Ibuprofen 1 PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ibuprofen
2.1.1 Sifat fisikokimia
Ibuprofen (()-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul
C13H18O2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.1.

.
Gambar 2.1 Rumus bangun ibuprofen
Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas
lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol,
metanol, aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM,
1995). Larut dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat. Senyawa ini mempunyai
titik lebur 75-77 C dengan pKa 4,4; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0 (Moffat, et al.,
2005).
2.1.2 Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai
setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan
protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah
yaitu (0,15 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira

Universitas Sumatera Utara

90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau
konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi
(Stoelting, 2006; Sinatra, et al., 1992).
2.1.3 Farmakodinamik
Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan
menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase-II (COX II). Namun
tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam
pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit,
basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin,
mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan
menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).
2.1.4 Indikasi dan dosis terapi
Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga
sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan
gout (Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan
hingga sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg,
untuk nyeri haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg.
Untuk demam pada anak-anak 5 mg/kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10
mg/ kg berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson,
et al., 2002).

2.2 Absorpsi
Yang dimaksud dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah
masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah tubuh
setelah melewati sawar biologik.
Universitas Sumatera Utara

Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab
itu laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan
tubuh (saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam
cairan tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut:

Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip: sebelum melintasi


membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam cairan disekitar
membran.
Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat
aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut
tahapan sebagai berikut:

Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan


mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan zat
aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif sediaan
obat didalam tubuh merupakan tahap penentu.
Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju pelarutan
zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia yang dapat
mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas, dan lain-lain)
(Aiache, et al., 1993).
Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Membran sel


Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen
yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur
membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa
kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran
cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel
organ atau reseptor obat.
Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000) membran sel terdiri dari
komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu:
1. Lapisan lemak bimolekul.
Tebal lapisan lemak bimolekul 35, mengandung kolesterol netral dan
fosfolipid

terionkan,

yang

terdiri

dari

fosfatidiletanolamin,

fosfatidilkolin,

fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak


bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai
hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus
gliserilfosfat fosfolipid.
2. Protein.
Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya 300.000 dan
ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus
hidrofil dan hidrofob.
3. Mukopolisakarida.
Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak
dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti
glikolipilid, atau dengan protein, seperti glikoprotein.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Struktur membran sel


Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956),
mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran. Model
membran tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri dari
fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian
dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fasa berair. Dua
kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar (salah satu
diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globular)
mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan
merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Struktur membran
sel dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Dalam konsep mosaik cair, matrik membran terdiri atas dua lapisan lipida
protein globular yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut
susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan
membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non
polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu utama protein
globuler tebalnya 85 Angstrom. Model Mosaik Cair konsisten tentang eksistensi
dari chanel-chanel ion khusus dan reseptor-reseptor di dalam dan di sepanjang
permukaan membran (Syukri, 2002).

Gambar 2.2 Stuktur membran sel


Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Cara penembusan obat melalui membran biologis


Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme
difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran
biologis.
Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas:
1. Difusi pasif
Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga,
yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut
dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas.
a. Difusi Pasif Melalui Pori
Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau
osmotik; semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat
melewati kanal membrane. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus
halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7oA) dan hanya dapat dilalui oleh molekul
dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang
bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Aiache, et
al., 1993). Untuk lebih jelasnya difusi pasif melalui pori dapat dilihat pada Gambar
2.3.

Gambar 2.3 Difusi pasif melalui pori


Universitas Sumatera Utara

b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran


Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia
tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran.
Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan
difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau
asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk
terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Hanya fraksi zat aktif yang
terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi
pasif.
Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat,
derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk
elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang
sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak
terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang
bergantung pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul.
c. Difusi Pasif dengan Fasilitas
Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan
osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini
berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih
rendah dan berhenti setelah mencapai kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki
energi dan terjadi secara spontan.
Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa
dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah
bergerak menembus membran. Pada sisi membran yang lain kompleks akan terurai
melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas kembali ke tempat semula.
Universitas Sumatera Utara

Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan
muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan
dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil.
Penyerapan pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti
bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan
jumlah yang diserap (Aiache, et al., 1993).
2. Transpor Aktif
Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan
suatu bagian dari membran, berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan
molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks
tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan
lainnya, lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi
dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa).
Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah
digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya
suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu
dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa
tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi
transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah.
Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan
mekanisme perbedaan konsentrasi. Transpor aktif ini memerlukan energi yang
diperoleh dari hidrolisa adenosintrifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu ATP-ase.
(Aiache, et al., 1993). Mekanisme transpor aktif dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Sistem pengangkutan aktif


3. Pinositosis
Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang
mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin,
vitamin A,D,E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada
bakteri (Siswandono dan Soekarjo, 2000)). Mekanisme pinositosis dapat dilihat pada
Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Sistem pengangkutan secara pinositosis


Kebanyakan dari obat melewati membran biologis dengan cara difusi pasif.
Senyawa obat yang berbobot molekul kecil dengan bebas melewati mikroporus dari
sel. Dengan catatan mungkin obat larut diluar fase membran plasma menembus
membran dan masuk ke dalam sitoplasma sel. Karena bersifat lipid membran sel
mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi terhadap bentuk obat yang larut dalam
Universitas Sumatera Utara

lipid. Obat asam lemah dan basa lemah mungkin berada dalam keadaan tak terion
pada harga pH dari fasa berair pada bagian eksternal dan internal membran. Selama
bentuk tak terion dari obat lebih mudah larut dalam lipid dari pada bentuk terion,
bentuk tak terion larut ke dalam membran dan seterusnya maka difusi akan lebih
cepat dari pada bentuk terion (Wolf, 1994)..

2.3 Usus Halus


Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu;
duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam
tergantung pada letaknya yaitu 2 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m.
Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari
peritonium (Aiache, et al., 1993). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat
erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal.
Jalannya berbentuk C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu
dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium.
Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian
proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan
jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian
bawah rongga (Fawcett, 2002). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian
atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes.
Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh
dengan villi yang tingginya 0,75 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini
lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 50 m (Aiache, et al,
1993).

Universitas Sumatera Utara

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum dan
bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari
jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 46, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi
obat sebagai akibat disolusi berbagai bentuk sediaan (Aiache, et al., 1993).
Karakteristik

anatomi

dan

fisiologi

usus

(dengan

makrovilli

dan

mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga


penyerapan zat makanan.
Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-lipatan
mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan kerckring, yang terutama
banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut villi-villi usus
tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus (mikrovilli) dan
mempunyai aktivitas yang kuat. Adanya anyaman kapiler darah dan getah bening
pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang besar. Gerakan usus
dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya
penembusan menuju pembuluh darah. Keadaan pH serta tebal dinding yang beragam
di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup besar pada
molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH
lambung.
Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya pelintasan
membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif.
Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau fraksifraski tak terionkan yang larut lemak.
Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena
konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradien difusi,
Universitas Sumatera Utara

hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan
susjacent. Skema usus halus dengan villi dan perfusinya dapat dilihat pada Gambar
2.6.
Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan
terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat
membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum terhadap
molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, et al., 1993).

Gambar 2.6 Skema usus halus dengan villi dan perfusinya

2.4 Metode Kantung Terbalik (Everted Sac)


Preformulasi melibatkan sejumlah pemeriksaan untuk menghasilkan informasi
yang bermanfaat untuk tahap formulasi selanjutnya meliputi kestabilan fisikokimia
dan kecocokan dosis obat secara biofarmasi.
Penelitian awal biofarmasi dari senyawa obat juga dilakukan selama
preformulasi. Uji-uji ini didesain untuk menelusuri karakteristik ketersediaan
senyawa obat secara in vitro. Hasil penelitian ini mengkontribusikan suatu produk
sediaan obat yang efektif, rasional, aman, dan ekonomis.
Universitas Sumatera Utara

Suatu teknik dengan menggunakan everted intestinal sac dapat digunakan


dalam mengevaluasi karakteristik absorpsi dari zat obat (Ansel,1989).
Pada persiapannya, teknik everted sac menggunakan bagian dari intestin,
disayat dari bagian omentum dan sirkulasi mesenterikum. Intestin ini dibalik
sehingga permukaannya berada pada bagian luar dan ujung dari bagian ini diikat,
larutan buffer dimasukkan melalui kateter pada bagian lainnya, dan bagian luar usus
direndam dalam larutan berisis obat dengan suhu 37oC, dialiri oksigen 95% dan CO2
50%. Kedua bagian, baik serosa maupun mukosa dapat dijadikan sampel untuk
analisis.
Everted sac merupakan teknik yang sederhana yang menghadirkan kerumitan
yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengujian konsentrasi obat secara in
vivo.
Kondisi dari temperatur, oksigen, ketersediaan makanan sebagai sumber
energi dapat diatur dalam metode ini, namun tidak ada lagi sirkulasi mesenterikum
dan kehadiran obat secara total pada bagian dalam kantung pada difusi melalui serosa
(Swarbrick and Boylan, 1992).

2.5 Kinetika Laju Absorpsi


a. Reaksi orde nol
Laju peruraian obat secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Laju pengurangan konsentrasi =
Dimana;

=k

Ca = Konsentrasi zat A yang bereaksi


k = faktor perbandingan = laju reaksi
t = waktu

Universitas Sumatera Utara

Bila data dari suatu studi stabilitas mengikuti reaksi orde nol, grafik x (jumlah
yang bereaksi) versus t (waktu) merupakan garis lurus dengan kelandaian menyamai
k. Nilai k menyatakan jumlah obat yang terurai per satuan waktu, dan titik potong
garis pada waktu nol sama dengan konstanta.
b. Reaksi ode pertama
Laju pengurangan konsentrasi = -

=kCa

Dengan memakai persamaan tersebut untuk reaksi orde pertama dihasilkan


garis lurus bila dibuat grafik logaritma konsentrasi Ca terhadap waktu. Kecepatan
atau konstanta laju reaksi, k, dapat dihitung dari kelandaian garis dikalikan 2,303
(Armstrong, 1995).

2.6 Pengeringan Beku (Freeze Dryer)


Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan yang
mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya
untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan pengeringan beku
dibandingkan metode lainnya yaitu dapat mempertahankan stabilitas produk, dapat
mempertahankan stabilitas struktur bahan dan dapat meningkatkan daya rehidrasi
sehingga dapat kembali ke sifat fisiologis, organoleptik dan betuk fisik yang hampir
sama dengan sebelum pengeringan (Tambunan dan Manalu, 2000).
Untuk proses pengeringan beku, bahan yang dikeringkan terlebih dahulu
dibekukan kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan tekanan rendah
sehingga kandungan air yang sudah menjadi es akan langsung menjadi uap, dikenal
dengan istilah sublimasi. Pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih baik
dibandingkan dibandingkan dengan oven karena kadar airnya lebih rendah dan dapat
digunakan untuk bahan yang tidak tahan dengan panas (Muchtadi, 1992).
Universitas Sumatera Utara

2.7 Spektrofotometri Ultraviolet - visibel


Radiasi elektromagnetik, yang mana sinar ultraviolet dan sinar tampak
merupakan salah satunya, dapat dianggap sebagai energi yang merambat dalam
bentuk gelombang. Beberapa istilah dan hubungan digunakan untuk menggambarkan
gelombang ini. Panjang gelombang merupakan jarak linier dari suatu titik pada satu
gelombang ke titik yang bersebelahan pada gelombang yang berdekatan. Sinar
ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm, sementara sinar
tampak mempunyai panjang gelombang 400 750 nm (Gandjar dan Rohman, 2009).
Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk
terjadinya transisi elektronik. Dengan demikian, spektra ultraviolet dan spektra
tampak dikatakan sebagai spektra elektronik. Keadaan energi yang paling rendah
disebut dengan keadaan dasar (ground state). Transisi transisi elektronik akan
meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi
tereksitasi (Gandjar dan Rohman, 2009).
Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka
molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai.
Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan
energi potensial elektron pada tingkat keadaan tereksitasi. Apabila pada molekul yang
sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat
pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorbsi. Pada kenyataannya, spektrum
UV Vis yang merupakan korelasi antara absorbansi (sebagai ordinat) dan panjang
gelombang (sebagai absis) bukan merupakan garis spektrum akan tetapi merupakan
pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum UV Vis tersebut disebabkan oleh
terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul yang sangat
kompleks (Gandjar dan Rohman, 2009).
Universitas Sumatera Utara

Spektra UV Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus


dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.
a. Aspek Kualitatif
Data spektra UV Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk
identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara
lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa,
maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/ analisis kualitatif suatu senyawa
tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang
gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut; yang kesemuanya itu dapat
diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (Gandjar dan Rohman,
2009).
b. Aspek Kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan
(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi
yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang
diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap
lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang
melalui satu satuan luas penampang perdetik. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi
yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan
untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami
penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi
penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan.
Hukum Lambert Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan
zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar dan
Rohman, 2009).
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai