Anda di halaman 1dari 12

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS

MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA


Oleh: Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP.

Abstrak
Dengan penduduk 216 juta jiwa, Indonesia saat ini membutuhkan bahan pangan
pokok sekurang-kurangnya 53 juta ton beras, 12,5 juta ton jagung dan 3,0 juta ton
kedelai. Jika tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan produksi pangan dalam negeri
secara signifikan, dapat menyebabkan ketahanan pangan nasional rendah. Meskipun
upaya peningkatan produksi pangan di dalam negeri saat ini terus dilakukan, namun
laju peningkatannya masih belum mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri
karena produktivitas tanaman pangan serta peningkatan luas areal yang stagnan
bahkan cenderung menurun.
Untuk meningkatkan produksi pangan nasional, dapat dilakukan peningkatan
produktivitas dengan menerapkan teknologi produksi antara lain melalui penggunaan
pupuk organik/hayati. Pupuk tersebut dapat mengembalikan kesuburan lahan melalui
jasa mikroba yang menguntungkan. Sejalan dengan itu, juga perlu dilakukan perluasan
lahan pertanian antara lain melalui pengembangan kawasan transmigrasi.

Pendahuluan
Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Banyak
contoh negara dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi mengalami kehancuran
karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Sejarah juga
menunjukkan bahwa strategi pangan banyak digunakan untuk menguasai pertahanan
musuh. Dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari
cengkraman penjajah/musuh. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian
dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung
rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan
nasional yang harus dilindungi.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka
pertumbuhan 1.7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan
pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan
produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan
produksi di dalam negeri yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak ada upaya untuk
meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan
ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.
Keragaan laju peningkatan produksi tiga komoditi pangan nasional padi, jagung
dan kedelai tersebut sebagaimana tampak dalam tabel 1.
Keragaan di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi pangan
nasional rata-rata negatif dan cenderung menurun, sedangkan laju pertumbuhan
penduduk selalu positif yang berarti kebutuhan terus meningkat. Keragaan total
produksi dan kebutuhan nasional dari tahun ke tahun pada ketiga komoditas pangan

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 1 of 12

utama di atas menunjukkan kesenjangan yang terus melebar; khusus pada kedelai
sangat memprihatinkan. Kesenjangan yang terus meningkat ini jika terus di biarkan
konsekwensinya adalah peningkatan jumlah impor bahan pangan yang semakin besar,
dan kita semakin tergantung pada negara asing.
Impor beras yang meningkat pesat terjadi pada tahun 1996 dan puncaknya pada
tahun 1998 yang mencapai 5,8 juta ton. Kondisi ini mewarnai krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1997 dimana produksi beras nasional turun yang antara lain karena
kekeringan panjang.
Pada komoditi jagung meskipun pada tahun 1996 terjadi penurunan produksi,
namun pada tahun 1998 justru terjadi surplus (ekspor) meskipun hanya kecil. Hal ini
diduga karena banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan tidur untuk komoditas
jagung. Namun pada tahun-tahun berikutnya sampai saat ini produksi jagung
cenderung turun dan impor semakin besar (lebih dari 2 juta ton/tahun).
Produksi kedelai nasional tampak mengalami kemunduran yang sangat
memprihatinkan. Sejak tahun 2000, kondisi tersebut semakin parah, dimana impor
kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena membanjirnya Impor akibat
fasilitas GSM 102, kredit Impor dan Triple C dari negara importir yang dimanfaatkan
sebesar-besarnya oleh importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai
nasional yang rendah dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri. Akibat
kebijakan di atas harga kedelai impor semakin rendah sehingga petani kedelai
semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya pada harga
kedelai petani tidak bisa bersaing dengan membanjirnya kedelai Impor dan petani
kedelai tidak terlindungi.
Melihat kenyataan tersebut seakan kita tidak percaya sebagai negara agraris
yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar
penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi
hambatan dalam pembangunan dan menjadi tantangan yang lebih besar dalam
mewujudkan kemandirian pangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan
langkah kerja yang serius untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam rangka
memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Permasalahan Produksi Dan Upaya Mengatasi Masalah Pangan Nasional


Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di
Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih
rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang
stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di
pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi
dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua
permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus
dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program
ketahanan pangan nasional.

Upaya Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 2 of 12

Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih rendah. Rata-rata


produktivitas padi adalah 4,4 ton/ha (Purba S dan Las, 2002) jagung 3,2 ton/ha dan
kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia
khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29. Australia
memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha
( FAO, 1993).
Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a)
Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan
lahan yang terus menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik
tanaman yang masih belum optimal (Guedev S Kush, 2002).
Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan
potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh
petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket
teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga
penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Seperti penggunaan
pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal
diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi teknologi, sistem
pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri. Selain itu juga karena cara
budidaya petani yang menerapkan budidaya konvensional dan kurang inovatif seperti
kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus, tidak menggunakan
pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15 20 % dan memakai air
irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain berdampak pada rendahnya produktivitas
yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran terus menurun.
Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan
menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya,
sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.
Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah harus memberikan subsidi
teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan percepatan
perubahan (Saragih, 2003). Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi
petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya
sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca
panennya. Sebagai contoh petani dapat memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas
organik hayati (misal : Bio P 2000 Z), benih/pupuk bermutu dan mekanisasi pasca panen dan
sekaligus pengawalan pendampingannya.
Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun; revolusi hijau dengan
mengandalkan pupuk dan pestisida memiliki dampak negatif pada kesuburan tanah
yang berkelanjutan dan terjadinya mutasi hama dan pathogen yang tidak diinginkan.
Sebagai contoh lahan yang terus dipupuk dengan Urea (N) cenderung menampakkan
respon kesuburan tanaman seketika, tetapi berdampak pada cepat habisnya bahan
organik tanah karena memacu berkembangnya dekomposer dan bahan organik
sebagai sumber makanan mikroba lain habis (< 1%). Pemakaian pupuk kimia, alkali
dan pestisida yang terus menerus menyebabkan tumpukan residu yang melebihi daya
dukung lingkungan yang jika tidak terurai akan menjadi racun tanah dan tanah
menjadi Sakit. Akibatnya disamping hilangnya mikroba pengendali keseimbangan
daya dukung kesuburan tanah, ketidak-seimbangan mineral dan munculnya mutanmutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang kontra produktif. Di lahan
sawah/irigasi dengan berbagai upaya program revolusi hijau yang telah ada tidak lagi
memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas karena telah mencapai titik
jenuh (Levelling Off) dan produktivitas yang terjadi justru cenderung menurun.

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 3 of 12

Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil Management untuk


mengembali-kan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai ragam mikroba
pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan organik
tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat dan
berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat. Telah diketahui bahwa mikroorganisme unggul berguna dapat diintroduksikan ke tanah dan dapat diberdayakan
agar mereka berfungsi mengendalikan keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana
mestinya. Selain itu, sekumpulan mikro-organisme diketahui menghuni permukaan
daun dan ranting. Sebagian dari mereka ada yang hidup mandiri, bahkan dapat
menguntungkan tanaman (Mashar, 2000). Prinsip-prinsip hayati yang demikian telah
diungkapkan dalam kaidah-kaidah penerapan pupuk hayati (misal : Bio P 2000 Z).
Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal tampak pada
kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar negeri atau hasil dalam
penelitian. Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup
berarti dalam menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi.
Meskipun upaya breeding modern, teknologi transgenik dan hibrida dirancang agar
tanaman yang dikehendaki memiliki kemampuan genetik produksi tinggi (Gurdev S
Kush, 2002), tetapi jika dalam menerapkannya di lapangan asal-asalan, maka
performa keunggulan genetiknya tidak nampak. Hasil penggunaan varietas unggul di
lapangan seringkali masih jauh dari harapan. Penyebabnya adalah masih belum
dipahaminya teknik budidaya sehingga hasil yang didapat belum menyamai
potensinya, apalagi melebihi.
Untuk mendapatkan performa hasil maksimal dari tanaman unggul baru yang
diharapkan memerlukan persyaratan-persyaratan khusus Presisi dalam budidayanya
seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari OPT (Anonim, 2003)
dan/atau perlakuan spesifik lainnya. Pada kenyataannya baik tanaman unggul seperti
padi VUB, Hibrida dan PTB; dan kedelai serta Jagung hibrida akan mampu berproduksi
tinggi jika pengawalan manajemen budidayanya dipenuhi dengan baik, tetapi jika
tidak justru terjadi sebaliknya. Hasilnya lebih rendah dari varietas lokal. Hal ini berarti
bakal calon penerapan varietas unggul berproduktivitas tinggi harus dilakukan
pengawalan dan manajemen teknologi penyerta dengan baik dan diterapkan secara
paripurna. Untuk hal tersebut petani harus diberikan dampingan dan memanejemen
budidaya secara intensif.

Upaya Menambah Perluasan Lahan Pertanian Baru


Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan nasional antara lain karena
pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan
pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman. Lahan
irigasi Indonesia sebesar 10.794.221 hektar telah menyumbangkan produksi padi
sebesar 48.201.136 ton dan 50 %-nya lebih disumbang dari pulau Jawa (BPS, 2000).
Akan tetapi mengingat padatnya penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman
pangan tersebut terus mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan
pemukiman dan pilihan pada komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi
seperti hortikultura. Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas
secara nyata dan/atau membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi
pangan dalam negeri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Dari sisi perluasan areal lahan tanaman pangan ini upaya yang dapat ditempuh
adalah: (1) Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang
surut (Alihamsyah, dkk, 2002) (2) Mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak
produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di barengi dengan

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 4 of 12

menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan tersebut tidak


subur untuk tanaman pangan.
Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19
juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar
telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan
Pasang Surut dipandang sebagai peluang terobosan untuk memacu produksi meskipun
disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah. Produktivitas rata-rata
tanaman pangan padi, Jagung dan Kedelai di lahan lebak/pasang surut dengan
penerapan teknologi konvensional hasilnya masih rendah yaitu : secara berturut turut
sekitar 3,5 ton/ha; 2,8 ton/ha dan 0,8 ton/ha. Kendala utama pengembang di lahan ini
adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah,
keracunan tanah dan kendala Bio fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT
dan cekaman Air (Moeljopawiro, S., 2002)
Ditemukannya teknologi baru (misalnya Bio P 2000 Z) dengan memanfaatkan
mikroba penyubur dan pengendali kesuburan alami tanah di lahan lebak dan pasang
surut memberikan bukti bahwa produktivitas tanaman pangan tersebut mampu lebih
tinggi dibanding produktivitas konvensional di lahan subur atau produktivitas rata-rata
nasional yaitu: 5,5 - 8 ton/ha padi; 2,5 3,5 ton/ha kedelai dan 5 8 ton/ha jagung
JPK). Ternyata dengan sistem demikian masalah tersumbatnya produksi komoditi
pertanian dapat dipecahkan. Efek mikroba memiliki manfaat yang besar dalam
mengendalikan lingkungan mikro tumbuh kembang tanaman yang secara sinergi
memberikan manfaat: (1) diredamnya faktor penghambat tumbuh kembang tanaman
yang dijumpai dalam tanah termasuk menetralkan kemasaman lahan, (2) adanya
produksi senyawa bio-aktif seperti enzim, hormon, senyawa organik, dan energi kinetik
yang memacu metabolisme tumbuh kembang akar dan bagian atas tanaman (3) pasok
dan penyerapan hara oleh akar makin efesien, lancar, dan berimbang, (4) ketahanan
internal terhadap hama dan penyakit meningkat. Budidaya dengan menerapkan
teknologi ini secara baik di lahan jenis tersebut mampu menghasilkan produktivitas
yang tinggi sehingga usaha tani pangan di lahan tersebut akan dapat bersaing.
Menjadikan lahan lebak dan pasang surut untuk usaha pertanian harus didukung
dengan teknologi dan infrastruktur yang memadai sehingga luasan lahan ini dapat
menjadi pendukung dan buffer untuk peningkatan produksi pangan dan swasembada.
Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa
lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di
Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya
0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha
lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang menjadi tanah
kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan ekonomi dan tuntutan
lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan kritis dan lahan
kering untuk usaha tani pangan seperti jagung, padi huma dan kedelai serta kacang
tanah. Secara alamiah hal ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan,
meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung
2,5 3,5 ton/ha dan padi huma 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 1,1 ton/ha, tetapi
pemanfaatannya berdampak positif bagi peningkatan produksi pangan.
Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah: (1) pemerintah sebaiknya
memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang telah diusahahan petani yaitu
semacam HGU untuk usaha produktif usaha tani tanaman pangan sehingga petani
dapat memberikan kontribusi berupa pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan
tersebut, (2) memberikan bimbingan teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan
teknologi organik dan Bio/hayati guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin
usaha tani yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan (3) Melibatkan stakeholder
dan swasta yang memiliki komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 5 of 12

pangan sehingga akan menjamin kepastian pasar, Sarana Input teknologi produktivitas
dan nilai tambah dari usaha tani terpadunya. Pengelolaan lahan kering untuk
pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi produktivitas organik agar
memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produksi pangan dan
kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh jika 150.000 ha lahan ini digunakan untuk
budidaya Jagung jika dengan tambahan teknologi produktivitas organik dapat
menghasilkan rata-rata 6,5 ton/ha yang dilakukan dengan 2 kali MT maka akan terjadi
penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton jagung, berarti akan mensubstitusi lebih
dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari usaha tani tanaman pangan ini sangat
berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar dan
bagi kepentingan nasional.

Mencapai Swasembada Pangan 2003 2010 Untuk Mewujudkan Kemandirian Dan


Ketahanan Pangan Nasional
Membangun Ketahanan pangan berbasis Agribisnis pangan rakyat di Indonesia
perlu mendapatkan perhatian serius. Pada tahun 1984 swasembada pangan pernah
tercapai yang diukir sebagai prestasi gemilang saat itu, namun tahun-tahun
selanjutnya semakin merosot sehingga upaya-upaya mempertahankan dan mencukupi
kebutuhan pangan nasional semakin terancam. Proyek pembukaan lahan pertanian
sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah, implementasi BIMAS, INSUS, SUPRA
INSUS; tampaknya tidak memberikan manfaat bahkan dalam dasawarsa terakhir kita
terjebak dalam kesejangan pangan dan dengan produksi pangan nasional semakin
terancam dan impor pangan dijadikan sebagai solusi instan. Seharusnyalah dibangun
kembali kerangka pembangunan pertanian berkerakyatan dan berorientasi
kemandirian dan kesejahteraan yang merata di dalam sistem agribisnis yang terpadu.
Masalah penyediaan pangan untuk penduduk harus dipandang secara utuh, bukan
sekedar dinilai secara untung rugi saja tetapi lebih jauh dicermati pada aspek politik,
dan sosialnya karena di dalam pandangan nasional ketahanan pangan harus
merupakan bagian dari ketahanan nasional.
Menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepentingan rakyat,
bangsa dan negara serta rasa nasionalisme untuk melindungi, mencintai dan
memperbaiki produksi pangan lokal harus terus dikembang-majukan. Pertanian
pangan termasuk di kawasan transmigrasi hendaknya jangan dipandang sebagai lahan
untuk menyerap tenaga kerja atau petani dikondisikan untuk terus memberikan
subsidi bagi pertumbuhan ekonomi sektor lain dengan tekanan nilai jual hasil yang
harus rendah dan biaya sarana produksi terus melambung. Tetapi seharusnya petani
pangan mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual dan
subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi ketahanan pangan, petani
pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak. Dalam hal ini adalah wajar jika
pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku produksi pertanian pangan karena
merupakan golongan terbesar dari masyarakat Indonesia .
Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program instant untuk
mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak
berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over
suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi
rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga petani terus menanggung
kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan tidak menarik lagi bagi petani dan
memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan pangan nasional mejadi
rapuh.

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 6 of 12

Melihat kondisi saat ini dan trend produksi pangan yang semakin tergantung
impor dan bergesernya pola konsumsi masyarakat maka untuk mencapai kemandirian
pangan ke depan harus dilakukan melalui upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi
pada peningkatan produksi pangan nasional yang terencana mulai presisi di sektor
hulu proses (on farm) dan hilirnya. Yang perlu ditekankan adalah: peningkatan
produktivitas dan penerapan teknologi bio/hayati organik, perluasan areal pertanian
pangan dan optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan
tataniaga pangan dan pembatasan impor pangan, pemberian kredit produksi dan
subsidi bagi petani pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan ketersediaan silo
untuk stock pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada pangan di
setiap daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus
ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan
infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan pangan nasional.

Padi
Dalam kurun waktu satu dasa warsa ke depan Indonesia harus mampu mandiri
dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat-nya. Tabel 2 menggambarkan
keragaan pemacuan produksi dan pengurangan impor padi yang dipandang rasional.
Dengan asumsi pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun 1,5 % dan impor
beras sekitar 1,5 - 2 juta ton pada tahun 2003 dan produksi dalam negeri sekitar 52
juta ton, maka untuk mencapai swasembada pada tahun 2010 diperlukan trend
peningkatan produksi sebesar 1,8 2,1 % pertahun. Peningkatan ini sangat rasional
dan dapat dilakukan dengan melihat potensi produk-tivitas yang dapat ditingkatkan
dan potensi ketersediaan lahan baru yang dapat dibuka seperti lahan pasang surut,
lebak dan lahan kering untuk padi (Suprihatno, dkk, 1999; Irianto, Gatot, dkk., 2002).

Jagung
Pada tahun 2002 impor jagung mencapai 2,2 juta ton dan sejak tahun 2000
pertumbuhan produksinya menunjukkan trend yang cenderung negatif. Melihat potensi
yang ada bahwa hal upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih
dapat dilakukan, bahkan sekalipun untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Dengan
menciptakan tingkat pertumbuhan produksi 2 % sampai 6,5 %per tahun maka pada
tahun 2010 Indonesia akan dapat mengekspor jagung. Hal ini sangat rasional untuk
dapat diwujudkan dan dicapai mengingat masih banyak lahan tidur dan lahan kering
potensial yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat meningkatkan
produksi jagung. Peluang penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic dan
penerapan benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha
menjadi lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih sangat rasional apalagi agribisnis
jagung telah didukung dengan tersedia dan kesiapan stakeholder dari hulu sampai
hilirnya.
Kedelai
Upaya mendongkrak produksi kedelai memang berat mengingat ada sekitar 70 %
kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000
memiliki dampak yang tragis bagi petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan
impor harus ada perlakuan khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 7 of 12

kembali bertanam kedelai. Upaya perimbangan impor dan pertumbuhan produksi


kedelai jika produksi dapat terus ditingkatkan secara linear dari 13 % di tahun 2003
terus tumbuh meningkat hingga 20 % pada tahun 2010. Selama dasawarsa ke depan
(2003 2013), yang rasional dilakukan adalah menekan impor dengan substitusi dari
produksi dalam negeri sampai tinggal 10 20 % impor. Hal ini relevan dengan kondisi
saat ini dan dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga yang
layak saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi
sehingga menurunkan biaya produksinya per satuan hasil.
Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai, pembatasan impor (tarif bea masuk)
dan insentif/subsidi bagi petani produsen dipandang perlu pada komoditas ini karena
merupakan komoditi hajat hidup orang banyak (Inkopti, 2001), jika memang keputusan
kemandirian pangan sebagai keputusan politik untuk ketahanan pangan. Persoalan
teknologi produktivitas kedelai dan lahan sebenarnya bukan lagi sebagai
permasalahannya, hanya saja jika petani tidak diberikan subsidi teknologi,
produktivitasnya tetap rendah (< 1,2 ton/ha) dan biaya produksi per satuan produk
menjadi tinggi sehingga ke depannya tidak dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini
perlu dilakukan dengan dengan menerapkan kebijakan yang simultan untuk
merangsang pertumbuhan tinggi baik dengan melibatkan stakeholder pelaku bisnis
kedelai dari hulu hingga hilir, teknologi, petani, perbankan dan pemerintah.
Harus diciptakan kondisi yang kondusif untuk memberikan perlindungan pada
petani. Menciptakan dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih
ditekankan pada peran petani serta stakeholder yang mengawal sistem produksi dari
keterjaminan penyediaan teknologi, sarana produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas
kebijakan yang memberikan kemudahan petani pangan mendapatkan subsidi
teknologi, mekanisasi dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti infrastruktur untuk
pertanian seperti irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar serta
kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian pangan.
Dalam hal ini perlu adanya rencana dan pedoman yang jelas dan sistematis sebagai
komitmen bagi stakeholder khususnya dari pemerintah melalui Departemen Pertanian
dan departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional yang
tangguh sebagai keputusan nasional yang didukung oleh pemerintah daerah sebagai
pelaksana di lapangan.
Upaya menciptakan kemandirian pangan dengan mengembangkan produksi
sumber pangan alternatif substitusi pangan impor dilakukan seiring dengan pemacuan
tiga komoditi pangan utama di atas. Sumber pangan karbohidrat yang dapat
dimanfaatkan untuk substitusi pangan impor seperti kentang, jagung putih dan umbiumbian. Mengembangkan sumber pangan alternatif ini justru memiliki nilai ekonomis
tinggi karena disamping produktivitas per hektarnya tinggi, pangan tersebut sebagai
bahan baku industri. Dengan keragaman sumber bahan pangan yang dikonsumsi dan
dapat diproduksi di dalam negeri diharapkan dapat menekan impor pangan secara
nyata dan mengurangi ketergantungan pangan dari luar negeri sehingga ketahanan
dan kemandirian pangan nasional semakin mantap.
Peran Teknologi Produktivitas Organik Dalam Menunjang Ketahanan Pangan
Yang Berkelanjutan
Subsidi teknologi yang menjadi bagian penting dari upaya menciptakan
ketahanan pangan yang tangguh, harus mengutamakan teknologi produktivitas yang
ramah lingkungan. Teknologi tersebut harus telah terbukti memberikan kontribusi yang
nyata bagi peningkatan produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan
produktivitas tanaman pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 8 of 12

ramah lingkungan. Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana,
mudah dimengerti dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan
secara utuh dan memiliki kawalan/pendampingan di lapangan untuk menjamin
keberhasilannya.
Sebagai contoh teknologi pupuk hayati Bio P 2000 Z yang diramu dari kumpulan
mikro-organisme indegenus terseleksi bersifat unggul berguna yang dikondisikan agar
dapat hidup harmonis bersama saling bersinergi dengan kultur mikro-organisme
komersial serta dibekali nutrisi dan unsur hara mikro dan makro yang berguna bagi
mikroba dan komoditas budidaya. Sekumpulan mikro-organisme unggul berguna
dikemas dalam pupuk hayati Bio Perforasi terdiri dari dekomposer (Hetrotrop,
Putrefaksi), pelarut mineral dan phospat, fiksasi nitrogen, Autotrop (fotosintesis) dan
mikroba fermentasi serta mikroba penghubung (seperti Mycorrhiza) yang bekerja
bersinergi dan nutrisi bahan organik sederhana, seperti senyawa protein/peptida,
karbohidrat, lipida, Vitamin, senyawa sekunder, enzim dan hormon; serta unsur hara
makro: N, P, K, S, Ca, dan lainnya berkombinasi dengan hara mikro: seperti Mg, Si, Fe,
Mn, Zn, Mn, Mo, Cl, B, Cu, yang semua unsur yang disebut di atas diproses melalui
cara fermentasi.
Bio Perforasi secara komprehenship membentuk dan mengkondisikan
keseimbangan ekologis alamiah melalui sekumpulan jasa mikro-organisme unggul
berguna yang dikondisikan, bersinergi dengan mikroba alami indogenus dan nutrisi;
dan dengan menggunakan prinsip mem-bioperforasi secara alami oleh zat inorganik,
organik dan biotik pada mahluk hidup (seperti tanaman) sehingga memacu dan/atau
mengendalikan pertumbuhan dan produksinya. Ternyata dengan sistem demikian
masalah tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan (Mashar, 2000).
Melalui jasa mikro-organisme unggul yang sebelumnya telah dikondisikan
terhadap lingkungan tumbuh kembang tanaman serta dibekali nutrisi dan unsur hara,
faktor pembatas produksi dan kendala tumbuh asal tanah dan lingkungan dapat
direndam sehingga tanaman dapat dipacu berproduksi tanpa menggangu hasil
rekayasa konstelasi genetik yang telah dimiliki tanaman sebelumnya. Hal ini seiring
dengan tujuan meningkatkan produktivitas hasil dari tanaman varietas unggul yang
memiliki potensi genetik tinggi seperti padi Hibrida, PTB dan padi unggul lain yang
akan dikembangkan untuk daerah-daerah kritis lebak rentan cekaman kesuburan
tanah yang labil. Seperti daerah transmigrasi Penggunaan mikroba Bio P 2000 Z
secara teratur dan sesuai anjuran ternyata mampu mendongkrak potensi produksi
tanaman yang bersangkutan melebihi referensi Genetik yang dimilikinya dan cekaman
anasir penghambat dalam tanah.
Keunggulan penerapan teknologi Bio Perforasi pada padi adalah meningkatnya
produktivitas dan kualitas beras. Pada padi unggul nasional memacu bertambahnya
anakan produktif rata-rata 19 35 anakan dan kuatnya perakaran (gambar A), tahan
rebah dan serangan penggerek batang; malai lebih besar (berisi) sehingga dibanding
tanpa Bio P2000Z pada volume gabah kering giling (GKG) yang sama rendemen
meningkat 30% - 40%. Karena proses keseimbangan hara ini beras lebih jernih dan
tidak mudah remuk/patah saat digiling.

Kesimpulan

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 9 of 12

1. Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam dasa warsa terakhir rata-rata
cenderung terus menurun sedangkan laju pertumbuhan jumlah penduduk terus
meningkat yang berarti semakin meningkat ketergantungan pangan nasional pada
impor merupakan bahaya laten bagi kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
2. Produksi pangan yang terus menurun lebih disebabkan karena: produktivitas hasil
budidaya petani rata-rata masih rendah dan perluasan areal lahan pertanian
stagnan serta lahan yang ada cenderung menurun kualitasnya sehingga perlu
upaya mengatasi permasalahan tersebut dengan terobosan yang konstruktif dalam
produktivitas dan perluasan lahan.
3. Meningkatkan produktivitas dapat ditempuh melalui cara antara lain: menerapkan
teknologi budidaya produktivitas tinggi dengan memberikan subsidi teknologi
kepada petani seperti teknologi pupuk hayati Bio P 2000 Z; melakukan Soil
Management di lahan pertanian dengan mengintroduksikan agen mikroba penyubur
dan nutrisi (seperti pupuk berimbang) untuk mengembalikan keseimbangan alami
yang membangun kesuburan tanah dan tanaman diatasnya; melakukan eksplorasi
potensi genetik tanaman yang memiliki performa tanaman unggul hasil maksimal
seperti varietas hibrida dan tipe baru dengan memberikan perlakuan presisi kawalan
teknologi yang sesuai sehingga efisiensi hasil maksimal dapat tercapai .
4. Upaya memacu pertumbuhan produksi pangan dengan membuka areal Lahan
pertanian baru yang dapat di gunakan untuk pertanian produktif adalah potensi
lahan pasang surut dan lahan lebak, serta lahan kering yang sebagian besar belum
tergarap secara optimal dengan disertai penerapan teknologi produktivitas.
5. Untuk mewujudkan swasembada dan kemandirian serta ketahanan pangan dalam
satu dasawarsa ke depan (2010), diperlukan perangkat kebijakan yang mengarah
pada perbaikan implementasi sistem agribisnis dan tataniaga (impor) bahan
pangan. Disamping itu laju pertumbuhan produksi nasional harus dipacu pertahun
secara bertahap, pada komoditas padi/beras dari tahun 2003 sebesar 1,8 % menjadi
2,1% pada tahun 2010, komoditas jagung dari 2 % tahun 2003 menjadi 6,5 % tahun
2010, dan kedelai 13 % tahun 2003 terus meningkat menjadi 20 % pada tahun
2010.
6. Penerapan teknologi organik seperti Bio P 2000 Z yang memanfaatkan sinergi jasa
mikroba unggul mampu meningkatkan produktivitas tanaman lebih tinggi dari
teknologi pupuk konvensional/kimia dan memiliki manfaat memperbaiki kesuburan
lahan serta menjaga produktivitas tinggi lahan yang berkelanjutan.
Lampiran (tabel 1, 2, 3, 4)

Tabel.1
Pertumbuhan Per Tahun Peroduksi Beras, Jagung, Kedelai, 1992-1993
Komoditi 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Padi

7.99

0.12 3.18 6.75 2.73 -3.37 -0.28 3.31

2.03 -2.77

1.82

0.04

Jagung

28.36 -19.68 6.25 22.12 12.87 -5.76 15.95 -9.49

5.14 -3.41

1.92

1.42

Kedelai

20.17 -8.63 -8.37 7.41 -9.69 -10.56 -3.76 5.91 -26.41 -16.74 -21.06 13.36

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 10 of 12

Pendudu
k

1.4

1.42 1.45 1.52 1.55

1.57 1.59 1.61

1.63

1.66

1.69

1.72

Tabel. 2
Target Produksi dan Proyeksi Impor Padi Nasional Tahun 2000 - 2010
(000 ton)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Kebutuha
n

52,05 52,11 52,07 53,00 53,79 54,60 55,42 56,25 57,09 57,95 58,82
5
4
8
0
5
1
1
2
6
2
2

Produksi

49,42 49,14 50,07 51,00 51,94 52,90 53,87 54,89 56,02 57,19 58,38
9
4
8
0
1
0
7
0
3
1
7

Impor

2,626 2,970 2,000 2,000 1,854 1,701 1,544 1,362 1,073

761

435

Tabel. 3
Target Produksi dan Proyeksi Impor Jagung Nasional Tahun 2000 - 2010
(000 ton)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Kebutuha
n

10.50 11.00 11.50 11.66 11.83 12.01 12.19 12.33 12.56 12.75 12.94
0
0
0
3
2
6
6
9
4
3
5

Produksi

9.676 9.165 9.278 9.409 9.625 9.969

Impor

10.44 11.06 11.73 12.46 13.28


5
5
5
6
5

824 1.835 2.222 2.254 2.213 2.047 1.251 1.314

229

257

-340

Tabel. 4
Target Produksi dan Proyeksi Impor Kedelai Nasional Tahun 2000 - 2010
(000 ton)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

2010

Kebutuhan

2.295 2.335 2.376 2.417 2.460 2.503 2.547 2.541 2.637 2.025

2.730

Produksi

1.017

2.380

Impor

1.277 1.412 1.558 1.902 1.450 1.376 1.276 1.138

923

837

915 1.010 1.126 1.271 1.453 1.653 1.685


951

697

350

Daftar Pustaka
Abdullah Buang. 2002. Pengenbangan Padi Tipe Baru. Makalah disampaikan Pada
Seminar Temu Lapang BALITPA di KP. Pusakanegara, Subang 26 September 2002
Alihamsyah T., Muhrizal Sarwani dan Isdianto Ar-Riza. 2002. Komponen Utama
Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 11 of 12

Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi
Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Ananto Eko. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan rawa Pasang Surut Mendukung
Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi
Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dalam Kaitannya
dengan Sistem Pertanian Organik. Makalah Pengembangan Teknologi Padi di
Hotel Kaisar Maret 2003.
Anonim. 2001. Pemberdayaan Usaha Anggota koperasi Produsen tempe Tahu
Indonesia (KOPTI) Melalui Pemberian Insentif Pemerintah kepada INKOPTI.
Inkopti.
Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan dalam Kaitannya
dengan Sistem Pertanian Organik. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan.
BPS ( Biro Pusat Statistik). 2001. Stasistik Indonesia 2000. BPS Jakarta.
FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome .
Gurdev S. khush. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in
Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan
Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Purba S. dan Las I. 2002, Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras.
Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di
Sukamandi 22 Maret 2002.
Mashar Ali Zum, 2000, Teknologi Hayati Bio P 2000 Z Sebagai Upaya untuk Memacu
Produktivitas Pertanian Organik di Lahan Marginal. Makalah disampaikan
Lokakarya dan pelatihan teknologi organik di Cibitung 22 Mei 2000.
Moeljopawiro Sugiono. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan
Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi
Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Sri Adiningsih J., M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1994. Teknologi
untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding
Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Timur
Indonesia di Palu 17 20 Januari 1994.

KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA

Page 12 of 12

Anda mungkin juga menyukai