PERUSAHAAN )
Kajian Publik Relation Memakai Program Corporate Social
Responsibility ( CSR ) Untuk Citra Perusahaan. "
Oleh :
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro
Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi
(economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program
sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan
rekanan dari masing-masing stakeholders.
Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ;
Bila ditelusuri, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian dan
tanggung jawab manajemen dan pemilik perusahaan terhadap masyarakat maupun
lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Investor hanya mengeduk dan mengeksploitasi
sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, tanpa memperhatikan faktor lingkungan.
Selain itu, nyaris sedikit atau bahkan tidak ada keuntungan perusahaan yang dikembalikan
kepada masyarakat. Justru yang banyak terjadi, masyarakat malah termarginalkan di daerah
sendiri.
Pada kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan.
Beberapa perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok sosial. Ada juga yang
berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan
gagal menarik simpati orang. Tujuannya mau berderma sembari meneguk untung citra, tetapi
malah buntung. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung
konsep yang baik.
Tujuan penulisan ini adalah untuk membuat konsep CSR yang efektif dan efisien
untuk diaplikasikan oleh perusahaan. Dengan mengumpulkan literatur dari berbagai sumber
yang sangat relevan di bidangnya, diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca,
khususnya praktisi dan peminat studi Public Relations (PR).
Public Relations
Public Relations (PR) menurut Jefkins (2003) adalah suatu bentuk komunikasi yang
terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi dengan semua
khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling
pengertian. PR menggunakan metode manajemen berdasarkan tujuan (management by
objectives). Dalam mengejar suatu tujuan, semua hasil atau tingkat kemajuan yang telah
dicapai harus bisa diukur secara jelas, mengingat PR merupakan kegiatan yang nyata.
Kenyataan ini dengan jelas menyangkal anggapan keliru yang mengatakan bahwa PR
merupakan kegiatan yang astrak. Sedangkan British Institite Public Relations mendefinisikan
PR adalah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam
rangka menciptakan dan memelihara niat baik (good-will) dan saling pengertian antara suatu
organisasi dengan segenap khalayaknya.
1. Publik internal dan publik eksternal: Internal publik yaitu publik yang berada di dalam
organisasi/ perusahaan seperti supervisor, karyawan pelaksana, manajer, pemegang
saham dan direksi perusahaan. Eksternal publik secara organik tidak berkaitan
langsung dengan perusahaan seperti pers, pemerintah, pendidik/ dosen, pelanggan,
komunitas dan pemasok.
2. Publik primer, sekunder, dan marginal. Publik primer bisa sangat membantu atau
merintangi upaya suatu perusahaan. Publik sekunder adalah publik yang kurang
begitu penting dan publik marginal adalah publik yang tidak begitu penting. Contoh,
anggota Federal Reserve Board of Governor (dewan gubernur cadangan federal) yang
ikut mengatur masalah perbankan, menjadi publik primer untuk sebuah bank yang
menunggu rotasi secara teratur, di mana anggota legislatif dan masyarakat menjadi
publiknya.
3. Publik tradisional dan publik masa depan. Karyawan dan pelanggan adalah publik
tradisional, mahasiswa/pelajar, peneliti, konsumen potensial, dosen, dan pejabat
pemerintah (madya) adalah publik masa depan.
5. Silent majority dan vocal minority: Dilihat dari aktivitas publik dalam mengajukan
complaint (keluhan) atau mendukung perusahaan, dapat dibedakan antara yang vokal
(aktif) dan yang silent (pasif). Publik penulis di surat kabar umumnya adalah the vocal
minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tak banyak.
Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara atau
pendapatnya.
Greener (2002) mengemukakan bahwa PR tidak satu arah arus informasi, ia memiliki
dua fungsi peran juga. Dapat, sebagai contoh, membantu membentuk organisasi anda dengan
informasi manajemen yang diharapkan, pendapat-pendapat dan hal-hal yang berkaitan
dengan masyarakat ini, dan menerangkan serta memberi nasehat tentang suatu tindakan yang
konsekuen. Dalam perannya ini, PR benar-benar merupakan fungsi manajemen, bertugas
dengan tanggungjawab menjaga reputasi suatu organisasi membentuk, melindungi dan
memperkenalkannya.
Dalam lingkungan bisnis yang berubah, PR ditempatkan pada platform yang lebih
tinggi. Kebutuhan perusahaan yang berkembang tidak hanya mengembangkan produk atau
jasa, tetapi harus berbuat lebih yakni membina hubungan positif dan konsisten dengan pihak-
pihak yang terlibat dengan organisasi. Oleh karena itu, agar berkembang dan berfungsi
optimal. PR harus didukung oleh berbagai pihak.
Citra Perusahaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah:
(2) Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau
produk.
(3) Kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau
kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi.
(4) Data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi.
Katz dalam Soemirat dan Ardianto (2004) mengatakan bahwa citra adalah cara
bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang , suatu komite, atau suatu
aktivitas. Setiap perusahaan mempunyai citra. Setiap perusahaan mempunyai citra sebanyak
jumlah orang yang memandangnya. Berbagai citra perusahaan datang dari pelanggan
perusahaan, pelanggan potensial, bankir, staf perusahaan, pesaing, distributor, pemasok,
asosiasi dagang, dan gerakan pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan
terhadap perusahaan.
Jefkins (2003) menyebutkan beberapa jenis citra (image). Berikut ini lima jenis citra yang
dikemukakan, yakni:
1. Citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota
organisasibiasanya adalah pemimpinnyamengenai anggapan pihak luar tentang
organisasinya.
2. Citra yang berlaku (current image). Adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh
pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi.
3. Citra yang diharapkan (wish image). Adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak
manajemen.
4. Citra perusahaan (corporate image). Adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan,
jadi bukan sekedar citra atas produk dan pelayanannya.
5. Citra majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau
perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang
belum tentu sama dengan organisasi atau perusahaan tersebut secara keseluruhan.
Soemirat dan Ardianto (2004) menjelaskan efek kognitif dari komunikasi sangat
mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan
dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung
menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan
citra kita tentang lingkungan. Public Relations digambarkan sebagai input-output, proses
intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang
diberikan dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Berikut ini adalah bagan dari
orientasi PR, yakni image building (membangun citra) sebagai model komunikasi dalam PR
yang dibuat oleh Soemirat dan Ardianto:
Perilaku para pengusaha pun beragam, dari kelompok yang sama sekali tidak
malaksanakan sampai kelompok yang menjadikan CSR sebagai nilai inti (core value) dalam
menjalankan usaha. Dalam pengamatannya, terkait dengan praktik CSR, pengusaha
dikelompokkan menjadi empat: kelompok hitam, merah, biru, dan hijau.
Kelompok hitam adalah mereka yang tidak melakukan praktik CSR sama sekali.
Mereka adalah pengusaha yang menjalankan bisnis semata-mata untuk kepentingan sendiri.
Kelompok isi sama sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial sekelilingnya dalam
menjalankan usaha, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya.
Kelompok merah adalah mereka yang mulai melaksanakan praktik CSR, tetapi
memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya.
Aspek lingkungan dan sosial mulai dipertimbangkan, tetapi dengan keterpaksaan yang
biasanya dilakukan setelah mendapat tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau
lembaga swadaya masyarakat. Kesejahteraan karyawan baru diperhatikan setelah karyawan
ribut atau mengancam akan mogok kerja. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok satu
(kelompok hitam) yang mendapat tekanan dari stakeholders-nya, yang kemudian dengan
terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial, termasuk kesejahteraan karyawan. CSR
jenis ini kurang berimbas pada pembentukan citra positif perusahaan karena publik melihat
kelompok ini memerlukan tekanan (dan gertakan) sebelum melakukan praktik CSR. Praktik
jenis ini tak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Kelompok ketiga adalah mereka yang menganggap praktik CSR akan memberi
dampak positif (return) terhadap usahanya dan menilai CSR sebagai investasi, bukan biaya.
Karenanya, kelompok ini secara sukarela dan sungguh-sungguh melaksanakan praktik CSR
dan yakin bahwa investasi sosial ini akan berbuah pada lancarnya operasional usaha. Mereka
mendapat citra positif karena masyarakat menilainya sungguh-sungguh membantu.
Selayaknya investasi, kelompok ini menganggap praktik CSR adalah investasi sosial jangka
panjang. Mereka juga berpandangan, dengan melaksanakan praktik CSR yang berkelanjutan,
mereka akan mendapat ijin operasional dari masyarakat. Kita dapat berharap kelompok ini
akan mampu memberi kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Dalam HUMAS disebutkan, bagi suatu perusahaan, reputasi dan citra korporat merupakan
aset yang paling utama dan tak ternilai harganya. Oleh karena itu segala upaya, daya dan
biaya digunakan untuk memupuk, merawat serta menumbuhkembangkannya.
Beberapa aspek yang merupakan unsur pembentuk citra & reputasi perusahaan antara lain;
(1) kemampuan finansial,
(5) reliability,
(6) inovasi,
(7) tanggung jawab lingkungan,
Arus globalisasi telah memicu dinamika lingkungan usaha ke arah semakin liberal,
sehingga mendorong setiap entitas bisnis melakukan perubahan pola usaha melalui penerapan
nilai-nilai yang ada dalam prinsip GCG, yakni: fairness, transparan, akuntabilitas dan
responsibilitas, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial.
Berdasarkan pertimbangan nilai dan prinsip GCG, maka dalam rangka meningkatkan citra
dan reputasi dan sebagai upaya untuk menunjang kesinambungan investasi.
Corporate Social Responsibility (CSR) telah diuraikan terdahulu bahwa sebagai suatu
entitas bisnis dalam era pasar bebas yang sangat liberal dan hyper competitive, perusahaan-
perusahaan secara komprehensif dan terpadu melakukan best practices dalam menjalankan
usahanya dengan memperhatikan nilai-nilai bisnis GCG, termasuk tanggung jawab terhadap
lingkungan, baik fisik (berkaitan dengan sampah, limbah, polusi dan kelestarian alam)
maupun sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan
diejawantahkan dalam kebijakan Kesehatan Keselamatan Kerja & Lindungan Lingkungan
(K3LL) dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility/CSR).
(1) Pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda dan mahasiswa termasuk di dalamnya);
(2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi;
Kemitraan dapat menghasilkan solusi antara argumen yang menekankan market atau
profit (the business of business is business yang memprioritaskan shareholders) dengan
argumen moral (atau Corporate Social Responsibility atau CSR yang memperhatikan
stakeholders). Dalam hal ini stakeholders termasuk lingkungan yang diam (silent
stakeholders atau flora dan fauna ). Dengan kata lain, kemitraan merupakan suatu investasi
bukan costdan dapat menghasilkan win-win solution atau sinergi yang menghasilkan
keadilan bagi masyarakat dan keamanan berusaha serta keserasian dengan lingkungan.
Hal yang sangat penting dalam kemitraan adalah data dan indikator maupun riset
mengenai siapa saja dan aspirasi mereka (stakeholders map and dialogue). Sebagai contoh
data mengenai komunitas, sumber daya air atau potensi UKM (Usaka Mikro Kecil dan
Menengah) akan membantu mengoptimalkan kinerja kemitraan.
Program kemitraan yang sukses atau productive dimulai dengan adanya kehendak
yang kuat dan tulus dari pimpinan di perusahan dan kelompok stakeholders. Di pihak
perusahaan, diperlukan adanya komitmen dari pimpinan perusahaan (CEO) yang berupaya
tanpa henti untuk mengubah paradigma konvensionl (self-interest) ke paradigma baru
(enlightened common interests). Kemitraan yang sukses dapat pula didorong oleh komisi atau
panel independen (Kasus BP di Tangguh, Papua) yang berfungsi sebagai ombudsman dan
melaporkannya pada pimpinan pusat perusahaan. Selain itu perlu meletakkan posisi unit yang
mengatur kemitraan (CSR) dalam struktur yang cukup penting dalam perusahaan. Demikian
pula staf unit CSR harus mempunyai kompetensi, pengalaman dan kecakapan sosial (social
skills) dan bukanlah orang buangan di perusahaan. Mereka harus sensitif pada kebutuhan
dan kondisi lokal termasuk menghormati simbol, nilai, situs sakral maupun keberadaan
pemuka masyarakat. Mencapai kemitraan yang sukses berarti selalu mempelajari dan
mengambil manfaat dari berbagai kasus yang gagal atau sukses (best practices) di masa lalu.
Selain itu perlu pula sosialisasi pada perusahaan yang masih belum sadar atas pentingnya
kemitraan dan CSR.
Keberadaan dan peran perusahaan tidaklah terlepas dari peran pemerintah dan
masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai penjamin keamanan dan penegak hukum
serta menciptakan iklim bisnis yang kondusif akanlah sangat menentukan dalam
keberlanjutan hidup perusahaan. Selain itu pemerintah dituntut untuk melakukan intervensi
pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong penggunaan renewable resources,
pengembangan eco-efficiency serta kebijakan distribusi resources yang mengindahkan
equity. Pemerintah juga diharapkan untuk berinisiatif membentuk forum stakeholders sebagai
wadah kemitraan yang disertai kegiatan dan indikator kinerja yang nyata. Seperti juga
perusahaan yang dituntut untuk melakukan CSR maka pemerintah harus pula memenuhi
political accountability terhadap warga negara pemberi mandat. Saat ini terdapat pro kontra
jika pemerintah daerah kurang berfungsi dan mendorong perusahaan (terutama dalam industri
ekstraktif) menjadi quasi government. Di satu pihak, hal ini akan menurunkan kewibawaan
dan peran pemerintah namun di lain pihak hal ini merupakan upaya pembelajaran dalam
pencapaian good governance. Salah satu ujian penting dari kinerja pemerintah adalah
mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah sehingga
mendukung segitiga kemitraan dengan perusahaan dan masyarakat.
Petkoski dan Twose (2003) mengatakan walaupun agenda CSR saat ini sedang
didewasakan, istilah CSR belum mengambil banyak peran di sektor publik, baik di negara
industri atau negara berkembang. Sebagian pemerintah yang berinisiatif melakukannya
dijuluki sebagai pro-CSR initiatives, meskipun begitu banyak orang sudah mendukung
secara efektif promosi tentang tanggung jawab sosial yang lebih besar. Sebagai contoh,
perangsang utama aktivitas sektor publik yang mempromosikan barang ekspor dan barang-
barang pendukung atau jasa cukuplah untuk mendapat tambahan devisa, tapi mereka masih
mempunyai dampak positif dengan memberi harapan bertanggung jawab produksi.
Para agen sektor publik yang tidak menggunakan ungkapan corporate social
responsibility tidak melakukan kegiatan apa pun. Tantangannya adalah mengidentifikasi
prioritas dan inisiatif dalam kaitan dengan pembangunan lokal dan nasional berdasar pada
kapasitas dan inisiatif. Ada satu kesempatan penting bagi sektor publik di negara berkembang
untuk memanfaatkan gairah CSR sekarang ini, sepanjang berada dalam tujuan dan prioritas
kebijakan publik dan mendorong pengakuan keduanya.
Perhatian yang bertumbuh seiring dengan potensi prioritas sektor publik dan CSR
pada aktivitas bisnis, paling sedikit mengenai sosial dan praktik manajemen lingkungan ke
hulu industri ekstraktif. Hal ini menerima tanpa bukti: bagaimana mungkin kebijakan publik
dirumuskan untuk memperkuat kesejajaran, sedangkan kepastian itu menghasilkan intervensi
keduanya optimalbaik untuk bisnis dan developmentdan feasibledalam batasan
hubungan kelembagaan para agen sektor publik dan pengarah nilai bisnis. Tabel yang
dirumuskan World Bank di bawah ini memberikan gambaran potensi kesejajaran antara CSR
dalam praktek bisnis serta kebijakan dan tanggungjawab sektor publik.
Pakar pemasaran Craig Semit yang merintis pendekatan baru CSR yang dia sebut The
Corporat Philanthropy berpendapat bahwa kegiatan CSR harus disikapi secara strategis
dengan melakukan alighment (penyelarasan) inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti
(core product) dan pasar inti (core market), membangun indentitas merek (brand indentity),
bahkan lebih tegas lagi untuk menggaet pangsa pasar, melakukan penetrasi pasar, atau
menghancurkan pesaing. Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporat inilah
yang memungkinkan alighment antara manfaat sosial dan bisnis dari kegiatan CSR yang
muaranya untuk meraih keuntungan materi dan keuntungan sosial dalam jangka panjang.
CSR tidak haram dipraktikkan, bahkan dengan target mencari untung. Yang
terpenting adalah kemampuan menerapkan strategi. Jangan sampai karena CSR biaya
operasional justru menggerogoti keuangan. Jangan pula karena praktik CSR masyarakat
justru antipati.
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah
saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap tahunnya
kepada stakeholders-nya. Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan sebagai acuan
oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.
Kemudian diharapkan sosialisasi wacana dan tren CSR ini, tidak hanya bergulir di
lingkup manajemen perusahaan tetapi juga kepada semua shareholders dan stakeholders
secara luas, agar implementasinya berlangsung secara elegan, dengan harapan perusahaan,
pemerintah, dan masyarakat sebagai komponen shareholders dan stakeholders bisa
mengambil peran yang signifikan, untuk mengeliminir resistensi kelompok-kelompok yang
senantiasa mengatasnamakan masyarakat untuk melakukan pemerasan kepada perusahaan
dengan mengusung tema-tema CSR dalam setiap aksinya, tapi tidak mengerti substansi CSR
itu sendiri, dan miskin data.
Dalam implementasi CSR ini public relations (PR) mempunyai peran penting, baik
secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di semua
bidang pembahasan di atas boleh dikatakan PR terlibat di dalamnya, sejak fact finding,
planning, communicating, hingga evaluation. Jadi ketika kita membicarakan CSR berarti kita
juga membicarakan PR sebuah perusahaan, di mana CSR merupakan bagian dari community
relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam
proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR.
Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka program
dan kegiatan CSR dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut :
1. Pengumpulan Fakta
Namun tidak semua pemuda tamatan sekolah menengah yang rendah tingkat
keterampilan kerjanya yang diidentifikasi sebagai masalah. Namun terbatas pada komunitas
sekitar lokasi perusahaan atau di beberapa kota. Jadi, dalam merumuskan masalah tersebut
PR mulai memfokuskan pada komunitas organisasi. Bila komunitasnya dirumuskan secara
sederhana, berarti komunitas berdasarkan lokasi yakni komunitas sekitar wilayah operasi
korporat. Namun bila komunitasnya dipandang sebagai struktur interaksi maka komunitas
tersebut lepas dari pertimbangan kewilayahan, tetapi lebih pada pertimbangan kesamaan
kepentingan.
Perencanaan merupakan sebuah prakiraan yang didasarkan pada fakta dan informasi
tentang sesuatu yang akan terwujud atau terjadi nanti. Untuk mewujudkan apa yang
diperkirakan itu dibuatlah suatu program. Setiap program biasanya diisi dengan berbagai
kegiatan. Kegiatan sebagai bagian dari program merupakan langkah-langkah yang ditempuh
untuk mewujudkan program guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan keharusan pada setiap akhir program atau kegiatan untuk
mengetahui efektivitas dan efisiensi program. Berdasarkan hasil evaluasi ini bisa diketahui
apakah program bisa dilanjutkan, dihentikan atau dilanjutkan dengan melakukan beberapa
perbaikan dan penyempurnaan. Namun dalam konteks community relations perlu diingat
bahwa evaluasi bukan hanya dilakukan terhadap penyelenggaraan program atau kegiatan
belaka. Melainkan juga dievaluasi bagaimana sikap komunitas terhadap organisasi. Evaluasi
atas sikap publik ini diperlukan karena, pada dasarnya community relations ini meski
merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi, tetap merupakan kegiatan PR.
Penutup
Untuk ke depan disarankan agar pengembangan program CSR mengacu pada konsep
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development). Prinsip keberlanjutan ini
mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola
lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta
strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial
yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses
pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah;
perusahaan, pemerintah dan masyarakat.