Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu keluhan atau tanda,
bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit
umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga
menemukan dan mengobati sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin
hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang
dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya.
Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien,
bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari
Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat
berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis biasanya terjadi tibatiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa
perlu memanggil dokter.Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali.
LAPORAN KASUS
Bapak Napitulu, 45 tahun executive suatu bank, datang ke tempat anda dengan keadaan
yang cemas, masih bisa berjalan dan duduk sendiri, dengan handuk kecil menutupi hidungnya
yang sudah penuh darah.
Sebagai dokter yang belum begitu mengenal pasien tersebut, apa tindakan dan rencana
anda selanjutnya. Setelah mendapat kesan bahwa fungsi vital penderita masih baik, anda
menghentikan perdarahannya dengan memasang tampon anterior kemudian melanjutkan dengan
anamnesis.
Perdarahan hidung dialami baru pertama kali, setelah melakukan olahraga senam, kirakira jam yang lalu, jumlahnya gelas minum. Keluar darah intermitten dan tidak berhenti
dengan pencet hidung dan kompres es.
Sebelumnya penderita sudah sering mengeluh pusing kepala. Tidak pernah sakit berat
sampai dirawat, tidak pernah mengalami trauma kepala. Tidak pernah sakit berat sampai dirawat,
tidak pernah mengalami trauma kepala / trauma hidung / operasi hidung.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
KU
Kesadaran
: CM
Suhu
: 37 C
Tekanan darah
: 160 / 90 mmHg
Pernapasan
: 20x/menit
Bunyi jantung
: murni
Paru-paru
: sonor, vesikuler
2
: tidak teraba
Ekstremitas
: hangat
Status Lokalis
Telinga
Hidung
Tenggorok
Pemeriksaan Laboratorium
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hb
Leukosit
Erythrocyte
Jumlah Thrombocyte
Bleeding time
Clotting time
PTT
8. SGPT
: 12 g %
: 7000 / ml
: 4,5 juta / ml
: 260.000 / ml
: 2 (Duke)
: 6 (Lee&White)
: 13
: 28 / l
9. SGOT
: 31
10. Ureum
11. Creatinin
12. Asam Urat
13. Glucose darah sewaktu
14. Cholesterol
15. Triglyceride
16. HDL
17. LDL
: 24 mg/dl
: 1,0 mg /dl
: 5 mg/dl
: 135 mg%
: 260 mg/dl
: 220 mg/dl
: 33 mg/dl
: 145 mg/dl
/l
PEMBAHASAN
Masalah
Keluar darah dari hidung
Dasar masalah
Anamnesis dan pemeriksaan
Hipotesis
Lokal: trauma, infeksi hidung
4
fisik
Anamnesis Tambahan
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kebiasaan
Riwayat pengobatan
Kesadaran
Suhu
Tekanan darah
Pernapasan
Bunyi jantung
Paru-paru
Ekstremitas
Status Lokalis
Telinga
Hidung
INTERPRETASI LABORATORIUM
Hasil
1. Hb
: 12 g %
Kadar normal
13.5 17.5 (13 16) (g/dl)
Intrepretasi
Agak sedikit menurun karena
pasien mengalami perdarahan
2. Leukosit : 7000/ml
10.000) (/ul)
Normal
400.000) (/ul)
5. Bleeding time : 2
1-8
Normal
6. Clotting time : 6
5 15
Normal
7. PTT : 13
25 35
8. SGPT : 28 /L
5 41 (u/l)
Normal
9. SGOT : 31 /L
5 40 (u/l)
Normal
15 40 (mg/dl)
Normal
Normal
Normal
Normal
135 mg%
14. Cholesterol : 260 mg/dl
terjadinya arteroskelosis
15. Triglyceride : 220 mg/dl
> 55 (mg/dl)
Menurun menyebabkan
perbandingan LDL dan HDL
menjadi tidak bagus,merupakan
faktor bisa terjadinya
arteroskelosis
Normal
8
Penatalaksanaan
1. Pasien harus dalam posisi duduk tegak.
2. Cek keadaan umum dan tanda vital pasien.
3. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan
darah.
4. Sumber perdarahan juga dicari dengan bantuan tampon.
Tampon kapas dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain2%. Kapas
ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi
rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan
cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau
posterior
5. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq.
Tampon ini dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah
9
benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup
sumber perdarahan. Kemudian tampon diberikan vaselin agar tidak lengket saat dicabut serta
antibiotik untuk mencegah terjadinya otitis media dan sinusitis.
Teknik Pemasangan
Langkah langkah pemasangan tampon Bellocq
telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring.
Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung
tindakan ini.
6. Pasien dengan Belloque tampon harus dirawat. Saat dirawat, sebaiknya pasien melakukan
tirah baring dengan kepala lebih tinggi dan humidifikasi kamar harus diperhatikan.
7. Setelah itu, pasien kita berikan edukasi, seperti harus menghindari korekan hidung, dilarang
mengeluarkan ingus secara keras, memencet atau menggaruk hidung selama 1 minggu. Pasien
juga dilarang kerja berat dan olah raga selama 2 minggu.
8. kita juga konsultasikan ke dokter penyakit dalam untuk mengatasi hipertensinya.
10
Komplikasi
-
Prognosis
Ad Vitam
: Ad Bonam
Karena pasien ini belum mengalami Syok dan kemungkinan septikemia
dapat dicegah dengen pemberian antibiotika.
Ad Fungsionam
: Ad Bonam
Karena dengan penanganan yang benar dan cepat, tidak akan
menimbulkan kerusakan yang dapat mempengaruhi fungsi hidung.
11
Ad Sanationam
: Dubia Ad Bonam
Karena pasien ini menderita Hipertensi yang dapat menjadi etiologi dari
terjadinya epistaxis, sehingga masih ada kemungkinan unruk terjadi
kembali.
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Hidung
Anatomi dan fisiologi hidung Hidung merupakan organ
mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung
dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah
adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks
disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu
dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian
tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan
12
dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela
adalah nares anterior atau nostril (Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi
oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum
disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh
septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema
dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus
media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus
frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan
13
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar
diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis
dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.
Perdarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis
eksterna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh
truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
14
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernesus.
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior
anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri
etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang
nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid
dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.
Epistaksis (perdarahan hidung)
ETIOLOGI
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang
jelas disebabkan oleh kelainan local pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan local misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi local, benda asing, tumor, pengaruh
udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi
sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan congenital.
15
1. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti terkena pukul, jatuh atau kecelakaan lalulintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya
benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu
sedang mengalami pembengkakan.
2. Kelainan pembuluh darah (local)
Sering congenital, pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih tipis.
3. Infeksi local
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis dan
lepra.
4. Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada
angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
5. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi atau kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis, atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis
yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan berakibat fatal.
6. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, bermacammacam anemia serta hemophilia.
7. Kelainan congenital
16
17
dari
A.
Ethmoidalis
posterior,
A.
dan
dapat
berhenti
sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena pecahnya A.Sphenopalatina.
KESIMPULAN
Pada kasus ini datang seorang pasien pria dengan keluhan keluarnya darah dari hidung.
Perdarahan dari pasien dapat dibedakan dari sifat perdarahannya. Pada pasien tampak perdarahan
berasal dari bagian posterior karena darah tampak lebih banyak. Pada pemeriksaan fisik terlihat
adanya darah di daerah orofaring yang semakin menguatkan diagnosis perdarahan hidung atau
epistaksis yang berasal dari pendarahan bagian posterior.
Pada pasien juga terdapat faktor-faktor pendukung terjadinya perdarahan. Seperti adanya
hipertensi grade II pada pasien dilihat dari hasil pengukuran tekanan darahnya. Selain itu juga
18
terdapat faktor pendukung lainnya, yaitu adanya hiperlipidemia pada pasien dilihat dari
pemeriksaan profil lipidnya. Hal ini menambah berat perdarahan pada pasien karena pembuluh
darah menjadi tidak elastis sehingga dapat pula semakin menaikkan tekanan darah pasien.
Diberikan tatalaksana seperti pemasangan tampon belloq pada pasien untuk
menghentikan perdarahan pada bagian posterior sambil diperhatikan adanya aspirasi pada pasien.
Jika perdarahan tidak berhenti maka dapat dirujuk ke dokter spesialis telinga hidung dan
tenggorokan untuk ditangani lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Silbernagl S, Lang Florian. Teks & Atlas Berwarna Patofisologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. In: Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. 6th
Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 155-6.
3. Accessed at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
4. Accesed at http://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2010/10/epistaksis-danpenatalaksanaannya.html
19
20