Anda di halaman 1dari 29

HIPONATREMIA

Iyan Darmawan
Pendahuluan
Ion natrium (Na+) merupakan kation utama pada kompartemen ekstraseluler (plasma
dan interstisial). Konsentrasi normal natrium dalam darah berkisar antara 135-145
mmoL. Na+ memiliki peran utama dalam pengaturan osmolaritas plasma. Hiponatremia
dilaporkan pada hampir 28% pasien yang menjalani perawatan akut di rumah sakit dan
21% pasien yang menjalani perawatan ambulatori. Pasien lanjut usia dan pasien yang
memiliki kondisi tertentu, seperti gagal jantung, tuberkulosis, sirosis, dan cedera
kepala mengalami peningkatan risiko tinggi hiponatremia.
Konsentrasi natrium yang terlalu rendah atau tinggi dapat mengganggu fungsi otak.
Contohnya, hiponatremia berat (kadar Na+ < 115 mmol/L) dapat menyebabkan
kelainan neurologis, seperti penurunan kesadaran, koma, dan kejang. Komplikasi
serius sering kali muncul tidak hanya karena kelainan ini, tetapi juga dapat berasal dari
kesalahan manajemen. Manajemen yang agresif menyebabkan komplikasi dan
kematian.
Beberapa poin penting yang perlu dicatat sebelum mengkoreksi hiponatremia adalah
sebagai berikut.

Belum ada konsensus tentang penanganan optimal hiponatremia simtomatik


Gejala yang kurang serius biasanya hanya membutuhkan restriksi cairan dan

observasi ketat.
Gejala berat (seperti kejang atau koma) membutuhkan terapi salin hipertonik

(NaCl 3% yang mengandung 513 mmoL Na+ per liter).


Kebanyakan pasien hiponatremia dengan hipovolemia dapat diterapi dengan

baik dengan salin isotonik (yang mengandung 154 mmoL Na+ per liter).
Kejang yang diinduksi oleh hiponatremia dapat dihentikan dengan peningkatan
cepat konsentrasi natrium dalam darah yang rata-rata hanya berkisar antara 3-7
mmol/liter

Kebanyakan kasus demielinisasi osmotik yang dilaporkan terjadi setelah

tingkat koreksi melebihi 12 mmol/liter.


Tetapi, kasus terisolasi terjadi setelah koreksi hanya 9-10 mmol/liter dalam 24

jam atau 19 mmol/liter dalam 24 jam.


Beberapa ahli merekomendasikan target tingkat koreksi yang tidak melebihi 8

mmol/liter selama beberapa hari perawatan.


Walaupun demikian, tingkat koreksi awal masih dapat 1-2 mmol/liter/jam

selama beberapa jam pada pasien dengan gejala berat


Indikasi yang direkomendasikan untuk menghentikan

koreksi

cepat

hiponatremia simtomatik (tanpa mempertimbangkan metode yang dilakukan)


adalah hilangnya manifestasi yang mengancam kehidupan, pengurangan gejala
lain, atau konsentrasi natrium dalam darah mencapai 125-130 mmol/liter (atau
bahkan lebih rendah bila kadar natrium base-line di bawah 100 mmol/liter).
Bagaimana koreksi dilakukan?

Apa pun etiologinya, hiponatremia berat harus dikoreksi dengan salin


hipertonik (NaCl 3%) bila terdapat gejala neurologis, seperti penurunan
kesadaran atau kejang. Tidak ada alasan kuat untuk memberikan NaCl 3% pada
kasus hiponatremia asimtomatik (atau konsentrasi Na+ > 125 mEq) di mana 1 L
cairan yang mengandung natrium akan meningkatkan atau menurunkan

konsentrasi Na+ plasma.


Besarnya perubahan konsentrasi Na+ plasma dapat dihitung dengan rumus:
Na+ yang diinfuskan Na+ serum
Total cairan tubuh +1

Total cairan tubuh pada orang dewasa adalah 60% dari berat tubuh, sedangkan
total cairan tubuh pada anak adalah 70% dari berat tubuh.

Ilustrasi Kasus

Seorang wanita berusia 30 tahun mengalami 3 kali kejang grandma, 2 hari setelah
prosedur apendektomi. Wanita ini menerima terapi diazepam 20 mg dan fenitoin 250
mg intravena dan menjalani intubasi laringeal dengan ventilasi mekanik.
Alloanamnesis terhadap perawat menunjukkan bahwa selama hari pertama setelah
tindakan operasi, pasien diinfus dengan 2 liter cairan dekstrosa 5% dan 1 liter cairan
ringer laktat. Selanjutnya, wanita ini diperbolehkan untuk minum.
Secara klinis, pasien tidak mengalami dehidrasi dan memiliki berat badan 45 kg.
Wanita ini tampak stupor dan hanya respon terhadap rangsang nyeri dan tidak
mengikuti perintah.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Na+ plasma 112 mmol/L, osmolaritas plasma
228 mOsm/kg, osmolaritas urin 510 mOsm/kg.
Diagnosis kerja: hiponatremia hipotonik akibat kelebihan cairan.
Rencana terapi untuk mengkoreksi kadar Na+ dalam 5 jam pertama agar mencapai 117
mmol/L sehingga kejang diharapkan dapat berhenti. Langkah berikutnya adalah
meningkatkan koreksi Na menjadi 5 mmol/L selama 19-20 jam selanjutnya. Berapa
jumlah dan tingkat administrasi NaCl 3% yang dibutuhkan?

Na+ yang diinfus Na+ serum


Total cairan tubuh +1
513-112

60%BB +1
401

(60%x 46) +1
401
28,6

= 14,02

Anggap saja 1 L NaCl 3% akan menaikkan kadar Na+ plasma sekitar 14 mmol/L.
Dalam 5 jam pertama, direncanakan terapi untuk menaikkan konsentrasi Na + sebanyak
5 mmol/L sehingga dibutuhkan hanya 5:14 = 0,357 liter NaCl 3% atau 375 ml. Oleh
karena itu, tingkat administrasi Na+ adalah 357:5 = 72 ml per jam atau 18 tetes per
menit (menggunakan infus set Otsuka).
Setelah 5 jam, konsentrasi Na+ meningkat menjadi 117 mmol/L. Kejang berhenti,
namun pasien masih somnolen. Selanjutnya, direncanakan terapi untuk meningkatkan
konsentrasi Na+ plasma sebanyak 5 mmol selama kurang lebih 19-20 jam. Tingkat
administrasi Na+ adalah 357: 19 = sekitar 18 ml/jam. Administrasi Na + umumnya
dilakukan melalui infus tetesan lambat dengan menggunakan pompa infus (infusion
pump). Kebutuhan cairan pemeliharaan (maintenance) harus dipenuhi dengan salin
normal, namun jumlah cairan salin harus dibatasi pada pasien ini. NaCl 3% tidak
dilanjutkan setelah konsentrasi Na+ plasma mencapai 125 atau 130 mmol/L.
Dokter dapat menentukan konsentrasi Na+ yang dengan target yang diinginkan dalam
rentang waktu tertentu (belum ada konsensus) dan dapat memodifikasinya dengan
mudah sesuai dengan respons masing-masing individu. Hal yang paling penting adalah
menghindari koreksi yang agresif.

HIPONATREMIA PADA GAGAL JANTUNG


Iyan Darmawan

Pendahuluan

Hiponatremia (konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L) adalah temuan yang umum
dijumpai pada kasus gagal jantung. Hiponatremia berhubungan dengan prognosis yang
buruk. Pasien simtomatik biasanya diterapi dengan pembatasan cairan yang
menyebabkan keseimbangan cairan negatif, meningkatkan osmolaritas plasma, dan
meningkatkan konsentrasi natrium plasma. Sayangnya, terapi ini sangat tidak efektif
dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Kombinasi salin hipertonik (seperti
NaCL 3%) dan diuretik loop sering digunakan terapi tambahan selain pembatasan
cairan, namun pendekatan yang terlalu agresif berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi natrium plasma secara mendadak yang menyebabkan demielinisasi sistem
saraf pusat. Selain itu, administrasi furosemid berhubungan dengan kelainan elektrolit
yang berpotensi menyebabkan kematian, aktivasi neurohormonal, perburukan fungsi
ginjal, dan resistensi terhadap administrasi furosemid. Dalam praktik saat ini, terdapat
kecenderungan untuk menggambarkan hipotermia sebagai efek dilusional/pengenceran
dari penumpukan cairan, tetapi belum ada pendekatan terintegrasi yang diambil guna
penatalaksanaan kasus. Walaupun demikian, saat ini hanya modalitas terapi baru
dikembangkan untuk menangani kasus hiponatremia di samping upaya meningkatkan
status hemodinamik dan prognosis pasien hiponatremia dengan gagal jantung secara
simultan.

Mengapa hiponatremia terjadi pada gagal jantung?


Hiponatremia hipervolemia pada gagal jantung disebabkan oleh menurunnya curah
jantung dan tekanan darah yang menstimulasi vasopressin, katekolamin, dan aksis
renin-angiotensin-aldosteron. Peningkatan kadar vasopressin dilaporkan pada pasien
yang memiliki gangguan fungsi ventrikel kiri. Pada pasien dengan perburukan gagal
jantung, terjadi penurunan stimulasi mekanoreseptor pada ventrikel kiri, sinus karotis,
arkus aorta, dan arteriol aferen ginjal yang menyebabkan peningkatan penghentian
aktivasi simpatis pada sistem renin-angiotensin-aldosteron dan pelepasan nonosmotik
vasopressin dibandingkan dengan neurohormon lainnya. Di samping meningkatkan

volume total cairan, peningkatan rangsangan simpatis berperan untuk mencegah retensi
air dan garam. Peningkatan pelepasan vasopressin menyebabkan peningkatan jumlah
jalur cairan akuaporin pada duktus kolektivus ginjal yang menyebabkan retensi
berlebihan cairan bebas dan berperan dalam patogenesis hiponatremia hipervolemia.

Vasopressin, target baru sebagai terapi gagal jantung


Awalnya, vasopressin diberi nama sesuai dengan efek pressor, tetapi seiring dengan
perkembangan informasi dan peran utamanya dalam pengaturan keseimbangan cairan,
nama vasopressin diganti dengan hormon antidiuretik. Reseptor vasopressin memiliki
aksi fisiologis yang berbeda-beda pada hati, otot polos, miokardium, platelet, otak, dan
ginjal.
Terdapat tiga subtipe reseptor AVP (vasopressin arginin), yaitu sebagai berikut.
Subtipe reseptor
V1a

V1b
V2

Tempat aksi
Sel otot polos pembuluh darah

Efek aktivasi AVP


Vasokontriksi

Platelet

Agregrasi platelet

Limfosit dan monosit

Pelepasan faktor koagulasi

Korteks adrenal
Glikogenolisis
Hipofisis anterior
Pelepasan ACTH dan -endorfin
Sel principal duktus kolektivus Reabsorpsi cairan bebas
ginjal

Aksi Fisiologis AVP


Melalui aktivasi reseptor V1a dan V2, AVP memiliki peran utuh dalam berbagai proses
fisiologis, termasuk pengaturan cairan tubuh, pengaturan tonus pembuluh darah, dan
kontraktilitas kardiovaskuler. Reseptor V1a terletak pada sel otot polos pembuluh darah
dan kardiomiosit dan memodulasi vasokontriksi pembuluh darah dan fungsi

miokardium. Reseptor V2 terletak pada sel principal duktus kolektivus ginjal yang
berpasangan dengan jalur cairan akuaporin dalam pengaturan status volume melalui
stimulasi cairan bebas dan reabsorpsi urea.
Fungsi utama AVP atau yang sebelumnya dikenal sebagai sebagai hormon antidiuretik
(ADH) adalah mengatur ekskresi air dan solute oleh ginjal. AVP memiliki peran
signifikan dalam homeostasis volume cairan di bawah kondisi fisiologis normal
melalui respon berkelanjutan terhadap perubahan tonisitas plasma. Ketika tonisitas
plasma berubah sekitar 1%, sel osmoreseptor yang terletak di hipotalamus merespons
perubahan volume dan menstimulasi neuron nuklei supraoptik dan paraventrikuler.
Sesuai dengan derajat perubahan tonisitas, aktivasi neuron ini memodulasi derajat
sekresi AVP dari akson terminal hipofisis posterior. Setelah pelepasan AVP ke sirkulasi,
AVP berikatan dengan reseptor V2 yang terletak pada sel principal duktus kolektivus
ginjal.
Ikatan ini mengaktivasi protein pengikat nukleotida guanin (Gs) yang selanjutnya
mengaktivasi adenilat siklase yang menyebabkan peningkatan sintesis monofosfat
adenosis 3-5 siklik intraseluler (cAMP), lalu mengaktivasi protein kinase A (PKA)
yang menstimulasi sintesis protein jalur cairan, akuaporin-2 (AQ-2) dan penutupan
permukaan apikal duktus kolektivus. Jalur ini memungkinkan cairan bebas
direabsorpsi melalui membran apikal duktus kolektivus melalui gradien osmotik
medulla ginjal untuk dikembalikan ke sirkulasi intravaskuler. Sekresi AVP mengubah
permeabilitas, meningkatkan reabsorpsi cairan bebas dan menurunkan osmolaritas
plasma pada individu sehat, ketika plasma menjadi hipertonik (konsentrasi natrium
dalam darah > 145 mEq/L) , konsentrasi AVP plasma melebihi 5 pg/mL dan urin
menjadi terkonsentrasi maksimal (1.200 mOsm/kg cairan) pada duktus kolektivus
nefron ginjal. Sebaliknya, ketika plasma menjadi hipotonik (konsentrasi natrium dalam
darah < 135 mEq/L), konsentrasi AVP plasma tidak dapat terdeteksi dan urin tetap
terdilusi maksimal (minimal cairan 50 mOsm/kg) saat diekskresikan. Dalam kondisi
isotonic, AVP disekresikan pada kadar menengah dalam plasma sebesar 2,5 pg/ml dan
menghasilkan osmolaritas urin sekitar 600 mOsm/kg cairan.

Hipotalamus
Osmoreseptor Sintesis AVP
Hipofisis posterior
Pelepasan AVP

Sinus karotis
Arkus aorta
Ventrikel kiri
Baroreseptor

Ginjal mendeteksi AVP


melalui reseptor V2 AVP

cAMP
Osmolaritas plasma/
volume sirkulasi darah

Akuaporin-2

Reabsorpsi cairan

Regulasi Tonus Pembuluh Darah


Selain efek ginjal pada reseptor V2 sebagai respon terhadap perubahan osmolaritas
plasma, AVP juga mempertahankan dan mengatur tonus pembuluh darah melalui
reseptor V1a yang terletak pada sel otot polos pembuluh darah. Pelepasan AVP
distimulasi ketika baroreseptor kardiopulmoner dan sinoarta mendeteksi penurunan
tekanan, seperti akibat dehidrasi, hipotensi atau syok.
Sebaliknya, peningkatan tekanan yang terdeteksi oleh baroreseptor ini menstimulasi
penurunan produksi dan pelepasan AVP. Sebagai respon terhadap penurunan ringan
tekanan arterial, vena, dan intrakardial, stimulasi reseptor V1a oleh AVP menyebabkan
vasokontriksi kuat arteriol dengan peningkatan resistensi vaskuler sistemik (SVR)
signifikan. Walaupun demikian, pada individu sehat, peningkatan fisiologis pelepasan

AVP umumnya tidak menyebabkan peningkatan tekanan darah secara signifikan karena
AVP juga mempotensiasi refleks baroreseptor sinoaorta sebagai respon peningkatan
SVR. Augmentasi refleks baroreseptor yang diperantarai melalui stimulasi reseptor V2
menurunkan denyut jantung dan curah jantung untuk mempertahankan tekanan darah
agar tetap konstan. Selain itu, pada individu normal, pelepasan AVP meningkatkan
SVR tanpa disertai peningkatan tekanan darah melalui stimulasi reseptor V1a dan V2.
Perubahan tekanan darah hanya dapat terdeteksi ketika konsentrasi AVP suprafisiologis
dicapai, dan peningkatan SVR melalui V1a teraktivasi lebih besar daripada potensiasi
refleks baroreseptor melalui V2 teraktivasi.

Disregulasi VP
Vasopressin arginin (AVP) memiliki peran utama dalam pengaturan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Disregulasi sekresi AVP akibat stimulasi reseptor V 2 AVP
berperan dalam patogenesis hiponatremia (konsentrasi natrium dalam darah < 135
mEq/liter) pada kasus gagal jantung kongestif (CHF). Stimulasi baroreseptor atrial dan
arterial sebagai respon terhadap hipotensi dan deplesi volume menyebabkan pelepasan
AVP non-osmotik. Sekresi AVP non-osmotik yang lebih dominan dibandingkan dengan
pelepasan AVP osmotik memiliki peran penting dalam patogenesis ketidakseimbangan
cairan dan hiponatremia pada kasus gagal jantung kongestif dan kasus edema lainnya.
Antagonis reseptor-AVP merupakan obat golongan baru yang memblok efek AVP
secara langsung pada reseptor V2 duktus kolektivus ginjal. Aksi antagonis terhadap
reseptor AVP menghasilkan akuaresis, ekskresi cairan tanpa disertai ekskresi elektrolit
yang memungkinkan koreksi cairan dan ketidakseimbangan natrium secara spesifik.
Tinjauan ini merangkum data yang ada saat ini dari uji klinis yang mengevaluasi
manfaat dan keamanan obat yang menjanjikan ini dalam penatalaksanaan
hiponatremia.

Efek Hemodinamik Akut Bloker Reseptor V2


Pada 181 pasien dengan gagal jantung stadium lanjut, Tolvaptan, antagonis reseptor V2
vasopressin diteliti melalui uji klinis acak samar ganda. Pasien diacak untuk
mengkonsumsi dosis tunggal tolvaptan per oral (15,2 atau 60 mg) atau plasebo.
Pada seluruh dosis tersebut, tolvaptan secara signifikan menurunkan tekanan wedge
kapiler-pulmoner (masing-masing sebesar -6,4 4,1 mmHg pada dosis 15 mg, -5,7
4,6 mmHg pada dosis 30 mg, -5,7 4,3 mmHg pada dosis 60 mg, dan -4,2 4,6
mmHg pada kelompok plasebo); p < 0,05 untuk tolvaptan vs.plasebo). Tolvaptan juga
menurunkan tekanan atrium kanan (masing-masing sebesar -4,4 6,9 mmHg [p <
0,05] pada dosis 15 mg, -4,3 4,0 mmHg [p < 0,05] pada dosis 30 mg, -3,5 3,6
mmHg pada dosis 60 mg, dan -3,0 3,0 mmHg pada kelompok plasebo) dan tekanan
arteri pulmonal (masing-masing sebesar -5,6 4,2 mmHg pada dosis 15 mg, -5,5 4,1
mmHg pada dosis 30 mg, -5,2 6,1 mmHg pada dosis 60 mg, dan -3,0 4,7 mmHg
pada kelompok plasebo); p < 0,05 untuk tolvaptan vs.plasebo). Tolvaptan
meningkatkan produksi urin (urine output) dalam 3 jam pada metode tergantung dosis
(dose-dependent manner) (p < 0,0001), tanpa disertai dengan perubahan fungsi ginjal.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah terapi tolvaptan cukup memuaskan pada kasus
gagal jantung stadium lanjut, tetapi perubahan sedang pada pengisian tekanan terkait
peningkatan produksi urin secara signifikan. Data ini menyediakan dukungan
mekanistik tolvaptan dalam perbaikan gejala pada pasien gagal jantung dekompensata.

Catatan:
Hiponatremia pada pasien gagal jantung menandakan adanya aktivasi neurohormonal
dan keparahan penyakit. Dengan luasnya disregulasi AVP pada kasus gagal jantung
dan pengenalan antagonis vasopressin (seperti tolvaptan) dalam uji klinis, hal ini
memberikan strategi menjanjikan dalam penanganan pasien gagal jantung yang lebih
baik.

HIPERNATREMIA
Iyan Darmawan

Hipernatremia (konsentrasi natrium di dalam darah lebih dari 150 mEq/L) merupakan
gangguan elektrolit yang biasa dijumpai pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan

pasien yang dirawat di unit perawatan insentif (ICU) medik dan bedah. Pasien
hipernatremia dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) ringan (konsentrasi
maksimum natrium dalam darah berkisar antara 151-155 mEq/L); (b) menengah
konsentrasi maksimum natrium dalam darah berkisar antara 156-160 mEq/L); dan (c)
berat (konsentrasi maksimum natrium dalam darah lebih dari 160 mEq/L). Walaupun
berbeda dengan literatur, pembuatan kategori ini berasal dari rekomendasi Binggham
dan Brain Trauma Foundation.
Walaupun beberapa pasien, seperti pasien lanjut usia, individu cacat mental, dan
penghuni panti jompo masuk rumah sakit dengan hipernatremia, pada kebanyakan
kasus, hipernatremia merupakan kondisi yang muncul setelah perawatan di rumah
sakit. Hipernatremia biasanya disebabkan oleh peningkatan kehilangan cairan (renal,
enteral, dan insensible) yang berhubungan dengan penurunan asupan cairan (gangguan
mekanisme haus, tidak adanya akses terhadap cairan) dan terapi cairan isotonis yang
tidak tepat. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan hipernatremia memiliki tingkat
kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami
hipernatremia, dan kematian lebih tinggi terjadi pada pasien dengan hipernatremia
didapat setelah dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan pasien dengan
hipernatremia pada saat masuk rumah sakit. Frekuensi hipernatremia yang dilaporkan
pada populasi umum di rumah sakit berkisar antara 0,3%-3,5%.
Pasien yang dirawat di ICU memiliki insiden hipernatremia yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien lain pada umumnya. Tingkat kematian di rumah sakit
adalah 33,5% pada kelompok hipernatremia dan 7,7% pada kelompok normonatremia
(p < 0,001). Karena hipernatremia sering merupakan kondisi iatrogenik yang
berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, beberapa penulis menyarankan
bahwa hipernatremia dapat digunakan sebagai indikator kualitas perawatan. Pasien
yang mengalami sakit kritis dengan penyakit neurologi dan bedah saraf memiliki
banyak faktor yang membuat mereka lebih rentan mengalami hipernatremia. Mereka
sering mengalami gangguan mekanisme haus akibat perubahan sensorium atau
gangguan sistem saraf pusat yang mempengaruhi persepsi haus.

Pasien ini juga mungkin mengalami diabetes insipidus akibat disfungsi hipotalamus
atau hipofisis, peningkatan kehilangan cairan insensible akibat demam juga merupakan
faktor yang berperan. Hal yang lebih penting adalah pada pasien dengan edema serebri
dan peningkatan tekanan intrakranial, hipernatremia sering terjadi akibat penggunaan
terapi diuretik osmotik (manitol) atau cairan salin hipertonis.
Hipernatremia memiliki potensi terapeutik pada pasien yang mendapatkan terapi
osmotik. Pada individu dewasa dengan edema serebri pascatrauma atau pascaoperatif
yang diterapi dengan cairan salin 3%, pasien tersebut mengalami penurunan tekanan
intrakranial terkait peningkatan kadar natrium dalam darah. Pada pasien anak yang
mengalami cedera kepala dan diterapi dengan cairan salin hipertonik, hipernatremia
berkaitan dengan kontrol tekanan intrakranial yang lebih baik tanpa disertai efek
samping yang signifikan.
Walaupun demikian, hipernatremia berhubungan dengan peningkatan insidens
disfungsi ginjal pada populasi ini. Selain itu, pada pasien yang mendapatkan terapi
osmotik, konsentrasi natrium yang ideal sering kali sulit ditentukan. Di satu sisi,
hipernatremia bermanfaat dalam kontrol tekanan intrakranial. Di sisi yang lain,
berdasarkan penelitian yang dilakukan di bangsal perawatan bedah dan penyakit dalam
serta ICU, hipernatremia berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Untuk menangani pasien dengan terapi osmotik secara tepat, hal yang penting adalah
mempelajari dampak hipernatremia terhadap mortalitas pada populasi pasien tertentu.
Selain itu, penting untuk mencoba mengidentifikasi ambang batas sampai mana
konsentrasi natrium dalam darah dapat ditingkatkan. Hubungan antara hipernatremia
dan mortalitas pada pasien ini belum diteliti sebelumnya.
Beberapa pertimbangan sebelum menatalaksana kasus hipernatremia:
1. Hipernatremia selalu menunjukkan adanya dehidrasi seluler
2. Pada kebanyakan kasus, penyebab hipernatremia adalah kehilangan cairan net
(seperti setelah pemberian manitol)

3. Pemberian natrium (Meylon) yang berlebihan dapat juga menyebabkan


hipernatremia.
4. Lebih sering terjadi pada infan, pasien usia lanjut, dan pasien neurologi. Pada
pasien usia lanjut, gejala tidak muncul sebelum konsentrasi natrium lebih dari
160 mmol/L.
5. Pada kasus hipernatremia akut (terjadi dalam beberapa jam), tingkat penurunan
yang direkomendasikan adalah 1 mmol/L/jam. Pada kasus hipernatremia
kronik, tingkat koreksi sebesar 0,5 mmol/L/jam untuk mencegah edema serebri
(bila koreksi melebihi 10 mmol/L/24 jam).
6. Kebutuhan pemeliharaan harus ditambahkan.

Prinsip yang diterapkan adalah 1 liter cairan yang mengandung natrium


akan meningkatkan atau menurunkan konsentrasi Na+ plasma

Besarnya perubahan konsentrasi Na+ plasma dapat dihitung dengan


rumus
Na+ yang diinfuskan Na+ serum
Total cairan tubuh +1

Total cairan tubuh pada orang dewasa adalah 60% dari berat tubuh,
sedangkan total cairan tubuh pada anak adalah 70% dari berat tubuh.

Ilustrasi Kasus
Seorang laki-laki yang berusia 76 tahun mengalami penurunan kesadaran berat,
kekeringan pada membran mukosa, penurunan turgor kulit, demam, takipnea, dan
memiliki tekanan darah sebesar 142/83 mmHg tanpa perubahan ortostatik. Konsentrasi
natrium dalam darah adalah 168 mmol per liter dan berat badan sebesar 68 kg.
Diagnosis kerja adalah hipernatremia disebabkan oleh deplesi cairan akibat kehilangan
cairan insensible. Rencana terapi adalah administrasi infus KAEN 4A (Na+ 30 mmol/L,

Cl- 30 mmol/L). Terapi yang direncanakan untuk mengkoreksi Na+ dalam 24 jam agar
mencapai 158 mmol/L diharapkan dapat memperbaiki sensorium. Berapa jumlah dan
tingkat administrasi KAEN 4A yang dibutuhkan?
Na+ yang diinfus Na+ serum
Total cairan tubuh +1
30-168

60%BB +1
-138

(60% x 68) +1
-138

= -3,2

41,80
Anggap saja 1 L KAEN 4A akan menurunkan kadar Na + plasma sekitar 3,2 mmol/L.
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan konsentrasi natrium dalam darah
sekitar 10 mmol/L selama 34 jam.
Oleh karena itu, dibutuhkan 3 liter KAEN 4 A (10 : 3,2). Dengan 1,5 liter ditambahkan
untuk mengkompensasi rata-rata kehilangan cairan selama 24 jam, total 4,5 liter
KAEN 4A diadministrasikan dalam 24 jam selanjutnya.

HIPOKALEMIA
Iyan Darmawan

Pendahuluan
Hipokalemia (kadar kalium dalam darah < 3.5 mEq/L) adalah salah satu kelainan
elektrolit yang sering ditemukan pada pasien yang masuk rumah sakit.

Di Amerika Serikat, 20% pasien yang masuk RS dilaporkan mengalami hipokalemia,


namun hipokalemia yang signifikan secara klinis hanya terjadi pada 4-5% pasien
tersebut. Frekuensi hipokalemia pada pasien rawat jalan yang mendapat pengobatan
diuretik sebanyak 40%. Walaupun kadar kalium darah hanya 2% dari jumlah total
kalium tubuh dan pada banyak kasus tidak mengambarkan status kalium tubuh,
hipokalemia dapat dimengerti sebagai suatu intervensi medis mengambarkan kondisi
kalium tubuh dengan melihat kadar kalium dalam darah.

Patofisiologi
Perpindahan transeluler dari kalium dapat terjadi tanpa perubahan pada pompa kalium
sel. Hal ini terjadi karena faktor yang dapat menstimulasi perpindahan kalium dari
intravaskular ke dalam intraselular, faktor tersebut, antara lain glukosa, insulin, obatobatan adrenergik, bikarbonat, dan lain-lain. Insulin dan obat simpatomitetik
katekolamin diketahui menstimulasi pemasukan kalium ke dalam sel otot. Sementara
itu aldosteron menstimulasi pompa Na+/K+ ATP-ase yang berfungsi sebagai terminal
pada tubulus ginjal. Efek dari stimulasi ini adalah retensi natrium dan pengeluaran
kalium.
Pasien dengan asma di bawah pengobatan asma nebulisasi albuterol akan mengalami
penurunan serum K+ sebanyak 0.2-1.4 mmol/L sementara setelah pemberian dosis
kedua akan menurunkan hingga 1 mmol/L. Ritodrine dan terbutaline, sebuah inhibitor
kontraksi uterus dapat menurunkan kalium darah sampai 2.5 mmol/L setelah
pemberian IV selama 6 jam.
Teofilin dan cafein bukan simpatomimetik tetapi mereka dapat menstimulasi pelepasan
simpatomimetik-amin yang meningkatkan aktivitas pompa Na+/K+ ATP-ase.
Hipokalemia berat selalu menjadi gambaran dari keracunan teofilin. Kafein yang
terkandung dalam beberapa cangkir kopi dapat menyebabkan penurunan kadar kalium
darah sebanyak 0.4 mmol/L. Karena insulin menekan kalium ke dalam sel, pemberian

hormon ini selalu menyebabkan pengurangan sementara kadar kalium darah. Walaupun
demikian, kondisi klinis ini jarang ditemukan, kecuali pada overdosis insulin atau
selama pengobatan ketoasidosis diabetik.
Pengobatan lain yang dapat menyebabkan hipokalemia termasuk dibawah ini :

Diuretik tiazid
Hidroklorotiazid
Klorotoazid (Diuni)
Indapemid (Lozol)
Metolzaon (Zaroxolyn)
Diuretik loop
Furosemid (Lasix)
Bumetanid (Bumex)
Torsemid (Demadex)
Asam etakrinat (Edecrin)
Kortikosteroid
Amfoterisin B (Fungizone)
Antasida
Insulin
Flukonazol (Difucan) digunakan untuk infeksi jamur
Teofilin (TheoDur) digunakan untuk asma
Laksatif
Obat yang memiliki interaksi potensial lainnya termasuk digoksin, gambaran
penurunan kalium dalam darah dapat merupakan suatu efek keracunan digoksin

Kehilangan Kalium
Hipokalemia juga dapat disebabkan oleh manifestasi kehilangan cadangan kalium
tubuh. Dalam suatu kondisi normal diperkirakan jumlah total kalium tubuh adalah 50
mEq/kg berat badan dan kalium plasma adalah 3.5-5 mEq/L. Kekurangan masukan
kalium dalam makanan menyebabkan kehilangan cadangan kalium tubuh. Walaupun
ginjal merespon dengan mengurangi ekskresi kalium, mekanisme pengaturan ini hanya
cukup untuk mencegah terjadi kekurangan kalium berat. Umumnya, jika terjadi
kekurangan masukan kalium, derajat kekurangan kalium adalah derajat sedang.
Pengurangan masukan hingga 10 mEq/hari menghasilkan akumulasi jumlah

kekurangan hingga 250-300 mEq (sekitar 7-8% dari jumlah total kalium tubuh) dalam
7-10 jam. Setelah periode ini, kehilangan dari ginjal adalah minimal. Seorang dewasa
muda dapat mengkonsumsi hingga 85 mmol kalium perhari, sementara orang yang
lebih tua yang hidup sendirian atau lemah mungkin tidak akan mendapat asupan
kalium cukup pada diet mereka.

Kehilangan Kalium melalui Jalur Selain Ginjal


Kehilangan dapat terjadi melalui feses (akibat diare) dan keringat. Laksatif dapat
mengakibatkan kehilangan banyak kalium melalui feses. Hal ini harus dicurigai pada
pasien yang mau menurunkan berat badan. Hal lain yang dapat menyebabkan
kehilangan kalium adalah pengaliran cairan lambung (suction), muntah, fistula, dan
transfusi eritrosit.

Kehilangan Kalium melalui Ginjal


Diuretik dan aldosteron merupakan dua faktor yang dapat menurunkan kadar kalium
tubuh. Diuretik tiazid dan furosemid merupakan dua penyumbang terbesar penyebab
hipokalemia.

Implikasi Klinis pada Pasien dengan Penyakit Jantung


Bukan hal yang mengejutkan bahwa kekurangan kalium sering ditemukan pada pasien
gagal jantung kongestif. Terdapat suatu bukti yang menyatakan bahwa peningkatan
asupan kalium dapat menurunkan tekanan darah dan menurunkan risiko stroke.
Hipokalemia terjadi pada pasien hipertensi tanpa komplikasi yang diberikan diuretik

namun tidak sebanyak pasien dengan gagal jantung kongestif, sindroma nefrotik, dan
sirosis hepatis. Efek dari kalium pada tekanan darah juga mengurangi risiko stroke.
Kekurangan kalium sering dikaitkan dengan patogenenis dan keberadaan dari
hipertensi esensial. Terdapat misinterpretasi dari terapi ACE-inhibitor (misalnya
captopril. Dikarenakan obat ini dapat meningkatkan retensi kalium, dokter sering
menambahkannya pada terapi diuretik. Terapi pada banyak kasus penyakit jantung
kongestif dengan ACE-inhibitor, pengobatan ini tidak cukup untuk mengurangi
kekurangan kalium yang terjadi.

Derajat hipokalemia
Hipokalemia sedang didefinisikan sebagai penurunan serum kalium antara 2.5-3
mEq/L dimana hipokalemia berat ditandai dengan kadar kalium serum <2.5 mEq/L.
Hipokalemia dengan kadar < 2 mEq/L biasanya disertai dengan gangguan jantung dan
dapat mengancam nyawa.

Hipokalemia pada Anak


Hipokalemia pada anak juga dikenal sebagai salah satu ketidakseimbangan elektrolit
yang sering terjadi namun memiliki sejumlah manifestasi klinis serius seperti
kelumpuhan otot, kelumpuhan ileus, kelumpuhan otot bantu pernapasan, arritmia
jantung, bahkan henti jantung. Dari sebuah studi prospektif pada anak-anak yang
dirawat di rumah sakit8, didapatkan diagnosis hipokalemia ditemukan pada anak
dengan diare akut dan kronis dengan gambaran klinis kekakuan pada leher. Jumlah
total 38 anak didiagnosis dengan hipokalemia, gejala dan tandanya bervariasi sebagai
berikut :
Sebanyak 85% anak dengan hipokalemia menderita malnutrisi dan 50% tergolong
malnutrisi berat. Penyebab lain hipokalemia termasuk gastroenteritis akut dan kronik,

asidosis tubular ginjal, bronkopneumonia, dan pengunaan diuretik. Pemberian kalium


oral (20 mEq/L) pada kasus ringan dan pemberian kalium intravena 40 mEq/L pada
kasus berat diketahui aman dan efektif memperbaiki hipokalemia.

Hipokalemia pada Pasien Bedah


Hipokalemia biasa ditemukan pada pasien bedah. Kadar serum kalium < 2,5 mmol/L
sangat berbahaya dan harus diterapi segera sebelum proses anestesi dan pembedahan
Kekurangan 200-400 mmol dibutuhkan untuk menurunkan kalium dari 4 menjadi 3
mmol/L sama besarnya dengan kekurangan untuk menurunkan dari 3 menjadi 2
mmol/L.
Penyebab

Penurunan asupan: asupan kalium normal adalah 40-120 mmol/hari. Asupan ini
secara signifikan berkurang pada pasien bedah yang merasa tidak nafsu makan

dan sedang sakit.


Peningkatan asupan kalium ke dalam sel, alkalosis, kelebihan insulin, B-agonis,
stres, dan hipotermia. Semuanya menyebabkan perpindahan kalium ke dalam

sel. Hal ini bukan merupakan penyebab satu-satunya kekurangan kalium.


Kehilangan kalium secara berlebihan melalui traktus gastrointestinal: muntah,
diare, dan drainase merupakan gambaran pasien sebelum dan sesudah operasi
abdomen. Penyalahgunaan laksatif pada usia lanjut juga umumnya dilaporkan

sebagai penyebab hipokalemia preoperatif.


Kehilangan berlebihan pada urine, pada sekresi lambung, diuretik, metabolik,
asidosis, kekurangan Mg+, dan kelebihan mineralokortikoid menyebabkan
kehilangan kalium dalam urine. Mekanisme hipokalemia dalam cairan lambung
sangat kompleks. Bila cairan lambung hilang secara berlebihan (muntah atau
melalui pipa nasogastrik) akan menyebabkan peningkatan naHCO3 akan
ditransportkan ke tubulus ginjal. Na+ akan mengantikan K+ dengan konsekuensi
peningkatan ekskresi K+. Kehilangan K+ melalui ginjal sebagai akibat muntah

adalah faktor utama penyebab hipokalemia. Hal ini dikarenakan jumlah K + yang
disekresikan dalam lambung. Asidosis metabolik menghasilkan trasnport H+
kedalam tubulus ginjal dan K+ akan bertukar dengan Na+ dan meningkatkan

sekresi K+.
Kelebihan keringat dapat memperburuk hipokalemia

Risiko

Aritmia jantung, khususnya pada pasien yang mendapat terapi digoksin


Ileus paralitik memanjang
Kelemahan otot
Keram

Pendekatan Diagnostik

Anamnesis biasanya diawali dengan identifikasi faktor penyebab


pH darah dibutuhkan untuk mengetahui kadar K+ yang rendah. Alkalosis
biasanya hampir selalu berhubungan dengan hipokalemia dan penyebab
perpindahan K+ ke dalam sel. Asidosis menyebabkan kehilangan langsung K +
dalam urin.

Hipokalemia pada Pasien Stroke


Suatu penelitian observasional pada 421 pasien stroke9, 150 pasien dengan infark
miokardiak, dan 151 pasien rawat jalan dengan hipertensi, hasilnya telah dikumpulkan.
Hipokalemia ditemukan lebih sering ditemukan pada pasien stroke dibandingkan
dengan pasien dengan infark miokardiak, yaitu 84 (20%) berbanding 15 (10%) P =
0.008 atau pada pasien dengan hipertensi 84 (205) berbanding 13 (8%) p <0.01.
bahkan, ketika pasien yang telah mendapat diuretik telah dieksklusikan dari analisis :
56 (19%) berbanding 12 (9%) pada pasien infark p=0.014 dan 56 (19%) berbanding 4

(5%) pada kelompok hipertensi p= 0.005. dapat dipahami penurunan kadar kalium
dapat berhubungan dengan peningkatan risiko kematian.

Manajemen Hipokalemia
Untuk dapat memperkirakan jumlah pengantian kalium, kita harus mengeklusikan
faktor lain selain kehilangan kalium yang dapat menyebabkan hipokalemia seperti
insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi kadar serum kalium.

Jumlah Kalium
Meskipun perhitungan jumlah kalium dibutuhkan untuk menganti kehilangan tidak
berkomplikasi, tidak terdapat formula standar untuk menghitung jumlah kalium yang
dibutuhkan oleh pasien. Walaupun demikian, 40-100 mmol suplemen kalium biasanya
diberikan pada hipokalemia sedang dan berat.
Pada hipokalemia sedang (kadar kalium 3-3,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20 mmol
perhari dan pasien disarankan memakan makanan yang banyak mengandung kalium.
KCL oral kurang ditoleransi pasien dikarenakan dapat menyebabkan iritasi lambung.
Makanan yang mengandung kalium adalah yang menyediakan sedikitnya 60 mmol
potasium.11

Jalur kalium intravena


Pemberian tidak dibingungkan dengan dosis. Bila kadar kalium > 2 mEq/L kemudian
kecepatan kalium adalah 10 mEq/jam dan maksimum 20 mEq/jam untuk mencegah

terjadinya hiperkalemia. Pada anak-anak 0.5-1 mEq/KgBB/dalam pemberian 1 jam.


Dosis anak tidak boleh melebihi dosis maksimal dewasa.
Pada kadar < 2mEq/L dapat diberikan 40 mEq/jam melalui vena sentral dan
dimonitoring secara ketat di ICU. Koreksi cepat ini, KCl tidak boleh diberikan dalam
larutan bersama dengan larutan dekstrosa karena akan menyebabkan hipokalemia yang
lebih parah.

Koreksi Hipokalemia Preoperatif

KCl umumnya digunakan untuk mengganti kekurangan kalium yang juga

biasanya disertai dengan kekurangan ClBila hipokalemia disebabkan oleh diare kronik, KHCO3 atau kalium sitrat

mungkin lebih tepat diberikan.


Pemberian terapi kalium oral bila masih memiliki waktu koreksi dan tidak ada
gejala klinis yang tampak.

Pengantian 40-50 mmol dari kalium menghasilkan peningkatan 1-1,5 mmol/L kalium
darah, namun hal ini sementara karena kalium akan kembali masuk ke dalam sel.
Monitoring dari kalium darah diperlukan untuk memastikan apakah kekurangannya
telah dikoreksi.

Kalium Intravena

KCl harus diberikan secara intravena bila pasien tidak dapat makan atau

menderita hipokalemia berat.


Umumnya, KCl ditambahkan ke dalam cairan infus. Gunakan sediaan pabrik
pada koreksi hipokalemia berat (< 2 mmol/L). Lebih baik menggunakan cairan
NaCl dibandingkan dengan dektrosa. Dektrosa dapat menyebabkan penurunan
sementara kalium serum 0,2-1,4 mmol/L karena stimulasi insulin yang
disebabkan oleh glukosa

Cairan infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40

mmol K+/L. Cairan ini adalah cairan pengganti standar.


Jumlah normal salin yang besar akan menyebabkan kelebihan cairan. Jika
terdapat arritmia jantung, di mana membutuhkan suatu cairan yang
mengandung K+ yang lebih pekat diberikan melalui vena sentral dengan
monitoring EKG. Monitoring sangat diperlukan. Tinjau ulang sebelum

memberikan > 20 mmol K+/jam.


Konsentrasi K+ > 60 mmol/L harus dihindari diberikan melalui vena perifer
karena akan menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.

Kesimpulan
Hipokalemia adalah kelainan elektrolit yang sering terjadi dalam praktek klinis, yang
dapat mengenai dewasa dan pasien anak. Berbagai faktor yang perlu diidentifikasi
sebelum memulai tatalaksana pertama. Pemberian kalium bukanlah sesuatu yang harus
ditakuti oleh para dokter, umumnya pemberian dalam dosis aman untuk tiap derajat
hipokalemia telah diketahui. Pemberian kalium harus dipikirkan pada pasien dalam
kelainan jantung, hipertensi, stroke, dan kelainan lain yang menyebabkan kehilangan
kalium.

SINDROM BARTERR (POTASSIUM WASTING)


Budhi Santoso

Latar Belakang
Pada tahun 1962, Frederic Bartter pertama kali mengamati hubungan antara hiperplasia
kompleks jukstaglomelurus dengan hiperaldosteronisme dan alkalosis hipokalemia.
Dengan penemuan polymerase chain reaction (PCR) dan teknik analisis genetik
molekuler pada tahun 1980-an, sindrom Bartter bukan merupakan suatu penyakit,
melainkan beberapa kelainan berbeda yang terjadi pada 4 transporter di 2 bagian.
Pendekatan genetik molekuler terhadap permasalahan ini saat ini menunjukkan bahwa
mutasi pada gen yang mengkode ko-transporter Na-Cl sensitif tiazid atau kotransporter Na-K-2Cl sensitif bumetanid menyebabkan dua gambaran klinis dan
fisiologis khusus dari alkalosis hipokalemia. Mutasi ini selanjutnya menyebabkan
gambaran fenotipe yang disebut sindrom Barttler yang meliputi hiperkalsiuria dan
deplesi volume intravaskuler pada bayi baru lahir.

Definisi
Sindrom Barttler merupakan defek pada tubulus ginjal yang diwariskan dan
menyebabkan konsentrasi kalium dan klorida yang rendah sehingga menimbulkan
alkalosis metabolik. Sindrom Barttler bukan gangguan tunggal, tetapi merupakan
serangkaian gangguan yang berkaitan erat. Sindrom yang menyerupai sindrom Bartller
menunjukkan penampakan gangguan fisiologis yang sama, namun berbeda dalam hal
onset usia, gejala yang muncul, banyaknya ekskresi kalium dan prostaglandin urin, dan
banyaknya ekskresi kalsium urin. Setidaknya ada tiga fenotipe klinis yang dibedakan:

Sindrom Bartller klasik

Varian Gitelman

Varian Antenatal (disebut juga sindrom hiperprostaglandin E)

Penyebab
Penyebab penyakit ini belum dapat dijelaskan dalam waktu yang relatif lama.
Walaupun demikian, saat ini, dari tahun 1998-2002, beberapa penyebab berhasil
diidentifikasi. Sindrom Barttler dapat terjadi akibat mutasi yang menyebabkan
hilangnya fungsi pada gen NKCC2, ROMK, CLC-Kb dan barttin atau mutasi yang
meningkatkan fungsi pada gen reseptor peka kalsium. Sindrom Gitelman dapat terjadi
akibat mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi pada gen NCC. Penyebab berbeda
membutuhkan terapi yang berbeda dan memiliki prognosis yang berbeda pula.
Kenyataannya, kita tidak dapat menilai seluruh sekuens DNA pada rumah sakit biasa.
Oleh karena itu, tujuan penatalaksanaan adalah membuat standar diagnosis klinis
sehingga penanganan dapat dilakukan secara tepat.
Gejala

Fatique (kelelahan)

Poliuria (peningkatan frekuensi berkemih)

Polidipsia (peningkatan rasa haus)

Nokturia (bangun pada malam hari untuk berkemih)

Kelemahan umum

Salt craving

Dehidrasi

Kebingungan

Muntah

Kelemahan otot

Spasme otot

Tetani

Gagal tumbuh

Perawakan pendek (jika tidak ditangani)

Temuan Pemeriksaan Laboratorium dan Fisik

Kadar kalium dalam darah yang rendah

Kadar magnesium dalam darah yang rendah

Peningkatan renin

Peningkatan aldosteron

Alkalosis metabolik

Peningkatan sekresi prostaglandin E2

Eksresi kalsium urin normal-tinggi

Ekskresi Mg urin normal-tinggi

Kadar Mg dalam darah normal-rendah (20% pasien mengalami penurunan


kadar Mg)

Tekanan darah normal-rendah

Peningkatan ekskresi kalium urin

Peningkatan angiotensin II plasma

Nefrokalsinosis

Tetani, spasme otot. Tanda Chvosteks dan Trousseaus dapat muncul pada
hipokalemia, hipokalsemia, dan hipomagnesia pasien. Pada literatur terdahulu,
rikketsia juga tidak jarang dilaporkan.

Pada tahun 1997, Madrigal mendeskripsikan tipe sindrom ini di Kosta Rika
pada 16 dari 20 pasien dengan wajah khas, dibedakan dengan wajah berbentuk
segitiga, mata besar, dan telinga yang menonjol.

Delapan pasien lainnya mengalami tuli sensorineural yang ditentukan dengan


audiografi.

Penatalaksanaan

Sindrom Barttler diterapi dengan mempertahankan kadar kalium dalam darah di


atas 3,5 mEq/L. Hal ini dilakukan dengan diet kaya kalium.

Banyak pasien juga membutuhkan garam dan suplementasi magnesium serta


obat yang memblok kemampuan ekskresi kalium ginjal. Obat antiinflamasi
non-steroid (OAINS) juga dapat digunakan.

Kalium klorida: tergantung pada derajat disfungsi reseptor dan hypokalemia.


Kadar kalium dalam darah sering berkisar anatara 2-3 mEq/L yang
membutuhkan beberapa ratus miliekuivalen kalium setiap hari. Dewasa: 100200 mEq KCl per oral dosis terbagi empat kali sehari; lebih mudah dikonsumsi
dengan makanan. Anak-anak: 1-2 mEq/kg KCl per oral dosis terbagi empat kali
sehari; lebih mudah dikonsumsi dengan makanan.

Kami melaporkan bahwa infan dengan sindrom Battler neonatal mengalami


perbaikan dengan suplementasi kalium

Prognosis
Prognosis jangka panjang pasien dengan sindrom Barttler masih belum jelas. Infan
yang mengalami gagal tumbuh berat dapat tumbuh dengan normal bila diterapi.

Walaupun kebanyakan pasien tetap baik seiring perjalanan terapi, beberapa pasien
mengalami gagal ginjal.

Anda mungkin juga menyukai