Anda di halaman 1dari 17

Ikterus Neonatorum et causa Inkompatibilitas ABO

Venia
102013415
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061
E-mail : venialingsen@gmail.com

Abstrak
Perbedaan golongan darah antara ibu dan janin penyebab terjadinya inkompabilitas ABO. Ibu
biasanya bergolongan darah O dan anaknya bergolongan A atau B.Pada saat ibu hamil, eritrosit janin
dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu. Bila ibu tidak memiliki antigen
seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi.
Imun IgG anti-A dan anti-B tersebut dapat melewati plasentadan kemudian masuk kedalam peredaran
darah janin sehingga terjadi aglutinasi danhemolisis, yang kemudian akan menyebabkan ikterus pada
bayi. Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi danmelepaskan sel-sel
darah merah yang imatur yang berinti banyak.
Kata kunci: inkompatibilitas ABO, antibodi IgG, ikterus
Abstract
Blood group differences between mother and fetus causes of ABO incompatibility . Mothers usually
his blood type O and diversified A or B. At the time of maternal , fetal erythrocytes in some incidents
can get into the mother's blood circulation . If the mother does not have antigens such as those found
in fetal erythrocytes , the mother will be stimulated to form immune antibodies . IgG immune anti - A
and anti - B can pass through the placenta and then into the bloodstream of the fetus , causing
agglutination and hemolysis , which then will cause jaundice in infants . This will be compensated by
the baby's body by producing and releasing the red blood cells are immature nucleated many.
Keywords : ABO incompatibility , IgG antibodies , jaundice

Pendahuluan
Penyakit kuning merupakan masalah yang sering didapatkan pada bayi baru lahir,
merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus, oleh karena, neonatus sedang mengalami
proses maturasi yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Sebagian
besar ikterus adalah fisiologis, namun karena potensi toksik dari bilirubin, maka semua bayi
baru lahir harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat.
Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua-ketiga setelah lahir, jarang berpotensi menjadi
kernikterus, biasanya hilang dalam 2 minggu, kadar bilirubin indirek < 20 mg/dl.1
Anamnesis
Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan
langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu
ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain:2

Kapan ikterus atau kuning pada tubuh bayi muncul pertama kali? Berapa lama ikterus
sudah terjadi? Apakah ikterus bertahan lebih dari 2 minggu? (Ikterus fisiologis
umumnya muncul pada hari kedua atau hari ketiga sesudah lahir, apabila ikterus
nuncul selama 24 jam pertama kehidupan, lebih mengarah kepada keadaan non-

fisiologis)
Apakah masa kehamilan/ masa gestasi cukup 36 minggu?
Apakah terdapat perbedaan golongan darah dan ras pada ayah dan ibu si anak?
Bagaimana berat badan lahir bayi? Apakah mengalami BBLR?
Apakah ibu selama masa mengandung mengalami infeksi baik infeksi virus maupun

infeksi lainnya?
Apakah ibu selama mengandung mengkonsumsi obat-obatan tertentu?
Apakah proses melahirkan berjalan dengan baik atau justru ada trauma selama proses

kelahiran? Apakah ada penundaan penjepitan tali plasenta?


Apakah ada anggota keluarga lain yang mengalami ikterus atau ada riwayat keluarga

akan sindroma Gilbert?


Apakah dalam keluarga ada riwayat kelainan hemolisis? Anemia? Splenektomi? Batu

kandung empedu? Penyakit hati?


Bagaimana keaktifan anak? Apakah anak cukup meyusu?

Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital

1. Tekanan darah
Bayi akan mengalami peningkatan tekanan darah pada saat melakukan aktivitas fisik
seperti menangis dan berada dalam keadaan cemas. Hasil pengukuran yang tinggi
harus selalu dikonfirmasi dengan beberapa kali pengukuran berikutnya. 2,3 Pengukuran
tekanan darah sistolik yang paling mudah dilakukan pada bayi adalah dengan
menggunakan metode Doppler yang akan mendeteksi getaran aliran darah arterial
(hasil pemeriksaan ini kemudian dikonversi secara otomatis oleh alat Doppler menjadi
tingkat tekanan darah sistolik dan kemudian alat tersebut meneruskan hasil
pengukurannya ke alat pembaca digital.3
2. Denyut nadi
Frekuensi jantung pada bayi dan anak cukup bervariasi. Frekuensi jantung pada usia
ini lebih sensitif terhadap pengaruh keadaan sakit, aktivitas fisik, dan keadaan emosi
dibanding pada orang dewasa. Berikut ini merupakan daftar frekuensi jantung ratarata pada bayi dan anak saat istirahat:3
Lahir: 140 kali/menit
6 bulan pertama: 130 kali/menit
6-12 bulan: 115 kali/menit
1-2 tahun: 110 kali/menit
2-6 tahun: 103 kali/menit
6-10 tahun: 95 kali/menit
10-14 tahun: 85 kali/menit
3. Frekuensi napas
Seperti halnya frekuensi jantung, frekuensi napas pada bayi & anak memiliki kisaran
yang lebih lebar serta bersifat lebih responsif terhadap keadaan sakit, aktivitas dan
emosi bila dibandingkan dengan frekuensi pernapasan orang dewasa. Frekuensi
pernapasan per menit berkisar antara 30-60x pada neonatus. 3 Pola napas diamati
selama 60 detik. Pada masa bayi, pernapasan diafragma terlihat paling dominan.3
4. Suhu tubuh
Pada bayi yang berusia <2 bulan, pengukuran suhu rektal lebih disenangi karena
pedoman klinis untuk evaluasi terhadap infeksi bakteri yang berat harus menggunakan
suhu rektal sebagai kriteria utamanya.3
Selain pemeriksaan keadaan umum seperti cara-cara di atas, terdapat pula pemeriksaan
neonatus yang berguna untuk menilai tingkat perkembangan neonatus. Terdapat beberapa
sistem skoring yang digunakan untuk mengetahui bayi tersebut digolongkan dalam tingkat
tertentu. Dengan adanya tingkat tersebut, dokter dapat mengetahui apakah bayi tergolong
normal atau tidak.3
Skor Apgar

Merupakan pemeriksaan paling awal & penting untuk bayi yang baru lahir. Pemeriksaan
ini terdiri atas 5 komponen untuk menggolongkan pemulihan status neurologi neonatus dari
proses kelahirannya & kemampuan adaptasinya yang segera terhadap kehidupan ekstra uteri.3
Penilaian

Appearance (warna
kulit)

Pulse

berwarna

kebiru-

biruan atau pucat


(denyut Tidak ada denyut

jantung)
Grimace

Seluruh tubuh bayi

jantung
(respon Tidak ada

refleks)

1
2
Warna kulit tubuh
normal,
tangan

tetapi Warna kulit seluruh


dan

berwarna kebiruan
Denyut
jantung Denyut
per menit

respon Wajah meringis saat

terhadap stimulasi

distimulasi

(pernapasan)

batuk, atau bersin

kaki

keadaan Bergerak aktif dan

fleksi dengan sedikit spontan


gerakan
Menangis

Respiration

100 kali per menit


Meringis, menarik,
saat distimulasi

dan

Lemah, tidak ada dalam


gerakan

jantung

kurang dari 100 kali lebih atau di atas

Lengan
Activity (tonus otot)

kaki tubuh normal

Tidak bernapas

seperti
pernapasan

lemah,
merintih,
lambat

dan tidak teratur


Tabel 1. Skor Apgar3

Menangis

kuat,

pernapasan baik dan


teratur

Skor Apgar dalam 1 menit, jika angkanya:3


o 0-4: menunjukkan bahwa bayi mengalami depresi berat & memerlukan resusistasi
segera
o 5-7: bayi mengalami depresi saraf
o 8-10: normal
Skor Apgar dalam 5 menit, jika angkanya:3
o 0-7: berisiko tinggi untuk terjadinya disfungsi selanjutnya pada system saraf pusat dan
organ lain
o 8-10: normal
Inspeksi dan Palpasi

Pada inspeksi umum, kebanyakan bayi lahir dengan menangis keras lalu cenderung tetap
terjaga selama setengah jam atau lebih dan sangat aktif selama waktu tersebut. Mata bayi
terbuka dan mereka memperlihatkan gerakan menghisap, mengunyah, serta menelan. Bayi
mungkin menyeringai, menangis singkat, atau mendadak melakukan gerakan fleksi dan
ekstensi berulang pada lengan atau tungkai mereka. 3 Jadi, jika bayi tersebut berada dalam
keadaan lemah, tidak mau menyusu, dan kurang aktif, hal ini bisa menjadi tanda-tanda
adanya abnormalitas pada bayi yang harus kita observasi selanjutnya.3
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan
bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari
untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.Tentukan keparahan ikterus
berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.1
Penilaian icterus berdasarkan penilaian Kramer. Menurut Kramer, ikterus dimulai dari
kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir
dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusar, pusar bagian bawah
sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan
termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari
telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan
lain-lain.1
Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan
adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan anemia
hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital. Temuan diagnosis yang tipikal pada bayi dengan ibu
allo-imunisasi ialah ikterik, kulit pucat dan hepatosplenomegali, hidrops fetal dapat
ditemukan pada kasus yang hebat. Ikterus yang terjadi umumnya baru bermanisfestasi segera
setelah lahir atau di dalam 24 jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan dengan
peningkatan cepat dari kadar bilirubin tidak terkonjugasi. Kadang-kadang, hiperbilirubinemia
yang terkonjugasi dapat ditemukan dikarenakan disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada
bayi-bayi dengan kasus hemolitik yang berat. Anemia yang terjadi sering oleh karena
destruksi sel darah merah yang diselimuti oleh antibodi oleh sistem retikuloendotelial dan
pada beberapa janin, anemia terjadi karena destruksi intravaskuler. Seperti yang sudah
dikatakan sebelumnya, bahwa pada kasus berat dapat ditemukan hidrops fetal dan hidrops
fetal ini merupakan hasil akhir dari kombinasi beberapa mekanisme tubuh yang terjadi di

dalam tubuh janin, yaitu oleh karena hipoksia janin, anemia, gagal jantung kongestif, dan
hipoproteinemia sekunder akibat disfungsi hepatik. Secara klinis, ikterus yang signifikan
terjadi pada 20% janin dengan inkompatibilitas ABO.1
Sebenarnya ada 1 cara lagi untuk mengestimasi transcutaneous bilirubin pada neonatus,
yaitu dengan membandingkan warna kulit dari bayi dengan sebuah skala warna. Pada tahun
1960, Gosset memperkenalkan untuk pertama kalinya penggunaan icterometer untuk
mengetahui ikterus pada bayi.5 Gosset memetakannya pada garis-garis transversal sebanyak 5
buah dengan 5 warna kuning yang berbeda, dan ditempatkan pada strip plastik. Alat ini
kemudian agak ditekankan pada hidung bayi, kemudian warna kuning yang muncul
disesuaikan dengan skor jaundice yang terletak pada strip tersebut. Jika warna kuning
terdapat di antara 2 skor berbeda, dapat diberikan poin 0,5 untuk hal tersebut. Untuk setiap
poin yang diperoleh, ada nilai rerata dari TSB dan 2 standar deviasi di atas rerata tersebut.
Sebagai alat skrining, icterometer dapat menjadi alat yang cukup baik digunakan untuk bayi
yang tergolong usia aterm dan preterm, dan biasa digunakan oleh perawat dan orang tua di
rumah karena cukup praktis.4
Pengukuran antropometrik pada bayi baru lahir:5
1. Panjang Badan
Bagi anak <2 tahun, pengukuran panjang badan dilakukan dengan menempatkan bayi
dalam posisi berbaring telentang pada papan pengukur (infantometer).
2. Berat Badan
Lakukan penimbangan berat badan bayi secara langsung dengan alat timbang bayi
(infant scale). Bayi berada dalam keadaan telanjang. Berikut ini merupakan klasifikasi
menurut berat lahir, yaitu:5
1. Bayi berat lahir ekstrim rendah: <1000 gram
2. Bayi berat lahir sangat rendah: <1500 gram
3. Bayi berat lahir rendah: berat <2500 gram tanpa memandang masa gestasi.
4. Bayi berat lahir cukup/normal: berat >= 2500 - 4000 gram.
5. Bayi berat lahir lebih: berat >4000 gram.
Usia kehamilan (gestasional) ditentukan berdasar tanda-tanda neuromuskular yang
khas dan ciri-ciri fisik yang berubah menurut maturitas kehamilannya. Jika usia
kehamilan <37 minggu (<259 hari), bayi tergolong prematur. Jika usia kehamilan
berada antara 37-42 minggu, bayi tergolong aterm. Dan jika usia kehamilan >42
minggu, bayi termasuk postmatur.5
3. Lingkar Kepala

Lingkar kepala harus diukur selama usia 2 tahun pertama. Lingkar kepala pada bayi
mencerminkan pertumbuhan cranium & otak. Untuk mengukur lingkar kepala, pita
pengukur ditempatkan pada prominensia oksipitalis & frontalis sehingga didapatkan
hasil yang maksimal. Pengukuran pada bayi paling baik didapatkan ketika bayi dalam
posisi telentang.5
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah.
Pemeriksaan darah akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi,
retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung
retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel
darah merah yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit,
menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus
inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah dapat diamati pada bayi yang
sudah melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan konsentrasi hemoglobin
normal, dan temuan apus darah yang normal.5,6
2. Uji Coombs
Untuk mengetahui apakah terdapat antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus.
Janin kemudian dievaluasi dengan uji Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah
merah yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif umumnya diserap oleh eritrosit janin Dpositif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs direk. Antibodi ibu yang
terdeteksi pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam periode 1 hingga 4
bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu diidentifikasi
dan ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan
kekhawatiran karena antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan
menyebabkan hemolisis. Titer antibodi dikuantifikasi kemudian. Jika antibodinya
ialah IgG dan diketahui menyebabkan anemia hemolitik, dan jika titer di atas ambang
kritis diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut. Untuk antibodi titer-D, titer di bawah
1:16 biasanya tidak menyebabkan kematian janin pada penyakit hemolitik, meskipun
hal ini bervariasi antara lab. Titer yang sama atau lebih dari kritis ini menandakan
kemungkinan penyakit hemolitik yang parah.6
Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek. Uji Coombs
indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang terkena pada

inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk akan positif hanya
pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO.6
Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi : untuk mengetahui apakah terjadi
inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah.6
3. Pemeriksaan bilirubin
Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin direk.
Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan
bilirubin direk. Peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan
pada hati (kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor). Peningkatan
kadar bilirubin indirek sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit
(hemolisis). Lanjut Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl.
Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika
masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari,
sedangkan jika kadarnya >15 mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus
patologik.6
Nilai rujukan:
-

Dewasa: total: 0,1 1,2 mg/dl, direk: 0,1 - 0,3 mg/dl, indirek: 0,1 1,0 mg/dl
Anak: total: 0,2 0,8 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa.
Bayi baru lahir: total: 1 12 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa.6

Diagnosis Banding
Inkompatibilitas Rhesus
Kira-kira 85% orang kulit putih mempunyai rhesus positif dan 15% rhesus negatif.
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negatif dan janin rhesus positif. Bila
sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh. Zat
antibodi Rh ini dapat melalui plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin dan
selanjutnya menyebabkan penghancuran sel darah merah janin (hemolisis). Hemolisis ini
terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah merah dilakukan oleh
tubuh bayi secara berlebihan, sehingga akan didapatkan banyak sel darah merah berinti yang
banyak. Keadaan ini disebut eritroblastosis fetalis.7

Diagnosis ditegakan dari riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya, penetapan


golongan darah Rh ibu (negatif) dan bayi/janin (positif), kenaikan titer IgG anti-D maternal
selama kehamilan dan uji Coombs direk darah bayi/janin positif.7
Manifestasi Klinis
Respon maternal awal biasanya berupa IgM yang tidak dapat melalui plasenta, tetapi
respon selanjutnya berupa pembentukan IgG yang didapat melalui plasenta. Jadi, yang
penting utnuk terjadinya hemolisis adalah IgG, dan derajat hemolisis ditentukan oleh
banyaknya antibodi IgG yang melekat pada eritrosit fetus. Dibagi menjadi, ringan terjadi
tanpa anemia (kadar Hb darah tali pusat lebih dari 14g/dl), kadar bilirubin kurang dari 4
mg/dl, dan tidak memerlukan pengobatan yang spesifik kecuali kenaikan bilirubin yang tidak
wajar. Sedang, anemia ringan, kadar bilirubin lebihdari 4 mg/dl, kadang ada trombositopenia.
Pada keadaan berat, selain hepatosplenomegali, bisa terjadi hidrops fetalis atau lahir mati.7
Secara epidemiologi inkompatibilitas rhesus lebih jarang dibandingkan dengan
inkompatibilitas ABO. Diagnosis kerja didapat dari anamnesis tentang kelahiran keberapa
serta riwayat golongan darah ibu dan anak serta rhesus. Cenderung pada ikterus neonatorum
inkompatibilitas ABO menyerang anak pertama sedangkan inkompatibilitas rhesus tidak
menyerang anak pertama karena belum terbentuknya antibodi. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan gejala klinik anemia dan ikterus yang lebih berat pada inkompatibilitas rhesus
dibandingkan pada neonatus inkompatibilitas ABO. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan
skala anemia dan ikterus yang lebih berat pada inkompatibilitas rhesus dibandingkan dengan
inkompatibilitas ABO. Coombs test pada keduanya bisa didapatkan hasil positif.6,8
Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk
positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah. Hiperbilirubinemia
sering merupakan satu satunya kelainan laboratorium. Kadar Hb biasanya normal tapi dapat
serendah 10 12 g/dl. Retikulosit dapat naik 10 15%, dengan polikromasia yang luas dan
kenaikan jumlah sel darah merah berinti. Pada 10 20% bayi yang terkena, kadar bilirubin
tak terkonjugasinya dapat mencapai 20 mg/dl atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi.8
Diagnosis Kerja
Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kausa tersering
penyakit hemolitik pada neonatus. Sekitar 20 persen bayi mengalami inkompatibilitas
golongan darah ABO dengan ibunya, dan 5 persen mengalami gejala klinis. Untungnya,

inkompatibilitas ABO hampir selalu menyebabkan penyakit yang ringan yang bermanifestasi
sebagai ikterus neonatus atau anemia, tetapi bukan eritoblastosis fetalis (hidrops imun) dan
terapi umumnya hanya berupa fototerapi. Inkompatibilitas ABO berbeda dengan
inkompatibilitas Rh (antigen CDE) karena beberapa alasan :9
1. Penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama
2. Penyakitnya hampir selalu lebih ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang
menyebabkan anemia yang bermakna
3. Sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang tidak dapat
menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin. Oleh karena itu, meskipun dapat
menyebabkan penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tidak
menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatri daripada obstetris
4. Inkompatibilitas ABO dapat mempengaruhi kehamilan mendatang, tetapi tidak seperti
penyakit Rh CDE, jarang menjadi semakin parah
Tidak diperlukan deteksi antenatal. Induksi persalinan dini, atau amniosentesis, karena
inkompatibilitas ABO tidak menyebabkan anemia janin yang parah. Akan tetapi, pada masa
neonatus diperlukan perawatan yang cermat karena dapat terjadi hiperbilirubinemia yang
membutuhkan terapi. Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus
akibat inkompatibilitas ABO adalah seperti ibu memiliki golongan darah O dengan antibody
anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A,B, atau
AB; ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama; terdapat anemia, retikulositosis, dan
eritroblastosis dengan derajat bervariasi; dan kausa hemolisis yang lain telah disingkirkan
dengan teliti.9
Diagnosis pasti inkompatibilitas ABO adalah dengan menemukan immunoglobulin G ibu
yang bereaksi dengan eritrosit pada bayi. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan sehingga
diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya anemia hemolitik pada bayi dengan golongan
darah A atau B yang lahir dari ibu golongan darah O, adanya test Coombs direk dan indirek
yang positif serta didukung dengan peningkatan mikrosferosit pada darah tepi bayi.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan
sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali
pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan
kelainan pada pemeriksaan darah tepi.9
Etiologi

Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari


golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu bergolongan darah O
dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB, karena antibodi yang ditemukan pada
golongan darah O ibu adalah dari kelas IgG, sedangkan ibu dengan golongan darah atau B
juga mempunyai anti-B (pada golongan darah A) dan anti-A (pada golongan darah B) yang
sebagian besar didominasi dari kelas IgM. Situasi ini muncul secara natural, dan dapat
melewati sawar plasenta. Situasi ini dapat disebabkan oleh karena robekan pada membran
plasenta yang memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada
previa plasenta, abruptio placenta, trauma, dan amniosentesis.10
Epidemiologi
Inkompatibilitas ABO menurut statistik kira-kira 2% seluruh kehamilan terlihat dalam
ketidakselerasan golongan darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan
darah O dan janin golongan A atau B. Mayoritas inkompatibilitas ABO 40% diderita oleh
anak pertama dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.7
Lebih sering terjadi pada bayi golongan B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit
hitam daripada bayi kulit putih dengan golongan A atau B.7
Patogenesis
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil,
eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang
terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi.
Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasentadan kemudian masuk kedalam
peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janinakan diselimuti (coated) dengan antibodi
tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi danhemolisis, yang kemudian akan menyebabkan
anemia (reaksi hipersensitivitas tipeII). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan
cara memproduksi danmelepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak,
disebut denganeritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.11
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.Produksi eritroblasini
melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti plateletdan faktor penting lainnya untuk

pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktorpembekuan dapat menyebabkan terjadinya


perdarahan yang banyak dan dapatmemperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat
pada permukaan eritrosit,tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab
penyakit hemolitik.Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan
antibodi jikaterpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri
sendiripada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.11
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternalsebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,amniosentesis, transfusi darah
Rhesus positif atau pada kehamilan kedua danberikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah
dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal
dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati,
tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu
waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.Bayi dapat
berkembang menjadi kern ikterus.12

Manifestasi Klinis
Ikterus biasanya timbul dalam waktu 24 jam sesudah lahir, tidak pucat oleh karena tidak
terdapat anemia atau hanya didapatkan anemia ringan saja. Jarang sekali menyebabkan
hidrops fetalis atau lahir mati serta hepatosplenomegali. Kira-kira 40-50% mengenai anak
pertama, sedangkan anak-anak berikutnya mungkin terkena dan mungkin tidak. Bila terkena
tidak tampak gejala yang berat seperti pada inkompatibilitas rhesus.7
Penatalaksanaan
Farmakoterapi
1. Obat Pengikat Bilirubin
Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin
rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik
nodalitas ini belum diteliti secara ekstensif.13
2. Pem-blokade Perubahan Heme Menjadi Bilirubin
Modalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan cara
menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan menghambat penguraian
hem. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik seperti protoporfirin timah dan yang

terbukti dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan
meningkatkan ekskresi heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena
potensi toksisitas dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis
obat ini belum diterapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia
juga protoporfirin seng atau mesoporfirin.13
Non-farmako Terapi
1. Fototerapi
Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan pada
bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.2
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan
ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420
nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan
bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air
dan akan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang
sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel
yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan
melalui urine dan empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan
penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi
pigmen setelah melakukan transfusi tukar. Beberapa penelitian menemukan bahwa
seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa terapi sinar mengubah senyawaan
tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam
air. Namun, teori tersebut belum sepenuhnya benar dikarenakan adanya temuan
bahwa penurunan kadar bilirubin darah yang tidak sebanding dengan jumlah dipirol
yang terjadi, di samping itu pada terapi sinar juga ditemukan peninggian konsentrasi
bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum. McDonagh dkk (1981) menemukan
fakta bahwa secara in vitro maupun in vivo terjadi isomerisasi bilirubin pada bayi
dengan terapi sinar, fotobilirubin inilah yang menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus.2
Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi
kritis, penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 12-24 jam, dan harus terus
dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Walaupun

telah digunakan secara luas, terapi sinar masih belum dapat menggantikan transfusi
tukar untuk kasus hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus.7
Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas bagian kulit
bayi yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi terbanyak terjadi pada
bagian perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan, jumlah energi cahaya yang
menyinari kulit bayi, pengubahan posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber
cahaya dengan bayi diatur agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak
boleh melebihi 50 cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa
didapatkan dari lampu neon 20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang
sinar antara 350-470 nm. Selain penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula pleksiglas
untuk memblokade sinar ultraviolet, dan filter biru untuk memperbesar energi cahaya
yang sampai pada bayi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung
terapi sinar ini ialah:7
a. Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu
bukalah pakaian bayi
b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya
untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual
c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik
untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar
e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali
f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam
24 jam
g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi
h. Lama terapi sinar dicatat
Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum yang berarti,
dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada
bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan metabolisme yang harus
diperbaiki.7
Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada bayi dengan terapi sinar, antara lain
peningkatan insensible water loss pada bayi sehingga perlu diberikan pemberian
cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi meningkat akibat peningkatan
peristatltik usus, dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat
penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, kerusakan retina
yang dilaporkan pada hewan percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko

retinopati pada bayi oleh karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting,
hipokalsemia yang lebih umum nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang
berlebihan. Walau begitu, terapi sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat
aman dan tidak memiliki efek samping serius yang berkelanjutan, efek samping akan
hilang ketika terapi dihentikan segera.2,7
2. Transfusi Tukar
Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:2,7
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk
positif
Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas bilirubin
ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai
tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis
dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya
kadar bilirubin serum yang tinggi.2
Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan
ketika bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO
sehingga jenis ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki
risiko neurotoksisitas yang lebih tinggi dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini
dilakukan dengan mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga
menghilangkan sekitar 80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi serta
melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat invasif dan
bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko mortalitas
sebesar 1-5%, dapat pula berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC),
infeksi, gangguan elektrolit, ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus
dilakukan secara hati-hati. Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0
g/kg untuk mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu
kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang diperantarai oleh
antibodi.2,7
Komplikasi
Anemia berat dengan pembesaran hati dan limpa

Hidrops fetalis
Hal ini terjadi sebagai organ bayi tidak mampu untuk menangani anemia. Jantung
mulai gagal dan sejumlah besar cairan membangun pada jaringan bayi dan organ.
Sebuah janin dengan hidrops berisiko besar yang lahir mati.
Kernikterus
Kernikterus adalah bentuk yang paling parah hiperbilirubinemia dan hasil
penumpukan bilirubin dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan kejang, kerusakan
otak, ketulian, dan kematian.14
Pencegahan
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa gestasi dan
kelahiran, seperti sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonates
4. Pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.14
Prognosis
Secara keseluruhan kasus penyakit hemolitik, angka survival dapat mencapai 85-90%,
namun dapat berkurang sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin
yang bertahan hidup dari gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis.
Walau begitu, abnormalitas neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat beratnya
anemia dan asfiksia perinatal. Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.1
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka pasien
didiagnosa menderita inkompatibilitas ABO.
Daftar Pustaka
1. Hull D, Johnston D.I. Dasar-dasar pediatri. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2008. hal. 61-4.
2. Nelson W.E. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2000. hal. 620-3.
3. Bickley L.S, Szilagyi P.G. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.
Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. hal. 649-54.
4. Maisels M.J. Historical perspective: transcutaneus bilirubinometry. Neoreviews
[internet]. 2006. doi: 10.1542/neo.7-5-e217. 7(5): 217-25. Available from:

http://neoreviews.aappublications.org/content/7/5/e217/F3.full. Diakses pada tanggal


22 April 2016.
5. Kosim M.S, Yunanto A, Dewi R, Sarosa G.I, Usman A. Buku ajar neonatologi. Edisi
ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. hal. 11-21, 147-69.
6. Abraham M.R, Julien I.E, Hoffman C.D, Rudolph. Buku ajar pediatri Rudolph.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011. hal. 183-9.
7. Markum A.H, Ismael S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid I. Jakarta:
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. hal. 332-5.
8. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi ke-15.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. hal. 682.
9. Skor B. Diunduh dari http://www.uichildrens.org/childrens-content.aspx?id=234004.
Diakses pada 22 April 2016.
10. Waldron P.E, Cashore W.J, editors. Hemolytic diseases of the fetus and newborn.
Cambridge: Cambridge University Press; 2012. hal. 91-119.
11. Hameed N.N, Jehad H.N, Salih A.A. ABO incompatibility in newborn babies. 2011.
Diunduh

dari

https://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=0CC8QFjAC&url=http%3A%2F
%2Fwww.iasj.net%2Fiasj%3Ffunc%3Dfulltext%26aId
%3D22244&ei=3p42VZuTLoOCuwS3lIDYBw&usg=AFQjCNFKO7zbsREvjCCsTd
K8FhrEru8aTw. Diakses pada 22 April 2016.
12. Rudolph A.M. Buku ajar pediatri Rudolph. Vol. 2. Edisi ke-20. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007. hal. 1313-21.
13. Al-Swaf F.B, Jumaa S. Hemolytic disease of newborn due to ABO incompatibility.
2011.

https://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCAQFjAA&url=http%3A%2F
%2Fwww.iasj.net%2Fiasj%3Ffunc%3Dfulltext%26aId
%3D22244&ei=zp82VaL7E4OKuwTW14C4DQ&usg=AFQjCNFKO7zbsREvjCCsT
dK8FhrEru8aTw. Diakses pada 23 April 2016.
14. Hassa R, Alatas H, penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta: Penerbit

Indomedika; 2010. hal. 1101-14.

Anda mungkin juga menyukai