Anda di halaman 1dari 4

PENGUSAHA

Tinton Soeprapto
President Director PT Sarana Sirkuitindo Utama

Kemaslah Keberanian dengan Prestasi


Tanpa Prestasi, Saya Tidak Dikenal
INTEGRITAS - Agustus 2013

85

PENGUSAHA
Pada mulanya adalah hobi. Setelah itu,
menjadi profesi yang membuahkan
prestasi, dan akhirnya menjadi bisnis
yang membanggakan bangsa.
Sirkuit Sentul, Bogor, Jawa Barat,
merupakan buah prestasi dari pembalap
Tinton Soeprapto. Prestasinya di ajang
balap motor sejak 1962 mengundang
decak kagum masyarakat Indonesia,
termasuk Gubernur DKI Ali Sadikin
atau Bang Ali. Kekaguman itu pun
mendorong Bang Ali memberikan
kepercayaan kepada Tinton untuk
membangun dan mengelola sirkuit
balap.
Saya adalah satu-satunya di dunia,
yang punya hobi balapan, berprofesi
sebagai pembalap dan menjadikan satu
bentuk fisik dengan memiliki sirkuit
balap sendiri, kata Tinton kepada
Majalah INTEGRITAS di ruang kerjanya
di kawasan Sentul, Bogor, 18 Juli lalu.
Berbeda dengan pembalap dunia
asal Jerman, Michael Schumacher.
Ayahnya bekerja di sirkuit balap. Dan
Schumacher tidak pernah membuat
sirkuit balap, hanya pembalap tok.
Sirkuit Sentul menjadi satu-satunya
sirkuit permanen yang bisa menggelar
balap mobil, bahkan sering juga digelar
event internasional. Di balik itu semua,
ada Tinton Soeprapto yang mengelola
operasionalnya. Jelas, mengurus dan
merawat sirkuit yang berdiri pada 23
Agustus 1992 ini bukan pekerjaan
gampang.

Sirkuit Sentul menjadi


satu-satunya sirkuit
permanen yang bisa
menggelar balap
mobil, bahkan sering
juga digelar event
internasional. Di
balik itu semua, ada
Tinton Soeprapto
yang mengelola
operasionalnya.
Tinton, President Director PT Sarana
Sirkuitindo Utama, sangat mencintai
olahraga balap. Kedua anak lelakinya
pun, Ananda Mikola dan Moreno
Soeprapto,
menjadi
pembalap
profesional mengikuti jejaknya. Dan
boleh dibilang jarang terjadi, di belahan
dunia mana pun, seorang bapak pernah
balapan dengan dua anaknya.
Balap memang hobi, tapi tanpa
prestasi saya tidak akan dikenal, ujar
Tinton.
Segudang prestasi sudah diukir Tinton
sepanjang karirnya sebagai pembalap.
Prestasi pertama diukirnya dengan
menjadi juara Indonesia Grand Prix
1963. Sejak 1962, bagi Tinton tiada hari
tanpa balapan.

Sampai saat ini, hanya dialah pembalap


Indonesia yang berhasil mengikuti
ajang Reli Paris-Dakar. Reli ini sangat
terkenal karena rutenya yang berat dan
berbahaya.
Sebelum mengelola Sirkuit Sentul,
Tinton juga pernah menjadi promotor
tinju. Tinton masuk ke lingkungan
tinju pada 1985. Waktu itu, ia ikut
promotor Boy Bolang dan Dali Sofari
yang mengadakan kejuaraan dunia
kelas bantam junior IBF antara juara
bertahan Judo Chun dari Korea Selatan
melawan Ellyas Pical dari Indonesia.
Tahun 1987 Tinton diakui sebagai
promotor dan pemilik lisensi WBC. Lalu
ia banyak menggelar tinju profesional.
Tidak tanggung-tanggung, sebagai
promotor pun Tinton kerap membuat
geger. Ia menggelar pertandingan tinju
di Gunung Bromo, hotel berbintang,
di atas kolam renang, tempat disko,
bahkan Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang, Jakarta Timur.
Bagi Tinton, olahraga tinju dan
balap memiliki kesamaan, yakni
butuh keberanian. Keberanian itu
lalu dikemasnya dalam bentuk
prestasi. Inilah salah satu prinsip yang
dipegangnya dalam mengarahkan
anak-anak muda agar menyalurkan
energinya dengan terarah.
Keberanian itu dikemas, jangan liar.
Kalo ayam itu dilepas kan lari kiri-kanan,
jadi harus diarahkan dan dibentuk,
tutur Tinton yang enam kali menjadi
Ketua Umum Peringatan Nasional Hari
Pahlawan.
Tak sekadar bicara, Tinton memang
ingin mengarahkan anak-anak muda
yang memiliki energi berlebih agar
lebih terarah dengan membuka Sirkuit
Sentul untuk umum setiap hari Senin.
Kesempatan ini dijadikan anak-anak
muda yang hobi balap liar di jalanan
datang setiap Senin sore.
Kebut-kebutan di sini gak apa-apa, kan
tidak ada orang ketiga yang dirugikan,
tak ada orang nyeberang, jadi akhirnnya
tidak ada kecelakaan, terang Tinton
yang
menjadi Ketua Umum Hari
Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN)
tiga kali berturut-turut.
Dengan begitu, ia juga berharap
agar anak-anak muda tergerak untuk
berprestasi, tidak hanya sekedar
balapan liar di jalanan.

86

INTEGRITAS - Agustus 2013

Menanti Formula 1
Ketika diresmikan pada 1993, Sirkuit
Sentul sebenarnya sudah mendapatkan
lisensi dari FIA sebagai sirkuit grade
1 alias sudah bisa menggelar F1.
Hanya saja, sampai sekarang belum
terlaksana.
Tinton bukan tidak bisa melaksanakan
ajang balap nomor satu di dunia itu,
melainkan ia sadar tidak mungkin bekerja
sendiri untuk mempersiapkannya.
Dibutuhkan peran pemerintah dan
stakeholder terkait. Misalnya saja untuk
membangun sirkuit yang lebih luas,
tentu butuh perluasan tanah, termasuk
juga proses pembangunan fisiknya.
Dan untuk itu, jelas peran pemerintah
sangat dibutuhkan.
Ajang F1 kan supaya nama Indonesia
besar, bukan semata-mata untuk saya.
Seharusnya semua berperan, tutur
pendiri HIPMI ini.
Ibarat meja berkaki empat, Tinton

berharap agar semua kaki-kakinya


berfungsi untuk menopang meja, tidak
bisa hanya satu kaki. Demikian juga
untuk menyelenggarakan F1, semua
pihak harus berperan serta.
Bernada kecewa, Tinton menilai
pemerintah
kurang
mendukung
program-program yang seharusnya
bisa membesarkan nama Indonesia
di kancah internasional. Keindahan
tempat-tempat wisata Indonesia juga
kurang dipromosikan kepada bangsa
lain.
Kan bisa iklan di BBC tentang keindahan
Raja Ampat, Bunaken, Pulau Komodo,
tapi ini kan tak ada? tandasnya.
Ia juga menyayangkan rute pesawat
Indonesia ke Eropa semakin diperkecil
dengan hanya menuju Belanda.
Dengan menyebutkan contoh-contoh
tersebut, Tinton mencoba menegaskan
kurangnya keperdulian pemerintah
terhadap suatu hal yang seharusnya
bisa dibanggakan di kancah dunia.
Coba lihat sirkuit kita ini, kita satu-

satunya negara yang memiliki sirkuit


dengan hotel di dalamnya, ujarnya
kemudian.
Tapi menyatukan sinergi untuk
membuat ajang F1 ternyata memang
tidak mudah. Bagi Tinton, bentuk
kepedulian termasuk juga dalam
bentuk kesetiakawanan.
Ia juga berharap pemerintah peduli
terhadap pembangunan sirkuit balap
sampai ke daerah-daerah. Mengingat
masyarakat Indonesia banyak memakai
motor dan mobil, lagi pula pabrik
industri otomatif terbesar juga ada di
sini, Tinton merasa wajar jika di setiap
kabupaten sebaiknya dibangun sirkuitsirkuit balap untuk memfasilitasi para
kaum muda agar ditemukan bibit
pembalap-pembalap
profesional.
Tapi sayangnya, semua itu memang
membutuhkan kepedulian dari semua
pihak.
Dalam menjalani hidup, pria berusia
68 tahun ini memiliki prinsip yang
dipegangnya sejak muda.

INTEGRITAS - Agustus 2013

87

PENGUSAHA
Perjuangan tanpa akhir, ujarnya.
Baginya, ketika muda, manusia harus
berjuang untuk berprestasi, dan ketika
menjelang akhirpun manusia harus
tetap berjuang. Sedangkan kunci
suksesnya adalah selalu menghormati
nilai-nilai sejarah, orang yang lebih
tua, dan orang-orang yang memiliki
prestasi.
Penghormatan atas nilai-nilai sejarah
itu, lagi-lagi dia wujudkan dalam bentuk
fisik dengan mendirikan museum
yang punya nilai sejarah dalam rangka
merintis kemerdekaan. Museum yang
diantaranya memiliki koleksi 460
pucuk senjata dan berlokasi di Bogor
tersebut kini diserahkan kepada pemda
setempat.
Tak kalah penting, dia juga sangat
menghargai waktu. Waktu seperjuta
detik sangat berharga, dan bila terlewat,
hal itu sangat fatal bagi pembalap
seperti dirinya.
Bentuk Konkrit
Pejuang

Menghargai

Para

Pengakuan atas perjuangan jasa-jasa


para veteran untuk mendapatkan
kemerdekaan merupakan bentuk
perayaan terbaik dalam memperingati
hari Kemerdekaan RI. Salah satu
bentuk pengakuan itu diabadikan
dengan mendirikan Museum PETA
(Pembela Tanah Air) atas prakarsa
YAPETA (Yayasan Pembela Tanah Air)
yang diketuai oleh Tinton Soeprapto.
Beragam koleksi museum PETA menjadi
bukti bahwa perjuangan meraih
kemerdekaan RI bukanlah pemberian
hadiah dari Jepang, tapi perjuangan
keras dari rakyat Indonesia.
Salah satunya dari pemuda bangsa yang
tergabung dalam PETA yang merupakan
cikal bakal berdirinya Tentara Nasional
Indonesia. Tinton mengatakan sejarah
harus diluruskan karena banyak yang
mengira bahwa PETA merupakan
tentara bentukan Jepang, karena
terbentuknya PETA bertepatan saat
Indonesia sedang dijajah oleh Jepang.
Padahal sebenarnya tidak. Tinton
menambahkan
PETA
sendiri
dipelopori oleh empat orang yaitu,
Bung Karno, Ki Hajar Dewantara, Ki
Ageng Suryomentaram dan Gatot

88

INTEGRITAS - Agustus 2013

Mangkupraja. Ide pembentukan PETA


diawali oleh Bung Karno yang tertarik
Indonesia memiliki pasukan seperti
prajurit Jepang. Tinton meyakini sejarah
itu karena ia melihat orang tuanya,
Suyatmo merupakan pelaku sejarah
itu sendiri dengan bergabung menjadi
tentara PETA.
Tentara PETA merupakan tentara
kebangsaan yang oleh pemimpinpemimpin pergerakan kebangsaan
Tanah Air saat itu dipersiapkan untuk
menjadi tentara kebangsaan Negara
Indonesia Merdeka.
Di Kota Bogor
pertama kali
diselenggarakan pembentukan tarunataruna yang kemudian melahirkan
perwira-perwira Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air, Tentara Kebangsaan
Indonesia.
Yang dikemudian hari berperan
didalam gerakan persiapan Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia sampai
pada pembentukan Badan Keamanan
Rakyat (BKR) yang menjadi cikal bakal
Tentara Indonesia. Tinton mengatakan
meski hanya ada selama dua tahun,
yaitu November 1943 Agustus 1945,
tapi peran PETA sangat penting dalam
perjuangan kemerdekaan. PETA ini
cikal bakal TNI. TNI lahir 5 Oktober, kalau
ga ada BKR, ya ga ada TNI, sedangkan
BKR dari PETA, terang Tinton.
Dalam
setiap
peringatan
hari
kemerdekaan RI, Tinton selalu
menyuarakan kepada pemerintah dan
masyarakat agar bangsa ini menghargai
para pejuang kemerdekaan RI. Sebagai
Ketua Yapeta, ia melihat masih banyak
para pejuang PETA yang sudah uzur
namun tidak mendapatkan hak-haknya
dan minimnya penghargaan sebagai
pejuang kemerdekaan.
Ada pejuang umur 90-an tahun, ada
fotonya, ada buktinya dia berjuang,
bayangkan gimana dia dulu berjuang
dengan bambu runcing, jalan kaki
berhari-hari, ada juga yang bekerja
di dapur umum tandas Tinton. Bagi
Tinton, menghargai dan mengakui
perjuangan mereka merupakan bentuk
memperingati kemerdekaan RI yang
sesungguhnya.
Dan pembangunan Museum PETA
bertujuan
untuk
memberikan
penghargaan kepada mantan tentara
PETA dan kontribusinya pada pendirian

bangsa dan negara ini. Persiapan


pendirian museum dimulai pada
tanggal 14 Nopember 1993 dengan
peletakan batu pertamanya oleh Wakil
Presiden RI, yang juga sesepuh YAPETA,
yaitu Bapak Umar Wirahadikusumah.
Gedung ini diresmikan sebagai Museum
yang didedikasikan untuk para prajurit
PETA pada tanggal 18 Desember 1995
oleh H. M. Soeharto (Presiden RI ke
II) juga sebagai mantan Perwira PETA
angkatan I.
Saat ini museum PETA sudah diserahkan
kepada pemerintah agar pemerintah
menjadikan museum sebagai sarana
untuk membangun jiwa nasionalisme
rakyat khususnya para akademi militer.
Sebelum dia (red-tentara) pulang ke
kampung jadi perwira, dimasukkan ke
situ (red-belajar dari Museum) dulu
supaya pemikirannya seragam dari
Aceh sampai Papua, apa itu militer,
apa itu polisi, BKR, PETA dan lain-lain,
ujar Tinton yang juga menjadi Ketua
Hari Kesetiakawanan Nasional (HKSN)
selama enam kali berturut-turut.
Tinton menunjukkan beragam koleksi
yang berada di museum PETA.
Diantaranya tank yang diberikan oleh
KASAD TNI, meriam, 460 pucuk senjata
yang masih berfungsi, koleksi patung,
perlengkapan perang, dan berbagai
diorama yang menggambarkan kegiatan
yang dilakukan tentara PETA. Seperti
Pemberontakan PETA di Blitar (14
Pebruari 1945), Tipu Muslihat Katagiri
Butaicho (Jepang) Terhadap Syodancho
Muradi (15 Pebruari 1945, Peristiwa 16
Agustus 1945 di Kompi Pembela Tanah
Air (PETA) Rengasdengklok, Peristiwa
Rapat Raksasa 19 September 1945
di Lapangan IKADA, Jakarta, sampai
Lahirnya Hari Infantri TNI-AD pada 15
Desember 1945.
Ketua Yapeta juga memberikan bentuk
penghargaan kepada para pejuang
PETA dengan menyematkan satya
lencana kepada mereka. Orang tua
yang memiliki jasa harus kita rawat dan
kita hargai, ujarnya.
(Victor/Ian/Debora)

Anda mungkin juga menyukai