Anda di halaman 1dari 99

Pra Sekolah

STIMULASI GERAK SILANG UNTUK


KOORDINASI OTAK
Lakukan sambil bermain kala bayi telentang atau tengkurap.
Stimulasi gerak silang bisa dilakukan pada semua usia, tetapi sebaiknya dimulai di usia
bayi. Alasannya, di usia bayi otak tengah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jika
stimulasi gerak silang diberikan mulai di usia ini, maka keseimbangan otak kanan dan
kirinya lebih mudah diasah. Begitu pula koordinasi motoriknya.
Untuk bayi usia awal, stimulasi gerak silang diberikan kepada bayi dalam posisi
ditelentangkan. Kemudian gerakkan kaki dan tangan si kecil secara bersilangan. Tangan kiri
digerakkan bersamaan dengan kaki kanan, tangan kanan digerakkan berbarengan dengan
kaki kiri. Inilah gerakan menyilang.
Perhatikan pula tahapan perkembangan yang sudah harus dicapai. Di akhir usia 3 bulan,
misalnya, bayi sudah harus bisa membolak-balikkan badannya. Stimulasi gerak silang yang
merangsang kekuatan otot tangan dan badan besar (trunk) dapat dimanfaatkan untuk
meraih kemampuan itu. Dengan kata lain, stimulasi diberikan untuk mendapat apa yang
tengah dibutuhkan si kecil. Jangan lupa, lakukan latihan sambil bermain.
Selain berupa rangsang gerak, latihan gerak silang bayi dapat dilakukan dengan memberi
bayi rangsang raba, misalnya kelitiki tubuhnya perlahan. Stimulasi ini akan membuat kaki
dan tangan bayi bergerak silang. Prinsipnya, stimulus gerakan tersebut bisa berupa suatu
rangsang gerakan atau rangsang raba. Coba perhatikan, kalau salah satu kakinya diraba,
saraf-saraf peraba di kakinya akan merespons dengan gerak refleks menghindar.
Setelah berusia 4 bulanan, bayi mulai berusaha mengambil benda yang ada di hadapannya
dengan cara mengesot. Untuk menstimulasinya, perlihatkan mainan atau benda aman
lainnya di hadapan bayi. Ketika Ia mulai beringsut, jauhkan sedikit demi sedikit benda yang
menjadi incarannya. Lalu, biarkan bayi meraih benda itu sebagai reward bagi usahanya.
Secara tak langsung "alam" memang sudah mengondisikan otak kanan dan kiri bayi untuk
melatih koordinasi mata dan gerak motoriknya. Fase koordinasi ini terbentuk agar si kecil
dapat melakukan gerak silang yang lebih kompleks seperti mengesot tadi dan merangkak di
usia 8-9 bulan.
Fase koordinasi awalnya dilakukan lewat perangsangan indra perabaan, pendengaran, dan
penglihatan. Semua bentuk rangsang tersebut membentuk dasar-dasar kemampuan
sensori. Ketika bayi sudah bisa mengoordinasikan semua hal tadi, barulah muncul
kemampuan gerak. Gerak inilah yang akan merangsang kemampuan motorik untuk
melakukan persepsi. Dengan cara ini bayi bisa mengartikan apa yang dia lihat, dia dengar,
dia raba dan dia gerakkan, sebelum akhirnya masuk pada kemampuan konseptual dimana
sel-sel saraf di otak sudah bisa berfungsi optimal.
Nah, stimulasi gerak silang di usia bayi selain bermanfaat dalam mengaktifkan hubungan
otak kanan dan kiri, juga membantu koordinasi indra pendengaran, penglihatan, perabaan
dan koordinasi motorik gerak bayi. Semakin berkembang otaknya, maka semakin optimal
pula kemajuannya. Inilah yang kelak menjadi cikal bakal pembentukan kemampuan
memori, konsentrasi, membaca, menulis, menghitung, berbahasa dan kemampuan lainnya
di tahapan usia berikut.
PERSILANGAN OTAK

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

Otak atau pusat persarafan, terbagi menjadi dua bagian yaitu otak belahan kanan dan otak
belahan kiri. Otak kanan berkaitan dengan kreativitas, intuisi dan seni. Dengan kata lain
lebih mengarah ke abstraksi, imajinasi, dan konseptual. Sementara otak belahan kiri lebih
terkait pada kemampuan menganalisis dan berpikir logis, mengarah pada sesuatu yang
dihafal dan yang bersifat rutin. Kemampuan bahasa melibatkan fungsi kedua belahan
tersebut. Otak belahan kiri lebih banyak bekerja untuk pembentukan struktur bahasa,
sedangkan ide pemahaman akan bahasa dihasilkan oleh belahan otak kanan.
Ada benarnya jika dikatakan belahan otak kanan mengatur anggota tubuh bagian kiri dan
otak belahan kiri mengatur anggota tubuh bagian kanan karena memang ada gerak silang
seperti itu. Perlu diketahui, daras atau serabut-serabut saraf yang mempersarafi organ
tubuh belahan kanan maupun kiri secara garis besar memiliki topografi yang bersilangan di
otak. Artinya, serabut saraf yang mempersarafi organ kaki dan tangan sebelah kanan akan
berhubungan dengan serabut persarafan di otak sebelah kiri. Begitu pula sebaliknya.
Namun, tak berarti belahan kanan dan kiri terpisah sama sekali. Karena tetap ada serabutserabut saraf yang senantiasa berhubungan dengan belahan otak yang sama. Konkretnya,
serabut saraf organ tubuh kanan tetap ada yang bersambungan dengan otak sebelah
kanan. Meski jumlah serabut saraf yang berada di belahan yang sama tidak sebanyak saraf
yang bersilangan. Ini sangat masuk akal karena jika serabut saraf yang saling bersilangan
terpisah sama sekali dan tidak ada yang menyambung pada belahan yang sama, tentu tidak
pernah akan ada titik temunya. Akibatnya, pastilah tak mungkin terjadi koordinasi.
Tersambungnya serabut-serabut saraf organ tubuh dengan belahan otak dari sisi yang sama
memungkinkan belahan otak yang satunya lagi masih dapat mengambil alih fungsi untuk
mengatur belahan tubuh yang sama saat ada sesuatu yang tak beres pada belahan otak
yang bersebelahan.
NORMAL WALAU TIDAK MERANGKAK
Merangkak di usia bayi juga merupakan gerak silang yang dapat menstimulasi koordinasi
gerak anggota tubuhnya. Kemampuan koordinasi ini tentu akan memengaruhi kemampuan
koordinasi lainnya.
Akan tetapi baik Irawan maupun Vitri kurang setuju bila dikatakan bayi yang tidak
mengalami fase merangkak akan menemui hambatan di usia besarnya. Vitri mencontohkan
anak yang tidak cepat memberi respons saat menerima instruksi. Perjalanan ke arah itu
cukup jauh sekali. Bukankah untuk bisa memahami instruksi, anak perlu konsentrasi?
Sementara untuk bisa memahami arti instruksi itu sendiri, anak perlu menguasai bahasa
reseptif. Jadi, kalau anak tak cepat memberi respons, sangat mungkin kendalanya ada di
dalam salah satu prasyarat kemampuan tadi. Apakah mungkin persepsi auditorinya yang
tak berkembang baik, ada saraf di otaknya yang bermasalah, atau berbagai kemungkinan
lainnya.
Begitu pula anak mengalami gangguan koordinasi. Tentu bukan semata-mata karena dia
tidak merangkak di usia bayi. Soalnya, ada begitu banyak kemungkinan lain yang menjadi
faktor penyebab. Contoh, ada trauma yang menyebabkan salah satu saraf koordinasinya
terganggu. Jadi, bukan berarti jika bayi tak melalui tahapan merangkak di usia 8-9 bulan,
pasti akan berdampak langsung pada tingkat kecerdasannya kelak.
Namun, sebaiknya konsultasikan kondisi si kecil pada dokter anak, apakah tidak merangkak
ini sebagai sesuatu yang normal atau abnormal. Kalau memang disebabkan gangguan
tertentu, mau tidak mau gangguan itulah yang harus diatasi sebelum melanjutkannya
dengan pemberian stimulasi yang sesuai. [ Dedeh Kurniasih / Nakita]

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

DATANGLAH KE RUMAHKU YANG INDAH!


Permainan rumah-rumahan bersifat aktif, banyak melibatkan gerak dan ada tantangan di
dalamnya.

Akhir-akhir

ini, Riri (4 tahun) amat senang bermain rumah-

rumahan. Hari ini, ia menjadikan kolong meja makan sebagai


tempat berteduhnya. Kemarin, tiang jemuran yang jadi sasaran
empuk buat dijadikan rumah-rumahan. Kali lain, kardus besar di
garasi dianggap sebagai sarangnya.
Apa yang dilakukan Riri memang disukai anak-anak seusianya.
Berdasarkan kajian psikologi, usia 4-5 tahun adalah masa kanakkanak awal (early childhood) dimana dikenal pula sebagai masa
permainan (toy stage) atau masa bermain (play age). Melalui
bermain, anak di rentang usia ini mengeksplorasi lingkungannya
untuk
berkembang
memahami
dunia,
melatih
berbagai
keterampilan, serta mengasah perkembangan fisik-motorik,
mental-kognitif, emosi-sosial, dan kepribadiannya. Oleh karenanya masa kanak-kanak awal
juga dikenal sebagai masa eksplorasi dan masa penuh keingintahuan dan masa banyak
bertanya.
Minat bermain pada anak usia prasekolah ini berkaitan dengan kematangan untuk
melakukan suatu permainan dan juga dipengaruhi oleh ling-kungan di mana mereka
tumbuh. Sebagai contoh, anak dengan inteligensia yang lebih tinggi akan menunjukkan
ketertarikan yang lebih tinggi pula terhadap permainan drama atau kegiatan kreatif dimana
dibutuhkan kemampuan imajinasi, kemampuan mengikuti petunjuk, dan pengerjaan yang
lebih kompleks.
IMAJINASI DAN KREATIVITAS
Nah, salah satu permainan yang digemari anak usia 4-5 tahun adalah main rumah-rumahan
dengan menciptakan "lingkungan rumah mini". Di dalamnya, anak bermain pura-pura
(roleplay) melakukan berbagai seluruh aktivitas rumahan.
Bermain pura-pura, seperti rumah-rumahan ini membutuhkan imajinasi dan kreativitas
yang lebih tinggi dibandingkan permainan "sudah jadi" pada umumnya. Munculnya ide
bermain rumah-rumahan bisa berasal dari kreativitas murni yang ditemukannya,
pengulangan pengalaman sebelumnya, arahan dari orangtua, atau meniru apa yang pernah
dilakukan kakak atau temannya. Bisa juga anak prasekolah melakukan permainan rumahrumahan sebagai pengembangan dari permainan lain yang nuansa atau cara bermainnya
dekat dengan main rumah-rumahan, misalnya permainan hide and seek atau petak umpet.
Permainan rumah-rumahan bersifat aktif, banyak melibatkan gerak, dan ada tantangan di
dalamnya. Anak menyukainya lantaran dapat mendatangkan kegembiraan. Jika permainan
ini dihentikan manakala ia belum puas, tentu saja akan mendatangkan kekecewaan yang
hebat.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

Konsep anak mengenai "rumah" tentu saja masih sederhana dan


bersifat konkret, yaitu tempat ia dan keluarganya tinggal serta
melakukan berbagai kegiatan rutin yang dikenalnya, seperti
makan, minum, dan tidur. Ia juga sudah dapat "mengatur" tata
ruang dan perabotannya untuk kegiatan sehari-hari. Oleh
karenanya, permainan rumah-rumahan bisa digunakan orangtua
untuk mengetahui persepsi anak mengenai situasi rumah
sesungguhnya. Bagaimana peran ayah dan ibunya, atau hubungan
ayah-ibu-anak yang ditangkapnya akan ditunjukkan dalam
permainan rumah-rumahan. Umumnya ia akan memainkan berbagai fungsi rumah
berdasarkan hal yang paling sering ditangkapnya, seperti tempat makan dan minum, tidur,
belajar, serta berkomunikasi antaranggota keluarga.
KETERLIBATAN ORANGTUA
Permainan rumah-rumahan membutuhkan beberapa partisipan, paling tidak dua atau tiga
orang. Anak usia 4-5 tahun akan mengharapkan kehadiran dan keterlibatan orangtua dalam
permainan rumah-rumahan ini, terutama jika tidak ada anak yang lebih besar yang
memimpin permainan tersebut. Menyadari fungsi bermain bagi anak, sudah selayaknya
orangtua ikut terlibat dalam aktivitas ini. Tingkat keterlibatan tergantung pada situasi dan
kondisi serta harapan spesifik anak terhadap keterlibatan orangtua.
Anak usia prasekolah yang sudah sering mengulangnya kadang bisa mandiri memimpin
permainan rumah-rumahan tanpa kehadiran anak yang lebih besar atau keterlibatan
orangtua.
Permainan ini membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan jenis permainan
lainnya. Orangtua hendaknya menyediakan waktu dan perhatian untuk kegiatan tersebut.
Lantaran itu, arahkan agar permainan tersebut dilakukan pada hari-hari atau waktu yang
relatif lowong.

MANFAATNYA APA SAJA?


* Mengajarkan berbagai keterampilan motorik halus dan kasar, dari membentangkan kain,
mengikat kain ke kursi, atau menghubungkan kain yang pendek menjadi panjang, menata
ruangan, mengira-ngira panjang-pendek suatu barang, mengangkat-memindahkan-menata
berbagai barang, dan sebagainya.
* Bisa menjadi ajang perkembangan sosial, seperti keterampilan bekerja sama, sikap mau
mengalah dan kompromi, mematuhi perintah, memahami aturan permainan yang
disepakati. Termasuk mengembangkan sikap kepemimpinan (yang satu ini bergantung pada
peran yang dimainkan anak).
* Permainan rumah-rumahan dengan setting cerita yang spesifik bisa menjadi ajang
pengembangan emosi seperti melatih empati dan perkembangan karakter berupa
pemahaman tanggung jawab dan disiplin.
* Anak bisa mengembangkan imajinasinya, mengembangkan cerita dan berbagai kejadian
yang menurutnya biasa terjadi di rumah.
* Mendekatkan atau mengakrabkan hubungan orangtua-anak.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

BENTUK KETERLIBATAN ORANGTUA


Orangtua dapat membantu anak dengan menyiapkan berbagai barang keperluan seperti:
* Beberapa lembar kain sprei/selimut/kain panjang untuk dibentangkan sebagai dinding dan
atap.
* Karpet/tikar sebagai alas.
* Kasur tipis atau bedcover untuk tempat tidur serta beberapa bantal kecil.
* Perabot makan dan minum mainan atau sungguhan yang terbuat dari plastik.
* Berbagai peralatan tambahan lainnya yang dibutuhkan anak, seperti boneka, peralatan
rumah tangga mini untuk memasak, tas belanja, alat berhias, mobil-mobilan, buku, dan
lainnya.
Agar permainan ini memberi manfaat yang besar bagi anak, maka orangtua hendaknya:
* Membantu mengarahkan setting cerita tetapi bebaskan anak mengembangkan ide
jalannya permainan.
* Merespons positif jalannya permainan agar memberi kesenangan dan kegembiraan serta
kepuasan yang besar bagi anak.
* Melepas kendali secara perlahan agar pada kesempatan berikutnya anak dapat mandiri
menjalankan permainan ini.
* Memberi peran yang menonjol kepada anak dengan tujuan menstimulasi berbagai aspek
perkembangannya.

MAIN DI RUMAH MINI


Bagaimana dengan (mainan) rumah-rumahan yang persis rumah sungguhan hanya saja
ukurannya lebih kecil. Tentu saja anak-anak sangat senang bermain di dalamnya. Namun,
harganya memang relatif mahal.
Dengan rumah-rumahan mini, imajinasi yang dapat mengubah rumah sprei menjadi rumah
cantik memang kurang tergali, akan tetapi tetap ada nilai-nilai positif yang bisa dipetik
darinya. Contoh, anak dapat belajar tatacara menerima tamu, menyuguhkan sajian
minuman atau makanan, tatacara menyapa dan beramah tamah. Dengan begitu, daya
imajinasi anak tetap terasah. Nah, agar ia tetap kreatif, ajaklah untuk membuat berbagai
setting cerita. Misalnya, saat sedang kedatangan tamu-tamuan, tiba-tiba seekor kucing
mengambil makanan si tuan rumah yang ada di dapur. Nah bagaimana cerita selanjutnya?
Silakan dikarang ya!
Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

PUNYAKU LEBIH KEREN DARIPADA


PUNYAMU!
Sumber masalah yang menyebabkan si prasekolah tak mau tersaingi adalah rasa iri.

"Eh, aku punya sepeda baru, lo," ujar Tony pada temannya,

Andri. Mendengar itu, Andri bukannya ikut senang, tapi malah


membalasnya dengan ucapan, "Aku juga nanti punya sepeda
baru. Besok mau dibeliin Mama!"
Cerita lain, Susan mengungkapkan kegembiraannya akan
kemampuan barunya pada sang teman. "Reny, aku sudah bisa
balet, nih. Mau lihat enggak?"
Tapi coba tebak apa jawaban sang teman? "Kalau cuma balet, aku juga bisa kok!"
Ketus. Begitulah kesan yang tersirat dari jawaban Andri maupun Reny. Mereka bersikap
begitu lantaran tidak mau tersaingi oleh temannya. Awalnya, mungkin mereka ikut senang
mendengar temannya memiliki mainan baru. Akan tetapi, lama-kelamaan hati terasa
"panas" karena muncul bibit persaingan yang terselubung.
Kenapa si prasekolah tidak mau tersaingi? Tak lain karena rasa iri. Perasaan ini muncul
begitu si teman menunjukkan kemampuan atau kepemilikannya. Kondisi ini diperparah
dengan adanya perhatian dari lingkungan sekitar yang beralih pada si "pesaing" itu.
Misalnya, guru memuji teman yang sudah bisa balet, sedangkan terhadap si anak tidak
demikian. Akibatnya tumbuhlah perasaan iri.
Menurut kajian ilmu psiko-logi, si usia prasekolah sedang memasuki masa ego yang tinggi
atau memandang segalanya dari sudut pandang sendiri. Di sisi lain, ia pun sedang berusaha
mencari perhatian dan ingin menunjukkan dialah yang paling pantas diperhatikan. Begitu
sensitifnya perasaan si prasekolah, maka bisa tumbuh dalam benaknya bahwa teman yang
memiliki kemampuan lebih atau sesuatu yang baru dan lebih bagus merupakan "ancaman".
Ekspresinya jadi terkesan ketus atau bahkan uring-uringan karena merasa tersaingi.
Tak perlu khawatir, seiring waktu berjalan, jika kecerdasan emosional anak terus diasah
maka rasa iri dan tidak mau tersaingi ini secara perlahan akan memudar. Meskipun sifat
persaingan akan terbawa sampai besar, tetapi arahnya sudah konstruktif. Misalnya, "Wah,
temanku sudah bisa balet, aku juga harus bisa ah."
BERI PENJELASAN
Lantas, apa yang dapat kita lakukan untuk mengasah kecerdasan emosi anak dalam rangka
berkompetisi ini?
* Cari tahu penyebab rasa iri
Apakah lantaran sobatnya baru bercerita soal mainan baru sehingga dia jadi merasa tak
diperhatikan teman-teman lainnya?
Cobalah gali perasaan si prasekolah. Ajaklah dia bicara dari hati ke hati. Jangan putus asa
bila anak tetap "mengunci" mulutnya dan enggan menyampaikan alasan. Lontarkan saja
beberapa kemungkinan yang bisa menjadi pencetus munculnya rasa iri dalam diri si

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

prasekolah. "Kamu tidak suka sama Tasya karena dia pamer boneka baru, ya?
Memang tak semua anak mampu mengeluarkan unek-uneknya. Jika cara tadi tidak berhasil,
coba lakukan pendekatan lain. Misalnya, menceritakan pengalaman ibu/ayah ketika masa
kecil dulu. "Waktu Mama seumur kamu, teman Mama juga suka pamer boneka barunya.
Mama juga sempat iri, tapi akhirnya Mama dan teman itu main sama-sama lagi. Malah
Mama boleh pinjam boneka barunya." Dengan begitu, moga-moga saja si prasekolah mulai
terbuka dan mau menceritakan perasaannya. Setelah unek-uneknya keluar akan lebih
mudah mendorongnya untuk berteman kembali dan tidak iri.
* Beri Penjelasan
Bila sudah diketahui penyebabnya, sampaikan alasan yang mudah dipahami. Misalnya,
"Kakak enggak perlu iri sama teman yang sudah lebih dulu bisa menari. Nanti juga Kakak
pandai menari, asalkan berlatih yang rajin ya." Atau, "Kakak enggak perlu iri kalau ada
teman yang punya sepeda baru. Sepeda Kakak kan juga bagus meski sudah lebih lama,
apalagi kalau dibersihkan." Penjelasan yang tepat akan memotivasi anak untuk
memaksimalkan kemampuannya atau menghargai sesuatu yang sudah dimilikinya.
* Mengajarkan konsep berbagi
Agar anak tak mudah merasa iri pada teman, ajarkan juga tentang konsep berbagi.
Misalnya, saat bermain bersama teman, mintalah anak untuk mau meminjamkan
mainannya. Bila mainannya hanya satu maka mintalah ia untuk mau bergantian dengan
yang lain. Begitu pula saat ia punya mainan baru, mintalah agar ia mengajak temannya
bermain bersama.
* Terapkan reward & punishment berupa pujian dan teguran
Kemudian, ketika anak mulai dapat berbagi dengan teman berilah pujian. "Nah, begitu
dong, pinjami mainanmu pada teman." Akan tetapi kalau si prasekolah enggan
meminjamkan mainannya atau bahkan pelit, tegurlah baik-baik. Dengan begitu ia belajar,
mana perilaku yang baik dan mana yang sebaliknya. Secara prinsip, reward dan punishment
membantu si kecil mengembangkan perilaku yang baik agar ia bisa diterima lingkungannya.

PERSAINGAN BERNILAI POSITIF


Persaingan sebenarnya memiliki nilai positif bagi anak. Perasaan tersaingi dapat membantu
anak menjadi lebih matang. Namun tentunya persaingan ini mesti sehat, bersifat
konstruktif, yaitu dapat memotivasinya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Etos ini
akan sangat bermanfaat dalam kehidupan yang memang dipenuhi persaingan.
Sebaliknya, jika rasa tersaingi dibiarkan berkembang menjadi negatif dan terbawa hingga
dewasa, alhasil kepribadiannya menjadi kurang matang. Umumnya, lingkungan sosial
kurang menyukai seseorang yang mudah iri.
Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi/NAKITA
Konsultan ahli: Dewi Romadhona, Psi dari Marvin Treatment and Education Centre,
Jakarta

"Berantem-Beranteman Yuk, Ciat...Dor...Dor!"


Agar tidak terjadi perkelahian sungguhan, orangtua jadilah penengah.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

Tedy (5 tahun) mengepalkan tangannya. Tatapannya lurus ke

depan. Dengan sigap dia menunjukkan jurus-jurus menyerang


bak seorang jagoan. Tak jauh di hadapannya tampak Andy
mengacungkan-acungkan pedang bermaksud menantang.
Rupanya mereka siap bertarung. Dalam hitungan detik, Tedy
melesat hendak meninju wajah lawannya. "Ciaat...!" Namun,
Andy menangkis lalu menusukkan pedang ke perut Tedy.
Aduh, aduh, tapi sudah deh, tak perlu keburu khawatir. Adegan perkelahian itu pura-pura
saja kok. Anak-anak usia prasekolah memang umumnya menyukai aktivitas ataupun
permainan yang mengerahkan semua anggota tubuh. Termasuk pura-pura berkelahi. Dalam
bahasa psikologi, apa yang dilakukan Tedy dan Andy disebut juga permainan dramatisasi.
Pertarungan yang terjadi di antara mereka memang seolah nyata. Apalagi aksi atau gaya
mereka kelihatan sangat heboh.
MENIRU TAYANGAN TEVE
Aksi "perkelahian" yang dilakukan si prasekolah tentunya merupakan proses peniruan dari
lingkungan, terutama tayangan teve di rumah. Sudah menjadi rahasia umum, tak sedikit
sinetron, film, atau iklan yang bertema kekerasan. Iya kan? Alhasil, anak mencontoh apa
yang dilihatnya. Bahkan efek peniruan itu bisa sampai memengaruhi pola pikirnya. Coba
perhatikan, terkadang anak berpura-pura sebagai sosok jagoan seperti Power Ranger atau
Superman.
Sebenarnya, asal tak sampai berkelahi betulan, bukan masalah jika si prasekolah main
perang-perangan entah menggunakan pistol-pistolan maupun pedang-pedangan. Meskipun
bernuansa "kekerasan" tapi toh pada dasarnya permainan ini tak berbeda dari dramatisasi
lainnya seperti main dokter-dokteran atau berpura-pura menjadi guru dan murid.
Dengan demikian, dramatisasi perkelahian pun sebenarnya memiliki nilai positif, antara lain:
* Merangsang imajinasi
Imajinasi atau daya khayal si kecil makin terasah dan berkembang. Anak belajar
memerankan sosok atau tokoh yang diinginkannya. Misalnya, dia berkhayal menjadi jagoan
pembela kebenaran ataupun musuh yang jahat. Saat bermain, si A mungkin memerankan
tokoh polisi yang mengejar si B yang berperan sebagai penjahat. Kali lain, si B yang
memerankan tokoh penyelamat dan berusaha memberantas kejahatan yang sosoknya
diperankan A. Begitu sebaliknya. Masing-masing bergiliran memainkan peran jagoan
sekaligus memerankan sosok antagonis. Dengan begitu, dia dapat merasakan peran
superhero maupun penjahat buronan.
* Energi tubuh tersalurkan
Anak usia ini boleh dibilang memiliki energi 'berlebih". Secara fisik, ia sedang aktif-aktifnya.
Alhasil, dia perlu melakukan kegiatan yang bersifat fisik-motorik. Dengan bermain pura-pura
berantem atau perang-perangan, si prasekolah dapat menyalurkan kebutuhannya sekaligus
melatih kemampuan motorik kasar. Tentu saja, bila kebutuhannya itu sudah tersalurkan,
anak akan merasa puas. Coba saja kalau dilarang, bisa saja perkembangan motorik
kasarnya terlambat, begitu pun kebutuhan eksplorasi dan imajinasinya. Bahkan kalau
ditimbang-timbang, barangkali permainan "kekerasan" seperti ini lebih bernilai positif
dibanding usil melulu mengganggu adiknya sampai menangis. Bukan begitu?
* Belajar mengenal emosi

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

Bermain pura-pura berkelahi atau perang-perangan juga secara tak langsung membuat
anak belajar mengenal emosi. Misalnya, ketika marah, ekspresi wajah tampak "sangar".
Saat merasa takut, dia menangis atau gemetar. Atau kalau sakit, ia meringis dan
sebagainya. Manfaat berikutnya, anak belajar bagaimana mengontrol emosinya itu.
JANGAN AGRESIF
Walaupun permainan "berkelahi" dan perang-perangan sarat nilai, tapi juga perlu
diperhatikan efek negatif yang bisa ditimbulkan. Berikut di antaranya:
* Ingin menang sendiri
Harap diingat, dalam diri anak usia prasekolah masih tertanam sifat egois yang cukup besar.
Jangan heran jika dalam setiap bermain apa pun jenisnya, termasuk main dramatisasi ini,
anak selalu ingin menjadi pihak yang menang. Apalagi perang-perangan dan pura-pura
berkelahi pada dasarnya adalah permainan menang-kalah. Alhasil, si prasekolah cuma
berpikir bagaimana supaya bisa mengalahkan "lawannya" dan meraih kemenangan. Dia tak
peduli lagi bagaimana caranya apakah dengan sikap licik atau curang. Apalagi jika si anak
memerankan sosok jagoan. Tentu ia ingin jadi pemenang. Padahal, bisa saja sebenarnya
sang jagoanlah yang kalah, ya kan?
* Menjadi agresif
Tentu saja, permainan "kekerasan" ini dapat memicu agresivitas anak. Kenapa begitu?
Soalnya emosi anak usia prasekolah masih tergolong labil dan cenderung negatif. Misalnya,
ia masih lebih sering memunculkan sikap marah. Tentu saja, bila emosi negatif si prasekolah
sedang keluar dan di saat yang sama dia bermain perang-perangan atau pura-pura
berkelahi, bisa jadi rasa marahnya diluapkan dengan cara bertindak kekerasan.
Contoh konkretnya, mungkin awalnya dia bermain pukul-pukulan. Tapi bisa saja
"perkelahian" yang tadinya pura-pura lantas berkembang menjadi sungguhan jika ada
pencetusnya. Misal, tanpa sengaja pukulan temannya betul-betul mengenai wajah. Lalu dia
balas memukul. Akan tetapi, tentunya jangan terlalu khawatir, biasanya enggak sampai
bermusuhan atau berselisih berkepanjangan. Mereka bisa kembali berteman dan bermain
bersama lagi.
TANAMKAN NILAI POSITIF
Sebenarnya, dampak negatif masih bisa diminimalisasi asal kita tahu kuncinya. Adalah
menjadi tugas orangtua untuk mencegah peristiwa yang tak diinginkan, bukan? Caranya:

* Beri penjelasan dan pengertian


Orangtua sebaiknya tak bosan memberi penjelasan dan pengertian pada anak bahwa main
perang-perangan dan berkelahi yang mereka lakukan adalah pura-pura saja. Jangan sampai
terjadi betulan. Misalnya katakan, "Nak, nanti nendangnya pura-pura saja, ya." Kemudian
beri pengertian, "Kalau mukulnya betulan, nanti teman kamu merasa sakit, lo."
Nah, saat menonton film atau siaran teve, entah sinetron atau iklan yang menyajikan
adegan kekerasan, dampingi dan berilah penjelasan bahwa sikap seperti itu sebenarnya
tidak baik. Apalagi anak usia prasekolah masih dalam proses imitasi atau mengadopsi apa
saja yang dilihatnya. Waspadai jangan sampai anak berimajinasi secara berlebihan.
Barangkali Anda pernah mendengar atau membaca berita tentang seorang anak yang
menganiaya neneknya? Itu hanya salah satu contoh nyata yang sangat fatal betapa aksi
kekerasan mudah sekali ditiru anak.
Asal tahu saja, memberikan pengertian dan penjelasan pada anak usia ini tentu tak

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Pra Sekolah

semudah dilakukan terhadap orang dewasa. Agar lebih mudah memberikan arahan, bisa
juga orangtua menggunakan berbagai cara seperti memutar film bertema kerja sama atau
pertemanan, misalnya Winie the Pooh. Film seperti ini mengajarkan pada anak bahwa kita
harus sayang pada orang lain, entah itu teman, saudara, dan terutama orangtua. Film-film
yang bernuansa persahabatan biasanya memiliki nilai moral bahwa kita harus saling
menolong, memahami perasaan orang lain, tidak menyakiti atau berlaku kasar pada orang
lain seperti memukul, menendang dan sebagainya. Berbagai "doktrin" yang positif seperti
itu memang sebaiknya ditanamkan sejak kecil. Alhasil, jika si prasekolah bermain perangperangan atau berkelahi tentu itu sekadar pura-pura atau sebagai sebuah permainan
belaka.
* Menjadi penengah dan mengawasi
Ketika anak bermain perang-perangan atau pura-pura berkelahi, mereka tetap harus
diawasi. Kemudian, apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan, misalnya mereka malah
betul-betul berkelahi, saling memukul, mendorong, menjambak dan sebagainya, segeralah
lerai atau dipisahkan. Tahan anak yang hendak memukul dan segera lindungi anak yang
mau dipukul. Orangtua tak perlu mencari siapa yang duluan memukul, tapi cari tahu
mengapa bisa terjadi perkelahian sungguhan. Kalau sudah diberi penjelasan, biasanya
mereka bisa kembali main bersama. Toh, pada dasarnya anak tak memiliki rasa
permusuhan.
Jika kemudian peristiwa yang sama terulang lagi di kemudian hari, padahal kita sudah
memberi mereka pengertian maka lebih baik alihkan pada permainan yang lain. Tetap
carilah penyebab timbulnya baku hantam. Toh bisa saja, kan, si kecil memukul karena
memang energinya sangat berlebihan. Kalau begitu, tak ada salahnya mencoba
menyalurkan kekuatannya dengan cara mendaftarkannya ke klub olahraga.
* Perhatikan aksesori/alat yang digunakan
Saat bermain perang-perangan sebaiknya perhatikan alat yang digunakan si prasekolah,
apakah bisa membahayakan atau menimbulkan cedera. Misalnya, benarkah pistol mainan
yang digunakan tanpa peluru. Asal tahu saja, tak sedikit anak yang jadi "korban" lantaran
terkena peluru nyasar dari pistol mainan di bagian bola mata atau pelipisnya. Begitu juga
dengan pedang-pedangan yang digunakan, apakah terbuat dari plastik, kayu yang tumpul,
atau justru tajam.
Satu hal lagi, perhatikan sekitar tempat bermain anak. Apakah ada benda yang
membahayakan? Ujung meja yang lancip bisa saja menimbulkan cedera. Jadi sebaiknya
"singkirkan" dulu furnitur atau benda lainnya yang dapat membahayakan agar anak leluasa
bermain.
* Lakukan permainan yang lain
Sebenarnya, anak tak akan agresif jika memang aktivitas atau permainan yang
dilakukannya seimbang. Contoh, kemarin main perang-perangan, hari ini main sekolahsekolahan, lalu besok main berantem-beranteman, dan lusa bermain peran sebagai polisi,
tentara, dan lainnya.
Nah, dengan begitu anak mendapatkan pengalaman yang beragam. Si prasekolah tak cuma
bisa "berkelahi" atau perang-perangan, tapi juga bisa berimajinasi menjadi dokter atau
lainnya. Tentu saja, sehari-hari anak tak akan melulu bermain peran atau dramatisasi,
karena ia akan melakukan aktivitas lain yang tentunya tak kalah mengasyikkan.

MEMPERERAT IKATAN EMOSIONAL


Bermain pukul-pukulan tak hanya dilakukan bersama teman, mungkin Anda juga pernah

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

10

Pra Sekolah

menjadi sasaran "pukulan" si prasekolah? Secara psikologis, justru bermain dengan


orangtua tentu bermanfaat. Apalagi, ayah dan ibu tentu tak akan marah dan membalas jika
kena pukul betulan. Coba kalau temannya yang kena pukul, mungkin saja balik membalas.
Selain itu, bermain seperti ini dapat mempererat ikatan emosional antara anak dan
orangtua. Asal tahu saja, anak akan merasa senang jika ajakan bermain kita tanggapi
dengan baik.
Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

11

Pra Sekolah

BILA SI KECIL DOYAN JAJAN


Jajan sesekali tentu mengasyikkan tapi jangan sampai si kecil menjadikannya kebiasaan.

Aduh Runi, kok jajan terus sih? Makan siang kamu saja masih utuh!"
keluh Rona pada putrinya yang berusia 4 tahun. "Nanti aku makan
deh, Ma, sekarang mau beli cokelat dulu."
Rona menatap Runi, "Lo, tadi kamu kan sudah beli biskuit. Masak mau
ke warung lagi sih beli cokelat?"
"Cokelatnya baru Ma. Ada wafernya. Boleh ya Ma?" Akhirnya Rona pun
mengangguk-angguk memberi izin.
Si kecil punya "hobi" jajan seperti Runi? Ternyata penyebabnya
berkaitan dengan keingintahuan anak prasekolah yang memang
sedang tinggi, termasuk soal jajan ini. Saat bertandang ke
supermarket atau warung dekat rumah, ia ingin mengeksplorasi cita rasa dari berbagai
jajanan yang bentuk dan warnanya begitu menggoda. Namun, tentu kondisi ini tidak dapat
dibiarkan begitu saja. Satu-dua kali boleh-boleh saja si kecil jajan namun kalau sudah
dianggap sebagai kebutuhan, ini yang harus segera ditindaklanjuti.
KESIBUKAN ORANGTUA
Lalu mengapa ada anak yang begitu senang jajan? Berikut beberapa penyebabnya:
* Faktor situasi
Secara tak disadari orangtua mengondisikan anaknya menjadi suka jajan. Seringkali
kesibukan dan ketidakterampilan ibu atau ayah memasak mendorong mereka menyajikan
makanan siap saji yang mudah didapat. Alhasil, anak mengadopsi perilaku orangtuanya
dengan menjadi suka jajan.
* Pengaruh informasi
Iklan-iklan di teve yang sangat kompetitif menggoda si kecil untuk menjadi konsumtif.
Belum lagi, bila ada hadiah atau bonus di dalam kemasannya. Awalnya bisa saja ia lebih
tertarik untuk mengoleksi bonus/hadiah itu tapi lama-kelamaan jadi ingin menyantap
jajanannya pula.
* Orangtua konsumtif
Kebiasaan orangtua membeli barang/makanan secara berlebihan akan mengakibatkan anak
memersepsikan bahwa berbelanja yang benar adalah yang seperti dilakukan orangtuanya.
Setiap kali pergi berjalan-jalan selalu diakhiri dengan berbelanja, umpamanya. Padahal
makanan/barang yang lama masih menumpuk di kulkas atau lemari.
PLUS MINUS JAJAN
Kalau ditelaah secara saksama, sebenarnya ada sisi negatif dan positif dari kebiasaan suka
jajan ini, yaitu:
1. Sisi Negatif
- Menuntut
Anak tak puas dengan makanan yang disediakan di rumah dan selalu menuntut dibelikan

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

12

Pra Sekolah

jajanan karena dianggap lebih enak dan menarik.


- Mengundang penyakit
Makanan yang dipilih anak belum tentu memenuhi kebutuhan gizinya. Justru banyak snack
yang diperuntukkan bagi anak mengandung zat pewarna dan pengawet yang dapat
merugikan kesehatan.
- Sulit makan
Keseringan jajan dapat menurunkan nafsu makan makanan utama karena perut anak selalu
kenyang dengan camilan. Anak jadi sulit makan terutama jika pola makannya belum
terbentuk. Jika pola makannya sudah baik, efek ini bisa diminimalkan.
- Jadi konsumtif atau boros
Anak menghabiskan uang sakunya hanya untuk membeli makanan yang sebenarnya tidak
diperlukan. Kebiasaan ini dapat memicunya meminta uang pada orang lain demi untuk
memenuhi hasrat jajan.
2. Sisi Positif
- Mengasah kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
Saat anak menanyakan harga, rasa, atau apa pun seputar jajanan pada si penjual, secara
tak langsung itu mengasah kemampuan berkomunikasinya. Sama seperti waktu ia
membicarakan iklan di teve dengan temannya, "Eh, enak lo minuman rasa jeruk yang di
teve." Temannya balik berkomentar, "Kalau aku enggak begitu suka itu. Mendingan cokelat
yang bentuknya tipis tapi panjang. Asyik lo." Hal ini, selain secara tidak langsung membuat
anak belajar mengemukakan pendapat, juga mengasah kemampuan bersosialisasinya.
- Mengenal aneka makanan
Sesekali tawari anak untuk jajan makanan ringan dari berbagai daerah di Indonesia. Tentu
perhatikan kandungan gizi, kebersihan, serta keamanan pengawet, pewarna, penambah
rasa, dan sebagainya. Upaya ini akan ikut memperkaya wawasan anak tentang ragam menu
makanan.
AGAR ANAK TAK TERBIASA JAJAN
- Buatlah camilan di rumah
Camilan buatan sendiri lebih terjamin kandungan gizi, kebersihan, dan keamanannya, serta
lebih hemat. Jangan lupa, libatkan si kecil dalam proses pembuatannya. Anak pasti senang
jika bisa ikut menghias dan menata kue-kue buatannya. Segi positifnya, anak akan lebih
bangga pada orangtuanya, "Kue muffin buatan Mama rasanya paling eeenak di dunia."
- Kontrol dan batasi kebiasaan jajanan
Jajan boleh-boleh saja tapi waktunya harus diatur. Untuk itu buatlah peraturan. Contoh,
jangan jajan es jika sedang radang tenggorokan. Hanya boleh membeli jajanan yang bersih
dan bergizi. Perhatikan juga harga dan jumlah jajanannya. Cukup beli satu jenis jajanan
agar anak tidak keburu kekenyangan dan enggan makan makanan utama. Kalaupun ingin
membeli lebih dari satu, simpanlah untuk persediaan bukan untuk dihabiskan sekaligus.
- Jadi contoh yang baik
Tunjukkan contoh dengan membeli kebutuhan secara tidak berlebihan. Bila si kecil
mengambil terlalu banyak makanan ketika berbelanja di supermarket, tegurlah dengan
lembut. Katakan, masih banyak kebutuhan lain yang akan dibeli. Buatlah perjanjian. "Nanti

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

13

Pra Sekolah

kalau di supermarket, Kakak boleh beli snack tapi satu saja ya!"
Tanamkan pada anak bahwa hidup tidak untuk hari ini saja, sehingga ia dapat belajar
hemat. Hemat bukan berarti pelit. Dengan berhemat, kehidupan ekonomi keluarga akan
aman karena menggunakan uang dengan bijaksana. Masalahnya, orangtua kerap tak bisa
menahan diri dan "tergoda" untuk jajan, entah itu membeli bakso yang lewat di depan
rumah atau mampir ke restoran. Contoh seperti ini akan membentuk pola jajan pada anak.
Si kecil jelas tak mau dilarang jajan karena orangtuanya juga suka jajan.
- Ganti kebiasaan jajan
Selain jajan makanan dan minuman, anak juga suka jajan mainan. Perlahan ganti
kebiasaan itu dengan kegiatan lain. Umpamanya, yang dulunya selalu mampir ke toko
mainan setiap ke mal, sekarang ke toko buku. Atau jalan-jalan ke mal diganti menjadi pergi
ke tempat wisata yang bisa menambah pengetahun atau ke tempat sosial seperti panti
asuhan/jompo.
Tanamkan pada anak bahwa mainan baru tak harus produk pabrik, tapi bisa juga dari
barang-barang bekas di sekitar rumah. Contoh, bingkai foto bisa dibuat dari karton yang
ditempeli kancing warna-warni, tempat pensil dari botol minuman mineral yang dihiasi
kertas berwarna cerah dan sebagainya. Anak justru bisa kreatif memanfaatkan barang lama
menjadi sesuatu yang baru.
- Sering-sering menjelaskan
Jika anak marah karena tak diizinkan jajan, beri alasan pelarangan itu dan bersikaplah
tegas. "Kakak jangan jajan di pinggir jalan. Tuh lihat banyak debu. Kotor kan? Mama takut
Kakak jadi sakit." Dengan begitu, anak paham mana jajanan yang boleh dan tidak boleh
dibeli.
Akan tetapi, hindari memberhentikan kebiasaan ini secara ekstrem karena dapat membuat
anak "trauma". Contoh, karena ada ancaman kalau jajan anak akan dijewer, maka ketika
temannya mengajak jajan, dia menolak bukan karena tak mau jajan melainkan lantaran
takut dimarahi orangtua. Akhirnya, anak malah terkucil dari teman-temannya.
Jika si kecil dapat memenuhi kesepakatan jajan hanya sekali dalam sehari umpamanya
jangan sungkan untuk memberikan pujian "Hebat, anak Mama sudah pandai menahan diri
untuk tidak jajan banyak-banyak."
Kalau ia menerima hadiah berupa camilan dalam jumlah banyak dari om, tante atau nenekkakek minta ia agar memakan seperlunya dan menyimpan sisanya untuk esok hari. Dengan
begitu, pola makannya tetap teratur. Nikmati camilan setelah makan agar anak tidak keburu
kenyang.
Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

14

Pra Sekolah

TRIK CERDIK JAWAB PERTANYAAN ANAK


Respons positif orangtua atas pertanyaan si kecil sangat membantu proses berpikir dan
tingkat pemahamannya.

"Bu, mengapa burung bisa terbang? Kok pohon berbuah sih?


Apa nama kendaraan beroda tiga itu?" Duh, si prasekolah
terkadang bikin mumet dengan berbagai pertanyaannya yang
tak kenal waktu. Kalau sudah kehabisan akal, tak jarang
orangtua berujar, "Aduh Kakak bawel amat sih!" Atau
pertanyaannya yang dianggap sepele atau tak logis ditanggapi
dengan jawaban asal-asalan. "Pohon berbuah? Ya...memang
dari sononya begitu. Sudah, ah, Papa mau baca koran lagi!"
Tentu respons orangtua yang asal-asalan amat tidak
disarankan. Paling bijak tanggapi apa pun pertanyaan anak,
yang sepele sekalipun, secara positif. Respons yang baik akan
membantu proses berpikir dan pemahaman si prasekolah kelak.
Juga tak masalah jika ia ternyata masih belum puas dengan
jawaban yang diberikan lantas bertanya lagi, lagi, dan lagi.
Orangtualah yang mesti siap menghadapi "gempuran" pertanyaan itu. Misalnya dengan
lebih rajin membaca buku agar wawasan dan pengetahuan kita makin bertambah.
MENUNJUKKAN MINAT
Mengapa di usia prasekolah anak sangat gemar bertanya? Ada beberapa alasan yang
menyertainya, antara lain:
* Menunjukkan minat. Ragam pertanyaan anak dapat menunjukkan minatnya pada
peristiwa atau pemandangan di sekitarnya. Contoh, si prasekolah bertanya, "Mengapa ayam
yang tadinya satu bisa bertambah jadi tiga?" atau "Ada berapa banyak mobil yang sedang
parkir itu?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini merupakan pertanda anak memiliki minat di
bidang matematika/logika.
* Belum paham. Keingintahuan yang belum terpenuhi akan membuat anak terus bertanya
sampai ia mendapatkan titik terang. Kalau orangtua merasa sudah pernah menjawab tapi
anak tetap melontarkan pertanyaan yang sama, jangan-jangan ia belum memahami
penjelasan yang diberikan.
* Cari perhatian. Kalau si kecil selalu mengajukan pertanyaan yang sama, padahal
orangtua juga sudah berkali-kali menjelaskan, bisa jadi ia sedang caper alias cari perhatian.
Segera cari penyebabnya. Mungkin lantaran si kecil merasa diabaikan karena orangtua tidak
menemaninya bermain, orangtua kelewat sibuk dengan pekerjaan, atau ia merasa
dibedakan dengan kakak atau adiknya. Agar terus mendapat perhatian dari ayah dan
ibunya, si kecil terus menanyakan hal yang sama. Cara ini pun kerap dipakai oleh anak anak
yang sebetulnya tidak kurang perhatian. Namun, ketika perhatian untuknya teralihkan, anak
berusaha mendapatkannya kembali dengan berbagai cara, termasuk banyak bertanya. Oleh
karena itu, lakukan kontak mata saat berkomunikasi agar anak merasa tetap diperhatikan
dan dihargai.
KIAT MENJAWAB
Si kecil sebenarnya tak begitu membutuhkan jawaban panjang lebar, apalagi dengan bahasa

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

15

Pra Sekolah

yang kurang "membumi" karena masih terlalu abstrak di telinga anak. Agar si prasekolah
bisa langsung paham jawaban Anda, berikut kiatnya:
* Hindari penjelasan yang berbelit-belit. Yang dibutuhkan si kecil adalah jawaban dan
penjelasan sederhana dengan bahasa yang sesuai kemampuan berpikirnya.
* Jika masih ragu-ragu dengan jawaban yang akan diberikan, jangan bersikap "sok tahu".
Alih-alih mendapat jawaban yang tepat, anak justru menelan informasi yang ternyata salah.
Singkat kata, orangtua harus jujur atau terus terang kalau tak bisa menjawab.
* Ajak anak untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya yang sulit. Misalnya,
dengan mengajak anak membuka ensiklopedia atau mencari orang yang kira-kira bisa
menjawab pertanyaannya. "Yuk kita tanya kakek, mungkin beliau tahu." Atau, "Bagaimana
kalau kita besok tanyakan kepada ibu guru. Siapa tahu ibu guru bisa jawab." Kelak si kecil
juga belajar bahwa jika mendapati masalah maka dia akan mencari orang yang bisa
membantunya memecahkan masalah yang dihadapi atau membacanya dari berbagai
buku/literatur.
* Ajak anak belajar menganalisis hubungan sebab-akibat. Misalnya, ketika anak bertanya,
"Ma, kenapa orang naik kuda? Kenapa enggak jalan kaki saja kan punya kaki." Cobalah
memancing daya analisis si kecil dengan balik bertanya, "Coba menurut kamu lebih cepat
mana orang sampai ke tujuannya, apakah naik kuda atau jalan kaki?" Upaya membalikkan
pertanyaan juga merangsang anak untuk menemukan sendiri jawabannya. "Ayo, menurut
Kakak kenapa orang naik kuda?".
* Untuk menjawab pertanyaan "mengapa" sebaiknya orangtua jangan langsung menjawab.
Biarkan dia berpikir mencari jawabannya. Maklumi jika jawabannya masih sangat sederhana
karena memang kemampuan berpikirnya masih terbatas. Dalam hal ini, orangtua berperan
menambahkan atau menjelaskan sesuatu lebih jelas lagi agar pengetahuan dan wawasan si
kecil makin bertambah. Misalnya, "Kenapa burung bisa terbang? Karena punya sayap. Nah,
burung-burung yang kamu lihat itu terbang untuk mencari makanan yang ada di pohonpohon dan juga di tanah. Burung membuat sarangnya di pohon, lo."
SI PENDIAM
Tak semua anak usia prasekolah banyak melontarkan pertanyaan. Beberapa di antaranya
lebih memilih banyak diam. Kalau ditelusuri ada beberapa hal yang melatarbelakangi
perilaku seperti itu:
* Pendiam. Anak tak suka bertanya karena memang ia tipe pendiam; tak terbiasa
mengemukakan isi pikirannya dan apa saja yang diinginkannya. Mungkin juga karena kedua
orangtuanya pendiam dan jarang mengajaknya berkomunikasi atau berdialog. Harap
diingat, anak adalah peniru ulung. Jikalau orangtua tak banyak bicara, anak pun bisa setali
tiga uang.
* Kemampuan terbatas. Dengan kata lain, perkembangan
keterlambatan sehingga kemampuan bicaranya juga terlambat.

si

kecil

mengalami

* Dianggap sepele dan dimarahi. Orangtua yang tak pernah memberikan kesempatan
kepada si kecil untuk banyak bertanya dapat menyebabkan anak jadi lebih memilih diam.
Misalnya, setiap pertanyaan anak tak pernah dijawab. Entah karena dianggap sepele atau
pertanyaannya sulit dijawab. Misalnya, "Aduh, Papa lagi sibuk nih, tanya-tanya terus sih.
Sana main di luar." Atau misalnya, si anak malah disuruh tanya pada ibunya. "Tanya saja
sama ibu. Ayah masih kerja enggak boleh diganggu!"
Akibatnya, anak bingung tak punya tempat bertanya. Minatnya untuk bertanya pun pupus di
tengah jalan. Dia beranggapan untuk apa bertanya bila malah dimarahi. Di sekolah pun dia

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

16

Pra Sekolah

jadi jarang bertanya. Anak tumbuh menjadi pribadi yang pasif dan tak percaya diri. Kalau
bertanya takut disalahkan atau khawatir ditertawakan. Dampak lebih jauh, kemampuan
berpikir dan daya nalar si kecil jadi tak berkembang optimal. Sayang, bukan?

PERTANDA KRITIS, CERDAS, DAN KREATIF?


Konon, anak yang banyak bertanya menandakan kalau ia kritis, cerdas, dan kreatif.
Memang hal itu tidak secara langsung berkaitan. Sebagai ilustrasi, anak yang kritis, cerdas,
ataupun kreatif umumnya mempertanyakan sesuatu yang butuh jawaban panjang lebar.
Misalnya, pertanyaan yang dimulai dengan "mengapa". Akan tetapi perlu diingat pula bahwa
indikator kritis, cerdas, ataupun kreatif tak cuma dapat dinilai dari satu aspek itu saja. Ada
berbagai hal lain yang patut dijadikan pertimbangan dalam mengategorikan seorang anak
cerdas, kritis, atau kreatif. Yang pasti, setiap anak memiliki kecerdasan majemuk.
Kecerdasan mana yang paling menonjol tentu masing-masing berbeda.

UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Anak-anak berkebutuhan khusus, misalnya autis, ADHD, down syndrome dan sebagainya
juga terkadang menanyakan sesuatu. Namun, tidak mengarah pada pertanyaan yang
bersifat sebab-akibat, tapi lebih pada pertanyaan "apa" atau "di mana". Selain itu, anak
berkebutuhan khusus sering mengulang pertanyaan yang sebenarnya sudah pernah
dijawab. Adakalanya anak-anak ini pasif atau tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Untuk
itu, orangtua dan terapis biasanya mendorong anak tersebut untuk bertanya. Misalnya,
"Tumben diantar sama papa? Mama ke mana?" Kemudian, anak-anak ini juga dilatih untuk
bisa menjawab tidak sekadar bertanya. Memang membutuhkan kesabaran yang lebih dalam
menghadapi anak berkebutuhan khusus.
Hilman Hilmansyah. ilustrator Pugoeh

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

17

Pra Sekolah

"KOK, JAHIL BANGET SIH...!"


Wajar bila si kecil berlaku jahil satu-dua kali. Tetapi kalau keseringan perlu ditangani
segera.

Tedy (5) dikenal sebagai sosok jahil di sekolahnya. Pernah suatu


ketika dia menyembunyikan tas temannya. Sang teman karuan
saja menangis lantaran bekal buatan ibunya berada di dalam tas
itu. Di kala lain, Tedy mendorong kawannya yang sedang main
ayunan sampai terjatuh. Anehnya, usai berbuat jahil sikapnya
biasa-biasa saja seolah tak melakukan kesalahan atau sembunyi
entah di mana jika si teman mengalami cedera.
Anak jahil menganggap apa yang diperbuatnya sebagai suatu
kesenangan. Dengan kata lain, dia "menikmati" perilaku jahilnya
itu. Si jahil sebetulnya juga penasaran ingin tahu apa dan
bagaimana reaksi orang atau teman yang dikerjainya. Jadi begitu
temannya berurai air mata, dia malah senang bukannya prihatin atau merasa bersalah. Lain
hal kalau temannya marah, bisa jadi si jahil lari tunggang-langgang dan bersembunyi.
Memang di masa eksplorasi ini, si prasekolah melakukan apa saja yang dianggapnya
menantang, menarik dan menyenangkan tanpa menyadari bahwa apa yang dilakukan itu
dapat merugikan atau membuat celaka orang lain. Selain itu, sifat agresif dalam dirinya
secara tak langsung membuatnya melakukan kejahilan berulang-ulang.
Di usia ini boleh dibilang juga energi anak sedang "berlebihan" sehingga ia melakukan
kejahilan sebagai salah satu penyalurannya. Di sisi lain, dia ingin eksistensinya diakui
lingkungan dengan cara mengganggu orang lain.
PEMICU SIKAP JAHIL
Kalau ditelusuri lebih lanjut kenapa si kecil berbuat jahil, ada beberapa faktor penyebabnya,
yaitu:
* Ingin diperhatikan
Si prasekolah awalnya merasa kurang diperhatikan.
Supaya bisa menarik perhatian orang lain atau orangtuanya, maka dia berperilaku iseng.
Misalnya, lantaran ibunya lebih asyik membaca ketimbang mengajak bermain si prasekolah,
akhirnya ketika sang ibu lengah, kacamatanya diambil lalu disembunyikan.
* Ingin diterima lingkungan
Anak mulai bersosialisasi dengan banyak teman di sekolahnya. Proses penyesuaian diri
setiap anak berbeda-beda. Ada yang bisa langsung diterima tapi ada pula yang butuh waktu
lebih lama. Nah, lantaran ingin cepat diterima lingkungan sosialnya, si prasekolah
berperilaku jahil. Cara seperti ini tentu keliru. Awalnya mungkin dia cuma ingin menggoda
untuk menarik perhatian tetapi akhirnya malah mengganggu.
* Iri atau cemburu
Si prasekolah berbuat jahil bisa jadi karena didorong rasa iri atau cemburu. Contohnya, dia
merasa dinomorduakan dibandingkan kakak atau adiknya. Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba
si prasekolah mencubit si adik. Contoh lain, ketika temannya memamerkan mainan

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

18

Pra Sekolah

barunya, dalam benak si prasekolah terbersit untuk berbuat jahil, entah itu merusak mainan
tersebut atau bahkan mengambilnya tanpa izin.
* Imitasi
Sikap jahil juga bisa disebabkan peniruan. Contohnya, di rumah si prasekolah kerap melihat
adik kecilnya digelitiki sampai "sakit perut". Di sekolah, ia meniru berbuat hal serupa pada
temannya. Tayangan televisi pun merupakan sumber peniruan yang efektif bagi anak. Di
antaranya mengajarkan perbuatan jahil pada anak.
MENGALIHKAN AKTIVITAS
Perilaku jahil masih dapat dikatakan wajar bila hanya satu dua kali dilakukan. Kalau sudah
berulang-ulang bahkan sampai merugikan atau mencelakakan orang lain tentu mesti
ditangani. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan orangtua untuk mengatasi
perilaku jahil si prasekolah:
* Jangan marah
Langkah pertama, jaga agar emosi Anda jangan sampai terpancing saat memergoki anak
yang bersikap jahil. Lebih baik, cari tahu apa yang mendorongnya berlaku demikian. Ajak ia
berbicara empat mata. Hindari menghakimi anak dengan kata-kata, "Dasar anak jahil. Ibu
enggak suka kamu berbuat seperti itu!" Bisa jadi anak sedang merasa jenuh dan untuk
mengusir kebosanannya ia berusaha menyenangkan diri dengan berbuat jahil.
Jika yang dijahili merasa kesal sampai menangis, bahkan cedera, dengan tegas (bukan
marah) mintalah anak untuk meminta maaf dan berjanji tidak menjahili temannya lagi.
Lalu, pantaulah perilakunya di sekolah maupun di lingkungan rumah.
* Beri pengertian dan pemahaman
Dengan bahasa yang mudah dipahami, orangtua hendaknya memberi pengertian kepada si
prasekolah bahwa perilaku jahil tak baik dilakukan. Kemukakan alasannya, antara lain dapat
mencederai teman. Bisa jadi anak mungkin belum tahu tentang konsep rasa sakit,
berdarah, atau terluka. Kalau sudah paham, anak tentu akan lebih berhati-hati untuk tidak
sembarangan berbuat jahil.
Anak juga perlu mengetahui dampak kejahilannya terhadap diri sendiri. Misal, temantemanya tak mau lagi bermain dengannya. Tanamkan pula, teman bukan untuk disakiti atau
dijahili tetapi untuk diajak bekerja sama, berbagi, bersenang-senang dan lainnya.
* Lakukan aktivitas lain
Energi si prasekolah yang berlebihan terkadang disalurkan dengan cara berbuat jahil. Nah,
agar kelebihan energi ini bisa bernilai positif, ajak anak untuk melakukan aktivitas rekreatif
yang baik baginya. Umpama, mengajak si kecil bersepeda, bermain sepakbola, atau
berenang. Atau daftarkan anak mengikuti kursus yang diminatinya seperti menggambar
atau musik. Selain belajar disiplin, anak dapat mengasah keterampilannya.
Saat ia tergoda berbuat jahil di rumah, alihkan perhatian anak dengan mengajaknya
membereskan kamar atau menyusun mainannya. Dengan begitu, anak sekaligus diajarkan
tatatertib. Hindari melakukan aktivitas monoton atau sekadar duduk, misalnya nonton teve
karena bersifat pasif dan hanya sedikit manfaat positif yang bisa ia petik dari kegiatan itu.
* Beri "hukuman"
Kalau perbuatan jahil si prasekolah masih terus dilakukan, jangan ragu untuk menerapkan
tindakan tegas berupa "hukuman". Namun hindari hukuman secara fisik karena justru akan
berdampak lebih buruk dan menambah kejahilannya. Lebih baik beri sanksi yang ringan

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

19

Pra Sekolah

namun tegas. Misalnya, "Kalau kamu masih jahil pada teman-teman sekelasmu, nanti ibu
enggak akan belikan kamu buku gambar dan pensil warna." Dengan begitu, anak sadar,
sanksi diberikan lantaran ia telah melakukan suatu kesalahan. Tanpa hukuman, anak akan
terus mengulangi perbuatan jahilnya. Hukuman ini sekaligus mengajari anak tentang
konsep benar-salah.
* Introspeksi diri
Satu hal penting, orangtua juga perlu introspeksi. Jangan-jangan anak berbuat jahil karena
ayah/ibu juga suka jahil pada orang lain. Selain introspeksi diri, orangtua juga perlu lebih
menyelami perasaan anak kemudian berempati. Gali perasaan anak siapa tahu kejahilannya
merupakan ungkapan untuk menarik perhatian orangtuanya yang akhir-akhir ini dirasakan
kurang memerhatikan kebutuhan dirinya. Dalam hal ini, orangtua memang dituntut untuk
peka terhadap kebutuhan dan keinginan anak. Luangkanlah waktu yang cukup dengannya
agar mau mengatakan isi hatinya. Kedekatan dan perhatian orangtua membuat anak mau
mengubah sikap buruknya tanpa merasa dipaksa. Di sisi lain, anak justru dapat
menyalurkan kelebihan energinya melalui cara-cara kreatif yang tidak lagi merugikan orang
lain.
Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi/nakita

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

20

Pra Sekolah

AGAR KREATIVITAS ANAK TIDAK TERBATAS


Orangtua mesti mau menjadi partner kreatif anak. Yuk, lihat kiatnya!

Ingin si kecil kreatif? Jawabannya pasti ya. Memberikan ragam

mainan edukatif menjadi salah satu cara. Ada juga yang


mendaftarkan si kecil ikut berbagai kursus semata-mata agar
minat, bakat, dan kreativitasnya berkembang optimal.
Namun sebenarnya tak sebatas itu. Kreativitas juga bisa diasah
dengan memanfaatkan benda-benda di sekeliling kita, terutama
di rumah. Contoh, anak bisa memanfaatkan sofa atau kursi tamu
ibarat sebuah mobil atau bus. Bantal bulat bisa dijadikan
setirnya. Contoh lain, kardus bekas televisi dan kulkas
dipergunakan sebagai rumah-rumahan. Imajinasi anak yang begitu variatif dapat mengubah
sebuah benda menjadi sesuatu yang lain.
KETERLIBATAN ORANGTUA
Proses kreatif merupakan wujud aktualisasi diri anak saat ia bereksperimen, bereksplorasi,
serta menemukan berbagai alternatif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Anak
pun merasa senang dan bangga ketika wujud kreativitasnya sesuai dengan imajinasi atau
harapannya. Nah, agar potensi kreatif ini berkembang optimal, ada beberapa hal yang
sebaiknya diperhatikan orangtua, yaitu:
* Berikan kesempatan seluasnya
Berikan kesempatan kepada anak untuk selalu bereksplorasi. Sediakan fasilitas untuk
mendukung aktivitas kreatifnya. Tak harus dengan mainan edukatif yang harganya selangit,
bisa juga memanfaatkan barang-barang bekas di rumah, misalnya kardus, kaleng susu,
botol minuman, dan sebagainya.
* Mendampingi saat bermain
Kedekatan dan interaksi yang hangat serta komunikasi yang baik antara orangtua dan anak
sangat penting dalam mengembangkan potensi kreativitasnya. Ini berarti jangan menyuruh
si kecil mengutak-atik mainannya sendirian. Sebaliknya, temani ia dengan aktif. Dukung dan
dorong minat serta rasa ingin tahunya. Bimbing si kecil untuk selalu berinisiatif agar
kepercayaan dirinya tumbuh. Sikap empati juga perlu saat mendampinginya berkreasi.
Jangan lupa, selalu awasi apa yang dilakukan si prasekolah agar ia tidak menggunakan
benda-benda yang berbahaya saat bereksperimen, misalnya barang yang mudah terbakar,
mengandung bahan kimia, tajam, dan sebagainya.
* Jangan terlalu ikut campur
Biarkan si prasekolah mengembangkan sendiri berbagai ide dalam benaknya. Jangan
memaksakan ide kita, harus begini dan harus begitu. Dengan demikian, anak dapat belajar
bertanggung jawab dan mandiri. Jadi, bantu si kecil saat dia memang membutuhkan saja.
Dengan catatan, bukan membantu secara penuh namun sekadar mengarahkan. Misalnya,
menara balok-balokan yang dibuat si kecil selalu saja rubuh. Ternyata susunan baloknya
tidak seimbang lantaran balok yang ukurannya kecil ditimpa dengan balok-balok yang besar.
Di sini, kita bisa memberi masukan dan contoh bahwa balok yang paling besar ukurannya
sebaiknya ditaruh paling bawah, begitu seterusnya. Dengan begitu, terjadi keseimbangan

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

21

Pra Sekolah

dan menara yang dibangunnya pasti berdiri kokoh.


Biarkan anak menemukan gaya mengasah kreativitasnya sendiri. Dorong ia menggunakan
seluruh potensi kreatifnya. Tak perlu dibatasi. Misalnya, ketika ia bermain pasir di pantai
orangtua tak perlu takut kotor. Biarkan ia bereksplorasi membuat sesuatu sesuka hatinya,
entah itu membuat lorong atau rumah-rumah dari pasir. Sekalipun cara yang dilakukannya
sambil telungkup bahkan "jungkir balik" plus belepotan dengan pasir.
Di sisi lain, jangan paksa anak melakukan sesuatu. Lepaskan saja dia melakukan
kesenangannya. Beri kebebasan untuk bereksperimen atau mengekspresikan kreativitasnya.
Justru jika terlalu dibatasi atau diarahkan, si prasekolah jadi kehilangan kesempatan untuk
menempa potensinya. Contohnya, ketika dia menggoreskan pensil warna hitam untuk
gambar awan, orangtua jangan protes. Tak perlu memaksa warna awan mesti biru, toh
kalau cuaca mendung bukankah langit dan awan tampak hitam?
Satu hal lagi, jangan menuntut hasil. Yang paling penting adalah memerhatikan proses
kreatif yang dilakukan si kecil. Hargai dan terima anak apa adanya sebagai pribadi yang
utuh. Ingat bahwa setiap anak adalah unik. Lihatlah proses, bukan hasil.
* Jangan emosional
Orangtua juga perlu bersabar, tidak marah atau emosional karena kadang sikap si kecil
menjengkelkan bila merasa tak sanggup melakukan sesuatu. Ia bisa ngambek, mutung,
bahkan mengamuk. Wajar kok anak mengungkapkan kekesalannya lantaran tak sukses
membuat sesuatu.
Jika anak tampak "putus asa", berilah ia motivasi. Jelaskan bahwa anak sebenarnya
memiliki potensi untuk berhasil. Kalau si kecil tetap juga tak berhasil, boleh saja orangtua
menghibur kegundahan hatinya. Katakan di lain waktu pasti dia bisa menyelesaikan apa
yang diinginkannya.
Sekali lagi, orangtua harus berempati. Pahami perasaan si kecil. Jangan malah
meremehkannya dengan berkomentar, "Aduh, masa begitu saja enggak bisa." Justru sikap
empati dapat mengembalikan kepercayaan diri anak. Nah, jika anak berhasil mewujudkan
sesuatu sebagai hasil kreativitasnya, jangan sungkan-sungkan memberikan pujian. Namun
perlu diingat, penghargaan atau pujian bukan saja karena anak sudah berhasil
menuntaskan aktivitasnya, tapi juga hargai proses yang dilaluinya, yaitu jerih payah, kerja
keras, ketekunan serta daya juang dan semangat anak.
ANEKA AKTIVITAS KREATIF
Peralatan atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai sarana mengasah kreatif bisa
apa saja. Berikut di antaranya:
* Kertas
Dengan cara dilipat atau digunting, kertas bisa dibuat topi, pesawat, bunga atau bentuk
binatang dan lainnya. Untuk mempercantik hasil karya itu hias dengan kertas berwarna.
Jika ingin membuat layang-layang perlu bahan penunjang seperti lidi dan benang sebagai
rangka- nya. Sediakan pula lem atau gunting karena sesekali dibutuhkan. Catlah hasil karya
sesuai keinginan menggunakan pensil warna atau cat air.
Si prasekolah juga bisa melakukan aktivitas menggambar. Berimajinasi menuangkan apa
yang tergambar dalam benaknya. Setelah itu, poles dengan pensil warna sesuka hatinya.
Lagi-lagi, bukan gambar yang dinilai, tapi proses kreatiflah yang perlu dihargai.
* Kardus/kaleng
Dengan bahan kardus atau kaleng bekas berukuran kecil, anak bisa membuat kotak pensil.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

22

Pra Sekolah

Ajari anak membuat pola, lalu gunting mengikuti garis. Agar hasilnya lebih indah, hiasi
kaleng atau kardus dengan gambar dan lukisan hasil karyanya. Jika kardusnya berukuran
besar, si kecil dapat membuat rumah-rumahan dan sebagainya.
* Kain/kaus kaki
Kain atau kaus kaki bekas dapat digunakan untuk membuat boneka. Bagian ujung dibuat
seperti wajah dengan gambar mata, hidung, dan mulut. Lalu, pergunakan untuk bermain
peran seperti panggung boneka bersama teman-teman. Cara yang lebih sederhana, cukup
jari-jemari yang dihias menggunakan spidol, ada mata, hidung dan mulut.
* Balok-balok
Balok-balok alat permainan dapat dibentuk
gedung/menara tinggi dan sebagainya.

sedemikian

rupa

misalnya

membuat

* Stik es krim
Nah, stik es krim dapat dibentuk menjadi gambar rumah
atau kotak pensil dan sebagainya.
* Tanah liat
Tanah liat dapat dibentuk menjadi apa saja, misalnya bentuk
binatang, gelas, cangkir, dan lainnya. Orangtua tak perlu
khawatir anak jadi kotor karena setelah selesai anak tinggal
mandi agar bersih kembali.
* Pasir
Bermain pasir bisa dilakukan di rumah, juga ketika pergi ke pantai. Anak dapat membuat
rumah-rumahan atau membuat terowongan. Biarkan dia berimajinasi. Jangan khawatir
badannya jadi kotor.

ASAH KREATIVITAS DI SEKOLAH


Selain lingkungan keluarga, peran pihak sekolah (TK) juga sangat penting. Sekolah perlu
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan diri secara luas dan
memfasilitasi potensi kreatif anak. Kreativitas akan berkembang dengan baik jika
lingkungannya kondusif. Terapkan pola belajar sambil bermain dalam suasana yang
menyenangkan dengan memanfaatkan apa pun yang ada di sekolah atau kelas.
Anak juga perlu dihargai sebagai pribadi yang unik. Jangan dituntut sesuai harapan guru.
Justru anak mesti didorong dan mendapatkan kesempatan yang luas untuk proaktif dalam
proses belajar sambil bermain tersebut. Ajak anak untuk terlibat dalam aktivitas kelas,
menyalurkan gagasannya, serta berbagi pengalaman dengan teman dan gurunya.
Sekali lagi, tentunya pihak sekolah perlu memberikan suasana aman dan nyaman selama
proses belajar sambil bermain tersebut. Jangan sampai membuat anak tertekan atau
tegang karena itu justru dapat menghambat kemampuannya dalam bereskplorasi mengasah
potensi kreatifnya. Yang jelas, agar anak kreatif tentu guru maupun orangtua mesti kreatif
juga.
Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi & Iman/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

23

Pra Sekolah

"MA, TADI MAINANKU DIREBUT ADIK!


Si prasekolah kerap mengadu? Yuk, ajari ia cara menyelesaikan masalah.

Setiap

kali pulang kerja, saya langsung mendapat

peran sebagai "operator pengaduan". Putra sulung saya


berusia 5 tahun sering sekali mengadu tentang siapa saja
apa saja. Kemarin ia mengadu tentang adiknya yang
merebut mainannya. Sekarang ia mengadu tentang
temannya di TK yang ogah bergiliran main ayunan. Saya
bingung, apa yang harus dilakukan?

yang
atau

Demikian curhat seorang ibu pada rubrik Tanya Jawab


Psikologi Anak. Anda memiliki pengalaman yang tak jauh
berbeda? Saban hari si prasekolah mengadu soal apa
dari permennya yang diambil si adik sampai temannya
sering mengatakan kalau potongan rambutnya seperti
Doraemon bukannya Dora.

pun;
yang

Sebenarnya, perilaku mengadu wajar-wajar saja selama


yang
diadukan itu memang hal yang berisiko. Misalnya, karena
si
kecil mendapatkan perlakuan yang tidak baik seperti dipukul, ditendang, didorong dan
sebagainya. Namun, jika laporan yang disampaikan melulu berisi hal-hal yang kecil,
mulailah untuk membenahinya. Sedikit banyak, hal ini tentunya dapat menyebabkan efek
negatif bagi perkembangannya di kemudian hari karena anak bisa selalu bergantung pada
orang lain dan tak mampu menyelesaikan konflik yang dihadapi. Bukan tidak mungkin, ia
berkembang menjadi sosok yang kurang mandiri dan kurang tahan banting.
Dalam bersosialisasi, si prasekolah bisa tak disukai teman-temannya karena banyak yang
merasa dirugikan dengan sikapnya itu. Akibatnya, ia tidak diterima lingkungan dan tidak
memiliki konsep diri yang baik. Efek negatif lain, kemampuan dan kesempatannya untuk
mengekspresikan diri juga jadi terhambat. Pasalnya, kalau anak tak begitu diterima
lingkungannya otomatis kesempatannya untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
berbagai kemam-puan lainnya makin terbatas. Ujung-ujungnya dia menjadi sosok yang tak
percaya diri.
KENALI PENYEBABNYA
Nah, beberapa faktor yang melatarbelakangi kebiasaan mengadu si kecil bisa dilihat di sini:
* Ingin menarik perhatian
Si prasekolah mengadu karena ingin menarik perhatian orangtuanya. Mungkin karena dia
merasa kurang diperhatikan. Nah, jika anak mengadu, biasanya orangtua akan menanggapi
dan memerhatikan kebutuhannya. Anak yang terbiasa diperhatikan pun ketika sekali saja
tidak diperhatikan mungkin akan mengadu sebagai cara mendapat perhatian kembali.
* Unjuk diri
Mengadu juga bisa menjadi upaya unjuk diri bahwa anak lebih baik atau hebat
dibandingkan teman, adik, atau kakaknya. Dengan begitu, dia merasa lebih pantas untuk
disayang atau diperhatikan orangtua. Misalnya, dia berkomentar, "Tuh Ma, adik makannya
berantakan. Lihat aku, makannya bisa habis dan rapi, kan?"

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

24

Pra Sekolah

* Memanipulasi keadaan
Sikap mengadu dapat menjadi cara anak untuk memanipulasi keadaan, sehingga
teman/adik/kakaknya dimarahi atau dihukum. Contohnya, "Pa, tadi kakak cubit aku sampai
sakit nih. " Padahal sebetulnya si kakak men-cubit lantaran dia bersikap bu-ruk. Dalam hal
ini, si prasekolah ingin dibela orangtuanya.
* Minta bantuan
Si kecil mengadu sebagai upaya minta bantuan orang lain/orangtua untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Misalnya, ia mengadu pada gurunya karena tak mendapat
giliran bermain ayunan di sekolah.
* Terlalu sering dibantu
Jika orangtua cenderung selalu membantu anak, contohnya untuk mengambilkan baju,
mainan, atau kebutuhan lainnya, maka sedikit saja dia mengalami kesulitan, si kecil akan
lari minta bantuan. Jadi bukan tindakan yang bijaksana jika urusan anak selalu diambil alih
orangtua. Jangan heran kalau keterampilannya dalam menyelesaikan masalah menjadi
kurang terasah.
* Suka membanding-bandingkan
Orangtua secara tak sengaja membanding-bandingkan kemampuan si prasekolah dengan
saudaranya. Misalnya, "Kok kamu enggak kayak kakak yang rajin bersih-bersih dan mau
kalau disuruh Mama." Nah, upaya mengadu dijadikan trik oleh si kecil agar dia sesekali
mendapat pembelaan dari orangtuanya.
* Meniru
Satu hal lagi yang cukup penting, kebiasaan mengadu juga dapat terbentuk dari proses
peniruan. Ingat lo, anak adalah peniru ulung. Jadi, kalau dia sering melihat mamanya
bilang, "Ayo cepat mandi sore, kalo enggak nanti Mama laporin ke Papa lo." Akibatnya dia
meniru perilaku mengadu seperti itu.
AJARKAN PROBLEM SOLVING
* Ketahui masalahnya
Apakah anak mengadu karena mendapat perilaku kasar/kekerasan fisik. Bila ya, tentu hal
ini perlu segera ditangani. Namun bila yang dilaporkannya itu bukan sesuatu yang membahayakan dirinya, tak perlu diperhatikan secara serius. Dengan kata lain, orangtua mesti
menyaring pengaduan mana yang perlu ditanggapi atau tidak. Tanyakan duduk perkaranya
dengan tidak ada keberpihakan.
Nah, jika pengaduannya hanya ingin minta tolong yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri,
alangkah baiknya minta-lah anak melakukannya sendiri. Apalagi kalau pengaduan yang
sama terjadi berulang kali, tentu itu hanya ingin menarik perha-tian ayah atau ibu.
Orangtua juga mesti hati-hati jangan menghukum anak yang diadukan karena si pengadu
bisa menjadikan kebiasaan ini sebagai ajang untuk "balas dendam". Lebih baik, bantu
mereka yang tengah berkonflik menyelesaikan masalah.

* Ajarkan problem solving


Di usia prasekolah, anak diharapkan sudah dapat menyelesaikan masalah sesuai
kemampuannya. Untuk itu, orangtua perlu mengasah keterampilan anak. Ajak si kecil

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

25

Pra Sekolah

mengeksplorasi masalah, mengidentifikasi penyebab, dan mencari alternatif solusinya.


Melatih anak menyelesaikan konflik berarti juga melatih anak mengontrol kemarahan dan
emosinya. Misalnya, ketika dia tak mendapat giliran bermain ayunan di sekolahnya,
sarankan padanya untuk berkata, "Ayo dong giliran. Aku juga, kan, ingin main ayunan."
* Jangan balas dendam
Jangan sekali-kali mengajari anak untuk membalas perlakuan buruk temannya. Misalnya,
"Kalau kamu ditendang, ayo balas lagi." Ini jelas tak menyelesaikan masalah, justru
menimbulkan masalah baru.
* Beri pujian
Jika anak berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri, jangan sungkan beri pujian. "Wah,
hebat ya Kakak sudah bisa main bareng lagi sama temanmu." Dengan begitu anak terpacu
untuk tidak lagi mengadu karena dia yakin bisa menyelesaikan konflik yang terjadi dengan
teman, kakak, ataupun adiknya.
* Menjadi "wasit"
Jika anak tak sanggup menyelesaikan konfliknya dengan teman, jadilah "wasit" atau
penengah. Jangan berperan sebagai hakim atau pengambil keputusan. Undanglah teman si
kecil untuk membicarakan masalah mereka. Beri kesempatan kepada mereka untuk
mengutarakan keluhannya agar objektif. Orangtua harus dapat menilai konflik tersebut,
siapa yang salah, benar, dan sebagainya. Bersikaplah netral dan tidak memihak salah satu
anak. Ajari anak mencari solusi yang terbaik untuk semuanya. Nah, jika salah satu dari
mereka atau bahkan keduanya terbukti bersalah, jangan ragu untuk meluruskan sikap
buruk tersebut agar mereka paham atas kesalahannya.
* Ajarkan minta maaf dan memaafkan
Jika masalahnya sudah jelas; sudah diketahui siapa yang salah dan benar, ajari anak untuk
meminta maaf dan memaafkan. "Karena kakak yang salah maka mesti minta maaf sama
Adik. Adik juga harus memaafkan kakak ya." Satu hal lagi, jika si prasekolah yang terbukti
bersalah, tak perlu mengungkit-ungkit kesalahannya. Hal itu akan menyebabkan anak
membentuk konsep diri yang negatif.
Hilman Hilmansyah

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

26

Pra Sekolah

SELALU INGIN BEDA PENDAPAT


Bukan hanya wajar dilakukan anak prasekolah, tetapi juga merupakan ciri cerdas dan
kreatif.

Heida

mengeluh mulai kesulitan menghadapi tingkah

Vicky, putranya yang berusia 4 tahun. "Sekarang Vicky


selalu bawa maunya sendiri, enggak bisa dibilangin,
sepertinya dia sudah paling tahu saja." Malah, lanjutnya,
bila ditegur atau dimintai tolong, Vicky suka menjawab,
"Lagi sibuk nih. Adik aja deh." Atau saat diberi tahu,
"Naiknya pakai dua tangan, nanti jatuh." Eh dia dengan
enteng menjawab, "Enggak apa kok pakai satu tangan. Nih
bisa!"
Mungkin Anda pun mengalaminya. Si kecil yang berusia 35 tahun selalu saja tak sejalan atau beda pendapat dengan
kita. Tetapi tak perlu gusar, karena perilaku si kecil yang
demikian ini wajar-wajar saja, kok. Apalagi, seperti dikatakan M. Fakhrurrozi, M.Si., anak
usia prasekolah tengah berada dalam fase membangkang.
"Pembangkangan yang dilakukan anak usia 1-3 tahun berbeda dengan anak usia 3-5
tahun," kata Ozi, sapaan akrab psikolog ini. Pada batita, lanjut dosen di Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma ini, pembangkangan itu lebih dikarenakan si anak berada dalam
fase egosentris. Sedangkan pada si prasekolah, pembangkangan yang dilakukannya sudah
dengan alasan.
CIRI CERDAS & KREATIF
Jadi, perilaku membangkang pada si prasekolah bukan merupakan suatu penolakan atau
tidak mau mengikuti saran dan permintaan orangtua, tetapi lebih karena dia punya cara lain
untuk melakukan sesuatu. "Tentu si anak punya alasan, mengapa dia membangkang seperti
itu," tandas Ozi.
Contoh, orangtua menginginkan anaknya mandi dulu baru bermain, tetapi si anak justru
ingin main dulu baru mandi. Adanya keinginan yang "berseberangan" ini, menurut Ozi,
dikarenakan si prasekolah ingin menunjukkan kalau dirinya sudah mandiri. Dia pun sedang
belajar mengemukakan ide, "Bukannya lebih enak mandi setelah main? Kan, setelah itu bisa
langsung tidur." Atau, "Coba kalau mandi dulu baru main, setelah main pasti kotor dan
disuruh mandi lagi."
Yang menarik, sekalipun "bibit-bibit" pembangkangan ada pada semua anak, tetapi jauh
lebih sering dilakukan oleh anak laki-laki. "Mungkin karena laki-laki cenderung
diperbolehkan oleh lingkungan untuk melakukan ini. 'Wajar, namanya juga anak lelaki,'
misalnya."
Selain itu, perilaku membangkang ini juga cenderung terjadi pada anak-anak cerdas dan
kreatif. Mereka adalah anak-anak yang kemampuan bahasanya baik, kemampuan
kognitifnya cemerlang, kritis, pemberani, sadar dan tahu akan apa yang dilakukannya,
senang mencoba hal-hal baru, dan selalu belajar mengenai apa yang dia alami.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

27

Pra Sekolah

AJAK DISKUSI
Karena itulah, menghadapi si prasekolah yang "hobi" membangkang, Ozi menganjurkan
orangtua agar tenang dan sabar. Orangtua juga harus sadar betul bahwa anaknya ini pintar,
hanya saja ada beberapa aspek kepribadiannya yang mungkin tak bisa dikendalikan semisal
terlalu percaya diri dan keterampilan sosialnya yang belum bagus.
Kata Ozi, orangtua harus ekstra hati-hati dalam mendampingi si prasekolah yang selalu
punya pendapat sendiri. "Orangtua harus tetap memberikan aneka masukan untuk
perkembangan kognitif si anak, sambil terus membangun kepercayaan dirinya dan
meningkatkan keterampilan sosialnya agar lebih baik."
Inilah beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua ketika si prasekolah menunjukkan
pendapat yang berbeda:
* Ajak berdiskusi.
Contoh, si prasekolah meno-lak memakai kaus kaki. Tanyakan padanya, apa alasannya.
Misal, "Enakan enggak pakai kaus kaki, jadi lebih cepat pakai sepatunya." Kemudian ajak ia
berdiskusi, "Kalau tidak pakai kaus kaki, nanti kakimu bisa lecet." Bisa juga kita katakan,
"Kalau sepatumu seperti sepatu Bunda, memang bagus tidak pakai kaus kaki. Tetapi
sepatumu, kan, sepatu olahraga. Kelihatannya enggak asyik deh kalau enggak pakai kaus
kaki."
* Hentikan jika pendapat dan keinginannya berbahaya baik bagi dirinya sendiri maupun
orang lain.
Tentunya orangtua harus mengemukakan apa alasan yang menjadikan pendapat si anak
yang berbeda itu tidak baik, tidak benar, atau membaha-yakan. Sampaikan pada anak saat
itu juga dengan bahasa yang sederhana, sehingga anak paham dan mengerti. Contoh,
ketika si kecil berkata, "Turun tangganya enakan sambil meluncur lewat pegangan, asyik
dan cepat." Cegahlah, "Eit, ini bukan seluncuran tetapi pegangan untuk tangan. Kalau kamu
meluncur lewat pegangan ini, nanti kamu bisa jatuh dan sakit." Kalaupun terpaksa, orangtua boleh saja mengabulkan tapi dengan catatan, "Oke, tapi Ayah akan pegangi kamu,"
misalnya.
* Orangtua harus membuka diri alias mau menerima jika anak dapat memberikan alasan
yang masuk akal atas pendapat atau keinginannya itu.
Untuk itu, anggapan bahwa orangtua selalu dalam posisi benar, menang, dan harus dituruti
oleh anak sudah saatnya mesti dihilangkan.
Satu hal yang penting, jangan sekali-kali memaksa anak untuk sepaham dengan orangtua.
Siapa tahu dari hasil diskusi bersama, orangtua dan anak bisa menemukan jawaban yang
lebih baik lagi.

HILANG DENGAN SENDIRINYA


Dari penelitian terhadap 71 anak usia 3-5 tahun di keluarga dan yayasan selama 71 hari,
beber Ozi, sebanyak 90% melakukan pembangkangan dan mengutarakan pendapat yang
berbeda kepada orang lain dengan usia di atasnya daripada kepada teman sebaya atau usia
di bawahnya.
Satu hal, katanya, berbeda pendapat atau membangkang sangat berbeda dari agresi.
"Agresi kan, bertujuan menyakiti objek atau individu lain tetapi kalau pembangkangan
tidak." Jadi, jangan disamaratakan.

CENDERUNG PADA ORANG YANG LEBIH TUA


Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

28

Pra Sekolah

Dari penelitian terhadap 71 anak usia 3-5 tahun di keluarga dan yayasan selama 71 hari,
beber Ozi, sebanyak 90% melakukan pembangkangan dan mengutarakan pendapat yang
berbeda kepada orang lain dengan usia di atasnya daripada kepada teman sebaya atau usia
di bawahnya.
Satu hal, katanya, berbeda pendapat atau membangkang sangat berbeda dari agresi.
"Agresi kan, bertujuan menyakiti objek atau individu lain tetapi kalau pembangkangan
tidak." Jadi, jangan disamaratakan.
Gazali Solahuddin. Ilustrator: Pugoeh

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

29

Pra Sekolah

MENGINTIP PERKEMBANGAN KOGNITIF SI


PRASEKOLAH
Ingin anak cerdas? Kenali tahapan perkembangan kognitifnya!

Seperti

diketahui,

tiap

anak

memiliki

tugas-tugas

perkembangan. Salah satunya, perkembangan kognitif.


Tentu saja, tugas-tugas perkembangan ini berbeda-beda
pada tiap tahapan usia. Dalam hal perkembangan kognitif,
anak usia prasekolah (3-5 tahun) berada dalam masa
praoperasional.
Oleh
Piaget,
pakar
psikologi
perkembangan kognitif, masa ini dimulai dari usia 2 tahun
sampai 7 tahun.
Sebagai orangtua, sudah selayaknyalah kita mengetahui
tahapan perkembangan kognitif ini. Tak lain agar kita
dapat memberikan stimulasi secara tepat untuk mengasah
kemam-puan kognitif si buah hati di usia ini, sehingga
dapat berkembang optimal. Nah, seperti apa kemampuan kognitif si prasekolah, mari kita
simak bersama penjelasan dari Dra. Mayke S. Tedjasaputra, M.Si., pengasuh rubrik
Tanya Jawab Psikologi di tabloid ini.
TAHAPAN SIMBOLIK
Di masa praoperasional ini, kemampuan kognitif si prasekolah berada pada tahapan
simbolik, yakni kemampuan menggunakan simbol. Salah satunya adalah bahasa yang kita
gunakan sehari-hari. Contoh, kata "kursi" bisa mewakili keterangan benda yang dapat
diduduki atau benda yang mempunyai empat kaki dan ada sandarannya. Jadi, kita bisa
memberikan stimulus dan masukan mengenai bahasa kepada si prasekolah, karena saat ini
kekuatan menyerap segala sesuatu tentang bahasa ada pada diri anak.
Selain melalui bahasa, kemampuan simbolik pada masa ini bisa juga diwujudkan melalui
gambar. Contoh, si kecil menggambar sebuah persegi empat yang tidak beraturan, lalu dia
mengatakan, "Ini gambar rumah. Bagus ya", atau "Sekarang aku gambar ikan," walaupun
yang tertuang dalam kertas hanyalah sebuah garis melengkung bersambung, misalnya.
Yang penting diperhatikan, masukan atau stimulus yang diberikan haruslah berbentuk
konkret; bisa dilihat, dipegang, dilakukan, dan dialami secara langsung. Percuma saja
mengajarkan sesuatu atau memberi tahu hal yang abstrak karena anak tidak akan bisa
mencerna-nya. Contoh, saat menginformasikan perbedaan van dan sedan, ajak anak masuk
ke dalam dua jenis mobil tersebut bergantian. "Kalau sedan kecil, kursinya sedikit. Kalau
van lega dan banyak kursinya," umpamanya.
BERMAIN KHAYAL
Kemampuan menggunakan simbol juga terlihat pada permainan simbolik yang dilakukan
anak-anak usia ini, yaitu bermain khayal. Melalui permainan ini, anak bisa menggantikan
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Contoh, disket yang kita kenal untuk menyimpan data
dari CPU komputer, oleh si prasekolah bisa saja dianggap UFO. Anak juga bisa memberikan
atribut tertentu pada suatu objek, misalnya boneka bisa menangis seperti manusia.
Kondisi ini merupakan kemajuan yang sangat pesat dalam kemampuan berpikir anak. Malah

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

30

Pra Sekolah

menurut penelitian para ahli, dengan bermain simbolik, anak akan lebih cepat dan kaya
perkembangan bahasanya, baik dalam hal semantik (makna kata dan kalimat) maupun
kosakatanya.
Selain itu, di masa praoperasional, si prasekolah juga sudah bisa melakukan sesuatu
sebagai hasil meniru atau mengamati suatu model tingkah laku. Jadi, anak sudah mampu
melakukan sebuah peniruan tingkah laku yang pernah dilihatnya di waktu lampau. Karena
itu pengalaman-pengalaman tersebut ia tampilkan dalam kegiatan bermain khayal, dimana
anak berpura-pura menjadi tokoh tertentu dan melakukan apa yang biasanya dikerjakan
oleh tokoh itu.
Pada tahap ini pula anak mampu menjalankan dua peran sekaligus yang memisahkan
antara dunia "pura-pura" dengan dunia nyata. Sebagai contoh, pada saat bermain khayal
seorang anak mendapat peran sebagai orang sakit yang tidak dapat berjalan. Tiba-tiba
dalam situasi bermain ia berjalan-jalan. Saat temannya menegur, "Eh, kamu kan orang sakit
yang tidak bisa jalan", maka si anak akan langsung menjawab bahwa dirinya bukan orang
sakit.
MAMPU MENGELOMPOKKAN
Kemampuan lainnya adalah mengelompokkan, entah benda, warna, bentuk, maupun
ukuran. Manfaatnya, anak terlatih untuk bisa berpikir secara logis. Jadi, baik sekali bila kita
bisa menciptakan permainan yang dapat mengasah kemampuan kognitif dalam hal
pengelompokan ini. Umpama, mengajak anak mengumpulkan mainan yang dimilikinya
berdasarkan persamaan warna, atau mengumpulkan benda-benda yang ada di rumah
berdasarkan ukuran tertentu.
Bila hal ini sering kita lakukan pada anak, maka semakin lama anak semakin mampu
melakukan pengelompokan ke tingkat yang lebih tinggi, semisal mengelompokkan atas
dasar dua hingga tiga dimensi.
Tentu saja, pada awalnya anak belum bisa memusatkan perhatian pada benda dua dimensi
yang berbeda secara serempak. Dalam hal menyusun benda-benda berdasarkan urutan
sesuai ukuran, misal, di masa praoperasional ini anak baru bisa merangkaikan dua benda,
seperti tongkat A lebih pendek dari tongkat B. Tapi jika disuruh menyusun tongkat dari yang
paling pendek sampai yang paling panjang, maka ia belum mampu melakukannya. Hal ini
disebabkan anak baru bisa memusatkan satu hubungan pada satu saat dan belum bisa
melihat keseluruhan.
Contoh lain, dalam perco-baannya, Piaget memperlihatkan pada anak-anak usia prasekolah,
20 kuncup kembang terbuat dari kertas; 18 kuncup berwarna cokelat dan sisanya berwarna
putih. Saat ditanya mana yang paling banyak, apakah kuncup kembang berwarna cokelat
ataukah kuncup kembang yang terbuat dari kertas, anak-anak itu menjawab yang paling
banyak adalah kuncup kembang berwarna cokelat.
MENGURUTKAN SESUATU
Perkembangan kognitif lainnya dalam pengelompokan adalah menyusun menurut rangkaian
atau urutan tertentu (sequence). Permainan yang menunjang hal ini contohnya bermain
menyusun menara gelang.
Tahap perkembangan kognitif ini bila diasah dengan baik akan menghasilkan sistematika
logika berpikir yang baik. Supaya lebih baik lagi, stimulasi yang kita berikan bisa juga
dengan mengajak anak mengurutkan sesuatu sesuai yang kita contohkan. Misal, kita
mengurutkan kubus, segitiga, lingkaran, silinder. Lalu, anak diminta untuk melanjutkan
urutan tersebut dengan pola yang sama.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

31

Pra Sekolah

Efek yang bisa didapatkan oleh anak dengan pemberian stimulasi yang sangat sederhana ini
adalah anak akan mampu dan mudah mengerti atau memahami aturan-aturan tertentu
yang akan dia temui, mudah belajar membaca sebab kata-kata yang dibaca/ditulis terdiri
atas susunan huruf dengan pola tertentu. Selain itu anak akan lebih mudah mencerna
pelajaran yang berhubungan dengan bilangan, sebab sudah diperkenalkan dengan
pengertian mana yang lebih kecil, lebih besar, dan seterusnya.
Yang perlu dipahami, untuk membuat permainan atau soal-soal seperti ini maka dituntut
kreativitas. Semakin kreatif orangtua akan semakin berva-riasi cara belajar yang diterima
anak. Tentu ini akan berban-ding lurus dengan manfaat yang diperoleh. Untuk sequence ini,
buatlah permainan mengelompokkan benda berdasarkan urutan besar ke kecil, kecil ke
besar, urutan warna, urutan bentuk, dan lainnya.

TIP-TIP PENTING
Dalam mengasah kemampuan kognitif anak usia prasekolah, ada beberapa hal yang penting
diperhatikan orangtua seperti diungkap Mayke berikut ini:
* Hindari penggunaan kata-kata yang abstrak maupun yang bermakna ganda.
* Dalam mengenalkan konsep yang pertama kali, lebih baik kenalkan yang umum dulu dan
sering dilihat anak sehari-hari. Contohnya, segala sesuatu yang ada di lingkungan rumah
terlebih dulu.
* Selain itu, dalam menjelaskan sebuah konsep, terutama benda, mulailah dari fungsinya.
Saat menjelaskan tentang "kursi", misal, kita memang harus memberikan penjelasan secara
konkret (umpama, bentuknya persegi empat atau bulat, mempunyai empat kaki). Akan
tetapi, penjelasan seperti itu akan lebih berarti jika terlebih dulu kita sampaikan fungsinya,
"Kursi ini tempat duduk kita. Kursi yang panjang bisa juga dipakai untuk tiduran." Baru
kemudian kita masuk ke bentuk konkret fisik si kursi. Stimulus mengenai fungsi sangat
diperlukan anak yang belum terlalu menguasai bahasa. Bila kita memberikan penjabaran
detail, kasihan si anak karena akan kesulitan menangkap dan mencernanya.
* Dalam mengenalkan konsep apa pun, selalu lakukan pengulangan.
Gazali Solahuddin. Ilustrator Pugoeh

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

32

Pra Sekolah

BENDA MATI, KOK, DIAJAK NGOBROL?


Tenang, di usia prasekolah, anak memang sedang berada dalam tahap animisme.

"Kombi...kombi....bangun, udah siang," ucap Tora (3) sambil

menepuk-nepuk mobil Volkswagen T2 milik ayahnya di garasi.


Sejurus kemudian, "Oh... kombi masih ngantuk ya." Setelah itu,
"Ayo dong bangun, kombi. Ayah, kan mau ke kantor."
Percakapan seperti itu, menurut Hamizar, Psi., wajar-wajar saja
dilakukan anak usia prasekolah. Pada usia 3-5 tahun ini, anak
sedang berada dalam tahap animisme, yaitu menganggap benda
mati sebagai benda hidup seperti dirinya; bisa bergerak,
bernapas, berbicara dan diajak bicara.
Bukan hanya itu. Anak seperti Tora pun acap kali berbincangbincang dengan hewan, bahkan tanaman. Biasanya, yang sering
diajak bicara adalah sesuatu yang paling dia sukai atau kerap dia
gunakan, umpamanya mainan. Sebaliknya, sesuatu yang tidak dia
sukai pun, bisa juga menjadi objek komunikasinya. Contoh, anak tak suka pada kucing.
Ketika si kucing mendekat, dia akan berkata, "Kucing, sana pergi, jangan dekat-dekat aku!"
HILANG SENDIRI
Lebih jauh dijelaskan Hamizar, tahap animisme terjadi karena fungsi berpikir anak usia
prasekolah belum mencapai realita. "Berbeda dari anak usia 7 tahun ke atas yang
kemampuan kognitifnya sudah masuk dalam tahap konkret operasional sehingga anak-anak
ini sudah jauh lebih realistis," papar Asisten Direktur Bidang Pelatihan di IPEKA, Jakarta
Barat ini.
Sebenarnya secara teoritis, fase animisme berlangsung dari usia 2 sampai 7 tahun. Akan
tetapi sekarang, kondisi ini paling banyak terjadi pada anak usia 3 hingga 5 tahun. Keadaan
ini, menurut Hamizar, dipengaruhi oleh faktor gizi dan pemberian stimulasi yang semakin
baik dari orangtua. "Makanya anak sekarang lebih cepat berkembang, terlebih dalam hal
kognitif. Karena itulah, fase animisme anak pun akan lebih cepat terlewati."
Jadi, seiring perkembangan kematangan kognitif anak, fase animisme ini akan hilang
dengan sendirinya. Pada saat itu berarti anak mulai masuk dalam fase realistis. "Mobil kan
enggak bisa ngomong. Ngapain juga diajak ngobrol," misalnya.
CARI TAHU YANG DIOBROLKAN ANAK
Menurut Hamizar, fase animisme merupakan sebuah langkah maju sebelum anak menapaki
jenjang perkembangan selanjutnya. Melalui fase ini, kemampuan verbal dan komunikasi
anak dapat terasah, selain mampu mengekspresikan dirinya.
Karena itulah orangtua wajib melakukan pendampingan, bukan malah "melecehkan" dengan
mengatakan, "Ngapain sih ngomong sama mobil. Mobil, kan enggak bisa ngomong?" Hindari
memberi respons negatif karena hanya akan mengikis konsep diri anak.
Saran Hamizar, sebaiknya orangtua mencari tahu, apa saja yang diobrolkan anaknya
dengan benda-benda mati atau tanaman dan binatang itu. Dari situ, kita bisa tahu apa yang
dirasakan dan unek-uneknya. "Bukan tak mungkin lo, pembicaraannya itu mengenai kita

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

33

Pra Sekolah

yang terlalu bawel, terlalu banyak mengatur, suka memarahi anak, misalnya."
Jika memang mengenai diri kita, "Selanjutnya, perbaiki apa-apa yang salah dan yang
membuat anak jadi sedih atau sakit hati." Alangkah baiknya lagi, tambah Hamizar, bila pada
saat itu orangtua langsung minta maaf, "Maafkan Ayah, ya, Nak," dilanjutkan dengan
pertanyaan, "Menurut kamu, ayah harus bagaimana?" Atau, bisa juga dilanjutkan dengan
kalimat, "Kamu juga janji ya, harus mau dibilangin sama ayah karena ayah kan enggak mau
kamu celaka," misalnya.

BUKAN BERMAIN KHAYAL


Sepintas, tahap animisme ini mirip dengan bermain khayal, padahal sebenarnya tidak. Saat
bermain khayal, kata Hamizar, anak mempunyai tokoh tertentu dalam kepalanya. "Dia
mempunyai teman yang dia ciptakan dan hidupkan sendiri sesuai dengan keinginannya saat
itu. Visualisasi yang kita tangkap, anak ngobrol sendiri, berinteraksi sendiri, hingga
memperlakukan benda mati sebagai benda hidup yang bisa berkomunikasi dan berinteraksi
dengan dirinya." Jadi, saat bermain khayal, anak bisa bermain sendiri (dengan tokoh
imajiner yang dia ciptakan sendiri) atau dengan benda seperti boneka.
Sementara pada animisme, anak tidak menciptakan maupun menghidupkan tokoh imajiner
yang dia inginkan, melainkan dia mengasumsikan atau berasumsi benda-benda tersebut
bisa berkomunikasi atau hidup seperti dirinya. "Jadi, benda yang diajak berkomunikasi oleh
anak itu tetap benda seperti yang ada. Kalau tanaman, ya tanaman; kalau mobil, ya mobil;
atau kalau mainan, ya mainan, tidak diubah menjadi apa pun."
Perbedaan lainnya, bermain khayal bisa dilakukan oleh anak dengan atau tanpa benda.
Sedangkan pada animisme pasti ada objeknya.

BERBEDA DENGAN ORANG DEWASA


Tak jarang terjadi, orang dewasa juga suka berbicara kepada benda, tanaman, atau
binatang kesayangan. Tentunya hal ini tak bisa disamakan dengan animisme pada si
prasekolah. Sebab, orang dewasa pasti sudah tahu kalau lawan bicaranya itu tidak bisa
berkomunikasi. Orang dewasa juga sadar kalau dia tidak mungkin mendapatkan komunikasi
timbal balik.
Menurut Hamizar, orang dewasa berbicara kepada benda/tanaman/binatang kesayangan,
semata-mata merupakan ungkapan ekspresi perasaannya pada sesuatu yang dia sukai atau
sayangi. "Jadi, lebih pada ungkapan kasih sayang. Mungkin di situ si orang dewasa berharap
tanamannya bisa tumbuh lebih bagus, anjingnya bisa menjadi binatang yang penurut, dan
semacamnya. Tidak lebih dari itu."
Hamizar menambahkan, perilaku mengajak bicara benda/tanaman/hewan juga bukan
karena fase animisme di masa kecil tidak terpuaskan ataupun terbawa sampai dewasa.

TEMPAT CURHAT ANAK


Tema atau bahan pembicaraan anak pada benda mati, hewan dan tumbuhan, kata Hamizar,
bermacam-macam dan tidak fokus pada sesuatu. Tetapi biasanya, mengenai ungkapan isi
hatinya. Contoh, sehabis dimarahi, anak ngobrol dengan mobil-mobilannya, "Kamu nggak
boleh ilang, ya. Nanti aku dimarahin Bunda."
Bisa juga tema yang dibicarakan merupakan ungkapan atau isi hati anak yang tak bisa dia
ungkapkan pada orangtuanya atau gurunya. Misal, "Iya, bosen di sini, Bunda marah terus,"
atau "Aku kan enggak mau sekolah, ada yang nakal." Sejurus kemudian, "Tapi kata Ibu
Guru dan Bunda, aku harus sekolah. Emang kalau gak sekolah kenapa sih, ya?"

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

34

Pra Sekolah

Intinya, tema dan bahan pembicaraan anak bisa mencakup segala hal dalam ruang lingkup
dunianya.
Gazali Solahuddin. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

35

Pra Sekolah

BELANJA BERSAMA
Acara belanja bersama si prasekolah bisa jadi seru kalau tahu kiatnya. Pengalaman belanja
untuk hari raya membuat si kecil banyak belajar.

Dengan

kiat yang tepat, tak perlu lagi deh membujuk anak

menjadi "satpam" rumah bersama pengasuh, sementara ayah-ibu


berbelanja. Juga tak ada lagi komentar, "Ih... repot dong kalau
harus bawa anak. Bisa-bisa anggaran membengkak. Minta inilah
minta itulah. Lagi pula, kan, anak gampang capek. Belum lagi
pusing karena banyak orang."
MANFAAT AJAK ANAK
Namun sebelum sampai pada kiatnya, simak dulu manfaat
mengajak anak berbelanja keperluan Lebaran seperti yang
disampaikan Kodariyah, S.Psi. dari Yayasan Buah Hati:
* Merasakan gereget Lebaran
Setidaknya anak bisa merasakan, "Lebaran itu asyik dan seru." Ingat, segala sesuatu yang
disukai, jadinya akan mudah diterima. Perintah berpuasa yang diakhiri dengan hari bersuka
cita memudahkan kita dalam menanamkan nilai-nilai agama, tentang apa itu Ramadan dan
Lebaran karena jauh lebih mengena.
* Belajar tentang nilai yang sesungguhnya
Saat berbelanja, kita bisa sekaligus memberikan penanaman nilai yang sebenarnya
mengenai Lebaran. Misalnya, Lebaran itu bukan ajang jor-joran pesta pora, "Kita belanja
untuk melengkapi yang kurang saja. Baju kamu masih bagus, kan. Jadi lebih baik kita beli
sepatu saja karena sepatu kamu sudah hampir rusak."
* Mempertebal keimanan
Saat ikut berbelanja, banyak anak batal berpuasa karena kelelahan. Melihat itu, kita dapat
memasukkan nilai berpuasa. Apalagi kalau anak bertanya, mengapa banyak anak seperti
dirinya tidak berpuasa? Jawablah dengan penjelasan misalnya, "Kita di sini, kan, berbelanja
untuk keperluan Lebaran. Menurut kamu, Lebaran itu yang penting apanya?"
"Puasanya." "Pintar, Lebaran yang penting puasanya. Jadi kalau kita belanja Lebaran tapi
enggak puasa, jadi enggak asyik, kan, Lebarannya. Lebaran itu terutama untuk mereka
yang berpuasa."
* Belajar mengukur kemampuan
Karena dilakukan saat berpuasa, kita bisa melatih anak untuk mengukur kemampuannya,
"Apa kamu kuat, jalan ke sana kemari selama 3 jam? Kamu, kan, lagi belajar berpuasa?"
misalnya. Dengan begini, kita sekaligus melatih kejujuran anak. Juga, jika anak bertahan
tetap puasa padahal sudah kepayahan, kita bisa mengingatkannya, "Bener nih enggak mau
buka? Tapi kok sudah lemes? Buka saja tidak apa-apa, kok."

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

36

Pra Sekolah

KIAT BELANJA TENANG


Kiat belanja menyenangkan bersama anak terletak pada persiapan
mentalnya. Terutama untuk menghadapi kondisi di pusat
perbelanjaan selama berjam-jam. Anak juga mesti punya bayangan
apa saja yang akan dibeli. Dengan begitu, biasanya anak mau
bersikap hati-hati, kooperatif, dan tidak merepotkan seperti yang
sering dibayangkan. Inilah kiatnya:
* Beri penjelasan pada anak tentang suasana tempat berbelanja.
"Nak, di pasar itu ramai sekali. Apalagi sekarang menjelang
Lebaran. Orang yang kamu temui tidak semuanya baik. Jadi kamu
tidak boleh lepas dari ayah-bunda, ya." Dengan begitu anak
setidaknya tahu bahwa dia harus bisa menjaga dirinya.
* Beri tahu anak tentang apa yang akan dibeli. Boleh jadi si
prasekolah tidak cukup sabar mengikuti orangtuanya mencari
barang-barang yang dibutuhkan. Untuk mencegahnya, si kecil
perlu punya bayangan apa saja yang akan dibeli dan alangkah baiknya jika anak dilibatkan
kala menyusun daftar belanjaan. Beri tahu pula berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan semuanya. Jangan pula segan menjawab setiap pertanyaan anak, seperti
mengapa harus beli sepatu sampai mengapa tidak beli kue ini dan itu.
* Jelaskan bagaimana posisi keuangan kita. Umpamanya, "Lebaran kali ini cukup dengan
satu baju baru saja, ya, karena kalau lebih dari itu uang kita tidak cukup." Dengan begitu
diharapkan anak tidak minta dibelikan sesuatu di luar anggaran belanja yang telah dibuat.
* Jelaskan pula esensi dari belanja kebutuhan Lebaran. Hal ini harus dilakukan supaya anak
tidak salah memandang, "Oh, Lebaran itu harus mewah, segala ada, banyak uang, dan big
party," misalnya. Untuk itu, sampaikan pada anak alasan mengapa ayah-ibu
membelikannya baju baru atau perlengkapan salat, mengapa harus membeli bahan
makanan lebih dari biasanya, dan seterusnya. Contohnya saja, "Kita harus masak lebih
banyak, sebab di hari Lebaran akan ada banyak tamu, tetangga datang, saudara datang.
Masak mereka enggak kita suguhi?"
MEMILIH TEMPAT & WAKTU BELANJA
Tak kalah penting, pilihlah tempat belanja yang akrab dengan anak. Antara lain tidak
pengap dan panas, tidak berjejal, menyediakan tempat beristirahat, dan keamanannya
cukup terjamin.
Selain itu pilihlah waktu belanja yang tepat. "Sebaiknya tidak pada waktu sedang ramairamainya orang berbelanja, seperti pada hari Sabtu atau Minggu," saran Kodar. Yang juga
penting, anak harus dalam kondisi fit, setelah buka puasa, misalnya.
Selanjutnya saat berada di tempat berbelanja, mintalah selalu pendapat anak. Umpamanya,
"Kak, baju ini oke enggak, ya?" atau, "Kalau kita beli yang ini, asyik enggak ya?" Dengan
demikian, anak merasa dilibatkan penuh dalam penentuan kebijakan keluarga, meski
keputusan akhir tetap berada di tangan orangtua. Efeknya, anak merasa dihargai oleh
orangtuanya. Hal ini akan menambah kecintaannya pada ayah-ibu dan ia akan mudah
meraih rasa percaya diri.
Di sisi lain, jika anak rewel, terapkan disiplin tanpa harus memarahinya. Boleh jadi, ia minta
dibelikan sesuatu di luar perincian belanja yang sudah disiapkan. Katakan padanya, "Lo, kita
kan sama-sama berjanji tidak belanja yang lain?"
Jika si kecil tetap rewel, ingatkan lagi mengenai sanksi yang sudah disepakati. "Kalau kamu

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

37

Pra Sekolah

tetap rewel, sesuai kesepakatan, besok-besok ayah-ibu tidak akan mengajak kamu belanja
lagi," misalnya.
Bagaimana, sudah siap? Selamat berbelanja bersama si kecil!

MANFAAT UMUM MENGAJAK ANAK BERBELANJA


1. Belajar memahami nilai dan makna uang
Anak jadi tahu pentingnya uang, kenapa pengeluaran uang harus diatur, kenapa uang selalu
dicari manusia, kenapa membeli sesuatu harus selektif. Juga soal hitung-hitungan uang,
berapa kita harus memberikan uang dan berapa kembaliannya.
2. Belajar membuat pilihan
Contoh, "Karena uangku cuma ada Rp10.000, maka aku cuma bisa belanja ini saja." Atau,
"Kalau ingin beli lebih banyak dengan Rp10.000, aku harus cari barang yang murah-murah
aja."
3. Mengasah kecerdasan emosi
Pasalnya, dengan belanja anak jadi tahu dan belajar kalau barang yang diinginkan atau
yang bagus di pasar tidak semuanya bisa didapatkan. Uang yang dimiliki pun terbatas. Jadi
supaya bisa tercukupi, pilih yang utama dulu, baru yang lainnya.
4. Meningkatkan kepercayaan diri
Saat berbelanja, anak akan bertemu dengan orang yang berbeda-beda. Akan semakin baik
jika saat itu anak belajar memilih barangnya sendiri, membayar dan menerima uang
kembalian, lalu membawa barangnya sendiri.
5. Belajar mengelola waktu
Agar tak buang-buang waktu sampai semuanya kelelahan, tentukan waktu kapan belanja
harus sudah selesai. Nah, di situ anak belajar bahwa setiap detik berharga sehingga ia
harus gesit, cepat, dan cermat agar semua belanjaan sudah didapat pada jam yang telah
ditentukan.
Gazali Solahuddin. Foto: Ferdi/FERDI

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

38

Pra Sekolah

"YUK, MAIN KAWIN-KAWINAN..."


Bermain peran dapat mengembangkan kreativitas dan imajinasi anak. Namun, berikan
batasan yang jelas agar tidak mengarah pada hal-hal negatif.

"Sekarang main kawin-kawinan yuk," ajak Nia pada


teman-temannya. Anak-anak berusia 5 tahunan ini
sedang asyik bermain peran di teras. "Ati yang jadi
pengantin perempuan, terus Rio jadi pengantin lakilakinya. Ceritanya lagi didandani dulu ya. Aku yang
ngedandani," lanjut Nia membagi peran.
Permainan persiapan perkawinan itu berlangsung seru.
Semuanya dilakukan mirip sebuah upacara perkawinan;
ada juru rias, foto, MC (master of ceremony), dan
pendukung acara lainnya. Dan yang mengejutkan, di akhir acara, Rio mencium bibir Ati,
bagaikan upacara perkawinan sungguhan!
Menyaksikan ini, orangtua Ati merasa cemas. Bagaimana memberikan penjelasan kepada
Ati agar tak melakukan perbuatan itu lagi? Yang paling mengkhawatirkan, bagaimana jika ia
bermain peran dengan tema lainnya yang lebih mengundang "bahaya"? Misalnya, main
dokter-dokteran dan ia diminta membuka baju oleh "dokternya".
Memang, bermain peran banyak memberikan manfaat bagi si prasekolah. Lewat bermain
peran, anak dapat mengembangkan kreativitas dan imajinasinya. Juga dapat mengasah
kemampuannya bekerja sama karena umumnya bermain peran dilakukan bersama-sama
dengan teman-teman. Anak pun dapat belajar untuk mematuhi aturan karena biasanya ada
pembagian peran dan tugas-tugas yang harus dilakukan.
Akan tetapi, jangan pernah membiarkan si prasekolah bermain peran tanpa pemantauan
sama sekali. Sesekali orangtua harus "mengintip" apa yang dilakukan anak-anak saat
bermain peran. Terlebih saat anak memilih tema yang menyerempet "bahaya" seperti
kawin-kawinan yang diakhiri dengan ciuman bibir atau bermain dokter-dokteran sampai
memperlihatkan bagian tubuh yang paling pribadi.
TINDAK MENGATASI
Jika Anda mendapati si buah hati melakukan hal-hal yang tak sepatutnya dilakukan dalam
bermain, seperti berciuman bibir, inilah langkah-langkah yang dapat ditempuh!
* Galilah alasan yang menyebabkan ia melakukan perbuatan itu. Cobalah luangkan waktu
dan pilihlah saat yang senggang dan santai. Cari tahu alasannya. Namun, upayakan jangan
terlalu memaksa. Bisa-bisa ia malah ketakutan dan tidak jadi bercerita.
* Kalau si prasekolah mengakui karena dipaksa oleh temannya untuk melakukan itu, beri
tahu bahwa ia memiliki hak untuk menolak. Tidak semua keinginan teman harus disetujui,
sehingga kelak ia memiliki pendirian yang kuat dan berani mengungkapkan pendapatnya.

* Untuk menguatkan, sampaikan alasan yang masuk akal dan dapat diterima oleh si
prasekolah. Alasan yang paling pas adalah berkaitan dengan kesehatan. Sebab, bila diberi
penjelasan yang menyangkut pornografi atau malah dosa dikhawatirkan ia tak dapat
memahami. Contoh, "Kalau ciuman bibir bertemu bibir, nanti kalau temanmu sakit, Adek
Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

39

Pra Sekolah

juga bisa ikutan sakit. Penyakit itu mudah menular lewat mulut."
* Sebaliknya, jika alasan yang dikemukakan oleh si prasekolah adalah keinginan sendiri
alias coba-coba meniru adegan di televisi, berikan penjelasan bahwa yang ada di televisi itu
hanyalah pura-pura. Tegaskan, jika ingin mencoba mengungkapkan rasa sayang lewat
ciuman, sebaiknya jangan dilakukan dengan orang lain. Lebih baik, lakukan dengan
orangtua. Sedangkan untuk teman cukup dengan berciuman pipi dan itu sebaiknya
dilakukan dengan teman yang sejenis saja.

5 HAL PENTING
Ada 5 hal penting yang hendaknya diwaspadai orangtua saat buah hatinya bermain peran.
1. Tempat yang digunakan
Si prasekolah kadang kurang mempertimbangkan tempat-tempat yang aman saat memilih
tempat. Bisa-bisa tempat yang dipilih dapat membahayakan keselamatannya. Umpama,
bermain di tangga. Saking asyiknya bermain, saat naik turun tangga si prasekolah kurang
berhati-hati hingga membuatnya tergelincir dan jatuh.
Tempat lain yang patut dihindari adalah bermain di pinggir kolam renang atau di pinggir
jalan. Bila kurang waspada, dikhawatirkan si prasekolah terjatuh atau terpeleset karena
licin.
2. Peralatan yang digunakan
Untuk menghidupkan suasana agar lebih mendekati kondisi aslinya, si prasekolah kerap
membutuhkan peralatan tambahan. Misal, saat bermain peran masak-masakan, ia pasti
membutuhkan pisau untuk mengiris-iris. Waspadai bila si prasekolah berniat menggunakan
pisau sungguhan yang tajam. Pisau roti pun belum tentu aman. Sebaiknya berikan pisau
mainan dan jelaskan bahwa pisau yang tajam dapat membuat jarinya terluka.
3. Pemilihan tema
Banyak tema yang dapat dipilih untuk bermain peran. Sesekali tak ada salahnya
menanyakan tema yang paling disukai oleh si prasekolah dan teman-temannya. Kemudian,
cobalah untuk mengajukan tema-tema lain yang menarik. Berikan penjelasan sederhana
yang menarik sehingga si prasekolah terpancing untuk mencoba tema yang lain.
Diharapkan, semakin banyak tema yang dimainkan akan semakin memperluas wawasannya
dan memperkaya imajinasi si prasekolah.
4. Rambu-rambu yang harus diperhatikan
Berikan rambu-rambu yang sebaiknya diperhatikan dan dipatuhi. Contoh, jangan sampai
membuka atau memainkan bagian-bagian tubuh yang sangat pribadi, dari bagian lutut
sampai ke leher. Sampaikan bahwa bagian tersebut tak boleh dibuka-buka kecuali oleh
ayah, ibu, dan dokter atau suster sungguhan dengan diawasi orangtua.
Rambu lainnya, anak tak boleh bermain di tempat yang berbahaya dan melakukan adegan
yang membahayakan keselamatan. Misalnya, loncat dari ketinggian tertentu atau bermain
perang-perangan dengan menggunakan benda keras apalagi tajam.
5. Jangan abaikan tanggung jawab
Setelah bermain, minta si prasekolah dan teman-temannya untuk membereskan kembali
tempat dan peralatan yang digunakan. Jika ada benda-benda yang bukan miliknya,
mintalah si prasekolah untuk mengembalikan kepada pemiliknya. Melalui cara ini diharapkan
si prasekolah dapat sekaligus belajar bertanggung jawab.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

40

Pra Sekolah

BERMAIN PERAN DENGAN TEMAN YANG TIDAK SEBAYA


Sebenarnya tak masalah bila si prasekolah bermain peran dengan teman yang usianya lebih
tua atau lebih muda. Tak perlu khawatir anak yang usianya lebih tua akan mengajarkan
sesuatu yang buruk karena dengan perbedaan usia itu, anak justru banyak belajar. Bahkan,
bisa-bisa jalan ceritanya dapat lebih beragam dan kompleks.
Yang patut ditegaskan pada si prasekolah, selama bermain dengan anak yang berusia lebih
muda sebaiknya jangan bersikap bossy atau sok berkuasa. Sebaliknya, jika bermain dengan
yang lebih tua usianya, jangan mau menjadi anak bawang yang dianggap remeh.
Utami Sri Rahayu. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

41

Pra Sekolah

YIHAAA...YIHAAA, BERKUDA!
Tak-tik-tuk-tik-tak-tik-tuk..., begitulah suara sepatu kuda. Ternyata iramanya yang tenang
dan konstan merupakan terapi yang menenangkan bagi anak.

"Wow, itu kuda! Aku mau naik kuda!" Si kecil biasanya langsung

heboh begitu melihat hewan tunggangan ini. Namun tak jarang


orangtua khawatir dan melarangnya. Wajar saja, karena kegiatan
berkuda yang merupakan salah satu olahraga tertua di dunia
memang mengundang risiko cedera.
Untuk menghilangkan kekhawatiran orangtua, risiko berkuda dapat
diperkecil dengan memilih kuda yang pas dan pendamping yang
profesional. Apalagi, berkuda memberikan segudang man-faat dan
pengalaman seru bagi anak. Asalkan ia sudah dapat duduk sendiri di
punggung kuda, mampu menjaga keseimbangan, dan dapat
menunggangi kuda, maka tak ada larangan berkuda.
"Jadi, mulai usia 2 tahun pun, anak sudah bisa melakukannya," kata Budi Tulodo, seorang
pakar perkudaan. Tetapi memang, diakui olehnya, paling pas jika anak sudah berusia 3
tahun ke atas. Anak usia ini sudah dapat mengikuti instruksi, selain tentu keseimbangan
dan tenaganya sudah semakin baik daripada anak usia di bawahnya.
KUDA UNTUK ANAK
Menyoal risikonya, menurut Budi, berapa pun usia anak maka ada risiko yang dihadapi
dalam mengikuti olahraga berkuda. Misalnya, jatuh atau terlempar dari punggung kuda.
"Tapi bagi saya, semua cabang olahraga pasti berbahaya jika tidak dilakukan dengan benar.
Begitu juga dengan berkuda, tapi jika dilakukan dengan benar bisa aman," tukas pelatih
olahraga berkuda dari Arthayasa Stables, Cinere, Depok ini.
Itulah mengapa, pemilihan kuda yang akan ditunggangi menjadi unsur terpenting. Bagi para
pemula, ujar Budi yang sudah mengajak putri pertamanya (2) berkuda, pilihlah kuda yang
sudah matang, tenang, dan biasa ditunggangi berbeda-beda penumpang. Kriteria tersebut
dapat ditemui pada kuda yang berusia 9 tahun hingga 15 tahun ke atas. Juga dianjurkan
untuk menggunakan kuda poni yang tingginya kurang lebih hanya 1,49 meter.
Selain itu, tak dibenarkan anak berkuda sendiri sekalipun si anak sudah sering menunggang
kuda. Jadi, kudanya harus dituntun oleh pelatih/pengawas. Juga, sistem pengendalian
utamanya harus berada di bawah kontrol si pendamping.

SESI PENDEKATAN

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

42

Pra Sekolah

Namun, sebelum masuk pada sesi menunggang kuda, sebaiknya anak


diajak dulu masuk ke tahap dasar berkuda, yaitu mengenal kuda lebih
dekat. Dengan begitu, si anak bisa mengetahui karakter kuda, dan si
kuda pun bisa berkenalan dengan orang yang akan menungganginya.
Biasanya, jika si kuda dan penunggangnya sudah terjalin hubungan
dekat, maka akan terbina hubungan batin yang baik. Inilah keunikan
olahraga berkuda. "Tentunya ini akan memberi keuntungan tersendiri
bagi anak," kata Budi.
Pastinya, si kuda tak akan mencelakai anak, mau mengikuti apa yang
dikehendaki anak saat menungganginya, juga mau berlama-lama
ditunggangi oleh
anak. Di sisi lain, si anak akan merasa lebih sayang dan dekat dengan
sang kuda.
Jika kuda merasa aman dengan penunggangnya, maka ia akan melangkah tenang.
Ketenangan akan membuat jalan kuda berirama dan konstan. Hal ini akan diserap oleh anak
sebagai keteraturan dan ketenangan. "Karena itu olahraga ini benar-benar bisa membuat
penunggangnya relaks," papar Budi.
Pendekatan dapat dilakukan dengan cara mengajak anak mengelus kepala dan badan kuda.
Juga menyikat dan menyisir rambutnya, ataupun memberi makan kuda. Jika dilakukan
dengan sering, maka pada pertemuan ke-3 atau ke-4 biasanya anak pun merasa lebih siap
berkuda. Baginya, sudah tidak ada lagi rasa sungkan, takut, atau berjarak dengan si kuda.
Menunggang kuda dirasakan sebagai kenikmatan yang tiada tara. Si kuda pun enjoy
melayani penunggangnya jalan-jalan, taktiktuk...plak... ketiplak...ketiplak...

MANFAAT BERKUDA
Menurut Budi, dengan berkuda anak bisa mendapatkan pengalaman baru. "Terlebih
sekarang ini olahraga berkuda sedang menjadi tren di kalangan anak-anak." Mungkin hal ini
merupakan imbas dari banyaknya keluarga yang mencari tempat hiburan edukatif bagi
anaknya di alam terbuka.
Manfaat berkuda adalah:
1. Anak dapat berinteraksi dengan hewan yang dapat berjalan anggun dan berlari kencang
ini. Menunggang kuda tentu merupakan pengalaman seru bagi anak. Apalagi jika di awal
anak
sudah berkenalan dengan kudanya secara dekat, tentu akan memberikan kesan tersendiri
bagi anak.
2. Anak jadi berani bertanya, mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya, berbagi
cerita, dan menjalin hubungan dengan pihak luar. Saat berkuda, bukankah anak harus
berinteraksi dengan kuda dan pendampingnya? "Nah, di sini anak dikondisikan untuk berani
berbicara, sharing, mengemukakan pendapat, termasuk bertanya. Dengan demikian anak
terlatih untuk menjalin komunikasi dengan pihak luar."
3. Belajar menaruh percaya pada pihak lain, sebab saat di atas kuda, pada siapa lagi anak
bisa percaya bahwa ia tidak akan jatuh, selain pada kuda yang ditunggangi dan pelatih yang
mendampinginya?
4. Mengasah empati, karena anak benar-benar tergiring memahami kondisi kuda. "Kalau
kuda lagi enggak enak badan atau tidak bergairah, mungkin sedang capek, maka tidak

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

43

Pra Sekolah

boleh dipaksa, misalnya."


5. Mengembangkan kemandirian dan tanggung jawab, terutama ketika anak belajar
membersihkan kuda. Begitu pula, saat di atas kuda anak dikondisikan untuk tidak boleh
berbuat semaunya, miring kanan, miring kiri atau bergerak-gerak karena bisa membuatnya
terjatuh. "Nah, dengan begitu anak diajarkan untuk bisa bertanggung jawab pada dirinya
sendiri, selain kedisiplinan dan belajar fokus pada satu hal."
6. Belajar beradaptasi. Terjadi ketika anak harus mengendarai kuda yang berbeda.
Menangani dan mengendarai kuda yang berbeda ternyata menuntut perlakuan dan cara
menunggang yang berbeda pula. "Dengan begitu anak dikondisikan untuk mampu
melakukan adaptasi dengan kuda yang akan ditungganginya."
Asal tahu saja, karena poin-poin manfaat itulah, sekarang ini olahraga berkuda populer
dijadikan alat terapi bagi anak-anak penyandang autis. "Malah di negara maju, Australia,
misalnya, karena keunikannya itu, olahraga berkuda dijadikan alat terapi untuk kesembuhan
anak-anak pengguna narkoba, juga bagi anak-anak jalanan," beber Budi.

PILIH-PILIH ISTAL (STABLE)


Sebelum memutuskan menentukan tempat berkuda bagi anak, ada beberapa hal penting
yang harus orangtua ketahui. Saran Budi, pilih tempat berkuda yang baik. Cirinya: stable
terawat, kuda-kudanya sehat, instruktur dan pelatihnya profesional, juga tahu bagaimana
cara menuntun anak-anak yang masih awam sekali soal kuda dan menunggangi kuda.
Di tempat berkuda yang memenuhi standar, orangtua tidak perlu khawatir, karena kuda
yang akan ditunggangi anak-anak pasti layak bagi pemula seperti mereka.

MEMILIH KUDA YANG BERSAHABAT


Sekalipun kita atau anak tidak berharap jadi penunggang kuda profesional, tapi perlu juga
mengetahui apakah kuda yang akan ditunggangi memang benar kuda yang tenang. "Cirinya
bisa dilihat dari kondisi kuda pada saat itu, tenang, diam, dan jika ada suara keras atau
mengagetkan tidak panik," ungkap Budi.
Paling penting lagi, lihat kupingnya. Jika kupingnya mengarah ke depan dan diam, itu
tandanya si kuda memang dalam kondisi yang asyik. Tetapi jika sebaliknya, kupingnya
mengarah ke belakang atau bergerak-gerak, lebih baik pilih kuda yang lain.
Gazali Solahuddin. Foto: Ferdi/NAKITA. Lokasi: Arthayasa Stables, Cinere,

"SAYANG, KITA PUASA YUK!"


Anak usia prasekolah sudah bisa diajarkan berpuasa maupun mengikuti ibadah-ibadah

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

44

Pra Sekolah

lainnya.

Bagaimana mengenalkan ibadah puasa pada anak usia 3-5


tahun? Ditambah lagi, orangtua berkewajiban mengajarkan
pada anak bahwa di bulan suci Ramadan, ia juga harus
mampu menahan marah, iri, dengki, dan perbuatan-perbuatan
lainnya yang tidak disukai Allah. Dengan begitu, di luar bulan
Ramadan ia pun bisa melakukan hal tersebut lebih baik lagi.
Orangtua juga perlu mengatakan pada anak, dengan
khusuknya menjalankan ibadah di bulan Ramadan, maka
pahala atas amal perbuatannya akan dilipatgandakan.

itu semua secara bertahap.

Masalahnya, semua ajaran itu bersifat abstrak sedangkan pola


pikir anak usia prasekolah masih konkret operasional.
Untungnya masalah ini tidak menjadi hambatan. Seperti kata
Fitriani F. Syahrul M.Si., anak memiliki kemampuan yang
menakjubkan untuk menangkap, mencerna, dan memahami

Lagi pula, usia prasekolah adalah masa yang tepat untuk memupuk berbagai kebiasaan,
termasuk beribadah. Diharapkan, di usia sekolah dan remaja nanti, orangtua tidak terlalu
repot membujuk-bujuk anak untuk menjalankan puasa. "Jadi prinsipnya, semakin awal
dikenalkan akan semakin diserap oleh anak. Hasilnya akan semakin baik pula bagi anak,
karena di usia selanjutnya ia dapat memahami hal tersebut dengan lebih baik. Selain juga
dapat menghindari masukan yang salah tentang hal ini dari orang lain," beber pemilik dan
psikolog Sekolah Lentera Insan, Depok, Jawa Barat ini.

MEMORI BAIK TENTANG RAMADAN


Menurut Fitriani, untuk anak usia prasekolah yang paling utama dan terpenting diberikan
adalah penanaman memori-memori yang baik tentang bulan Ramadan. Jangan buru-buru
mengaitkannya dengan penghapusan dosa. Juga, hindari anak mendapatkan kesan bulan
Ramadan itu adalah bulan penyiksaan atau penderitaan.
Jadikan hari-hari di bulan Ramadan ini sebagai sesuatu yang
sangat menyenangkan. Ciptakan suasana yang berbeda dari
bulan-bulan lainnya, supaya anak turut merasakan bahwa bulan
Ramadan adalah bulan spesial yang selayaknya disambut
gembira.
Bagaimana caranya? Gunakan pendekatan secara fisik.
Contohnya, menghias rumah, membuat acara bersama selama
bulan Ramadan, membuat bingkisan yang bisa juga kita jadikan
hadiah untuk anak, dan lainnya. Supaya anak makin senang
dengan tibanya bulan Ramadan, ajak ia untuk membuat
hidangan
berbuka,
dari
berbelanja
bahannya
sampai
penyajiannya di meja. Anak pasti merasa seru jika dilibatkan
mensyukuri Ramadan.

KENALKAN IBADAH-IBADAH LAINNYA


Orangtua perlu juga menanamkan sekaligus memberi tahu anak tentang ibadah-ibadah lain

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

45

Pra Sekolah

khas bulan Ramadan. Caranya, kata Fitriani, dengan mengajak anak merasakan dan
mencoba secara langsung.
Salat Tarawih
Jelaskan pada anak bahwa salat Tarawih adalah salat malam yang cuma ada di bulan suci
Ramadan. "Jadi Nak, sayang sekali kalau kita tidak melakukannya," misal.
Karena anak usia ini sudah bisa diberi pengertian, maka sebelum mengajaknya salat
Tarawih di mesjid, bisiki dulu, "Nanti di mesjid kita Tarawih, tapi tidak boleh teriak-teriak
dan lari-lari, ya."
Biasanya Tarawih di mesjid menyenangkan bagi anak, selain ramai juga banyak temannya.
Karena itu, kita boleh memberikan sanksi bila anak melakukan pelanggaran. Misalnya, tidak
akan diajak ke mesjid lagi.
Berbuka puasa
Orangtua sebisa mungkin berbuka di rumah. Jadikan acara berbuka puasa sebagai acara
makan berjamaah. Di sini anak akan mendapatkan sensasi dan suasana yang lain lagi,
"Asyik ya. Buka puasa makanannya enak. Sama-sama lagi," misalnya.
Salat berjamaah
Setiap waktu salat tiba dan kebetulan orangtua berada di rumah, jangan lupa mengajak si
kecil. Sekalipun salatnya masih ngawur atau malah dia cuma guling-guling, tak masalah.
Yang terpenting, kita bisa membuat suasana yang dapat dirasakan oleh anak secara nyata
semisal, "Bulan Ramadan itu asyik, kumpul dan sama-sama terus."
Tadarus atau membaca Alquran bersama-sam
Baik sekali jika meluangkan waktu untuk mengajari anak setelah atau sebelum orangtua
mengaji. Tadarus dengan anak jauh lebih seru dan mengena jika dilakukan sambil bermain,
mewarnai huruf hijaiyah, membuat huruf hijaiyah lalu digunting dan ditempel, atau
menghafal surat-surat pendek. Alangkah baiknya lagi jika acara tadarus diselipi dengan
cerita mengenai kebajikan nabi dan rasul.

TIGA HAL PENTING


Menurut Fitriani, ada tiga hal penting yang perlu diajarkan pada anak berkaitan dengan
bulan Ramadan, yaitu:
1. Kedisiplinan dalam berpuasa
Saat sahur, bangunkan anak untuk ikut bergabung menyantap makanan. Gunakan
kesempatan ini untuk menjelaskan padanya, "Dengan sahur, badan kita tetap sehat dan
kuat. Jadi, tidak makan dan minum di siang hari pun tidak apa-apa."
Akan tetapi, jangan pernah memaksa anak. Kalau si kecil tak mau dibangunkan, ya sudah,
biarkan saja ia melanjutkan tidurnya. Esoknya, kita coba lagi untuk kembali
membangunkannya di saat sahur.
Pagi hari, ajak anak untuk berpuasa. Jelaskan padanya, karena dirinya masih belajar, maka
aturan berpuasanya tidak sama seperti orang dewasa. "Nanti siang kalau kamu lapar atau
haus sekali, boleh kok, minum dan makan," misalnya.
Alangkah baiknya jika dari hari ke hari kita tingkatkan kemampuannya berpuasa. Umpama,
yang tadinya buka pukul 08.00, besok-besok bukanya pukul 08.30, lalu besok-besoknya lagi
buka pukul 09.00, dan seterusnya.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

46

Pra Sekolah

2. Kemampuan untuk mengendalikan diri


Pengendalian diri yang bisa kita tanamkan pada anak usia ini masih sangat
sederhana. Antara lain, bersikap jujur dan belajar mengukur kemampuan diri. Untuk
mendukung hal ini, sebaiknya kemajuan yang dicapai oleh anak tidak harus disusul dengan
pemberian imbalan berupa benda. Tujuannya, agar apa yang dilakukan anak tidak sematamata demi mendapatkan imbalan.
3. Tingkah laku prososial
Mulailah dari empati, selanjutnya diharapkan anak mau berbuat sesuatu dalam rangka
menolong atau berbuat untuk sesamanya. Cukup katakan, "Oke, sekarang kamu buka
puasa tapi om dan tante juga kakak-kakak sedang puasa, enggak baik makan di depan
orang yang puasa," misalnya. Diharapkan, dengan begitu tumbuh keyakinan atau iman yang
kuat pada diri anak.
Ajarkan juga pentingnya berempati pada kaum papa. Contoh, "Beginilah rasanya temanteman kamu yang berada di jalan, mengamen atau memulung. Makan susah, apalagi beli
baju." Lanjutkan dengan penanaman nilai kebaikan, "Maka dari itu kalau makan tidak boleh
bersisa, harus dihabiskan. Supaya bisa habis, ambil makanan secukupnya. Daya tampung
perutmu kan terbatas." Dengan demikian, kita pun mengajari anak untuk bisa menghargai
makanan dan menahan diri.

HIDUPKAN TEVE HANYA PADA JAM-JAM TERTENTU


Agar proses pembelajaran berjalan sukses, menurut Fitriani, orangtua harus memerhatikan
beberapa aspek yang dapat menggagalkannya. Antara lain, pesawat televisi. "Sering kali
acara televisi membuat anak menolak jika diajak untuk melakukan ritual ibadah."
Karena itu, perlu diciptakan situasi yang kondusif. Tak ada cara selain bahwa seluruh
anggota keluarga sadar akan hal ini. Khusus di bulan Ramadan, televisi hanya dinyalakan
pada jam-jam tertentu di luar waktu ibadah atau kebersamaan seperti berbuka puasa.
Gazali Solahuddin. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

47

Pra Sekolah

BERSIH-BERSIH YUK!
Anak sudah dapat dilatih membersihkan diri sendiri sejak di usia prasekolah.

Kebersihan

adalah sebagian dari iman. Jadi siapa pun wajib

menjaga dan memerhatikan kebersihan, termasuk kebersihan diri


sendiri. Begitu pun anak, terlebih di usia prasekolah akhir anak
diharapkan sudah mampu melakukan aktivitas untuk menjaga
kebersihan dirinya sendiri. Salah satunya, bisa mandi sendiri dan
membersihkan seluruh tubuhnya dengan sabun serta bersampo.
Itulah mengapa, menjaga kebersihan diri harus sudah diajarkan
sejak dini. Untuk anak usia prasekolah, kata Dra. Retnaningsih,
MSi., caranya yang paling efektif adalah dengan langsung
berpraktik. Pembelajarannya pun menurut Ketua Jurusan Psikologi,
Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat ini harus dari yang sederhana dulu. Simaklah 6
hal tentang kebersihan diri yang perlu diajarkan pada si kecil:
1. MENCUCI TANGAN
Inilah materi pertama yang harus diajarkan pada anak: mencuci tangan sebelum makan
dan minum, serta sehabis bermain. Mengapa hal ini harus menjadi prioritas? "Karena
aktivitas anak itu banyak sekali yang menggunakan tangan. Tak peduli kotor atau tidak, jika
anak tertarik, pasti akan dipegang dan dieksplorasinya," papar psikolog yang akrab disapa
Retna ini.
Lagi pula, aktivitas mencuci tangan mudah ditiru dan dilakukan anak sehingga cara
mengajarkannya pun tak sulit. Yakni dengan memberikan contoh. Ini berarti, orangtua
harus mempunyai kebiasaan rajin mencuci tangan agar anak menirunya.
Tentunya, orangtua juga harus tahu bagaimana cara mencuci tangan secara benar, yaitu:
a. Menggunakan air bersih yang mengalir.
b. Menggunakan sabun.
c. Menggosok-gosok kedua belah telapak tangan.
d. Menggosok-gosok kedua belah punggung tangan menggunakan
telapak tangan bergantian.
e. Menggosok sela-sela jari dengan cara mentautkan kedua telapak
tangan.
f. Menggosok setiap lipatan-lipatan kulit.
g. Menggosok setiap sela-sela kuku.
h. Bilas hingga bersih dengan air mengalir.
i. Cucilah tangan sampai batas pergelangan tangan.
2. MENCUCI KAKI
Berikutnya yang harus diajarkan adalah kebiasaan mencuci kaki setiap

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

48

Pra Sekolah

kali usai bepergian, sehabis mengenakan sepatu berlama-lama, ketika hendak naik ke
tempat tidur atau saat akan berangkat tidur. Caranya hampir mirip dengan mencuci tangan:
dibasuh dengan air mengalir, digosok secara merata sampai sela-sela jari kaki, dan gunakan
sabun sebagai alat pembersihnya.
3. MENGGOSOK GIGI
Tanamkan kebiasaan menggosok gigi sekurang-kurangnya dua kali sehari, yaitu sebelum
tidur malam dan sesudah sarapan. Cara mengajarkannya dengan memberikan contoh
konkret dari orangtua dan bimbingan langsung agar anak mampu melakukan gerakan yang
benar dalam menggosok gigi. Yaitu, gosok gigi dengan gerakan vertikal untuk penampang
gigi bagian luar dan dalam, serta secara horisontal dengan gerakan menyapu ke arah luar
mulut untuk permukaan gigi atas dan bawah.
Lakukan dengan cara yang menyenangkan dan tanpa paksaan. Beri masukan pada anak,
"Kalau gigimu tidak disikat, nanti gusinya bisa bengkak dan sakit. Makan pun jadi susah."
Bisa juga dilanjutkan, "Kalau tidak bisa makan, nanti kamu kekurangan gizi, lalu sakit,
enggak bisa bermain deh."
Selain itu, perhatikan sikat gigi yang digunakan. "Sering kali anak menolak menggosok gigi
karena sikat giginya membuat dia merasa tidak nyaman, sakit, atau trauma. Belum lagi
kalau pasta giginya menurut anak tidak enak," urai Retna. Karena itu, anjurnya, gunakan
sikat gigi khusus untuk anak yang lembut, dan pasta gigi yang rasanya disukai oleh anak.
4. MANDI DENGAN BENAR
Ajari anak mandi dengan benar sekurang-kurangnya dua kali sehari. Cara mengajarkannya
tak beda, yaitu berdasarkan contoh konkret dan tuntunan langsung dari orangtua. Jelaskan
pula, mandi tak sama dengan bermain air, tetapi mandi sama asyiknya dengan bermain air.
Dalam bahasa lain, jangan sampai anak merasakan mandi sebagai sebuah penyiksaan
sehingga membuatnya menolak mandi.
Jadi, ciptakan mandi sebagai sebuah permainan agar anak mau mandi dengan enjoy.
Jangan beralasan tak ada waktu untuk itu, sepanjang orangtua bisa menyiasati waktunya
dengan baik. Lagi pula, permainan yang diciptakan bisa sekaligus dilakukan sambil
melakukan aktivitas bersih-bersih saat mandi. Contoh, membuat hujan buatan dari kantung
plastik yang sudah dibolong-bolongi saat membasuh tubuh anak.
Adapun cara mengajarkan mandi yang benar pada anak, menurut Retna, sama saja seperti
mandinya orang dewasa. Yaitu, membasuh seluruh tubuh, menyabuni hingga merata ke
seluruh tubuh, lalu membilasnya sampai tak ada lagi sisa sabun di kulit. Setelah itu ajak si
kecil merasakan, "Nah, sekarang bagaimana rasanya sesudah mandi? Segar bukan?"
Dengan begitu diharapkan anak akan menjadikan mandi sebagai suatu kebutuhan.
Kalau anak sudah kepalang punya kebiasaan mandi sambil berendam berlama-lama,
sarannya, ajak dialog saja, "Mandi kan yang terpenting bukan berendamnya, tapi bersihbersihnya, menggosok dan membersihakn semua kulit tubuh." Lanjutkan juga dengan
"Kalau berendam lama-lama nanti bisa terlambat sekolah, lo. Malu, kan?" misalnya.
5. KERAMAS
Ajarkan juga untuk tidak lupa keramas, minimal dua hari sekali. Lakukan dengan cara yang
menyenangkan. Sering kali anak menolak keramas karena pernah mengalami sesuatu yang
tidak enak, umumnya lantaran mata si kecil teriritasi oleh sampo. Jadi gunakan sampo
khusus untuk anak yang anti iritasi.
Ajarkan cara bersampo dengan benar, yaitu membasuh rambut dengan air, baluri rambut

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

49

Pra Sekolah

dengan sampo, pijat-pijat kulit kepala, lalu bilas dengan air hingga bersih.
Kemungkinan anak akan bertanya kenapa rambut bisa kotor dan harus dikeramas. Karena
mungkin saja anak bingung, rambut yang tempatnya di atas dan tak pernah bersentuhan
dengan yang kotor kok harus dicuci. Untuk menerangkannya, saran Retna, ajak anak
melihat air bilasan usai bersampo, "Tuh lihat, airnya keruh, kan. Ini tandanya rambut kamu
kotor." Usai dibilas, coba lagi basahi, "Tuh sekarang airnya tetap jernih. Tandanya rambut
kamu sudah bersih."
6. MENGGANTI BAJU
Yang juga penting diajarkan dan dibiasakan adalah mengganti baju yang sudah dipakai di
luar rumah. Begitu pun baju yang sudah dipakai seharian, meski tampaknya tidak kotor
tetapi di situ banyak sekali debu dan kotoran yang menempel.
Bila anak bertanya, "Mana kotor? Masih bersih kok!" Jawablah dengan praktik dan
pembuktian. Ajak anak bersama-sama mencuci bajunya, perlihatkan air bekas mencuci baju
yang menurutnya masih bersih. Dengan begitu, anak akan paham dan mau menerima apa
yang orangtua sampaikan. "Mama bener juga, ya... bajuku kotor, ih..." misal.
Jika keenam materi tentang kebersihan diri yang telah dipaparkan di atas sungguh-sungguh
diajarkan dan dibiasakan, maka bukan saja tubuh anak akan tetap bersih dan sehat,
melainkan juga lingkungan rumah akan terjaga kebersihannya. Nah, tunggu apa lagi?
Mumpung si kecil masih di usia prasekolah, belum terlambat kok, untuk mulai mengajarinya
menjaga kebersihan diri.

BOLEH DIAJARKAN, TAPI...


Memotong kuku, membersihkan telinga dan hidung juga tak bisa dipisahkan dari kegiatan
menjaga kebersihan tubuh. "Akan tetapi hal ini belum saatnya dilakukan sendiri oleh anak
usia prasekolah," ujar Retna. Anak cukup sebatas tahu bahwa kukunya harus terus
dipotong, paling cepat seminggu sekali, supaya tetap bersih. Begitu pun dengan telinga.

PEDULI LINGKUNGAN
Ajaran untuk menjaga kebersihan diri akan membuahkan cara hidup sehat pada anak. Efek
jangka pendeknya, kata Retna, anak akan mengerti apa yang harus dilakukan untuk
menjaga kebersihan diri. Anak pun bisa merasakan secara langsung, dengan selalu menjaga
kebersihan diri dia akan lebih segar.
Dari sisi psikologis, tambah Retna, bisa membantu menumbuhkan rasa percaya diri anak,
mengasah keterampilan motorik, dan memperbanyak pengetahuan soal kesehatan.
Manfaat lainnya, sudah tentu dengan badan yang bersih, anak tak mudah diserang
penyakit. Waktunya untuk bereksplorasi, bermain, dan belajar menjadi jauh lebih banyak
dan optimal.
Selain itu anak yang sudah biasa melakukan bersih-bersih diri, umumnya juga akan bersih
terhadap lingkungan. Dia tidak mau buang sampah sembarangan dan rajin bersih-bersih,
minimal kamarnya.

TEGAKKAN PERATURAN
Membuat anak bisa menjaga kebersihan diri, repot-repot gampang. Tetapi yang jelas,
orangtua perlu disiplin menerapkan aturan-aturan tersebut: masuk rumah harus cuci kaki
dan tangan, gosok gigi sebelum tidur, mandi harus gosok sana sini, ganti baju yang sudah
dipakai di luar rumah, dan lainnya.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

50

Pra Sekolah

Kalau ada pelanggaran, ujar Retna, jangan jemu-jemu mengingatkan anak untuk menaati
itu semua. Malah akan lebih baik dibuatkan sanksi bagi para pelanggar. Tentu
konsekuensinya dibuat bersama dengan anak.
Selain itu, pembuktian dari jawaban atas pertanyaan anak seputar pentingnya kebersihan
harus sebisa mungkin dilakukan. Hanya dengan cara itu anak baru bisa memahami maksud
dan alasannya. "Jika kesulitan mencari bukti, orangtua bisa memanfaatkan media televisi
yang sering memvisualkan kuman di baju, kulit, rambut, supaya anak lebih mudah
menangkapnya, 'Tuh, kan, kumannya mati jika kita mandi menggunakan sabun,' misalnya."
Satu hal lagi, orangtua harus turut andil memberi contoh pada anak mengenai kegiatan
bersih-bersih diri. Bukan saatnya lagi, orangtua jangan cuma bisa nyuruh-nyuruh doang.
Gazali Solahuddin. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

51

Pra Sekolah

MINTANYA NGOTOT, SETELAH ITU CUEK


Intan (4) tak hentinya merengek minta dibelikan boneka Barbie. Semula sang ibu menolak,
tetapi akhirnya dibelikan juga karena tak tega melihat putri kesayangannya menangis.
Tetapi setibanya di rumah, si Barbie hanya dibiarkan teronggok di boks mainannya
sementara Intan memainkan mainannya yang lain.

Coba,

orang

tua

mana

yang

enggak

kesal?

Setelah

mengabulkan keinginannya, eh si prasekolah malah seperti


menyia-nyiakannya. Padahal sebelumnya dia ngotot minta
dibelikan, bahkan sampai menangis berguling-guling agar
dipenuhi. Sepertinya si pra-sekolah tak menganggap, apa
yang diperolehnya itu adalah hasil dari sebuah perjuangan
yang berat.
Perilaku si prasekolah yang demikian bukan hanya ketika dia
menginginkan mainan, tetapi mungkin juga makanan,
minuman, baju, sepatu, topi, buku, alat mewarnai, dan lain
sebagainya, tergantung apa yang dia inginkan pada saat itu.
RISIKO PENDIDIKAN MODERN
Menurut Hj. Natasha Nugraha, Psi., dari Klinik Puri Mutiara
Bekasi, anak-anak sekarang jauh lebih berani dalam
mengemukakan pendapat atau mengekspresikan diri, karena orang tua zaman sekarang
sudah melatih anak ke arah itu. "Dulu kebebasan berekspresi dan berpendapat sangat
dibatasi, malah hampir dilarang. Jadinya, sering kali pendapat dan keinginan orang tua
dengan terpaksa diikuti anak."
Tetapi sekarang lain, pendapat orang tua di jalur merah, pendapat anak belum tentu, bisa
jadi dia berada di jalur biru. Sehingga tidak heran, kalau si prasekolah sudah ingin sesuatu karena selalu diajarkan memilih, mengemukakan dan mempertahankan pendapat, serta
membuat keputusan maka dia akan berjuang supaya keinginannya dikabulkan.
Selain itu, anak usia prasekolah memiliki rasa ingin tahu yang besar sekali. Juga,
penguasaan dan kepemilikan terhadap sesuatu masih sangat besar. Makanya tak heran,
saat melihat ada yang menarik, dia langsung ingin mendapatkannya. Kondisi ini bisa juga
dipengaruhi lingkungan, apalagi anak di rentang usia ini masih "lapar mata". Jika temannya
punya sesuatu, misalnya mainan, dia pun ingin memiliki mainan yang serupa. Jadilah dia
akan ngotot berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu.
RENTANG PERHATIAN PENDEK
Yang jadi persoalan, setelah apa yang diperjuangkannya itu berhasil diperoleh, hanya
sekejap saja ia berusaha menikmatinya. Selebihnya malah cuek. Menurut Natasha, hal ini
antara lain berkaitan dengan temperamen, yaitu kecenderungan bawaan anak dalam
bereaksi terhadap orang lain, situasi, ataupun suatu hal. "Salah satu aspeknya adalah
rentang perhatian. Nah, rentang perhatian pada anak bermacam-macam, ada yang tinggi
dan ada yang pendek atau rendah," ujarnya.
Anak yang masuk dalam kelompok rentang perhatian tinggi tidak akan mudah teralih ke hal
lain di luar apa yang sedang dia hadapi atau tekuni. "Kalau dihadapkan pada sebuah
mainan, dia akan menunjukkan perhatian dan memainkan mainan tersebut dalam waktu

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

52

Pra Sekolah

cukup lama."
Sebaliknya, mereka yang rentang perhatiannya pendek, mudah sekali beralih ke hal yang
lain. Anak tampak cepat puas, kurang tekun, menyepelekan sesuatu, sehingga kurang
menghargai sesuatu, entah itu perjuangannya maupun pemberian yang diterimanya.
Nah, anak-anak yang suka ngotot tiap kali menginginkan sesuatu, tapi setelah itu malah
tidak memedulikan apa yang telah diperolehnya, "Bisa jadi mereka masuk dalam kelompok
yang memiliki rentang perhatian pendek," simpul Natasha.
DIANGGAP TIDAK SESUAI
Sebab lain adalah terbatasnya kemampuan kognitif anak. Juga karena masih dipengaruhi
oleh besarnya keingintahuan, ingin memperoleh sesuatu, dan ingin memiliki apa yang
dipunyai teman. Nah, kala anak hanya sebatas ingin mendapatkan apa yang dimauinya,
tanpa peduli barang itu asyik atau tidak buat dirinya, apakah dia bisa memainkannya atau
tidak, apakah dia memang benar-benar suka atau tidak, maka saat barang itu ada di
tangannya kemungkinan yang terjadi adalah respek atau tidak. Kalau tidak, tentu dia akan
segera mengabaikannya, "Yaa... susah. Enggak asyik, ah!" misalnya.
Dalam bahasa lain, barang yang diperoleh dari hasil perjuangannya itu ternyata tidak sesuai
dengan yang dia bayangkan ketika dia sedang ngotot mendapatkannya. Bisa karena terlalu
sulit, bisa karena si anak merasa tidak enak atau tidak asyik dengan mainan itu, bisa juga
lantaran mainan itu tidak menjadi tantangan buatnya. Tetapi kalau kita tanya, mengapa dia
melakukan perbuatan itu, umumnya anak akan bingung juga. "Iya, ya, kenapa aku begitu?"
JANGAN DIKABULKAN
Tentunya, perilaku si prasekolah yang demikian tak boleh dibiarkan. Mengingat rentang
perhatiannya pendek, maka langkah awal yang harus orang tua lakukan adalah membuat
anak bisa menjadi seseorang yang memiliki rentang perhatian panjang.
"Orang tua harus meningkatkan ketekunan anak dan bisa memotivasi anak dalam
mengeksplorasi sesuatu lebih jauh," ujar Natasha. Caranya, dengan pendampingan. Ajak
anak bermain bersama dengan menggunakan mainan dari hasil ngotot-nya itu. Ciptakan
situasi semenarik mungkin dan menantang keterlibatan anak.
Namun jika anak menolak makanan yang sebelumnya ia idam-idamkan, kata Natasha,
kondisinya jadi berbeda. "Bagaimanapun untuk masalah rasa, kita tak bisa memaksakan."
Jadi, untuk kasus ini, paling yang bisa dilakukan adalah memberikan pengertian padanya
semisal, "Kamu tidak suka makanan ini karena pedas. Lain kali tidak minta makanan ini
lagi, ya." Dengan cara ini diharapkan anak tahu bahwa lidahnya belum dapat menerima rasa
pedas.
Selain itu, minta anak untuk bertanya lebih dahulu pada orang tua mengenai sesuatu yang
diinginkan. Dari situ, orang tua bisa menjelaskan, "Ini mainan orang dewasa, susah
dimainkan oleh anak seusia kamu." Bisa juga ditambahkan, "Kalau kamu tidak percaya,
boleh kita coba dulu." Setelah itu, lanjutkan dengan, "Tuh kan, enggak gampang maininnya." Dengan begitu, anak akan mengerti, "Oh iya, ngapain juga aku ngotot," atau, "Ayah
tidak mau beli bukan karena pelit, tetapi karena aku belum bisa memainkannya."
Natasha minta orang tua agar tidak mengabulkan permintaan anak jika memang sudah
tahu bahwa apa yang diinginkannya tidak akan disukai sekalipun si anak terus ngotot. Tentu
dengan memberikan penjelasan dan bukti atau contoh yang bisa diterima anak.
Tetapi jika hal seperti ini sudah pernah terjadi: dikabulkan tapi kemudian cuek, maka sudah
sepantasnya orang tua bertanya pada anak, "Kemarin saja main- annya tidak dimainkan,
mengapa? Sekarang kok minta yang lain, mengapa?" Atau, "Oke, tapi janji dulu, mainan

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

53

Pra Sekolah

yang kamu minta betul-betul terpakai. Kalau tidak, besok-besok tidak beli lagi." Jika
kesepakatan dilanggar, anak boleh diberi sanksi berupa pencabutan kesenangannya, semisal
tidak boleh nonton teve dan menyita mainan kegemarannya.
JADI TAK BERTANGGUNG JAWAB
Kalau tidak disikapi segera oleh orang tua, kondisi ini akan bertahan pada diri anak. Selain
terbiasa tidak bertanggung jawab, anak pun jadi suka lepas tangan, dan tak memiliki
penghargaan yang tinggi terhadap pemberian orang lain maupun jerih payahnya sendiri.
Selain itu, anak pun akan terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah. Dampaknya,
kepribadian anak tidak berkembang menjadi tangguh alias lemah, cenderung tidak
berusaha keras, tidak memiliki ketekunan tinggi, kurang mandiri, inisiatifnya rendah,
bahkan pemalas. Wah, jangan sampai deh!

JANGAN TURUTI JIKA DISERTAI TANTRUM


Saat ngotot memperjuangkan keinginannya, bukan tak mungkin si prasekolah akan
menunjukkan aksi temper tantrum-nya, marah sambil berguling-guling atau teriak-teriak.
"Kondisi ini terjadi karena anak tidak tahu lagi harus berbuat apa supaya keinginannya
terkabul," tutur Natasha.
Kondisi ini akan semakin melekat jika pada saat aksi tersebut muncul, orang tua meluluskan
keinginan anak. Karena itulah, saran Natasha, jangan sekalipun mengabulkan keinginan
anak kala ia ngotot dengan disertai tantrum. Begitu pula jika anak tak mau diberi
penjelasan dan tak bisa mengerti keadaan orang tua walaupun sudah diberi pengertian.
Jika pada saat itu orang tua menuruti keinginan anak, pasti anak akan
mengulanginya. "Kalau mau sesuatu, aku ngotot aja, ah. Pasti dikabulkan," misalnya.
Gazali Solahuddin. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

54

terus

Pra Sekolah

MUDAH BERGAUL BERKAT POLA ASUH TEPAT


Wajarnya, anak usia prasekolah tak lagi mengalami kesulitan beradaptasi.

"Anak

saya ini kalau di rumah bawel, lo. Kalau dia sudah

bertanya, saya dan ayahnya sampai kewalahan. Dia juga enggak


bisa diam, lari ke sana ke mari, main sepeda, main mobil. Sudah
gitu, jahilnya minta ampun. Biasanya si Mbak yang paling sering
menjadi korban kejahilannya. Tapi kalau di tempat baru... ya,
begini deh, enggak mau lepas dari saya atau ayahnya," cerita
seorang ibu tanpa bisa menutupi kekecewaannya terhadap sang
putra (4) yang dinilainya lambat beradaptasi.
Dapat dipahami jika si ibu merasa kecewa. Sewajarnya memang
anak usia prasekolah tak lagi menemui masalah beradaptasi.
Apalagi pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan
beradaptasi dan kemampuan ini sudah dipelajari sejak bayi. Saat memasuki usia
prasekolah, apalagi di usia 4-5 tahun, kemampuan ini sudah bisa dimanfaatkannya dengan
baik.
Hanya saja, diakui Junetty Halim, M.Psi. Psi., pada anak-anak tertentu, kondisi seperti
cerita tadi dapat terjadi. "Contohnya, anak-anak yang mendapatkan pola asuh banyak
dilarang, anak yang tak diperkaya pengalamannya dalam bergaul, atau bisa jadi memang
dia adalah anak yang kurang aktif."
Menurut psikolog dari pusat konseling dan pelatihan IPEKA di Jakarta Barat ini, orang tua
perlu mengamati, apakah di setiap tempat dan lingkungan, anak selalu memerlukan waktu
untuk bisa beradaptasi dan tak ada kemajuan dalam hal waktu beradaptasi. Bila
jawabannya "ya", berarti si anak masuk dalam kategori lambat beradaptasi.
TIGA PENYEBAB
Orang tua wajib mencari tahu, kenapa anak selalu memerlukan waktu lama untuk
beradaptasi. Apa yang menjadi penyebabnya dan apa yang menjadi ganjalannya sehingga
dia perlu sangat berhati-hati. Jangan-jangan, kata Junetty, si anak memiliki konsep diri
yang kurang positif, selalu ragu dan takut karena orang tuanya terlalu ketat mengontrol
hidupnya.
Menurut Junetty, ada 3 faktor yang berperan penting menyebabkan anak jadi lambat
beradaptasi:
1. Dari diri anak itu sendiri
Hal ini terkait dengan kematangan kemampuan komunikatif dan bahasa. Anak-anak yang
tidak atau kurang menguasai bahasa biasanya lebih sukar untuk menyesuaikan diri.
Bisa juga ini dikarenakan temperamen si anak. Contoh, anak-anak yang memang dari
awalnya tergolong slow to adapt child (memerlukan waktu lebih lama untuk mempelajari

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

55

Pra Sekolah

situasi baru).
2. Gaya pengasuhan
Usia 3-5 tahun adalah masa perkembangan pembentukan konsep diri. Hal ini sangat
dipengaruhi gaya pengasuhan orang tua. Jika orang tua "senang" melarang atau memberi
batasan-batasan yang sangat kaku, bisa dipastikan si anak lebih takut untuk mencoba
sesuatu yang baru. Tentunya ini bisa memengaruhi pembentukan konsep diri anak, salah
satunya kemampuan adaptasi yang jelek.
Selain itu, penerapan disiplin model ini juga bisa menjadi bumerang. Misal, orang tua
menerapkan disiplin tanpa disertai penjelasan mengapa suatu hukuman diberlakukan, maka
biasanya anak jadi tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Nah, karena tidak tahu,
biasanya dia jadi ragu dan akhirnya ketika harus bertemu sesuatu yang baru, dia juga
bingung karena tak ada patokan atau panduannya. Kondisi ini akan memengaruhi
kemampuan anak untuk bisa beradaptasi.
3. Peristiwa traumatik
Bisa karena lingkungan sosial yang pernah membuat anak merasa tidak aman dan nyaman,
atau ada konflik-konflik tertentu yang membuat dia lebih sulit terbuka.
UBAH POLA ASUH
Selain ketiga penyebab tadi, ada pula yang beranggapan kondisi lambat beradaptasi
diakibatkan faktor keturunan. "Tetapi saya sih melihatnya bukan karena faktor turunannya,
melainkan lebih pada role modelnya," kata Junetty. Maksudnya, si anak mungkin mencontoh
orang tuanya yang juga tidak mahir atau sulit beradaptasi.
Oleh karena itu, bila ingin anak mudah beradaptasi secara sosial, tak ada cara lain kecuali
mengubah pola asuh. "Orang tua harus menghilangkan kebiasaannya yang banyak
melarang, menyepelekan pendapat anak, terlalu banyak mengatur, dan selalu membuatkan
keputusan untuk anak." Pasalnya, dengan kebiasaan orang tua yang demikian, anak jadi tak
pernah merasakan bagaimana menentukan keputusan untuk dirinya sendiri. Imbasnya,
anak jadi sulit beradaptasi karena bingung, takut, dan tak tahu harus bagaimana caranya
mulai beradaptasi.
Selain mengubah pola asuh, orang tua juga harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi
anak karena tahapan belajar masing-masing anak tidaklah sama. Pada anak pemalu dan
penakut, misal, orang tua bisa memberikan kesempatan kepada anak berinteraksi dengan
banyak manusia. Caranya, undanglah teman-teman si kecil atau saudaranya ke rumah
untuk bermain bersama atau mengajak mereka ke tempat lain yang banyak anak
sebayanya. "Ini bisa membantu anak mempelajari cara mereka menyesuaikan diri."
Bagaimana bila si kecil menolak cara-cara tersebut? Menurut Junetty, orang tua harus
menghargai, bukan malah memaksakan kehendaknya. Selain itu, orang tua juga harus
mencari tahu apa yang membuat anaknya takut. Selanjutnya orang tua membantu anak
untuk menetralisir ketakutannya itu.
Sementara, anak yang lambat beradaptasi lantaran bertemperamen sulit harus sering diajak

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

56

Pra Sekolah

bergaul dan dibimbing tentang bagaimana cara memulai berinteraksi dengan orang lain.
Lama-lama anak akan menemukan sendiri cara yang terbaik untuk dapat beradaptasi.

TAK ADA KATA TERLAMBAT


Kalau saja sejak berusia batita anak sudah dilatih untuk mengembangkan kemampuannya
dalam bersosialisasi, maka saat masuk fase pembentukan konsep diri di usia 3-5 tahun, ia
sudah lancar beradaptasi. Walau begitu bukan berarti terlambat jika kita baru
mengajarkannya di usia 3-5 tahun. Caranya, tak lain dengan memberikan lingkungan
kondusif yang dapat membuat anak berani mencoba sesuatu.
Disamping itu, Junetty juga memberikan tip-tip berikut ini:
1. Jadwalkan waktu untuk anak bertemu dan bermain bersama anak-anak lain, juga di
tempat yang belum dia temui sebelumnya.
2. Rangsang perilaku prososial anak dengan mengajaknya berpikir apa yang dibutuhkan
atau diharapkan teman-temannya kelak.
3. Dorong anak yang penyendiri untuk bergabung dengan anak yang juga penyendiri atau
dengan kelompok lain yang lebih kecil.
Akan tetapi pada mereka yang memang bertemperamen sulit, menurut Junetty, ketiga
langkah tadi kurang tepat diterapkan. Pada anak model ini, yang dapat dilakukan orang tua
adalah:
1. Buatkan rutinitas yang jelas.
2. Sediakan waktu untuk berdiskusi dengan anak bila ada rencana perubahan rutinitas.
3. Beri peringatan pada anak beberapa saat sebelum transisi dari satu aktivitas ke aktivitas
lainnya. Dengan demikian diharapkan anak jauh lebih siap untuk melakukan penyesuain diri
dan beradaptasi.
4. Beri cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan satu perubahan sebelum memberikan
perubahan berikutnya.
5. Jaga agar tidak terjadi terlalu banyak perubahan, apalagi yang mendadak.
Jika semua langkah tersebut sudah dilakukan dengan baik, terakhir adalah berdoa, dengan
harapan anak bisa mengalami kemajuan untuk masalah adaptasi sosialnya. Namun harus
diingat, mengubah hal ini tidak semudah kita mengajari anak prasekolah bernyanyi, lo. Jadi
orang tua harus ekstra sabar dan selalu konsisten melakukan pengondisian-pengondisian
tersebut.

KEMAMPUAN ADAPTASI YANG HARUS DIKUASAI


Di usia 3-5 tahun, terutama usia 3-4 tahun, anak mulai mengenal teman lalu berkembang
dengan menjalin hubungan pertemanan. Akan tetapi lingkupnya masih terbatas, yaitu
hanya pada mereka yang memiliki kesamaan tertentu. Misal, rumahnya masih di satu
lingkungan, sama-sama satu sekolah, atau mempunyai mainan yang sama. Jadi, tandas
Junetty, untuk anak usia prasekolah cukup sampai pada tahapan bisa beradaptasi tanpa ada

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

57

Pra Sekolah

hambatan. "Jika modal dasarnya ini sudah dimiliki, semakin lama pasti akan berkembang."
Namun jika belum, kita pun tidak dianjurkan mendesak anak untuk cepat beradaptasi
sementara ia belum siap. Cara ini justru akan menghambat langkah berikutnya. Lain cerita
bila memang kemampuan adaptasi anak sudah baik, semisal tidak mengkeret di belakang
orang tuanya, mau memberikan respons bila disapa lingkungan, dan kemampuan
adaptasinya terus meningkat dengan ciri selalu ingin mencoba dan ingin tahu, maka si anak
tak butuh waktu lama-lama lagi untuk beradaptasi.

SI PENGAMAT LAMBAT BERADAPTASI?


Ada kan anak-anak yang cenderung mengamati terlebih dahulu, baru kemudian
memberikan respons terhadap lingkungan barunya? Nah, anak-anak tipe pengamat ini,
menurut Junetty, tidak termasuk yang lambat beradaptasi. Tetapi lebih pada gaya si anak
dalam proses beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Jadi, sejauh anak pada akhirnya bisa melakukan interaksi dan ada peningkatan tanpa harus
didorong-dorong atau butuh beberapa hari untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan,
"Statusnya masih bisa dibilang oke untuk anak prasekolah dalam beradaptasi."
Ada juga anak yang adaptasinya perlu dipancing terlebih dahulu untuk bisa membaur
dengan lingkungan. Jika tak ada orang lain yang mengajaknya bergabung, sampai kapan
pun si anak akan lebih memilih menarik diri dari lingkungan. "Yang ini pun lebih cenderung
ke gaya atau karena si anak tak tahu cara dan bagaimana memulainya," kata Junetty.
Jadi, kemungkinannya si anak ingin bisa bergaul dengan lingkungan, akan tetapi tidak tahu
cara memulainya. Untuk itu, anjur Junetty, orang tua harus sesering mungkin membawa
anak tipe ini ke tempat-tempat baru.

ENAKNYA BISA BERADAPTASI!


Kata Junetty, banyak manfaat
beradaptasi. Di antaranya:

akan

diperoleh

anak

dari

kemampuannya

dalam

* Semakin mampu beradaptasi berarti anak semakin cepat beradaptasi. Setelah itu pastinya
anak mampu berinteraksi, membangun interaksi yang baik dengan teman-temannya di
sekolah. Hal ini sangat berpengaruh pada pembentukan self-esteem-nya.
* Anak akan lebih merasa "pede" karena merasa diterima oleh teman-temannya, merasa
punya teman yang bisa berbagi.
* Dalam proses pembelajaran di sekolah, anak bisa mengembangkan perilaku yang positif,
bisa lebih nyaman bersekolah dan menikmati sekolahnya. Dengan begitu, anak dapat
mengeluarkan kemampuannya secara optimal.
* Kemampuan kompetensinya akan lebih tinggi dibandingkan anak yang sulit beradaptasi.
Gazali Solahuddin. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

58

Pra Sekolah

MENGASAH BAKAT ANAK, ADA RAMBURAMBUNYA LO!


Tanpa "rambu-rambu", stimulasi bisa terbuang percuma.

"Pokoknya aku enggak mau les. Capek! Aku mau main aja!"
teriak Dea sambil menjauhi Arni, ibundanya. Arni terkesima
sesaat. Ia heran, putrinya yang berusia 4 tahun ini hanya
diikutkan pada dua jenis kursus; menari dan olahvokal. Kursuskursus itu pun dipilih karena melihat Dea berbakat di bidang itu.
Buktinya, Dea dengan mudah mengikuti gerakan-gerakan baru
ketimbang teman-teman di sanggar tari yang diikutinya.
Suaranya pun lumayan. Tapi kenapa Dea jadi mogok seperti ini?
Dibandingkan dengan temannya, Lulu yang berusia sama, jadwal
Dea tidak ada apa-apanya. Rutinitas Lulu dipenuhi dengan les,
les dan les setiap hari. Tapi kok sepertinya Lulu baik-baik saja.
Apa yang salah dengan Dea?

ENJOY SEBAGAI PATOKAN


Menstimulasi bakat dan minat anak memang diperlukan. Jadi mengikutkan Dea ke dalam
sanggar tari dan kursus vokal seperti yang Arni lakukan merupakan langkah baik. Apalagi
kalau Dea memang berbakat. Nah, kalau Dea jadi mogok tak mau mengikuti les lagi, bisa
jadi ia mengalami apa yang dinamakan overstimulasi. Lo kenapa Lulu, yang jelas-jelas
mengikuti jumlah kursus yang lebih banyak, oke-oke saja?
Satu hal yang perlu dijadikan patokan saat kita mengikutkan kursus si kecil adalah apakah
ia enjoy atau tidak. Jadi apa pun kursusnya, berapa pun jumlahnya, berapa pun lamanya,
semua tergantung si kecil. Jika ia menjalani kursus setiap hari dengan bidang yang
berbeda-beda tapi ia enjoy-enjoy saja, ya... itu bukan masalah. Ini yang terjadi pada Lulu.
Menurut Any Reputrawati, Psi. meskipun sekilas tampaknya Lulu distimulasi secara
berlebihan tetapi karena kemampuannya baik dan ia mampu menjalaninya dengan enjoy,
stimulasi seperti itu, boleh-boleh saja. "Saya punya klien multitalenta yang meminta kepada
orang tuanya untuk belajar tari, menari dan membaca puisi" jelas Any. Si kecil yang seperti
ini tentu perlu diberikan stimulasi yang maksimal. Hanya saja, orang tua harus mengatur
waktu agar ia tidak terlalu letih sehingga mengganggu aktivitas yang lain.
Beberapa anak, lanjut Any, bahkan ada yang mampu mengu-kur kemampuan dirinya
sehingga ketika dia merasa kurang distimulasi, ia akan meminta tambah pada orang
tuanya. Umumnya, hal ini terjadi pada anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas ratarata. "Jadi bila ada anak 3 tahun minta diajarkan membaca dan ternyata dia mampu
menguasai-nya, itu boleh-boleh saja. Mung-kin anak punya kelebihan yang tidak dimiliki
anak lain," jelas Psikolog dari RS Persahabatan, Jakarta Timur ini.
MENGELUH BOSAN
Tapi bagaimana orang tua bisa tahu, stimulasinya sudah berlebihan atau masih oke-oke
saja? Menurut pengamatan Any, inilah tanda-tanda jika si kecil sudah mengalami

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

59

Pra Sekolah

overstimulasi:
* Mengeluh
Keluhan seperti letih, bosan, capek, malas bisa menjadi sinyal kalau anak terlalu dipaksa
untuk mengikuti segala macam kegiatan. Cermati, apakah benar demikian atau dia
mengeluh karena hal lain, terlalu lelah karena habis bepergian jauh misalnya.
* Timbul Penolakan
Contoh, anak tidak mau pergi ke tempat les atau mogok latihan di rumah. Penolakan
semacam ini bisa karena kejenuhannya meng-hadapi rutinitas les yang terlalu sering.
* Prestasi Menurun atau Stagnan
Jika tadinya anak dapat menguasai suatu materi dengan cepat, kini hal itu tidak terjadi. Ia
kesulitan untuk menguasai satu materi bahkan yang sebenarnya mudah. Cobalah cari
penyebabnya. Mungkin saja anak terlalu letih sehingga konsentrasinya terganggu. Dengan
beristirahat sejenak dari rutinitas latihan kemungkinan dapat membuatnya fresh kembali.
* Menentang
Anak melakukan penentangan yang begitu kuat. Contoh kasus Dea mewakili hal ini. Anak
menolak dengan frontal; berteriak bahkan melakukan konfron- tasi dengan orang tua untuk
mengungkapkan kebosanan, keletihan, kejemuan, karena stimulasi yang terlalu berlebihan.
* Stres
Lelah fisik/psikis atau situasi yang selalu menekan dapat menimbulkan ketidaknyamanan
yang berujung timbulnya stres pada anak. Dari situ akan banyak perilaku negatif yang
muncul. Umpamanya, mogok makan, sulit diatur, membangkang, dan sebagainya. Cepatlah
tanggap untuk segera mengatasinya. Contoh, dengan membebaskan anak beberapa minggu
dari berbagai aktivitas yang mengikat. Biarkan ia menggunakan waktu sebebas-bebasnya.
Kalau memungkinkan, ajak si kecil pergi ke pantai atau pegunungan misalnya.
AGAR STIMULASI EFEKTIF
Selanjutnya Any mengatakan agar stimulasi yang diberikan berjalan efeketif dan tidak
berlebihan, ada rambu-rambu yang perlu "ditaati", seperti:
* Sesuaikan stimulasi dengan usia dan kemampuan anak
Anak usia 3-4 tahun yang sedang mengikuti olahvokal, tak perlu dipaksa mempelajari
teknik menyanyi bagi anak SD, umpamanya. Anak pun mesti diberi kesempatan untuk
selalu memperbaiki diri. Jangan membentak, memarahi apalagi menghujatnya bila ia belum
mampu. Berkaitan dengan itu, orang tua mesti melakukan observasi terlebih dulu sebelum
memasukkan anak ke sebuah kursus agar "klop" dengan para guru yang ada di sana.
Karena bisa saja sang guru les tidak sabaran lantas mengomel-ngomel setiap si kecil belum
mampu menguasai sesuatu. Pilihlah sanggar/tempat kursus yang memiliki program yang
baik untuk mengembangkan bakat anak.
* Jangan Terlalu Berambisi
Ambisi yang terlalu berlebihan tentu tidak baik. Apalagi bila orang tua memaksakan
ambisinya sementara minat anak bukan di situ.
* Batasi jumlah Kursus
Berbagai les dan kursus yang diikuti anak tak akan bermanfaat bila ia mengikutinya dengan
setengah hati. Bahkan mungkin anak akan mengalami kelelahan fisik dan mental. Kelelahan
fisik lebih mudah diatasi. Dengan beristirahat sebentar fisik akan kembali bugar. Namun

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

60

Pra Sekolah

sebaliknya, kelelahan mental lebih rumit memulihkannya karena terkadang disertai perilaku
negatif pada anak.
Jadi kursus yang diikutki anak harus sewajarnya saja. Pilih mana kira-kira yang paling
diminati anak. Menari misalnya, bila memang anak lihai meng-ge-rakkan tangannya,
cobalah untuk memasukkannya ke kursus menari.
* Jangan Memberi Jadwal Terlalu Padat
Ingatlah selalu masa kanak-kanak adalah masa bermain. Bila ia sudah dituntut untuk
melaksanakan berbagai jadwal yang begitu padat, tentu anak akan banyak kehilangan
waktu bermainnya. Umpamanya, sepulang "sekolah" anak harus ikut les piano. Setelah itu
ia harus menunggu guru privat membacanya datang. Malamnya orang tua menuntutnya
untuk latihan piano kembali. Meskipun terlihat baik, sebenarnya rutinitas semacam ini
sangat merugikan karena sekali lagi anak jadi kehilangan masa indahnya bermain.
Untuk itu, berikanlah ia kelonggaran waktu buat menikmati masa ber-mainnya dengan baik.
Bukankah saat-saat itu yang selalu dinanti-nantikannya? Bila penantiannya itu tersalurkan,
ia akan tumbuh lebih kondusif; baik fisik maupun psikis.
* Jangan Memaksa
Jangan lupa, pemaksaan hanya akan menelurkan hasil yang tidak maksimal. Termasuk
dalam hal menstimulasi bakat dan minatnya. Berikan anak kebebasan untuk memilih sendiri
kegiatan yang menjadi minatnya. Toh, tak ada salahnya jika orang tua mengarahkan si
kecil. "Kakak kelihatannya pandai menari. Bagaimana kalau kamu ikut les menari?" Hal ini
berbeda lo dengan perkataan, "Pokoknya besok Kakak harus masuk les menari. Soalnya
Mama lihat Kakak jago nari!" misalnya.
* Jangan Terlalu Mendorong
Kemampuan anak dalam menguasai sesuatu berbeda-beda. Ada yang cepat dan ada yang
lambat. Ada anak yang dengan mudah menghafal not-not sebuah lagu, ada yang sulit. Jadi
tak perlu bernafsu, anak harus menguasai materi latihannya dengan segera. Semakin ia
ditekan semakin ia tidak nyaman sehingga semakin sulit untuk menguasainya. Memang,
ada anak yang perlu dorongan lebih kuat untuk menguasai sesuatu. Namun dorongan yang
terlalu kuat malah akan membuatnya kehilangan konsentrasi.
Contoh, agar anak semakin "canggih" mendentingkan piano, ia dipaksa latihan selama
enam jam sehari. Sebagian anak dapat melakukannya tetapi ada juga yang merasa jadwal
tersebut sangat memberatkan. Jadi aturlah waktu sedemikian rupa agar selama berlatih,
anak dalam kondisi yang nyaman.
WASPADAI DAMPAK JANGKA PANJANG
Dampak overstimulasi ada yang langsung terlihat, seperti anak mengeluh, mogok makan,
susah diatur dan menolak perintah, dan ada dampak jangka panjangnya. Yakni anak jadi
melupakan minatnya dan berhenti begitu saja sehingga bakat besarnya menjadi terpendam.
Hal ini menurut Any karena anak mengalami kejenuhan berat setelah didorong begitu rupa.
Empat hingga lima tahun ke depan, ia sudah bosan. Akhirnya, dia pun malas untuk belajar
tari, belajar piano, menyanyi, dan sebagainya. Tentu, ini merupakan sesuatu yang sangat
disayangkan. Untuk itulah, waspadai saat prestasinya berhenti di satu titik bahkan
menurun. Jangan-jangan ia mengalami overstimulasi? Jangan sampai apa yang sudah kita
lakukan menjadi sia-sia bahkan anak menjadi kontraproduktif.
Yang lebih parah anak jadi membenci bidang yang sebelumnya diminati karena merasa
tertekan. Bahkan bisa saja ia jadi memiliki konsep hidup yang negatif. Dia memandang
kalau hidup adalah sesuatu yang sangat berat, tidak menyenangkan, membosankan,

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

61

Pra Sekolah

sehingga akhirnya timbul stres. Bila hal ini terjadi mungkin akan membuat minat anak
menjadi turun bahkan terpendam.
Nah, kita semua tidak ingin si kecil seperti itu bukan?
Irfan Hasuki. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

62

Pra Sekolah

LO, BICARAMU KOK LOMPAT-LOMPAT?


Kemampuan otak yang belum matang membuat si prasekolah kesulitan mengendalikan
arah pembicaraannya.

"Ma tadi di sekolah aku berenang, asyik banget. Trus Ma,


masak Lutfi giginya ompong. Kalau ketawa jadi lucu.
Ha...ha...ha...!" Lo, lo, lo apa hubungannya berenang dengan
gigi ompong? Tentu saja tidak ada. Tapi seperti itulah cara
bicara si prasekolah. Coba deh perhatikan apakah si kecil
Anda juga pernah bercerita dengan topik yang melompatlompat. Umpamanya, ia tengah bercerita tentang temannya
yang baru dibelikan mainan. Eh, tiba-tiba pembicaraannya
beralih tentang Si Manis, kucingnya, yang tadi pagi buang air
di sofa.
Topik yang melompat-lompat, tutur Alzena Masykouri, M.
Psi., atau Nana, merupakan hal yang wajar terjadi pada anak
3-5 tahun. Pasalnya, si prasekolah belum bisa melakukan
proses pengolahan data di otaknya secara sempurna.
Mekanisme pengolahan data di otak manusia secara sederhana dapat dijelaskan sebagai
berikut: saat kita berbicara dengan orang lain, di dalam otak sebenarnya terjadi beberapa
proses kognisi sekaligus. Proses pertama adalah saat kita mengambil salah satu topik
pembicaraan, kita akan "membuka" memori di dalam otak yang menyimpan detail-detail
soal topik tersebut.
Kedua, detail-detail ingatan tadi akan kita ungkapkan dengan kata-kata. Inilah yang disebut
berbahasa. Ucapan-ucapan yang keluar akan membuat lawan bicara mengetahui, mengerti,
dan memahami apa yang ada di dalam otak kita.
Ketiga adalah proses ekspresi. Termasuk di dalamnya intonasi bicara dan mimik wajah
sesuai maksud yang ingin kita sampaikan.
Keempat, yang tidak kalah penting adalah proses pemusatan perhatian atau fokus terhadap
topik yang ingin disampaikan. Di sinilah terdapat proses kendali dari dalam diri atas topik
yang sedang dibicarakan.
Asal tahu saja, untuk menjalankan semua proses tersebut secara terus-menerus dan tepat
diperlukan kematangan aspek-aspek kognisi. Nah, mengingat perkembangan aspek kognisi
dan pemusatan perhatian di usia 3-5 tahun belum berkembang sempurna, banyak anak
yang masih kesulitan untuk mempertahankan perhatiannya atau mengendalikan diri untuk
tetap bertahan pada satu topik pembicaraan sampai tuntas.
Nana lantas menganalogikan-nya dengan toples arisan yang berisi gulungan-gulungan
kertas bertuliskan nama-nama peserta. Ketika dikocok, gulungan kertas tersebut saling
berebut keluar. Bila lubang toples itu kecil dan memiliki kekuatan yang cukup untuk
menahan gulungan lain agar tidak keluar, maka toples itu memiliki daya kerja yang baik.
Tapi kalau lubangnya terlalu besar, banyak gulungan nama yang akan keluar berbarengan
sehingga fungsinya pun bisa dikatakan kurang sempurna.
Seseorang yang sudah memiliki kendali dan kemampuan untuk memusatkan perhatian akan
memilih satu topik dan menahan topik yang lain untuk tidak keluar. Tujuannya agar tidak

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

63

Pra Sekolah

terjadi pembicaraan yang melompat-lompat. "Sementara anak balita belum memiliki


kemampuan yang sempurna untuk melakukan itu," tutur psikolog perkembangan anak dari
Universitas Indonesia ini.
Namun demikian, anak yang banyak bicara, meski dengan topik yang melompat-lompat,
biasanya memiliki daya perhatian dan ingatan yang cukup baik. Terlihat dari berbagai topik
yang bisa diungkapnya sekaligus. Tentu topik-topik yang keluar ini berasal dari
pengamatan-pengamatan yang kemudian disimpan di memori otaknya yang kelak
diungkapkan pada orang lain.
HILANG DI USIA TUJUH TAHUN
Meskipun wajar karena berkaitan dengan proses pematangan aspek psikologis yang sedang
berlangsungbicara melompat-lompat atau flight of ideas ini harus berangsur meng-hilang
seiring dengan kematangan otak anak. "Bila hal ini masih berlangsung sampai usia sekitar 7
tahun, orang tua perlu waspada," kata Nana.
Biasanya hal itu diikuti juga dengan impulsivitas dalam perilaku akibat adanya masalah
pengendalian diri. Tidak saja pengendalian diri atas pikiran, tetapi juga pengendalian diri
atas perilaku atau sikap. Bisa saja perilaku ini mengarah pada gangguan pemusatan
perhatian (ADHD/ Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang salah satu ciri-cirinya
adalah impulsivitas.
Untuk memfokuskan alur bicara anak, Nana menganjurkan orang tua agar tidak ikut
terjebak dalam topik pembicaraan yang melompat-lompat. Jika orang tua terjebak untuk
selalu mengikuti arah pembicaraan anak, si kecil bisa merasa dibebaskan untuk
menentukan isi pembicaraan tan-pa harus memedulikan orang lain yang mungkin ingin tahu
lebih lanjut cerita selanjutnya.
Anak juga akan mendapat kesan bahwa apa yang dilaku-kannya sudah tepat. Ia tidak tahu
kalau tindakannya itu "salah" se-hingga tidak berusaha mengem-bangkan kendali diri dan
berlatih memusatkan perhatian. Jika kon-disi ini bertahan sampai anak di usia sekolah, ia
akan semakin sulit untuk fokus pada suatu topik. Tentu hal ini akan meru-gikan dirinya
untuk berkembang secara optimal.
Namun, Nana juga menekan-kan untuk tidak memaksa si kecil fokus pada pembicaraan
awal. Misalnya dengan berujar, "Kakak gimana sih bicaranya kok lompat-lompat. Terusin
dulu dong yang tadi." Ternyata hal ini bukan tin-dakan yang disarankan karena anak akan
merasa tertekan dan akhirnya enggan mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya.
Tentu hal ini akan meng-hambat proses berpikir anak yang saat itu sedang berkembang
pesat.
BAGAIMANA SUPAYA FOKUS?
* Yang perlu dilakukan orang tua adalah memberikan stimulasi pengendalian dan
pemusatan perhatian. Misalnya jika anak menunjukkan tanda-tanda akan pindah topik,
minta ia untuk menyelesaikan dulu pembicaraan sebelumnya. Gunakanlah kalimat yang bisa
merangsang anak untuk tertarik mengungkapkan ceritanya sampai tuntas. "Kakak, Mama
mau tahu ceritamu yang pertama. Setelah melihat boneka baru milik temanmu itu apakah
Kakak meminjamnya?" misalnya demikian.
* Bisa juga dengan melatihnya lewat aktivitas-aktivitas lain. Saat makan misalnya, buatlah
situasi itu hanya untuk acara makan dan bukan acara yang lain. Matikan teve, singkirkan
mainan, tidak makan sambil memakaikan baju, dan sebagainya. Dengan memusatkan
perhatiannya pada satu kegiatan seperti ini akan melatih ia untuk fokus.
*

Mainan

dapat

juga

dimanfaatkan.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

Menyusun

pasel,

umpamanya,

dapat

64

melatih

Pra Sekolah

konsentrasi dan pengendalian diri. Namun pelatihan seperti ini tidak perlu dijadwal ketat.
Manfaatkan saja waktu-waktu senggangnya. Saat ia sedang mood bermain pasel, segera
rangsang konsentrasinya.
* Jangan lupa, setelah anak selesai mengungkapkan topik awal dengan tuntas, beri
kesempatan kepadanya untuk membicarakan topik selanjutnya. Jika ia lupa, ingatkan topik
yang tadi ingin dibicarakan agar apa yang ingin dikemukakannya tetap tersalurkan. Tentu,
untuk topik yang kedua ini kita perlu memancing anak mengungkapkan maksudnya secara
tuntas, tidak melompat-lompat. Begitu seterusnya.
Cara-cara tadi tentunya memerlukan ketelatenan dan kesabaran "tingkat tinggi". Namun
proses pembelajaran tersebut akan membuat kecakapan si kecil secara perlahan meningkat.
Kelak, ia akan mampu mengendalikan pembicaraannya.

TIDAK BERSIFAT JENDER


Berbicara melompat-lompat tidak pandang bulu. Maksudnya, baik anak laki-laki atau
perempuan bisa mengalaminya. Menurut Nana, tidak ada satu penelitian pun yang
membuktikan bahwa cara bicara anak laki-laki lebih banyak melompat-lompat ketimbang
anak perempuan, atau sebaliknya. Intinya, hampir semua anak mengalami fase seperti ini.
Yang terpenting, orang tua mesti memahami bahwa kondisi ini hanyalah fase perkembangan
berbicara anak. Sama dengan fase-fase perkembangan lainnya.
Irfan Hasuki. Ilustrator Pugoeh

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

65

Pra Sekolah

MASIH TAKUT KE DOKTER


"Pokoknya aku enggak mau masuk. Dokter itu jahat!" teriak Naya saat akan masuk ke
ruang praktik dokter. Bagaimana jika si prasekolah Anda masih takut ke dokter seperti
Naya?

Sudah pasti, membujuk anak yang takut ke dokter

bukan main repotnya. Contohnya pengalaman Ria


berusaha menenangkan Naya, putranya yang sudah
berusia
4
tahun.
Masalahnya
Naya
terus
memberontak. Semakin lama tenaganya semakin
sampai Ria akhirnya kewalahan. Rona ketakutan
begitu membias di wajah Naya. "Sayangku,
dokternya baik kok. Enggak akan nyakitin Naya."
Namun bujukan itu tak berhasil membuat ketakutan
luruh.

yang
kuat

Naya

KETIDAKNYAMANAN DI RUANG PRAKTIK


Cobalah tanyakan ke beberapa anak, apakah mereka
mau
kalau diajak ke dokter? Tidak akan heran jika
beberapa di antara mereka akan mengge-lengkan
kepalanya. Jadi sebenar-nya bila si prasekolah
enggan diajak bertandang ke dokter bukan berarti ia
membangkang. Seperti yang dialami Naya, keengganan itu boleh jadi berasal dari rasa
takut yang dalam. Nah, untuk mengatasi ketakutan ini perlu dicari penyebabnya. Menurut
dr. Eddy Supriadi, Sp.A., dari RS. Sardjito, Yogyakarta, kebanyakan kasus ketakutan anak
pada dokter disebabkan ketidaknyamanan yang dirasakan saat berada di ruang praktik.
Sayangnya, hal ini sering tidak disadari orang tua maupun dokter itu sendiri.
Berikut beberapa penyebab sekaligus penanganannya:
* Ketakutan
Banyak kejadian di ruang praktik dokter yang kita anggap wajar tetapi bagi si kecil amatlah
menakutkan. Sebutlah, merasakan dinginnya stetoskop saat ditempelkan di dada, harus
membuka mulut lebar-lebar saat akan diperiksa tenggorokannya, melihat alat-alat
kedokteran yang asing baginya, dan sebagainya. Ini belum termasuk beberapa tindakan
yang bisa menimbulkan rasa sakit, seperti disuntik. Si kecil pun jadi trauma sehingga
enggan diajak ke dokter lagi.
Penanganan:
- Buatlah suasana senyaman mungkin saat anak berada di ruangan dokter.
- Cobalah mengajaknya bicara tentang hal-hal yang menyenangkan. "Ini ruangan dokter
Yahya. Lihat warna dindingnya putih, seperti warna di kamar mandi kita ya. Dokter Yahya
baik banget lo. Dia akan mengobati sakit perut Kakak!"
- Buatlah anak merasa tidak sendirian di situ namun berada di sisi orang tua yang akan
selalu siap melindunginya.
- Tenangkan si kecil dengan belaian.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

66

Pra Sekolah

- Bawalah mainan atau benda kesukaan anak, entah mobil-mobilan, boneka, atau buku
kesayangannya. Biarkan ia beraktivitas dengan mainan atau benda tersebut sehingga dapat
merasa lebih nyaman.
* Seragam Dokter
Seragam dokter yang berwarna putih bergaya resmi dan terkesan kaku membuat banyak
anak merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Apalagi kostum seperti itu jarang sekali
ditemui anak sehari-hari sehingga dia tidak merasa familiar.
Penanganan:
Bila kondisi memungkinkan saran Eddy, pilihlah dokter anak yang sudah "sadar
penampilan". Ketimbang berpakaian putih-putih, ia lebih memilih kemeja warna kuning
cerah dengan dasi bermotif Winnie the Pooh, umpamanya. Namun dalam keadaan
emergensi, tentunya orang tua tidak akan bisa melakukan pilah-pilih seperti ini.
Namun setidaknya hal ini sudah terpikirkan oleh kita.
* Bau Obat
Terkadang ada bau khas obat-obatan yang begitu menyengat hidung di ruang praktik
dokter/rumah sakit. Bau asing ini dapat menstimulasi berbagai prasangka pada anak
sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Bagi anak yang pernah memiliki pengalaman
tidak menyenangkan saat minum obat akan lebih cepat merespons keadaan ini secara
negatif sehingga menguatkan rasa ketidaknyamanannya.
Penanganan:
Menurut Eddy, ruang praktik dokter seharusnya bebas dari bau-bauan yang tidak enak,
termasuk bau obat-obatan. Parfum ruangan akan sangat membantu mengurangi aroma
tersebut. Akan baik bila ruang praktik diberi air conditioner sehingga pasien kecil dapat
lebih nyaman.
Nah, sebagai antisipasi, cobalah semprotkan minyak wangi yang aman bagi anak-anak
tentunya pada pakaian si kecil. Dengan begitu setidaknya anak akan tetap mencium aroma
harum dari pakaiannya meski di sekitarnya "beredar" bau tidak sedap.
* Ruangan Kaku
Beberapa ruang praktik dokter bergaya sangat formal; meja konsultasi tampak kosong
hanya berisi nota resep, kotak kartu nama, atau obat-obatan. Dinding ruangan berwarna
polos tanpa ornamen dan langit-langit kosong tanpa aksesoris. Kondisi ruangan seperti ini
acapkali memicu ketidaknyamanan pasien cilik.
Penanganan:
Pilihlah klinik atau tempat praktik dokter yang familiar bagi anak. Beberapa ruangan di
klinik/rumah sakit/tempat praktik dokter sudah banyak yang didesain "ramah anak". Di
meja konsultasi, misalnya, diletakkan berbagai mainan; ada mobil-mobilan, boneka, pasel
dan lain sebagainya. Di langit-langit ada mainan gantung berbentuk kupu-kupu, burung,
lebah, dan lainnya. Wallpaper pada dinding juga bergambar tokoh-tokoh kartun atau hewan
yang disukai anak-anak. Suasana tersebut membuat si kecil lebih merasa nyaman sehingga
berani untuk datang kembali.

MAIN DOKTER-DOKTERAN

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

67

Pra Sekolah

Di rumah pun, orang tua perlu melakukan antisipasi supaya si prasekolah berani diajak
pergi ke dokter. Hal ini dilakukan agar penanganan ketakutan atau trauma anak bisa
dilakukan lebih mudah. Misalnya:
* Main dokter-dokteran
Bermain dokter-dokteran sangat efektif untuk menghilangkan rasa takut si prasekolah. Anak
dapat mengenal lebih dekat siapa sebenarnya dokter; apa saja peralatannya, apa yang
biasa dilakukannya, dan sebagainya. Berikanlah kepadanya satu set mainan dokterdokteran yang berisi stetoskop, alat suntik, botol obat, hingga kostumnya. Biarkan ia
menjalani perannya sebagai dokter dengan boneka sebagai pasiennya.
* Membangun imej positif tentang dokter
Imej positif bisa dibangun dengan mengatakan pada anak bahwa dokter adalah orang yang
baik, yang tugasnya menyembuhkan orang. Umpamanya, "Batuk Kakak nanti akan diobati
oleh dokter sampai sembuh. Dokter kan baik."
Jangan menggambarkan dokter sebagai sosok yang menakutkan. "Awas ya kalau nakal,
nanti mama panggil dokter biar Kakak disuntik!" Hal-hal seperti ini akan membentuk imej
tersendiri pada otak anak. Dia beranggapan bahwa sosok dokter adalah sosok yang
berbahaya dan harus ditakuti.
* Memberi gambaran yang Jujur
Jangan pernah membohongi anak. Ceritakan apa yang akan dialami anak saat di ruang
praktik nanti. Jika ia akan diperiksa di bagian perutnya, bilang saja terus terang. Kalau perlu
jelaskan dengan terperinci. Misalnya, ia akan diminta membuka bajunya sebagian, disuruh
berbaring, membuka mulut, diperiksa matanya, dan seterusnya. Sangat baik bila kita
menggunakan alat bantu, boneka umpamanya, untuk bermain peran sebagai pasien dan
dokter dalam memeragakan langkah-langkah tadi.
Bila memang anak harus disuntik, katakan saja sambil menjelaskan kalau tindakan itu
dibutuhkan untuk menyembuhkannya dari penyakit atau mengebalkan tubuhnya dengan
imunisasi. Tekankan bahwa rasa sakit saat disuntik memang ada tapi hanya berlangsung
sebentar seperti digigit semut atau dicubit. Tidak dengan mengatakan semisal, "Kakak di
sana enggak akan diapa-apain deh! Papa janji." Ini jelas tidak benar karena di ruang praktik
dokter setidaknya ia mesti mau membuka mulutnya lebar-lebar, rela diperiksa dadanya
dengan stetoskop, bahkan mungkin disuntik. Kalau anak sudah kecewa bisa timbul
ketakutan yang pada akhirnya membuat ia enggan untuk datang ke dokter lagi.
Juga jangan berkata ia akan pergi ke mal padahal sebenarnya akan diajak ke dokter.
Pembohongan ini hanya akan menyakiti hatinya sehingga mengikis kepercayaannya pada
orang tua dan membuatnya semakin sulit jika diajak berobat. Dengan memberikan
keterangan yang sebenarnya, anak akan lebih siap menghadapi apa yang akan terjadi.
Sebaliknya, bila dibohongi, ia akan terkejut dan takut saat pemeriksaan dilakukan.
* Ajari menyapa sang dokter
Ajari si kecil untuk menyapa dokternya saat memasukki ruang periksa. Sapaan ini akan
dijawab ramah oleh dokter sehingga ia merasa familiar dan nyaman dengan keberadaannya
di situ. Sangat baik bila kita mendorong anak untuk mengutarakan sendiri keluhan
penyakitnya. "Tadi kamu merasakan sakit di mana Kak, coba cerita ke Dokter?" misalnya.
Dengan begitu keberaniannya akan terpancing. Tentu, kita perlu melihat kondisi anak.
Jangan memaksa bila tidak memungkinkan.
* Berkunjung ke RS/klinik selagi sehat

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

68

Pra Sekolah

Sesekali, saat anak tidak sakit, ajaklah ia mendatangi rumah sakit/klinik dokter. Tidak untuk
berobat tetapi sekadar mengunjunginya agar tidak begitu asing dengan suasana di sana.
Sangat baik bila kita mengajak teman atau kerabat sebayanya yang tidak takut ke dokter
sebagai model bagi anak.
Irfan Hasuki. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

69

Pra Sekolah

SI EKSTROVER VS INTROVER
Kepribadian setiap anak berbeda satu sama lain. Ada yang terbuka dan ada yang tertutup.
Yang penting orang tua mampu menyeimbangkannya.

Mengapa

Adi tak seekspresif Bagas, ya?"

begitu

pikir Tia membandingkan putra 4 tahunnya


salah seorang keponakan yang sebaya. Betapa
setiap
ditanya
sesuatu,
Bagas
akan
menjawabnya
panjang
lebar
dengan
antusiasme yang tinggi. Sementara Adi hanya
menjawab singkat. Itu pun dengan mimik
malu.

dengan
tidak,

malu-

Ya, orang tua mana pun pasti bangga jika


melihat
buah hatinya mampu berkomunikasi secara aktif dengan lawan bicaranya. Namun, tentu
saja Anda tidak bisa menuntut sifat-sifat seperti itu pada anak yang memang
berpembawaan kalem, apalagi pendiam. Asal tahu saja, sifat ekstrover seperti yang
ditunjukkan Bagas dan introver yang dimiliki Adi umumnya muncul karena pengaruh genetik
atau lingkungan. Secara genetik, jika ayah atau ibu bersifat ekstrover, si kecil kemungkinan
akan tumbuh menjadi anak yang terbuka. Begitu pun sebaliknya. Sifat tertutup anak dapat
saja diturunkan dari orang tuanya yang introver.
Ada juga faktor lingkungan. Lingkungan yang terbuka --di mana orang-orang di sekitarnya
bebas berbicara dan mengemukakan pendapat-- dapat membentuk sifat anak menjadi
ekstrover. Jangan lupa si prasekolah belajar berperilaku dari lingkungannya. Apa yang
dilakukan lingkungan, akan diikuti juga. Demikian pula kalau keluarga dan para kerabatnya
jarang mengekspresikan diri, tak perlu heran bila ia pun mengikuti sikap seperti itu. Apalagi
jika anak tidak diberi kesempatan bersosialisasi, sifat memendam rasa dan pikirannya bisa
menguat.
Yang menjadi pertanyaan, betulkah sifat ekstrover lebih unggul dari sifat introver? Ternyata
enggak juga. Semua sama baiknya kok. Tinggal bagaimana orang tua menyeimbangkan
kepribadian si kecil sehingga kepribadiannya berkembang optimal.
Sebelumnya yuk kita lihat ciri-ciri yang membedakan si introver dan si ekstrover.
CIRI ANAK EKSTROVER
* Bersikap terbuka
Banyak bicara, tidak sungkan mengemukakan pendapat atau berkeluh kesah, dan lainnya.
* Senang Bergaul
Si ekstrover umumnya memiliki banyak teman karena kemampuannya yang baik dalam
berkomunikasi. Namun, hubungannya tidak terlalu lekat karena mudah nyambung dan
mudah putus.
* Ekspresif
mengemukakan pendapat, anak ekstrover bisa sangat ekspresif. Tak jarang sampai
melibatkan emosi yang meledak-ledak.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

70

Pra Sekolah

CIRI ANAK INTROVER


* Tertutup
Anak introver terkesan enggan mengungkapkan isi hatinya.
* Sulit Bergaul
Sifatnya yang tertutup membuat si introver sulit mendapat teman. Tapi jika memiliki teman,
hubungannya akan sangat kuat. Mereka akan saling memikirkan satu sama lain.
* Pendiam
Tidak banyak komentar yang keluar dari mulut anak introver. Kalaupun ada mungkin karena
didesak. Si introver seringkali pandai mengamati kejadian di sekelilingnya. Namun hasil
pengamatannya disimpan sendiri.
* Senang Menyendiri
Bagi si intover berbicara hanya seperlunya saja. Tak heran bila ia lebih senang menyendiri
ketimbang bergaul dan berbicara dengan teman-temannya.
CARA MENYEIMBANGKAN
Sekali lagi, tugas orang tualah untuk menyeimbangkan kepribadian si kecil. Bila si
prasekolah termasuk tipe introver, jangan biarkan ia terus menutup diri. Namun, dorong ia
untuk menceritakan perasaan atau mengungkapkan keinginan serta pendapatnya. Atau bagi
si ekstrover,
redam gejolak perasaannya agar tidak terus meledak-ledak. Berikut cara-caranya:
* Bagi si introver
- Berikan kegiatan yang melibatkan banyak orang
Sesekali undang beberapa temannya atau ajak ia berkunjung ke rumah seorang kawannya
untuk bermain bersama; entah main mobil-mobilan, bersepeda atau bermain boneka.
- Ajak bersosialisasi
Baik bagi si introver untuk bertemu banyak orang. Jadi, ajak ia datang ke acara keluarga,
ke kantor atau sekadar jalan-jalan di mal. Perkenalkan anak kepada saudara/teman kantor.
Sebaliknya, perkenalkan mereka kepada anak. Mintalah si kecil untuk mengucap salam atau
sapaan lain. Hal ini merupakan "ritual" yang luar biasa bagi si introver karena dia biasanya
malas untuk melakukannya.
- Masukkan ke "sekolah"
Di usia 4-5 tahun lebih baik ia dimasukkan ke "sekolah". Selain aktivitasnya bisa lebih
positif, si prasekolah pun bisa belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya. Dari sini, ia
bisa belajar mengungkapkan pendapat/keinginannya.
- Seringlah berkomunikasi
Agar si introver mau lebih terbuka perlu ada rangsangan dari luar. Orang tua mesti sering
mengajaknya mengobrol. Tanyakan tentang keadaan dirinya, minta ia bercerita tentang
kejadian menarik saat di "sekolah" atau proaktiflah untuk selalu menanyakan keinginan si
kecil. Jangan lupa, katakan kepadanya kalau dia harus terbuka untuk mengungkapkan
segala hal. Tak perlu ragu, malu apalagi takut dimarahi karena kita pasti mendengarkannya.
l Si Ekstrover

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

71

Pra Sekolah

- Berikan aktivitas yang butuh konsentrasi


Si ekstrover umumnya sering meledak-ledak bila tidak diberi kegiatan. Coba atasi dengan
menyibukkannya pada kegiatan yang membutuhkan perhatian serius; permainan pasel,
misalnya. Kalau perlu ikutkan pada kursus yang dapat menampung minat dan bakatnya,
seperti melukis, menari, menyanyi, dan bermain musik.
- Berikan sarana penyalur
Ekspresi keterbukaan si ekstrover tak hanya diungkapkan saat berbicara, tapi terkadang
juga pada perilakunya yang tidak bisa diam. Berlarian ke sana-kemari, melompat-lompat,
dan sebagainya. Agar dia bisa menuangkan segala perasaannya, akan baik jika di rumah
tersedia suatu ruangan yang amanlantai ruangan dilapisi matras, umpamanya sehingga ia
bisa bebas beraktivitas dan bereskpresi.
- Beri arahan
Setiap kali ia bicara terlalu keras padahal si adik bayi sedang tidur, misalnya, beri dia
arahan, "Coba Kakak ngomongnya jangan terlalu keras. Kasihan nanti adik jadi bangun."
Bila kebiasannya ini sulit dihilangkan, bisa dicoba dengan metode reward and punishment.
Umpamanya, mencabut jadwal nonton tevenya bila ia berteriak-teriak di dalam rumah dan
memberinya buku cerita baru saat ia dapat berbicara lemah lembut.
DAPAT BERUBAH
Perlu dipahami, kepribadian ekstrover atau introver bisa saja berubah saat anak tumbuh
dewasa. Anak introver yang berada di lingkungan penuh keterbukaan--bebas berbicara dan
mengemukakan pendapat--secara tidak langsung mendapat rangsangan untuk membuka
dirinya. Demikian pula dengan si ekstrover. Bila berada di lingkungan tertutup--di mana
orang-orangnya sulit mengemukakan pendapat--ia bisa berubah menjadi pribadi yang
introver.

PROFESI APA YANG COCOK NANTI?


Amatlah terburu-buru bila orang tua sudah "mencanangkan" profesi yang dikira-kira pas
bagi anak hanya gara-gara melihat kepribadiannya. "Ah, anakku, kan tertutup, kayaknya
pas deh untuk jadi peneliti." Atau "Karena si Ida senang bicara, pasti dia jago deh kalau jadi
presenter."
Lebih bijak, perkenalkan si kecil pada berbagai profesi. Asal tahu saja, bakat dan minat si
prasekolah masih bisa berubah dan umumnya masih terbatas dalam hal-hal sederhana,
seperti menyanyi, melukis, menari, bermain musik, dan sebagainya. Tak perlu ke arah yang
lebih spesifik seperti peneliti, wartawan, arsitek, dokter, dan lainnya.
Sederhananya, meskipun anak memiliki pribadi ekstrover tapi kalau ia suka melukis, ya,
salurkan saja. Begitu pun bagi anak yang tertutup. Kalau ia suka menyanyi tak salah bila
dimasukkan ke kursus olahvokal.
Tapi bukan sesuatu yang tabu juga bila si kecil akan diperkenalkan pada suatu profesi
tertentu. Umpamanya, saat mendampingi si kecil yang ekstrover menonton teve, kita bisa
katakan, "Lihat Kak, Tante itu pintar berbicara seperti Kakak. Kakak mau enggak seperti
dia?" Atau "Dokter Harry ramah ya? Dia bisa menerangkan banyak penyakit. Kakak mau
jadi dokter? Kakak, kan, juga ramah dan mudah bergaul."
Sementara bagi si introver bisa kita katakan, "Lihat, lukisan ini bagus, ya? Kalau sudah
besar Kakak mau jadi pelukis enggak?" Pengenalan sederhana semacam ini akan sedikit
membuka persepsi anak terhadap masa depannya.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

72

Pra Sekolah

Namun, sekali lagi, jika si kecil tidak tertarik jangan memaksa. Telaah kembali apa yang
sebenarnya menjadi minat/bakat anak. Hal ini perlu dilakukan agar apa yang anak geluti
kelak bisa mencapai hasil yang maksimal.
Irfan Hasuki. Foto: Iman/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

73

Pra Sekolah

MENGASAH KECERDASAN SOPAN SANTUN


Kelak, anak yang dibiasakan bersikap sopan santun akan lebih mudah bersosialisasi dan
mau mematuhi aturan umum di masyarakat.

Orang

tua memang dituntut untuk menularkan etiket pada

anak. Namun, mengajarkan etiket tak bisa dilakukan dalam satu


hari. Perlu proses yang cukup panjang dan harus dilakukan secara
konsisten serta berkesinambungan agar hasilnya maksimal.
Terkadang, meskipun orang tua sudah "bersusah payah" mendidik
si kecil agar bersikap sopan, lingkungan di luar rumah justru
memberikan model yang berlawanan. Ada juga yang menyikapi
perilakunya secara permisif misalnya meng- izinkan si prasekolah
merebut mainan anak lain tanpa meng- upayakan cara yang
santun dan beranggapan, "Biarin aja begitu, namanya juga anakanak. Nanti juga berubah kok sikapnya kalau sudah besar." Nah,
justru pemakluman seperti ini secara langsung maupun tidak
mengakibatkan anak menerapkan perilaku tak sopan bahkan
menganggap apa yang dilakukannya itu sah-sah saja. Alhasil,
sikap tidak beretiket akan terus terbawa sampai besar. Kalau sudah begitu, akan sulit sekali
untuk mengubah perilakunya.
Sebenarnya ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan orang tua agar anak cerdas
bertatakrama, yaitu:
ORANG TUA SEBAGAI MODEL
Sekali lagi, pembentukan perilaku sopan santun sangat dipengaruhi lingkungan. Anak pasti
menyontoh perilaku orang tua sehari-hari. Tak salahlah kalau ada yang menyebutkan bahwa
ayah/ibu merupakan model yang tepat bagi anak. Di sisi lain, anak dianggap sebagai sosok
peniru yang ulung. Lantaran itu, orang tua sebaiknya selalu menunjukkan sikap sopan
santun. Dengan begitu, anak pun secara otomatis akan mengadopsi tata- krama tersebut.
Asal tahu saja, pola pengajaran bertatakrama tentunya tidak semata berupa nasihat, akan
tetapi juga perlu contoh.
Kemudian, orang tua juga mesti konsisten dan konsekuen menerapkan adab yang baik.
Misalnya, ayah/ibu minta si prasekolah setiap makan di meja makan. Akan tetapi dia sendiri
makan di ruang tengah sambil nonton teve atau sambil berdiri. Ya, tentunya takkan berefek
maksimal. Mungkin saja si anak malah protes, "Kok ayah makannya sambil nonton teve,
sih?"
Yang perlu diwaspadai, anak dapat berperilaku berlawanan karena menyontoh orang lain
baik yang sebaya ataupun lebih dewasa. Kalau sudah begitu, jelaskan pada si kecil dengan
bahasa yang mudah dipahami kenapa sikap seperti itu dilarang dan tak baik dilakukan. Yang
pasti jangan sambil marah-marah karena toh anak mungkin pada dasarnya tak tahu sikap
yang dilakukannya itu baik atau buruk.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

74

Pra Sekolah

MULAI DARI HAL KECIL


"Pengajaran" tatakrama sebaiknya dimulai dari kehidupan seharihari dan dari hal yang kecil. Anak dikenalkan mengenai aturanaturan atau adab sopan santun. Kelak, kebiasan-kebiasan baik
yang kadang luput dari perhatian ini akan terus dilakukan hingga
dia besar.
Nah, berikut contoh-contoh sikap dasar yang perlu "ditularkan",
yaitu:
* Mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu atau ketika si
prasekolah dibawakan sesuatu baik oleh orang tua maupun orang
lain. Sekaligus mengajarkan menghargai jerih payah orang lain.
* Mengucapkan "maaf" jika bersalah. Mengajarkan sportivitas dan berani mengakui
kesalahan.
* Mengucapkan tolong ketika meminta diambilkan sesuatu, misalnya. Dengan begitu, anak
belajar untuk menghargai pertolongan atau bantuan orang lain.
* Menyapa, memberi salam atau mengucapkan permisi jika bertemu orang lain.
Mengajarkan pula perilaku ramah dan agar mudah bersosialisasi.
* Mengajarkan adab menerima telepon. Sekaligus mengajarkan bagaimana berbudi bahasa
yang baik. Dalam skala yang lebih luas, bagaimana bersikap di tempat umum, misalnya
tidak berteriak-teriak, tidak memotong pembicaraan orang.
* Mengajarkan privasi orang lain, misalnya mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk
ke kamar tidur orang tua. Prinsip dasar sopan santun adalah menghargai hak dan perasaan
orang lain. Ini akan menjadi dasar bagi anak untuk menjadi manusia yang beretika.
* Etiket makan yang baik, tidak sambil jalan-jalan atau melakukan aktivitas lain. Sikap
ketika makan di meja makan, tidak bersendawa atau makan sambil ngobrol, misalnya.
JELASKAN TUJUANNYA
Selain memberikan contoh yang baik, tentunya orang tua juga perlu menjelaskan pada si
prasekolah kenapa harus menerapkan sopan santun. Misalnya, kalau anak berteriak-teriak
atau lari kesana-kemari saat ayah/ibu menerima tamu tentu akan mengganggu konsentrasi
dan pembicaraan. Di sisi lain, ayah/ibu pun jadi malu melihat tingkah-polah si anak. Sang
tamu mungkin tak berkeberatan dengan sikap seperti itu, malah barangkali menganggap
lucu. Akan tetapi, jika perilaku yang sama terus dilakukan efek jangka panjangnya
cenderung negatif bagi si anak sendiri.
Barangkali si kecil juga tak tahu maksud harus mengucapkan terima kasih, maaf, salam dan
sebagainya. Menjadi tugas orang tualah untuk menjelaskan alasan semua aturan atau
tatakrama tersebut.
Nah, mengajak atau mengajarkan anak bersopan santun sekali lagi tidak perlu dengan cara
yang keras. Namun upayakan dengan kelembutan sehingga anak betul-betul memahami
maksud dan tujuan beretiket. Umumnya, anak yang baik dan bisa menghargai orang lain
adalah anak yang tahu sopan santun. Sebagai sebuah proses, bagaimana pun orang tua
perlu sabar hingga anak mengerti dan menerapkannya.
Kelak, anak yang dibiasakan dari kecil untuk bersikap sopan santun akan lebih mudah
bersosialisasi. Dia akan mudah memahami aturan-aturan yang ada di masyarakat dan mau
mematuhi aturan umum tersebut. Anak pun relatif mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru, supel, selalu menghargai orang lain, penuh percaya diri, dan memiliki

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

75

Pra Sekolah

kehidupan sosial yang baik. Pen-dek kata, dia tumbuh menjadi sosok yang beradab.

HARUS SEJAK DINI


Mengenalkan dan mengajarkan tatakrama sebaiknya dilakukan sejak dini, setidaknya usia
batita. Tentunya dikenalkan dari hal yang paling sederhana, seperti memberi salam, minta
izin sebelum meminjam barang kakaknya, mengetuk pintu sebelum masuk kamar orang
tua, dan sebagainya. Jangan menunggu mengenalkan adab atau etiket ketika anak sudah
besar. Pun, jangan menyerahkan sepenuhnya perihal pengajaran sopan santun ini pada
pihak sekolah. Toh, pembelajaran etiket atau tatakrama sebenarnya paling efektif dilakukan
ayah dan ibu.
Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

76

Pra Sekolah

"DASAR ENDUT, PELIT!"


Ejekan mesti diantisipasi agar si kecil tidak memiliki konsep diri yang negaif.

"Ih,

kamu

kok

gendut

banget

sih!

Tuh

lihat

perutnya kayak Winnie The Pooh. Hi...hi...hiii," ujar


Vava pada Mia. Gadis kecil montok yang berusia 4
tahun itu memandangi temannya yang sedang tertawa
geli lalu pandangannya beralih ke perutnya sendiri. Ia
tak habis pikir kenapa kakaknya, Vava, bisa tertawa
begitu geli. Apa yang lucu dengan perutnya?
Memang, percuma saja mengejek si prasekolah
karena ia belum memiliki pemahaman terlalu dalam
terhadap kata-kata abstrak. Jadi kalau dia dibilang
gendut, pelit, otak udang, mungkin dia akan berpikir,
"So what gitu lo..." alias tidak peduli.
Lantaran itu, saat diejek ia biasa-biasa saja karena memang tidak memahami apa yang
dikatakan orang lain tentang dirinya. Juga tidak ada respons negatif, seperti mengejek
balik, memukul, menjambak, dan sebagainya. Kecuali bila dia sudah merasa diganggu.
Misalnya, saat dibilang pelit karena tidak memberikan rotinya ia mungkin masih cuek. Tapi
saat rotinya direbut, nah tindakan negatifnya mungkin baru muncul.
PROSES PENGENALAN DIRI
Meski begitu Ima Sri Rahmani, Psi., menganjurkan orang tua untuk melakukan antisipasi.
Ejekan yang sifatnya mendiskreditkan merupakan proses pengenalan diri sendiri dari sisi
negatif. Bila tidak diantisipasi anak akan lebih mudah mencitrakan dirinya pada sisi yang
buruk ketimbang yang positif. "Seiring dengan perkembangan pola pikirnya, anak berusaha
memahami apa yang sering diucapkan orang lain mengenai dirinya," lanjut Ima.
Apalagi di usia ini anak mulai bisa menganalisa hal-hal kecil. "Kenapa ya ketika kakak bilang
aku bodoh/pelit/malas, selalu dengan mimik marah?" Lambat laun, ia tahu bahwa kata-kata
itu adalah cap negatif yang dikenakan untuk dirinya. Lama-lama konsep negatif pada dirinya
bisa tumbuh lebih dominan. Juga tidak menutup kemungkinan, ia jadi rendah diri yang
kelak berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya.
Kalau kondisi ini berlangsung hingga anak berusia 8 tahun dimana ia sudah masuk dalam
fase usia prakonvensional penilaian negatif itu akan sangat memengaruhi pertumbuhan
psikisnya. Apa pun yang didapat anak saat balita merupakan identifikasi awal yang akan
dibawanya ketika besar. "Ini merupakan 'bahan bakar' dari apa yang nantinya terbentuk.
Bila awalnya dia dicap buruk, hal itu akan dia pegang sampai dewasa. Anak akan berusaha
menyesuaikan antara ejekan yang diterimanya sejak balita dengan keadaannya sekarang,"
urai psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Jakarta ini.
Alhasil, kreativitas dan kecerdasan anak bisa tidak berkembang maksimal karena
kepercayaan dirinya yang tidak tinggi. "Aku memang bodoh, aku malas, aku pelit." Padahal
untuk berkembang anak membutuhkan rasa percaya diri yang kuat agar berani
mengungkapkan kreativitasnya sehingga dia pun bisa belajar dari kesalahan-kesalahan
yang terjadi.
Dampaknya akan lebih parah, jika ejekan yang bersifat mendiskreditkan itu berasal dari

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

77

Pra Sekolah

orang tua. Anak akan merasa orang tuanya tidak menghargai keadaannya atau apa yang
sudah dilakukannya. Ujung-ujungnya, kreativitasnya pun terbelenggu.
MENANGKAL EJEKAN
Jadi tak ada salahnya orang tua melakukan antisipasi agar ejekan-ejekan yang diterima
anak tidak sampai memengaruhi kepercayaan dirinya. Berikut beberapa ejekan dan cara
"menangkalnya":
* Ejekan Fisik
Ejekan fisik umumnya berkaitan dengan keadaan fisik anak, seperti kurus, gendut, hidung
pesek, kulit hitam, dan lain-lain. Kalau si kecil diejek seperti itu, berikan penjelasan arti
kata-kata tersebut dan kenalkan dirinya dari sisi yang positif. "Kulit Kakak memang hitam
tapi Kakak tetap cantik karena Kakak hitam manis. Dan yang penting Mama tetap sayang
sama Kakak," misalnya. Atau, "Tubuh gendut itu membuat kita lebih kuat. Lihat Kakak pasti
bisa mengangkat batu itu. Teman-teman belum tentu bisa lo."
* Ejekan Kecerdasan
Biasanya berkaitan dengan kemampuan anak dalam melakukan sesuatu. Seperti bodoh,
otak udang, bloon dan lainnya. Meski sebenarnya si kecil belum paham betul arti perkataan
itu, tak salah bila kita berkata, "Kakak enggak bodoh kok. Malah pintar, hebat. Hanya saja
Kakak kan masih kecil jadi enggak bisa melompat setinggi mereka," misalnya. Atau "Kakak
tidak berotak udang. Kakak hanya perlu lebih bersungguh-sungguh lagi masang paselnya
ya," misalnya.
* Ejekan Perilaku
Perilaku anak terkadang memang mengesalkan sehingga ada saja ungkapan kekesalan yang
muncul dari orang lain seperti bandel, nakal, anak tidak tahu diatur, tukang bikin onar, dan
lainnya. Sebelum memberikan pengarahan, tak ada salahnya jelaskan pada anak kenapa
kata-kata itu sampai muncul. "Mungkin tadi Kakak terlalu senang jadi vas bunga Tante Ika
tersentuh terus jatuh. Makanya Tante Ika bilang Kakak bandel. Tapi Kakak enggak bandel
karena Kakak kan enggak sengaja. Tapi lain kali Kakak harus hati-hati ya."
* Ejekan Sifat
Misalnya pelit, cerewet, ceroboh, tukang ngambek, dan sebagainya. Tidak berbeda dari cara
yang lain, awalnya buka mata si kecil kenapa ia diejek seperti itu. "Mas Andi bilang kamu
pelit karena kamu enggak mau berbagi. Dia kecewa dan marah. Rotimu kan besar, dibelah
sedikit ya untuk Mas Andi," misalnya. Dengan kalimat seperti ini diharapkan juga anak bisa
memahami konsep sederhana tentang berbagi.

ANAK MENGEJEK KARENA MENIRU


Tingkah laku anak prasekolah yang suka mengejek menurut Ima bukan karena dia ingin
mengejek tetapi lebih karena faktor luar yang memengaruhinya untuk berlaku seperti itu.
Jangan lupa, kemampuan anak 3-5 tahun untuk memahami hal yang abstrak masih rendah
karena dia, masih dalam taraf berpikir konkret. Artinya apa yang dia lihat dan rasakan itulah
yang akan anak tafsirkan. Jadi dari sisi perkembangan psikologisnya, ejekan yang ia
lontarkan hanya manifestasi dari apa yang dia lihat. "Tetapi makna terdalam dari apa yang
diucapkannya belum dikuasai anak," jelas Ima.
Juga ada faktor kemampuan berbahasa. Di usia ini anak sedang mengembangkan
kemampuan berbahasanya. Apa pun yang didengar langsung ditangkap, dihafal, diucapkan,
dan dijadikan sebagai bahasa pergaulan. Berbeda pada fase konvensional, anak sudah bisa

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

78

Pra Sekolah

memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus dikatakan dan tidak.
Sedangkan anak usia prakonvensional belum memahami apa yang dia katakan. Ia hanya
asyik dengan kata-kata yang baru didengarnya itu. Kalau dia bilang seseorang gemuk lantas
ia memperoleh respons, ini merupakan pengetahuan baru baginya. "Oh ternyata ketika aku
bilang Tante Riri gemuk, mama akan marah padaku," misalnya.
Saran Ima ketika anak mengejek, sikapilah dengan bijak. "Banyak orang tua memandang
anak yang mengejek hanya dari sisi negatif saja. Padahal semuanya adalah suatu proses
pembelajaran." Ketika anak mengejek berarti ada kemampuan yang tumbuh pada anak;
kemampuan meniru, kemampuan berbahasa, juga kemampuan mengomentari apa yang
dilihatnya. Namun demikian, agar ucapannya tidak telanjur menetap orang tua perlu juga
mengarahkan. "Adek, memang hidungnya pesek, tapi dia pintar bernyanyi, lo. Jadi Kakak
tidak boleh mengejeknya."
Irfan Hasuki. Foto: Ferdi/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

79

Pra Sekolah

"MAMA LEBIH SAYANG AKU ATAU ADIK SIH?"


Kecemburuan si kakak perlu ditangani segera agar hubungannya dengan adik atau orang
tua menjadi harmonis.

"Mama lebih sayang aku atau adik?" Tera bertanya pada


Diah. Sambil tersenyum Diah menjawab pertanyaan anaknya
yang berusia 4,5 tahun, "Tentu Mama sayang kamu, juga
sayang adik." Tera tampak tidak puas akan jawaban yang
diberikan. "Tadi, Mama kok cium Adik tapi enggak cium aku.
Berarti Mama lebih sayang Adik!" Diah hanya menghela napas
panjang. Si sulung Tera memang selalu mencemburui Ila,
adiknya yang berusia 1,5 tahun. Entah bagaimana ia harus
bersikap.
TERANCAM DAN TERSAINGI
Si kakak mencemburui adik? Ekspresi yang sangat manusiawi
kok. Hal ini lantaran si kakak merasa memiliki saingan untuk
menarik perhatian lingkungan. Maka itu, kasus kecemburuan
si prasekolah pada adik yang beda usianya hanya 1-2 tahun
lebih sering muncul. Pasalnya, semakin besar si adik,
kemampuannya pun makin bermunculan. Si kakak merasa kalau adiknya tidak lagi seorang
bayi yang hanya bisa tergolek, menangis dan dilayani. Namun mulai memiliki kemampuan;
bisa duduk, merangkak, berdiri, berjalan, yang membuat surprise orang-orang di
sekitarnya. Nah, keberhasilan saudaranya yang lebih muda menarik simpati inilah yang
sering memicu kecemburaan anak.
Dalam benaknya, ia merasa memiliki kemampuan lebih dari sang adik tapi kok tidak
menda-pat perhatian. Apalagi, si adik sudah bisa melawan atau mengungkapkan
ketidaksetujuan-nya. Ketika mereka rebutan mainan, saudaranya itu tak lagi tinggal diam
tetapi berusaha untuk mempertahankannya. Hal semacam ini membuat eksisten-sinya
semakin terancam. Si adik tidak lagi lemah tetapi sudah bisa menunjukkan keberadaannya
di mata saudaranya yang lebih tua itu. Akhirnya, si kecil merasa kalau memiliki adik tidak
lagi menyenangkan tetapi mengesalkan
NEGATIF ATAU POSITIF
Yang menarik, kecemburuan si kecil dapat dituangkan dengan berbagai perilaku dari yang
positif hingga negatif. Semua ini bergantung pada cara anak dalam menarik perhatian orang
tuanya. Ini beberapa kemungkinannya:
* Mendekatkan diri ke adik
Ini salah satu contoh perilaku kecemburuan yang positif. Saat diminta untuk menemani
adik, si kakak menurutinya dengan baik. Ia pun menun-jukkan sikap kasih sayang,
mencoba menggendong, membelai dan sebagainya. Walau perilaku ini tergolong positif tapi
tetap saja merupakan manifestasi kecemburuan. Maka itu orang tua harus memberikan
perhatian lebih pada si kakak. Misalnya de-ngan memberikan pujian, "Wah Andi, kakak
yang hebat bisa sayang dan melindungi adik."
Reward positif semacam ini akan memacu sang kakak untuk berbuat yang lebih baik lagi.
Sebaliknya, tanpa penghargaan dari orang tua, sikapnya yang manis bisa berubah 180

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

80

Pra Sekolah

derajat, bahkan bisa menjauhkan diri dari si adik. "Buat apa aku sayang sama adik kalau
mama tidak peduli."
* Menyakiti adik
Contoh manifestasi kecemburuan yang negatif adalah tindakan agresif seperti memukul,
mencakar, menjambak dan sebagainya. Kalau sudah seperti itu, orang tua mesti turun
tangan memisahkan si kakak dari adik. Tetapi ingat, tak perlu bereaksi secara berlebihan;
mengomeli atau memarahinya dengan kata-kata kasar. Tindakan-tindakan ini justru
berpotensi memupuk pe-rilaku negatif anak. Dia merasa memperoleh perhatian saat
berlaku agresif sehingga terdorong untuk melakukannya lagi.
Setelah memisahkan, lakukan pendekatan dengan cara bijak. Misalnya dengan mengajak si
kakak berbicara dan berikan arahan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak baik. "Kakak
sayang, jangan khawatir. Mama juga sayang sama Kakak. Kakak juga harus sayang sama
adik seperti Mama menyayangi Kakak!" misalnya.
* Marah atau ngambek
Biasanya marah atau ngambeknya si kakak ditunjukkan dengan sikap negatif lain seperti
jadi sulit diatur, mudah marah, rewel, dan lainnya. Kalau ia sudah lancar berbicara bisa saja
ia menuntut orang tua untuk memilih siapa yang lebih disayanginya, ia atau adiknya.
Karena hal ini semacam "tes" bagi orang tua maka jawaban bijak amatlah diperlukan.
Jangan sampai jawaban yang diberikan malah membuat anak makin cemburu. "Tentu saja
Mama lebih sayang adik. Habis Kakak ngambek melulu sih!" umpamanya.
Akan baik, jika ia disadarkan bahwa semua yang ada di rumah sayang padanya. Penuturan
ini jelas harus ditindaklanjuti dengan memberikannya perha-tian. Contoh, dengan memuji si
kakak saat berhasil melakukan sesuatu. Perhatian semacam itu cukup membuat si kakak
percaya bahwa kita benar-benar menyayanginya. Sangat baik bila ia selalu didorong untuk
bermain bareng sang adik.
JANGAN DIBIARKAN
Meskipun kecemburuan antarsaudara wajar, orang tua tetap tidak boleh membiarkan
kondisi ini berlanjut. Segeralah mengambil tindakan untuk menangani. Sebagai langkah
awal, orang tua perlu memahami kalau kecemburan si kakak disebabkan ia butuh perhatian.
Jadi berikan perhatian yang cukup kepadanya. Bisa jadi selama ini ia memang kurang
mendapat perhatian. Maksud perhatian di sini bukan melulu hadiah dalam bentuk materi.
Belaian, ciuman, sikap melayani dan pujian merupakan bentuk-bentuk perhatian yang
sangat berarti buatnya.
Bila memang diperlukanumpamanya kecemburuan si kakak selalu dituangkan dalam bentuk
tindakan agresif berikan konsekuensi jika ia tidak segera memperbaiki sikapnya. Contoh,
dengan menarik kesenangannya menonton acara favorit. Lakukan secara konsisten
sehingga ia
menyadari bahwa apa yang kita lakukan serius, tidak main-main. Diharapkan si kakak akan
cepat memahami apa yang dilakukannya selama ini bukanlah tindakan yang tepat.

DAMPAK JIKA TIDAK TERTANGANI


Sebagai tambahan, berikut berbagai dampak yang bisa muncul saat kecemburuan
antarsaudara tidak ditangani dengan baik:
* Hubungan tidak baik dengan adik

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

81

Pra Sekolah

Perasaan bersaing, iri, dan benci yang didiamkan dan ditambah orang tua yang tidak peduli
dengan perasaan si kakak akan memengaruhi hubungan antarsaudara. Tidak menutup
kemungkinan hubungan yang tidak harmonis ini akan berlanjut hingga dewasa. Alhasil,
kakak-adik yang seharusnya saling menyayangi dan melindungi malah sering cekcok,
berantem, perang mulut, dan sebagainya.
* Hubungan tidak baik dengan orang tua
Orang tua yang tidak acuh akan membekaskan perasaan yang dalam pada anak. Tak
mustahil perasaan ini akan terus terpendam hingga dewasa. Akibatnya, hubungan anak
dengan orang tua tidak seharmonis yang diharapkan.
* Konsep diri menjadi negatif
Pada akhirnya, bila hubungan dengan orang tua tidak harmonis akan membentuk pribadi
anak yang memiliki citra negatif. Anak merasa rendah diri, susah menerima kekalahan,
tidak sportif, tidak bisa menerima feedback orang lain. Bila ada yang lebih darinya bisa saja
dia berpikir bagaimana cara membuat orang itu terkalahkan meskipun dengan cara-cara
yang tidak baik.

PERSIAPKAN SEJAK ADIK MASIH DI KANDUNGAN


Kasus si kakak yang cemburu pada adik sebenarnya dapat diantisipasi dengan
mempersiapkan mental si kakak sejak adiknya masih berada dalam kandungan. Ajak ia ikut
saat ibu pergi kontrol ke dokter kandungan. Perlihatkan hasil USG yang sudah dicetak. Ajak
si kakak untuk berbicara dengan adik bayi yang masih ada dalam kandungan, membelikan
boneka bayi, dan sebagainya. Persiapan ini sangat penting untuk membantu anak
mempersiapkan dirinya saat kelahiran adik bayinya nanti.
Saat adik bayinya lahir, libatkan ia dalam kegiatan-kegiatan si bayi; proses makan,
memandikan, memberi susu, dan sebagainya. Jelaskan kalau adik bayi perlu mendapat
perawatan karena dia belum bisa melakukannya sendiri. Nah, kakak juga harus ikut
merawat karena adiknya butuh perhatian dari seluruh isi rumah ini. Jangan lupa
mengucapkan kalimat bahwa dengan hadirnya adik baru rasa sayang kita tetap sama
seperti dulu, tidak kurang sedikitpun.
Diharapkan dengan persiapan seperti ini akan membuat si kakak tetap menyayangi dan
melindungi adiknya. Tidak cemburu atau bahkan menganggapnya sebagai musuh.
Irfan Hasuki. Foto: Iman/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

82

Pra Sekolah

LO, KOK, MASIH NGOMPOL?


Tak perlu memarahinya, berikan saja latihan berkemih yang tepat.

Orang tua perlu tahu, sekitar 75 % kasus mengompol

disebabkan faktor emosional. Gara-gara balita belum


mampu
menyalurkan
kecemasannya
dengan
baik.
Sementara aktivitas biologis ini diatur oleh otak yang
mengirim sinyal ke kandung kemih untuk mengeluarkan air
seni. Lantaran itu, bila kondisi emosi sedang tidak stabil,
pengontrolan pengeluaran air seni ikut terganggu, terutama
pada saat tidur.
Lalu bagaimana kita tahu kalau si kecil sedang terganggu
emosinya? Lihatlah sikap dan perilakunya yang tidak
biasanya. Yang biasa tenang mungkin menjadi overakting,
agresif, atau malah murung, cengeng, bahkan amat
pendiam. Lalu coba cari penyebabnya. Mungkin ia memi- liki
masalah dengan adik/kakak, dimarahi orang tua, merasa
diabaikan, sakit, orang tua bertengkar hebat, atau cemas karena akan ditinggal pergi oleh
orang tuanya dalam waktu yang lama. Begitu pula bila ayah-ibunya memutuskan bercerai.
Kalau penyebabnya sudah ditemukan, penuntasan masalah harus disesuaikan dengan
penyebab tersebut. Umpamanya, kalau anak merasa diabaikan orang tuanya yang selalu
berangkat kerja pagi-pagi dan pulang malam, mau tak mau ayah atau ibu mesti
memberikan lebih banyak waktu pertemuan yang berkualitas kepadanya.
PENYEBAB MASIH NGOMPOL
Bagi si kecil yang masih ngompol dan belum pernah "kering" dari usia bayi hingga
prasekolah, ada dua kemungkinan penyebabnya: toilet training yang tidak berhasil atau
gangguan fungsi kandung kemih.
* Toilet Training Tidak Berhasil
Sebenarnya anak 3 tahunan harus sudah mendapat toilet training. Kalau ia sampai
keterusan mengompol hingga usia sekolah, citranya di mata teman-teman atau adik/kakak,
dan sanak saudara akan menurun sehingga berdampak tidak baik buat konsep dirinya.
Masalahnya, bagi sebagian orang tua, memberikan toilet training bukanlah pekerjaan
mudah. Jika si prasekolah yang sudah dilatih untuk tidak pipis di celana tetap saja
mengompol, mungkin latihannya masih "setengah-setengah". Akibatnya, anak belum
paham benar bahwa pada saat tidur pun ia harus bangun dan pergi ke toilet bila ingin pipis.
* Gangguan Otot Kandung Kemih
Meski kasusnya jarang, bisa saja gangguan kesehatanlah yang membuat si kecil masih
mengompol. Berikut di antaranya:
- Kapasitas kandung kemih anak relatif kecil sehingga ia jadi sering kencing. Untuk masalah
ini, orang tualah yang mesti rajin dan sabar mengajak anak untuk sering ke kamar mandi.
Jangan khawatir, dengan perjalanan waktu kandung kemih anak akan membesar sendiri
nantinya.
- Otot-otot pengontrolan kandung kemih yang lemah atau kurang berfungsi. Penyebab

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

83

Pra Sekolah

gangguan ini bisa merupakan bawaan lahir yang ditandai dengan air seni yang terus
menetes sehingga membuat celananya selalu basah.
- Ketidakseimbangan antara otot detrusor di kandung kemih dengan otot sfingter di leher
kandung kemih. Saat buang air kecil otot detrusor akan mengalami kontraksi dan otot
sfingter membuka. Jika anak belum memiliki keseimbangan maka sfingter-nya akan
membuka sebelum terjadi kontraksi otot detrusor. Akibatnya terjadilah mengompol. Namun
seiring bertambahnya usia, sekitar 5 tahunan, otot-otot tersebut akan seimbang. Maka itu,
orang tua disarankan untuk melatih otot-otot ini dengan mengajak anak berlatih menahan
kencing; kapan waktu kencing, dan kapan tidak serta di mana boleh kencing dan tidak.
Nah, diagnosa gangguan-gangguan ini harus melewati pemeriksaan detail oleh dokter.
Namun biasanya baru dilakukan jika anak masih mengompol di atas 5 tahun dan bila tidak
ditemukan faktor penyebab lain kenapa dia mengompol terus.
Kecuali jika gangguan tersebut memang sudah terdeteksi sejak lahir atau sudah
menimbulkan infeksi maka kelemahan organ saluran kencing ini harus dikoreksi.
Gejala infeksi bisa ditandai dengan anyang-anyangan, sakit waktu BAK, dan mengedan saat
BAK. Kalau sudah terinfeksi tentu harus dilakukan penyembuhan dengan obat-obatan.
AGAR NGOMPOL TIDAK TERULANG
Saat si kecil mengompol yang pasti orang tua tidak boleh berdiam diri. Juga tak perlu
memarahi atau menghukumnya. Sebaliknya, lakukan tindakan aktif untuk membantu anak
keluar dari masalahnya. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:
* Beritahu Anak tentang Latihan
Agar masalah mengompol ini tuntas diperlukan komunikasi dua arah. Orang tua perlu
memberitahu tentang latihan yang ingin diterapkan. Anak pun mesti menerima latihan yang
dibebankan orang tuanya. Penyampaian informasi mesti dengan kata-kata sederhana yang
mudah dimengerti anak. Jangan lupa tunjukkan sikap kasih sayang agar si kecil mau
menerima apa yang kita minta.
* BAK Sebelum Tidur
Setiap kali anak akan berangkat tidur, minta ia untuk BAK terlebih dulu. Dengan kosongnya
kandung kemih berarti kandung kemih punya waktu untuk penuh kembali. Jika didukung
dengan kemampuan otot-ototnya bisa saja anak terhindar dari ngompol.
* Ajak Anak ke Kamar Mandi
Perhatikan jam anak biasanya mengompol. Lalu hitung frekuensi BAK anak; 4 jam, 5 jam,
atau 6 jam sekali. Bila dia tidur jam 21.00 berarti 4/5/6 jam kemudian, sekitar pukul
01.00/02.00/03.00, kita harus mengajaknya untuk BAK di kamar mandi. Usahakan bangun
sebelum jam tersebut agar kita masih sempat mengajaknya BAK. Pasanglah alarm jam bila
memang diperlukan.
* Bimbing Anak
Cara terbaik saat mengajak anak BAK adalah dengan berjalan bersamanya dan ajak ia
untuk membuka celananya. Jangan menggendong atau menuntunnya. Apalagi
membuka/memakaikan celananya. Biarkan anak melakukannya sendiri. Meski masih
setengah terjaga namun sebagian pikirannya yang sadar akan tahu apa yang harus ia
lakukan. Ini sangat baik untuk mendidik anak untuk tahu apa yang harus dilakukannya.
* Hindari Perlak dan Pospak
Untuk mengatasi masalah mengompol banyak orang tua mengambil jalan pintas, yakni

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

84

Pra Sekolah

melapisi seprai dengan perlak atau memakaikan si kecil pospak. Padahal itu justru akan
memperpanjang kebiasaan mengompol. Pasalnya anak merasa kalau ia tidak perlu
mengatur frekuensi BAK-nya dan bebas kencing kapan saja.
* Latihan Siang
Sangat penting melatihnya untuk tidak mengompol di siang hari. Caranya dengan
menggunakan alarm yang disetel untuk memberitahu anak kapan dia harus ke kamar mandi
untuk mengosongkan kandung kemihnya. Lakukan rentang waktu bertahap. Contoh,
sebagai awal rentang waktu sekitar 2 jam, lalu tingkatkan menjadi 3-4 jam. Begitu
seterusnya. Semakin lama rentang waktu untuk mengosongkan kandung kemihnya maka
otot-otot kandung kemih dilatih untuk lebih kuat.
* Hadiah dan Hukuman
Bila anak berhasil tidak ngompol, berikan apresiasi. Misalnya dengan memberi hadiah atau
imbalan. Tak perlu yang mahal-mahal, peluk dan pujian cukup untuk membuatnya senang
sehingga termotivasi untuk tidak ngompol lagi. Imbalan dalam bentuk barang pun tidak
dilarang; bisa kue kesenangan, boneka, mobil, atau lainnya. Yang penting, jangan sampai
pemberian imbalan ini membuat anak menjadi ketergantungan. Maksudnya, jika tidak diberi
imbalan maka dia akan ngompol lagi. Imbalan mesti membuat anak merasa dihargai
sehingga mendorongnya untuk lebih serius tidak ngompol lagi.
Untuk itu, buat kesepakatan dengan anak. Jika dia mengompol akan mendapat hukuman.
Namun hindari bentuk hukuman seperti hujatan, marah-marah, apalagi siksaan fisik.
Pilihlah hukuman yang bersifat membangun motivasi. Misal, membersihkan bekas ompolnya
sehingga dia tahu kalau ia mengompol harus menerima efek yang tidak menyenangkan.
Sekali lagi, saat memintanya untuk itu, gunakan kata-kata yang tidak membuat anak
merasa sangat bersalah.

PERLUNYA LATIHAN DI USIA BATITA


Sejak usia 3 tahun anak sebenarnya sudah mampu mengontrol kandung kemihnya. Namun
untuk itu dibutuhkan toilet training sejak ia berumur 2 tahun.
Nah, lebih dini toilet training dilakukan akan lebih baik, semisal sejak usia 18 bulan. Intinya
saat kemampuan motorik dan komunikasi si kecil sudah muncul, ia sudah siap untuk diajak
melakukan pelatihan itu. Sayang, menurut penelitian sekitar 50 persen anak usia
prasekolah masih mengompol. Penyebabnya tentu beragam. Tapi salah satunya adalah
faktor orang tua yang menganggap toilet training tidak penting diajarkan pada anaknya
yang masih kecil.
Anggapan ini tentu tidak tepat. Sebab, ngompol akan memiliki dampak tidak baik. Misalnya,
membuat tempat tidur jadi kotor dan bau pesing dan mengakibatkan tidur jadi terganggu.
Padahal kalau sampai anak kurang tidur, bawaannya jadi rewel terus. Pada anak yang
berbakat alergi, ngompol malah dapat mengakibatkan munculnya gatal-gatal pada daerah
genital dan memerahnya kulit karena terlalu lama bersentuhan dengan air seni.Irfan
Hasuki. Foto: Iman/NAKITA

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

85

Pra Sekolah

"ADUH, ANAK AYAMNYA JANGAN DISAKITI,


DONG....!"
Bagaimana reaksi Anda kala melihat si buyung dengan kedua tangan mungilnya sedang
meremas seekor ayam? Atau si upik tengah menarik-narik ekor si Pusi hingga kucing kecil
itu mengeong-ngeong kesakitan?

Sedikitnya ada 3 alasan si prasekolah berperilaku "sadis"

pada hewan. Pertama, perkembangan kognitif di awal masa


kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Perilaku
anak terdorong rasa ingin tahunya yang besar. Anak-anak
sedang
berada
pada
tahap
dimana
dia
senang
mengeksplorasi lingkungannya.
Umumnya anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar
terhadap hal-hal yang baru dilihatnya. Yang kemudian
dilanjutkan dengan keinginan untuk mencoba, sekaligus
mengetahui apa efeknya kalau ia melakukan perbuatan itu.
Pada tahap ini, anak-anak belum mampu mempelajari atau
menerapkan prinsip-prinsip tentang benar dan salah. Tak
hanya itu, si prasekolah umumnya juga belum memiliki
kesadaran untuk mengikuti peraturan-peraturan karena tidak
mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok sosial. Anak masih berperilaku egosentris
(rasa ego yang besar) dimana anak memuaskan kebutuhan diri pribadinya tanpa
memerhatikan lingkungannya.
Kedua, si prasekolah masih suka meniru perilaku yang dilihatnya, baik dari orang-orang di
sekitarnya maupun dari tontonan yang ada di televisi. Bila ia kerap menyaksikan perilaku
sadis terhadap binatang, niscaya ia akan merekam dalam ingatannya, dan kemudian
mencoba untuk melakukan sendiri tanpa mempertimbangkan baik buruknya.
Alasan yang ketiga, bisa jadi perilaku sadis itu diwujudkan sebagai pelampiasan rasa
marahnya. Perasaan itu dapat muncul perilaku sadis, tentunya orang tua harus segera
mengambil sikap agar tak kebablasan sampai si anak besar.

LANGKAH TEPAT MENANGANI


Langkah tepat yang perlu dilakukan orang tua adalah mengamati selama beberapa waktu,
apakah si prasekolah menunjukkan perilaku itu kembali. Amati juga motif-motifnya saat ia
berperilaku demikian. Lalu, lakukan langkah-langkah ini:
1. Segera beri tahu dan jangan ditunda
Waktu yang paling tepat untuk memberi tahu si prasekolah bahwa perilakunya terhadap
hewan tidak baik adalah pada saat kejadian. Jangan ditunda. Ingat, kemampuan kognitif si
prasekolah masih kurang sehingga ia kerap melupakan peristiwa-peristiwa yang sudah
dilalami.
2. Gali penyebabnya

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

86

Pra Sekolah

Cobalah gali penyebab si prasekolah melakukan perbuatan itu. Bisa jadi, ia melakukan itu
karena terdorong rasa ingin tahunya. Lakukan penggalian informasi dengan sabar dan
jangan terlalu menghakimi. Bisa-bisa karena rasa takutnya, ia tidak menceritakan alasan
yang sebenarnya.
3. Berikan penjelasan, mengapa perilaku itu tidak baik
Pilihlah alasan yang tepat yang mudah dipahami oleh anak-anak sekaligus memiliki muatan
pengertian tentang benar dan salah. Hal ini juga bermanfaat untuk meletakkan dasar-dasar
bagi hati nuraninya. Hati nurani berfungsi sebagai sumber motivasi bagi anak-anak untuk
melakukan sesuatu yang positif kelak.
4. Berikan contoh-contoh perilaku yang baik
Si prasekolah membutuhkan bukti konkret untuk membantu pemahamannya terhadap
sesuatu. Untuk itu, angkatlah peristiwa sehari-hari sebagai contoh nyata sehingga dapat
lebih mudah dipahami.
5. Alihkan pada kegiatan lain yang lebih menarik
Misal, mengamati perilaku anak ayam yang selalu mengikuti ke mana pun induknya pergi.
Dengan begitu, anak tidak sekadar bermain tapi juga mendapatkan pengetahuan dari
kegiatan tersebut. Arahkan anak agar menyayangi binatang. Sampaikan bahwa binatang
pun dapat merasakan sakit, seperti halnya manusia dan makhluk hidup lainnya.
6. Penuhi rasa ingin tahu anak
Contoh, anak mengajukan pertanyaan, maka jawablah dengan jelas dan benar. Bukan
malah tidak menggubrisnya atau malah diketusi karena anak banyak bicara. Justru dengan
menjawab pertanyaan anak, maka kita dapat merangsang kognisinya.

YANG HARUS DIWASPADAI


Bersyukurlah bila perilaku sadis anak terhadap binatang adalah untuk yang pertama
kalinya. Bisa jadi, penyebabnya hanyalah rasa ingin tahu semata. Nah, tugas orang tua
selanjutnya adalah selalu mengingatkan. Bila perlu lakukan berulang-ulang karena
umumnya perkembangan kognitif si prasekolah masih terbatas.
Yang harus diwaspadai bila perilaku ini telah dilakukan berulang kali. Kalau tak segera
diatasi dan diberikan penjelasan tentang benar atau salahnya perbuatan ini, kelak ia dapat
menjadi orang dewasa yang memiliki perilaku kasar atau sadis.
Sebagai langkah awal, beritahukan pada si prasekolah bahwa perbuatannya itu sudah
termasuk pelanggaran. Bila perlu berikan sanksi, sehingga ia mengetahui bahwa itu adalah
perbuatan yang salah. Selanjutnya, berikan penjelasan mengapa perilaku itu termasuk
salah. Berikan penekanan bahwa binatang adalah makhluk hidup yang juga bisa merasa
sakit bila diperlakukan dengan sadis.
Jika semua hal di atas sudah dilakukan tetapi perilaku anak tetap tidak berubah, maka ada
baiknya jika Anda mengonsultasikan masalah ini pada ahlinya.
Utami Sri Rahayu. Foto: Ferdi/nakita

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

87

Pra Sekolah

KECIL-KECIL HOBI "KELUAR" MALAM


Bermain adalah proses belajar bagi anak. Namun, bagaimana bila si prasekolah ingin
bermain di luar rumah pada waktu malam?

"Eca...main yuk," teriak Ari dari luar. Padahal waktu


sudah menunjukkan pukul 18.30, dan tentu saja hari
sudah mulai gelap. Ari ingin mengajak Eca melanjutkan
kembali permainan yang dilakukan sore tadi; bermain
bola dan tentunya sambil berlarian ke sana ke mari.
Bermain adalah kegiatan yang mengasyikkan bagi anak.
Apalagi untuk si prasekolah. Menurut Berjen (1988) dan
Neulinger (1981) tahapan perkembangan bermain bagi
usia prasekolah adalah mulai belajar menggabungkan
aktivitas fisik dan lingkungan sosialnya. Permainan
keterampilan dan eksplorasi secara bertahap beranjak
menjadi permainan konstruktif dan anak akan semakin
tertarik terhadap hasil akhir dari permainan. Memasuki
tahap ini, si prasekolah juga mulai mengikuti aturan permainan dan belajar tentang aturan
sosial.
Jadi, tak perlu heran bila melihat si prasekolah sangat menikmati permainan yang dilakukan
bersama teman-temannya. Untuk itu, orang tua tak perlu merasa khawatir bila anaknya
bermain. Apalagi menurut dr. Luh Karunia Wahyuni, SpRM dalam seminar Mengatasi
Kesulitan Belajar Pada Anak, bermain adalah media belajar anak. Bermain juga bernilai
sebagai arena untuk mengembangkan kemampuan mengintegrasikan sistem sensori yaitu
kemampuan anak mengintegrasikan seluruh indra (penglihatan, pendengaran, peraba,
perasa, pengecap), gerak dan keseimbangan. Tujuannya agar anak dapat belajar, bertahan
hidup dan nantinya mandiri dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
MAINNYA DI TERAS RUMAH
Namun, bagaimana bila ia masih ingin melanjutkan permainan itu di malam hari, sementara
siang dan malam hari jelas berbeda? Malam hari sudah pasti kondisinya gelap dan suhu
udaranya pun sudah mulai menurun.
Menurut Eko Handayani, M.Psi, bermain di waktu malam boleh-boleh saja dilakukan, asal
tidak setiap malam. Misalnya, saat liburan sekolah, suhu sedang panas sehingga terasa
penggap bila di dalam ruangan, atau sedang ada kegiatan tertentu di lingkungan rumah.
"Tetapi waktunya tentu saja tidak selama dan sebebas seperti bermain di siang atau sore
hari," ujar psikolog yang akrab disapa Ani ini.
Hanya saja yang dikhawatirkan, melakukan kegiatan di waktu gelap akan lebih mudah
mengundang bahaya. Karena, saat gelap mata dituntut untuk bekerja ekstra jeli serta
dibutuhkan konsentrasi tambahan agar dapat berfungsi lebih maksimal. Selain itu, suhu
udara di waktu malam umumnya lebih rendah dibandingkan pada siang hari. Suhu yang
lebih rendah plus angin kurang baik bagi kesehatan. Apalagi jika kondisi fisik si prasekolah
sedang tidak fit.
Karenanya, saran Ani, bila ingin bermain di waktu malam, sebaiknya lakukan di sekitar
halaman rumah alias tidak keluar dari pintu pagar. "Umumnya penerangan di halaman atau

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

88

Pra Sekolah

di teras rumah pastinya lebih baik dibandingkan di jalan."


Selain itu, tambah Ani, sebaiknya dilakukan bersama keluarga, bukan bersama temantemannya. Dengan begitu, waktu bermainnya dapat lebih diatur (permainan dapat segera
dihentikan bila seluruh anggota keluarga kembali masuk ke rumah).
Lagi pula, bermain bersama anggota keluarga juga dapat menjadi sarana mendekatkan
hubungan dengan seluruh anggota keluarga. Apalagi bila seharian orang tua bekerja dan
kakak sekolah, sehingga si prasekolah hanya memunyai sedikit waktu untuk berkumpul
dengan anggota keluarga yang lain.
MANFAAT TERGANTUNG KEGIATAN
Menurut Ani, bermain di luar pada waktu malam juga memiliki manfaat. Asalkan orang tua
pandai memilih kegiatan yang dilakukan. Salah satunya, memperkenalkan kepada si
prasekolah bahwa gelap itu tidak menakutkan. "Umumnya anak usia prasekolah takut akan
gelap. Nah, dengan melakukan kegiatan di luar, anak mengetahui bahwa gelap itu tidak
selalu menakutkan, karena tetap dapat melakukan kegiatan atau aktivitas yang
menyenangkan."
Berikan pula penjelasan terjadinya malam yang gelap dan aneka benda yang ada di langit
saat malam; bintang, gugusan bintang (rasi), bulan, dan lain-lain. Sehingga sambil
bermain, anak juga mendapat pengetahuan tentang alam semesta. Jadi, asal pintar-pintar
memilih kegiatan, tetap ada manfaat yang dapat diraih kok!

5 LANGKAH AMAN BERMAIN DI MALAM HARI


1. Lihat situasi dan kondisi
Sebelum memutuskan untuk mengizinkan si prasekolah bermain di malam hari, cobalah
amati situasi dan kondisinya terlebih dahulu. Bila si prasekolah tampak lesu, bersin-bersin,
sebaiknya tunda acara bermain di malam hari. Berikan penjelasan, bahwa malam hari
berbeda dari siang hari. Dibutuhkan kondisi fisik yang sehat agar tidak malah menjadi sakit.
Tak ada salahnya juga melarang bila si prasekolah telah melakukan aktivitas fisik yang
cukup melelahkan di waktu siang.
Amati pula situasi dan kondisi alam. Bila cuaca sedang buruk seperti hujan, angin bertiup
kencang, sebaiknya permintaan itu tidak dikabulkan. Namun jangan lupa untuk memberikan
penjelasan yang menyebabkan dirinya tak diizinkan bermain di luar pada malam hari.
2. Batasi waktunya
Saat memberikan izin, tentukan batasan waktunya. Terlalu lama bermain di waktu malam
dikhawatirkan akan mengganggu tidur si prasekolah. Fisik yang terlalu lelah dapat
memengaruhi kualitas tidur anak. Bisa-bisa si prasekolah malah jadi rewel karena terlalu
lelah. Atau, malah membuatnya jadi terlambat bangun keesokan harinya, sehingga
terlambat tiba di sekolah.
Idealnya bagi si prasekolah yang ingin bermain di waktu malam sebaiknya dilakukan sekitar
pukul 18.30 sampai 19.30. Setelah itu, giring si prasekolah untuk melakukan kegiatan di
dalam ruangan. Sekaligus dapat dilakukan untuk persiapan menjelang tidur (cooling down).
Alangkah baiknya bila menjelang jam tidur, kegiatan dialihkan ke kamar. Hantarkan tidur
anak dengan bacaan/dongeng yang menarik. Sehingga kesan terakhir yang akan terbawa
ke mimpinya adalah hal yang menyenangkan. Bila diamati, buah hati Anda akan tidur
sambil tersenyum.
3. Pilih-pilih tempat

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

89

Pra Sekolah

Sebaiknya bermain di malam hari cukup dilakukan di halaman rumah. Hindari bermain di
tempat yang gelap atau di jalanan. Sesekali pada kesempatan tertentu, tak ada salahnya
bermain di areal umum yang aman, seperti taman yang memiliki penerangan cukup atau
lapangan untuk berolahraga.
4. Pilih-pilih permainan
Sebaiknya pilih permainan pasif atau yang tak terlalu banyak bergerak dan menghabiskan
tenaga. Antara lain bermain peran, membaca, bercerita, mendongeng, menyusun balok,
pasel, dan lain-lain.
Melakukan permainan pasif lebih menguntungkan karena tak terlalu banyak bergerak
sehingga tidak mengeluarkan tenaga yang berlebihan dibandingkan permainan aktif.
Sekaligus menghindari kelelahan yang berlebihan pada si prasekolah.
Cobalah juga untuk memperkenalkan permainan yang menggunakan aturan. Seperti,
bermain kartu, ular tangga, ludo, congkak, dan lain-lain. Melalui permainan ini, anak juga
dapat belajar tentang aturan, sportivitas, kerja sama, serta mendapat pengetahuan untuk
menambah wawasan.
5. Bersama orang tua
Seperti sudah ditulisan di atas, sebaiknya bermain di malam hari dilakukan bersama orang
tua. Selain dapat mempererat hubungan antaranggota keluarga, orang tua juga dapat
menjadikan kegiatan ini untuk menyampaikan nasehat atau pesan-pesan. Umumnya
sesuatu yang disampaikan dalam suasana yang lebih santai, akan lebih mudah dicerna dan
dipahami oleh anak.
Utami Sri Rahayu. Foto: Ferdi/nakita (319)

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

90

Pra Sekolah

"KOK, AKU ENGGAK MIRIP MAMA SIH,?"


Pertanyaan mengapa aku enggak mirip mama atau papa dapat berdampak panjang bagi
anak.

"Eh, rambut Nisa kok keriting sih? Padahal mama-papa kamu


rambutnya lurus. Nurun siapa, sih?" Pertanyaan seperti itu teramat sering
didengar Nisa. Memang dengan melihat sekilas saja, perbedaan itu kentara
sekali. Sebagai anak berdarah Sunda, rasanya memang "aneh" bila
rambutnya keriting laiknya orang Indonesia Timur. "Garis keluarga saya
memang ada yang berasal dari Flores. Kebetulan ciri rambutnya menurun
ke Nisa," kata sang ayah.
Yang menjadi masalah, si kecil yang kini duduk di bangku
TK, hampir setiap hari minta rambutnya di-rebonding
supaya lurus seperti rambut mamanya. "Masak iya
keinginannya harus kami turuti? Tapi kalau tidak, dia
semakin malas pergi dengan kami berdua karena selalu
saja ada yang usil dengan pertanyaan seperti itu," keluh mamanya.
Apa yang dialami Nisa sebenarnya banyak dialami anak lain. Warna kulit, bentuk mata,
bentuk hidung dan ciri fisik lainnya yang jelas-jelas tidak sama dengan orangtua.
Perbedaan-perbedaan tersebut sering atau bahkan hampir selalu menjadi sumber
pertanyaan atau bahan ejekan. Wajar saja bila anak usia prasekolah mulai mempertanyakan
perbedaan tersebut karena ia mulai mengembangkan konsep diri.
Keakuannya mulai muncul dan merasa dirinya bukan bayi lagi. Tanda-tanda yang mudah
dikenali adalah munculnya sikap tidak mau diatur, tidak mau dibantu atau mulai mandiri,
dan sejenisnya. Anak berusaha menunjukkan pada lingkungan sekitarnya, "Ini lo aku." Nah,
dalam proses pembentukan konsep diri inilah ia mengaitkan posisinya dan hubungannya
dalam keluarga sebagai lingkungan terdekat. Anak mulai mengidentifikasi dirinya, termasuk
identifikasi fisik, seperti warna kulit yang sama, paras wajah yang mirip, tipe rambut,
bentuk hidung (mancung atau pesek), dan sebagainya. Selain melihat persamaan, tentu
perbedaannya pun tak luput dari pengamatan.
7 CARA MENANGGAPINYA
Lantas, kalau anak mempertanyakan kemiripannya yang jauh dari Anda, bagaimana
sebaiknya?
1. Tanggapi dengan tenang disertai senyuman. Jangan merasa aneh dengan pertanyaan
anak karena ini wajar muncul di usia prasekolah.
2. Tanyakan terlebih dulu mengapa anak mengajukan pertanyaan tersebut. Ini penting
supaya orangtua paham benar latar belakang pertanyaannya. Kalau memang karena sering
diusili orang lain, tanamkan pada anak bahwa setiap orang adalah spesial (istimewa)
termasuk dirinya. Tuhan menciptakan manusia memang berbeda-beda dengan
keistimewaan masing-masing. Minta juga anak membayangkan apa jadinya kalau semua
orang diciptakan sama persis tanpa perbedaan sedikit pun. "Lo, kalau semua orang
rambutnya lurus, nanti Mama susah dong nyari kamu di sekolah."
3. Ajak anak belajar dari alam sekitar. Contohnya anak kucing yang berbeda warna dari

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

91

Pra Sekolah

induk dan saudara-saudaranya meski dilahirkan pada saat


bersamaan.
4. Tunjukkan foto keluarga besar, seperti kakek, nenek,
paman, bibi dan sebagainya agar anak melihat tiap anggota
keluarga punya ciri fisik yang berbeda.
5. Tunjukkan bahwa ciri fisik anak bisa diperoleh dari
keturunan pihak salah satu orangtua. Misalnya, "Rambutmu
keriting persis seperti kakek, ayah papamu itu. Kalau rambut
lurus Mama, sama seperti rambut nenek, ibu Mama."
6. Tunjukkan foto orangtua semasa kecil jika kebetulan ciri
fisik yang dipermasalahkan itu juga dimiliki orangtua ketika
kecil.
7. Jika ada orang keceplosan mengatakan, "Kok rambutnya keriting?" Segera luruskan, "Iya
rambut Nisa keriting sama dengan kakek dan pamannya." Orangtua juga bisa memberi
"kode" pada orang-orang dekat supaya tidak mengungkit-ungkit masalah itu karena sensitif
bagi anak.
JIKA TANGGAPAN KITA TAK MEMUASKAN
Beberapa anak bisa saja tidak puas dengan jawaban seperti itu dan masih terus
memaksakan perubahan. Misalnya seperti kasus Nisa yang ingin meluruskan rambut
keritingnya, atau mungkin pada kasus lain, menjepit hidung supaya mancung, memakai
bedak banyak-banyak dengan harapan kulitnya menjadi seputih mamanya dan sebagainya.
Inilah yang harus dilakukan:
* Sebisa mungkin jangan ikuti kemauannya karena anak ingin melakukan perubahan untuk
alasan yang salah. Tindakan anak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak nyaman dengan
dirinya sendiri. Karenanya buatlah ia nyaman dan menerima kondisinya, tunjukkan bahwa
apa yang ia miliki patut disyukuri. Justru ciri fisik itulah yang khas pada dirinya dan tidak
sepatutnya diubah karena membuatnya menonjol dibanding anak lain.
* Cara lain yang bisa dicoba adalah menunjukkan pada anak betapa tidak nyaman, mahal,
dan amat menyita waktu untuk meluruskan rambut atau memancungkan hidung. Bawa saja
anak ke salon untuk melihat sendiri jika perlu.
* Terangkan pula bahwa konsekuensinya tidak selalu enak setelah "mengubah" kondisi fisik
tertentu. Misalnya kalau rambutnya diluruskan, supaya rambut tidak rusak/patah-patah
harus sering ke salon untuk merawat rambut yang tentu saja merepotkan. "Daripada ke
salon kan, uangnya lebih baik ditabung untuk berlibur."

AGAR ANAK NYAMAN TERHADAP DIRI SENDIRI


* Jangan pernah mengkritik, mengolok, dan membandingkan kondisi fisiknya.
* Berikan pujian atas penampilan anak setiap ada kesempatan, tapi jangan berlebihan.
* Kenali potensinya dan tunjukkan pada anak untuk membantu mengenali dirinya dan
membentuk konsep diri positif.
* Berikan contoh penerimaan diri sendiri/self-acceptance. Misalnya, "Mama bersyukur punya
rambut keriting karena enak dipegang-pegangnya," atau "Biarpun papa pendek, tapi badan
papa sehat, tidak mudah sakit."
* Ajak anak mengunjungi sanak keluarga agar ia bisa mengenali darimana ciri fisiknya

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

92

Pra Sekolah

berasal.
* Siapkan diri untuk bersabar dan dengan bijak menjawab segala pertanyaan anak, karena
di usia ini akan ada banyak sekali pertanyaan "ajaib" lainnya.

KAPAN KONSEP DIRI TERGANGGU


Jika tak mendapat jawaban memuaskan, pertanyaan-pertanyaan mengapa aku beda
cenderung menetap. Namun, ada masanya dimana perbedaan tidak menjadi isu utama lagi,
terutama ketika anak mulai sibuk dengan dunia sekolahnya. Pertanyaan ini bisa timbul lagi
di rentang usia 6-12 tahun ketika pergaulannya semakin luas, makin banyak yang ia lihat
dan kian beragam pula masukan yang ia terima dari teman termasuk hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi fisiknya. Saat konsep dirinya mulai menetap, pengaruhnya akan terlihat
nyata. Konsep diri positif atau negatif sangat tergantung pada perlakuan yang diterima
sebelumnya, termasuk jawaban atas perbedaan fisik yang dirasakannya.
Menyikapi masalah ini secara kurang tepat, seperti menyepelekan perasaan anak,
memarahinya, dan menjadikannya bahan pembicaraan dengan orang dewasa lain akan
membawa serangkaian efek buruk. Berikut beberapa di antaranya:
* Anak akan merasa bersalah telah menanyakan hal tersebut dan selanjutnya menjadi takut
untuk bertanya tentang apa pun. Ini bisa menghambat perkembangan berpikir dan
kreativitasnya.
* Anak akan memperoleh persepsi yang salah. "Wah memang ternyata benar aku bukan
anak mama dan papa." Akibatnya, bisa fatal. Anak jadi suka membangkang, menjadi
sensitif, murung, menjauhkan diri, dan sebagainya.
* Anak merasa malu akan kondisi fisiknya yang berbeda.
* Dampak terburuknya adalah konsep diri negatif, self-acceptance yang rendah sehingga
merasa kurang nyaman dan otomatis ini akan mengganggu proses penyesuaian dirinya di
lingkungan sosial. Bagaimana mungkin bisa bergaul dengan baik jika ia tidak menyukai
dirinya sendiri?
* Jika pertanyaan anak diabai-kan lalu anak mencari informasi dari orang lain dan
jawabannya tidak tepat, mungkin saja anak bertambah curiga memang ada fakta yang
sengaja ditutup-tutupi oleh orangtua. Hal ini akan memperbesar rasa ingin tahu sekaligus
membuatnya makin gelisah, kurang berkonsentrasi pada hal-hal lain dan sebagainya.
TAK SEMUA HAL HARUS DIJELASKAN
Kalau sampai perbedaan fisik yang terjadi pada anak benar-benar disebabkan "kecelakaan
sejarah", misalnya orangtuanya berselingkuh atau menjadi korban perkosaan, sebaiknya
pikirkan masak-masak penjelasan seperti apa yang akan diberikan. Jangan sampai akhirnya
malah menjadi bumerang. Jika dampak negatifnya diperkirakan lebih banyak dan amat
destruktif bagi perkembangan anak, sebaiknya ia tidak usah diberi penjelasan yang
sesungguhnya. Selain mengungkit luka lama, bukan tak mungkin anak malah membenci
orangtuanya.
Kondisinya akan lebih mudah kalau si anak ini benar adalah anak adopsi. Orangtua hanya
perlu mempersiapkan kapan waktu yang tepat untuk memberi penjelasan. Selama anak
yakin bahwa dirinya dibesarkan dengan cinta, tak akan muncul masalah meski akhirnya ia
mengetahui bahwa perbedaan fisiknya dengan orangtua karena ia adalah anak adopsi.
Marfuah Panji Astuti

"BUNDA, MAINANNYA AKU BERIKAN SEMUA


BUAT TEMANKU"
Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

93

Pra Sekolah

Anak usia prasekolah belum paham, berapa banyak miliknya yang boleh dibagikan kepada
orang lain.

Mau berbagi dengan orang lain adalah perilaku


terpuji. Itulah mengapa, anak sejak dini harus
diajarkan untuk berbagi. Masalahnya, bagaimana
jika kemudian anak membagi semua yang ia miliki
sampai tak tersisa sama sekali? Entah itu
makanan, mainan, atau barang-barang lain
miliknya.
Anak-anak usia prasekolah memang belum
memahami dengan baik konsep berbagi; apa saja
yang boleh dibagi dan berapa banyak yang
seharusnya dibagi. Demikian pula dengan konsep
meminta. Tak jarang, anak meminta secara paksa apa pun milik temannya atau orang lain.
Bahkan ada yang asal mengambil tanpa izin lagi. Banyak pula yang menjadi tantrum karena
tak dipenuhi permintaannya.
CONTOH ORANG TERDEKAT
Anak adalah pemotret ulung. Apa yang dilihat dan diajarkan oleh orang tuanya akan diserap
dan kelak dilaksanakan atau ditiru. Karenanya, orang tua harus berhati-hati dalam bersikap
(memberikan contoh nyata). Tentu saja, contoh nyata yang didapat anak bukan cuma
berasal dari orang tua, melainkan juga dari orang-orang terdekat di lingkungannya. Baik
nenek, kakek, pengasuh, kakak, guru, tetangga, dan lain-lain yang kerap dilihatnya seharihari.
Dengan demikian, konsep berbagi dan meminta semestinya dapat diajarkan ke anak melalui
kegiatan sehari-hari di rumah. Hendaknya orang tua dan orang-orang terdekat
membiasakan diri untuk berbagi bila memiliki sesuatu. Niscaya anak pun akan dengan
senang hati berbagi. Begitu pula dengan meminta. Bila anak terbiasa melihat orang tua dan
orang-orang terdekatnya minta dengan izin terlebih dahulu, maka anak akan mengikuti.
Contoh, ada sepotong kue tart di atas meja. Anak dijamin tak akan langsung mengambil
bila orang tuanya terbiasa mengajarkan atau memberikan contoh meminta izin dulu
sebelum mengambil barang yang bukan miliknya. "Bu, kue di meja boleh aku minta
enggak? Aku mau bagi dengan Adek," misalnya.
Jadi, bila si kecil sampai keliru memahami konsep berbagi dan meminta, besar
kemungkinan orang tuanya dan orang-orang terdekat di lingkungannya belum tepat
mengajarkan kedua hal tersebut.

TIGA HAL PENTING


Saat mengajarkan konsep berbagi dan meminta, ada 3 hal penting yang harus diperhatikan
agar hasilnya maksimal.
1. Konsepnya harus jelas
Dengan memberikan konsep berbagi dan meminta yang jelas, kelak anak tak akan
berbenturan dengan aturan-aturan sosial yang ada atau yang bakal ditemuinya. Orang tua
menegaskan bahwa sesuatu yang dimilikinya bisa jadi tak dimiliki oleh orang lain. Atau,
belum tentu ia juga memiliki benda yang sama dengan orang lain. Karenanya, tak ada
salahnya bermain bersama, berbagi dengan teman. Akan tetapi, berbagi bukan berarti

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

94

Pra Sekolah

kemudian memiliki mainan tersebut.


Contoh, si kecil ingin membagi-bagikan pakaian boneka Barbienya kepada temantemannya. Padahal, koleksinya tak banyak. Bisa-bisa untuknya sendiri malah tak ada. Nah,
katakan pada si kecil, misal, "Mainan ini Bunda belikan khusus untuk Adek. Dan temanteman Adek boleh ikut bermain bersama Adek. Tapi jangan dibagi-bagikan kepada temanteman, ya, karena teman-teman juga punya Ayah dan Bunda yang bisa membelikan mainan
untuk anak-anaknya."
Sedangkan untuk meminta, tegaskan kepada anak bahwa kita harus menghargai orang lain.
Bila menginginkan sesuatu yang bukan miliknya, mintalah izin kepada si pemilik dengan
bahasa yang sopan. Jangan asal ambil saja. Setelah mendapatkan izin, silakan ambil. Atau,
biarkan si pemiliknya yang mengambilkan.
2. Pembelajaran harus bersifat umum
Pembelajaran hendaknya bersifat umum tanpa membeda-bedakan atau memberikan
batasan-batasan, tapi tetap harus memperhatikan situasi dan kondisi. Berikan kepercayaan
kepada anak untuk mengamati situasi dan kondisinya. Contoh, minta anak untuk berbagi
dengan seisi rumah bila ia memiliki makanan.
Berbagi ini tentunya tanpa membeda-bedakan status. Jika penghuni rumah terdiri atas
orang tua, kakak, adik, dan pembantu, maka semuanya tetap mendapatkan bagian. Bila
kue yang dimiliki hanya 5 potong, sedangkan ia masih menginginkan lagi nanti, tak ada
salahnya ia menyisakan satu. Kemudian, 4 potong yang lainnya dibagi rata untuk seluruh
penghuni rumah. Biarkan anak yang membagi kepada semua penghuni dan sama rata.
Walau mungkin nanti masing-masing hanya mendapat setengah potong.
3. Berikan contoh konkret
Untuk memberi tahu konsep berbagi dan meminta ini, ada beragam cara yang dapat
dilakukan. Di antaranya melalui permainan boneka, peristiwa sehari-hari di lingkungan
rumah, atau melalui tayangan teve. Berikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana
sambil menunjukkan peristiwa atau contoh konkretnya. Demikian pula bila anak
melontarkan sejumlah pertanyaan saat diberi tahu konsep berbagi dan meminta.
Umpamanya, bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Ada sejumlah mahasiswa
yang mengedarkan kotak sumbangan sekaligus selebaran untuk meminta sumbangan. Bila
si kecil bertanya, "Kenapa kakak itu meminta sumbangan?" berikan jawaban yang realistis
bahwa mahasiswa tersebut berniat membantu dan ingin menyumbangkan bantuan itu untuk
korban bencana. Perlihatkan lewat koran atau tayangan bahwa teman-temannya yang di
sana menderita; rumahnya hancur, mainannya hilang. Kemudian, ajak anak untuk
menyumbang sesuatu, "Yuk, pilih mainan dan baju Adek yang sudah tak terpakai. Kita kirim
ke sana. ya... Siapa tahu dapat digunakan oleh teman-teman di sana."

BILA ANAK MEMILIKI PEMAHAMAN YANG SALAH


Tak usah khawatir bila si prasekolah memiliki pemahaman yang salah perihal konsep
berbagi dan meminta. Toh, masih mungkin mengubah sikapnya itu asalkan orang tua
memberikan perhatian penuh. Nah, inilah 5 hal yang harus dilakukan orang tua!
1. Secara langsung memberikan penjelasan
Langkah paling tepat yang harus dilakukan orang tua adalah secara langsung memberikan
penjelasan pada anak ketika mengetahui ia melakukan sesuatu yang salah atau kurang
tepat. Tanyakan kenapa ia melakukan itu, kemudian sampaikan konsep berbagi dan
meminta yang sebenarnya. Tentunya dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami.

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

95

Pra Sekolah

2. Jangan memojokkan
Sebaiknya orang tua jangan menciptakan suasana yang memojokkan anak karena dapat
mengurangi rasa percaya dirinya. Bisa-bisa dalam suasana terpojok, konsep berbagi dan
meminta yang disampaikan tidak terekam dengan baik olehnya. Ciptakan suasana yang
santai dan nyaman. Sampaikan konsep berbagi dan meminta sambil bermain, niscaya bakal
lebih dipahami oleh anak.
3. Harus tegas
Bila anak memiliki pemahaman yang salah tentang konsep meminta, kemudian berbenturan
dengan aturan sosial yang ada dan berbuntut tantrum, hendaknya orang tua mampu
bersikap tegas. Tegas di sini bukan berarti marah-marah, tetapi memberitahukan bahwa itu
tidak boleh dan itu bukan milikmu. Melalui sikap ini, anak bisa memahami perilakunya salah
sekaligus mengajarkan aturan sosial yang berlaku di masyarakat.
Contoh, si kecil yang semula meminjam mainan temannya, saat ingin pulang malah
meminta mainan tersebut. Karena tak diizinkan, ia lantas menangis dan meronta-ronta.
Nah, katakan padanya, "Mama enggak setuju kamu minta barang yang bukan milikmu.
Kalau kamu mau minta, bilang ke Mama. Nanti kita kumpulkan dulu uangnya ya. Mama saat
ini belum punya uang." Melalui ucapan itu, anak diajarkan aturan sosial bahwa mengambil
barang milik orang tidak baik.
4. Kesabaran yang luar biasa
Orang tua hendaknya sabar saat mengetahui si prasekolah belum memahami konsep
berbagi dan meminta. Atau, saat menghadapi anak yang tantrum karena permintaannya tak
terpenuhi. Jangan paksakan anak memahami konsep pada saat itu juga. Ulangi pada
kesempatan lain yang lebih santai. Jangan bosan untuk selalu mengingatkan dan
mengulangi. Bila perlu lakukan sambil bermain, niscaya anak akan dapat lebih memahami.
5. Jangan bosan untuk memberikan contoh yang baik
Orang tua atau orang-orang terdekat yang berada di lingkungan anak hendaknya secara
terus-menerus memberikan contoh yang baik atau sikap yang benar. Karena, anak lebih
mudah meniru dari yang sehari-hari dilihat atau diamati.
Utami Sri Rahayu. Foto: Ferdi/nakita

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

96

Pra Sekolah

"BAGI DIKIT,DONG!"
Si kecil "hobi" minta-minta? Jangan-jangan karena ia meniru dari kita juga.
"Om, makan apa, sih? Minta, dong!" atau "Bagi dikit,
dong, Tante, kuenya." Coba, apa yang akan Ibu-Bapak
lakukan bila si kecil celamitan seperti itu? Pasti, deh,
marah. Betapa tidak? Ulahnya itu, kan, bikin malu.
Masak tiap kali lihat orang makan selalu minta dibagi,
seakan kita tak pernah memberinya makan saja.

ingin

Tapi, semalu apa pun, sebaiknya kita tahan emosi.


Soalnya, si kecil berperilaku seperti itu bukan semataberasal dari dirinya sendiri atau ujug-ujug dilakukan atas
dorongan dari dalam dirinya. Melainkan, berasal dari
proses belajar yang ia tiru dari orang tua atau saudarasaudara maupun teman-temannya, yang secara sadar
tidak suka melakukan hal tersebut.

mata

atau

Tentu saja, begitu melihat orang celamitan, si kecil tak


serta-merta menirunya. Melainkan, melalui proses
pengamatan dulu, "O, gitu, ya, cara Bunda kalau ingin
makan kue," atau "Kayaknya enak juga, ya, seperti Om
Odi,
tinggal minta lalu dapat kue yang enak," misal. Nah, bila
si
kecil merasa perbuatan yang dilihatnya itu enak, lama-lama ia pun akan mencoba
melakukannya. Jika berhasil, akan memberi kekuatan baginya untuk mengulangi lagi, "Enak
juga, ya, tinggal minta terus dapet, deh, makanannya," misal. Akhirnya, jadilah ia anak
celamitan.
Dalam psikologi behavioristik, terang Dra. Mayke S.Tedjasaputra, perilaku yang salah
merupakan hasil belajar. Perilaku ini bisa menetap karena ada penguat atau model.
Celakanya, karena kemampuan kognitif anak masih terbatas, maka ia belum begitu paham
etika atau norma-norma kesopanan. Hingga, seringkali ia lupa atau tak peduli kepada siapa
dilakukannya perbuatan celamitan itu, entah keluarga dekat atau bahkan tamu dan
tetangga. Pokoknya, ia akan menggeneralisasikan atau menyamaratakan pada semua
orang.
Akan tetapi, sekalipun celamitan bisa terjadi sedari anak usia 2 tahun, tapi tak semua anak
akan melakukannya. Soalnya, tutur pengajar di Fakultas Psikologi UI dan konsultan di LPT
(Lembaga Psikologi Terapan) UI ini, "tak setiap anak suka makan dan minuman tersebut.
Juga, tak setiap anak mendapatkan masukan apalagi penguat yang menyebabkannya jadi
celamitan."
RASA INGIN TAHU
Selain peniruan, kebiasaan orang tua yang selalu menawarkan dan memberikan
makanan/minuman pada anak, menurut Mayke, juga ikut memunculkan perilaku celamitan.
"Dek, mau coba? Enak, lo," misal. Pasalnya, dengan sering ditawari seperti itu, lama-lama ia
akan berpikir, setiap orang pasti akan menawarkan makanan/minuman kepadanya.
Akhirnya, ia akan beranggapan, "Kalau aku minta pun pasti enggak apa-apa dan akan
dikasih. Toh, aku enggak minta saja selalu ditawari."
Bukan itu saja. Celamitan juga bisa disebabkan dorongan rasa ingin tahunya, yaitu ingin
merasakan makanan atau minuman yang orang lain makan. "Tentunya, jika tiap kali ia ingin
lantas dikabulkan, lama-lama akan membuatnya jadi celamitan. Bukankah dengan

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

97

Pra Sekolah

dikabulkannya permintaannya sama saja ia mendapat penguat?" Walaupun-karena ia


melakukannya sebagai pemuas rasa ingin tahunya- tak jarang terjadi, kalau ia tak suka
dengan makanan/minuman tersebut, ia takkan menghabiskannya.
Tak tertutup kemungkinan, perilaku celamitan pada si kecil hanya sebagai cara baginya
untuk kenal lebih jauh dengan orang tersebut. "Si Om akan memberikan enggak, ya, kalau
aku minta rotinya," misal.
Namun bila anak melakukan perbuatan celamitan pada tamu orang tuanya, "bisa jadi
perbuatannya itu sebagai sarana untuk menarik perhatian orang tua." Misal, ia minta
makanan yang disuguhkan untuk tamu, dengan mengatakan terus terang, "Tante, minta,
dong," atau dengan cara tak langsung/diam saja tapi ia terus memperhatikan makanan
tersebut.
CONTOH ORANG TUA
Apa pun penyebabnya, perilaku celamitan tak boleh dibiarkan karena bisa berlanjut hingga
si anak besar. "Ia jadi anak yang tak bisa menghargai makanan, juga orang lain. Ia akan
menganggap barang milik temannya adalah miliknya juga," tutur Mayke.
Untuk itu, lagi-lagi peran orang tua dituntut, yakni menjaga perilakunya agar tak sampai
menjadi penyebab atau pendorong anak melakukan perbuatan celamitan, entah sengaja
atau tidak. "Orang tua harus selalu ingat, anak usia prasekolah masih suka modelling,
terutama pada tokoh sentralnya, yaitu orang tua." Ditambah kemampuan kognitif anak
masih terbatas, hingga ia akan menelan mentah-mentah saja apa yang ditangkapnya.
Jadi, tegas pengasuh rubrik Tanya Jawab Psikologi di Tabloid nakita ini, jangan sampai
terjadi kala pasangan makan sesuatu, kita lantas tanpa sadar mengatakan, "Bunda, makan
apaan, tuh? Bagi, dong, sedikit." Atau, kala kita sedang makan, kita tawari si kecil, "Kakak
mau lemper ini? Ayo, buka mulutnya," misal.
Selain itu, tambah Mayke, jangan lupa untuk selalu memberikan masukan-masukan
mengenai nilai-nilai kebaikan, kesopanan, dan etika moral pada si kecil, misal, "Kak, anak
yang suka minta makanan yang lagi dimakan orang lain itu enggak baik. Coba kalau Kakak
lagi makan terus diminta, enggak mau, kan? Kakak pun jadi terganggu. Besok-besok Kakak
jangan lakukan itu lagi, ya?"
Namun, dalam memberi pengertian pada anak, jangan memakai alasan macam-macam,
seperti, "Kak, jangan makan punya Om, nanti kamu enggak ada temannya." Cara begini tak
memberikan sesuatu yang baik pada anak, malah bisa jadi membingungkannya karena ia
tak memahami mengapa ia tak boleh berbuat seperti itu. Bahkan, sejalan usia bertambah,
bisa jadi ia akan merasa dibodohi. Bukankah ia akan tahu bahwa apa yang dikatakan orang
tuanya itu tak benar? "Ah, aku hanya dikibulin Bunda saja. Buktinya, nggak benar, kok,
kalau aku enggak bisa dapat teman hanya gara-gara suka minta makanan si Om," misal.
Jangan pula dengan mengancam anak, "Kakak, awas, lo, ya, entar Bunda pukul," misal.
Cara ini pun tak efektif, hanya akan membuatnya kebal, "Ah, kemarin juga Bunda bilang
mau mukul, ternyata enggak," misal. Hingga, lama-lama ia pun tak lagi menghargai
larangan. Bila ini berlanjut, kala besar, bisa jadi ia takkan respek lagi pada orang tua.

ALIHKAN PERHATIANNYA
Sementara untuk mengatasi anak yang celamitan pada tamu, saran Mayke, orang tua
menyediakan tempat untuk menaruh kue atau minuman yang anak inginkan, lalu katakan

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

98

Pra Sekolah

padanya, "Kak, kamu enggak boleh mengambil kue yang itu, ya? Itu untuk Tante. Kalau
kamu mau, ini sudah Bunda siapkan kue untukmu," misal.
Jangan lupa untuk mengingatkan kembali padanya bahwa cara yang dilakukannya itu tak
baik. "Bukankah sudah Bunda kasih tahu bahwa itu tak baik? Kalau kamu selalu begitu dan
kebetulan si Tante itu lagi sakit, nanti kamu bisa tertular, lo. Kamu mau kalau sakit seperti si
Tante itu?" misal. Namun menegurnya jangan di depan si tamu, lo, karena hanya akan
membuat anak tersinggung.
Selain itu, bila memang anak melakukan perbuatan celamitan pada tamu untuk menarik
perhatian orang tua, menurut Mayke, orang tua harus membalikkan suasana. "Kalau ia
sedang menunjukkan gelagat ingin diperhatikan dengan cara demikian, orang tua harus
cuek. Akan tetapi kalau anak sedang bersikap baik, orang tua berikan perhatian padanya."
Dengan cara ini, anak pun akan paham, "Wah, kalau aku berbuat begini terus, Bunda malah
enggak perhatiin aku, tapi kalau aku tak berbuat begitu, Bunda perhatian sekali," misal.
Cara kedua, sibukkan anak. "Tiap kali ada tamu, alihkan perhatiannya untuk main atau
beraktivitas lain. Tapi karena anak cepat bosan kalau ia main tak ditemani, maka bisa saja
ia disibukkan di tempat kita dan tamu mengobrol. Tentunya bila suasana bertamunya bukan
dalam suasana formal."
Kalau memang sempat, temani anak sebentar dan beri pengertian padanya. "Kak, tadi
kamu kesal, ya, sama Bunda karena enggak ditemanin? Bunda tetap sayang, kok, sama
kamu. Tapi sekarang Bunda lagi ada urusan sedikit dengan Tante itu. Jadi, mainnya sendiri
dulu, ya, nanti kalau sudah kelar pasti Bunda akan temani," misal.
BERI HUKUMAN
Menurut Mayke, kita tetap harus dalam pendirian kita. Sekalipun si kecil menangis, jangan
sekali-kali kita beri kesempatan atau peluang padanya untuk melakukan perbuatan
celamitan. Dengan demikian, akhirnya ia takkan melakukan perbuatan celamitan lagi. "Jadi,
orang tua pun dalam menghilangkan kebiasaan celamitan anak dengan proses belajar
juga."
Jikapun anak tetap saja pada kebiasaannya meski kita sudah berikan penjelasan detail
padanya, saran Mayke, beri hukuman. "Tapi tentu hukumannya harus sesuai dengan si anak
dan mendidik. Misal, berdiri di depan tembok selama 2-3 menit. Jangan asal main pukul,
karena anak nantinya akan berkembang jadi orang yang tak percaya diri dan minder."
Sebenarnya, tambah Mayke, dalam mengatasi masalah celamitan harusnya dilakukan oleh
kedua belah pihak, yaitu orang tua dan orang dewasa di luar orang tua. "Orang tua perlu
memberi tahu kepada tamunya atau pihak luar agar tak usah merasa sungkan atau tak
enak hati untuk menolak permintaan anak dan tak menawarkan apa pun kepadanya."

Mayke pun mengimbau orang dewasa lain, hendaknya jangan sekali-kali mengabulkan
permintaan anak jika orang tua telah melarangnya. "Ia harus ikut mendukung untuk
penghilangan kebiasaan ini. Sebab, kalau hanya satu pihak saja yang melarang, sementara pihak
lain tetap memberi atau mengabulkan permintaan anak, maka untuk menghilangkan kebiasaan
ini akan sulit." Gazali Solahuddin. Foto : Iman (nakita)-315

Rifqiyyah Nur Anisa www.Nakita.com

99

Anda mungkin juga menyukai