pemerintah harus akur. Artinya, keduanya dapat menjalankan fungsi yang dimilikinya tanpa
mengganggu apa yang menjadi hak dan kewajiban orang lain dalam ruang lingkup negara. Selain
itu, keduanya dipaksa untuk taat kepada hukum negara yang mutlak, serta dituntut untuk
berpartisipasi memberikan sumbangsih terhadap negara.
Tentu saja, aktor penggerak yang diharapkan dalam partisipasi tersebut adalah santri. Santri
adalah unsur pondok pesantren yang amat vital. Santri memegang dominasi dalam jumlah orang
terbanyak di dalam pesantren. Atas dasar itulah kiai dibuktikan perannya untuk menanamkan
pemahaman kewajiban yang harus dilakukan oleh para santri terhadap negara yang ditempatinya
melalui pendekatan agama. Jika keduanya sinkron, maka santri akan meniru apa yang diajarkan
oleh kiainya. Inilah bagian terpenting dari penerapan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Santri diajarkan untuk memiliki sikap nasionalisme. Doktrin tentang pengertian nasionalisme
yang digunakan biasanya adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi
inividu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Nasionalisme merupakansebuah ideologi
yang mencakup prinsip kebebasan (liberty), kesatuan (unity), kesamarataan (equality), serta
kepribadian yang menjadi nilai kehidupan kolektif suatu kemunitas untuk merealisasikan tujuan
politik yaitu pembentukan dan pelestarian negara nasional.Nasionalisme berakar dari
timbulnya kesadaran kolektif tentang ikatan tradisi dan deskriminasi pada masa kolonial yang
sangat membatasi ruang gerak bangsa Indonesia. Reaksi terhadap situasi itu merupakan
kesadaran untuk membebaskan diri dari tradisi dan untuk melawan pengingkaran terhadap
identitas bangsa. Dari situ mereka (santri) akan mencoba mengenal lebih jauh tentang
penjabaran nasionalisme dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, minimal di
dalam pesantren.
Kendati demikian, meskipun dogma yang disampaikan sama, tetapi dalam pemahamannya
akan berbeda antara santri satu dengan lainnya. Begitu pula alasan yang mereka miliki juga
bermacam-macam sesuai pemahaman ilmu yang mereka dapat. Maka tidak heran apabila di balik
penjelasan mengenai definisi nasionalisme tersebut, kerap kali santri mengungkapkan
argumentasinya terhadap sesamanya untuk mendiskusikan kebenaran definisi yang diungkapkan
dengan membawa pengetahuan individunya. Dari retorika yang mereka kemukakan, kemudian
akan muncul perbedaan-perbedaan pendapat. Mereka yang setuju, akan mendukung sepenuhnya
definisi nasionalisme dan berusaha mengamalkan pengertian tersebut.
Namun yang menjadi masalah adalah adanya santri yang tidak setuju terhadap pengertian dan
pengamalan nasionalisme. Mereka akan membandingkan pengertian nasionalisme tersebut
dengan dalil-dalil agama serta urgensinya. Demi memperkuat argumentasinya, mereka
menggunakan apa yang pernah disampaikan kiainya kemudian menyambungkan definisi
nasionalisme dengan dhawuh kiainya, maka masalah yang serius akan muncul. Ketika
nasionalisme yang mereka pahami adalah sebuah wujud dari penyimpangan sebuah agama, maka
semangat bela negaranya akan luntur. Kekeliruan pemahaman ini terletak pada, misalnya,
disebutkan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi
inividu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Kata-kata kesetiaan tertinggi individu
harus diserahkan kepada negara, dipahami sebagai sesuatu yang menistakan agama. Yang
mereka anggap adalah bahwa kata-kata tersebut tidak selayaknya diucapkan dan diterapkan oleh
umat Islam yang seharusnya menyerahkan kesetiaannya kepada Sang Pencipta, Allah swt. Hal itu
merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam dan ajaran para kiai mereka.
Lebih mirisnya lagi, wujud dari pemahaman tersebut pernah terjadi di negara Indonesia
sendiri. Ada dua sekolah yang sistem pendidikannya berbasis Islam, yaitu Sekolah Dasar Islam
Al-Albani Matesih dan Sekolah Menengah Pertama Al-Irsyad Tawangmangu, Karanganyar yang
mengatakan bahwa hormat kepada bendera merah putih merupakan perbuatan syirik. Pihak
kedua sekolah tersebut tidak pernah mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormat
kepada bendera merah putih. Mereka mengatakan bahwa aksi penolakan hormat kepada merah
putih tersebut dilatarbelakangi oleh keyakinan pribadi mereka masing-masing, baik guru maupun
murid, dan pihak sekolah tidakberhak mencampurinya. Asumsi itu juga didukung oleh
pemahaman pribadi dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengatakan bahwa hormat
kepada bendera adalah tindakan yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Tetapi pernyataan tersebut di atas, mencoba diakomodir oleh para pemuka masyarakat,
seperti Menteri Pendidikan Indonesia, M. Nuh, yang menyatakan bahwa penghormatan kepada
bendera merah putih dihukumi haram jika tujuannya untuk menyembah, sebaliknya akan
diperbolehkan jika tujuannya hanya sekedar memberikan rasa hormat saja akan kesakralan
merah putih sebagai lambang negara kesatuan Indonesia.
Peristiwa di atas merupakan kejadian yang sangat disayangkan terjadi. Sebab, Indonesia
butuh akan semangat nasionalisme dari para penduduknya. Meskipun terdapat kepentingan
agama di tengah pembangunan struktural bangsa, hendaknya menggunakan penalaran yang
obyektif. Jika yang digunakan adalah ajaran yang bersumber pada agama sepenuhnya dan
mengabaikan relitas yang ada, maka yang terjadi hanyalah perbedaan-perbedaan pendapat yang
berujung pada konflik.
Racun pikiran semacam ini sangat tidak diharapkan dimiliki oleh para santri. Maka
dibutuhkan komunikasi secara intens mengenai pemahaman urgensi nasionalisme yang
sebenarnya. Dan pihak yang paling dipercaya untuk mengubah mindset santri-santri tersebut
adalah kiai. Seorang kiai harus bisa menyeimbangkan antara pemahaman dirinya dengan
pemahaman santrinya melalui dialog-dialog khusus. Dari sini kemudian perlahan-lahan santri
akan memahami apa yang dimaksud kiainya. Akibatnya, nasionalisme tidak disalah artikan
sebagai suatu bentuk penyelewengan agama.
Berbicara mengenai perkembangan nasionalisme, tampaknya ada perbedaan antara zaman
sekarang dengan masa penjajahan dahulu. Artikulasi nasionalisme pada zaman penjajahan dulu
dipahami secara menyeluruh. Sehingga tidak ada ketidaksetujuan masyarakat Indonesia pada
saat itu untuk menolak paham nasionalis. Malahan yang muncul adalah kesadaran masyarakat
untuk ikut berjuang dalam mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa.
Hal semacam itu berbeda dengan masa sekarang yang cenderung manganggap nasionalisme
adalah sesuatu yang biasa saja. Karena sebagian orang merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang
harus dipertaruhkan untuk berjuang melawan penjajah seperti pada saat penjajahan. Pemahaman
yang keliru ini menjalar dengan cepat sampai pada lembaga pendidikan agama, yakni pondok
pesantren yang seharusnya menjadi tutor atau pelopor berkembangnya paham nasionalis yang
dipadu dengan unsur agama sehingga menjadi kekuatan tersendiri yang kuat.
1
Penyebab yang dominan dari pemahaman nasionalisme di zaman sekarang dengan masa
penjajahan adalah, pada masa penjajahan, nasionalisme identik dengan kenegaraan yang
merupakan implikasi dari definisi politik, yang tidak mengesampingkan kepentingan agama
dalam pengaplikasiannya. Justru antara agama dan politik saling berhubungan. Hal tersebut
disebut dengan simbiosis-mutualisme. Ibarat dua sisi mata uang yang berbeda namun pada
hakikatnya saling berhubungan dan membutuhkan.
Di dalam melihat hubungan antara Islam dan negara, data pengertian semacam ini
menunjukkan bahwa kiai memandangnya bercoraksimbiotik, sebagaimana yang diungkapkan
oleh KH. Yasri Marzuki yang menegaskan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri
dari berbagai agama, suku, dan bahasa dan juga oleh kawasan yang juga berlainan. Oleh karena
itu, jika masing-masing elemen bangsa melihat kepentingan golongan atau pribadinya sendiri
maka Indonesia akan mengalami disintegrasi sosial yang berujung pada keruntuhan bangsa dan
negara ini. Dalam konteks ini, nasionalisme bisa menjadi sesuatu yang mengikat (kalimatun
sawa) dengan syarat adanya komitmen terlebih dahulu untuk menjamin kedaulatan rakyat di
depan negara. Siapa yang bertanggung jawab terhadap nasionalisme? Tentu saja adalah semua
kelompok yang ada di dalam NKRI, baik atas nama agama, suku, kelompok kepentingan, atau
golongan manapun, termasuk kiai dan santri di dalam pondok pesantren.
Dengan ungkapan lain, para kiai sebagai pemimpin tradisional telah sepakat untuk
mempertahankan dan memantapkan nasionalisme Indonesia tanpa membedakan garis
kepentingan agama, suku, umat, golongan dan kepentingannya sendiri. Mereka berkomitmen
untuk tetap mengokohkan nasionalisme dalam situasi sesulit apa pun, seperti pada masa
penjajahan dahulu. Bayangkan saja, ketika itu Indonesia dijajah oleh berbagai negara mulai dari
Portugal, Inggris, Belanda, hingga Jepang, namun masyarakat Islam di Indonesia mampu untuk
menahan bahkan menyerang balik penjajah-penjajah tersebut. Hal itu didorong dengan adanya
dukungan dari para pemuka agama, dalam hal ini adalah kiai, serta masyarakat muslim, tanpa
terkecuali santri, yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi sehingga tidak mampu
digoyahkan oleh para penjajah. Kondisi semacam inilah yang sulit untuk dikembangkan di
tengah tantangan bangsa Indonesia yang sedang berhadapan dengan maraknya gerakan kembali
ke etnisitas, primordialisme kelompok, semangat globalisasi, dan bahkan fundamentalisme
agama. Adalah sangat ironis jika pemberian paham nasionalis dari para kiai terhadap santrinya
sering diabaikan. Meskipun memang asumsi semacam itu hanya terjadi pada pondok pesantren
tertentu, namun dikhawatirkan akan merambat kepada pemahaman masyarakat secara luas.
Terkait dengan hal itu, maka memang benar pada awalnya dibutuhkan hubungan komunikatif
antara kiai dengan santrinya mengenai pemahaman kenegaraan dan keagamaan tanpa berusaha
memisahkan secara mutlak terhadap keduanya (separatis). Dan untuk menciptakan hubungan
yang komunikatif tersebut, maka perlahan-lahan diperlukan keselarasan hubungan yang kondusif
antara kiai dengan santri. Hubungan kiai dan santri harus dijaga dengan baik agar tidak
menimbulkan sub sektor pemahaman agama yang berbeda antar satu sama lain. Sebaliknya, jika
hubungan tersebut diabaikan dan pudar, maka perbedaan pemahaman agama tidak dapat
dihindarkan, dan hal tersebut akan rawan dimasuki oleh pengaruh-pengaruh luar yang ekstrem.
Secara rinci, hubungan antara kiai dan santri adalah sebagai berikut.
2
Hubungan pemimpin dan yang dipimpin dalam orientasi budaya seperti itu, setidaknya
melahirkan hubungan kepemimpinan model patron-client relationship. Secara definitif, James C.
Scott menjelaskan pola hubungan patron-client sebagai berikut:
Hubungan timbal balik di antara dua orang dapat diartikan sebagai sebuah kasus khusus
yang melibatkan perkawanan secara luas, di mana individu yang satu memiliki status sosialekonomi yang lebih tinggi (patron), yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang
dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan kepada individu lain
yang memiliki status lebih rendah (klien), dalam hal ini klien mempunyai kewajiban membalas
dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan-pelayanan pribadi
kepada patron.
Merujuk pada penjelasan Scott di atas, peran patron dalam kehidupan kepemimpinan di
pondok pesantren dijalankan oleh kiai atau keluarga kiai. Seperti diungkapkan Dhofier, bahwa
kiai merupakan patron karena memiliki otoritas dan kekuasaan mutlak dalam mewarnai lembaga
pondok pesantren. Tak seorang pun melawan kiai, apalagi santri di lingkungan pesantren, kecuali
kiai yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar. Dengan sumber-sumber
kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki secara normatif ditempatkan dalam status paling tinggi
dari unsur-unsur lain yang ada di lingkungan pondok pesantren.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa hubungan kiai sebagai patron dengan santri sebagai
klien diperkuat oleh sisitem nilai yang melembaga, yaitu tradisi samina wa athona (mendengar
dan menaati). Nilai ini dibarengi dengan nilai lainnya yang mengatur antarunsur di pondok, yang
kemudian membentuk subkultur tersendiri. Kemudian jika dikaji lebih jauh, sisitem nilai yang
membentuk subkultur ini berkembang menjadi ciri khas pesantren. Segala aktivitas yang
dikembangkan dan dilaksanakan oleh kiai diperkenalkan kepada santri sebagai tata kehidupan
yang bersifat keibadatan.
Nilai-nilai yang terdapat di pondok pesantren bila dicermati ternyata mengandung tiga unsur
yang mengarah pada terbentuknya hubungan patron-klien antara kiai dan
santri. Pertama,hubungan patron-klien mendasarkan diri pada pertukaran yang tidak seimbang,
yang mencerminkan perbedaan status. Seorang klien, dalam hal ini santri, telah menerima
banyak jasa dari patron, yakni kiai, sehingga klien terikat dan tergantung pada
patron. Kedua,hubungan patron-klien bersifat personal. Pola resiprositas yang personal antara
santri dan kiai menciptakan rasa kepercayaan dan ketergantungan di dalam mekanisme hubungan
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari budaya penghormatan santri kepada kiai yang cenderung
bersifat kultus individu. Ketiga,hubungan patron tersebar dan menyeluruh, fleksibel dan tanpa
batas kurun waktunya. Hal ini dimungkinkan karena sosialisasi nilai ketika menjadi santri
berjalan bertahun-tahun. Suatu bentuk nilai yang senantiasa dipegang teguh oleh para santri,
misalnya tidak adanya keberanian dari para santri untuk berdebat dan membantah soal apapun
yang dikemukakan oleh kiai karena bisa kuwalat dan ilmunya tidak bermanfaat. Suatu kutukan
dirasa berat, bila sampai dilontarkan kiai kepada santri.
Ketiga faktor yang mendasari patron-client relationship di pondok pesantren tersebut
tentunya dapat terlihat dari tipe kepemimpinan yang dijalankan dalam mengelola lembaga
pondok pesantren. Dengan penonjolan dominasi kiai dan penekanan kuat tradisi, akhirnya
3
kepemimpinan yang muncul bercorak paternalistik di mana seorang kiai berstatus sebagai
pelindung, guru, dan bapak bagi para santri. Artinya kebersamaan para anggota, posisinya
sebagai bawahan dalam pondok pesantren. Sedangkan pemimpin berada di atas para anggota
tersebut.
Melihat dari gambaran inilah kemudian denotasi pengertian nasionalisme bertumpu pada kiai
sebagai faktor utama berkembangnya paham nasionalis di pondok pesantren. Kiai yang
berkompeten dan memiliki pengetahuan cukup luas mengenai kenegaraan di samping
pengetahuan agamanya, akan melibatkan santri-santrinya untuk ikut andil dalam berbagai
kegiatan yang berbasis kenegaraan, misalnya ikut serta dalam organisasi kemasyarakatan seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan sejenisnya yang bertujuan untuk mendidik para generasi muda
menjadi kader-kader yang berwawasan agamis dan nasionalis. Ataupun minimal mengikuti
kegiatan sosial masyarakat di lingkungannya, seperti aktif menjadi anggota karang taruna. Ini
menunjukkan betapa pentingnya kiai untuk mengenali pola perilaku dan pikiran para santrinya.
Sejatinya, kehidupan santri di pondok pesantren bersifat komunalistik, di mana tata pergaulan
di antara para santri tidak tersekat oleh tradisi kehidupan yang individualistik. Berbagai santri
berasal dari daerah-daerah yang berbeda, tetapi kemudian dalam kehidupan pesantren menjadi
satu kesatuan utuh di bawah kebesaran kiai. Kehidupan sehari-hari yang menampakkan komunal,
seperti kebiasaan makan dan minum, belajar, serta tidur bersama merupakan tindakan yang
mudah membentuk ikatan-ikatan sosial di mana pengaruh terhadap masing-masing individu
sangat kuat. Para santri yang menamatkan belajar di pondok pesantren kemudian kembali ke
kampung halamannya membentuk organisasi atau perkumpulan yang menghimpun masyarakat
setempat. Suatu bentuk jaringan sosial yang berfungsi menghubungkan kepentingan pondok
pesantren dengan pihak-pihak yang tersebar dalam kehidupan masyarakat.
Hal inilah tampaknya kurang diperhatikan oleh sebagian pondok pesantren kecil maupun
besar. Kebanyakan dari pondok pesantren hanya memfokuskan kurikulum pembelajarannya pada
segi agama saja, sesuai dengan fungsi utamanya. Pandangan atau ajaran-ajaran yang berbasis
kenegaraan dan sosial kurang ditanamkan kepada para santri. Sehingga santri
yang awam terhadap pendidikan kewarganegaraan akan merasa asing ketika berbicara mengenai
kewajibannya terhadap negara di samping agama.
Faktor lain yang menjadi penyebab utama adalah tipe pondok pesantren yang memiliki ciri
khas berbeda. Pondok pesantren di Indonesia umumnya dibagi menjadi dua, yakni pondok
pesantren tradisional (salaf) dan pondok pesantren modern (khalaf). Pondok pesantren salaf
memiliki unsur-unsur internal yang sederhana, yakni masih menampakkan homogenitas tinggi
dan jenis pendidikannya sederhana atau tradisional. Kiai mendominasi sistem pengajaran dan
pendidikan. Selain itu, hubungan santri dengan kiai dilakukan secara langsung atau bertatap
muka. Dalam hal ini, unsur kiai sangat kuat. Di samping karena faktor komunitas yang tidak
kompleks dalam membentuk ikatan-ikatan sosial, juga faktor materi pengajaran kitab yang sarat
dengan nilai-nilai religius dapat membentuk hubungan santri dan kiai dalam bingkai legitimasi
agama. Dari sini diketahui betapa besar kepatuhan seorang santri terhadap kiai di pondok
pesantren salaf.
Namun model hubungan seperti ini memudar ketika mempelajari ikatan-ikatan sosial yang
menggejala di pondok pesantren khalaf. Sifat yang dimiliki pondok pesantren ini cenderung
memasukkan unsur-unsur luar pesantren menjadi bagian dari sistem pembelajaran di pesantren.
Bentuk pesantren khalaf ditandai dengan pendidikan sekolah yang menggunakan kurikulum
formal, dan setiap alumnus di pondok pesantren khalaf diberikan ijazah yang diakui legalitasnya
oleh pemerintah.
Jika dicermati, hubungan santri dan kiai di pondok pesantren cenderung longgar dan tidak
sekuat seperti pondok pesantren salaf. Hal itu disebabkan karena proses pendidikan dan
pengajaran tidak lagi didominasi oleh peran kiai, melainkan oleh pihak-pihak di sekolah yang
dimiliki oleh pondok pesantren khalaf sebagai pembuat kebijakan pendidikan formal. Selain itu,
ciri yang bisa ditemukan antara pondok pesantren khalaf dan pondok pesantren salaf adalah,
pada pondok pesantren khalaf materi-materi yang diajarkan bersifat umum seperti pendidikan
kewarganegaraan, matematika, ekonomi, teknologi, dan sebagainya, yang tidak mungkin
diajarkan oleh kiai sendiri. Sehingga dapat secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa hubungan
antara kiai dan santri di pondok pesantren khalaf tidak secara intens. Para santri cenderung
menjalin komunikasi aktif dengan gurunya.
Kendati demikian, tidak sedikit pondok-pondok pesantren salaf yang lambat laun berubah
menjadi pondok pesantren khalaf, seperti pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, pondok
pesantren Lirboyo Kediri, dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena perkembangan ilmu
pengetahuan yang menuntut agar setiap individu dapat berwawasan luas guna menjaga dirinya
dari arus derasnya modernisasi.
Fenomena tersebut di atas merupakan model hubungan yang menjadi penentu dalam atau
tidaknya pemahaman para santri terhadap nasionalisme bangsanya. Hendaknya pemahaman
kenegaraan seperti ini masih dipertahankan di lembaga pendidikan manapun. Karena urgensi
yang dimilikinya akan menjadi barometer kesuksesan pembangunan negara. Negara tidak akan
mampu berkembang jika tidak mendapat dukungan positif dan aksi nyata dari rakyatnya.
Mungkin fakta semacam ini adalah benih dari masalah besar yang akan muncul di kemudian
hari. Santri yang identik dengan korban dogma oleh kiainya selayaknya tidak hanya mempelajari
ilmu agama saja, melainkan juga ilmu kewarganegaraan yang pada dasarnya akan
menguntungkan dirinya dan orang lain, terlebih untuk negaranya sendiri. Pendidikan sejak dini
terhadap pemahaman tersebut mutlak diperlukan. Peran-peran dari pihak-pihak terkait,
khsusunya kiai sebagai seorang panutan menjadi alternatif utama dalam pengembangan kualitas
anak didiknya. Sehingga diharapkan agar kepemilikan jiwa nasionalis tidak tumbuh secara
sepihak, melainkan mencakup seluruh unsur yang ada dalam kehidupan masyarakat.
2 Dalam buku Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai; Konstruksi Sosial Berbasis Agama,
(Surabaya: LKIS Yogyakarta, 2007), hlm. 230-231
3 Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), hlm. 79