000) menjelaskan tentang wisata alam merupakan usaha pemanfaatan
sumber daya alam dan tata lingkungannya yang telah ditetapkan sebagai
obyek dan daya tarik wisata untuk dijadikan sasaran wisata.
Wisata alam saat ini menjadi destinasi wisata yang sangat digemari
oleh masyarakat umum dari berbagai usia. Wisata alam bebas yang
umum dilakukan meliputi arung jeram, outbound, jelajah goa, mendaki
gunung, surfing, dan lainnya. Berbagai kegiatan wisata alam bebas yang
diminati oleh masyarakat salah satunya adalah mendaki gunung.
Maraknya acara televisi yang menayangkan kenampakan alam di gununggunung Indonesia menambah antusias masyarakat untuk mendaki
gunung.
Fenomena ini mengakibatkan aktivitas mendaki gunung menjadi
suatu kegiatan yang umum dilakukan, artinya tidak lagi hanya dilakukan
oleh orang yang tergabung dalam organisasi kepencintaalaman dan
semacamnya melainkan telah dilakukan oleh orang-orang dari kalangan
umum. Pendaki yang tidak berasal dari organisasi kepencintaalaman
sering menyebut dirinya sebagai pendaki freelance. Tujuan organisasi
kepencintaalaman melakukan pendakian ialah untuk mengetahui ilmu
tentang gunung mulai dari topografi, vegetasi, hewan, dan semua yang
ada di gunung tersebut, sedangkan bagi sebagian besar pendaki
freelance tujuan mendaki hanya untuk berwisata.
Meningkatnya antusias masyarakat untuk

mendaki

gunung

dibuktikan dengan meningkatnya jumlah pengunjung di Taman Nasional

Gunung Rinjani, tahun 2006 sebanyak 9.339 orang pendaki terdiri dari
wisatawan mancanegara (Wisman) sebanyak 3.386 orang dan wisatawan
nusantara (Wisnu) sebanyak 5.953 orang, tahun 2007 sebanyak 9.517
orang terdiri dari Wisman sebanyak 4.452 orang dan Wisnu sebanyak
5.065 orang, tahun 2008 sebanyak 11.391 orang terdiri dari Wisman
sebanyak 6.506 orang dan Wisnu sebanyak 4.885 orang, dan tahun 2009
sebanyak 12.756 orang terdiri dari Wisman sebanyak 9.172 orang dan
Wisnu sebanyak 3.584 orang, atau jika dirata-ratakan ada peningkatan
sebesar 11,19 % per tahun (Anonim, 2010).
Jumlah pendaki yang semakin tinggi memberi dampak positif bagi
masyarakat di sekitar gunung. Meningkatnya jumlah pendaki diikuti
dengan meningkatnya kecelakaan gunung. Kecelakaan gunung lebih
sering terjadi di gunung yang memiliki medan yang sulit seperti pada
beberapa gunung di Jawa Tengah, seperti Gunung Sumbing, Gunung
Sindoro, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Gunung Slamet. Angka
kecelakaan di Gunung Merapi tahun 2013 tergolong tinggi. Tercatat sejak
bulan Mei hingga November, sebanyak lima pendaki tersesat dan
terpaksa dievakuasi oleh Tim Search and Rescue (SAR) dan relawan.
Kepala Resor Selo Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM), Ruky
Umaya mengatakan, ada lima orang pendaki yang mengalami kecelakaan
dan tersesat. Dua orang mengalami hypotermia yang merupakan pendaki
perempuan remaja, dan merupakan pendaki pemula. Penyebabnya
adalah perbekalan terbatas dan mengalami dehidrasi dan kelelahan
(Nanin, 2013).
Latar belakang pendaki yang berbeda, akan menyebabkan
perbedaan pengetahuan tentang pendakian gunung. Mendaki gunung dan
penjelajahan hutan tropis merupakan kegiatan yang penuh resiko. Satriadi
(2010) menjelaskan bahwa, pengetahuan yang memadai, pengalaman
yang cukup serta peralatan yang sesuai sangat diperlukan untuk
melakukan suatu pendakian. Penguasaan medan juga merupakan faktor
penting dalam melakukan kegiatan ini. Hal tersebut terkadang tidak

diperhatikan oleh para pendaki sehingga kemungkinan terjadinya


kecelakaan gunung akan meningkat.
Standar operasional prosedur (SOP) memiliki pengertian yang
berbeda-beda. United States Environmental Protection Agency (2007)
menyatakan, SOP pada hakekatnya merupakan suatu cara untuk
menghidari miskomunikasi, konflik, dan permasalahan pada pelaksanaan
tugas atau pekerjaan. Pengertian lain dijelaskan oleh Insani (2010), SOP
adalah dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan
mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi perkantoran
yang berisi cara melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat
penyelenggaraan, dan aktor yang berperan dalam kegiatan.
Pendakian gunung memiliki SOP tersendiri yang memuat tentang
petunjuk teknis pendakian yang aman dan nyaman. Standar opersional
prosedur

pendakian

menjelaskan

mulai

dari

menyusun

rencana

perjalanan, persiapan fisik, perlengkapan selama perjalanan hingga


pengetahuan dasar yang perlu diketahui. Pengetahuan akan standar
operasional prosedur (SOP) pendakian perlu dipahami oleh para pendaki
sebelum melakukan kegiatan pendakian. Hal ini akan sangat membantu
pendaki dalam melakukan kegiatan dan membuat pendakian menjadi
lebih mudah. Pemahaman terhadap SOP pendakian oleh para pendaki
juga dapat mengurangi angka kecelakaan pendakian.
Pemahaman tentang SOP pendakian oleh seorang pendaki dapat
diketahui

dari

sikap

pendaki

tersebut.

Poerwadarminta

(2003)

menjelaskan, pengertian sikap adalah perbuatan yang didasari oleh


keyakinan berdasarkan norma-norma yang ada di masyarakat dan
biasanya norma agama. Ellis (2007) menambahkan, bahwa sikap
melibatkan beberapa pengetahuan tentang sesuatu namun aspek yang
esensial

dalam

kecenderungan

sikap
terhadap

adalah

adanya

perbuatan

yang

perasaan

atau

berhubungan

emosi,
dengan

pengetahuan. Seorang pendaki yang paham dengan SOP pendakian akan


bersikap mengikuti aturan atau petunjuk dari SOP pendakian dan
masyarakat di sekitar gunung agar dirinya terhindar dari kecelakaan

gunung. Namun demikian perbuatan yang akan dilakukan manusia


biasanya

tergantung

apa

permasalahannya

serta

benar-benar

berdasarkan keyakinan atau kepercayaannya masing-masing. Pendaki


terkadang

tidak

mengetahuinya.

mengaplikasikan
Hal

tersebut

SOP

pendakian

menandakan

walaupun

kesadaran

dia
untuk

mengaplikasikan SOP pendakian pada para pendaki masih kurang.


Angka kecelakaan gunung yang tinggi dimungkinkan sebagai
penanda rendahnya tingkat pemahaman dan kesadaran terhadap SOP
pendakian. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui
tingkat pemahaman serta kesadaran penerapan SOP pendakian oleh
pendaki terutama gunung di sekitar Jawa Tengah. Hal ini diharapkan
dapat menjadi langkah antisipasi terhadap kecelakaan gunung yang
semakin tinggi.
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :


Pengetahuan pendaki gunung tentang SOP pendakian,
Kesadaran pendaki gunung dalam mengaplikasikan SOP pendakian,
Hubungan pemahaman SOP pendakian terhadap aplikasinya oleh
pendaki di gunung seputar Jawa Tengah.
Manfaat Penelitian

1.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai :


Bahan dasar menentukan kebijakan pengelolaan

2.

khususnya di gunung,
Referensi penelitiannya selanjutnya.

wisata

alam

Tinjauan Pustaka
Pendaki
Kegiatan olahraga di alam bebas merupakan suatu kegiatan yang
memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Kegiatan mendaki gunung
adalah salah satu kegiatan olahraga alam bebas yang banyak digemari
pada saat ini. Para pelaku kegiatan ini umumnya disebut pendaki atau
mountaineer.
Pendaki berasal dari kata daki yang berarti orang yang mendaki.
Jadi, pendaki gunung adalah orang yang berolahraga dengan mendaki
gunung (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Pendakian gunung
nampaknya menjadi suatu kegiatan yang umum dilakukan, artinya tidak
lagi hanya dilakukan oleh orang tertentu saja. Kegiatan ini terus dilakukan
oleh para pendaki karena merupakan kegiatan yang menantang. Setiap
orang akan mempunyai perasaan puas tersendiri bila sampai di puncak
gunung

dan

melihat

keindahan

sekitar

(Rahayu,

2012).

Dalam

pelaksanaannya, kegiatan mendaki gunung memerlukan persiapan yang


sangat cukup, dari segi kesiapan mental dan fisik, perbekalan, peralatan
dan pengetahuan mengenai dari medan gunung itu sendiri, serta informasi
yang cukup memadai, dengan alasan kondisi alam tidak bisa kita prediksi
dengan mudah (Ardianto, dkk., 2015).
Pendakian
Fenomena mendaki gunung sudah aja sejak dahulu. Dibuktikan
dengan adanya sejarah seperti candi, arca dan makam kuno yang
ditemukan di daerah pegunungan di Indonesia. Bahkan pada masa
penjajahan Belanda, seorang pecinta alam, seorang penjelajah dan
ilmuan terkenal, Frans Junghun yang berkebangsaan Prusia-Jerman sejak
tahun 1830 telah mendaki seluruh gunung yang ada di pulau Jawa.
Kemudian jejaknya diikuti oleh petualang-petualang Eropa (Belanda)
lainnya seperti Wormser dan juga Stehn pendaki berkebangsaan Eropa
yang menulis bukunpanduan mendaki 30 gunung di Jawa pada tahun

1928. Kemudian kegiatan mendaki gunung di Indonesia sendiri terus


berkembang sampai sekarang (Harley, 2007).
Kegiatan mendaki gunung merupakan suatu kegiatan yang sering
dilakukan oleh para pecinta alam baik itu dalam lingkup organisasi bebas
maupun universitas. Mendaki gunung membutuhkan banyak persiapan
yang melibatkan persiapan fisik, logistic, pengaturan rencana perjalanan
dan manajemen emosi. Hal ini menjadi sangat penting karena ketika
mendaki gunung harus membawa perlengkapan ekstra safety agar
selama pendakian tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Sadewa,
2012).
Mendaki

gunung

memerlukan

kepekaan,

kemandirian

dan

kecekatan terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu butuh persiapan


dan perencanaan kegiatan di alam bebas dan harus disesuaikan dengan
tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Sucipto dalam Sadewa (2012)
menyatakan bahwa dengan persiapan dan perencanaan yang matang
akan mengurangi resiko buruk yang mungkin timbul selama kegiatan,
antara lain iklim atau cuaca ekstrim, medan yang sulit dilewati atau
sumber air yang kurang. Kondisi-kondisi tersebut harus diantisipasi sedini
mungkin dengan persiapan fisik, mental, ketrampilan (skill), dan data
informasi lokasi yang akan kita kunjungi. Hal yang paling penting untuk
diperhatikan adalah pengetahuan mengenai diri sendiri terutama daya fisik
dan mental.
Mendaki gunung adalah suatu olahraga keras penuh petualangan
dan kegiatan ini membutuhkan ketrampilan, kecerdasan, kekuatan, dan
daya juang tinggi. Bahaya dan tantangan seakan hendak mengungguli
merupakan daya tarik kegiatan ini (Ramdhan dalam Yuliana, 2013).
Bahaya mendaki gunung dapat dibagi menjadi dua, yaitu bahaya subjektif
dan bahaya objektif, bahaya subjektif adalah bahaya yang disebabkan
oleh manusia yaitu pendaki itu sendiri dan bahaya objektif adalah baya
yang disebabkan oleh alam (Wijaya, 2011).
Standar operasional prosedur

Standar operasional prosedur (SOP) memiliki pengertian yang


berbeda-beda. United States Environmental Protection Agency (2007)
menyatakan, SOP pada hakekatnya merupakan suatu cara untuk
menghidari miskomunikasi, konflik, dan permasalahan pada pelaksanaan
tugas atau pekerjaan. Pengertian lain dijelaskan oleh Insani (2010), SOP
adalah dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan
mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi perkantoran
yang berisi cara melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat
penyelenggaraan, dan aktor yang berperan dalam kegiatan.
Perjalanan di alam bebas dapat berjalan sesuai dengan rencana,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Hal pertama adalah menyusun
rencana. Langkah pertama dalam menyusun rencana adalah menentukan
gunung mana yang akan di daki, kemudian mencari referensi tentang
kondisi gunung tersebut meliputi peta, transportasi, kondisi geografis, dan
adat istiadat daerah tersebut. Setelah menentukan tujuan, segera
menentukan waktu yang tepat agar semua peserta dapat mengikuti
kegiatan pendakian. Kemudian untuk menyusun keuangan, beberapa hal
harus diperhitungkan, antara lain alokasi dana atau perjalanan harus tepat
dan masuk akal, buatlah anggaran yang terperinci untuk setiap bidang.
Pengeluaran dan pemasukan uang hanya berhak dilakukan oleh satu
orang, misalnya bendahara atau pemimpin perjalanan. Setiap daerah
yang akan dijadikan tempat pendakian mempunyai peraturan perijinan
yang berbeda tergantung juga pada sifat kegiatan yang akan dilakukan,
untuk penelitian atau petualangan. Selalu siapkan kelengkapan suratsurat yang dibutuhkan dan tempatkan dalam tas tersendiri agar mudah
diambil saat diperlukan, surat-surat tersebut misalkan KTP, kartu
mahasiswa, kartu pelajar, surat jalan kepolisian setempat, atau surat ijin
dari pos pendakian. (Kurniawan, 2004)
Hal kedua setelah menyusun rencana adalah persiapan fisik para
peserta pendakian. Pesiapan fisik dapat ditunjang dengan latihan setiap
hari yang dilakukan oleh semua peserta pendakian. Latihan fisik tersebut

meliputi, melatih kekuatan otot lengan, pergelangan lengan, kekuatan


leher, melatih otot perut dan paha, peregangan otot betis dan paha,
melatih kekuatan perut, melatih kekuatan lengan dan dada, jogging/lari,
melatih kekuatan bahu, dan dengan latihan angkat beban. (Kurniawan,
2004)
Hal ketiga yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pendakian
adalah perlengkapan perjalanan. Memilih perlengkapan dan perbekalan
perjalanan yang sesuai dan selengkap mungkin, tetapi bebannya tidak
melebihi sepertiga berat badan (sekitar 15 sampai 20 kg). Perlengkapan
perjalanan meliputi alat-alat pendakian, alat-alat masak, dan makanan.
Alat-alat pendakian yang harus dibawa adalah tas ransel/carrier, tenda,
alat penerangan, baju lapangan, celana lapangan, topi lapangan, sarung
tangan, kacamata hitam, baju dan celana ganti, pakaian dalam.
Perlengkapan masak yang dibawa diusahakan yang sederhana dan
ringan, namun berfungsi ganda sehingga mudah dalam pengepakan dan
penggunaannya. Alat-alat masak meliputi kompor, nesting (panci), tempat
air (jerigen air 3 sampai 5 liter), garpu, sendok, pemantik api, serta kompor
dan bahan bakarnya. Perbekalan yang perlu dibawa seorang pendaki
gunung setidaknya cukup mengandung kalori, mempunyai komposisi gizi
(karbohidrat, lemak, protein), serta tidak asing di lidah. Seorang pendaki
membutuhkan sekitar 5000 kalori dan 70 gram protein setiap harinya.
Keseimbangan air dalam tubuh perlu diperhatikan antara yang keluar dan
masuk untuk menghindari dehidrasi. Perlengkapan lain yang perlu dibawa
oleh seorang pendaki adalah perlengkapan tidur (sleeping bag, matras,
dll) dan perlengkapan anti hujan (ponco) (Kurniawan, 2004).
Hal terakhir yang perlu diperhatikan oleh seorang pendaki adalah
mengenai keilmuan dan keterampilan, antara lain navigasi darat, survival
(teknik bertahan hidup), dan pertolongan pertama padaa kecelakaan
(P3K). Navigasi darat adalah suatu cara untuk menentukan posisi dan
arah perjalanan, baik di daerah sebenarnya maupun di peta. Untuk itu,
pengetahuan mengenai medan, peta, kompas perlu dipelajari dan

dipahami. Alat pendukung dalam navigasi darat antara lain kompas, peta,
protaktor, alat tulis, dan GPS. Survival adalah keahlian untuk bertahan
hidup dalam situasi yang mendesak. Dalam pendakian, perlu diperhatikan
untuk melihat alam sekitar untuk dijadikan tanda yang mudah diingat,
seperti tumpukan batu, pohon tinggi, pohon tumbang, dan aliran sungai.
Tanda-tanda tersebut dapat dijadikan sebagai pemandu ke jalur semula
bila kebetulan tersesat. Jika pada satu waktu, kita mengalami hal yang
tidak diinginkan seperti tersesat, sebaiknya membuat diri dalam keadaan
tenang dan nyaman, kemudian melakukan rumus STOP. S: Stop/Seating,
berhenti dan beristirahat dengan santai dan berusaha untuk tidak panik. T:
Think, berpikir secara jernih dalam sesuatu yang sedang dihadapi. O:
Observation, lakukan pengamatan medan sekitar, kemudian tentukan arah
dan tanda-tanda alam yang dapat dimanfaatkan atau yang harus dihindari.
P: Planning, menyiapkan rencana dan pikirkan konsekuensinya. Peralatan
survival biasa dinamakan survival kit, yang merupakan kebutuhan yang
harus dimiliki setiap pendaki, sebagai antisipasi apabila terjadi suatu
masalah dalam pendakian. Survival kit meliputi, perlengkapan jahit, peniti,
peralatan mancing, alat penerangan, peluit, pisau multiguna, cermin, kaca
pembesar, korek api, dan lilin. Seorang pendaki alangkah baiknya
memahami ilmu survival lain seperti pembuatan api, mendapatkan air dan
pembuatan trap (jebakan), serta mengetahui tumbuhan dan buah survival
yang layak dan untuk dikonsumsi. Untuk mngantisipasi apabila terjadi
kecelakaan, diperlukan perlengkapan P3K untuk memberikan pertolongan
awal. Berikut merupakan perlangkapan standar, antara lain obat-obatan
standar (sakit kepala, flu, diare, alergi, penghilang rasa sakit, dan salep
pegal-pegal), perban pembalut/mitela, sun block, antiseptik, alkohol,
minyak gosok, plester, gunting, termometer, pinset, kapas, dan sarung
tangan karet. Selain peralatan, perlu diketahui pula mengenai dasar-dasar
pertolongan. Ilmu dan keterampilan dapat ditingkatkan dengan banyaknya
pengalaman di lapangan (Kurniawan, 2004).

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS


Landasan Teori
Hipotesis

MATERI DAN METODE


Materi
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis dan
500 pendaki gunung yang terdiri dari 100 pendaki tiap gunung berikut
Gunung Sindoro jalur Kledung, Gunung Sumbing jalur Garung, Gunung
Merapi jalur Selo, serta Gunung Merbabu jalur Selo dan Wekas. Metode
pengambilan data dilakukan dengan purpossive sampling yang mana
pemilihan sampel berdasarkan kriteria tertentu sehingga didapat data
sesuai dengan apa yang akan dianalisis oleh peneliti. Kriteria yang
dimaksudkan peneliti adalah responden merupakan pendaki gunung
dengan kisaran umur 16 tahun sampai 33 tahun, kemudian ditinjau lebih
lanjut berdasarkan latar belakang dan genner dari pendaki. Hal tersebut
dikarenakan keduanya sanagt berpengaruh terhadap tingkat pemahaman
SOP pendakian dan aplikasinya. Pemilihan lokasi didasarkan pada
pertimbangan tinggi puncak gunung yang berkisar dari 2900m dpl sampai
3400m dpl, jumlah rata-rata pendaki tiap akhir pekan adalah 300 pendaki
dan Gunung Merbabu bias mencapai 750 pendaki tiap minggunya, ratarata alamat pendaki berasal dari Jawa Tengah, dan sering terjadi
kecelakan.
Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
survei lapangan yang dilakukan dengan wawancara kepada pendaki
sesuai dengan kuesioner yang dibuat oleh peneliti sebagaimana data
yang diinginkannya. Tahapan dari pengumpulan data adalah persiapan
survei dan survei lapangan. Persiapan survei dilakuakan dengan maksud
untuk dapat menentukan lokasi, sedangkan survei lapangan dilakukan
untuk mendapat data sesuai yang diinginkan oleh peneliti.
Metode Pengambilan Data

Sampel lokasi. Penelitian ini menggunakan sampel dari empat


lokas. Pemilihan lokasi penelitian dipilih secara purpossive sampling yaitu
dipilih sesuai kreteria yang diinginkan oleh peneliti. Menurut Soeratno dan
Arsyad (1999) purpossive sampling adalah teknik pengambilan sampel
berdasarkan penilaian atau pertimbangan dari sudut pandang peneliti,
umumnya mempunyai ciri-ciri khusus dalam suatu populasi sehingga
relevan dengan rancangan penelitian. Basecamp pendakian Kledung
Gunung Sindoro, basecamp

pendakian Garung Gunung Sumbing,

basecamp pendakian Selo Gunung Merapi dan Merbabu, serta basecamp


pendakian Wekas Merbabu dipilih karena lokasi-lokasi tersebut diketahui
mempunyai puncak yang berketinggian berkisar dari 2900m dpl sampai
3400m dpl, jumlah rata-rata pendaki tiap minggunya adalah 300 pendaki,
mayoritas pendaki berasal dari Jawa Tengah, relatif sering terjadi
kecelakaan pendakian, dan belum pernah dilakukan kegiatan pengenalan
SOP dari pihak yang berkaitan.
Sampel Responden. Responden yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendaki gunung yang berjumlah 500 pendaki dari lima tempat
berbeda, yaitu diambil dari pendakian Gunung Sindoro jalur Kledung,
pendakian Garung Sumbing jarur Garung, pendakian Gunung Merapi dan
Merbabu jalur Selo, serta pendakian Gunung Merbabu jalur Wekas,
masing-masing 100 responden dari setiap jalur pendakian. Pemilihan
sampel menggunakan teknik purpossive sampling dengan kreteria umur
berkisar dari 16 tahun sampai 33 tahun, latar belakang pendaki
(Organisasi Pecinta alam, freeline ataukah pelajar SMA sederat),
kemudian akan ditinjau lebih lanjut berdasarkan genner.
Sumber Data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil
wawancara responden dengan alat bantu kuesioner. Data tersebut terdiri
dari pengetahuan SOP oleh responden yang meliputi persiapan fisik,
logistik, navigasi darat, P3K, dan survival kemudian ditinjau apakah
responden melaksanakan SOP sebagaimana yang dipahami.

Pengujian Instrumen
Sampel Responden. Kuesioner diujikan di Fakultas Peternakan
UGM yang pernah dan sering melakukan pendakian gunung. Sebanyak
50 responden dipilih secara purpossive sampling.
Uji Validitas. Validitas menurut Newman and Lawrence (2006)
merupakan suatu kejujuran. Uji Validitas digunakan untuk mengukur
kevalidan suatu kuesioner. Suatu kuisioner dapat dikatakan valid apabila
pertanyaan pada kuisioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang
akan diukur oleh kuisioner tersebut (Imam, 2011). Penelitian ini
menggunakan software SPSS untuk menguji validitas kuesioner. Sebuah
item akan dinyatakan valid apabila mampu membentuk suatu kelompok
yang bernilai < 0,05. Pengukuran validitas menggunakan korelasi product
moment pearson. Sebuah item pertanyaan dinyatakan valid jika korelasi
product moment pearson setiap pertanyaan memiliki nilai yang signifikansi
< 0,05 (=5%).
Uji Reliabilitas. Reliabilitas pada dasarnya adalah sebuah
peninjauan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil
pengukur yang dilakukan berulang menghasilkan hasil yang relatif sama
maka pengukuran tersebut dianggap memiliki tingkat reliabilitas yang baik.
Menurut

Neuman

dan

Lawrence

(2006)

mengartikan

reliabilitas

merupakan suatu kemandirian dan konsistensi dari sebuah instrumen


penelitian. Metode yang digunakan untuk uji reliabilitas adalah metode
Alpha Cronbach, hal tersebut untuk mengetahui indikator-indikator yang
tidak konsisten dan mengetahui kehandalan indikator-indikator dalam
kuesioner. Berikut adalah nilai Alpha Cronbach beserta penjelasannya:
0,00 sampai dengan 0,20, berarti kurang reliabel, 0,21 sampai dengan
0,40, berarti agak reliable, 0,42 sampai dengan 0,60, berarti cukup
reliabel, 0,61 sampai dengan 0,80, berarti reliable, dan 0,81 sampai
dengan 1,00, berarti sangat reliabel (Budi, 2007).
Uji reabilitas pada penelitian ini menggunakan software SPSS yang
dilakukan dengan membuka file yang akan diuji lalu pilih Analyze

Analyze Scale Reliabilty Analysis kemudian pada item masukan


x1_1, x2_2, x3_3, x4_4 dan aktifkan list item.
Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data kualitatif.
Berikut analisis data yang dilakukan:
Analisis hubungan pemahaman dan penerapan SOP
Tingkat pemahaman SOP oleh pendaki yang didapat dari
pencacatan menggunakan alat bantu kuesioner kemudian dibandingkan
dengan SOP dalam buku Panduan Mendaki Gunung dalam Infografi ditulis
oleh Ehkwan Kurniawan dipublikasikan PT. Tunas Bola tahun 2004 yang
digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Data yang dikumpulkan
melalui kuesioner yang berisi tentang perincian SOP kemudian dinilai peritem kemudian dibandingkan dengan dinilai yang didapat dari kuesioner
pemahaman SOP.
Batasan Operasional
SOP
Standart operasional Prosedur yang diamati dalam penelitian ini
mencakup

semua standar pendakian yang meliputi persiapan fisik,

logistik, P3K, navigasi darat, dan survival.


Pemahaman SOP
Pemahaman SOP yang diamati dalam penilitian ini adalah
seberapa persentase para pendaki dalam memahami SOP pendakian.
Pemahan tersebut diamati secara merinci dari aspek-aspek yang masuk
dalam SOP pendakian.
Penerapan SOP
Penerapan SOP yang diamati dalam penelitian ini adalah seberapa
besar penerapan SOP pendakian oleh para pendaki sebagaiman yang
dipahami. Hal tersebut diamati secara terperinci mulai dari persiapan fisik.
Persiapan fisik yang dimaksud dalam hal ini adalah kesiapan fisik dan
konfisi fisik yang mendukung untuk melakukan pendakian gunung terlebih
lagi untuk gunung yang mempunyai medan yang sulit dan terjal. Logistik

yang diamati adalah bagaimana kesiapan pendaki dalam melengkapi


peralatan untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga keamanan saat
mendaki missal; sepatu, celana lapangan, jaket, tenda dll. P3K yang
diamati adalah kelengkapan obat yang dibawa, obat pribadi untuk riwayat
penyakit yang berpotensi dapat kabuh suatu saat tertentu, Navigasi darat
yang diamati dalam penelitian ini adalah lebih ke perlengkapan untuk
melakukan navigasi darat. Survival yang diamati dalam penelitian ini
adalah lebih kealat-alat yang digunakan untuk sertahan hiduppada suatu
saat tertentu.

(http://www.timlo.net/baca/68719519104/btngm-angka-kecelakaanpendaki-merapi-meningkat/).
Anonim. Statistik BTNGR, 2010
Poerwadarminta, W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai
Pustaka
Ellis, Roberts S. 2007. Educational Psychology: A Problem Approach,
D. Van Nostrand Company, Inc., New Jersey, London, New York.
The International Ecotourism Society. 2000. Ecotourism Statistical Fact
Sheet, Nort Bennington, USA.

Anda mungkin juga menyukai