Anda di halaman 1dari 227

CECEP SYAMSUL HARI

Soska
Novel

Worldwide Copyright © Cecep Syamsul Hari


Email:
cecepsyamsulhari@yahoo.co.id
Official website:
http://www.freewebs.com/cecepsyamsulhari

Edisi E-book diterbitkan oleh:


Orfeus E-books
Januari, 2008

2
Cecep Syamsul Hari lahir di Bandung, Jawa Barat, Indonesia, 1
Mei 1967. Reputasinya sebagai penyair tak dapat dipisahkan dari dua buku
kumpulan puisinya yang paling dikenal: Kenang-kenangan (1996,
Remembrance) dan Efrosina (Euphrosine, cetakan pertama sebanyak 1.000
eksemplar pada tahun 2002; cetak ulang sebanyak 10.000 eksemplar pada
tahun 2005).
Karya-karyanya dipublikasikan secara internasional dalam sejumlah
jurnal dan antologi: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999),
Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings
(United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words:
Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001),
Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006).
Ia menerjemahkan sejumlah buku, antara lain: Para Pemabuk dan
Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja
(selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation
of Bukhari's hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short
stories of R.K. Narayan, 2002).
Ia pun menjadi editor sejumlah buku, di antaranya: Kisah-kisah
Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison
Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail,
et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of
Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004).
Pada tahun 2006, Cecep Syamsul Hari tinggal di Korea Selatan
sebagai sastrawan tamu (writer in residence) atas undangan Korea Literature
Translation Institute. Pada bulan Desember 2007 s.d. Februari 2008, ia
tinggal di Selangor, Malaysia, sebagai sastrawan tamu atas undangan Rimbun
Dahan Arts Residency.
Cecep Syamsul Hari adalah redaktur majalah sastra Horison. *

3
Daftar Isi

Tubuh Pria Itu Pecah Berkeping-keping

Ratusan Kupu-kupu Bersayap Warna-warni

Le Petite Soska

Dua Esai dan Tiga Surat Cinta

Testamen dan Buku Harian

Hanya Ada Satu Kali Penerbangan ke Kendari

Catatan

4
1

5
Tubuh Pria Itu
Pecah Berkeping-keping

6
UNTUK urusan nama, saya tidak semujur kakak saya.

Ayah saya, Rahmansyah Syaefullah, memberi saya nama Syamsul Heri

Rahmansyah. Tiga belas tahun kemudian seorang pegawai administrasi sekolah

dasar yang kemungkinan besar bermusuhan dengan huruf y dan patut diduga

sangat suka pada huruf a menulis di ijazah SD saya Samsul Hari; tanpa y dalam

Syamsul; mengubah e dalam Heri menjadi a; dan dengan tangan besi mengirim

Rahmansyah untuk selamanya ke pembuangan politik. Lebih dari itu, entah siapa

yang mengilhaminya, ia memberi saya nama depan: Cecep.

Ketika saya melanjutkan sekolah saya ke SMP, lalu ke SMA, kemudian ke

perguruan tinggi, nama saya harus sesuai dengan ijazah SD saya kecuali jika saya

mau mengurus kesalahan administratif itu melalui mekanisme birokrasi lembaga-

lembaga pemerintahan Orde Baru; dimulai dengan mengurusnya di unit yang

paling kecil, RT (Rukun Tetangga), dengan membawa surat keterangan dari

kepala sekolah yang wajib dilampirkan di ijazah SD; lalu Pak RT akan memberi

surat pengantar yang harus saya bawa kepada Ketua RW (Rukun Warga) untuk

mengurus surat pengantar Pak RW yang mesti saya bawa ke kelurahan untuk

mendapatkan surat pengantar serupa dari Kepala Desa yang wajib saya bawa ke

kecamatan. Setelah urusan dari RT hingga kecamatan selesai, saya harus pergi

membawa surat pengantar Pak Camat ke balai kota yang melalui salah seorang

pegawainya yang berwenang akan memberi saya rekomendasi untuk saya bawa ke

kantor catatan sipil yang akan mengubah akta kelahiran saya dan mengembalikan

nama saya ke jalan yang benar.

7
Ayah saya tidak memandang perubahan nama akibat kelalaian

administratif itu sebagai urusan penting. Begitu pun saya di kemudian hari

memutuskan berdamai dengan nama pemberian pegawai administrasi itu sampai

pada suatu hari di tahun 1986 saya melakukan pemberontakan kecil ketika saya

mulai mengirimkan puisi-puisi saya ke rubrik “Pertemuan Kecil” koran Pikiran

Rakyat yang waktu itu masih diasuh Saini KM. Jangan tanya saya apa nama

ijazah SD Saini KM. Saya tidak tahu. Yang saya tahu kemudian “KM” di

belakang Saini ternyata bukan seperti yang saya duga, Kartahadimaja, melainkan

nama lain. Pemberontakan kecil itu ialah dalam tulisan-tulisan saya, saya

menggunakan nama kompromistis: mempertahankan y dalam Syamsul, menerima

Hari untuk Heri, tidak lagi mengungkit-ungkit nasib Rahmansyah, dan menerima

nama depan Cecep itu, yang bagi masyarakat Sunda memiliki makna amelioratif

sebagai anak kesayangan. Demikianlah, nama itulah, Cecep Syamsul Hari, yang

kemudian lebih dikenal kawan-kawan saya ketika puisi-puisi saya kerap dimuat di

Pikiran Rakyat.

Untuk sementara waktu tidak muncul persoalan. Bahkan dengan bangga

saya dapat menuliskan nama kompromistis itu di KTP saya sampai suatu siang di

tahun 1999 saya pergi mengurus paspor ke kantor imigrasi. Saya memerlukan

paspor karena pada tahun itu saya diundang menghadiri Pertemuan Sastrawan

Nusantara di Johor Bahru, Malaysia. Rencananya, kami, delegasi Indonesia, akan

pergi naik kapal laut ke Batam, dan dari Pelabuhan Sekupang menyeberang ke

Singapura menumpang kapal cepat, lalu dari sana kami akan naik bis menuju

8
tempat acara itu diselenggarakan di Hotel Hyatt, Johor Bahru. Pengalaman pergi

ke Johor Bahru adalah pengalaman pertama saya naik kapal laut, “berkayuh”

dalam istilah orang Malaysia. Sejak itu saya jatuh cinta pada kapal laut meskipun

kesempatan berkayuh jarang sekali saya dapatkan.

Bersama berkas-berkas lain, di kantor imigrasi itu saya diminta

menyerahkan fotokopi ijazah saya. Maka, si pegawai administrasi yang imortal

seperti kesatria Highlander itu muncul kembali sebagai pemenang. Nama paspor

saya akhirnya terpaksa menyesuaikan diri dengan nama di dalam ijazah SD, SMP,

SMA dan perguruan tinggi saya.

Apalah arti sebuah nama, kata seorang pujangga Inggrisi yang namanya

memberikan arti yang besar dalam membersihkan kotoran dan aib salah satu

negeri moyang kolonialisme yang di masa lalu menyombongkan diri mengklaim

matahari tidak pernah tenggelam di wilayahnya itu. Untunglah pula ayah dan saya,

ketika saya berangkat dewasa dan mulai paham urusan-urusan administrasi

pemerintahan, tidak cukup gila untuk mengurus persoalan kecil yang menjanjikan

banyak kerumitan itu. Jadi, yang sudah terjadi, ya biarkanlah terjadi. Let’s gone

be bygone. Ini hanya persoalan sebuah kata yang tidak mau menerima kehadiran

huruf y; pertempuran diam-diam di dalam kata yang lain antara sesama huruf

vokal a dan e; dan Rahmansyah yang apa boleh buat dipaksa mati muda di

pembuangan politik.

SAHABAT-sahabat saya kemudian memanggil saya Cecep. Namun, di

kafe-kafe yang pernah saya kunjungi yang sebagian kecil di antaranya menjadi
9
kafe langganan saya, para penyanyi atau pelayan—selalu saja terbuka jalan yang

membuat sebagian dari mereka menjadi kenalan saya—biasa memanggil saya

Sam atau Mas Sam.

Sam menjadi semacam nama alias untuk kehidupan saya yang lain.

Kehidupan malam. Juga untuk kehidupan rehat siang atau jeda sore berongkos

mahal ketika saya merasa segar kembali dan siap menjalani sisa hari itu bukan

melalui siesta alias tidur siang seperti umumnya dilakukan para pekerja Meksiko

dan para penyair Yogya yang saya kenal, dan bukan juga dengan jalan-jalan sore

di mal seperti ditempuh para ABG di kota-kota besar, melainkan dengan segelas

machiato atau latte atau secangkir kopi pekat Italia yang kadang-kadang dicampur

light-rum.

Jauh sebelum kafe menjadi sangat populer di negeri saya yang sangat

rakus pada segala sesuatu berbau modis, dari mulai gaya pakaian sampai gaya

pemikiran, dari mulai gaya hidup hippies yang pura-pura populis hingga gaya

hidup borjuis yang pura-pura elitis, sebagai seorang remaja yang tumbuh di kota

besar saya sering mengunjungi tempat-tempat yang sejak awal tahun 1990-an,

melihat cara kerjanya, dapat dikategorikan sebagai kafe. Saya rasa itu dimulai

sejak saya duduk di kelas satu SMA ketika saya menjalin persahabatan dengan

seorang gadis. Sejenis persahabatan yang aneh karena beberapa hari setelah kami

duduk di kelas tiga sering pula kami melakukan aktivitas yang umumnya

dilakukan orang yang sedang berpacaran. Ya, semacam itulah. Berpegangan

tangan, duduk berdampingan saling merapatkan badan di halte bis kota atau

10
bangku taman sekolah, dan kadang-kadang juga berciuman. Yang terakhir ini

seingat saya hampir seluruhnya dilakukan di rumah gadis itu ketika kebetulan

hanya kami berdua saja yang sedang berada di ruang tamu, di ruang tengah atau

di ruang makan. Seingat saya pula, kami belum pernah berciuman di kamar

pembantu maupun di kamar mandi. Sedangkan di kamar tidur, kami hanya sekali

pernah melakukannya, di sebuah malam yang heboh ketika dengan kekuatan

banteng betina yang terluka gadis itu meninju dagu saya.

Diam-diam ternyata tumbuh juga perasaan cinta di dalam diri saya lengkap

dengan berbagai hukuman yang dapat dipastikan muncul mengiringi perasaan

semacam itu: cemburu, takut ditinggalkan, rindu, keinginan untuk sepenuhnya

memiliki, dan semacamnya. Karena saya belum pernah mengalami hal serupa

dengan gadis lain, saya kira gadis itu tak bisa tidak merupakan cinta pertama saya.

Nama gadis cinta pertama saya itu, Neni Aryani.

Neni dan saya memiliki hobi yang sama: bermain musik dan bernyanyi. Di

rumahnya kami sering memainkan lagu favorit kami berdua: Castles Made of

Sand atau dikenal pula dengan judul lain: Little Wing. Lagu itu tak bisa dipandang

sebelah mata. Itu sebuah komposisi sulit. Penciptanya Jimi Hendrix. Banyak

penyanyi yang membawakan kembali lagu itu dengan interpretasi musikal berlain-

lainan. Meskipun dasarnya merupakan komposisi rock namun para penyanyi jazz

sangat menyukainya dan lama kemudian lagu itu pun memasuki barisan standar

khasanah lagu-lagu jazz. Di tahun 1994 Tuck & Patti, duet pria gitaris berkulit

putih dan wanita vokalis berkulit hitam, mempopulerkan kembali lagu itu.

11
Kesannya jadi sakral. Di awal tahun 2000-an kelompok musik bersaudara, The

Corrs, kembali mempopulerkan lagu itu. Kesannya menjadi profan. Cair dan

seksi. Dulu, kami berdua biasa memainkannya dengan gitar dan piano. Neni

menarikan jari-jemarinya yang lincah namun gemulai di atas tuts piano dan

menyanyikan lagu itu dengan lengkungan-lengkungan suara yang sekilas mirip

Aretha Franklin. Mendesah dan membebaskan. Sementara pada saat yang

bersamaan saya mengiringi dentingan piano dan alunan suara Neni dengan petikan

gitar. Kadang-kadang kami menyanyikan pula Smoke Gets in Your Eyes dan Fly

Me to the Moon. Keduanya juga lagu standar jazz. Fly Me to the Moon biasa kami

mainkan tanpa gitar, Neni mengiringi saya menyanyikan lagu itu dengan

permainan piano yang sangat lentur, seperti tarian fokstrot.

Neni jauh lebih kaya daripada saya. Lebih tepat saya katakan ayahnya jauh

lebih kaya dibandingkan ayah saya. Ia sering mengisi kantong saya yang kerap

kosong dan mentraktrir saya minum, makan, dan nonton, dan saya membalasnya

dengan membantunya mengerjakan tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan di

rumah dan menjadi ensiklopedia ilmu pengetahuan yang sedang saja tebalnya bagi

rasa ingin tahunya yang besar. Singkatnya, kami saling mengisi kekurangan kami

masing-masing. Dengan sadar.

Saya percaya Neni dalam keadaan sadar pula ketika pada suatu hari di

tahun 1986—waktu itu kami baru saja lulus SMA yang berarti pula kini kami

bebas berbuat apa saja tanpa harus takut dimarahi guru—mengusulkan kepada

saya bahwa hubungan kami mulai hari itu harus secara tegas didefinisikan sebagai

12
sahabat saja. Tidak lebih tidak kurang. Menurutnya, hubungan kami tidak

mungkin di masa depan ditingkatkan menjadi sepasang kekasih serius apalagi

ditingkatkan lagi menjadi sepasang suami-isteri serius. Alasan Neni adalah ini:

kami sudah sangat terbuka satu sama lain sehingga apabila kami memutuskan

untuk menjadi sepasang kekasih lalu menikah kemudian menjalani kehidupan

sebagai ayah dan ibu dari sejumlah anak, pengetahuan kami masing-masing atas

kekurangan kami masing-masing akan menjadi senjata yang sangat berbahaya

untuk saling menikam dari belakang jika terjadi percekcokan atau perselisihan.

Pada akhirnya kami akan terpaksa bercerai. Dan perceraian selalu meninggalkan

luka yang pedih, dalam, dan lama. Seperti luka yang lama ditanggung Neni akibat

perceraian mama-papanya.

Bertahun-tahun yang lalu, mamanya tiba-tiba saja pergi dari rumah itu

dengan seorang lelaki yang lebih tampan dari iblis sebelum dikutuk karena

menolak bersujud di depan Adam. Meninggalkan Neni 15 tahun dan Nana 10

tahun. Kakak-beradik itu tiba-tiba tidak punya mama dan sebagai gantinya

menemukan papa yang dulu penyayang berubah menjadi pemabuk.

Begitulah, selepas SMA kami pun berpisah.

Saya melanjutkan pendidikan saya di IKIP Bandung, dan dua minggu

setelah saya lulus dari perguruan tinggi yang mencetak calon-calon guru itu

hingga sekarang saya telah menjalani berbagai jenis pekerjaan: loper koran;

penjaga toko pakaian; sopir angkot; pelayan rumah makan Padang; penjual polis

asuransi jiwa; pramuniaga mainan anak-anak; pramuniaga buku-buku pelajaran;

13
pramuniaga mobil bekas; makelar jual-beli tanah; distributor Amway (pekerjaan

ini telah berhasil melatih saya terampil memakai dasi); guru Tsanawiyah; guru

SMA; pegawai bagian penilaian kredit sebuah bank (dimungkinkan bekerja di

tempat itu karena dua sebab: pertama, saya mengantongi sertifikat lulus pelatihan

perbankan, dan kedua, isteri saya adalah salah seorang pemegang saham di bank

itu); editor bahasa sebuah majalah seni rupa; pemilik rental, sekaligus toko

perakitan, komputer; dosen tidak tetap di dua perguruan tinggi swasta untuk mata

kuliah sosiologi dan penulisan ilmiah; penyunting dan penerjemah lepas sebuah

penerbitan besar di Bandung; pemimpin redaksi sebuah jurnal puisi dan esai yang

sekali berarti setelah itu almarhum; manajer program sebuah yayasan penerbit

buku-buku seni rupa merangkap sekretaris pribadi seorang pelukis ternama; bos

outlet yang menjual berbagai jenis telefon genggam baru dan bekas beserta

seluruh aksesorisnya; dan dosen tamu di sebuah perguruan tinggi negeri untuk

mata kuliah penulisan kreatif. Nasib jugalah yang membawa saya menjadi salah

seorang redaktur sebuah majalah sastra yang paling panjang umur di sebuah

negeri yang tidak terlalu hirau pada umur manusia dan mahluk hidup lain.

Sementara itu, selepas SMA, Neni yang berparas bidadari itu melanjutkan

studinya dalam ilmu ekonomi di sebuah universitas di Singapura, lalu mengambil

master dalam hukum internasional di sebuah universitas di Amerika Serikat, dan

meraih gelar doktor dengan disertasi perihal cyber-crime di universitas lainnya

lagi di negara yang sama. Hingga beberapa tahun yang lalu, kami masih sering

kontak melalui surat-surat biasa dan surat-surat elektronik. Email terakhir yang

14
saya terima dari Neni, saya peroleh sekitar seminggu setelah Soeharto

memutuskan mengundurkan diri, dan setelah itu Neni seperti tiba-tiba ditelan

bumi, tak pernah terdengar kabarnya lagi. Saat ini usia kami masing-masing sudah

masuk kepala 3. Saya sudah punya seorang anak perempuan yang berkulit hitam

manis seperti ayahnya dan seorang anak laki-laki yang kulitnya putih-mulus

seperti ibunya. Si bungsu ini tampannya bukan main. Saya tidak tahu

ketampanannya diwarisi dari siapa. Jelas bukan dari saya. Semua orang tahu saya

jauh dari tampan seperti halnya panggang jauh dari api.

Mungkin ketampanan anak saya itu diwariskan dari kakeknya, ayah saya,

yang dulu di masa mudanya konon disukai para gadis.

DALAM pandangan Raudha, isteri saya, ayah saya setampan Frank

Sinatra. Tentu saja saya menolak keras pendapat isteri saya karena pada hemat

saya Frank Sinatra sama sekali tidak tampan. Saya kira hanya isterinya, mantan

pacarnya, dan orang aneh saja yang yakin Frank Sinatra tampan. Karena isteri

saya bukan isterinya dan juga bukan mantan pacarnya, jadi saya kira isteri saya

adalah orang aneh itu.

Ngomong-ngomong tentang isteri saya, sebenarnya Raudha adalah isteri

saya yang ketiga. Maksud saya, sebelum kawin dengan Raudha saya pernah dua

kali menikah dengan dua perempuan yang berbeda.

Pernikahan pertama saya dilakukan dengan hanya bermodalkan

keberanian. Modal nekat. Orangtua kami masing-masing tidak setuju kami

menikah karena menurut mereka usia kami masih sangat muda, lagi pula kami
15
masih kuliah dan oleh sebab itu lebih baik kami menyelesaikan kuliah kami dulu.

Kami tidak mempedulikan keberatan orangtua kami. Akhirnya mereka menyerah.

Saya dan Indah Rusmini pun menikah. Tidak dirayakan. Hanya keluarga dekat

saja yang diundang. Untunglah tidak dirayakan karena enam bulan kemudian kami

bercerai. Orangtua kami benar, kami masih sangat muda. Ego kami sama

besarnya. Kemauan kami untuk menang sendiri sama kuatnya. Semua urusan

rumah tangga dan semua perkara sepele menjadi persoalan.

Memasuki bulan ketiga perkawinan, “simfoni pecah piring”—istilah

sastrawan Medan, A. Rahim Qahhar—pun terjadi. Piring-piring mulai

beterbangan di dapur, kadang-kadang diterbangkan Indah dan lain waktu

diterbangkan saya, semuanya karena persoalan kecil, yang bermunculan dalam

kalimat-kalimat interogatif seperti ini: “Kenapa nasi belum matang?”; “Kenapa

nasi sudah matang tapi sayur lodehnya belum dimasak?”; “Kenapa sayur lodeh ini

terlalu asin?”; “Kenapa kaus kakimu bau sayur lodeh?”; “Kenapa kamu tidur

pakai kaus kaki?”; “Kenapa kamu membaca sambil tidur?”; “Kenapa cangkir kopi

kamu simpan di tempat tidur?”; “Kenapa kamu pulang telat dan mengganggu

tidurku?”; “Kenapa kamu pakai daster di dapur?”; dan sejenisnya, dan sebagainya.

Urusan musik dan penyanyi idola pun menjadi persoalan besar. Indah

selalu marah besar kalau saya mendengarkan Jimi Hendrix dan saya tak tahan

Rhoma Irama menggoda Indah sepanjang malam. Indah mengejek Jimi sebagai “si

Bising” karena petikan gitarnya yang mendengking-dengking dan saya membalas

ejekan Indah dengan menyebut Rhoma sebagai “si Gasing” karena gaya jogetnya

16
yang balik kiri lalu menghadap ke depan lalu balik kanan lalu menghadap lagi ke

depan lalu mengangkat kaki kiri lalu setelah kaki kiri diturunkan mengangkat kaki

kanan lalu setelah kaki kanan diturunkan berputar ke belakang sebelum akhirnya

kembali menghadap ke depan.

Lalu, ketika seekor kucing berbulu putih tebal dari negeri entah-berentah

tanpa diundang datang sebagai mahluk ketiga dalam kehidupan rumah tangga

kami dan saya memutuskan untuk memeliharanya, kepala ikan dan kucing itu pun

menimbulkan masalah yang berlaut-larut. Kami berdua penggemar ikan, cuma

saya tak suka kepala ikan dan Indah sebaliknya. Sejak kecil saya selalu memberi

kucing jenis apa pun yang saya pelihara kepala ikan karena menurut saya kepala

ikan jenis apa pun hanya pantas dimakan seekor kucing sedangkan bagi Indah

kepala ikan adalah bagian yang paling mewah dari seekor ikan. Maka berminggu-

minggu lamanya kosa kata “kepala ikan” dan “kucing” yang diungkapkan dalam

nada yang keras pun berhamburan ke seluruh sudut rumah kontrakan kami dan

gaungnya sampai ke rumah-rumah tetangga.

Namun, saya kira, yang membuat kami bercerai enam bulan setelah kami

menikah adalah karena Indah bersikeras tidak ingin punya anak sebelum

kuliahnya selesai dan kami berdua memperoleh pekerjaan tetap dan saya dapat

membeli rumah sendiri, dan sebelum semua cita-cita mulia itu tercapai ia

bersikeras pula tidak mau ber-KB dengan cara apa pun: memasang spiral, minum

pil antihamil, disuntik secara teratur atau menghitung-hitung kalender untuk

17
mengetahui masa subur dan masa tidak subur, dan dengan tegas menyuruh saya

memakai kondom.

Saya alergi kondom. Itulah persoalannya.

Setiap kali saya menyarungkan kondom ke tempat yang semestinya, tak

berapa lama kemudian tubuh saya dipenuhi bentol-bentol yang gatalnya bukan

main. Bayangkanlah melakukan hubungan intim sambil menanggung duka gatal

di seluruh tubuh. Saya bisa menerima menunda punya anak tetapi saya tidak bisa

menerima kenyataan harus memakai kondom, dan dengan demikian harus

menanggung duka gatal itu setiap kali melakukan hubungan seksual, untuk suatu

jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Siapa berani menjamin segera setelah saya

selesai kuliah saya dapat pekerjaan tetap dan segera setelah saya dapat pekerjaan

tetap saya bisa segera membeli rumah sendiri?

Saya pun akhirnya sadar bahwa saya tidak bisa meniru jejak teman kuliah

saya, Fais dan Dewi Kania, yang menikah di usia muda namun hidup rukun-rukun

saja. Maka pernikahan diam-diam itu pun berakhir pula dengan diam-diam,

dimulai di lingkungan keluarga dan diakhiri di lingkungan keluarga pula.

Meskipun terjadi banyak keributan selama masa perkawinan, ketika kami bercerai

kami melakukannya secara baik-baik. Inilah kata-kata Indah terakhir sebelum

kami resmi dipisahkan talak satu: “Indah harap Kakak menemukan pengganti

yang lebih baik dari Indah.” Dan inilah jawaban saya: “Kakak harap Adik pun

memperoleh pengganti yang lebih baik dari Kakak.”

18
Pengganti Indah Rusmini itu datang setahun kemudian, sebulan setelah

saya menempuh ujian sidang skripsi saya. Dan sesuai harapan Indah, isteri kedua

saya ini memang lebih baik dari Indah. Namanya Abidah as-Salihah, dan sesuai

dengan namanya ia betul-betul menempa dirinya sendiri sebagai `abd, hamba,

yang menjalankan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya.

Kecuali sedang haid, Abidah biasa puasa selang sehari atau lazim disebut

puasa Daud dan tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Pernah pada suatu

hari ia menangis dengan kesedihan yang sempurna dari pagi sampai datang waktu

shalat dhuhur. Saya sangat cemas melihatnya menangis begitu rupa. Ketika saya

tanya kenapa ia menangis demikian memilukan ia menjawab terbata-bata bahwa

hari itu ia terlambat shalat subuh. Seketika itu juga saya merasa sangat berdosa

dan meminta maaf kepadanya dan memohon ampun kepada Tuhan karena saya

pikir sayalah yang menjadi penyebab Abidah terlambat bangun dan ketinggalan

waktu shalat subuh. Mungkin ia kelelahan karena malamnya saya terlalu

bersemangat bercinta. Lepas shalat isya hingga pukul tiga dini hari kami

melakukannya tiga kali. Sebagai isteri yang salihah, ia mengikuti saja kemauan

suaminya. Saya memang keterlaluan. Sejak itu saya memutuskan melakukan

hubungan intim dengan Abidah hanya sekali seminggu, dan setiap hubungan intim

cuma dilakukan satu kali. Kelak keputusan bersejarah dalam kehidupan saya

sebagai lelaki dan sebagai suami ini saya berlakukan pula kepada Raudha.

Saya yang kurang memperoleh pendidikan agama dengan lembut diajari

Abidah berbagai cara untuk menemukan jalan ke surga. Sampai suatu ketika, tiga

19
bulan setelah hari perkawinan kami, Tamtamur, kucing peliharaan kami, tanpa

alasan yang jelas lari ke luar pintu pagar rumah kami dan Abidah yang

mencemaskan nasib Tamtamur mengejarnya untuk membawanya masuk kembali

ke dalam rumah. Seorang tukang ojek sepeda motor berkulit hitam-arang,

berambut lurus-panjang dan berkumis tebal yang mengebut motornya seperti setan

membanting setang motornya ke samping berusaha menghindari tabrakan dengan

Tamtamur karena para tukang ojek sepeda motor percaya menabrak mati kucing

adalah alamat akan memperoleh nasib sial seumur hidup. Tamtamur kami

tersayang selamat. Abidah saya tersayang tidak. Tubuh Abidah terlempar kembali

ke pintu pagar rumah kami setelah bagian belakang kepalanya membentur tembok

beton lebih dulu akibat hantaman sangat keras sepeda motor setan itu.

Selama dua minggu Abidah koma di rumah sakit dan pada hari kelima

belas ia membuka matanya sekerjapan, lalu bibirnya bergerak-gerak, dan ketika

saya mendekatkan telinga kanan saya ke bibirnya, Abidah berbisik lirih. Saya

kaget karena suara itu bukanlah suara Abidah melainkan suara yang belum pernah

saya dengar keluar dari mulut manusia mana pun sebelumnya. Mungkinkah suara

malaikat? Mungkin saja saya kira. Saya menduga di wilayah perbatasan antara

hidup dan mati, Abidah yang salihah itu meminta tolong kepada malaikat untuk

menyampaikan pesan terakhirnya kepada saya.

Inilah pesan terakhirnya: “Papa harus sabar. Ikhlaskan kepergian Mama.

Mama sudah menemukan jalan ke surga. Janganlah berlarut-larut dalam

kesedihan. Janganlah repot-repot mencari pengganti Mama. Mama sudah punya

20
calon pengganti Mama untuk Papa. Ia sepupu Mama sendiri. Mama yakin Raudha

tidak akan pernah mengecewakan Papa….”

Saya percaya pesan Abidah yang sudah menemukan jalannya sendiri ke

surga itu adalah amanat yang wajib saya jalankan. Saya pun tidak melarutkan diri

saya ke dalam kesedihan dan setahun setelah kematian Abidah saya menikahi

saudara sepupunya, Raudha, isteri saya yang sekarang, yang telah memberi saya

anak perempuan yang hitam manis seperti ayahnya dan anak laki-laki yang

kulitnya putih-mulus seperti ibunya. Si bungsu yang tampan. Yang

ketampanannya tidak mengikuti jejak ayahnya melainkan mengikuti jejak

kakeknya, ayah saya.

SETELAH saya pikir-pikir, alih-alih mirip Frank Sinatra ayah saya lebih

mirip aktor Kaharudin Syah yang pernah berperan sebagai Soeharto dalam film

Janur Kuning. Di zaman kejayaan penguasa Orde Baru yang sebagai jenderal

memasang lima bintang di pundaknya, jenderal bintang lima lainnya adalah

Panglima Besar Sudirman dan arsitek perang gerilya A.H. Nasution, film yang

menceritakan peristiwa pengambilalihan Yogya selama enam jam dari tangan para

serdadu Belanda dan di sana-sini cenderung mengultuskan Soeharto itu kerap

diputar meskipun tidak sesering film Pengkhianatan G-30 S/PKI yang bertahun-

tahun wajib ditayangkan TVRI setiap tanggal 30 September. Dalam film yang

disutradarai Arifin C. Noer itu yang berperan sebagai Soeharto adalah aktor

Amoroso Katamsi. Kalau dipikir-pikir lagi, ayah saya juga memiliki kemiripan

21
wajah dengan Amoroso Katamsi. Namun, ayah sendiri pernah berkata dengan

keyakinan yang luar biasa kepada saya bahwa wajahnya sangat mirip Al-Pacino.

Sejak rezim Orde Baru runtuh dan sang jenderal bintang lima yang

senyumnya dan sepak terjang anak-anaknya sangat terkenal itu lengser, Janur

Kuning dan Pengkhianatan G-30 S/PKI tidak pernah terdengar kabar beritanya

lagi.

Kembali ke Neni. Saya tidak tahu apakah saat ini ia masih tinggal di

apartemennya yang luas di Seattle, Amerika Serikat, atau sudah pindah ke kota

lain. Terakhir ia bekerja sebagai corporate-lawyer perusahaan teknologi informasi

yang berkantor pusat di Jerman. Emailnya terakhir memberi saya kabar bahwa ia

sudah menikah. Ia telah menemukan pria idamannya yang periang, bukan

pemabuk, kolektor pemantik api dan kisah-kisah lucu dari seluruh penjuru dunia.

Orang Indonesia juga. Batak Muslim. Suaminya, Ahmad Syubbanuddin Nasution,

adalah seorang doktor dalam ilmu politik lulusan Ohio State University.

Satu-satunya ironi, puncak dari puncak ironi saya kira, dalam hubungan

saya dengan Neni di masa silam adalah saya pernah bersikap sangat heroik

menolak keras ajakannya melakukan hubungan intim yang muncul dari suasana

tak terkendali sebagai konsekuensi logis dari peristiwa berciuman kami yang

kelamaan. Akan tetapi, malam itu ia dalam keadaan mabuk berat. Terlalu banyak

minum anggur koleksi ayahnya. Dan waktu itu saya berpikir adalah sebuah

tindakan yang tidak dapat dikatakan beradab melakukan persanggamaan dengan

seseorang yang secara temporer sedang kehilangan kesadarannya. Apa yang harus

22
saya jelaskan ketika ia memperoleh kesadarannya kembali, satu atau dua jam

kemudian, di kamar tidur penuh sapuan warna pink dan sesak dengan boneka

panda dan barbie, dan menemukan dirinya, diri kami berdua, telanjang seperti

sepasang domba yang bulu-bulunya habis dicukur, dan sadar bahwa

keperawanannya baru saja hilang? Jadi, sebagai jawaban atas ajakannya itu, saya

menampar pipinya. Saya kira tamparan saya sangat keras karena membuatnya

terjungkal ke ranjang dan baru siuman kembali kira-kira setengah jam kemudian.

Yang pertama kali dilakukannya setelah siuman adalah meninju dagu saya dengan

kekuatan banteng betina yang terluka. Kali ini, giliran saya yang terjengkang ke

ranjang.

NOVEL yang belum kelar saya tulis itu, dalam kepala saya, sebenarnya

sudah lama selesai. Catatan-catatan garis besarnya (rough draft), sudah pula saya

bereskan ketika saya diinapkan selama lebih kurang empat minggu di paviliun

penatar Pusat Penataran dan Pengembangan Guru (PPPG) Bahasa di Srengseng

Sawah, di daerah perbatasan Bogor-Jakarta yang dekat sekali jaraknya ke Depok,

pada bulan April 1999.

Nama kegiatan kerjasama majalah sastra Horison dan PPPG itu adalah

MMAS, singkatan dari “Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra” sebuah

program pelatihan yang bersifat workshop. Dalam pelatihan itu saya menjadi

asisten tetap Ismail Marahimin (dua asisten tetap lainnya: Maman S. Mahayana

dan Sunu Wasono) untuk materi menulis meskipun kadang-kadang saya juga

menjadi asisten serep Taufiq Ismail untuk materi apresiasi sastra apabila salah
23
seorang dari tiga asisten tetapnya (Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, dan Moh.

Wan Anwar) berhalangan.

Ismail Marahimin hingga pensiunnya adalah dosen dalam mata kuliah

menulis populer di Universitas Indonesia (UI). Di tahun 1970-an dia pernah

melahirkan sebuah novel dan peluang untuk menjadi satu-satunya novel yang

pernah dia tulis sangat besar. Saya kira, buku karangan Ismail Marahimin yang

dijadikan panduan materi dalam pelatihan MMAS dan juga merupakan buku teks

yang menjadi bacaan wajib para mahasiswa pengikut mata kuliahnya di UI,

Menulis Secara Populer, saat ini jauh lebih populer di kepala para guru di

Indonesia dibandingkan novelnya, Dan Perang Pun Usai.

Setiap malam ketika saya sudah selesai memeriksa tugas-tugas menulis

para guru peserta pelatihan MMAS, saya mengisi waktu saya dengan menulis

sketsa-sketsa peristiwa, tokoh-tokoh, dan latar untuk novel saya itu dan

memikirkan bentuk dan teknik penulisan yang kira-kira tepat untuk novel itu.

Saya juga sadar betul bahwa novel saya itu adalah novel dengan banyak tokoh

atau karakter. Dan karena saya seorang optimis, saya memandang banyaknya

tokoh atau karakter itu bukan sebagai kelemahan melainkan sebagai kelebihan.

Pada mulanya, dalam pikiran saya, dari segi bentuk dan teknik penulisan

novel itu haruslah berada di luar berbagai jenis novel yang pernah dikenal orang

selama tiga ratus tahun terakhir yang berdasarkan penelitian para sarjana sastra

Barat, setelah saya pelajari, dapat dikelompokkan ulang berdasarkan abjad sebagai

berikut: (1) antinovel; (2) anschauungsroman; (3) apollonian novel; (4)

24
autobiographical novel; (5) bildungsroman; (6) biblical novel; (7) black novel;

(8) crime novel; (9) critique novel; (10) christian novel; (11) deduction novel;

(12) demonology novel; (13) detective novel; (14) dramatic novel; (15) education

novel; (16) empirical novel; (17) epic novel; (18) epistolary novel; (19)

epistemology novel; (20) essay novel; (21) expedition novel; (22) experiment

novel; (23) erastianism novel; (24) fable novel; (25) filmy novel; (26) gender

novel; (27) genesis novel; (28) gothic novel; (29) hellenistic novel; (30) histamine

novel; (31) historical novel; (32) induction novel; (33) judaism novel; (34) kitsch

novel; (35) laxative novel; (36) machismo novel; (37) novel of manners; (38)

novel of manqué; (39) naïveté roman; (40) nouveau roman; (41) orpheus novel;

(42) picaresque novel; (43) pittoresque novel; (44) poetical novel; (45) poignant

novel; (46) proletarian novel; (47) proliferate novel; (48) psychological novel;

(49) psywar novel; (50) quipy novel; (51) quixotic novel; (52) renaissance novel;

(53) roman à bord; (54) roman à clef; (55) sadism novel; (56) science-fiction

novel; (57) scintillate novel; (58) sentimental novel; (59) senility novel; (60)

spiritual novel; (61) teenager novel; (62) ubiquitous novel; (63) utopian novel;

(64) verbiage novel; (65) vogue novel; (66) white novel; (67) whittle novel; (68)

xenophobia novel; (69) xylophonic novel; (70) yankees novel; (71) zealot novel;

dan (72) zest novel.ii

Tentu saja memilah-milah novel dari segi bentuk dan teknik penulisan

hingga mencapai 72 jenis adalah pekerjaan gila, dan setelah saya timbang-

25
timbang, menulis novel yang dari segi bentuk dan teknik penulisan harus berada di

luar berbagai jenis novel ini adalah pekerjaan yang jauh lebih gila lagi.

Menulis novel, ya, menulis novel, pikir saya. Apa pun yang perlu

dimasukkan, ya, dimasukkan, dan apa pun yang tidak perlu dimasukkan, ya,

dibuang saja, pikir saya lagi. Ke dalam jenis apa novel saya kelak dikelompokkan

orang, ya, wallahualam.

ISTILAH novel itu sendiri berasal dari bahasa Italia, novella, yaitu sebuah

prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks yang secara imajinatif berjalin-

berkelindan dengan pengalaman manusia melalui suatu rangkaian peristiwa yang

saling berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah

orang (tokoh, karakter) di dalam latar (setting) yang spesifik. Perlu digarisbawahi

bahwa pengertian fiksional itu sendiri senantiasa berkembang dari zaman ke

zaman.

Dalam perkembangan sastra Barat (Eropa dan Amerika), novel telah

menjadi genre sastra tersendiri dan dalam kerangka kerjanya yang luas

berkembang ke dalam berbagai jenis, seperti telah saya sebutkan di atas. Jenis

novel terkadang juga dirujuk melalui penandaan sejarah perkembangan

kesusastraan yang ditandai pandangan dunia yang dominan pada masa itu tempat

novel-novel yang menjadi wakil dari masing-masing pandangan dunia tersebut

dominan pula pada masanya, seperti novel-romantik (masa ketika kaum Romantik

dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra) dan novel-realis

26
(masa ketika kaum Realis dan pandangan-pandangannya menempati posisi yang

pernah ditempati kaum Romantik).

Meskipun bentuk-bentuk awal novel modern dapat ditemukan di sejumlah

tempat, antara lain pada zaman Roma klasik, di Jepang pada sekitar abad ke-10

dan ke-11, dan pada masa Elizabethan di Inggris, novel Don Quixote de la

Mancha (1605) karya pengarang Spanyol, Miguel de Cervantesiii, dipandang

sebagai asal-muasal novel modern. Tema novel tersebut, mengenai pertentangan

antara idealisme yang muskil versus kehidupan praktis dan membumi yang

dihadirkan dalam karakter seorang kesatria konyol yang bahkan dengan kincir

angin pun bertarung, dipercaya menjadi referensi literer novel-novel Barat

sesudahnya.

Sejumlah novel yang memikat perhatian diketahui telah bermunculan di

Perancis pada abad ke-17; akan tetapi di Inggris-lah novel sebagai suatu genre

sastra meletakkan dasar-dasar literernya melalui karya-karya novelis Daniel

Defoeiv dan Samuel Richardsonv pada pertengahan abad ke-18, sekaligus

memapankan posisi novel sebagai genre sastra yang memiliki akar literer kuat.

Popularitas novel kemudian menjadi umum di Eropa hingga memasuki abad ke-19

ketika ia berkembang bukan saja sebagai karya prosa naratif fiksional semata-

mata tetapi tumbuh sebagai bentuk karya sastra dengan variasi tema, karakterisasi,

plot, latar, dan gaya yang berbagai-bagai dan luar biasa.

Novel menjadi karya yang memikat perhatian banyak orang karena dapat

memberikan pencitraan dan perlambangan yang lebih meyakinkan (a more faithful

27
image) dari suatu realitas kehidupan sehari-hari daripada yang dapat dilakukan

genre sastra lainnya. Bahkan pun fantasi-fantasi extravagant novel-novel gothic

dan science-fiction, sumber-sumber inspirasinya dapat dilacak dari permukaan

realitas kehidupan sehari-hari. Kepercayaan terhadap takhyul dan alam

supranatural komunitas masyarakat tertentu, misalnya, menjadi sumur imajinasi

novel-novel gothic sedangkan kepercayaan terhadap suatu masa depan “yang

mungkin lebih baik sekaligus mengancam” menjadi oase imajinasi novel-novel

science-fiction. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa di kemudian hari para sineas

Hollywood mengeksploitasi profitasi kedua jenis novel ini dengan mengangkatnya

ke layar perak, seperti yang mereka lakukan terhadap karya-karya Marey Shelley

(Frankenstein, 1818), Bram Stroker (Dracula, 1879), dan H.G. Wells (The Island

of Doctor Moreau, 1896).

Pada dasarnya perkembangan novel menjadi bagian tak terpisahkan dari

sejarah tarik-menarik antara upaya si pengarang untuk keluar atau menyebal dari

konvensi-konvensi mapan sebuah zaman dan upaya untuk terus-menerus

menangkap, mengolah, menilai, melukiskan tanpa pretensi atau bahkan

melecehkan spirit zaman itu. Inilah yang menjelaskan kenapa novel-novel realis

dan naturalis bermunculan pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, sebuah

zaman ketika karya sastra menemukan audiensnya yang sangat luas dan media

massa belum begitu berperan. Pada masa inilah Charles Dickens, Thackeray dan

George Eliot menulis di Inggris; Balzac, Gustave Flubert dan Emile Zola di

Perancis; Turgenev, Tolstoy dan Dostoevsky di Rusia; Nathaniel Hawthorne dan

28
Herman Melville di Amerika. Novel menjadi referensi jurnalistik untuk

mengungkapkan realitas yang bersembunyi di tempat-tempat gelap karena

sempadan hipokrisi moralitas dan kesantunan semu aristokratis.

Dengan datangnya abad ke-20 dan akibat-akibat yang ditimbulkan

peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa itu, khususnya Perang Dunia I

dan II, karakter dalam novel pun menjadi semakin kompleks dan konvensi-

konvensi lama yang secara kuat direpresentasikan dalam bahasa dan struktur

novel sebelumnya, dipertanyakan. Hal itu antara lain dilakukan James Joyce,

Virginia Woolf dan Franz Kafka, para penulis yang memeriksa kembali

bagaimana realitas diletakkan “novel-novel konvensional” karena kesetiaan

terhadap konvensi-konvensi sastrawi lama. Pada masa yang sama dalam penulisan

drama (plays), Luigi Pirandello melakukan apa yang dilakukan Joyce dan Woolf

dalam novel; dan di wilayah kesenian yang lain, Igor Stravinsky membongkar

konvensi-konvensi lama musik klasik dan menulis sejumlah komposisi dengan

karaktrer baru yang menyebal dari “persoalan abadi” pertentangan antara harmoni

dan disonansi, tonalitas dan atonalitas, seraya mengedepankan konsep estetik

baru, suatu konsep tentang bunyi yang disusun kembali dari horison kreativitas

yang antara lain dapat kita simak dalam Le Sacre du Printers dan Symphony in

Three Movements.

Di Indonesia, novel-novel awal yang terbit pada zaman Balai Pustaka dan

Pujangga Baru dan masa-masa sesudahnya seperti yang misalnya terlihat dalam

karya-karya Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer hingga karya-karya

29
Mangunwijaya, Umar Kayam dan Ahmad Tohari, merupakan bagian tak

terpisahkan dari sejarah tarik-menarik itu. Kita juga menemukan kenyataan

adanya pencarian konvensi-konvesi baru sebagai upaya keluar dan menyebal dari

konvensi-konvensi sastrawi lama seperti terlihat pada novel Belenggu Armijn

Pane, yang dapat dikatakan sebagai tonggak novel Indonesia modern, dan pada

novel-novel yang ditulis Iwan Simatupang dan Budi Darma.

Pada lebih dari satu dasa warsa terakhir, cerpen, seperti juga puisi, tumbuh

pesat seiring dengan bermunculannya kolom budaya surat kabar yang

menyediakan rubrik khusus untuk kedua genre sastra itu, berdampingan dengan

majalah sastra Horison yang telah melahirkan banyak penyair dan pengarang

cerpen kenamaan sejak pertengahan tahun 1960-an. Sementara itu, kegairahan

menulis novel sampai akhir tahun 1990-an berlangsung biasa-biasa saja dan

mungkin itu pula yang menyebabkan kenapa ketika sebuah novel baru diterbitkan,

dari pengarang lama maupun baru, perhatian orang begitu besar. Itulah yang

terjadi pada Olenka dan Ny. Talis Budi Darma, Bumi Manusia dan Arus Balik

Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar Mangunwijaya, Ronggeng

Dukuh Paruk Ahmad Tohari, Para Priyayi Umar Kayam, hingga Saman Ayu

Utami.

Sejak awal tahun 2000-an penerbitan novel di Indonesia menunjukkan

peningkatan yang pesat dan para novelis berbakat pun bermunculan, misalnya,

untuk menyebut beberapa nama: Dewi Lestari, Eliza Vitri Handayani, Eka

Kurniawan, Dewi Sartika, Ratih Kumala. Pada sisi yang lain, gairah penerbitan

30
novel di Indonesia pertengahan pertama tahun 2000-an diramaikan pula dengan

bertaburannya novel-novel teenager yang memiliki ciri-ciri arbitrasi yang seragam

(homogeny arbitrary), baik dari aspek lingkungan sosial, kultural, psikologis,

maupun lingkungan kebahasaan. Segi struktur novel-novel teenager yang

cenderung ringan (light) ini, meskipun di sana-sini mengundang kritik dan

polemik, memperlihatkan resepsitas yang tinggi di kalangan para pembaca yang

menjadi sasaran-pasarnya.

Tidak ada cara yang lebih baik dalam mengapresiasi novel selain dengan

sebanyak-banyaknya membaca novel. Pengetahuan atas struktur novel, yaitu tema,

karakterisasi, plot, latar dan gaya, hanya diperlukan sebagai pengantar ke arah

pengoptimalan cara baca kita terhadap genre sastra itu.

Tema adalah ide sebuah cerita. Pada saat menulis cerita, pengarang bukan

sekadar ingin bercerita tetapi juga menyampaikan sesuatu kepada pembacanya

yang dapat berupa masalah kehidupan, pandangan hidupnya atau penilaiannya

terhadap kehidupan. Pada karya yang berhasil, tema tersembunyi dalam tindakan-

tindakan, pikiran-pikiran, dan ucapan-ucapan tokoh yang diciptakan pengarang.

Tema tidak harus berwujud ajaran moral (seperti yang dipercaya para penganut

mazhab lama kesusastraan) tetapi bisa semata-mata berwujud pengamatan

pengarang atas kehidupan. Tema dalam karya-karya besar novel modern

seringkali sederhana saja. Novel Boris Pasternak, Doctor Zhivago, misalnya,

temanya adalah percintaan antara Yuri (Zhivago) dan Lara (Larissa). Perjalanan

cinta mereka dibingkai latar peristiwa besar, yaitu revolusi Rusia. Tema yang

31
sama dapat kita temukan dalam novel Ernest Hemingway, A Farewell to Arms.

Hanya, dalam novel yang disebut terakhir, latarnya adalah Perang Dunia I. Pada

kedua novel yang mengantarkan para pengarangnya meraih hadiah Nobel tersebut,

sebagai pembaca kita dilibatkan ke dalam konflik dalam maupun konflik luar

tokoh-tokoh utama yang mempengaruhi perjalanan dan akhir kehidupan mereka.

Karakterisasi adalah perwujudan atau representasi watak atau personalitas

manusia dalam cerita fiksi. Pada novel-novel modern terdapat kecenderungan

untuk memberikan penekanan pada perwatakan tokoh (karakter). Karakter dalam

novel-novel modern, baik watak psikologis maupun sosialnya, biasanya kompleks.

Yang dimaksud watak psikologis adalah struktur jiwa tokoh yang bersangkutan

yang terkadang aneh, luar biasa, dan mengejutkan. Misalnya, seperti yang

diperlihatkan pembukaan novel Notes from Underground (Dostoevsky) berikut

ini: “I am a sick man… I am a spiteful man. I am an unattractive man. I believe

my liver is diseased.” Membaca pembukaan novel itu saja sudah dapat

dibayangkan kira-kira kita akan mengikuti karakter kehidupan macam apa. Watak

psikologis yang dimiliki sang tokoh akan membimbingnya pada watak sosial yang

dijalaninya dalam kehidupan ketika karakter yang bersangkutan bertemu,

bersentuhan, bersinggungan dan melakukan relasi sosial dengan karakter-karakter

lainnya. Pada novel-novel psikologis, Dostoevsky dipandang sebagai pelopornya,

perhatian pengarang yang memberikan penekanan pada watak psikologis tokoh-

tokohnya sangat terlihat. Di Indonesia, Budi Darma, pengarang beberapa novel

32
psikologis yang kuat, adalah contoh yang baik dari bagaimana seorang pengarang

membentuk watak psikologis tokoh-tokohnya.

Secara teknis, pengarang melukiskan karakter dalam novel dengan lima

cara: perbuatan tokoh, ucapan-ucapan tokoh, penggambaran fisik tokoh, pikiran-

pikiran tokoh, dan keterangan langsung pengarang. Dalam novel, kelima cara itu

digunakan secara optimal. Dalam penulisan cerpen, cara yang satu biasanya lebih

ditonjolkan dari cara yang lain.

Plot adalah rencana atau cerita utama suatu karya sastra dan disebut pula

sebagai struktur naratif. Dalam sejarah kritik kesusastraan, pengertian tentang plot

telah mengundang banyak perdebatan. Dalam Poeticsvi, Aristoteles menekankan

pentingnya plot dan menyebutnya sebagai “jiwa” (soul) dari suatu tragedi. Apa

yang disebut plot dalam cerita pada dasarnya sulit dicari. Ia tersembunyi di balik

jalan cerita (narasi). Akan tetapi, jalan cerita bukanlah plot melainkan manifestasi

atau bentuk jasmanih plot. Menurut E.M. Forstervii dalam Aspects of the Novel,

plot membutuhkan suatu level pengorganisasian naratif yang sangat tinggi

daripada yang misalnya biasa diperlukan dalam cerita-cerita fabel. Jalan cerita,

menurut Forster, adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun di dalam

rangkaian-waktu peristiwa-peristiwa itu (narrative of events arranged in their

time-sequence) tempat plot mengorganisasikan peristiwa-peristiwa itu dalam

kerangka pengertian hubungan sebab-akibat (sense of causality). Dengan

demikian, plot dan narasi memiliki pengertian yang berbeda meskipun kedua

pengertian tersebut sering dikacaukan. Narasi memuat peristiwa-peristiwa dan plot

33
menggerakkan peristiwa-peristiwa tersebut. Jika Aristoteles menyebut plot

sebagai jiwa dari suatu tragedi, kita dapat mengatakan bahwa plot adalah jiwa dari

suatu narasi.

Narasi mengandung perkembangan peristiwa di dalamnya dan yang

menyebabkan perkembangan peristiwa tersebut adalah konflik. Dengan demikian,

intisari plot adalah konflik. Konflik dalam novel tak bisa diperikan begitu saja dan

mesti ada dasarnya. Karena itulah plot sering dikupas menjadi elemen-elemen

berikut: pengenalan, timbulnya konflik, puncak konflik, dan akhir konflik—yang

dapat berupa klimaks maupun antiklimaks.

Latar adalah bingkai (frame) waktu, peristiwa atau lokasi tempat narasi

(jalan cerita) berlangsung. Dalam novel modern latar disusun pengarangnya

menjadi unsur narasi yang penting. Dalam sebuah narasi, latar berjalin-

berkelindan dengan tema, karakterisasi dan plot. Bagi sejumlah pengarang,

susunan dan perilaku tokoh yang ia ciptakan bergantung pada lingkungan tempat

tokoh itu berada dan diperlakukan sama pentingnya dengan personalitas tokoh

itu. Sebagai contoh, latar bagi Emile Zolaviii, novelis dan kritikus Perancis pendiri

gerakan naturalis, merupakan bagian sangat penting karena dia percaya bahwa

lingkungan (environment) menentukan watak seseorang. Pandangannya

dibuktikan dalam novelnya, Theresa. Kebetulan pada masa yang sama dalam

kriminologi berkembang “mazhab lingkungan” yang beranggapan bahwa

lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap menjadi jahat atau saleh seseorang.

Teori ini lahir sebagai kritik atas teori Lambrosso di Italia yang beranggapan

34
watak jahat diturunkan secara genetik dan bahwa ciri-ciri orang jahat dapat dilihat

dari bentuk fisiknya.

Latar juga menunjukkan aspek-aspek yang lebih terperinci dari waktu,

peristiwa atau lokasi. Jika berbicara tentang tempat, misalnya, maka ia mestilah

menunjukkan pula anasir lain yang hakiki dari tempat tersebut, seperti cara

berpikir penduduknya, kekhasan pakaian atau cara hidup mereka. Membaca

karya-karya R.K. Narayan, novelis dan pengarang cerpen India, kita akan

dipertemukan dengan pengetahuan mendalam pengarang yang bersangkutan

terhadap kota tempat tinggalnya (yang ia samarkan dengan nama “Malgudi”).

Graham Greene, novelis Inggris, mengaku bahwa ia mengenal India karena ia

membaca karya-karya R.K. Narayan.ix

Ahmad Tohari lewat Ronggeng Dukuh Paruk berhasil melukiskan

prototype desa kecil di Jawa; Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik

merekonstruksi kota Blambangan abad ke-15 dengan memikat; tak kalah memikat

pula, Eiji Yoshikawa, dalam Taiko, melukiskan latar kerajaan-kerajaan di Jepang

pada abad yang sama dengan Arus Balik; dan latar yang dipilih Budi Darma dalam

Olenka sangat mendukung tokoh-tokoh kesepian yang diciptakannya.

Dalam novel yang berhasil, latar terintegrasi dengan tema, karakterisasi,

gaya, maupun kaitan filosofis genre sastra itu dengan realitas. Latar tidak bisa

dipaksakan. Demikian pula apa yang sering disebut-sebut para kritikus sastra

sebagai “warna lokal”. Dalam novel, latar dan warna lokal muncul secara alamiah

berjalin-berkelindan dengan karakter-karakter yang dihadirkannya. Oleh sebab

35
itulah mencoba-coba mengubah latar Perang Dunia I dalam A Farewell to Arms

dengan latar Perang Dunia II, misalnya, akan menyebabkan novel tersebut

kehilangan kesatuannya. Pemilihan latar juga dapat membentuk tema atau plot

tertentu. Contoh dalam novel-novel Indonesia mutakhir adalah pemilihan latar

kehidupan tokoh-tokoh dari generasi in-between yang dilakukan Ayu Utami dan

Dewi Lestari yang dengan sendirinya membentuk tema dan plot yang khas, baik

dalam Saman dan Larung maupun Supernova dan Akar. Begitu pula latar

kehidupan tokoh-tokoh dari masa depan yang diangkat Eliza Vitri Handayani

dalam Area X, dan latar kehidupan tokoh-tokoh dari masa silam yang dihadirkan

Eka Kurniawan dalam Cantik Itu Luka, membentuk tema dan plot yang tak kalah

khasnya.

Dalam buku-buku pelajaran kesusastraan di Indonesia sering disebut-sebut

tentang gaya yang lazimnya dikupas dalam judul “Gaya Bahasa”, lengkap dengan

menyebutkan contoh penggunaan gaya bahasa itu, seperti: personifikasi, metafora,

peyoratif, amelioratif, totem pro parte, asosiasi, hiperbola, repetisi, dan lain-lain.

Pembicaraan tentang gaya bahasa biasanya kerap dilakukan ketika membahas

karya-karya para sastrawan Indonesia masa Pujangga Baru dan Balai Pustaka.

Memasuki periode 1945 dan sesudahnya, memperbincangkan “gaya” dalam

pengertian “gaya bahasa” tidak lagi memadai. Pengertian gaya telah berkembang

menjadi sangat luas meliputi bagaimana si pengarang menggunakan kalimat,

dialog, dan detail; bagaimana cara ia memandang persoalan; dan bagaimana ia

memilih bentuk dan teknik penulisan novelnya.

36
Menurut pengertian kesusastraan, gaya atau style (berasal dari bahasa

Yunani: stilus) adalah cara berekspresi yang lain daripada yang lain (a distinctive

manner of expression) yang membedakan satu pengarang dengan pengarang

lainnya meskipun menjadi sesuatu yang biasa pula manakala kita menemukan

keserupaan gaya antara satu pengarang dengan satu atau banyak pengarang

lainnya.

Dalam penggunaan kalimat ada pengarang yang sering menyampaikan

ceritanya, baik novel atau cerpen, dengan kalimat-kalimat pendek atau panjang,

kompleks atau sederhana. Gabriel Garcia Marquez dalam Tumbangnya Seorang

Diktator menggunakan kalimat-kalimat panjang dengan banyak sekali koma dan

titik koma; Mochtar Lubis menulis kalimat-kalimat sederhana dan pendek-pendek;

Virginia Woolf, Milan Kundera, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, dan

Hamsad Rangkuti menggunakan kalimat-kalimat panjang atau pendek secara

berirama; sedangkan kalimat-kalimat panjang atau pendek atau kedua-duanya

sekaligus yang bertendensi filsafat dapat ditemukan antara lain pada karya-karya

Iwan Simatupang. Namun demikian, gaya bercerita karya-karya besar dunia

biasanya sederhana, enak dibaca, kaya, dan padat.

Sifat ekonomis atau pemborosan dalam cerita juga merupakan unsur gaya.

Ada pengarang yang suka memperpanjang cerita, boros dengan kalimat dan

kadang-kadang kalimat yang satu hampir sama artinya dengan kalimat yang lain;

para novelis Jepang seperti Kawabata Yasunari, Natsume Soseki, Yukio Mishima,

Kenzaburo Oe, Kobo Abe (dilakukan pula sejumlah pengarang Jepang generasi

37
sesudahnya yang besar di negeri lain, seperti Kazuo Ishiguro) menggunakan

pengulangan-pengulangan kalimat yang dianggap perlu secara sengaja justru

untuk memperoleh efek estetika tertentu; ada juga pengarang yang betul-betul

hemat dengan kata-kata dan menggunakan kalimat yang perlu dan fungsional saja.

Yang juga menjadi ciri dari gaya seorang pengarang adalah penggunaan

dialog sebagai unsur utama jalan cerita. Umar Kayam termasuk yang sangat

efektif menggunakan kekuatan dialog sebagaimana Ernest Hemingway juga

melakukan hal serupa dalam karya-karyanya. Baik Kayam maupun Hemingway

membangun karakterisasi dan suasana melalui ucapan-ucapan tokoh-tokohnya.

Pengarang yang belum berpengalaman dengan teknik ini tetapi dengan keras

kepala mencobanya sering menjerumuskan ceritanya sendiri menjadi artifisial dan

dibuat-buat.

Penggunaan detail juga merupakan gaya pengarang. Dalam puisi, di

Indonesia, para penyair yang sangat teliti menggunakan detail dalam baris-baris

sajaknya adalah Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono; Idrus dan Hamsad

Rangkuti dalam cerpen; Pramoedya Ananta Toer dalam novel; Umar Kayam dan

Ahmad Tohari dalam novel maupun cerpen. Penggunaan detail ini juga

digunakan Franz Kafka bahkan sejak kalimat awalnya, seperti terlihat dalam

novelnya yang sangat terkenal, The Trial.

Banyak pembaca novel menyediakan dirinya sendiri untuk tergila-gila

pada karya pengarang tertentu; pada dasarnya mereka terpikat pada gaya si

pengarang itu.


38
NOVEL yang belum kelar saya tulis itu adalah sebuah novel cinta.

Berkisah tentang perjalanan hidup seorang lelaki yang di masa mahasiswanya di

tahun 1980-an, sezaman dengan masa mahasiswa saya, terlibat berbagai gerakan

pemikiran dalam cahaya pandangan filsafat dan ideologi yang berlain-lainan.

Khususnya sejak awal tahun 1980-an, gerakan pemikiran di kalangan mahasiswa

itu mengkristal dalam bentuk kelompok-kelompok diskusi yang tersebar di dalam

dan di luar kampus di seluruh Indonesia. Pada gilirannya kelompok-kelompok

diskusi inilah yang antara lain kelak menjadi dasar dari terbentuknya berbagai

organisasi-organisasi perlawanan di bawah tanah terhadap rezim otoriter Orde

Baru. Kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang kekuatan utamanya terletak

pada gerakan penyusupan pemikiran akan pentingnya perubahan ini merupakan

embrio dari gerakan-gerakan politik mahasiswa sepanjang tahun 1990-an yang

kemudian berkembang menjadi gerakan besar menumbangkan rezim Soeharto di

pertengahan kedua tahun 1990-an. Harus saya akui, melihat watak psikologis dan

sosial yang saya lekatkan pada lelaki itu, saya merasa bahwa dia, si tokoh utama

dalam novel saya, adalah alter-ego saya.

Sayang sekali bahwa sampai sebelum saya bertemu dengan kawan lama

saya, Abdullah Mahfuz, teman-temannya seangkatan memanggilnya Afuz, di

rumahnya di komplek perumahan dosen Universitas Tadulako, Palu, saya masih

belum punya model untuk tokoh utama saya. Sedangkan untuk nama, saya sudah

menemukannya: Kafka.

39
Aneh bukan, model untuk tokoh utama belum punya tetapi nama untuknya

sudah ada? Sebenarnya tidak aneh apabila saya ceritakan asal-muasalnya.

Malam itu saya sedemikian lelahnya setelah menunaikan salah satu tugas

wajib saya sebagai seorang suami, memberi isteri saya nafkah batin. Raudha pun

sama lelahnya. Kami berdua tertidur amat pulasnya.

Seorang pria kurus berkulit susu, bercuping telinga runcing, berambut

lebat-ikal, berkening luas dan lebar, beralis tebal, berbibir tipis, berhidung

bengkung, dan memiliki sepasang mata yang bulat berbinar-binar, mengunjungi

saya. Ia datang berpakaian setengah lengkap, memakai dasi garis-garis diagonal

dari bahan yang murah, berkemeja katun putih, berjas wol hitam tetapi hanya

bercelana pendek dan tanpa alas kaki. Tiba-tiba saja ia sudah berada di samping

saya yang dalam mimpi saya waktu itu sedang berdiri di depan sebuah lemari

buku yang tingginya menjangkau langit di sebuah perpustakaan mahaluasnya yang

belum pernah saya lihat di mana pun sebelumnya.x Saya memutar tubuh saya

hingga berhadap-hadapan dengan pria menyedihkan itu, dan ia pun berkata:

“Someone must have been telling lies about me, for without having done anything

wrong I was arrested one fine morning….” Dua detik kemudian, tubuh pria itu

pecah berkeping-keping, lalu kepingan-kepingan itu berubah menjadi serpihan-

serpihan kertas, kemudian serpihan-serpihan kertas itu perlahan-lahan saling

menyatukan dirinya kembali membentuk sebuah buku. Dasar mimpi. Saya tidak

merasa aneh, terkejut, heran atau takjub menyaksikan peristiwa ajaib itu. Saya

ambil buku itu, dan di sampulnya jelas terbaca: The Trial.

40
Saya terbangun dan segera membangunkan Raudha. Saya ceritakan mimpi

saya kepadanya. Raudha yang masih terkantuk-kantuk memandang saya dengan

perasaan penuh kasih. Lalu isteri saya yang kegilaannya pada novel menandingi

kegilaan suaminya pada puisi itu, berkata lirih: “Papa kan tahu The Trial itu novel

Kafka. Mama yakin pria dalam mimpi itu Kafka sendiri. Siapa tahu dia ingin

menyampaikan sesuatu yang ada hubungannya dengan novel Papa. Mungkin dia

ingin namanya jadi judul buku Papa.” Setelah itu, Raudha tidur kembali.

Tinggallah saya sendirian terjaga dan gelisah. Bahwa The Trial itu novel

Franz Kafka, saya tahu. Yang pria dalam mimpi itu ucapkan memang kalimat

pembuka The Trial yang aslinya berbahasa Jerman dan edisi Inggris-nya berbunyi

seperti ini: Someone must have been telling lies about Joseph K., for without

having done anything wrong he was arrested one fine morning….” Lalu saya

berselancar ke beberapa situs di internet mencari-cari foto Franz Kafka dan setelah

menemukannya yakinlah saya yang diyakini Raudha benar adanya. Pria dalam

mimpi saya itu adalah Franz Kafka.

Apakah Franz Kafka sebenarnya Joseph K. sendiri dan apakah Joseph K.

tak lain tak bukan Franz Kafka sendiri? Saya kira, satu-satunya orang yang tahu

pasti adalah Franz Kafka sendiri.

Di luar persoalan itu, bahwa Raudha mengaitkan Franz Kafka versi mimpi

dengan novel saya, bagi saya adalah sebuah tafsir mimpi yang cemerlang. Aneh

juga isteri saya menafsirkan mimpi itu dengan sangat baiknya padahal

sepengetahuan saya ia bukanlah pengikut Sigmund Freud mengingat begitu

41
seringnya ia mengkritik keyakinan dan definisi Freud tentang mimpi—bahwa

mimpi adalah “via regia” yang mengantar kita ke ketidaksadaran dan bahwa

mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi—

dan menyebutnya sebagai suatu pendekatan sistematis yang bersifat kuasi-ilmiah

untuk menghilangkan unsur-unsur ilahiah mimpi. Raudha percaya bahwa hakikat

mimpi secara maknawi jauh lebih kaya dan secara spiritual jauh lebih suci

daripada yang dipahami dan didefinisikan Freud. Bukankah dalam khasanah

eskatologis, mimpi merupakan salah satu dari 46 tanda kenabian? Untuk urusan

mimpi, Raudha lebih percaya pada sebuah kitab kuning karangan Ibn Sirin yang

dalam majelis Rebo-an pendapat-pendapatnya kadang-kadang dikutip uwak-nya,

Buya Mahmud, seorang ulama sepuh yang sangat dihormati di Cimahi.

Raudha juga selalu serius apabila sedang berbicara tentang psikoanalisa.

Adapun pendapatnya tentang psikoanalisa Freud adalah ini: “Gerakan

psikoanalisa bukannya membawa manusia semakin dekat ke dalam medan rahasia

pribadi manusia melainkan membawa manusia semakin jauh ke luar medan

rahasia pribadi manusia.” Dengan kata lain, Raudha yang komisaris sebuah bank

syariah ini, berpendapat bahwa Sigmund Freud telah gagal memahami jiwa

manusia.

Sejak malam itu saya pun membulatkan hati saya. Tokoh utama dalam

novel saya yang belum selesai-selesai itu jika kelak akhirnya kelar akan saya beri

nama “Kafka”. Nama itu juga akan menjadi judul novel itu. Kebetulan malam itu

di luar kamar tidur kami bulan penuh bercahaya. Bulan purnama. Maka saya

42
berpikir apabila Kafka dalam novel saya menuntut saya memberinya nama

belakang, “Purnama” akan menjadi nama belakang yang bagus untuknya. Sebuah

nama blasteran Austria-Hungaria-Indonesia. Dan setelah berulang-ulang saya

menggumamkan nama itu, Kafka Purnama, pada banyak kesempatan, ternyata

dari segi rhyme effect nama itu nyaman diucapkan dan enak didengar.

Keinginan untuk memberi judul novel saya sesuai tokoh utama, Kafka,

bertahan sampai pertengahan kedua tahun 2005, ketika saya diberi tahu sahabat

saya, Joni Ariadinata, bahwa sebuah novel berjudul Lorca telah diterbitkan. Novel

itu ditulis seorang pengarang yang saya lupa namanya.

“Tidak baik bagi publikasi, jika novel Akang bersikeras diberi judul Kafka.

Nanti dikira meniru-niru, meskipun novel Akang sudah bertahun-tahun

dikerjakan,” kata Joni.

“Punya ide yang lebih baik, Jon? Nama itu sudah terlanjur mendarah

mendaging dengan diri saya bertahun-tahun ini,” jawab saya.

“Bukankah sebenarnya novel itu lebih merupakan percintaan platonis

antara Kafka dengan Ran?”

“Masa?”

“Iya. Tafsirku mengatakan begitu. Meskipun Akang tidak secara langsung

mengisahkan Ran, dalam novel itu, sebenarnya Ran, hampir disebut dengan

seluruh kata-kata.”

“Jadi bagaimana menurutmu, Jon?”

“Sudah beri judul Ran, saja.”

43
“Itu judul film Akira Kurosawa.”

“Apa tuh, ya,” Joni terlihat bingung.

“Ya sudah, Jon. Saya ganti saja judulnya jadi Soska.”

“Soska?”

“Itu cara guru filsafat Kafka, Mr. Ismail Batubara, memanggil Kafka,

murid kesayangannya. Dia memanggilnya Le Petite Soska. Artinya: si sosialis-

kanan yang bertubuh kecil. Tapi Le Petite-nya kita buang…. ”

“Ya gitu aja Kang, gitu aja. Lagi pula Le Petite sudah terlanjur dipake

Wing Kardjo dan siapa tuh si pengarang Pangeran Kecil itu?”

“Antoine de Saint Exupéry.”

“Ya itu dia.”

Begitulah cara novel ini memilih judulnya sendiri: Soska.

SAYA seorang introvert. Pada saat saya masih seorang mahasiswa saya

lebih banyak berurusan dengan puisi dan kucing kesayangan daripada berurusan

dengan gerakan politik bawah tanah atau organisasi-organisasi mahasiswa di

dalam dan di luar kampus. Sebagian dari masa mahasiswa saya juga disibukkan

untuk mengurusi kehidupan perkawinan pertama saya yang lebih banyak ributnya

daripada damainya. Betul saya sudah menikah tiga kali, akan tetapi dari dulu

hingga kini tetap saja saya sangat tidak terampil membuat wanita jatuh cinta.

Mungkin karena saya tidak mahir merayu. Sementara tokoh utama saya itu dalam

hampir semua hal sebaliknya. Dia memang kadang-kadang menyukai hidup

sendiri tetapi itu disebabkan karena pandangan-pandangan filsafat dan aktivitas


44
politiknya serta sejarah kehidupan pribadinya di masa lampau yang psikologis dan

mistis sifatnya. Dalam kehidupan organisasi di kampus, dia adalah seseorang yang

mampu mengubah pandangan politik orang lain menjadi sepaham dengan dirinya.

Dia dapat membuat sahabat-sahabat dekatnya setia kepadanya. Bahkan bersedia

mati untuknya. Tentu saja untuk yang terakhir ini, saya sedikit melebih-lebihkan.

Satu-satunya persamaan saya dengan tokoh utama saya sangat bersifat

kebetulan, kira-kira seperti persamaan Hemingway dengan seorang letnan warga

negara Amerika, Frederick Henry, tokoh utama dalam A Farewell to Arms, yaitu

bahwa di masa paling ranum dalam kehidupan saya dan tokoh utama saya, masa

ketika kami setiap hari kecuali Minggu berseragam SMA putih-abu, kami berdua

pernah mencintai seseorang. Seperti Frederick Henry mencintai suster

berkebangsaan Inggris, Catherine Barkley. Siapa wanita yang menjadi cinta

pertama saya, sudah saya ceritakan. Sedangkan nama wanita yang menjadi cinta

pertama tokoh utama saya adalah Yulia Maharani. Tokoh utama saya memiliki

panggilan kesayangan untuknya: Ran.

Kemudian, Nasib mengutus saya untuk sering bepergian ke daerah-daerah.

Sampai akhir tahun 2004 saya sudah pergi ke semua provinsi kecuali Aceh dan

Papua untuk urusan-urusan yang pribadi sifatnya, dan untuk urusan dua pekerjaan:

MMAS dan SBSB. MMAS sudah saya ceritakan. SBSB adalah singkatan dari

“Sastrawan Bicara Siwa Bertanya”, sebuah kegiatan yang pada intinya

mempertemukan para sastrawan Indonesia dan karya-karya mereka langsung

45
dengan para siswa sekolah menengah atas, siswa-siswa Madrasah Aliyah, dan

para santri.

Seringnya saya bepergian ke daerah-daerah itu ternyata mendatangkan,

dalam istilah Buya Mahmud, “barokah”. Pada suatu hari di bulan April 2003

ketika saya berada di Palu selama lebih kurang dua minggu akhirnya saya

memiliki kesempatan menemui Afuz.

Saya hanya pernah sekali bertemu dengan Afuz setelah penerima beasiswa

Tunjangan Ikatan Dinas (TID) ini dikirim sebagai tenaga dosen ke Universitas

Tadulako. Itu terjadi pada suatu siang di tahun 1997 di bandara Soekarno Hatta.

Saya sedang check-in untuk mendapat nomor seat di sebelah pintu darurat dalam

pesawat yang akan membawa saya ke Padang sedangkan Afuz yang pergi

berombongan juga sedang check-in pesawat dari perusahaan penerbangan yang

sama yang akan membawa dia dan rombongannya pergi ke tujuan lain. Saya lupa

ke mana. Yang jelas bukan ke Palu. Kami tak sempat bicara panjang lebar. Sosok

Afuz yang tinggal dalam ingatan saya ternyata tak banyak berubah, masih

langsing dan kurus. Tetap ramah, dan senyumnya yang dulu sangat terkenal juga

masih menjadi ciri khasnya. Satu-satunya yang berubah dalam dirinya adalah

rambutnya yang tambah tipis.

Setelah pertemuan di bandara itu, kabar tentang dirinya sayup-sayup

sampai, misalnya bahwa ia menyelesaikan program masternya di Universiti

Kebangsaan Malaysia. Menurut isteri saya, ia pernah dua kali berkunjung ke

rumah kami ketika ia sedang berada di Bandung mengikuti seminar atau acara

46
sejenisnya dan pada dua kali kesempatan ia berkunjung itu kebetulan saya sedang

tidak ada di rumah. Saya lupa sedang berada di mana saya saat itu.

Meskipun selama menjadi mahasiswa hubungan pertemanan Afuz dan

saya biasa-biasa saja, saya tidak bisa melupakan sebuah fase dalam hubungan

kami yang bukannya menjauhkan tetapi malah mendekatkan kami. Fase itu adalah

ketika kami sama-sama mencintai seorang gadis berkulit terang dan wajahnya

lembut rupawan. Nama gadis itu Ratna Suminarsari. Cinta yang kami duga segi

tiga itu ternyata jajaran genjang karena rupanya cinta Ratna sudah lama dijatuhkan

kepada orang lain. Kemudian kami tahu orang lain itu adalah teman sekelas dan

seangkatan kami sendiri. Sebut saja namanya: X.

Ya, begitulah. Setelah itu saya dan Afuz seperti disatukan oleh perasaan

senasib-sepenanggungan, sejinjing-sepikulan. Di kemudian hari perasaan senasib-

sepenanggungan sejinjing-sepikulan sebagai dua orang yang kalah bersaing itu

saya abadikan dalam sebuah sajak berjudul “Sebelum Makan Malam”. Sajak itu

saya bawa ke Palu untuk saya perlihatkan kepada Afuz.

Perihal Ratna, saya dan Afuz dan juga kawan-kawan lain seangkatan di

program S-1 maupun D-3, tidak ada yang mengira akan meninggal dalam usia

masih sangat muda. Gadis yang baik itu. Yang senyumnya bagai buaian itu. Tuhan

punya cara aneh dan beragam mengambil nyawa seseorang. Ratna dipanggil

pulang kepada-Nya justru ketika ia sedang menjadi tamu-Nya dalam musim haji

tahun 1990. Ratna yang waktu itu terpisah dari ayah-ibunya terperangkap dalam

kerumunan panik para jemaah haji di terowongan Harat al-Lisan di Mina. Konon,

47
menurut, saya lupa Fais atau Nirwan, kematian kekasihnya itulah yang membuat

X menghilang dari kampus selama setahun.

Kehilangan orang yang pernah kita cintai, meskipun orang yang pernah

kita cintai itu tidak pernah mencintai kita, adalah kesedihan yang menekan.

Seandainya X tahu sedalam apa duka saya dan Afuz mendengar kabar

meninggalnya Ratna….

DIANTAR Pak Wagimin, sopir yang memandu kami ke mana pun kami

pergi di Palu, saya meninggalkan Hamid Jabbar dan Jamal D. Rahman di hotel itu

dengan perasaan rusuh. Saya mendengar TNI sedang mempersiapkan sebuah

operasi besar-besaran untuk menumpas GAM di Aceh. Malam sebelumnya saya

menerima telefon dari Ceu Ati, isteri kakak saya, bahwa kakak saya yang

memimpin sebuah LSM di Banda Aceh berkali-kali dipanggil aparat keamanan

setempat untuk dimintai keterangan seputar kegiatan organisasinya yang diduga

ikut memfasilitasi aktivitas penggalangan opini publik di dalam negeri yang

dianggap menguntungkan GAM. Aktivitas kakak saya dan LSM-nya sebenarnya

sebatas memberikan konseling psikologis kepada masyarakat sipil yang anggota

keluarganya menjadi korban tewas atau hilang selama pemberlakuan Daerah

Operasi Militer (DOM) di masa Orde Baru. Tidak lebih dari itu.

Saya dan kakak saya hanya berselisih umur dua tahun. Dalam hampir

semua hal kami memiliki kemiripan: bentuk rambut, bentuk dahi, bentuk alis,

bentuk mata, bentuk hidung, cara berjalan, tinggi badan, susunan gigi, cara bicara,

begitu pun warna kulit sehingga apabila kami kebetulan berjalan berdampingan
48
orang mungkin akan menduga kami berdua saudara kembar. Akan tetapi, apabila

orang lebih jeli lagi memperhatikan sebenarnya ada pembeda yang sangat penting

untuk menandai yang mana kakak saya dan yang mana saya. Tahi lalat. Saya

memiliki tahi lalat di pipi sebelah kanan sedangkan kakak saya tidak memilikinya.

Pembeda lainnya tentu saja nama. Nama kakak saya adalah Dewa Bujana

Rahmansyah. Karena ia lebih sering menggunakan namanya tanpa Rahmansyah,

ia kerap diduga lahir di Bali. Entah apa yang ada dalam pikiran ayah saya

sehingga memberi nama kakak saya seperti itu. Di kemudian hari nama kakak

saya tanpa Rahmansyah diketahui sama persis dengan nama gitaris kelompok

musik Gigi.

Ceu Ati berkata sudah seminggu Dewa tidak menelefon. Itu di luar

kebiasaan. Biasanya setiap hari ia menelefon, dan setiap hari dua kali ia

menelefon. Malam di atas pukul sebelas, dan sore di bawah pukul enam. Telefon

genggamnya pun sulit dihubungi. Segera setelah menerima telefon Ceu Ati, saya

mencoba mengontak Dewa, berulang-ulang. Berkali-kali pula gagal. Saya sangat

cemas karena saya tidak kenal seorang pun di Aceh kecuali seorang penyair yang

dulu tidak sengaja tertukar fotonya dengan foto saya di halaman biodata buku

Mimbar Penyair Abad 21 terbitan Balai Pustaka, 1996. Seingat saya nama penyair

itu Noerdin F. Joes.

Membawa perasaan rusuh karena khawatir atas nasib Dewa ditambah

tangisan Ceu Ati di telefon yang menambah cemas itulah saya pergi menuju

rumah Afuz.


49
SEKITAR pukul tiga dini hari, saya baru meninggalkan rumah Afuz. Ia

sebenarnya meminta saya untuk tidur di rumahnya tetapi saya menolak halus

kebaikan hatinya karena masih ada laporan yang mesti saya tulis dan lima jam ke

depan saya masih harus bertugas sebagai presenter untuk para sastrawan tamu

kegiatan SBSB di SMU Bala Keselamatan.

Afuz memberi tahu saya bahwa lebih kurang sebulan sebelumnya, X juga

berada di Palu. Ia tinggal di hotel yang sama dengan tempat saya menginap. Tak

lama, cuma dua hari. Dalam setahun terakhir, X dan Afuz tiga kali bertemu. Afuz

adalah contact-person X di Palu dan bertugas mengurus semua appointment X

dengan para pemohon dana bantuan, baik lembaga maupun perorangan, yang

dialamatkan ke yayasan asing tempat X bekerja, Freedom for Asian Foundation.

Berbeda dari biasanya, pada kunjungannya terakhir ke Palu, X tidak

datang sendirian. Seorang perempuan muda menemaninya. Penampilannya seperti

seorang mahasiswi. X mengenalkan perempuan itu kepada Afuz. Afuz lupa nama

perempuan itu.

Hal lain yang tak kalah anehnya, X menemui Afuz seperti seseorang yang

tahu tidak akan pernah lagi bertemu dengan sahabatnya. Seperti seseorang yang

datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Yang membuat Afuz terkejut dan tak

habis pikir, X membawa sebuah testamen yang ditandatangani seorang notaris di

Jakarta yang isinya antara lain menyebutkan bahwa X mewariskan separuh dari

kekayaan pribadinya untuk ketiga anak Afuz.

50
Malam itu, dari perbincangan saya dengan Afuz, pengetahuan saya

tentang X bertambah sedemikian banyaknya. Ada juga yang sangat pribadi

sifatnya. Afuz juga mengatakan kepada saya bahwa di dalam ingatan X, saya tak

kurang tak lebih hanyalah “si penyair yang mengunci pintu” dan “seseorang yang

pendiamnya minta ampun”. Dan ini yang membuat saya tertawa tergelak-gelak:

sejak zaman mahasiswa kami dulu hingga pertemuan dengan Afuz itu, X yakin

benar bahwa saya seorang homo.

Dalam perjalanan pulang ke hotel, menembus jalanan dini hari kota Palu

yang sudah sepenuhnya menjadi sepi, saya tahu novel saya akhirnya akan selesai.

BAHKAN sebelum pesawat Merpati pukul satu siang dari Palu di hari

Jumat yang panas itu tinggal landas, saya sudah memutuskan X adalah model dari

tokoh utama novel saya. Ketika transit di Makassar dan dalam penerbangan

pesawat yang sama menuju Surabaya saya mulai memetakan dan mengembangkan

karakter tokoh utama saya. Ketika transit di Surabaya, menunggu pesawat Merpati

dengan nomor penerbangan lain dari Lombok yang akan membawa saya ke

Bandung, saya sudah selesai menyusun kembali kehidupan X dengan imajinasi

saya sebagai kehidupan tokoh utama saya. Lima belas menit sebelum pesawat itu

mendarat di bandara Husein Sastranegara, saya sudah berhasil mengambil

keputusan untuk mengisahkan sebagian besar fase kehidupan tokoh utama saya

dalam bentuk dan teknik penulisan epistolary novel, yaitu novel yang ditulis

seperti orang menulis buku harian. Ketika saya menuruni tangga pesawat sambil

melambai-lambaikan telapak tangan kanan saya kepada Raudha yang menjemput


51
saya di ruang tunggu bandara di tingkat dua, X dalam pikiran saya sudah

sepenuhnya menjadi Kafka. Dan ketika saya berlari-lari di ruang kedatangan

bandara yang sempit untuk memeluk Raudha dan mencium keningnya, saya

berteriak-teriak seperti orang gila: “Mama…. Mama…. Saya sudah menemukan

karakter! Saya sudah menemukan karakter!” ▼

52
Ratusan Kupu-kupu
Bersayap Warna-warni

53
SETELAH kakek dan ibu saya, sayalah yang menjadi satu-satunya orang

yang memiliki ilmu pamungkas sukma. Hidup saya terkutuk, dan saya akan

menjadi orang yang paling kesepian di dunia.

Saya segera ingin menceritakan semuanya kepada anda hanya saya sadar

saya memerlukan sedikit waktu untuk mempersiapkan hati saya, pikiran saya,

perasaan saya, hingga saya dapat membuka diri saya sampai kemungkinan yang

paling muskil. Akan lebih baik bila anda bersedia bersabar mengetahui lebih dulu

masa kecil dan masa remaja dan masa keemasan yang singkat dari usia dewasa

saya. Saya harap anda bersedia menjadi pendengar saya yang setia. Sebagaimana

saya memperlakukan anda sebagai sahabat saya, anggaplah saya sahabat anda.

Setelah semua ini selesai, anda dapat melupakan saya.

Sejak kecil saya tidak menyukai kekerasan. Saya enggan berkelahi. Saya

pantang menyakiti binatang. Saya tidak tahan melihat darah dan itu barangkali

sebabnya sampai sekarang saya bermusuhan dengan warna merah, dan itulah

antara lain yang menjadi alasan saya menolak tawaran seorang sahabat yang juga

seorang pengurus partai yang memiliki atribut serba merah untuk menjadi kader

partai itu. Itu pula yang menyebabkan saya tidak begitu tertarik dengan

perempuan yang memakai lipstik atau mengecat merah kuku-kuku jari tangan dan

kakinya dan oleh sebab itu pula saya sampai detik ini tidak menyukai warna

bendera negara saya—saya lebih suka warnanya putih seluruh, sebab kalau merah

disimbolkan sebagai keberanian dan putih sebagai kesucian saya berpendapat

seseorang tak perlu berani apabila dia suci karena dalam kesucian telah

terkandung keberanian, dan saya kira warna merah dalam bendera saya secara
54
tidak langsung telah ikut andil membuat negara saya menjadi tempat yang sangat

luas untuk pertumpahan darah, saya tidak asal bual dan anda saya pastikan akan

sependapat dengan saya bila anda, saya tahu anda banyak membaca, meneliti

kembali teori arketif dan mimpi kolektif Carl Gustav Jung—dan saya juga tidak

menyukai bendera Polandia, Monaco, Jepang dan negara-negara lain yang

mengandung warna merah dominan, dan oleh sebab itu pula sampai saat ini saya

tidak pernah menjadi bagian dari fans Manchester United dan Liverpool dan

kesebelasan Belgia dan PSSI dan kesebelasan-kesebelasan lain berkaus merah,

dan saya memilih menjadi fans kesebelasan Belanda atau Perancis atau Persib

saja. Akan tetapi, bila tiga kesebelasan itu mengganti kostumnya dengan warna

merah, saya akan meninggalkan mereka dan menjadi bagian dari fans kesebelasan

yang kausnya berwarna lain. Biru, oranye, hijau, atau apalah asal bukan merah.

Perihal warna merah dalam dunia olahraga, akhir-akhir ini ada lelucon

yang bunyinya seperti ini: “Kalau mau sukses, ubahlah semua atribut anda dengan

warna merah, karena warna merahlah yang merajai dunia olahraga….” Mungkin

ada benarnya guyonan kering khas orang Inggris itu. Arena balap Formula 1 atau

yang lebih dikenal dengan F-1, bertahun-tahun dikuasai tim Ferari yang serba

merah. Dalam kompetisi Liga Inggris era 1970-an hingga 1980-an “The Red

Devils” (Liverpool) menguasai Inggris dan Eropa. Pada tahun 1990-an kekuasaan

itu beralih ke “The Red Devils” lain, Manchester United, dan di era 2000-an “The

Gunners” alias Arsenal yang juga berkostum merah giliran tampil menjadi

penguasa liga kick and rush meskipun tidak terlalu berjaya di wilayah Eropa.

55
Saya tidak suka pistol atau senapan mainan dan puji Tuhan saya tidak

ditakdirkan menjadi seorang polisi atau tentara atau satpam bank atau perampok

bank sehingga tak usah sekali pun memegang pistol atau senapan sungguhan.

Berkaitan dengan masalah pistol dan senapan ini saya akan selalu bersyukur

dengan seluruh hati saya karena saya tidak dilahirkan di awal abad ke-20 di

Irlandia bagian utara sebab sangat mungkin saya terpaksa membunuh seseorang di

masa perang saudara dan saya akan senantiasa bersyukur dengan seluruh hati saya

karena tidak dilahirkan pada pertengahan abad ke-20 di Sisilia karena sangat

mungkin kemiskinan dan balas dendam mendorong saya hijrah ke Amerika dan

melemparkan saya menjadi anak buah Al-Capone atau Vito Corleone dan saya

akan setiap hari bersyukur pula sebab saya tidak dilahirkan di Aceh sebab

kemungkinan besar saat ini saya sedang bergerilya di hutan-hutan.

Ngomong-ngomong tentang perang saudara Irlandia, anda pernah

membaca cerpen Liam O’Flaherty? “Sniper”?

Wah! anda harus membacanya. Itu cerpen bagus. Bukan bagus, istimewa.

Saya selalu merasa hati saya dibetot, didempet, ditekan, diris-iris setiap kali

membacanya. Cobalah anda bayangkan kesedihan seorang kakak (seorang sniper)

yang tidak sengaja membunuh adiknya (juga seorang sniper) setelah mereka

saling mengintai sehari penuh dari subuh hingga malam tiba menahan haus dan

lapar di atap gedung yang dipisahkan sebuah jalan lebar yang murung. Ketika

masa saling intai yang nyaris abadi itu usai, salah seorang dari mereka kena

tembak, terjengkang, menggelosor dari atas atap, jatuh berdebam menimpa badan

jalan. Si pemenang pertarungan turun, mengendap-endap mendekati tubuh


56
korbannya yang sudah menjadi mayat dengan lubang bekas hantaman peluru di

kepalanya yang menjadi semerah saus tomat, lalu membalikkan tubuh kaku itu.

Apa yang ia lihat?

Wajah adiknya.

Saya tak keberatan memberikan kumpulan cerpen O’Flaherty saya kepada

anda lain waktu. Mungkin akan saya kirimkan lewat pos. Saya hanya ingin anda

berjanji setelah membaca “Sniper” anda bersedia juga membaca puisi berjudul

“Elegi buat Perang Saudara”. Saya berpendapat, melihat strukturnya, puisi itu

adalah tafsir liris atas cerpen itu. Puisi itu ditulis penyair Taufiq Ismail tahun

1960, termasuk ke dalam puisi-puisi yang dia tulis sebelum era Tirani dan

Benteng.

Bunyinya begini:

Dengan mata dingin dia turun ke medan/ Di bahunya tegar tersilang hitam

senapan/ Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan/ Mengayun lengan kasar

berbulu dendam// Angin pun bagai kampak sepanjang hutan/ Bukit-bukit dipacu

atas kuda kelabu/ Dada dan lembah menyenak penuh deram/ Di ujung gunung

lawannya sudah menunggu// Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya/ Di kaki

langit teja mengantar malam tembaga/ Luluhlah senja dalam denyar. Api mesiu/

Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu// Angin tak lagi menderu tapi desah

tertahan/ Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu/ Ketika senja berayun

malam di dahan-dahan// Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji/ Telentang

kaku di bumi. Telah dibunuh adik sendiri//.


57
Anda suka puisi itu? Saya terus terang tidak menyukainya. Saya lebih

menyukai sajak-sajak Taufiq Ismail yang lain, terutama “Buku Tamu Musium

Perjuangan”, “Karangan Bunga”, “Seorang Tukang Rambutan kepada Isterinya”,

“Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini”, dan tentu saja di atas semua itu, “Dengan

Puisi, Aku”.

Saya juga tidak suka ketapel dan selalu heran kenapa teman-teman saya

waktu kecil dulu membuang-buang waktu mereka mengumpulkan batu-batu kecil,

lalu batu-batu kecil itu mereka masukkan ke saku kiri-kanan celana kedodoran

mereka, kemudian meletakkan sebutir batu ke dalam potongan persegi empat kulit

ketapel itu, setelah itu mencari pohon-pohon di kebun atau di tegalan atau di

pematang sawah atau di dekat halaman rumah, sesudahnya memperhatikan apakah

di salah sebuah ranting dari salah sebuah dahan dari salah sebuah pohon mereka

melihat seekor burung, lalu menarik tali ketapel mereka, memicingkan sebelah

mata mereka membidik burung itu, dan melesatlah si batu kecil layaknya sebutir

peluru mencari serdadu lawan, seperti sperma mencari indung telur. Sesabar itu

kawan-kawan saya di waktu kecil mulai belajar untuk melukai, dan membunuh,

mahluk hidup lain.

Saya juga berusaha sesedikit mungkin berurusan dengan pisau dan perkara

ini menjadi sangat rumit semenjak saya suka memasak.

SAYA pertama kali mengenal Ratna Suminarsari pada sebuah hari di

tahun 1986 dalam kegiatan Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus
58
(OPSPEK), nama alias perpeloncoan, yang melelahkan, kadang-kadang

menyenangkan, namun lebih banyak menyebalkan. Sebuah ritual konyol yang

harus dialami setiap mahasiswa baru. Akan tetapi, ajaib juga setelah bertahun-

tahun saya mulai menikmati kegiatan itu sebagai sebuah kenangan dari banyak

sekali kenangan-kenangan saya.

Pagi itu saya melihat seorang gadis kurus, berkulit terang, berambut lurus,

mahasiswi satu fakultas dan satu jurusan, seangkatan dan sesama korban

perpeloncoan. Ia kelihatan cemas, bingung, dan ketakutan.

- Ada apa?

- Saya lupa bawa obat merah.

- Lalu kenapa?

- Saya takut kena marah….

Tanpa pikir panjang saya keluarkan botol mercurochrome milik saya

sendiri—isinya yang asli telah saya pindahkan ke botol lain dan saya ganti

dengan sirup stroberi—dari kotak kertasnya dan saya berikan kepada Ratna

Suminarsari, gadis itu. Ia peranakan Sunda-Tionghoa. Ibunya yang lahir di

Nanking masih memeluk Budha ketika menikah dengan ayahnya yang Muslim

dan asli Garut. Dua tahun setelah pernikahan mereka dan setahun setelah anak

pertama mereka lahir, ibunya sukarela masuk Islam. Keluarga kecil itu kemudian

pindah ke Bandung.

Masuk tahun ketiga menetap di Bandung, Ratna Suminarsari pun lahir.

Ayah dan ibu Ratna memulai usaha mereka di Bandung dengan membuka

toko kelontong dan lambat laun mencoba pula merambah bidang-bidang usaha
59
lain hingga akhirnya tumbuh menjadi sepasang suami isteri yang sukses

mengelola perusahaan kurir dan jasa angkutan. Kepandaian Ratna memasak, saya

kira, diturunkan dari ibunya.

- Ambillah.

- Kamu gimana?

- Mereka masih dapat kotaknya.

- Gimana kalau kamu ketahuan?

- Asal jangan kamu yang kena marah.

Agak tersipu, ia mengambil botol obat merah itu dan memasukkannya ke

dalam tas yang terbuat dari bekas kantung terigu. Tas wajib bagi para pelonco

seperti kami.

- Nuhun.xi

Tak ada yang bisa saya lakukan selain tersenyum.

Di dalam gedung, pada saat pemeriksaan, saya ketahuan! Bukan saja kena

marah, saya digiring keluar seorang panitia berbibir muncul berkepala gundul

bersenjatakan pentungan kertas koran yang digumpalkan dan dipadatkan. Di

bawah bentakan-bentakan, di lapangan bola voli yang keras, saya dihukum push-

up seratus kali dan sit-up lima puluh kali. Masih belum puas, ia menyuruh saya

jalan jongkok dua puluh lima kali putaran dan lari juga dua puluh lima kali

putaran mengelilingi gedung olahraga yang kumuh itu. Kemudian, senior sangar

dan gundul itu yang terheran-heran karena saya yang waktu itu bertubuh tipis dan

masih memiliki perut yang sangat rata tidak juga pingsan membawa saya kembali

ke dalam gedung, menyuruh saya berdiri tegap dalam sikap sempurna dan kaku di
60
atas pentas yang biasa digunakan untuk pertunjukan kesenian selama dosen-dosen

penatar menyampaikan materi P-4xii hingga datang waktu istirahat makan siang

bersama para terhukum lain karena dosa serupa atau dosa yang lain.

Sesekali saya lihat Ratna, nun jauh di sana, di negeri cahaya kunang-

kunang yang berputar-putar, di seberang segala musim, takdir dan impian, di

tengah rimba kesunyian kekal dan bisu enam ratus mahasiswa baru fakultas saya,

duduk bersila atau bersimpuh di atas ubin yang dingin, menoleh ke arah saya,

tersenyum dengan wajah Grasiaxiii menghibur kesedihan manusia yang mengadu

kepadanya karena dianiaya.

Ketika waktu istirahat tiba, ketika orang lain berbaris ke luar gedung, di

bawah bentakan-bentakan, “tunduk! tunduk! pemalas! cepat! dasar embe!xiv

tunduk! jalan! tunduk! ditajong siah ku aing!xv monyong!xvi monyet! tunduk!

jalan! cepat! pemalas kalian! cepat! cepat! tunduk! tunduk! tunduk! tunduk!

tunduk! jalan!” para senior Neo-Nazisme bertampang bengis yang tiba-tiba saja

muncul dari kerak neraka, Ratna menyebal keluar dari barisannya, berlari ke arah

pentas, bergegas naik, dan memegang kedua lengan saya. Sepasang telapak

tangannya halus sekali….

Nekad juga anak ini, pikir saya.

- Kamu nggak apa-apa? (pelan, suaranya seperti orang menahan

tangis).

- Pusing.

- Kita makan berdua, ya? Mau, ya? Saya bawa rendang…. Mama

yang masak….
61
Dari langit segala huru-hara tiba-tiba terdengar suara guntur: “Hey!

Romeo! Juliet! the show is over. Cepat turun! Siang-siang pacaran. Masuk barisan

kalian. Cepat!”

Saya tatap wajah pembentak yang rupa-rupanya memiliki paru-paru lebih

kuat dari Semelexvii ketika berseru kepada Zeus untuk menampakkan diri dalam

wujudnya yang asli. Si pembentak itu mahasiswi satu fakultas lain jurusan, seksi

acara, angkatan 1985. Namanya Meita Intania. Kelak saya tahu membentak

bukanlah sifatnya yang asli.

Sejak peristiwa obat merah itu saya menerima limpahan perhatian dan

kasih sayang Ratna. Ratna-lah, dan bukan ibu saya yang sebenarnya seorang

master dalam urusan mengolah makanan, yang membuat saya memiliki hobi

keempat: memasak (waktu itu saya sudah punya tiga hobi lain: memancing,

mengoleksi foto berbagai jenis burung, dan menonton sepak bola).

Selain masakan Sunda yang rata-rata mudah diolah karena serba direbus,

dipepes atau digoreng, masakan favorit Ratna adalah sambel goreng udang,

gerinting udang basah, daging masak Bali, ayam kelia, sayur lodeh Betawi,

kambing rica-rica Manado, dan rendang. Memang, gadis Sunda peranakan yang

satu ini lidahnya lebih mirip lidah Padang, suka segala sesuatu yang serba pedas.

Menurut pengakuan Ratna, dari semua masakan favoritnya, ia selalu merasakan

kenikmatan yang aduhai ketika membuat rendang. Ibunya menurunkan resep

rendang khas itu kepada Ratna, dan Ratna menularkannya kepada saya. Apa

kekhasannya, sebentar lagi akan anda ketahui.

62
Membuat rendang sebenarnya mudah sekali, asal punya sedikit kesabaran.

Namun untuk pemula mulailah dengan ½ kilogram daging sapi sebab seberapa

banyak daging yang akan dibuat rendang berhubungan erat dengan peta

perbumbuan yang harus disiapkan secara seimbang dengan banyaknya daging dan

berpengaruh pada keseimbangan kosmologis racikan bumbu dengan kepaduan

rasa yang pada gilirannya akan menentukan apakah rendang yang kita buat layak

mengisi usus besar kita atau justru lebih sesuai mengisi tempat sampah di dapur

kita. Siapkan pula 4 buah lombok atau cabe merah, 1 potong terasi, 6 siung

bawang merah dan 4 siung bawang putih, 1 ½ sendok teh ketumbar, ½ sendok teh

jintan, 6 butir kemiri, ½ kelingking jahe, sepotong lengkuas, sedikit asam

(gunakan feeling anda, jangan sampai terlalu asam), 2 sendok teh gula, garam

secukupnya (periksa juga feeling anda, jangan sampai keasinan), dan siapkan pula

santan dari satu butir kelapa (boleh juga santan instan). Setelah itu, godoklah

daging sampai setengah matang. Nah, di sini kita akan sampai pada kekhasan

resep rendang ibu Ratna. Biasanya rendang yang sering kita jumpai di restoran-

restoran Padang bentuknya tidak beraturan, ada yang persegi empat, jajaran

genjang, pentagon, seperempat lingkaran, ada juga yang gembung-bulat dengan

ukuran rata-rata sepanjang jari, kira-kira 5 cm. Namun rendang versi ibu Ratna

yang diturunkan kepada anaknya dan ditularkan kepada saya bentuknya indah

dilihat, memperlihatkan kecermatan, ketelitian, dan kesabaran juru masaknya.

Bentuknya segi empat dengan panjang x lebar = 3 x 3 cm.

Sebagai seseorang yang sedikit rumit berurusan dengan pisau, ukuran

sekecil itu membuat saya repot minta ampun karena saya tidak bisa memegang
63
pisau dengan telapak tangan telanjang tetapi harus dengan sarung tangan, dan

ketika bersama-sama Ratna di dapur rumahnya yang beraroma lemon saya

mencoba membuat rendang untuk pertama kalinya, terpaksa saya membalut lebih

dulu gagang pisau itu dengan kain serbet, dan kerepotan ini membuat daging yang

saya iris tidak beraturan bentuknya. Melihat kekacauan ini, Ratna menyuruh saya

menjadi asistennya saja.

Itulah pengalaman pertama saya menjadi seorang asisten.

Rendang ukuran mini itu, kata Ratna, akan sangat membantu nafsu makan

kita, sebab kita tidak perlu menggigitnya berulang-ulang tetapi cukup blam!

dimasukkan ke dalam mulut lalu dikunyah pelan-pelan. Hmmm. Nyam-nyam.

Bumbu-bumbu kemudian ditumbuk sampai halus lalu dicampur dengan santan

dan daging (yang sudah dipotong-potong), kemudian digodok terus sampai

santannya habis. Di sini kita sampai pada kekhasan kedua resep rendang ibu

Ratna: anggur putih! Ya, betul, anggur putih, bukan anggur merah. Jangan pernah

mencoba bereksperimen menggantinya dengan anggur merah. Percayalah saja

kepada ibu Ratna karena saya yakin di masa silam tentu ia telah juga melakukan

eksperimen semacam itu. Masukkan lima sendok makan anggur putih itu ke dalam

larutan santan. Aduklah santan beranggur itu hingga kental benar, terus-menerus,

tanpa terhenti-henti, dengan penuh perjuangan dan ketabahan, sampai kering. Jika

santannya sudah habis dan dagingnya masih kenyal, airnya ditambah dan digodok

lagi hingga dagingnya benar-benar empuk dan siap dihidangkan.

Empat tahun yang lalu saya berhenti makan daging yang berasal dari

semua hewan darat dan sejak itu saya tidak pernah makan rendang lagi. Ratna
64
sendiri sudah tidak dapat menikmati rendang khasnya sejak musim haji tahun

1990. Bukan karena ia memutuskan berhenti makan daging dan menjadi seorang

vegetarian tetapi karena ia termasuk salah seorang korban dalam kecelakaan

massal di terowongan Harat al-Lisan. Musibah Mina, begitulah orang menyebut

peristiwa itu karena terjadi di kota Mina pada saat para peziarah melakukan salah

satu rukun ibadah haji, melempar jumrah. Tubuhnya tidak pernah kembali ke

Bandung. Ia dikuburkan di komplek pemakaman Ma’la, di Makkah.

Ayah dan ibu Ratna selamat dari musibah itu tetapi tidak pernah dapat

meloloskan diri dari kesedihan hebat yang diakibatkan musibah itu.

Setahun setelah kematian Ratna, saya menghadiri pemakaman ibu Ratna,

dan setahun setelah kematian ibu Ratna, saya hadir dalam pemakaman ayah Ratna.

Mereka berdua dikuburkan di komplek pemakaman Sirnaraga di Jalan Pajajaran,

Bandung.

Apabila Suratan tidak terlalu suka bergurau, dan ramalan Sumarsono,

seorang sahabat saya di masa lampau, menjadi kenyataan, seharusnya saat ini saya

dan Ratna sudah memiliki tiga orang anak. Yang pertama perempuan, lahir tahun

1992; yang kedua laki-laki, lahir tahun 1995; yang ketiga perempuan, lahir tahun

1998. Kami sekeluarga hidup bahagia. Saya bahagia sebagai suami Ratna dan

sebagai seorang ayah dari tiga anak; Ratna bahagia sebagai isteri saya dan sebagai

seorang ibu dari tiga anak; ibu Ratna bahagia sebagai nenek dari tiga cucu; ayah

Ratna bahagia sebagai kakek dari tiga cucu; dan anak-anak berbahagia

sebagaimana umumnya anak-anak.

65
Nama ketiga anak saya yang tidak jadi dilahirkan dari rahim Ratna itu

adalah: Evita Lina Kurniasari, Fauzy Dylan Pandita, dan Sinta Wulan Banondari.

Nama-nama Evita, Fauzy, dan Sinta adalah hasil penemuan dan

kesepakatan saya dan Ratna. Lina Kurniasari: nama ibu Ratna. Dylan Pandita:

nama kakak Ratna. Wulan Banondari: nama ibu saya.

Dylan Pandita, kakak Ratna, meninggal pada usia sangat muda: 10 tahun.

Ibu saya, Wulan Banondari, pada suatu subuh ditemukan terkapar

berlumuran darah di dapur. Ibu bunuh diri. Menggorok lehernya sendiri dengan

pisau daging. Ibu tidak pernah bisa menerima kenyataan suaminya mati di tangan

anaknya sendiri.

MESKIPUN sejak kecil saya enggan berkelahi, bukan berarti saya tidak

pernah terlibat duel, perkelahian satu lawan satu. Selama hidup saya, saya pernah

dua kali bertarung. Perkelahian pertama terjadi ketika saya berumur 12 tahun.

Waktu itu saya masih anak kelas 6 SD. Perkelahian kedua terjadi ketika saya

duduk di kelas terakhir SMA. Dalam perkelahian pertama lawan saya adalah

seekor anjing, dan pada perkelahian kedua lawan saya adalah suami ibu saya

sendiri.

Guru wali kelas saya waktu SD adalah seorang lelaki separuh baya berkulit

legam berkumis tebal bertubuh gempal, periang, banyak tertawa, menyukai

petualangan dan tamasya. Fotografi bukan saja hobinya melainkan juga hidupnya.

Ke mana-mana ia selalu menenteng kameranya, Nikon tua warna hitam, dingin

dan berat.
66
Setiap kenaikan kelas ia selalu membawa kami pergi piknik.

Di kelas 3, Pak Suminto, nama wali kelas kami itu, membawa kami

tamasya ke Situ Aksan. Itulah satu-satunya situ (danau) yang masih tersisa di kota

Bandung. Sekarang sudah punah, sudah tidak ada bekasnya lagi dan telah lama

berganti wajah menjadi permukiman kaum urban yang padat.

Di kelas 4, Pak Suminto membawa kami ke kebun binatang di Jalan

Tamansari. Sampai sekarang kebun binatang itu masih menjadi tujuan melancong

favorit warga kota Bandung dan sekitarnya. Pada hari Raya Idul Fitri dan

beberapa hari sesudahnya tempat itu berubah menjadi lautan manusia sehingga

jangan heran apabila mungkin membuat kita bingung apakah para pentamasya itu

yang sedang melihat kaum binatang atau hewan-hewan di kebun itu yang sedang

melihat kaum manusia. Konon, sejak kebun binatang itu berdiri, saya sendiri tidak

percaya kisah ini, ada kebiasaan aneh dari para wali kota terpilih untuk segera

setelah usai dilantik pergi ke kebun binatang membawa sekantong kacang asin dan

memberikannya dengan penuh perhatian dan ketulusan yang luar biasa kepada

orang utan di kebun binatang itu. Apakah kebiasaan ini semacam simbolisme,

bahwa kelak selama mereka memegang jabatan publik itu mereka akan

berperilaku dan bersikap rendah hati? Entahlah, saya tidak tahu.

Ngomong-ngomong, anda tahu perbedaan monyet (monkey) dengan kera

(ape)? Monyet dan kera yang terbagi-bagi lagi jenisnya menjadi bermacam-

macam itu adalah mahluk primata. Orang utan, misalnya, termasuk ke dalam

golongan kera.

67
Primata ini aneh. Merekalah satu-satunya kelompok binatang yang kedua

matanya berada di depan, bukan di samping. Mereka hewan berotak besar, ini bisa

diartikan cerdas, yang dapat berjalan tegak sebagaimana manusia, dan semua ibu

jari mereka baik yang di tangan maupun yang di kaki dapat ditekukkan untuk

menyentuh jari-jari lainnya. Ibu jari kaki manusia tak bisa melakukannya. Nah,

kembali ke perbedaan antara monyet dan kera itu, inilah perbedaannya: monyet

memiliki ekor sedangkan kera tidak memilikinya.

Di kelas 5, Pak Suminto membawa kami ke Maribaya, dan di kelas 6 ia

membawa kami ke Situ Cangkuang.

Situ Cangkuang berada di Kabupaten Garut. Danaunya cukup luas dan

waktu itu tanaman eceng gondok belum merajalela. Orang masih bisa leluasa

berakit-berakit di sana.

Di dekat Situ Cangkuang terdapat sebuah candi peninggalan Hindu. Candi

Cangkuang namanya. Sewaktu pergi piknik ke candi itu, saya baru saja mengubah

model rambut saya yang lurus dengan gaya yang sedang sangat populer pada masa

itu. Gaya John Travolta (dalam Saturday Night Fever). Musik disko juga sedang

sama populernya. Nah, teman saya yang tergila-gila pada gaya goyang disko John

Travolta dan model rambutnya membujuk saya mengikuti jejaknya meniru-niru si

John. Maka, kalau anda pada suatu ketika melihat album foto saya, pada salah

sebuah foto berwarna yang sudah memburam anda akan melihat ada seorang anak

bertubuh paling kecil di antara teman sekelasnya sedang bergaya di depan Candi

Cangkuang dengan rambut ikal-gimbal dan menekuk sebelah kakinya dan

mengacungkan tangan kanannya ke atas, telunjuknya lurus menuding langit, persis


68
seperti poster-poster si John yang pada masa itu banyak terdapat di kamar gadis-

gadis remaja. Anda mungkin akan tertawa terpingkal-pingkal melihat si mungil

bergaya begituan sedangkan dalam pikirannya ia sedang membayangkan bahwa

dirinya tak lain tak bukan adalah John Travolta. Tentu saja si kurcaci itu tak

memiliki dagu belah si John yang legendaris.

Ketika model rambut saya masih menyerupai gaya raja disko itulah saya

berkelahi dengan anjing itu. Anda tak perlu percaya pada fakta yang, terus-terang

belum pernah saya ungkapkan kepada siapa pun kecuali kepada anda: anjing itu

bisa bicara! Ya, bicara dalam bahasa manusia. Layaknya saya bicara kepada anda

sekarang ini.

Kalau anda suka di dalam mini bar itu saya lihat ada Heineken. Saya kira

dapat sedikit menghangatkan tubuh anda. Atau apa perlu memesan minuman lain

jenis dari layanan room-service? Anda boleh memesan Chivas Regal kalau anda

mau. Kalau anda meminumnya dengan takaran yang tepat, tidak berlebih,

minuman itu dapat membuat mata anda terbuka sepanjang malam tanpa membuat

anda mabuk. Jangan, sebaiknya jangan Martini. Anda tentu tahu apa akibatnya

bagi daya rangsang adrenalin. Saya kira Martini hanya cocok diminum pasangan

yang sedang berbulan madu. Lagi pula tak ada Martini yang enak di hotel mana

pun. Martini yang pas sampai ke hati hanya mungkin didapat bila kita meraciknya

sendiri. O, tidak. Terima kasih. Sehari setelah pesta perkawinan saya dengan

Meita Intania, saya berhenti minum minuman yang mengandung alkohol. Bukan.

Bukan karena saya penganut agama yang saleh. Saya kira agama saya cuma

agama KTP. Sekadar formalitas. Ya, tentu saja saya percaya Tuhan, seperti saya
69
percaya di dunia lain ada surga dan neraka dan di dunia ini selain manusia ada

juga jin. Saya sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali saya pergi ke masjid dan

kapan terakhir kali saya melakukan shalat. Saya berhenti minum karena saya

sudah tidak memerlukannya. Bagaimana? O, masa-masa sangat mabuk saya sudah

usai. Itu terjadi ketika saya masih duduk di tahun-tahun pertama perguruan tinggi.

Apabila tak ada di antara teman-teman lama saya yang pernah melihat saya

mabuk atau memegang botol minuman, itu karena saya mengatur urusan ini

dengan tertib sebagaimana dengan tertib pula saya mengatur urusan-urusan saya

yang lain. Saya tak pernah mabuk di depan umum. Mabuk bagi saya urusan

pribadi sebab saya mabuk bukan untuk membuktikan apa pun. Misalnya untuk

membuktikan bahwa saya pemberani. Mabuk saya juga bukan untuk meraih

kenikmatan sesaat. Saya biasa mabuk di kamar tidur saya di malam hari ketika ibu

saya dan pembantu kami, Bi Encum, sudah nyenyak tidur. Pagi-pagi sekali saya

bangun, dan ketika ibu saya keluar dari kamar tidurnya dan Bi Encum sedang

sibuk di dapur, saya sudah terlihat segar. Mabuk saya adalah mabuk pelarian,

eskapisme. Ketika saya merasa tak perlu lagi melarikan diri karena saya sudah

menemukan pelabuhan untuk pelarian diri saya, Meita, saya berhenti mabuk. Saya

menjadikan masa-masa mabuk berat saya sebagai pengalaman berharga. Akan

sangat menyedihkan jika hidup saya seluruhnya putih atau seluruhnya hitam.

Apabila itu yang terjadi, saya tak akan pernah sampai-sampai pada hakikat

pemahaman jiwa manusia. Sekurang-kurangnya pemahaman atas jiwa saya

sendiri. Meskipun Meita sudah tidak lagi menjadi pelabuhan saya, kami bercerai

beberapa bulan sebelum ibu saya bunuh diri, sekarang saya sudah sangat matang
70
dalam menghadapi persoalan apa pun, jadi saya tak akan pernah melarikan diri

lagi. Tapi, who knows? Siapa yang dapat mengira kejadian berat tak

tertanggungkan apa yang mungkin menimpa seseorang? Jika hal itu terjadi lagi

kepada saya, dan ternyata saya menganggap melarikan diri sebagai satu-satunya

jalan yang mungkin untuk menyelesaikannya, saya sudah berjanji tidak akan

melarikan diri saya lagi ke haribaan alkohol. Saya akan melarikan diri ke tempat

lain. Ke sesuatu yang lain. Nah, saya kira pesanan anda sudah datang. Tolong

bukakan pintu dan beri pelayan itu tip. Ada beberapa pecahan ribuan di atas meja

itu. Saya harus ke kamar mandi sebentar….

WAKTU itu saya kebelet kencing. Saya pergi mencari kamar mandi

umum yang letaknya agak jauh berada di luar komplek candi. WC umum itu

memiliki empat bilik, tampaknya tak dibedakan mana bilik untuk laki-laki dan

mana bilik untuk perempuan. Bilik pertama terisi, bilik kedua dan ketiga tidak ada

airnya, sedangkan bilik keempat yang saya masuki walaupun ada airnya namun

keadaannya sangat kotor dan baunya sangat mesum.

Temboknya penuh coretan-coretan spidol, pilok, dan bolpen berbagai

warna dengan kata-kata rucah, jorok, dan aneh-aneh. Kecuali orang gila atau

orang yang kepepet masturbasi, saya kira tak seorang pun manusia waras mau

berlama-lama berada di tempat super jorok seperti itu.

Begitulah setelah hajat saya terpenuhi saya segera keluar, dan baru

beberapa langkah saja saya menjauh dari pintu WC itu ketika saya menangkap

sepasang mata merah saga sekor anjing besar berbulu coklat memandang saya
71
dengan tatapan memusuhi. Air liur tak henti-henti menetes dari lidahnya yang

menjulur, dan kemudian dia berkata dengan suara ngirung, sengau. Di tanah

Sunda, kita disebut ngirung apabila terlalu banyak menyisipkan, biasanya bukan

hasil dari suatu tindakan yang disengaja, ny atau ng dalam kata-kata kita.

- Manusia, mau ke mana kamu?

Saya terkesiap namun cepat-cepat menguasai diri. Perihal kemampuan

saya menguasai diri, saya sudah cukup lama dilatih kakek saya yang di masa

mudanya dikenal sebagai jawara. Tahun-tahun belakangan ini, saya melatih

kemampuan menguasai diri juga dengan senam pernafasan dan yoga.

- Saya mau makan siang, anjing, dengan teman-teman dan guru saya.

- Tak bisa, manusia. Langkahi dulu mayat saya. Saya mencari kamu

dari dulu, manusia. Urusan saya dan kamu harus diselesaikan.

- Saya tidak mengerti, anjing. Urusan apa? Saya baru ketemu kamu

sekarang, anjing. Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Tak ada

urusan apa pun yang harus diselesaikan antara saya dan kamu,

anjing.

- Kamu jangan pura-pura, manusia. Dulu kamu membunuh saya dan

memaksa isteri saya kawin dengan kamu.

- Apakah kamu sudah gila, anjing. Umur saya 12 tahun. Saya belum

pernah mimpi basah. Penis saya pun belum kuat tegak lama.

Apakah masuk akal saya merebut isterimu untuk saya kawini,

anjing. Punya pacar pun saya belum. Asal kamu tahu, anjing, saya

melukai burung dan kecoa pun tak pernah, apakah masuk akal pula
72
saya membunuh kamu, anjing? Lagi pula kalau memang saya

pernah membunuh kamu, mengapa kamu masih hidup, anjing?

- Kamu, manusia! Kamu itu Sangkuriang! Kamu jangan pura-pura,

manusia. Jangan dusta. Jangan berkelit. Kamulah yang di hutan

dulu membunuh saya, manusia, memberikan jantung saya kepada

Dayang Sumbi isteri saya yang kemudian kamu paksa untuk mau

kawin dengan kamu. Kamu anak keparat, manusia. Durhaka. Calon

penghuni neraka. Manusia, kamu yang membuat ibumu sendiri

bunuh diri supaya tidak kawin dengan kamu. Aku ayahmu, Si

Tumang yang kamu bunuh di hutan. Mengapa aku masih hidup,

manusia? Kuceritakan kepada kamu sebuah rahasia, wahai anak

durhaka. Kesaktianku tak tertandingi di dunia ini. Aku tak dapat

dibunuh siapa pun karena cuma akulah yang bisa membunuh diriku

sendiri, manusia.

- O, jadi kamu, anjing, ayah saya. Lalu yang di rumah saya tadi pagi

menghajar ibu saya bapaknya siapa, anjing? Wah hebat! Teman-

teman saya pasti takjub, anjing. Wahai anjing, menyingkirlah….

- Tidak, sebelum kamu jadi mayat, manusia.

- Baiklah kalau itu maumu, anjing. Bunuhlah saya kalau kamu bisa,

anjing.

Maka tanpa menunda waktu lebih lama, anjing itu menyerang saya,

moncongnya menganga memperlihatkan gigi-giginya yang runcing yang

mengincar leher saya. Air liurnya menetes-netes di udara. Saya berkelit ke


73
samping, anjing itu menabrak angin. Lalu, ia membalikkan tubuhnya dan mencoba

menggigit kaki saya. Saya mengangkat kaki kanan saya ke atas kemudian dalam

hitungan detik kaki kanan saya turunkan kembali tepat ketika moncong anjing itu

gagal menggigit kaki kanan saya dan dengan kaki kiri saya yang terlatih saya

menghantam batok kepala anjing itu sampai pecah. Darah muncrat. Duel itu

berlangsung sangat singkat. Anjing yang mengaku ayah saya itu mati. Darah dari

batok kepalanya merembes ke tanah membentuk tumpahan saus kemerah-

merahan. Tiba-tiba, bangkai anjing itu menghilang dan genangan darah itu

berubah menjadi ratusan kupu-kupu bersayap warna-warni. Mereka lalu berputar-

putar melingkari kepala saya sehingga dari jauh kepala saya akan terlihat seperti

mengenakan mahkota kupu-kupu. Lalu mereka terbang berkelompok ke arah Situ

Cangkuang.

Meninggalkan tempat perkelahian itu, saya bergumam pelan, “Dasar

anjing!”

- Boleh saya memotong kisah Kakak sebentar?

- Silakan.

- Kak Kafka tahu jenis anjing itu?

- Saya kira anjing itu jenis herder blasteran. Hasil perkawinan

antaretnis anjing keturunan Jerman dengan anjing keturunan

Sunda.

- Apakah Kakak pernah bertemu anjing itu sebelumnya?

- Kalau anda betul-betul menyimak cerita saya, anda akan tahu

bahwa baru kali itulah saya bertemu anjing itu.


74
- Apakah Kakak pernah melihat anjing itu dalam mimpi?

- Tidak.

- Kakak pernah bertemu anjing itu lagi?

- Tidak.

- Dalam bahasa apa anjing itu bicara dengan Kakak?

- Seperti sudah saya katakan, dalam bahasa manusia.

- Hmm….

- Bahasa daerah saya, Sunda.

- Apakah Kakak percaya pada reinkarnasi?

- Tidak.

- Waktu Kakak berkelahi dengan anjing itu, Kakak sudah tahu kisah

Sangkuriang?

- Semua anak di tanah Sunda tahu.

- Kak Kafka percaya anjing itu ayah Kakak?

- Tidak.

- Kakak yakin telah membunuh anjing itu?

- 100%.

- Apakah pernah terpikirkan oleh Kakak untuk menulis puisi tentang

anjing?

- Lucu sekali pertanyaan anda. Saya bukan penyair. Saya cuma

penikmat sajak-sajak bagus. Tapi, kalau anda mau, saya bersedia

membacakan untuk anda sebuah puisi dalam bahasa Indonesia

tentang anjing betulan dan anjing mainan yang sama-sama


75
cerdasnya. Saya hapal di luar kepala puisi itu. Judulnya “Anjing”.

Ditulis penyair Joko Pinurbo. Mau saya bacakan?

- Mau. Mau, Kak.

- Oke, bunyinya begini:

Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan dan anjing-

anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet dan sok polisi: sepi berkelebat

sedikit saja ia sudah panik lalu menyalak keras sekali. Anjing-anjingan sungguh

kalem lagi pemalu – maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh, batu. Entah

kenapa malam lebih takut pada anjing-anjingan ketimbang pada anjing

sungguhan sehingga anjing sungguhan jadi cemburu. “Aku yang sibuk menjaga

rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!” kata anjing sungguhan kepada

anjing-anjingan. Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor anjing

bertengkar hebat di depan pintu. Dari suaranya aku bisa tahu bahwa anjing

sungguhan makin lama makin frustasi. Aku baru sadar bahwa anjing-anjingan

bisa lebih anjing dari anjing sungguhan. Tapi kalau tidak ada anjing sungguhan,

anjing-anjingan pasti akan sangat kesepian. Nah, berdamai-damai sajalah kalian,

anjing-anjingku.

- Anda suka puisi itu?

- Puisinya lucu.

- Anda perhatikan bahwa anjing dalam puisi itu bisa bicara?

- Ya.
76
- Itu tidak membuat anda kemudian harus percaya bahwa anjing

yang mengaku ayah saya dan terpaksa saya bunuh, dapat bicara.

Anda masih ingin mendengar cerita tentang kaki kiri saya?

KAKEK saya dulu dikenal sebagai jawara. Namanya tidak hanya

menggetarkan dunia persilatan di daerah asalnya, Subang, tetapi juga getarannya

sampai ke daerah Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Pangalengan, Ciwidey, Cianjur,

Sukabumi, dan Bandung. Sepanjang hidupnya kakek telah membunuh 13

manusia, 2 ekor harimau, dan 11 babi hutan. Dari 13 orang yang dibunuh kakek, 5

di antaranya tentara Nipon, 5 orang begal (dalam satu kesempatan), dan 3 orang

komunis (dalam satu kesempatan) di paruh kedua tahun 1960-an.

Kakek sayalah yang membuat kaki kiri saya dapat membunuh seekor

anjing sekali tendang.

Sebagai jawara, kakek saya termasuk sangat pelit menurunkan ilmunya. Ia

tidak mendirikan perguruan silat dan oleh karena itu ia tak punya murid.

Sebenarnya disebut sama sekali tak punya murid juga tidak tepat sebab ia

menurunkan ilmunya kepada tiga orang. Orang pertama adalah isteri kakek (nenek

saya) sendiri. Orang kedua adalah anak tunggal kakek (ibu saya) sendiri. Dan

orang ketiga adalah cucu semata wayang kakek yang tak lain tak bukan adalah

saya sendiri.

Nenek sudah menjadi murid kakek sebelum kakek peristeri. Menurut cerita

nenek, pada hari pertama kakek menurunkan ilmunya yang dilakukan kakek cuma

memandang nenek lama sekali. Matanya menyisir seluruh tubuh nenek, dari
77
telapak kaki ke ubun-ubun, lalu dari ubun-ubun ke telapak kaki. Kemudian kakek

memegang telapak tangan kanan nenek, dan berseru: ”Dampal leungeun maneh!

Dampal leungeun maneh nu katuhu! Omat tong dipake sakali oge nampiling

batur. Matak paeh.” (“Telapak tanganmu! Telapak tangan kananmu! Jangan

pernah sampai dipakai untuk menampar orang lain. Yang ditampar olehmu pasti

mati.”)

Begitulah kakek selalu dapat melihat di mana inti kekuatan jiwa seseorang

tersembunyi. Menurut kakek inti kekutan jiwa seseoranglah yang membuat orang

itu memiliki kelebihan dari orang lain. Tidak seperti umumnya keyakinan para

pendekar yang menganggap inti kekuatan jiwa seseorang terdapat di dalam hati,

kakek percaya bahwa inti kekuatan jiwa seseorang berada di telapak tangan atau

di telapak kaki (yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri). Apabila latihan-

latihan fisik dipusatkan di bagian itu kemudian mengisinya dengan semacam

kekuatan spiritual maka bagian tubuh yang meyimpan inti kekuatan jiwa itu akan

menjadi senjata yang sangat dahsyat. Dapat digunakan untuk membunuh orang

hanya dengan sekali tampar, sekali pukul, atau sekali tendang. Dalam tubuh

nenek, inti kekuatan jiwa itu terdapat di telapak tangan kanannya.

Nenek saya seorang penyayang binatang. Ia memelihara puluhan kucing,

anjing, angsa, dan ayam. Ia perempuan Sunda yang sangat lembut yang tak pernah

berpikir selintas pun untuk menyakiti mahluk hidup lain. Bahkan nyamuk

sekalipun. Bertahun-tahun kemudian, ketika nenek menyadari betul akibat yang

mungkin ditimbulkan kekuatan telapak tangan kanannya terhadap mahluk hidup

lain, dengan sukarela tanpa dipaksa siapa-siapa nenek memotong dengan telapak
78
tangan kirinya sendiri telapak tangannya yang kanan. Kakek sama sekali tidak

berusaha mencegahnya. Waktu itu, ibu saya belum lahir. Ibu lahir dua tahun

setelah nenek menghilangkan telapak tangannya sebelah kanan.

Kakek mulai mengajari ibu ilmu silat ketika usia ibu menginjak 10 tahun.

Tujuh tahun kemudian, kakek menyisir dengan pandangannya yang tajam seluruh

bagian tubuh ibu seperti yang di masa silam dilakukannya terhadap nenek, dari

ubun-ubun ke telapak kaki dari telapak kaki ke ubun-ubun, kemudian berkata

lembut kepada ibu: “Geulis, kameumeut Apa, omat tong sakali oge dipake

nampiling eta dampal leungeun maneh nu kenca. Tong boro sirah jelema, cacak

batu ge ancur!” (“Putriku yang cantik, jangan pernah menampar orang dengan

telapak tangan kirimu. Jangankan kepala manusia, batu pun hancur bila kena

tamparanmu!”).

Seperti nenek, ibu saya juga seorang penyayang binatang dan tak pernah

menyakiti mahluk hidup lain. Selain memelihara kucing, anjing, angsa, dan ayam,

sejak kecil ibu pun memelihara bebek, ikan, dan kambing. Yang tidak mau ibu

pelihara cuma burung karena menurut keyakinan ibu burung-burung sebaiknya

dibiarkan bebas berkeliaran di langit dan biar saja Tuhan sendiri yang

memeliharanya. Bukankah Tuhan tinggal di langit?

Pada umur delapan belas tahun ibu menikah. Ayah saya meninggal ketika

saya masih berada dalam kandungan ibu. Ibu menikah lagi ketika usia saya masih

satu tahun. Setahun setelah menikah lagi, menyadari akibat yang mungkin

ditimbulkan kekuatan telapak tangan kirinya terhadap mahluk hidup lain,

khususnya kepada suaminya (ayah tiri saya) yang bejat dan pemabuk yang sering
79
menyiksa ibu dan memukul kepala ibu tanpa sebab yang jelas, yang tanpa kenal

waktu memaksa ibu melayani nafsu seksualnya kapan pun dia mau (bahkan ketika

ibu dalam keadaan haid), yang di luar pengetahuan ibu punya banyak pacar gelap

dan sekian dari pacar gelapnya adalah para pelacur, ibu dengan telapak tangannya

sebelah kanan memotong telapak tangannya sebelah kiri. Itu dilakukannya

semata-mata supaya jangan sampai membunuh suaminya (ayah tiri saya).

Seperti ibu, pada umur 10 tahun, saya mulai dilatih kakek ilmu silat. Persis

seperti yang dialami ibu, pada umur saya yang ke-17 tahun kakek menyisir dengan

pandangannya yang tajam seluruh bagian tubuh saya, dari ubun-ubun ke telapak

kaki, dari telapak kaki ke ubun-ubun, lalu berteriak: “Incu aing, kameumeut aing!

Suku kenca anjeun! Suku kenca anjeun! (Cucuku, kesayanganku! Kaki kirimu!

Kaki kirimu!)”

Mendengar kakek berteriak-teriak seperti itu, saya tidak memerlukan

penjelasan apa pun lagi. Saya segera paham bahwa inti kekuatan jiwa saya ada di

(telapak) kaki kiri saya. Menyadari itu, saya bangga sekaligus sedih. Bangga

karena sewaktu-waktu kaki saya dapat diandalkan untuk menyelamatkan hidup

saya, sedih karena saya tahu dengan (telapak) kaki kiri saya itulah suami ibu (ayah

tiri saya) kelak akan menemui ajalnya.

Itu terjadi setahun kemudian setelah kakek berteriak-teriak tentang kaki

kiri saya. Saya tak bisa lagi menanggungkan rasa sakit dan menahan amarah saya

yang terpendam bertahun-tahun kepada ayah tiri saya yang memperlakukan ibu

saya seperti hewan. Sebenarnya kakek bisa saja dengan santai membunuh ayah tiri

saya seandainya kakek tidak terikat sumpah setahun setelah membunuh 3 orang
80
komunis bahwa ia tidak akan membunuh orang lagi. Sebagai jawara yang terikat

etika kependekaran, kakek tak bisa tidak harus memegang sumpahnya. Lagi pula

jika kakek melanggar sumpah, bencana besar akan segera datang menimpa bukan

saja kakek, melainkan juga keturunan kakek.

Akan tetapi sebenarnya, tanpa kakek melanggar sumpah pun bencana

besar tetap menimpa kami. Bagi saya, bencana besar itu dimulai sejak pertarungan

saya dengan ayah tiri saya: sejak hari itu ibu tidak pernah mau berbicara lagi

dengan saya, tak mau lagi tersenyum kepada saya, tak mau lagi menatap saya, tak

mau lagi menyentuh saya.

- Waktu Kakak membunuh anjing gila itu, usia Kakak masih dua

belasan tahun, kan?

- Tak mungkin lebih tua dari itu.

- Kok sudah bisa membunuh anjing itu sekali tendang dengan kaki

kiri? Bukankah kakek Kak Kafka baru tahu inti kekuatan jiwa

Kakak waktu umur Kakak tujuh belas tahun? Kok bisa?

- Kakek memastikannya ketika umur Kakak tujuh belas tahun.

Tetapi inti kekuatan jiwa itu sendiri sudah terdapat dalam diri

Kakak sejak lahir.

- O, begitu…. Tinggal dengan siapa kakek Kak Kafka sekarang?

- Anda sudah mulai banyak bertanya.

- Mengenai kakek Kakak ini, tiba-tiba banyak sekali pertanyaan

yang begitu saja muncul dalam pikiran saya.

- Bukan salah anda….


81
- Apakah nenek dan kakek Kak Kafka masih hidup?

- Hmm…. Nenek saya meninggal pada umur 70 tahun. Kakek saya

masih hidup. Usianya sekarang 103 tahun.

- Wow! Panjang umur betul kakek Kakak ini. Apa kira-kira

rahasianya, Kak?

- Ilmu pamungkas sukma itu. Ilmu itu membuat pemiliknya berusia

lebih lama daripada kebanyakan manusia pada umumnya.

- Apa dia tidak kesepian, Kak?

- Dia siapa?

- Kakek Kak Kafka.

- Pertanyaan seperti itu tidak memerlukan jawaban.

- Kapan terakhir kali Kakak ketemu dia?

- Di hari pemakaman ibu.

- Apa yang dikerjakannya sehari-hari, Kak?

- Menunggu.

- Menunggu?

- Kakek saya sedang menunggu seseorang datang untuk mengakhiri

hidupnya. Seseorang yang kesaktiannya sebanding dengan atau

lebih tinggi dari kakek.

- Apakah kakek Kak Kafka tidak bisa meninggal dengan cara yang

wajar? Sakit, misalnya?

- Tidak. Kakek saya terikat perjanjian dengan gurunya. Kakek saya

harus mati di tangan seseorang. Itulah takdirnya. Kutukannya.


82
- Apakah kakek Kak Kafka tahu siapa orang itu?

- Setelah ibu saya wafat, orang kedua yang mengetahuinya selain

kakek adalah saya sendiri…. Maukah anda menjadi orang ketiga

dan terakhir yang mengetahuinya? ▼

83
2

84
Le Petite Soska

85
April – Desember 1999

RUKMANA menelefon. Ia menanyakan apakah surat dari Freedom for

Asian Foundation sudah sampai. Ia juga bilang bahwa ia memutuskan untuk

keluar dari KONTRAS dan akan terjun sepenuhnya di dunia politik. Kawan-

kawan lamanya di GMNI memintanya bergabung ke PDI pimpinan Mega.

Aku yakin, Rukmana ikut berperan di belakang layar membantuku

memperoleh pekerjaan itu: asisten program officer. Sebagai representative lawyer

Freedom for Asian Foundation di Indonesia, semua urusan hukum yayasan itu

adalah tanggung jawabnya.

Ibu yang bertahun-tahun tak pernah lagi mengajakku bicara, ibu yang

bertahun-tahun tak mau lagi tersenyum kepadaku, ibu yang bertahun-tahun selalu

menghindar dariku, pergi untuk selamanya.

Ketika semua orang satu persatu meninggalkan komplek pekuburan kecil

di sebuah desa di Subang siang itu, tinggal aku dan kakek yang tersisa. Kami

berdua mematung dalam diam yang asing hingga udara panas tengah hari berubah

menjadi udara sejuk senja hari. Hujan gerimis, dan di kejauhan desir halus arus

sungai Cikembang seperti suara tangis seorang perempuan.

Meita menginterlokal, turut berduka cita, dan mohon maaf tidak bisa ikut

mengantar jenazah ibu ke tempat istirahatnya yang terakhir. 

Januari - Desember 1998


86
NAMAKU masuk daftar hitam. Telefon disadap. Aku selalu dikuntit

orang.

Dengan mudah aku dapat mengatakan diriku terkena paranoia, dan

persoalan selesai, jika bukan karena HD yang memberiku kabar dan menyuruhku

hati-hati. Dalam sebuah pertemuan di rumah dinas Pangdam Siliwangi, HD

menerima bocoran informasi bahwa ia, aku, dan sejumlah nama lain telah

dikelompokkan militer (entah militer yang mana, banyak sekali friksi dan faksi di

dalam tubuh militer sekarang ini) ke dalam gerakan anti-Soeharto.

Sejumlah aktifis PRD yang dibredel Soesilo Soedarman dua tahun yang

lalu karena dianggap dalang “Kasus 27 Juli 1996”, diculik.

SFM dan WT, keduanya penyair yang banyak menulis puisi yang berpihak

kepada rakyat kecil dan tertindas, raib. Diculik juga? Dibunuh? Entahlah. Kontak-

kontakku di kalangan seniman, jarang memberikan informasi yang netral, selalu

terkesan didramatisasi, dan harus dikonfirmasi ke berbagai sumber lain yang dapat

memperlakukan fakta dengan lebih dingin.

Aku kasihan kepada Meita, meskipun dia sendiri tidak pernah mengeluh,

karena rumah kami kini bagaikan tempat penampungan para pengungsi.

Kegaduhan seperti ini merupakan hal baru baginya yang terbiasa dengan suasana

serba tenang dan tertib bagi lima tahun perkawinan kami yang bagai lautan cinta

yang tak pernah mengenal pasang surut. Ya, meskipun hingga saat ini Meita
87
belum diberi tanda-tanda akan memberiku anak. Pengalamannya menjadi aktifis

terjadi bertahun-tahun yang lalu, sebagai panitia OPSPEK yang membuatnya jatuh

sakit dan harus dirawat di rumah sakit selama dua minggu.

Ah, betapa setelah Ran di masa yang jauh—masa yang telah menjadi

halaman-halaman putih dalam ingatanku—dan Ratna yang nyaris dapat

menggantikan kedudukan Ran dalam hatiku seandainya tidak direnggut takdir

begitu saja dariku, aku tak pernah berhenti mencintai Meita, perempuan yang

lebih sabar dari bumi.

Sepanjang hari orang-orang datang dan pergi. Setiap malam ada saja

diskusi yang ramai dan panas di ruang tamu.

Kemarin malam dua orang tokoh mahasiswa UI sayap kiri mampir ke sini,

menginap semalam, dan baru pulang pagi tadi. Mereka menceritakan situasi

terakhir (versi mereka) gerakan mahasiswa di Jakarta dan peta aliansinya dengan

gerakan-gerakan lain, perorangan maupun kelompok. Termasuk faksi militer yang

cenderung pada perubahan.

Yang menarik adalah Amien Rais saat ini mengumpulkan dalam dirinya

hampir seluruh komponen dan anasir moral-force. Ia telah menjadi simbol

perlawanan. Simbol reformasi.

Dua kamar kosong di rumah kami dua hari yang lalu menjadi tempat

bermalam enam mahasiswa dari Semarang dan Salatiga. Pagi ini mereka

meneruskan perjalanan ke Jakarta.


88
Malam ini, di ruang tamu, aku berdiskusi dengan Arman, Ismet, Asep,

Nita, Reza, Yuli, Agus, Doddy, Anwar, Nanang, Eko, Adi, Jajang, Dadan, Imran,

Harun, Budi, Zaky. Kecuali Jajang dan Nanang yang mahasiwa UNSIL, Tasik,

yang lainnya adalah mahasiswa Bandung: ITB, UNPAD, STIKOM, UNPAR,

STISI, dan IKIP. Mereka semuanya aktifis di kampusnya masing-masing. Ada

yang kanan ada yang tengah ada yang kiri. Ada yang merah, oranye, putih, dan

hijau. Betul-betul pelangi.

Aku tidak selincah dulu. Usia ranum dan energik kemahasiswaanku,

sepuluh tahunan lalu. Aku (dan Rukmana) cuma ingin membantu mereka yang

sedang berhadapan langsung dengan tembok raksasa rezim itu dengan cara kami

sendiri yang harus kami akui kecil sekali kontribusinya. Ini terutama berulang-

ulang kukatakan kepada Ismet, Nita, Budi, Doddy, Anwar, Asep, dan Nanang.

Belakangan ini, hampir setiap malam mereka tidur di sini.

Ismet, mahasiswa semester empat STIKOM yang pemujaannya terhadap

Tan Malaka melebihi pemujaan Anwar terhadap Imam Ali, menjadi seksi sibuk di

malam hari: membeli goreng-gorengan, masak indomie, menyiapkan teh manis

dan kopi. Anak muda gondrong yang jangkung, ceking, pendiam, berwajah

flamboyan namun jarang mandi dan selalu bersepatu lancip dan berikat pinggang

kulit dengan gesper metal berbentuk tengkorak dan dikenal memiliki banyak pacar

ini, suka menulis puisi. Seminggu yang lalu, ia memintaku membaca seratusan

sajaknya. Baru selesai kubaca kemarin. Membaca puisi-puisinya, aku pikir, Ismet

akan lebih berhasil menjadi wartawan daripada menjadi penyair.


89


Rumah Makan “Sedap Malam”.

Menyenangkan: meskipun akhirnya cuma bertiga yang hadir, aku, Hans

dan Rukmana.

Menyesakkan dada: kami hampir putus asa mencari kepastian nasib Yani

Fatmawati. Kami mulai bersiap-siap menerima kenyataan Yani meninggal sebagai

salah seorang martir dalam penyerbuan militer dan orang-orang suruhan Suryadi

ke kantor PDI pimpinan Mega, 27 Juli 1996. Akan tetapi, seorang sahabat

Rukmana, FM, kenalan Yani dan juga kenal dengan sejumlah orang di lingkaran

dalam PRD, menduga kemungkinan besar Yani saat ini masih berada di salah satu

kamp pertahanan NPA (New People Army), Tentara Partai Komunis Filipina, di

Basilan.

FM mendengar dari kenalan PRD-nya, AS, yang belum lama berselang

mengunjungi kamp-kamp itu bahwa sejumlah aktifis komunis berusia muda dari

Indonesia (dan beberapa negara lain) sedang dilatih NPA. Seorang sersan NPA,

Thomas Honasan, bercerita kepada AS tentang seorang perempuan Indonesia

yang memimpin sepuluhan anak muda Indonesia lain seusianya atau sedikit lebih

muda darinya yang datang ke kamp pelatihan Thomas di Basilan pada bulan

Desember 1996. Thomas menyebutkan ciri-ciri perempuan itu kepada AS.

Ketika FM meminta AS menceritakan kembali ciri-ciri perempuan itu, FM

segera teringat kepada Yani.

Menyedihkan: Samiun hanya dapat hadir sebagai bagian dari kenangan

duka kami. Ia dan isterinya meninggal empat tahun lalu. Pada suatu subuh hujan
90
deras yang licin dan angker, mobilnya ditabrak truk kontainer. Di jalan tol

Cikampek, dalam perjalanan pulang ke Serang.

Lain-lain:

Syubban sedang menyelesaikan program masternya dalam Ilmu Politik di

Ohio State University, Amerika Serikat. Belakangan ini emailnya datang

beruntun.

Abdul Gani seperti ditelan bumi, tak terlacak.

Dan meskipun aku siap menanggung tiket pesawatnya pulang-pergi, Afuz

kesulitan meninggalkan Palu. Ia menginterlokal kami, menyampaikan salam dan

mohon maaf. Anaknya sudah tiga, dan katanya sambil ketawa-ketiwi, “Windy

tambah gemuk dari hari-ke hari”.

Terus terang aku agak rendah diri di depan Rukmana yang sekarang. Ia

kuliah lagi, mengambil S-1 hukum pidana di sebuah perguruan tinggi swasta dan

baru saja menyelesaikan program masternya. Cepat sekali. Di kartu namanya

tertulis: Drs. Rukmana Ekadjati, S.H., M.Hum. Ia sedang bersiap-siap untuk

mengambil gelar doktor di UI. Tapi bukan karena itu. Yang membuatku agak

rendah diri di depannya karena kepercayaan dirinya yang semakin mengarca.

Kuat, kukuh, keras. Tak mengherankan bila di kalangan pengacara muda Jakarta,

ia termasuk lawyer yang sangat diperhitungkan dan disegani.

Ia aktif juga di KONTRAS. Meskipun wajahnya tidak pernah muncul di

koran atau televisi, seperti Munir, aku punya dugaan kuat, Rukmana-lah yang

91
sebenarnya menjadi konseptor dan otak dari sepak terjang lembaga pencari orang

hilang dan korban tindak kekerasan itu.

Dengan Hans, sejak kami lulus tahun 1992, aku hanya sekali pernah

bertemu di rumah pamannya di Jalan Cihampelas. Sekarang tempat tinggal

tetapnya tidak jelas. Entah di mana. Mobilitas fisiknya tetap tinggi. Ia dan

kelompoknya merupakan simpul dari jaringan organisasi bawah tanah Islam

militan di Pulau Jawa. Ia banyak berkeliling dari kota ke kota, kampus ke kampus,

pesantren ke pesantren, majlis taklim ke majlis taklim. Ia punya hotline dengan

YAF, Lingkaran Ciganjur, AS, AFM, Habib UM, dan AMF.

Seperti Rukmana, Hans belum beristeri.

Hans dan Rukmana punya cara berbeda untuk mengatasi persoalan seksual

mereka. Yang pertama dengan menjalankan puritanisme Islam yang tegas:

menghukum dirinya sendiri dengan puasa Daud, tahajud setiap malam,

mengharamkan onani. Yang kedua menghadapinya dengan sangat enteng: jika

masih bisa makan di luar, kenapa repot-repot buka rumah makan.

Ya, aku pikir, dan aku percaya, masing-masing orang punya kelemahan

dan kelebihan. Selalu ada unsur malaikat dan iblis dalam diri setiap orang. Namun

di dalam diri Hans, aku sama sekali tidak melihat kelemahan. Tidak ada unsur

iblis sedikit pun di dalam dirinya. Tingkat keimanannya kepada Allah sudah

sampai pada apa yang dikatakan Nietzsche sebagai das Heiligste und Mächtigste.

Seandainya ia hidup sezaman dan bersahabat dengan filosof “pemakai martil”

itu, yang terakhir ini akan punya a living model untuk konsep manusia adikodrati

92
yang diidam-idamkannya: űebermencsh. Seorang penulis komik dari negeri yang

sering sekali tergelincir, Amerika, memelesetkan tokoh idaman Nietzsche itu

menjadi karakter komik: superman.

Dibandingkan Hans dan Rukmana, dalam beberapa hal, aku bergerak

mundur, jika tidak jalan di tempat.

Nasib baikku adalah nasib baik Meita.

Teror melalui telefon menjadi makanan sehari-hariku sebulan ini.

Aku menduga aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai kota telah

mendekati titik kulminasi. Kerusuhan besar pecah di Medan. Toko-toko, bank-

bank, dan pasar-pasar dirusak, dijarah, dibakar. Kerusuhan meluas hingga ke

Lubuk Pakam di Kabupaten Deli Serdang.

Perekonomian Medan lumpuh. Penduduk keturunan Tionghoa pergi

mengungsi menyelamatkan diri.

Dalam sejarah kerusuhan di mana pun di dunia ini yang pertama kali

menjadi korban selalu kaum minoritas.

Kerusuhan pecah pula di Yogya. Jalan Gejayan porak poranda seperti

kawasan perang. Batu, petasan dan bom molotov berseliweran. Kabar terakhir

yang kudengar korban tewas dari kalangan sipil mulai jatuh: Moses Gatotkaca.


93
Menghadiri pameran lukisan.

Menurut Amelia Chandra, satu dari tiga orang pemandu tamu pameran

tersebut, lukisan-lukisan itu dijual dengan sistem lelang dan akan diberikan

kepada penawar tertinggi yang baru akan diketahui pada hari penutupan pameran

dua hari lagi. Seluruh hasil penjualan lukisan akan digunakan untuk mendanai

perjuangan gerakan mahasiwa Bandung.

Amelia menunjukkan kepadaku sebuah lukisan, ditempatkan agak terpisah,

anggun dan mewah. Aku langsung jatuh cinta pada lukisan itu.

Amelia menelefon. Lukisan itu dan sepuluh lukisan lain dengan ukuran

yang lebih kecil dan harga yang lebih rendah yang kubeli dengan nama-nama lain

yang berbeda jatuh ke tanganku.

Empat mahasiwa Trisakti ditembak mati: Elang Mulya, Hafidin Royan,

Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto. 12 Mei. Siang itu ribuan mahasiswa bergerak

dari kampus Trisakti di Grogol menuju Gedung MPR/DPR di Slipi. Mereka

memprotes pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden dan menuntut pemulihan

kehidupan ekonomi yang jatuh ke dalam krisis sejak setahun lalu.

Dan tembakan-tembakan itu pun menyalak. Sepanjang sore.

Masyarakat mulai mengamuk. Perusakan terjadi di Grogol dan menyebar

ke wilayah lain di Jakarta.

94
Semalaman menelefon kawan-kawan: AFM, Romo D, BAW, Rukmana,

me-recheck konfirmasi perkembangan terakhir Jakarta.

Aku mencoba menelefon GM, tak bisa masuk. Telefonnya sibuk terus.

Aku men-dial telefon genggam FM yang dipercaya punya akses langsung kepada

Prabowo. Juga sibuk terus, meskipun me-retry berulang-ulang.

Di Bandung, aku mengontak pelukis TS yang memiliki jaringan luas ke

kalangan aktifis atas dan aktifis bawah, aktifis veteran dan pemusik HR, YS, HD,

beberapa pemimpin mahasiswa, dan Hans berkali-kali, setiap kali ada

perkembangan baru. Turbulansi politik sudah bukan dalam hitungan hari atau jam,

tetapi menit.

Telefon dari Surabaya, Semarang, Yogya, Jakarta, silih berganti datang. Di

sela-sela rapat, Nita yang sedang menyusun skripsi dan belakangan kuketahui

teman seangkatan Amelia Chandra di jurusan yang sama, terpaksa menjadi

penerima telefon dadakan di ruang tengah.

Email mengalir tak henti-henti. Romo D, BAW dan Rukmana bolak-balik

menelefon.

Akhirnya. Ya Tuhan!

Kerusuhan besar meledak. Jakarta dibakar, dijarah, dan diperkosa.

Inilah kerusuhan terbesar yang pernah terjadi di negeri ini sepanjang abad

ke-20.


95
Menurutku yang ditunggu-tunggu rakyat yang sudah muak pada rezim ini

akan terjadi tak lama lagi.

Aku menelefon Rukmana: “Jemput aku dan Hans!”

Headline Kompas: Soeharto Mundur.

Bersama Rukmana dan Hans berdiri di Senayan, sebagai anonim, di antara

ribuan mahasiswa dengan berbagai warna jaket mereka.

Vox populi, vox Dei.

Hans bergumam: “Kebenaran akan datang. Kebatilan akan runtuh.”

Soeharto mengundurkan diri. Menyerahkan kekuasaan kepada Habibie.

Tiba kembali tadi pagi.

Tuhan, tak ada kota yang lebih kucintai selain Bandung.

Meita minta cerai.

Email dari Syubban: “Merdeka! Soeharto jatuh. Merdeka! Orde Baru

runtuh. Merdeka! Aku bisa kawin sekarang!”

Kabar terakhir dari HR dan dikonfirmasi TS dan HD: SFM tidak diculik.

Ia ternyata sedang bertapa di kampungnya di Tasik.


96
Syukurlah. Meita pasti sangat sedih kalau ternyata SFM betul-betul

diculik. Di Indonesia, dalam kehidupan politik, “diculik” adalah eufimisme untuk

tindakan menghilangkan nyawa orang lain secara paksa dan brutal.

Aku telah membaca semua buku SFM. Aku berharap suatu saat dapat

berbincang-bincang secara pribadi dengan penyair yang sajak-sajak cintanya

menurutku jauh lebih bagus daripada sajak-sajak sosialnya. Meita adalah

pengagum beratnya.

WT mungkin Camus yang lahir di negeri yang keliru. Di masa yang keliru.

Aku tak pernah lupa kata-katanya: “Hanya ada satu kata, lawan!” seperti dulu

Camus berkata: “Aku melawan, jadi aku ada”. Ia masih belum jelas nasibnya.

Sebagian kontakku yakin ia telah dibunuh. Sebagian mendengar “dari sumber-

sumber intelijen yang layak dipercaya” ia dijemput satu unit kecil pasukan elit

marinir Amerika dan disembunyikan di sebuah kapal induk armada ketujuh.

Sebagian yang lain mengatakan ia berkelana dalam penyamaran—seperti dulu Tan

Malaka dalam penyamaran berkelana—dan kabarnya sekarang tinggal di rumah

Mr. Coultier, seorang tokoh Partai Buruh Australia. Kontakku yang lain lagi

konon pernah melihatnya di stasiun Solo Balapan, berdagang cendol.

Sepucuk surat dari Freedom for Asian Foundation kantor perwakilan

Jakarta datang pagi ini. Aku diminta hadir untuk wawancara.

Bagaima mungkin aku tega menceraikan Meita?


97


Sejauh ini yang sudah dapat dipastikan tewas 15 orang. 7 mahasiswa dan 8

rakyat biasa. Aku tidak yakin dengan jumlah korban tewas ini. Melihat cara kerja

militer yang sangat metodis dan sitematis di dalam sejarah konflik di Indonesia,

aku yakin korban tumbal Sidang Istimewa yang berjatuhan di Semanggi jauh lebih

banyak.

Aku tak pernah ingin menceraikan Meita tetapi dia juga punya hak untuk

punya anak, untuk memperoleh keturunan. Di usiaku yang sekarang, sangat

menyedihkan bila aku bersikap egois, hanya mementingkan diriku sendiri.

Sesak sekali dadaku malam ini.

Nessun Dorma sayup-sayup terdengar dari ruang tengah. Dan mataku

basah. 

Maret 1986 – November 1989

(26 Maret 1986)

RAN, kemarin pagi, aku bercerita banyak kepada Bu Winarti. Aku

ceritakan semua yang kuketahui tentang kamu. Semua perasaanku kepadamu.

Bu Winarti masih ingat ketika aku datang kepadanya lebih kurang dua

tahun yang lalu, meminta nasehatnya bagaimana mengatasi perasaan rendah

diriku, menentukan penjurusan IPA-IPS, dan tentang kau.

Kukatakan kepada beliau tak ada lagi rasa rendah diri, dan keraguan

tentang penjurusan dulu itu tak beralasan karena ternyata aku tak salah pilih.
98
Tetapi kukatakan kepada Bu Winarti bahwa kau tetap hidup dalam hidupku,

mimpi dalam mimpiku, angan dalam anganku.

(27 Maret 1986)

“Eh, ketemu lagi, doain aja deh aku…” begitulah kau lontarkan kata-

katamu. Ran, aku mencintai kamu. Kamu pernah tahu. Kini pun aku masih

mencintai kamu. Masihkah kamu tahu?

(28 Maret 1986)

Yey! Rupanya kau belum mandi. Belakangan kau bilang baru saja beres-

beres dan menguras bak mandi. Agak lama kau baru kembali, membawa nampan

dengan dua gelas sirup markisa di atasnya. Kau tampak segar. Habis mandi, sih!

(31 Maret 1986)

Daftar lagu yang direkam kembali dalam satu kaset. Khusus untukmu,

Ran.

Side A: All the Way (Sammy Davis Jr.); Here Comes the Sun (The

Beatles); Blueberry Hill (Skeeter Davis); All My Love (Cliff Richard); Honesty

(Billy Joel); Moon River (Jerry Butler); Sunshine on My Shoulder (John Denver);

Early Morning Rain (Peter, Paul & Mary); To Love Somebody (Bee Gees); One

Day in Your Life (Michael Jackson).

Side B: When I Falling Love (Nat King Cole); If Not for You (George

Harrison); Bridge over Troubled Water (Nana Mouskouri); Goodbye to the Island
99
(Bonnie Tyler); Moonlight Eyes (Nazareth); Scarborough Fair (Simon &

Garfunkel); Vision (Cliff Richard); Sorrow (M. Schuman); Goodbye My Love

(Theresa Tang); When You’re Gone (Maggie McNeal).

Ran, kamu sangat suka Goodbye My Love. Masih ingat ketika pada suatu

sore sehabis rapat OSIS kita pulang bareng jalan kaki hingga Astanaanyar?

Sepanjang jalan kamu pelan menyenandungkan lagu berlirik bahasa negeri

ayahmu itu.

(3 April 1986)

Ran, aku gelisah!

(15 Mei 1986)

Akhirnya!

Ran, aku terkejut ketika diberi tahu Bu Winarti, pagi itu juga, bahwa kita

akan berjalan paling depan, berdampingan, memimpin barisan para lulusan tahun

ini.

Menurut Bu Winarti, pilihan jatuh ke tangan kita karena selain kita berdua

aktifis dan pernah memimpin OSIS (aku ketua, kau sekretaris) juga karena

terutama kita termasuk yang berprestasi terbaik.

Coba Bu Winarti memberitahuku sehari sebelumnya, aku tentu akan

memilih memakai pakaian adat Sunda hingga akan terlihat lebih sesuai dengan

kebaya yang kamu pakai. Tidak cuma berbatik.

100
Sukar kulukiskan perasaanku, berdampingan dengan seseorang yang sejak

lama kucintai diam-diam dari awal hingga akhir acara perpisahan.

Banyak yang membuatku bahagia hari itu meskipun tentu saja yang paling

membahagiakan dari semuanya adalah karena kita betul-betul dimuliakan Bu

Winarti.

Aku tidak terlalu terkejut ketika diumumkan sebagai murid dengan

NEMxviii ke-3 terbaik, dinyatakan sebagai siswa teladan bersama dua siswa lain,

mendapat piagam penghargaan sebagai aktifis OSIS. Dan juga yang sudah kamu

duga itu, ya, itu dia, lulus PMDKxix.

Tentang yang terakhir ini aku teringat pada suatu hari ketika Bu Riris

Malakiano, wali kelas tigaku, sambil marah-marah mencoret pilihanku dan

memintaku dengan sangat mengganti pilihanku dengan pilihan lain yang

menurutnya lebih cocok untukku: Sospol UNPAD.

“NEM setinggi itu! Sayang kalau cuma masuk IKIP,” kata Bu Riris.

“Tapi Bu, saya….”

“Mau jadi guru? Bukan di situ bakatmu!”

Aku bersikeras tak mau mengganti pilihanku.

Bu Riris akhirnya mengalah, dan berkata pelan, “Ya… mungkin sudah

takdirmu. Mungkin kamu akan menemukan jalanmu sendiri. Tapi ibu tetap yakin

kamu tak akan pernah bisa menjadi guru meskipun kamu masuk IKIP dan lulus

dengan ijazah guru.”

Apa maksud Bu Riris yang cantik ini, ya, Ran?

101
Bu Riris memintaku naik ke atas panggung, bersama teman-teman lain

yang lulus PMDK juga. Ucapan selamat dan jabat tanganmu yang tulus

membahagiakan aku. Aku minta izin padamu. Kau mengangguk dan tersenyum.

(29-30 Mei 1986)

Selesai juga akhirnya!

Ran, aku mengumpulkan dan mengetik ulang 19 Sajak cinta untukmu.

Juli tahun ini usiamu 19 tahun.

Inilah puisi-puisi itu: Padamu Jua (Amir Hamzah), Derai-derai Cemara;

Cintaku Jauh di Pulau (Chairil Anwar), Surat Cinta; Di Beranda Ini Angin Tak

Kedengaran Lagi (Goenawan Mohamad), L’éducation Sentimentale; Haiku

(Subagio Sastrowardoyo), Dengan Puisi, Aku (Taufiq Ismail), A Cradle Song

(William Blake), A Farewell (Tennyson), Ode to Autumn (John Keats), My Love is

Like a Red Red Rose (Robert Burns), Present in Absence (John Donne), Stanza;

Hutan Bogor (Rendra), Bunga; Sungai Bening (Sitor Situmorang), Langit Ungu

Matahari Jingga (Saini KM), Malam Laut (Toto Sudarto Bachtiar).

Aku tidak akan pernah berhenti berterima kasih kepada Bu Winarti yang

dalam hatiku akan selalu menjadi guruku tersayang. Sejak di kelas satu beliau

menyediakan dirinya untuk menjadi “keranjang sampah” (istilah beliau sendiri)

persoalan-persoalan pribadiku. Beliau pun tak bosan-bosan meminjamkan buku-

buku sastra (novel dan kumpulan puisi), baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia

maupun Inggris. Beliau tahu aku suka membaca dan nilai bahasa Inggrisku sejak

kelas satu selalu 9.


102


(20 Juni 1986)

Sepucuk surat singkat dan kartu lebaran yang dibuat sendiri datang tadi

siang, dikirimkan 11 Juni 1986 (stempel pos).

Ran, kartu lebaranmu sederhana. Karena kesederhanaannya itulah menjadi

sangat indah dalam hatiku. Sebuah lukisan cat air: rumpun bambu, gunung yang

jauh, danau yang samar. Warna biru di mana-mana.

Ada tulisan tanganmu di situ: Wilujeng boboran. Mugi kersa ngahapunten

sagala kalepatan abdi.xx Nb: Terima kasih untuk kaset dan “19 Sajak Cinta” itu.

(23 Juni 1986)

Sabtu, 21 Juni 1986. Pukul empat lebih seperempat petang.

Pembantumu membukakan pintu, mempersilakan aku masuk. Tapi waktu

itu aku lebih suka berdiri di halaman, memandang sekitar. Gerimis turun. Ranting-

ranting pohon dan bunga-bunga basah. Hamparan rumput di taman lembut dan

segar seperti agar-agar.

Tiba-tiba ibumu keluar dan menyuruhku masuk. Aku gugup, “Monggo, eh,

mangga, Bu.”

Ibumu mengajakku ngobrol. Katanya kamu sedang mandi. Ibumu sangat

baik, Ran. Kemudian kau datang berbaju putih, berenda motif kembang-kembang

yang dipadukan dengan rok panjang hitam. Paduan warna yang semakin

mempercantik wajahmu yang klasik. Bibirmu lembab, matamu cemerlang,

rambutmu basah. Kita saling menyapa, bersamaan: “Hai!”


103
Ibumu tersenyum dan pergi.

Dan malam ini Sammy Davis Jr. bernyanyi:

When somebody loves you, it’s not good unless she loves you. All the way.

Happy to be near you, when you need someone to cheer you. All the way. Taller

than the tallest tree is that’s how it’s got to feel. Deeper than the deep blue sea is

that’s how deep it goes if it’s real. When somebody needs you, it’s no good unless

he needs you. All the way. Through the good or lean yours and for all the in-

between years, come what may. Who knows where the road will lead us. Only a

fool would say. But if you let me love you, it’s for sure I’m gonna love you. All the

way, all the way.

(11 Juli 1986)

Till a’ the seas gang dry, my dear, and the rocks melt wi’ the sun: And I

will love thee still, my dear, while the sands o’ life shall run (Burns).

(12 Juli 1986)

Ran, saat pamit pulang kepadamu hatiku panas dengan bara, jiwaku

pusing, kepalaku pedih. Hanya ada dua kalimat dalam dadaku: Aku tidak ingin

kamu direbut orang lain. Aku mencintai kamu.

Begitulah, ketika sampai di perempatan jalan itu, aku putuskan untuk

kembali, ke rumahmu. Dan saat tiba di depan pintu rumahmu, hari telah berubah

gelap. Di langit bulan patah dan satu-satunya bintang berkabut.


104
Kau keluar, mempersilakan aku masuk. Aku tetap di luar. Nafasku berlari

cepat. Aku tatap matamu dan lepaslah dua kalimat itu: “Aku tidak ingin kamu

direbut orang lain. Aku mencintai kamu.”

Kau tertegun. Mukamu memias. Kau menunduk.

“Maafkan aku,” kataku.

Perlahan mukamu tengadah kembali. Kau pandang aku dan kembali

menunduk.

“Maafkan saya,” katamu.

Dan langit runtuh. Dan selamat datang duka dan kegelapan!

Bernyanyilah sepuas-puasnya untukku, Maggie, she’s gone, McNeal, she’s

gone.

(15 Juli 1986)

Langit rebah.

Mata air berhenti mengalir.

(2 September 1986)

Begini saja, Ran. Sekali lagi, aku mencintai kamu.

Yuk, Aku mau belajar sekarang!

(19 September 1986)

Tentu saja tak ada masa lalu yang paling membekas hingga kini selain

ketika sosok Ran hadir.


105
Tolonglah! Biarkan malam berlalu tanpa masa lalu.

(19 Oktober 1986)

Entah apa yang harus kulakukan kini.

(9 Januari 1987)

Kemarin ke Wyata Guna, di Jalan Pajajaran, setelah lebih kurang dua

pekan absen. Menjadi tenaga pengajar volunteer di sana sangat menyenangkan.

Kadang-kadang tugasku seharian cuma membacakan cerita. Aku selalu terkagum-

kagum dan sering dibuat terkejut oleh begitu pekanya hati mereka.

Ran, bagi mereka dunia gelap. Namun, hati mereka berlimpahan cahaya.

Ada surat lagi dari Corrine Hordeau. Perangkonya tujuh franc. Ia

menyisipkan dua helai kartu pos. Ada La Maire dan L’Eglise. Ada juga Rue Jean

Jures dan Avenue General de Gaulle yang lengang.

Keindahan kota St. Saulve.

… I send you postcards because I had promise you. You remember?? Yes,

I received a lot of presents, I obtained a lot of pleasures…. I have anything forgive

you, the most important thing that you write me…. I hope these postcards enjoyed

you…. As soon. Corrine. P.S. I’m sorry for my bad English.

Aku agak terlambat membalas suratnya terakhir.

(28 Januari 1987)

Surat dari pen-friend baru: Christina Georgerini. Tinggal di Livorno, Italia.


106
I am an eighteen girl with very dark and long hair, and my eyes as blue as

sky. I’ve heard your country, a big and nice one. And Bali. Would you like to tell

me more about this Goddess Island? I like my place, Livorno. Someday you must

go here. Please write me soon. Christina.

Suratnya ditulis di atas selembar kertas bekas yang bagian belakangnya

penuh kalimat-kalimat berirama seperti pantun (bahasa Italia?) yang aku tidak

ngerti. Apakah Italia negeri miskin?

(24 Maret 1987)

Ran (maaf) aku tetap mencintaimu.

(16 Juni 1987)

Hatiku kini batu.

(18 Juni 1987)

Ran, hari ini secara resmi, bagi kami, masa kuliah semester II telah

berakhir. Aku tak pergi ke kampus. Kemarin membayar SPP dan iuran

kemahasiswaan. Ketemu Yusuf Supriatna, sang ketua himpunan, di sekretariat.

Ada juga Fahmi Iskandar (Fais) dan Abdullah Mahfuz (Afuz). Kami diskusi.

Afuz bertanya: “Bagaimana kabar Ratna?”

Aku cuma tersenyum. Aku memang selalu berusaha menghindar darinya.

Kenyataan bahwa meskipun aku dan Ratna satu jurusan tetapi berbeda program,

Ratna D-3 dan aku S-1, sangat membantu.


107
Ah, Ran, aku teringat hari-hari penataran dan OPSPEK, nama alias

perpeloncoan, yang melelahkan, kadang-kadang menyenangkan, tetapi lebih

banyak menyebalkan….

(22 Juni 1987)

Pergi ke kampus, biasanya tempat pertama yang kukunjungi adalah

perpustakaan. Mengembalikan dan meminjam buku lain.

Bertemu Meita Intania yang usianya dua tahun lebih tua dariku dan yang

entah kenapa tiba-tiba berbicara panjang lebar tentang masalah pribadinya. Aku

berusaha menjadi pendengar yang baik baginya.

Di depan Laboratorium Micro Teaching, Ratna berdiri gelisah.

- Maaf, membuatmu lama menunggu.

- (Tersenyum). Nggak apa-apa. Belum lama kok.

(29 Juni 1987)

Menerima limpahan perhatian Ratna, ada sesuatu yang mengganjal di

dadaku: sakit, nyeri, pedih, perih.

Kamu, Ran.

(15 Juli 1987)

Seminggu yang lalu. Pergi ke kampus untuk membuktikan perkataan

Nirwan Nazir perihal nilai-nilai ujianku. Ternyata benar. Nirwan memang orang

108
jujur. Bahasa Inggris: A. Bahasa Indonesia: A. Hukum Islam: A. Pengantar tata

Hukum Indonesia: G alias Gagal, harus mengulang tahun depan.

Masa berkabung “12 Juli” selama satu tahun, telah kuakhiri tiga hari lalu.

Kapan aku dapat bersikap realistis? Lebih damai menghadapi kenyataan?

Kadang-kadang aku bertanya: Apakah aku masih waras? Atau sudah gila?

(25 Juli 1987)

Akhirnya aku bercerita tentang Ran kepada orang lain. Kepada Ningrum

dan Nirwan. Aku tak ingin melukai perasaan Ratna, sahabat tersayang mereka

berdua.

(11 Oktober 1987)

Ran, inilah awal kesadaran. Soe Hok Gie mengajariku!

Pengunduran diriku yang “kontroversial” dari kepengurusan himpunan

(wakil ketua), seperti dugaanku, mengundang banyak reaksi. Kawan-kawan

seangkatan umumnya tak mengerti; para senior ada yang tak setuju,

mengacungkan jempol, mendukung, ada juga yang tiba-tiba membenci (aku baru

tahu rasanya dibenci orang). Sedangkan kebanyakan dosen menyayangkan. Akan

tetapi, apa peduliku?

Aku ditunjuk PD III, dan kemudian disetujui PR III, untuk mengikuti

diskusi pemimpin informal mahasiswa. Mewakili kampus kami. Peserta lainnya

berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa. Seorang peserta

datang terlambat. Andreas, utusan dari Satya Wacana.


109
Pada pertemuan inilah aku berkenalan dengan R. Bagus Sartono, wakil

dari kampusku juga. Keningnya yang luas, kedua matanya yang cekung, wajahnya

yang lonjong, kata-katanya yang sistematis dan terangkai lugas, memperlihatkan

ia berpikir dengan kepala jernih, membawaku pada kesimpulan bahwa ia bukan

jenis mahasiswa kebanyakan. Memperhatikan pandangan-pandangannya tentang

banyak hal, aku mengambil kesimpulan lagi: baginya persoalan seberat apa pun

ringan saja. Seringan senyum dan ayunan kakinya ketika ia melangkah.

Beberapa hari setelah pertemuan itu aku membentuk kelompok diskusi.

Kuajak Rukmana Ekajati, anak Sejarah, dan Hanson Sihombing (seorang mualaf,

lebih suka dipanggil Hans), anak Dunia Usaha.

Aku menerbitkan buletin. Namanya Seminar, singkatan dari “Seruan

Mahasiswa Indonesia untuk Kebenaran”. (Afuz ngeledek, “Bukan Seminarsari?”

Aku tertawa dan balik ngeledek, “Naksir, ya?”).

Dengan Seminar ini aku merasa dapat mengasah kepekaan sosial-

politikku. Biaya penerbitannya kutanggung sendiri. Aku menjadi pemimpin

redaksi, tukang fotokopi, penulis, sekaligus loper buletin empat halaman itu. Edisi

pertamanya sebagian kubagi-bagikan pula kepada para peserta diskusi pemimpin

informal mahasiswa se-Jawa itu.

Gara-gara Seminar aku kencang dicurigai dan dituduh mahasiswa lain,

terutama yang berasal dari lingkungan organisasi formal kampus, sebagai

“seorang agen dari kekuatan politik yang besar dan tidak kelihatan”.

Agen CIAxxi, kali.

110
Rezim ini telah suskes menciptakan generasi penakut dan pencuriga. Ran,

aku melangkah. Gie, terima kasih.

(12 Oktober 1987)

Di kampus banyak hal terjadi, dan di kelas, Ran, demokrasi mati.

Ada seorang dosen yang memproklamasikan dirinya sebagai pengikut

“powerism”. Wah, bahaya! Bukankah, sekurang-kurangnya menurut Lord Acton,

power tends to corrupt and the absolute power tends to corrupt absolutely?

Di sisi lain, aku perhatikan kawan-kawanku lebih banyak melakukan

aktivitas rekreatif, hura-hura. Tak memiliki kepekaan terhadap persoalan-

persoalan sosial-politik. Ini juga menjadi kecenderungan mahasiswa pada

umumnya, termasuk mahasiswa kampusku, dan menjadi salah satu topik yang

kami bahas dalam pertemuan pemimpin informal mahasiswa se-Jawa yang lalu.

Dan di sini, di kampus ini, aku kerap merasa bosan. Suasananya terlalu

tenang dan sumuhun dawuhxxii. Mereka pikir karena mereka “cuma” akan jadi

guru? Begitu sempitkah mereka memahami arti “guru”?

Kadang-kadang aku menyesal kenapa tidak kuikuti saran Bu Riris dulu….

Ada seorang dosen muda yang sering bicara panjang lebar tentang

demokrasi namun sangat text-book thinking. Buku teksnya dari zaman dia

mahasiswa sepuluh tahunan yang lalu.

Kami dijejali teori-teori demokrasi, tetapi di luar, para petinggi kampus

cenderung pamer kekuasaan. Bahkan himpunan mahasiswa pun menggunakan

111
tangan jurusan untuk menekan mahasiswa membayar iuran himpunan atau kalau

tidak (membayar) kontrak kredit dibatalkan.

Ada dosen lain yang kelihatan nikmat sekali setiap kali mengutip kata-kata

Thomas Jefferson. Namun kuperhatikan, entah sadar entah tidak, ia mengelola

mata kuliah seperti Lenin mengurus Rusia. Kunikmati parodi ini.

Terus-terang, Ran, aku merasa terhibur memperhatikan tindak-tanduk

orang dengan pribadi yang terbelah, split-personality, seperti dosen itu.

Ah, bukankah aku juga pribadi yang terbelah?

(13 Oktober 1987)

Seminar edisi kedua yang mengkritik habis-habisan militerisme

terselubung dalam kehidupan bernegara menimbulkan banyak reaksi….

Sudah dapat dipastikan Soeharto kembali jadi presiden. Ini bukan hal baru.

Kebulatan tekad dilakukan di mana-mana, jauh sebelum pemilu, sebuah rencana

strategis, sistematis dan terstruktur the rulling class: GOLKAR + BIROKRASI +

ABRI.

The rulling class berhasil menciptakan arus pembebekan dan kelatahan

nasional. Aku takjub ketika Soeharto berkata “miris” untuk berkuasa lagi dan

minta jika nanti dipaksa turun, jangan lewat ribut-ribut. Namun kupikir pula, ini

penjabatan presiden seumur hidup yang dibuat secara legal, menumpang

kendaraan MPR supaya tidak terlihat inkonstitusional. Aku pikir juga akal bulus

pressure groups sangat kuat dalam hal ini.

112
1 Oktober yang lalu anggota MPR/DPR dilantik. Ada “kasus Ali Said”

yang tidak biasa dalam konvensi kenegaraan. Gaji dan tunjangan anggota

MPR/DPR naik. Mudah-mudahan mereka tidak lupa bahwa uang gaji dan

tunjangan mereka berasal dari rakyat dan tingkat “kevokalan” mereka harusnya

naik juga. Kecuali jika mereka tidak malu untuk terus-menerus 4N: ndatang,

nduduk, ndiam, nduit. He… he….

Ran, aku melihat juga peran ulama di negeri ini terpinggirkan. Sebagian

karena ulah mereka sendiri. Mengeluarkan fatwa tentang porkas saja tidak serius,

lama lagi munculnya. Kudengar bahkan banyak dari mereka yang merasa “aman

dan nyaman berteduh di bawah pohon beringin”.

Aku mampir ke British Council tadi pagi. Aku memerlukan sejumlah

referensi. Ternyata memfotokopi di sana lama sekali. Antri.

Ran, mengapa kau harus menjadi bagian dari hidupku? Mengapa aku tidak

dapat melupakanmu?

Apakah aku harus terus berkabung seumur hidup?

Dan George Harrison berkata seperti ini:

What I feel I can’t say but my love is there for you anytime of day. What I

know I can do if I give my love to everyone like you. But if it’s not love that you

need then I’ll try my best to make everything succed. And tell me, what is my life

without your love? And tell me who am I without you by my side.

(14 Oktober 1987)


113
Ran, tadi malam kegelisahan begitu mencekam. Sebelum akhirnya aku

tertidur (pukul dua). Pulas. Dan bangun setengah lima pagi.

Malam itu, aku tiba-tiba rindu kematian. Padanya kukatakan, datanglah

kau bersama samudera. Yang ada hanya sepi, kebiruan.

Kuliah.

Mr. Ismail Batubara ngotot. Ia menyuruhku membaca, dan dua minggu

kemudian harus menerangkan di depan kelas, The Indonesian Society in

Transition (Wertheim). Tapi guru politik dan filsafatku tersayang ini tak mau

meminjamkan bukunya kepadaku. Payah.

Seminggu sebelumnya aku sudah mencari buku itu ke mana-mana:

perpustakaan kampus yang bukunya terbatas dan mengenaskan itu, British

Council, pasar buku loakan Cikapundung. Nihil! Padahal Mr. Ismail pun beberapa

kali, jika tak mau dikatakan sering, meminjam bukuku. Yang dua ini bahkan

belum beliau kembalikan: Penelitian Agama (aku lupa nama editornya) dan

Exploring Society (dieditori Robert G. Burgess). Buku yang disebut terakhir

termasuk buku baru dalam penelitian sosiologi empiris. Tak apalah. Rupanya aku

tengah disuruh berproses, berpayah-payah.

Bahasan Ningrum cs. tentang “Religi dan Kebudayaan” bagus (boleh

dikatakan neo-Freudian) namun mengandung banyak kekeliruan teoretis yang

bersifat elementer. Aku menambahkan beberapa pandangan.

Di luar, Ningrum nanyain buletin Seminar edisi berikutnya. Aku bilang

lagi “reses”.

114
Aku bertemu kawan-kawan seangkatan, dan memberi mereka pekerjaan

rumah, sebuah pertanyaan tentang kebenaran mutlak.

Ketemu Hans. Aku minta ia merencanakan pertemuan.

Sebelum pulang aku nengok Nirwan. Katanya sakit. Namun di tempat

kosnya tidak ada. Tetangganya bilang dia pulang kampung. Sakit kok pulang

kampung….

(14 Oktober 1987)

Ran, kemudian aku ingat kamu lagi. Sampai mampus pun aku ingat kamu.

(Sorry Ran, aku lagi marah-marah. Diksiku menjadi kurang terkendali).

Dan lagi-lagi, George Harrison:

If not for you, I couldn’t even find the door. I couldn’t even see the floor.

I’d be sad and blue. If not for you, the night would see me wide awake. The day

would surely have to break. It would not be new. If not for you my sky would fall,

rain would gather too. Without your love I’ve be nowhere at all, I’d be lost if not

for you. If not for you, the winter would hold no spring. I couldn’t hear the robin

sing. I just wouldn’t have a clue.

(17 Oktober 1987)

Ran, aku bangun setengah tiga pagi. Aku mimpi, lama, tidak biasa, juga

buruk. Aku mimpi ketemu kamu. Mengucapkan salam dan duduk lama-lama.

115
Ngobrol. Aku lihat orang lain, Ratna Suminarsari, yang begitu kristal, begitu

lembut, menangis.

Kemarin malam mimpiku sama persis. Tapi yang berdiri dalam diam di

kejauhan memandang kita ngobrol itu orang lain lagi: Meita Intania.

Nanti malam program “sarasehan kopi pahit” dimulai. Kerja sama dengan

Acep Sumiyadi. Mahasiswa yang di jurusannya terkenal sebagai pembaca puisi

hebat dan pengagum berat penyair Sutardji Calzoum Bachri ini adalah ketua

himpunan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Masih banyak yang ingin kutulis. Tetapi sulit sekali rasanya. Mimpi tadi

malam dan malam sebelumnya membuatku sangat terganggu.

(18 Oktober 1987)

Ran, inilah pendapat kawan-kawanku tentang kebenaran mutlak itu.

Bagi Abdullah Mahfuz, kebenaran mutlak itu diri kita, ego kita, dan di

akhir diskusi ia bilang, “Yang didasarkan keimanan kita.” Terpengaruh teman-

teman lain, tampaknya.

Menurut Ningrum kebenaran mutlak itu agama dan tidak bersifat relatif

tetapi betul-betul—ia menekankan betul kata “betul-betul”—mutlak, absolut.

Baginya kebenaran mutlak adalah dogma.

Namun, menurut Nirwan Nazir, kebenaran mutlak itu tidak ada di dunia

ini. Ia akan kita rasakan bila kita sudah mati! Aku bertanya kepadanya: “Apakah

pada saat kita masih hidup kita tidak dapat menemukan kebenaran mutlak?” Ia

menjawab tegas: “Tidak!”.


116
Fahmi Iskandar alias Fais bilang, “Kebenaran mutlak itu Tuhan”. Rasanya,

pendapat ini diketahui semua orang.

Nirwan mendukung pendapat Fais. Menurutnya, jika kita tidak

menempatkan Tuhan sebagai kebenaran mutlak, kita hanya akan mengulangi

kesalahan Faust: menjual jiwa kita kepada Mephisto. Maklum Ran, dia pengagum

Goethe hingga ke ubun-ubun. Seolah-olah cuma dia seorang di dunia ini yang

membaca Faust.

Windy Sudirman berpendapat kebenaran mutlak itu hati nurani. Apa yang

menurut hati nuranimu benar, itulah kebenaran. Bagi Windy kebenaran mutlak itu

juga adalah Kasih yang menuntun manusia pada pembebasan spiritual. Aku suka

pendapat yang terakhir ini, sangat teologis.

Sementara itu, Cecep Syamsul Hari, “si penyair yang mengunci pintu”—

kami menyebutnya begitu karena ia sangat tergila-gila pada puisi dan pendiamnya

minta ampun—bilang kebenaran mutlak itu nonsens. Tidak ada. Kebenaran selalu

bersifat plural. Relatif. Ketika kutanya apa alasannya. Ia cuma senyum-senyum,

klamas-klemes.

Aku merangkum pendapat-pendapat kawan-kawanku ini untuk topik

utama Seminar edisi ketiga. Bahan dari sumber-sumber lainnya sudah cukup

memadai.

Kuliah kedua. Hukum pidana. Yang masuk asisten dosen tetapi dia tak

mau ngasih kuliah karena katanya takut ditegur “senior”. Ya Tuhan!

Pulang.

117
Sepanjang jalan ngobrol dengan Windy Sudirman. Bercanda berulang kali.

Manas-manasin teman-teman lain.

- Kamu baik. Tapi sayang kalau kita dekat, di kelas kita ada yang

cemburu.

- Ini rayuan atau pujian?

- (Windy tertawa). Dua-duanya….

- Ngomong-ngomong siapa yang cemburu itu?

- Ada, aja!

- Cemburu ke kamu atau cemburu ke aku?

- Ya ke aku, ya ke kamu juga!

- Afuz, ya?

- Pingin tahu aja…. (Windy tertawa lagi).

Di kelas kami, gigi Windy yang putih seluruh, berbaris amat rapi, sungguh

tiada tandingan. Mestinya ia jadi model film iklan pasta gigi. Lagi pula wajahnya

memang wajah seorang model. Ayahnya Jawa, maminya Manado.

Malamnya diskusi “sarasehan kopi pahit” sampai sekitar pukul dua belas.

Pertemuan rutin berikutnya akan dilakukan dengan memanfaatkan kelompok

diskusi yang sudah ada: Kelompok Studi Lingkar.

Ahmad Budianta, pengagum berat Tan Malaka namun seorang Soekarnois

dalam berpikir dan Marhaenis dalam bertindak menimbulkan rasa kagumku.

Kabarnya, dia sering memprotes kebijaksanaan birokrasi di jurusannya yang

sering merugikan mahasiswa dan oleh karena itulah dia dianggap “pemberontak”.

118
Pikiran-pikirannya yang cerdas, keluar dari hasil kunyahannya atas bacaan-bacaan

yang cerdas pula, sering dianggap aneh. Karena itu jugalah, konon, dia tidak lulus-

lulus.

Ahmad bilang aku harus mampu “mewarnai” himpunan mahasiswa,

fakultas, kampus kami dan kalau bisa kampus-kampus lain.

Ini jawabanku, Ran: “Ya. Dan sayalah yang memilih warnanya, bukan

Anda.”

(20 Oktober 1987)

Ran, Senin kemarin seperti biasanya hari rumah dan istirahat.

Sudah setahun lebih ibuku selalu menghindar untuk bertemu denganku,

bahkan di rumah ini, rumah pemberian kakekku ini. Ia mengurung diri seharian di

kamar. Entah apa yang dikerjakannya. Mungkin bertapa. Untuk urusan itu ibuku

memang ahlinya.

Kenapa ibu bersikap seperti itu kepadaku?

Bukankah rumah ini menjadi damai justru setelah ayah tiriku mati?

Entahlah, aku semakin sering mabuk akhir-akhir ini. Mungkin ibu dan Bi

Encum juga sebenarnya tahu.

Aku meneruskan penerjemahan bab tentang demokrasi dari buku Roger H.

Soltau, An Introduction to Politic.

Malam ini aku lelah sekali.

Penerjemahan kawan-kawanku cukup baik tetapi mentah. Semuanya

kurevisi kembali. Tanggung jawabku sebagai ketua kelompok.


119
Tadi pagi ke British Council. Aku menemukan buku yang lumayan

menarik. Ditulis B.N. Pandly, South and South-East Asia 1945-1979: Problems

and Politics. McMillan Press, 1980. Setidaknya aku membaca “pendapat kedua”

lainnya tentang demokrasi terpimpin Soekarno, revolusi, dan apa yang disebut

Pandly, coup d’etat PKI serta pengganyangannya.

Buku itu kandungan isinya hampir sama dengan sebuah bab dalam World

Politic since 1965, ditulis Peter Colvocoressi. Yang aku garis bawahi dan aku

ingat terus dari buku ini, Ran, adalah kalimat berikut (hlm. 317): in a counter

coup, widely believed to have had American aid, something like a half million

communists (including Aidit) or supposed communist were killed and the army

established its control over Soekarno and the country.

Begitu murahnya nyawa dalam suatu revolusi! Hok Gie bilang sekitar

300.000 orang. Namun sampai saat ini kayaknya hanya rezim ini yang tahu berapa

sesungguhnya jumlah yang mati pada waktu ritus balas dendam itu dilakukan,

dengan garang, dengan sangat garang.

Aku sama sekali tidak bangga kakekku pernah menjadi bagian dari ritus

balas dendam itu ketika ia membunuh 3 orang komunis di kampungnya di Subang.

Pembantaian yang mendapat restu, dan dilakukan di hadapan sejumlah, tentara.

Para tentara itu menyuruh kakek mengambilalih tugas mereka untuk menghemat

peluru. Kakek membunuh mereka satu persatu, masing-masing dengan sekali

pukulan di kepala.

120
Lalu ke perpustakaan daerah di Cikapundung, mencoba mencari (lagi)

Indonesian Society in Transition. Tak ada. Yang kutemukan malah Protest

Movement in Rural Java Sartono Kartodirdjo.

Mr. Ismail mendidikku sungguh-sungguh rupanya.

Malaikat maut kerja sekaligus kemarin (19 Oktober), sekitar pukul tujuh

pagi, di Jakarta. Tabrakan kereta api. Bintaro. Berita terakhir malam ini, pukul

sembilan, korban meninggal mencapai seratus lima puluh orang, tiga ratusan

lainnya luka-luka berat dan ringan.

Aku sedih sekali. Ran, ternyata bukan hanya pada saat revolusi nyawa

terasa murah.

(25 Oktober 1987)

Hans dan Rukmana kompak sekali. Kelompok diskusi kami mulai jalan

secara lebih teratur.

Rukmana mengenalkan pacarnya kepadaku. Namanya Yani Fatmawati,

anak Geografi. Manis dan kelihatannya smart. Wajahnya mirip-mirip Meita.

Ternyata Rukmana punya good taste juga.

Rukmana pun mengenalkan aku kepada Ahmad Syubbanuddin Nasution

(Syubban) dan Umar Said. Sementara Hans membawa Samiun Salim dan Abdul

Gani Ibrahim (Gani). Keempat orang itu berasal dari UNPAD dan ITB.

Di kalangan aktifis di kampusnya, Syubban sangat terkenal dengan

“Sumpah Syubban”-nya: “Langit saksiku! Sebelum Soeharto turun aku tidak akan

kawin!”
121
Dicapai sejumlah kesepakatan, antara lain kelompok diskusi kami akan

bergerak di bawah tanah. Tujuan kelompok diskusi kami adalah juga yang

menjadi tujuan kelompok-kelompok diskusi dan organisasi bawah tanah lain:

MERUNTUHKAN REZIM OTORITER ORDE BARU.

Perjuangan ke arah itu akan memakan waktu yang lama dan kemungkinan

gagalnya sangat besar. Kami tahu siapa yang kami hadapi, tritunggal kekuasaan:

Soeharto + Militer + GOLKAR. Tiga kekuatan raksasa.

Kami sepakat untuk menggunakan semua cara yang mungkin untuk

mencapai tujuan itu. Langkah pertama yang akan kami lakukan adalah

menyusupkan pemikiran tujuan itu sebagai sebuah arus berpikir organisasi-

organisasi formal kampus.

Kami percaya pada akhirnya mahasiswalah dan bukan elemen masyarakat

lain yang kelak akan menjadi ujung tombak dalam menggulingkan Soeharto.

Jaringan menjadi perkara penting. Hubungan dengan berbagai kelompok lain, di

bawah dan di atas tanah, harus mulai dibina.

Di Bandung, IKIP, UNPAD, dan ITB akan menjadi tempat-tempat

pematangan pertama untuk arus berpikir itu. Aku mengurus IKIP. Syubban

mengurus UNPAD. Gani mengurus ITB.

Menyangkut masalah jaringan, poros Bandung-Jakarta mendesak untuk

segera dibentuk. Rukmana, Yani, Umar, Samiun, akan melakukan dan membina

kontak dengan Jakarta. Khususnya dengan kawan-kawan di UI dan Trisakti.

Waduh, Ran, my bonnie lass, pulpenku rusak.

122
(Terpaksa kulanjutkan dengan spidol hijau Bi Encum).

Terlalu sering kugunakan atau tidak hati-hati? Tampaknya yang

terakhirlah penyebabnya. Pulpen elok nian itu hadiah dari Ratna bulan Juni lalu.

Waktu itu, ia menungguku di depan Laboratorium Micro Teaching. Ia

mengajakku ke toko buku Gramedia, di Jalan Merdeka.

Aku membeli tiga buku. Ia membeli setumpuk majalah dan segebung

buku.

Ia bertanya kepadaku apakah tidak keberatan jika ia memberiku hadiah

kecil.

- Asal tidak merepotkan.

- Saya belikan pulpen, ya?

- Wah, terima kasih.

- Kamu pilih sendiri ya….

- Your wish is my command.

Ia tertawa.

Aku mengambil pulpen yang harganya paling murah.

“Jangan yang itu… jangan yang itu… simpan lagi!” jeritnya panik. “Sudah

sudah sudah, saya yang pilih sendiri.”

Akhirnya ia memilihkannya sendiri untukku. Aku mengintip harganya.

Mahal sekali.

- Terlalu mahal, Inar.

- Terlalu murah untuk orang sebaik kamu.

123
- Aku tidak sebaik yang kamu kira.

- Pulpen ini pun tidak semahal yang kamu kira.

Tak bisa tidak, aku cuma bisa tertawa mendengar jawabannya.

Sambil menunggu bis, Ratna Suminarsari (hanya aku seorang yang

memanggilnya Inar) cerita bahwa Afuz sering ke rumahnya. Dan kemarin malam

ia mengungkapkan isi hatinya.

“Saya bilang ke Afuz,” kata Inar, “saya perlu waktu untuk

memikirkannya.”

Inar lama diam.

“Bagaimana kabar Ran?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan ini tidak mengejutkan. Setelah bercerita tentang kamu, Ran, ke

Nirwan dan Ningrum beberapa waktu lalu, pertanyaan itu hanya tinggal

menunggu waktu keluar dari bibir Inar.

“Aku tidak tahu,” jawabku singkat.

Inar diam lagi. Lebih lama dari sebelumnya.

“Afuz anak baik. Agak childish memang, tapi baik. Tidak ada alasan bagi

kamu untuk menolaknya kalau memang kamu mencintainya,” kataku. “Kecuali

kalau kamu mencintai orang lain.”

Bis datang. Tidak terlalu penuh.

“Hati-hati,” kataku ketika ia naik lewat pintu belakang bis itu.

124
Inar masih sempat tersenyum manis sekali dan melambaikan tangannya. Ia

termasuk seorang perempuan yang dilimpahi karunia langit: memiliki senyum

yang meruntuhkan. Senyum yang memiliki kualitas kenangan.

Inar menolak Afuz.

(30 November 1987)

Ran, seminggu aku tak menulis. Betul-betul tak sempat. Banyak sekali

yang harus kulakukan. Terkadang ketika kesempatan untuk menulis ada, aku telah

terlalu lelah.

26 Oktober.

Ujian Ilmu Politik. Masalah-masalah demokrasi dan sosialisme lancar

kujawab. Lainnya tidak. Aku pikir hasilnya tidak begitu baik. Pulang, langsung

ke Gramedia (dengan Inar) membeli buku Masalah Sosial Budaya Tahun 2000.

Bunga rampai. Tulisan Soedjatmoko yang kuperlukan ada di situ.

27 Oktober.

Ke perpustakaan Cikapundung (dengan Inar). Pulang dari rumah Inar,

langsung ke kampus. Janji ketemu Afuz. Ditunggu sampai pukul lima sore Afuz

tidak muncul.

28 Oktober.

Pengakuan Inar: “Aku akan menjadi sahabatmu, dan hanya akan menjadi

sahabatmu, sebelum Ran-mu itu benar-benar menjadi masa lalu bagimu”.

Sore itu Inar mengajariku memasak. Tak tanggung-tanggung: membuat

rendang!
125
Di ruang kuliah akhirnya aku membahas buku Van Neil, The Emergence

of The Modern Indonesian Elite.

Mula-mula Mr. Ismail tak setuju dan memberiku waktu dua minggu lagi.

Aku bersikeras. Akhirnya aku diperbolehkan maju membahas buku itu. Diskusi

berkembang ke sana-ke mari. Sebagai moderator, Afuz kurang tegas.

Menjawab pertanyaan Ningrum tentang penafsiran Pancasila, aku bilang

bahwa dasar negara kita itu sangat berbahaya jika ditafsirkan dari point of view

ideologi lain seperti liberalisme, Marxisme ataupun eksistensialisme. Sama

berbahayanya jika ditafsirkan secara kejawen. Tafsir terbaik Pancasila adalah

agama.

Duduk di kursinya, di sudut barat yang jauh dan sunyi, Mr. Ismail

manggut-manggut. Mungkin mengantuk.

Mr. Ismail mengundangku ke rumahnya, sore itu juga. Kami berbincang-

bincang sampai beberapa saat sebelum waktu shalat magrib tiba. Akhirnya beliau

meminjamkan Indonesian Society in Transition itu. Namun aku tidak lagi disuruh

membahasnya.

Aku pamit dan mencium punggung telapak tangan Mr. Ismail, dosen yang

paling kuhormati bukan saja di jurusan tetapi juga di kampusku itu; seorang guru

yang kepadanya aku belajar filsafat dan pemikiran agama, dan sebagai murid aku

bersedia mencuci kakinya; seorang Master in de rehcten yang mantan anggota

Tentara Pelajar dan tidak meneruskan karir kemiliterannya sebab memilih

mengabdi kepada bangsanya dengan caranya sendiri: memperdalam ilmu

126
pengetahuan dan mengajarkannya; kabur dari McGill University, Kanada,

mengikuti dorongan hati nurani; menguasai dan fasih berbicara dalam delapan

bahasa asing: Belanda, Jepang, Perancis, Spanyol, Inggris, Jerman, Arab, dan

Persia.

Sayang, “Soedjatmoko” yang ensiklopedis dan lurus ini hidup di

“lingkungan intelektual” yang terlalu kecil untuk menampung pemikir sebesar itu,

sehari-hari dikelilingi orang-orang separuh matang. Kesepian.

Lebih sayang lagi, Mr. Ismail yang berperawakan kecil dan wajahnya

mengingatkan orang kepada Sutan Sjahrir ini, tidak menulis.

“Kamu menyembunyikan banyak hal,” katanya kepadaku di teras depan

rumahnya, “jiwamu menderita. Jangan sampai rahasiamu membunuhmu.”

Mr. Ismail lama sekali menatapku. “Soska”xxiii, katanya lembut, “suatu

ketika kamu harus berhenti melarikan diri.”

3 November.

Aku tidak berani mengatakan bahwa seminar sehari tentang gerakan

kemahasiswaan 1980-an sepenuhnya realisasi ideku, tetapi setidaknya move-ku

mengumpulkan ketua himpunan mahasiswa dan para stafnya pertengahan

September lalu tidak mubazir. Yusuf dan aku memiliki kesamaan pandangan dan

berjanji untuk tetap berada di jalur masing-masing dan terus berkomunikasi.

Yusuf aktifis HMI.

Sayang, hasilnya tak sesuai dengan harapanku. Memang betul kata Afuz:

“Jangan percaya pada seseorang yang berumur di atas 40 tahun”.

127
Para pembicara adalah para PR III dari IKIP, ITB dan UNPAD. Ketiga-

tiganya berbicara dengan nada yang sama yang jika disimpulkan membentuk

kalimat imperatif yang kacau-balau ini: Perjuangan daripada gerakan daripada

mahasiswa 80-an saat ini harus dipahami sebagai daripada bagian daripada

upaya ikut mengambil bagian secara aktif daripada menyukseskan pembangunan,

meninggalkan cara berpikir lama daripada gerakan mahasiswa 66/74/78 dan

daripada orientasi politik praktis, yaitu dengan berusaha dengan sungguh-

sungguh daripada meraih prestasi akademik.

Waduh, kau minta komentarku, Ran? Daripada, deh!

9 November.

Dengan Afuz dan kabut. Di kaki gunung Burangrang. Pagi hari.

burangrang

kula datang

teu niat nantang

teu pisan-pisan

kaendahan nu lawas

jigana moal kungsi mulang

katineung uing kaasih uing:

anjeun!xxiv

17 November.
128
Ran, tiga orang mahasiswa meninggal dunia dalam kasus helm. Radio

Nederland pagi ini mengupas insiden itu. Rukmana, Gani, dan Syubban

menggerakkan sekitar dua ratus mahasiswa Bandung, demo ke DPR mengecam

pihak kepolisian Ujung Pandang.

19 November 1987.

Kelompok diskusi kami berkumpul untuk mendesain pola gerakan di

kampus masing-masing, membentuk jaringan kerja dan informasi, dan membahas

lebih jauh “Kasus Ujung Pandang”. Gani, Umar Said, Syubban, hadir. Samiun

berhalangan.

Sehabis diskusi itu, kami berempat: Hans, Yani, aku, Rukmana, berkumpul

di sekretariat himpunan Sejarah yang sempit di samping Gedung Garnadi, sebelah

menyebelah dengan kantin fakultas tempat kami biasa makan siang. Kepada

mereka bertiga aku menawarkan blue-print penguasaan organisasi-organisasi

formal (himpunan mahasiswa dan senat) di lingkungan fakultas kami dalam satu

dua tahun ke depan. Kujelaskan pula visi, warna, dan implementasinya ke dalam

sejumlah program teknis. Untuk menjalankan program-program itu tidak bisa

tidak pada musim pemilihan ketua himpunan yang akan datang mereka bertiga

harus menjadi ketua himpunan di jurusannya masing-masing. Hans di Dunia

Usaha, Yani di Geografi, Rukmana di Sejarah.

Blue-print itu pun dibahas kami berempat dengan alot. Perkiraanku, sejauh

tidak ada variabel independen yang mempengaruhi rencana A, mereka bertiga

129
akan terpilih sebagai ketua himpunan. Kubahas pula rencana B dan C jika rencana

A gagal.

“Anda sendiri?” tanya Hans.

“Saya lebih suka Afuz yang menjadi ketua himpunan. Ia ‘orang kita’ juga.

Namun, saya tidak tahu kalau keadaan memaksa. Kita lihat saja nanti…” jawabku.

Yani berkata, “Belum pernah terjadi perempuan menjadi ketua himpunan

di Geografi.”

“Anda akan menjadi yang pertama,” jawabku.

Aku menegaskan kepada Rukmana, “Kelak, Anda saja yang memimpin

senat.”

Ketika pembahasan sampai pada persoalan memperluas lingkaran

pengaruh yang menjangkau seluruh himpunan mahasiswa dan fakultas di kampus

kami, Hans mengusulkan pendirian sebuah organisasi yang dapat mempengaruhi

opini publik.

“Saya sudah lama memikirkan,” kataku, “dan sedang melangkah untuk

mewujudkan, hal itu. Persoalannya adalah bagaimana kita menyiasati lubang-

lubang peraturan teknis NKK/BKK. Dan saya kira bentuk yang paling mungkin

adalah unit kegiatan. Sebuah unit pers. Kebetulan saya punya kawan. Namanya R.

Bagus Sartono, angkatan 82, dari fakultas lain, yang bisa membantu kita

menggolkan rencana itu. ‘Warna’-nya memang kurang begitu jelas tetapi

orangnya selain dapat diandalkan juga sangat cerdas. Suatu hari akan saya

perkenalkan kepada Anda semua.”


130
28 November.

Ujian Hukum Adat. Aku lupa kesimpulan Van Dijk.

Agak sore, ke rumah Inar. Mama-papanya baru saja pergi. Ada undangan

makan malam. Pertemuan bisnis.

Lepas isya itu, Bi Iroh, pembantu di rumah Inar, masuk ke kamar tidurnya.

Di meja makan, di dapur yang luas dan resik dan beraroma lemon itu, kami

makan malam berdua. Inar tiba-tiba kelihatan manjanya. Kami bercanda dan

bercakap-cakap tentang banyak hal. Ia pembaca yang rakus dan penikmat musik

dan film. Ia penggemar Chopin, Vivaldi, The Beatles, The Police, Queen, Duran

Duran dan Tracy Chapman. Sesekali ia juga mendengarkan Barbra Streisand,

terutama untuk dua lagu ini: The Shadow of Your Smile dan Some Enchanted

Evening. Ia pengagum berat Robert de Niro dan Al-Pacino. Untuk The Beatles

dan dua aktor watak ini kami nyambung. Saling pamer pengetahuan, bersambut-

gayung.

Bi Iroh kelihatannya sudah tidur.

Terjadi begitu saja. Aku bilang bahwa sudah saatnya aku pulang. Kami

berdiri. Lengannya belum lagi sampai ke grendel pintu ketika tiba-tiba kami

begitu dekat. Kami saling menatap. Dan, Ran, di kamar tamu itu, aku mencium

Inar. Mula-mula keningnya, sepasang alisnya, kedua kelopak matanya, lalu pucuk

hidungnya, kemudian bibirnya yang lembut seperti permen karet. Ia mula-mula

menolak, kemudian menyerah, lalu setelah pagutan yang lama, ia mendorong kuat

tubuhku. Aku melihat matanya berair.

131
Ia menangis, membebankan seluruh punggung dan kesadarannya ke

tembok pastel kamar tamu yang bisu. Aku menyesal.

Pukul sembilan.

Aku minta maaf. Inar diam saja. Aku pamit. Inar mengantarku hingga

pintu pagar.

Selang beberapa langkah dari rumahnya, ketika aku memanggil seorang

tukang becak, tiba-tiba aku ingat kesimpulan Van Dijk. Bandit!

(4 Desember 1987)

Aku ke rumah Hermawan, sahabat SMA yang kini nyeniman dan aktifis

kampus. Ngobrol soal politik, situasi terakhir di ITB, Indonesia sepuluh tahun

lagi, rencana “kudeta” anak seni rupa angkatan 86, Tigor dan kasetnya, wanita lain

selain Susi dalam kehidupannya, lukisan terbarunya, The Beatles, Deep Purple

dan Earth, Wind and Fire, nostalgia SMA, tentang kamu, dan seterusnya, dan

sebagainya.

- Barangkali kenal Gani? Anak Fisika, konon ia aktifis juga….

- Sebentar (dia berpikir cukup lama) ya… ya.. yang pendek gempal

dan berkaca mata tebal itu, ya? Tidak dekat sih. Tahu aja.

Orangnya kelihatan sangat serius. Kenal di mana?

- Ada yang mengenalkan.

Hermawan rupanya tahu banyak tentang Gani.

Sekitar tengah malam aku ajak Hermawan belanja buah-buahan di Pasar

Andir. Sehabis itu kami masak mie, dengar musik, dan begadang semalaman.
132


(16 Desember 1987)

“Le petite Soska!” sapa Mr. Ismail kepadaku, pagi itu, “someday you’ll

shoud find our own epistemology.”

Ran, Soska lagi!

Kali ini ada Le Petite-nya.

Di perpustakaan. Mencatat bagian-bagian penting dari Politics in

Developing Area (Gabriel Almond).

Sekitar pukul satu siang, setelah menunggu tiga jam, sesudah

menghabiskan enam batang rokok dan dua teh botol, akhirnya R. Bagus Sartono

datang juga.

“Sudah lama?” katanya.

“Baru saja… tiga jam,” jawabku. Kesal.

Sartono tertawa-tawa ringan, “Macet sekali….”

Di bawah rindang pohon beringin yang akar-akarnya bagai gerombolan

ular sanca tua, di atas sebuah kursi taman beton yang mati segan hidup pun tak

mau, di gigir kolam berteratai penuh ikan mas dan mujair, beberapa meter saja

dari Gedung Isola yang berdiri rapuh seperti raksasa perempuan yang bertahun-

tahun kurang makan dan enggan berganti gaun, pertemuan ini menjadi diskusi

tahap akhir kami berdua untuk mendirikan Unit Pers Mahasiswa (UPM).

Kami mematangkan langkah-langkah strategis dan taktis untuk

mewujudkan rencana itu. Siang itu, dicapai kesepakatan penunjukan angota-

133
anggota pertama yang sekaligus akan menjadi badan pendiri, tidak lebih dari

sepuluh orang.

Aku memasukkan tiga nama dari fakultasku, FPIPS: Hanson Sihombing,

Rukmana Ekajati, Yani Fatmawati. Sisanya menjadi bagian Sartono yang

mengajukan lima nama dari fakultasnya, FPBS: Khalid Alkatiri, Ajang Heryawan,

Yayan Prawira, Acep Sumiyadi, dan Eriyandi Gunawan.

Aku berkata kepada Sartono bahwa melihat komposisi badan pendiri

seperti ini dan kenyataan bahwa ia lebih senior dariku tidak ada yang lebih layak

menjadi ketua selain dirinya sendiri.

Sartono tersenyum, dan dengan santai berkata, “Jika begitu, Anda jadi

wakil saya.”

Aku menolak, dan memilih menjadi sekretaris saja.

“Kenapa sekretaris?” tanya Sartono.

“Bukankah seorang pelupa, yang membuat seseorang harus menunggu

sampai tiga jam, membutuhkan sekretaris yang bisa tepat waktu?”

Sartono meledak tawanya.

Ran, itulah asal-muasal aku menempati posisimu di OSIS kita dulu. Ah ya,

betapa aku harus meminangmu dengan seluruh akal dan sepenuh hati supaya

kamu mau menjadi sekretarisku. Aku melobi Bu Winarti agar bersedia

membujukmu. Diam-diam menghubungi teman sekelasmu, Evawani, kawanku di

kelas satu, meminta bantuannya membujukmu pula. Mendekati Erlina, teman SD-

ku yang juga teman SMP-mu, dan meminta kesediaannya meriwayatkan padamu

134
semua yang baik-baik tentang aku setelah membujuknya lebih dulu dengan kata-

kata manis, puja-puji, berbatang-batang coklat dan jepit rambut, mengajaknya

nonton film dan teater, mengantarnya pulang berkali-kali, dan akibatnya malah

membuat Erlina nyaris jatuh cinta padaku. Diam-diam pula aku menelefon

bibimu yang cantik itu, bekas kakak kelas kita, dan mengatakan bahwa

aktivitasmu di OSIS tidak akan mengganggu pelajaranmu. Kemudian

mempertimbangkan sejumlah alasan dan dasar pemikiran yang kira-kira dapat

kamu terima mengapa aku memilih kamu, bukan yang lain. Alasanku sebenarnya

cuma satu waktu itu: agar kamu terus-menerus berada di dekatku. Dengan begitu,

setiap hari aku dapat memandang wajahmu, menyapa lembut namamu, mendengar

suaramu, pergi ke mana-mana berdua denganmu dan, tentu saja, menjagamu.

Setelah itu, aku dan Sartono berdiskusi panjang lebar dengan PR III.

Sabtu nanti, pukul sepuluh pagi, kami diminta menghadapnya kembali

untuk mengajukan proposal pendirian UPM secara resmi.

(22 Desember 1987)

Hari Sabtu lalu kami tidak berhasil bertemu PR III. Baru dapat bertemu

Senin, kemarin.

Langkah pertama! Pendirian UPM di-acc PR III. Semua program disetujui,

kecuali, seperti persis diduga Sartono, penerbitan koran kampus yang

direncanakan akan diberi nama Isola Pos. Menurut PR III, “Ini prosesnya

panjang.”

135
Kemarin siang itu juga, tanpa menunda-nunda, aku dan Sartono mengurus

seluruh persoalan administrasi yang diperlukan dan mencatatkan diri secara resmi

di Bagian Kemahasiswaan u.p. Bagian Minat dan Bakat Mahasiswa. Beres.

Tinggal menunggu Surat Izin Kegiatan. Kami berdua tidak mengira prosesnya

demikian cepat.

Kami gembira sekali. Di jalan lengang dan teduh penuh pohon rimbun

dekat gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa yang kumuh, kami melompat-lompat

hingga berpeluh seperti anak-anak yang gembira menemukan mainannya kembali.

Aku dan Sartono merayakan “kemenangan” ini dengan upacara minum teh

dan membaca sepuas-puasnya puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Rendra, Taufiq

Ismail, Goenawan Mohamad dan Sutardji Calzoum Bachri di kamarnya yang

dingin dan lembab, sesak oleh buku dan berdebu, berjendela sempit dan muram,

berpintu coklat dan di sana-sini dimakan rayap.

Aku memperlakukan penuh aniaya meja kecil berukir di samping tempat

tidur Sartono sebagai tamtam dalam birama dangdut pak-ketipak-ketipuk (pong!)

pak-ketipak-ketipuk (ping!) mengiringi Sartono membaca puisi “Shanghai”

Sutardji Calzoum Bachri. Kami ketawa-ketiwi, riang dan puas sekali.

Di tengah keributan senja hari yang nyaris kekal itu, seekor tikus

memperlihatkan dengan takut-takut wajahnya yang tirus, keluar dari kegelapan

kolong dipan yang rahasia, mencericit dan lari terbirit-birit, menyisir pinggir

tembok yang catnya mengelupas di sana-sini. Barangkali pergi, ke dunia peri….

(11 Maret 1988)


136
Setelah diskusi dan perdebatan yang panas dengan para aktifis masjid

kampus di Bandung yang berkumpul di Al-Furqon, sore itu, Mr. Ismail

berkelakar(?): “Kalau kita semua ditangkap, tunjuk si ini.” Telunjuknya

diarahkan padaku.

Aku membalas kelakar(?) Mr. Ismail, “Sudah selesai, Pak. Bapak sudah

dapat bersin lagi.”

Mr. Ismail sedang flu. Hari itu, hari terakhir Sidang Umum MPR.

H.J. Naro batal jadi wapres. Ah, semua orang tahu pencalonannya

hanyalah bagian dari dagelan demokrasi Orde Baru….

Pola, bentuk, dan karakteristik jaringan antarmasjid kampus di Bandung,

sudah mulai dapat kupetakan. Sekarang sepenuhnya terserah Hans. Ia memiliki

seluruh syarat kecerdasan alamiah dan moral, termasuk posisinya sebagai mualaf

yang membuatnya akan dengan senang hati diterima di lingkungan aktifis masjid

mana pun.

(13 Maret 1988)

Sekitar pukul setengah sebelas, Rukmana, Hans, Yani, datang memenuhi

undanganku. Di kamarku yang diperangkap cahaya, di lantai atas, kami bicara

panjang lebar tentang perlunya kembali merenungkan “visi dasar” dan

“penyusupan pikiran”. Pada kesempatan itu kami bahas pula perkembangan UPM

yang masih lelengkah halu, masih seperti anak-anak yang sedang belajar berjalan.

(15 Maret 1988)


137
Pukul tujuh lebih sepuluh menit!

Aku terlambat, Ran. Menurut peraturan sebenarnya aku masih boleh

masuk. Masih ada sisa waktu lima menit. Lagi pula aku tak pernah terlambat.

Baru kali ini. Tapi dosen mata kuliah psikologi sosial bertubuh tambun itu berkata

dengan nada fasis, “Anda tidak boleh masuk! Anda cowboy….”

Gara-garanya, aku pakai celana blue-jeans. Padahal jelas bukan bajakan:

Levi Strauss 501, classic, original. Hadiah dari Inar. Sakit hati juga, diusir. Tapi

apa boleh buat.

Aku pergi ke kantin, sarapan, menunggu jam perpustakaan buka.

Tak ada kuliah lain hari itu. Aku tak punya rencana berlama-lama di

perpustakaan. Sekadar menunggu Inar. Ibu sakit. Kelihatannya tidak terlalu berat.

Tapi aku selalu panik kalau melihat ibu kurang sehat. Tadi malam aku menelefon

Inar. Dia ingin ketemu ibu. Bayangkan, Ran, dia ingin ketemu ibu yang selalu

menghindar ketemu anaknya sendiri, di rumahnya sendiri!

Di lantai dua perpustakaan yang besar, agung, dan selalu sepi pengunjung,

aku duduk sendiri membaca I’m an Aborigin Boy. Sebuah buku propaganda

pemerintah Australia. Buku itu ditutup dengan kalimat yang sangat kolonialistis:

the right place for them (maksudnya, orang-orang Aborigin itu) is settlement.

Dosen itu telah melakukan politik diskriminasi kepadaku, Ran. Mengingkari

hakku memperoleh pengetahuan dan melecehkan aku sebagai seorang mahasiswa

pembayar SPP. Apa masa remajanya kurang bahagia? Apa hubungannya celana

jeans dengan kecerdasan atau kedunguan? Mengapa mahasiswa IKIP tak boleh

138
pakai celana jeans ke kampus? Aku merasa menjadi si anak Aborigin yang

dianiaya dalam buku itu. Hanya nasibku jauh lebih baik, settlement itu:

perpustakaan.

Afuz menyusulku ke settlement, eh, perpustakaan. Selain memberi tahu

tugas-tugas psikologi sosial dan pembagian kelompok diskusi mata kuliah itu, ia

menyarankan aku minta maaf kepada si dosen yang patut diduga masa kecilnya

kurang bahagia itu. Minta maaf? Ia khawatir dosen killer itu membuatku gagal

menempuh ujian mata kuliah itu di akhir semester.

Aku selalu menyukai kawanku yang satu ini. Afuz selalu bicara tanpa

tedeng aling-aling dan sebenarnya cerdas juga. Aku menjawab singkat dan hati-

hati kepadanya: “Nama baik itu beban. Mencarinya dengan cara menjilat adalah

suatu kejahatan.”

Afuz berdiri, menepuk kesal bagian belakang kepalaku dan pergi menuruni

tangga menuju lantai satu perpustakaan.

Setelah Afuz pergi, aku baru merasakan kehadiran orang lain di situ, empat

meter di depanku terhalang meja penuh tumpukan buku, sedang melihatku dengan

pandangan sayang dan penuh simpati seseorang kepada kekasihnya: Cecep

Syamsul Hari.

Aku sering cemas melihat cara anak pendiam yang kelihatannya tidak

memiliki banyak kawan di kampus dan sama sekali tidak punya teman perempuan

itu memandangku, dalam diskusi di kelas atau di tempat lain, terutama ketika aku

sedang mempresentasikan suatu pikiran atau gagasan.

139
Kabar burung yang kudengar, Cecep seorang homo.

“Sudah lama kamu di situ?” tanyaku.

“Tak selama yang kamu duga,” jawabnya.

“Kamu diusir dosen itu juga?” tanyaku lagi.

“Ya,” jawabnya singkat.

(19 Maret 1988)

Ibu sudah sembuh. Kakek datang menjenguk. Kedatangan kakek yang

kelakuannya persis seperti ibu, lebih suka mengasingkan diri, adalah suatu

kejadian istimewa bagi kami.

Kakek tak lama tinggal di rumah kami, cuma sehari.

(14 April 1988)

Ran, juga dibahas dasar-dasar gerakan.

Informan mereka ada di mana-mana. Kertas penuh coretan lalu dibakar….

Ratna menganugerahiku berbagai kebaikan. Apa yang akan Tuhan lakukan

kepadaku, jika, tanpa mauku, aku melukai gadis yang sangat baik dan lembut ini?

Sampai saat ini belum ada proklamasi resmi di antara kami berdua bahwa kami

saling mencintai. Semua berjalan begitu saja.

Aku tahu bahwa kau, Ran, belum sepenuhnya menjadi masa lalu bagiku,

dan aku pikir, Inar pun tahu kau belum sepenuhnya menjadi masa lalu bagiku.

(30 April 1988)


140
Kegiatan pertama UPM. Persiapan hanya seminggu. Seminar sehari “Pers

dan Arus Zaman”. Sayang, Dindin S. Maolani, S.H. tidak datang. Yang hadir

Ahmad Saelan (wartawan HU Pikiran Rakyat) dan Aceng Ruhendi Saefullah

(pemimpin redaksi Salam) yang karirnya sedang naik ke langit yang tinggi.

Kedua penceramah itu tidak dibayar. Cuma memperoleh kenang-kenangan

plakat. Ah, plakat, tak di himpunan mahasiswa, tak di senat, tak di UPM. Aku

benar-benar malu. Kupikir Sartono pun sama malunya. Keinginan kami berdua

sesungguhnya dapat memberi para penceramah itu honorarium yang layak. Yang

patut. Mereka berdua membuat makalah, suatu kerja intelektual, kerja pikiran.

Seandainya mereka tidak membuat makalah pun, selama tiga jam di ruangan itu

mereka telah bekerja keras. Dan yang namanya kerja intelektual, kerja berpikir,

seharusnya diberi honor yang layak.

Aku pikir, di masa depan, UPM harus dapat memperlakukan para

penceramah dan tamu yang diundang dengan lebih beradab. Aku akan

membicarakan ini dengan kawan-kawan nanti.

Sehabis kegiatan, di tangga gedung Isola, aku berkata kepada Khalid,

wakil ketua UPM yang baru saja ditinggal minggat pacarnya itu, “Tradisi tidak

memberi honor ini harus segera dilempar ke laut mulai kegiatan berikutnya.

Kesannya mahasiswa itu miskin, papa, tidak punya usaha, kuuleunxxv. Mungkin

lain kali kita dapat melibatkan sponsor untuk urusan-urusan seperti ini.”

Seraya tangannya bergerak cepat ke sana-ke mari dan jari telunjuknya

sesekali menuding ke arah langit yang murung, ke arah sepasang merpati putih di

141
angkasa yang mendung, ke arah tanah, ke arah pohon beringin nun jauh di sana,

ke arah sepasang kekasih berjas almamater biru di bangku taman pinggir kolam

yang duduk mesra berdampingan, ke arahku, ke arah siapa saja, Khalid berkata

dengan suara keras dan nada kesal: “Iya, itu. ‘Kejahatan’ itu. Terbelakang!

Primitif! Memalukan karuhun.xxvi Masa cuma plakat, tidak diberi honor. Apa

mereka makan plakat? Makan nuhun? Ada sebuah hadis Nabi (ia mengutip sebuah

hadis dalam bahasa Arab dengan fasih) yang artinya ‘buruh harus dibayar

sebelum peluhnya kering’. Pak Saelan dan Pak Aceng itu kan kita undang untuk

bekerja. Di seminar ini mereka melakukan tugasnya sebagai intelektual. Sebagai

pemikir. Nggak bener kita ini. Kita harus ngomong ke Sartono sekarang juga,”

katanya.

Khalid kelihatannya geram sekali siang itu. Orang yang baru ditinggal

pacar memang aneh kalau tidak geram.

(16 Mei 1988)

Beberapa hari sebelum Musyawarah Mahasiswa himpunan mahasiswa

civics hukum (HMCH) dilaksanakan, 7-8 Mei 1988, aku membujuk Afuz untuk

bersedia dicalonkan sebagai ketua himpunan.

Penolakan Afuz yang biasanya lembut itu keras sekali, Ran. Ia

mendasarkan penolakannya pada dua alasan: pertama, akulah calon resmi fraksi

S-1 angkatan 86 berdasarkan musyawarah kelas; kedua, ia tidak mau

“melangkahi” aku.

142
Ketika Mumas berlangsung, dalam kapasitas sebagai ketua fraksi, aku

melobi ketua-ketua fraksi lain yang menyokong pencalonanku untuk

melimpahkan dukungan fraksi mereka kepada Afuz. Sedangkan kepada angota-

anggota fraksi kami kukatakan bahwa memilih Afuz sama dengan memilih aku,

menolaknya sama dengan menolak aku.

Akhirnya, setelah melewati proses persidangan alot dan diwarnai

perdebatan antarfraksi yang panas dan pukulan-pukulan palu sidang yang

memekakkan telinga, dalam pemungutan suara sangat mendebarkan yang

ditingkahi teriakan “Yes!” atau “Huuuu!” setiap kali kartu suara dibuka, meskipun

perbedaan suaranya tipis sekali Afuz berhasil mengungguli calon kuat lain, anak

D-3, angkatan 86 juga, sang Faust kita itu: Nirwan.

Afuz ditetapkan sebagai formatur tunggal sekaligus ketua HMCH

1988/1989 dan anggota Badan Perwakilan Mahasiswa FPIPS 1989/1990.

(21 Juni 1988)

Senang sekali berada di beranda kamarku lagi, menikmati Symphony No. 1

in E Flat Major K16 Wolgang Amadeus Mozart dan Prelude Op. 28-15 in D Flat

Major “Raindrop” Frederic Chopin, kedua komposisi itu kesukaan Inar, sambil

selang sebentar menikmati teh hangat manis dan memandang horison senja hari di

kejauhan, petak-petak sawah penuh padi kekuningan menjelang panen jauh di

bawah, dan gadis tetangga di loteng sebelah, setelah seminggu lamanya ditelikung

hutan Gunung Gede.

143
Mestinya kamu ikut, Ran. Mungkin Tuhan masih mau memaafkan kita

kalau cuma mencuri satu-dua ikat edelweis saja di sana.

(25 Juni 1988)

Langkah kedua! Tadi pagi, Rukmana, Afuz, Hans dan Yani dilantik

sebagai ketua himpunan mahasiswa jurusannya masing-masing. Pelantikan

dilakukan PD III di ruang senat FPIPS. Sorenya, kecuali Afuz, kami berkumpul di

sekretariat himpunan mahasiswa Sejarah.

(1 Juli 1988)

Seharian di rumah Inar. Masak, makan siang, dengar musik, nonton video

musik Queen, dan lain-lain. Sejak kejadian itu, aku tak pernah berusaha

menciumnya lagi.

Ran, Mr. Ismail berkata kepadaku setelah perbincangan yang lama di

rumahnya sore tadi: “Awas, saya tidak bermaksud menyuruh kamu berontak!

Kebajikan yang dilakukan sendirian akan membentur tembok kejahatan yang

terorganisasi.”

(4 Juli 1988)

Tadi pagi, di gerbang kampus IPB, Ran, aku berpapasan dengan seseorang.

Ia berjalan cepat sekali, dan tiba-tiba raib ditelan keriuhan jalan raya. Wajahnya

sangat mirip denganmu. Masih saja kurasakan jalan darahku sejenak terhenti.

Betapa ingin aku melupakanmu. Betapa sulit aku melupakanmu.


144
Dan sajak “Hutan Bogor” Rendra, menyelundup diam-diam dalam hatiku.

Badai turun

di dalam sajak-sajakku

Selalu, sayang,

aku terkenang kepadamu….

Aku dan Rukmana gagal meyakinkan Ivan dan kelompoknya untuk

bergabung dengan jaringan kami. Di terminal Baranang Siang, di sebuah warung

makan, kami berdua sepakat untuk tidak menyerah. Dalam waktu dekat akan

dicoba meyakinkan mereka lagi. Seperti biasa, menghadapi jalan buntu seperti ini,

Hans yang akan turun.

Aku pikir Yani sebaiknya ikut.

(11 Juli 1988)

Selesai kuterjemahkan beberapa karya Allen Ginsberg, antara lain

“America”. Juga sebuah puisi penyair Irlandia, Patric Kavanagh, “If Ever You Go

to Dublin Town”. Saat ini sedang kukerjakan penerjemahan sajak-sajak Po Chu-i,

hidup antara 772-846 M. Aku jatuh cinta pada sajaknya: “Desa Chu-ch’en”.

Entahlah, meskipun pengetahuanku atas puisi tak dapat dibandingkan

dengan Cecep Syamsul Hari yang pendiam itu, aku selalu menyukai sajak-sajak

bagus. Dan bila menemukan sajak bagus dalam bahasa asing, bahasa Inggris

maksudku, begitu saja aku menerjemahkannya.


145
Koleksi terjemahanku sudah lumayan banyak. Kusimpan dalam map-map

yang ditandai khusus di dalam laci tersendiri. Mungkin suatu saat aku perlu juga

memperlihatkannya ke Cecep. Siapa tahu dia bisa belajar banyak dari karya-karya

asing. Cuma aku masih cemas untuk menjalin persahabatan dengannya.

Kepada Afuz ternyata Cecep lebih dapat terbuka, juga untuk urusan

menceritakan kehidupan yang pribadi sifatnya. Menurut Afuz, sifat Cecep yang

selalu memperlihatkan sikap bermusuhan kepada perempuan tetapi sangat penuh

perhatian terhadap yang berjenis kelamin sebaliknya, belum tentu

mengindikasikan Cecep seorang homo. Bisa saja sikap itu muncul karena

pengalaman traumatik dengan perempuan di masa lalu, misalnya.

(15 Agustus 1988)

Ran, aku sakit.

Sekitar dua minggu lalu aku mengirim surat kepadamu.

(17 November 1988)

Ran, benar apa yang dikatakan Keith Watson (Education in the Third

World, 1982) tentang akibat pendidikan (sistem) kolonial yang antara lain

menyebabkan… these elites become divorced, as a result of their education, from

the real needs, feelings and aspirations of the rural hinterland.

Berapa banyak korban dari lingkungan kaum terpelajar Indonesia modern

yang sejarahnya relatif masih berusia muda ini, yang tercerabut, terpisah, terasing

146
dari kenyataan sosial masyarakat mereka, dari keinginan dan aspirasi masyarakat

kebanyakan akibat sistem pendidikan warisan kolonial ini?

Siapa yang mau bertanggung jawab atas kematian kreativitas berpikir,

yang paling tidak sehari-hari kulihat di kampusku, kampus yang mendidik calon-

calon guru yang kelak akan mendidik kaum terpelajar ini?

Aku ngeri, Ran, aku ngeri. Bagaimana sistem pendidikan abdi dalem (a

bank concept of education, meminjam istilah Paolo Freire) ini bukan menciptakan

manusia yang berpikir melainkan menciptakan mesin.

Sepanjang jalan yang kulihat cuma slogan, dan slogan, dan slogan.

Pembangunan telah dimitoskan, dimistifikasi, sedemikian rupa. Dalam kehidupan

seperti ini, berpikir secara radikal dalam pengertian filsafat (to radix – secara

mendalam) adalah satu-satunya jalan menghancurkan mitos itu….

Rasanya aku semakin jauh dari Tuhan.

Mabuk teruslah engkau! Bandit!

(18 November 1988)

Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya. Atas nama UPM, Sartono dan

aku mengirim surat pembaca ke beberapa koran daerah dan nasional

mengucapkan selamat kepada bangsa yang teraniaya dan terlunta-lunta itu dan

kepada para pencinta kemerdekaan di mana pun, di dunia ini.

(5 Januari 1989)
147
It is a story of the first world war (1914-1918) that is different from any

other that was written.

Ran, All Quiet on the Western Front Erich Maria Remarque, membuatku

sangat terpesona. Mengharukan. Menyesakkan. Berkisah tentang pemuda Paul

Baumer, terjun ke dalam kancah perang parit yang bengis dan kejam, tak

mengenal belas kasihan. Ia direkrut bersama kawan-kawannya sekelas.

Aku selalu ingin menulis novel. Dan selalu ingin menulis novel yang

memiliki karakter seperti Paul Baumer di dalamnya….

Bulan ini Fais akan menikah dengan adik manisku, Dewi Kania. Adik

kelas yang selalu menganggapku sebagai kakaknya tersayang. Tempatnya

bercurah hati. Mengadukan banyak persoalan, dan sesekali datang kepadaku

semata-mata untuk menangis. Begitu pula ketika suatu saat hubungannya dengan

Fais dihantam badai. Mereka akan nikah agama, diam-diam, karena tidak disetujui

kedua orangtua dari kedua belah pihak.

Dewi menderita asma yang akut. Setiap kali menghadapi persoalan berat

asmanya kambuh. Kasihan sekali jika melihatnya dalam kondisi seperti itu. Ia

sebenarnya too young to be married. Tapi ia begitu berani.

Fais dan Dewi Kania memintaku menjadi salah seorang saksi perkawinan

mereka, di masjid UNPAD, Dipati Ukur.

Bertemu Yani. Ia terlihat kusut. Sore itu Yani menumpahkan masalah

pribadinya kepadaku. Ah, bagaimana bisa sahabatku Rukmana menyia-nyiakan

gadis yang sebaik, secantik, dan secerdas ini?


148
(11 April 1989)

Pertemuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) I telah selesai dua minggu

lalu. Ada cerita tentang mosi tak percaya, demo untuk Janer Sinaga, perkelahian

yang nyaris terjadi antara peserta utusan Ujung Pandang dan daerah lain, kawan-

kawan sesama panitia yang stres. Ada juga kisah-kisah cinta antarpanitia, panitia-

peserta, peserta-peserta. Sebuah campuran kisah romantisme dan heroisme.

Sumarsono yang all-out sebelum dan selama hajatan itu berlangsung,

tumbang. Ia harus menjalani rawat-inap. Di RS Hasan Sadikin. Penyakitnya

campuran dari kelelahan, stres, merasa ditinggalkan, dan tifus.

Ketika beberapa hari lalu aku dan Inar menengoknya, ia sudah

diperbolehkan makan makanan yang lembut. Wajahnya terlihat lebih segar

dibandingkan kunjunganku dua hari sebelumnya. Tenaganya mulai pulih.

Inar sengaja membawa agar-agar. Dengan sentuhan dan lengan seorang

ibu yang memegang gagang sendok seakan-akan memegang kehidupan, ia

menyuapi Sumarsono yang diperlakukannya seperti bayi. Sedikit demi sedikit.

Sabar dan telaten. Waktu seolah-olah berhenti atau bergerak lambat, berpindah-

pindah secara mistis dari mangkuk dalam genggaman telapak tangan kiri Inar ke

bibir Sumarsono yang bergetar.

Aku melihat Sumarsono sangat terharu. Seperti menahan tangis.

Ketika Inar selesai menyuapinya, aku membantu Sumarsono kembali

berbaring. Tengkuknya bertopang pada dua buah bantal yang empuk.

149
Inar yang perasaannya sangat peka itu menangkap gestur halus Sumarsono

bahwa dia ingin berbicara berdua denganku. Ia berdiri, memeriksa termos yang

kebetulan hampir kosong, mengambilnya, dan berkata kepada kami berdua bahwa

ia akan keluar sebentar. Mencari air panas. Ia meletakkan punggung telapak

tangan kanannya sebentar di dahi Sumarsono, tersenyum, dan kemudian pergi.

- (Menunjuk pintu keluar dengan lirikan matanya). Siapa dia, Mas?

- Teman.

- Lebih tampak seperti pacar Mas. (Tersenyum).

- Hanya teman.

- Siapa namanya, Mas?

- Ratna. Ratna Suminarsari.

- Bagaimana kabar ibu Mas, katanya sakit? (Ia mencoba menegarkan

suaranya).

- Sudah sembuh. (Aku menggengam erat tangannya). Jangan

banyak pikiran, Marsono. Istirahat saja.

- (Termenung). Maaf ya Mas… (diam beberapa saat, mengatur

nafasnya). Menurut penglihatan saya, Mbak Ratna sangat pantas

jadi isteri Mas kelak. Maaf tapi ya Mas, hati saya mengatakan apa

yang Mas cari selama ini ada dalam diri Mbak Ratna….

Ia lama terdiam. Memejamkan kedua matanya. Wajahnya terlihat tenang

sekali.

Ran, aku pernah bercerita tentang kamu kepada Sumarsono.

150
Aku menceritakan semuanya kepada Sumarsono seperti yang kuceritakan

kepada Ningrum dan Nirwan. Kamu tahu? Ia hanya duduk diam mendengarkan

tanpa sekali pun berusaha memotong pembicaraanku. Dan setelah selesai, ia tak

berkomentar sedikit pun, hanya memandangku dengan tatapan yang aneh. Mistis.

Aku mengenalnya pertama kali ketika ia mengikuti pendidikan dasar jurnalistik

UPM. Angkatan pertama. Lama kemudian aku sering bercakap-cakap dengannya

dan mengambil cukup banyak pengetahuannya tentang filsafat dan mistikisme

Jawa. Ia seorang Solo berdarah ningrat yang sangat kuat menjalankan laku,

tirakatan. Selalu tidur sedikit di malam hari. Biasa puasa empat puluh hari

berturut-turut. Tak pernah bocor puasa Senin-Kamis.

“Mas akan dikutuk bila menyakiti Mbak Ratna,” kata Sumarsono tiba-

tiba. Pelan namun tegas tetapi di telingaku terdengar seperti guntur. Di sore habis

hujan itu. Di rumah sakit dengan bau karbol menyengat itu.

(3 Mei 1989)

Ran, aku dan Rukmana sepakat sudah saatnya mengambil jarak dengan

UPM. Mundur secara teratur.

Jika tidak ada sesuatu yang luar biasa, menurut dugaan kami berdua,

setelah R. Bagus Sartono yang tak lama lagi akan menyelesaikan studinya, Hans-

lah yang akan memegang pimpinan unit kegiatan yang punya moto kebanggaan

ini: “Hanya ada dua unit kegiatan di kampus kami: yang pertama UPM, dan yang

kedua unit kegiatan lain.”

151
Target kami, tahun ini atau selambat-lambatnya pertengahan tahun depan,

Hans alias Hanson Sihombing sudah akan menjadi Ketua UPM yang kedua.

Setahap demi setahap Hans telah menempatkan dirinya sebagai standar

nilai, kerja, dan moralitas UPM. Mobilitasnya ke atas dan ke bawah sama baiknya.

Ia juga memiliki kemampuan dan kekuatan karakter yang lebih dari cukup untuk

“menangani” beberapa mahasiswa anarkis dan oportunis yang sudah mulai

menyusup ke dalam tubuh organisasi ini.

Aku juga percaya, dan dalam hal ini rasa percayaku jauh lebih kuat

daripada Rukmana, UPM akan menjadi lebih besar, lebih solid, jika dipimpin

Hans.

Namun yang lebih penting, apabila UPM di tangan Hans dengan leluasa

kami dapat mengarahkan opini publik mahasiswa kampus ini sesuai dengan visi

dasar yang kami bahas beberapa waktu yang lalu di kamarku yang diperangkap

cahaya, yang penuh dengan perdebatan yang alot, panas, dan diakhiri dengan

upacara minum teh di sore yang kering itu. Visi dasar kelompok diskusi kami

kemudian dirumuskan Rukmana dan menjadi pegangan kami untuk tindakan-

tindakan selanjutnya.

Satu-satunya saingan Hans adalah Acep Sumiyadi. Ia memiliki karakter

yang sama kuatnya dengan Hans.

(21 Juli 1989)

Ran, Umar Said setelah lama tak muncul, menemuiku tadi pagi. Sendiri. Ia

sengaja mencariku. Aku ajak ia ke kantin. Ia ngomong banyak sekali. Ngaler-


152
ngidul. Katanya, berbisik, seraya menoleh kanan-kiri, kami berenam: aku, Gani,

Syubban, Hans, Samiun, Rukmana, dan Umar sendiri, telah masuk black-list

militer.

Kodam, menurut Umar yang mengutip sebuah sumber yang tidak mau dia

sebutkan, mencatat kami sebagai kader-kader kiri yang berbahaya dan harus

diwaspadai.

Jika benar omongan Umar, intel itu pasti kurang kerjaan.

Namun terus-terang, aku agak keder juga, Ran, hanya tak kutampakkan di

depan Umar yang terlihat sangat nervous. Tak ada yang lebih menakutkan saat ini,

di bawah rezim otoriter-militeristik yang sangat kuat cengkeramannya ini, selain

dituduh kiri. Dituduh PKI. Itu sama artinya dengan divonis mati.

Mungkin aku harus segera menemui Yani. Aku cemas, setelah putus

dengan Rukmana enam bulan yang lalu ia tak pernah lagi datang dalam

pertemuan-pertemuan kami. Di kampus pun sulit ditemui.

Sebulan yang lalu, tak sengaja aku bertemu dengan Yani di pasar buku

Palasari. Ia sedang berada di sebuah kios buku bersama seorang lelaki yang jauh

lebih tua. Mereka berdua terlihat lengket. Yani mengenalkan lelaki berjanggut

runcing-tipis itu kepadaku sambil senyum-senyum dan sedikit bercanda sebagai

“Kawan Lenin”. Si lelaki itu mengaku mahasiswa tahun terakhir sospol UI.

(23 Juli 1989)

Inar menungguku memberinya kepastian, Ran. Ia memberiku waktu satu

minggu. Jika aku betul-betul mencintainya, maka ia tak mau kamu, Ran, masih
153
menjadi bagian dari kehidupanku. Kamu, Ran, harus sepenuhnya menjadi masa

lalu.

“Bagaimana perasaanmu sendiri, bila kamu tahu aku mencintaimu tetapi

pada saat yang sama kamu juga tahu kamu harus bersaing dengan masa laluku?

Aku tak mau bersaing terus-menerus dengan masa lalumu. Itu persaingan yang

tidak adil. Kalau kamu ingin memasukkan aku ke dalam suatu persaingan, beri

aku persaingan yang dapat diterima akal sehatku. Kamu boleh memilih aku atau

memilih Ran. Memilih masa depanmu atau memilih masa silammu. Aku

memberimu waktu untuk berpikir. Tapi jangan lebih dari seminggu. Beri aku

kepastian.”

Ran, aku akan memberi Inar kepastian. Aku akan melamarnya, minggu

depan. 

April – Mei 1991

(20 April)

“AKU pernah membaca tulisanmu tentang Iqbal. Di mana ya… aku lupa.

Waktu itu kita nggak nyangka, ya, bakal ketemu di Yogya,” kata Ran, kemarin

sore itu.

Aku tertegun. Aku teringat koridor di ruang dalam sebuah hotel seusai

acara penutupan “Pekan Diskusi dan Apresiasi Tingkat Nasional tentang Hidup,

154
Pemikiran, Kepenyairan dan Karya-karya Iqbal” di kampus UII, Yogyakarta, 20-

25 September 1989.

Malam yang memalukan itu.

Malam ketika aku serius bersoal-jawab dengan Taufik Rahzen yang

berpakaian serba hitam. Malam ketika aku pindah ke kursi lain meninggalkan

Rahzen dan para pengagumnya, untuk berdiskusi dengan teman-teman lain dari

Medan dan Ujung Pandang padahal aku tahu Ran hanya dipisahkan sebuah taman,

duduk sendiri berteman sunyi, beberapa meter saja di seberangku.

Sungguh lebih goblok dari Faust aku malam itu.

(30 April)

Tiba di rumah Ran pukul empat petang.

“Shalatlah dulu,” kataku. “Sambil menunggumu shalat, biar kuselesaikan

membaca tulisan Beni ‘yang nakal’ ini.”

Ada sebuah tulisan Beni Setia di Pikiran Rakyat hari itu. Tentang Sepuluh

Orang Utusan. Kumpulan puisi terbaru Saini KM.

“Bagaimana, selesai?”

Ran duduk kembali, di dekatku, setelah meletakkan sepasang gelas

berleher panjang berisi sirup markisa itu. Ah, aku teringat sebuah masa yang

ranum ketika di hari-hari Jumat yang telah menjadi petang-petang kekal dalam

ingatanku, aku selalu datang ke rumahnya. Ketika kami berbicara dan berdiskusi

tentang apa saja.

155
Selain warna gordennya, ruang tamu ini tak banyak berubah. Lukisan 2 x 2

meter dalam bingkai kayu warna coklat tua itu masih berada di tempat yang sama.

Tergantung persis di tengah-tengah dinding yang juga berfungsi sebagai pembatas

antara ruang tamu dan ruang tengah dan berhadapan langsung dengan pintu

rumah. Lukisan reproduki yang memperlihatkan figur seorang samurai sedang

menghunus dengan tangan sebelah kanan pedang panjangnya yang teracung

vertikal ke arah langit sementara telapak tangan kirinya mengenggam hulu pedang

pendeknya yang ujung runcingnya terarah ke depan. Ia seakan-akan muncul dari

lubang besar berwarna merah di belakangnya, matahari senja hari yang anehnya

tidak temaram melainkan menyala terang di atas tanah yang gersang. Wajah

samurai itu sangat keras, memperlihatkan bahwa ia telah banyak ditempa oleh

latihan dan pertarungan sebenarnya. Kuncir di bagian belakang kepalanya seperti

ekor bajing yang sedang menungging. Ada butir-butir peluh menempel di dahinya.

Sepasang alisnya yang lebat hitam melengkung seperti sayap elang. Sorot mata

samurai itu sangat tajam. Betul-betul sorot mata seorang pendekar. Betul-betul

Takezo. Benar-benar Musashi.

Dan kursi ini, masih kursi tamu yang sama. Lembut. Empuk. Hijau.

Sehijau kenangan.

“Ingat Toto-chan?”

Ran mengangguk.

“Beni menulis dengan kenakalan sekaligus dengan rasa hormat si ‘Gadis

Kecil di Tepi Jendela’ itu terhadap gurunya, Pak Kobayashi.”

156
Maka mengalirlah. Kami bicara tentang skripsi Arief Budiman dan

adiknya, Soe Hok Gie.

“Bagaimana skripsimu?”

“Jalan di tempat. Skripsimu?”

“Tertegun-tegun.”

Kami tertawa.

“Kamu tahu, Kafka? Aku masih menyimpan ’19 Sajak Cinta’ itu….”

“Aku kira, kau sudah melupakannya….”

“Aku orang yang tak mudah melupakan…. Sering aku berpikir, seandainya

hidup berhenti di usia 19 tahun…. Aku sangat suka sajak Toto Sudarto Bachtiar

dan John Donne yang kamu pilihkan untukku. ‘Stanza’ Rendra sangat

memabukkan dan ‘Derai-derai Cemara’ Chairil Anwar lebih kekal dari kenangan.

Sajak Goenawan Mohamad, ‘Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi’ selalu

melemparkan aku ke kehampaan tetapi sajak Taufiq Ismail, ‘Dengan Puisi, Aku’,

membuatku berusaha untuk lebih bijak dari sebelumnya. ‘Bunga’ Sitor

Situmorang mengenalkan aku pada hakikat sunyi, dan ‘Langit Ungu Matahari

Jingga’ Saini KM membuatku tahu cinta dapat pula dihampiri dengan pikiran, tak

cuma dengan perasaan. Dan ‘My Love is Like a Red Red Rose’, Robert Burns, oh,

benar-benar pernyataan cinta yang ingin didengar setiap wanita. Kamu tahu,

Kafka? Itulah hadiah ulang tahun yang membuatku dewasa. Hadiah ulang tahun

terindah yang pernah kuterima.…”

“Aku harap kamu melupakan pengantarnya.”

157
“Kenapa?”

“Itu tulisan terburuk yang pernah kubuat.”

“Aku malah suka pengantar itu. Di situ kamu membiarkan dirimu

telanjang. Kamu sangat jujur dengan dirimu sendiri….”

Lalu kami bicara tentang Yogya. Ran mengulang pertanyaan yang sama

seperti yang disampaikannya Jumat lalu.

“Kamu tahu apa yang membuatku terkesan di Yogya waktu itu?”

Ran menggelengkan kepala.

“Kamu lewat, memakai jilbab.”

Malam itu, Ran menjadi bagian dari pertunjukan tarian teatrikal Islami

sebuah kelompok penari yang dipimpin seorang perempuan penyair yang sedang

naik daun. Tarian yang dipergelarkan dalam acara penutupan pekan diskusi itu

mengharuskan seluruh pendukungnya berjilbab.

“Kamu kecewa karena pada kenyataannya aku tak berjilbab?”

“Tidak juga,” kataku.

“Ada lagi yang membuatku terkesan waktu itu.”

“Apa itu?”

“Ketika kamu duduk, sendirian. Malam-malam. Seusai acara penutupan.

Rambutmu kamu biarkan bergerai lepas ke bahumu. Aku kelihatannya saja

bercakap-cakap serius dengan orang berbaju hitam dan juga kawan-kawan lain

yang ribut itu. Nonsens. Tidak. Aku lebih goblok dari Faust waktu itu. Seharusnya

aku datang. Menghampiri kamu dan mengajakmu bicara. Apa saja.”

158
Ran membisu dan matanya menembus jauh ke dalam hatiku.

Lalu kuberikan bungkusan dalam kantong plastik itu. Baju hangat warna

pink. R. Bagus Sartono, sahabatku, menyebutnya “ikan pari”. Ia pernah

menghadiahkan ikan pari mentah dan segar untuk pacarnya dan membuat geger

keluarga calon isterinya. Sejak itu ia menyebut apa pun hadiah yang diterima dari

atau diberikan kepada seseorang yang khusus sebagai “ikan pari”.

“Tak terlalu bagus. Namun mungkin berguna dalam cuaca dingin….”

“Terima kasih sekali.”

“Jangan dibuka sekarang.”

“Aku tak bisa membalasnya.”

“Aku minta dibalas gitu?”

Gugup, Ran berkata, “Maksudku, aku ingin sekali membalasnya. Hanya

aku masih belum tahu bagaimana caraku membalasnya.”

Aku tersenyum.

Azan magrib. Aku pamit pulang. Langit gaib. Awan mengandung hujan.

“Di pojok itu,” aku menunjuk sudut tenggara taman di halaman rumah

Ran, “tak ada lagi bunga dahlia. Ke mana?”

Ya Tuhan! Ran tertawa.

“Bukan dahlia. Apalah namanya. Tapi bukan dahlia….”

Chek-in di sebuah hotel di Jalan Pasirkaliki.

Lelah sekali. Sekitar pukul sebelas malam aku tertidur.

Pulas sekali.


159
(1 Mei)

Pukul tujuh malam lebih sedikit, Hans datang. Setengah jam setelahnya

Rukmana muncul. Tak berapa lama kemudian pelayan hotel mengantarkan nasi

goreng dan kopi pesanan kami.

Kami diskusi semalaman. Menyusun rencana. Membuat cetak-biru

pembentukan jaringan antarkampus dan program lima tahun ke depan. Asap rokok

menyesakkan kamar. Abu bertebaran.

Rukmana membawa kabar yang ditunggu-tunggu, hasil penyelidikannya

menguatkan dugaan kami selama ini: Umar Said adalah informan yang

disusupkan militer. Ia menyarankan kami semua untuk tidak berada “di tempat

terbuka” dulu sementara waktu.

“Umar?” tanyaku.

“Urusankulah,” kata Rukmana.

Disepakati, Rukmana akan berangkat ke Salatiga besok pagi. Lusa, Hans

ke Surabaya dan aku ke Yogya. Dari Yogya, aku akan langsung pergi ke Jakarta,

menghadiri undangan sebuah kelompok kiri mahasiswa UI yang mengundang

kami berempat untuk hadir dalam diskusi bulanan mereka. Hans dan Rukmana

kemungkinan tidak dapat hadir dalam pertemuan itu. Sekurang-kurangnya Hans

akan berada di Surabaya selama dua minggu, dan Rukmana akan berada di

Salatiga tidak kurang dari seminggu. Banyak orang yang harus mereka temui di

dua kota itu.

160
Kami akan bertemu lagi bulan depan. Kapan dan di mana pertemuan itu

dilakukan akan diatur Rukmana.

Tengah malam Rukmana pergi. Aku mengantarnya turun ke bawah. Cuaca

malam kota Bandung belakangan ini tak terlalu bersahabat.

“Rukmana,” aku berkata lembut kepadanya, “aku sama sekali tak

bermaksud masuk ke dalam urusan pribadimu.”

“Masalah Yani, ya?”

“Aku mencemaskan dia.“

“Percuma diteruskan. Kami berdua lebih banyak tak cocoknya.”

“Boleh aku mengatakan satu hal?”

“Silakan.”

“Biasanya kita tahu betapa berartinya seseorang ketika kita telah

kehilangan.”

Rukmana tersenyum tipis. “Kedengarannya seperti datang dari

pengalaman pribadimu….”

“Karena itulah aku berani mengatakannya kepadamu.”

“Sudahlah, Kafka. Aku harus pergi. Tak apa jaketmu ini kupinjam dulu,

kan?”

“Aku masih punya serep di atas.”

“Oke. Sampai ketemu nanti. Hati-hati di Yogya, ya.”

“Oke.”

“Eh, carikan Hans pacar dong!”

161
Rukmana dan aku tertawa.

“Wah itu akan menjadi tugasku yang paling sulit.”

Kami kembali tertawa.

Malam begitu cepat menelan punggung Rukmana.

Hans bercakap-cakap denganku hingga pukul satu pagi. Setelah itu tinggal

aku dan sepi.

Wajah Ratna dan Ran datang silih berganti.

Tanpa diundang John Donne muncul di kepalaku: Where none can match

her, in some close corner of my brain: There I embrace and kiss her; and so I

both enjoy and miss her.

(2 Mei)

Siang hari. Aku bertemu orang yang disarankan Hans. Meskipun

berpakaian necis orang itu tampak kumuh. Wajahnya berbisul-bisul. Rambutnya

lurus dan ranggas. Sepasang matanya sempit memberi kesan licik. Hidungnya

bengkung. Gigi-giginya kuning kehitaman. Mungkin karena nikotin dan jarang

disentuh pasta gigi. Ketika ia tersenyum aku melihat mulut serigala dan ketika ia

tertawa aku mendengar suara hyena.

Ia memakai parfum, dari jenis yang paling murah, kukira. Ia bicara dengan

kalimat putus-putus, bombastis, tanpa silogisme, nadanya merendahkan orang

lain. Kosa katanya terbatas. Belum sepuluh menit bicara, ia telah menista lima

nama yang seluruhnya kukenal. Menyimak semua omongannya aku punya

keyakinan bila suatu saat ia memperoleh kekuasaan, ia akan segera menjadi tiran.
162
Bagaimana Hans bisa blunder memilih orang seperti ini? Waktuku

terbuang percuma.

Kembali ke hotel. Tidur.

Bangun. Hari sudah gelap. Hujan lebat.

Aku janji kepada Ran memberikan alamat Ajip Rosidi di Jepang. Ran,

yang sedang menyelesaikan skripsinya tentang Para Penari Izu Kawabata

Yasunari, siapa tahu membutuhkannya.

Pukul sembilan malam. Ran berdiri di ambang pintu.

“Masuklah….”

“Terima kasih, Ran. Aku tak lama. Aku cuma ingin segera memenuhi

janjiku. Kamu tahu, aku tak pernah percaya pada esok hari…”

“Ya. Aku tahu. Tapi masuklah, please. Aku mohon. Akan kubuatkan kopi.

Hujan lebat sekali….”

Ran lama memandangku. Ingin sekali kulayari telaga bening itu.

“Sudah malam…. Aku bawa payung.”

“Aku mohon sekali lagi, masuklah barang sebentar. Tak akan makan

waktu lama menyeduh kopi. Kamu harus menghangatkan badanmu. Sepatumu

basah. Kamu kedinginan. Aku cemas kamu kena flu.”

“Bukan salahmu kalau aku kena flu. Biar kusalahkan hujan, virus, atau

payung Inggris itu saja, ya….”

Aku tertawa. Ran diam saja.

163
Di beranda itu, Ran berkata, “Apakah kamu punya nama samaran lain

selain namaku?”

“Maksudmu?”

“Aku membaca tulisanmu tentang musibah Mina itu. Memakai

namaku….”

“Menulis untuk mengenang seseorang yang hampir menjadi isteriku….

Aku tak kuasa menggunakan namaku sendiri. Tak terpikirkan nama lain olehku

waktu itu.”

“Aku ikut berduka.”

“Terima kasih. Sudah nasibku mungkin. Selalu kehilangan orang yang

kucintai.”

“Kamu yakin tak ingin membicarakannya denganku?”

Aku diam beberapa saat memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan

ini, dan memutuskan untuk tidak menjawabnya secara langsung.

“Apakah kamu masih mau membukakan pintu untukku seandainya

sewaktu-waktu aku singgah ke rumah kenangan ini?”

“Sejak dulu aku selalu membukakan pintu untukmu.”

“Sebagai seseorang yang pernah kamu kenal sudah cukup bagiku.”

“Apabila itu maumu.”

“Terima kasih.”

164
“Kafka, jangan menunggu seseorang terlalu lama dan jangan membiarkan

seseorang menunggu terlalu lama. Aku punya firasat kamu tak akan pernah

singgah ke rumah ini lagi….”

“Ran, aku punya firasat, jauh di dalam hatimu sebenarnya kamu

mencintaiku.”

Sekelebatan langit bercahaya. Lalu suara guntur yang jauh, angin yang

menderu, kerisik ranting dan daun-daun, dan aliran hujan yang bergegas

menerobos talang rumah, mencari lembab tanah.

Kugenggam tangan Ran.

“Ada sebuah ruang di dalam hatiku yang akan selalu menjadi milikmu,”

kataku.

Ran tersenyum.

Senyum yang samar.

Lalu, sangat perlahan, aku mengecup kening Ran. Ragu. Tipis. Dingin.

Waktu berhenti dan semua suara menjadi sunyi.

Ketika waktu meloloskan diri dan sunyi menemukan suaranya kembali,

aku melihat kilauan mutiara menggenang dalam ceruk mata Ran yang abadi.

Lalu kulepas kembali genggaman itu.

Hujan masih sangat deras ketika kubuka pintu pagar rumah itu.

Kembali ke hotel.

O, my pity Chairil! Hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-

koyak sepi.


165
(Di Hotel P., Yogya,

4 Mei 1991)

Jumat sore kemarin check-out dari hotel itu.

Langsung ke stasiun. Hans telah menunggu.

“Kusut betul kamu,” kata Hans.

“Aku terjaga semalaman,” jawabku.

“Nggak aneh. Kau tidur semalaman baru mengejutkan. Bagaimana orang

itu?”

“Siapa?”

“Yang kamu temui kemarin.”

“Aku ketemu banyak orang kemarin.”

“Orang yang kuusulkan.”

“O, pria itu. Kenapa?”

“Aku cuma minta pendapatmu.”

“Apa perlu?”

“Aku cuma ingin tahu.”

“Satu-satunya yang menyenangkan dari orang itu adalah parfumnya.”

“Lho! Kamu serius?”

“Dua rius. Membuat harum ketiakmu agak sedikit menghibur dan lebih

menyenangkan dari sebelumnya.”

“Sialan,” maki Hans.

Aku tertawa….

166
Sekitar pukul dua dini hari aku turun di stasiun Yogya.

“Nginap di hotel itu lagi?” tanya Hans.

“Di mana lagi?”

“Kamar nomor 6?”

“Punya saran lain?”

“Iwan Simatupang betul kamu… le petite bourgeois!”

“Ini yang benar: bourgeois, humaniste et poète. Kesimpulan tepat Clavdia

Chauchat untuk orang yang nama depannya sama denganmu, Hans Castrop. The

Magic Mountain. Thomas Mann.”

Hans nyengir. Aku tertawa.

“Sampai nanti Hans… jangan sampai tertinggal kereta. Baik-baik di jalan.”

“Hati-hati.”

“Kamu juga, hati-hati. Eh, Hans….”

“Ya?”

“Coret orang itu dari daftar.”

“Oke.”

“Satu hal lagi.”

“Apa?”

“Kamu masih belum tertarik punya pacar?”

“Ah, kau!”

“Gadis cantik berjilbab di kursi samping kita itu turun di Gubeng.”

“Lalu?”

167
“Teman sekursinya yang tak berjilbab turun di sini.”

“Lalu?”

“Dia belum pernah ke Surabaya.”

“Lalu?”

“Tak ada yang menjemputnya di sana.”

“Lalu?”

“Dia belum punya pacar.”

“Lalu?”

“Dia pasti kesepian.”

“Lalu?”

“Lalu. Lalu. Lalu. Ajak ngobrol dong dia. Siapa tahu nasibmu beruntung.

Atau kamu lebih suka pacaran dengan punggung kursi di depanmu?”

“Ah, sialan kau!”

Kami berdua tertawa.

Wajah Ran dan Ratna bergantian muncul di hadapanku. Ke mana pun aku

berpaling. Ringan bagai udara kamar.

O, my humble Toto… mereka tak tahu aku di mana… ku tak tahu cintaku

di mana, terlalu hampir tetapi terasa sepi, sekali tertangkap terlepas kembali.

Tiba-tiba saja aku ingin bunuh diri.

Seseorang mengetuk pintu. ▼

168
Dua Esai dan Tiga Surat Cinta

169
Mandala, Bandung, Sabtu, 23 Juni 1990

Iqbal dan Saya

Oleh Kafka Purnama

DOSEN saya, Mr. Ismail Batubara, setelah beberapa waktu mengamati

saya menemukan kenyataan bahwa meskipun pemikiran-pemikiran saya yang

ditangkapnya di kelas atau di dalam tulisan-tulisan saya disandarkan pada suatu

kerangka berpikir religius, menemukan juga jejak-jejak sosialisme di dalamnya.

Itulah pula yang rupanya menjadi sebab kenapa ia selalu terlihat gemas ketika

memanggil saya: “Le Petite Soska” alias si sosialis-kanan bertubuh kecil.

Sebagai seorang sahabat, Mr. Ismail Batubara, pernah meminta saya di

sebuah hari yang saya lupa tanggal, bulan, dan tahunnya, untuk di masa depan

menemukan epistemologi saya sendiri. Saya sadar tugas mencari “epistemologi

saya sendiri” adalah tugas yang berat dan belum tentu saya dapat menemukannya.

Saya pun sadar benar tak bisa menanggung beban itu.

Beruntunglah pada suatu hari saya “bertemu” dengan Iqbal.

**

BAGI peminat sastra profetik (sufistik) di Indonesia, nama Mohammad

Iqbal tentulah tak asing lagi. Terutama sejak Bahrum Rangkuti menerjemahkan

salah satu karyanya, Asrar-i Khudi di tahun 1950-an, kehidupan, pemikiran dan

karya-karyanya mulai dilirik.

170
Iqbal yang dilahirkan di Sialkot pada tahun 1877 dan meninggal pada

tahun 1938, bersama-sama Rabindranath Tagore dapat dikatakan sebagai penyair

India terbesar abad ke-20. Ia juga penyair Muslim terkemuka abad ini, dan karena

perannya dalam melahirkan negara Pakistan, ia dipandang sebagai Bapak Spiritual

negara itu.

Iqbal juga seorang filsuf, pemikir pembaru Islam dan ahli tasawuf. Ia

memiliki pandangan yang khas tentang tasawuf. Untuk mengetahui pandangannya

itu, kita harus terlebih dahulu menjelajahi pemikiran filsafatnya tentang Tuhan

dan manusia sebab dari sinilah asal-muasal pandangan ketasawufannya terbentuk.

**

DALAM The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal

membagi pemikiran filsafat ketuhanannya ke dalam tiga fase. Pertama, Iqbal

mengupayakan dasar-dasar epistemologis dan metodologis sebelum merumuskan

wujud Tuhan. Kedua, Iqbal merumuskan wujud Tuhan sebagai Realitas Terakhir,

yaitu suatu kehidupan kreatif yang terarah secara rasional. Pada fase ketiga,

berdasarkan pengalaman-pengalaman Iqbal mengkonkretkan rumusannya tentang

wujud Tuhan, yaitu bahwa Realitas Terakhir sesungguhnya adalah Ego Mutlak.

Secara keseluruhan, filsafat ketuhanan Iqbal bercorak antropomorfis. Hal

ini bisa dipahami mengingat seluruh pemikiran filsafatnya adalah demi

171
kepentingan manusia. Ini tercermin dari seruan Iqbal untuk menumbuhkan sifat-

sifat Allah dalam diri manusia.

Sementara itu, manusia menduduki tempat yang agung dalam pemikiran

filsafat Iqbal. Karya-karya prosa dan puisinya mengandung gagasan-gagasan yang

bertujuan menyadarkan manusia akan kehebatan khudi-nya. Karena itulah filsafat

kemanusiaan Iqbal dikenal sebagai filsafat khudi.

Khudi adalah perkataan Persia (dan juga Urdu) yang berkonotasi negatif.

Iqbal memilihnya sebagai salah satu terminologi inti pemikiran filsafatnya dan

diberi arti lain yang serba positif untuk menggambarkan “a unique I” (sebuah saya

yang unik), kreatif, dan senantiasa bergerak maju.

Secara leksikal, khud berarti diri (self), sedangkan khudi berarti

mementingkan diri sendiri, arogansi, dan egotisme. Bagi Iqbal, secara etis khudi

bermakna kepercayaan diri, keyakinan diri, penjagaan diri, bahkan penegasan diri,

jika yang demikian itu diperlukan untuk kepentingan kebenaran, keadilan,

kewajiban, bahkan dalam menghadapi kematian.

Khudi dapat pula diterjemahkan sebagai personality yang dalam filsafat

kemanusiaan Iqbal dipahami sebagai fakta sentral dalam konstitusi manusia.

Menurut Iqbal, manusia adalah mahluk yang unik sebagaimana uniknya Tuhan.

Bila Tuhan unik sebagai Pencipta, manusia unik dibandingkan mahluk apa pun di

dunia ini, yaitu sebagai pencipta kedua.

172
Istilah lain untuk khudi adalah ego. Bagi Iqbal, khudi, personality atau ego

bukanlah substansi (seperti antara lain dipahami Al-Ghazali) melainkan perbuatan

yang harus dinilai dari sikap, kemauan, tujuan, dan aspirasi-aspirasinya.

Kesadaran antropomorfistik dan kesadaran sebagai pencipta kedua adalah

posisi tertinggi yang dapat diraih setiap manusia yang sadar akan agamanya.

Posisi tertinggi itu dalam terma Iqbal disebut mard-e mumin atau insan-e kamil.

Posisi tertinggi ini hanya dapat diraih melalui latihan mental dan spiritual yang

reflektif dan kontemplatif atau dalam bahasa eskatologis, melalui jenjang fikr dan

dzikr yang intens. Di sinilah tasawuf memainkan peranannya.

Iqbal, seperti juga Rumi, Hamzah Fansuri (bapak bahasa dan sastra

Melayu) dan belakangan Ali Syari`ati mengecam para sufi yang terjerumus pada

sikap egoisme, eksklusivisme, asosial, dan hanya puas dalam kehidupan zuhud

(asketik). Padahal seorang Muslim yang telah mendapat makrifat pertama

(pengetahuan) lalu berzuhud, kemudian mendapat pengetahuan setelah zuhud

(kasyf), harus berada di tengah keramaian sebab kehidupan zuhud bukanlah tujuan

tasawuf melainkan tahapan awal dari latihan ruhani. Ia harus menerima dan

menjalankan kewajiban normatif untuk mengelola alam ini secara kreatif dan

menyebarkan kasih sayang kepada manusia dan mahluk lainnya. Tentang ini Iqbal

berkata:

173
Janganlah bermain di tepian/ Di sana tarian kehidupan bergerak lamban/

Terjunilah samudera dan lawanlah/ Ombak dan gelombangnya/ Keabadian

adalah kemenangan dalam perjuangan//.

Bagi Iqbal, hubungan yang intim yang telah diraih seorang sufi dengan

Entitas Abadi tidaklah berarti pemisahan dirinya dari kehidupan normal. Ia harus

menerjunkan diri ke dalam samudera dan menantang ombak dan gelombangnya

sebagai metafora sosial yang dinamis dan penuh perjuangan. Dalam hal ini, Iqbal

mengambil misal dari peristiwa mikraj Nabi Muhammad. Seandainya Nabi

seorang sufi, kata Iqbal, Nabi tidak akan kembali ke bumi oleh karena telah

merasa tenteram bertemu Tuhan dan berada di sisi-Nya. Akan tetapi, Nabi

kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial, mengubah jalan sejarah,

dan melakukan transformasi kultural.

Kesadaran profetik seperti inilah yang (harus) mendasari tasawuf Islam

dan menjadi tanggung jawab para sufi. Dengan kata lain, suatu bentuk tasawuf

berkesadaran profetik yang mengantarkan para sufi ke dalam hubungan yang

intim dengan Entitas Abadi; melihat-Nya dalam cahaya khudi-nya (sebagai

pencipta kedua) untuk membawa dan melanjutkan pesan-pesan profetik kepada

umat manusia di dalam kehidupan yang membumi.

Kepada sufi yang telah meraih posisi tertinggi sebagai mard-e mumin atau

insan-e kamil seperti inilah Iqbal bahkan bersedia mengabdi “bagaikan budak”.

174
**

BANYAK jalan menuju Roma, pasti banyak jalan pula menuju

“epistemologi saya sendiri”.

Apabila dosen dan sahabat saya, Mr. Ismail Batubara, kebetulan termasuk

orang yang membaca esai ini, saya ingin mengatakan kepadanya bahwa melalui

pemikiran filsafat kemanusiaan Iqbal, saya kira saya sudah menemukan jalan

menuju “epistemologi saya sendiri” yang dimaksudkannya itu. (Penulis adalah

mahasiswa Civics Hukum FPIPS IKIP Bandung, ketua Kelompok Diskusi

Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan [KDMIP], dan anggota Akademi Iqbal).

175
Mandala, Bandung, Jumat, 20 Juli 1990

Jemaah Haji, Syuhada, dan Keprihatinan Kita

Oleh Yulia Maharani

TAHUN ini saya berduka. Tahun ini kaum muslimin Indonesia berduka.

Musibah besar terjadi di terowongan Harat al-Lisan di Mina. Musibah Mina.

Enam ratus orang lebih jemaah haji asal Indonesia dipastikan meninggal dalam

musibah itu. Pada tahun ini, jumlah jemaah haji yang diberangkatkan dari

Indonesia 82.000 orang, terbesar selama pemerintahan Orde Baru. Jumlah ini

meningkat 40% bila dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 57.912

orang.

Beberapa kalangan memandang peningkatan jumlah jemaah haji tahun ini

disebabkan kesadaran beragama masyarakat Indonesia yang meningkat pula.

Selain itu, menurut menteri agama, Munawir Sjadzali, peningkatan jumlah itu ada

hubungannya pula dengan keberhasilan pembangunan nasional, khususnya

pembangunan ekonomi. Ongkos Naik Haji (ONH) biasa tahun ini Rp 5.320.000,-

naik 3,3% dibanding tahun lalu dan yang tertinggi di negara-negara ASEAN.

Namun, di luar semua itu, seperti dikemukakan Dr. Martin van Bruinessen,

bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat

176
penting. Haji selain berfungsi ibadah, berperan pula sebagai sarana pencarian

ilmu. Kita mencatat beberapa nama orang Indonesia yang berhaji seraya

menuntut ilmu, seperti Syaikh Yusuf al-Makassari yang berangkat ke tanah suci

tahun 1644 dan baru kembali 26 tahun kemudian. Ia berguru kepada ulama besar

Madinah, Ibrahim al-Kurani, yang juga guru dari para reformis besar Islam seperti

Muhammad ibn Abd al-Wahab di Arabia, Syah Waliyullah di India, dan Ma

Mingxin di Cina. Ketika kembali ke Indonesia, Syaikh Yusuf menjadi penyebar

tarekat Khalwatiyah dan menduduki peran politik penting sebagai penasihat

Sultan Ageng Tirtayasa di Banten.

Disamping Syaikh Yusuf, kita mengenal Abd al-Rauf Singkel yang

memperdalam ilmu di Makkah dan Madinah dan kemudian mencapai kedudukan

tinggi di Aceh. Seperti Syaikh Yusuf, ia pun berguru kepada Ibrahim al-Kurani.

Setelah kembali ke Nusantara, ia menyebarkan tarekat Syatarriyah yang terkenal

itu. Selain kedua ulama besar itu, kita mengenal sejumlah ulama lain yang bahkan

menjadi guru (syaikh) terkenal di Makkah dan Madinah, antara lain: Syaikh

Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfudz al-Tarmisi, Syaikh Ahmad Khatib al-

Minangkabawi.

Berbeda dengan fungsi haji dalam era komunikasi dan informasi saat ini

yang cenderung menyempit menjadi semata-mata ibadah ritual, fungsi haji zaman

dulu selain ibadah dan menuntut ilmu juga memiliki fungsi politis dan sosiologis

serta berperan besar dalam mengembangkan proses islamisasi di Nusantara. Pada

zaman pemerintahan kolonial Belanda, haji juga berfungsi menjadi alat pemersatu

176
Nusantara dan mendorong munculnya gerakan-gerakan antikolonialisme.

Pemberontakan para petani Banten di tahun 1888 yang diabadikan Sartono

Kartodirdjo dalam sebuah buku yang sangat bagus, diilhami pengalaman tokoh-

tokohnya ketika mereka berada di Makkah.

**

PADA saat itu perjalanan haji memakan waktu berbulan-bulan

(bandingkan dengan sekarang yang untuk mencapai Jeddah hanya diperlukan

waktu 11 jam). Selain mesti menempuh jalan laut (mula-mula dengan kapal layar,

lalu dengan kapal api) juga harus menempuh perjalanan darat. Termasuk melintasi

gurun pasir. Kebanyakan dari mereka berusaha tiba di sana sebelum bulan

Ramadhan supaya dapat menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih di Masjid

al-Haram. Mereka tinggal agak lebih lama di sana sebelum pulang ke Tanah Air.

Sebagian menetap di sana dan dikenal sebagai “Jawah Mukim”.

Kesempatan yang cukup lama untuk saling bertemu di antara para jemaah

haji yang berasal dari berbagai suku bangsa memberikan keleluasaan kepada

mereka untuk saling bertukar pikiran dan bertukar pengalaman. Dalam sebuah

tulisannya, Snouck Hurgronje menunjukkan bagaimana para jemaah haji yang

berasal dari Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan,

Semenanjung Malaya, Minangkabau dan Aceh bergaul akrab selama di Makkah.

Mereka, misalnya, ikut membicarakan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.

Mata mereka kemudian terbuka melihat kenyataan-kenyataan pahit bangsa-bangsa

Muslim di bawah penjajahan Belanda, Inggris dan Perancis.

177
Meskipun sekarang fungsi ibadah haji cenderung menyempit

(disempitkan?) menjadi hanya ibadah ritual—dan mungkin diperlakukan sebagian

orang sebagai simbol status sosial—dan tidak lagi memiliki fungsi politis dan

sosiologis, kuatnya loyalitas bangsa Indonesia terhadap Islam merupakan faktor

pendorong untuk menunaikan ibadah haji. Kedudukan ibadah haji sebagai satu

dari lima rukun Islam dan banyaknya keutamaan yang disandangnya serta

disediakannya pahala berlimpahan bagi mereka yang menjalankannya, termasuk

faktor penting yang mempengaruhi orang untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan

banyak yang menunaikannya lebih dari satu kali.

**

SECARA harfiah kata hajj berarti “maksud seseorang yang ingin

mengunjungi tempat suci”. Oleh karena itu, kunjungan dari berbagai penjuru

dunia ke Kabah di Makkah dikenal dengan sebutan haji.

Haji mengandung berbagai makna simbolik. Dari sudut pandang praktis

dan konseptual, menurut Ali Syari`ati, haji termasuk rukun Islam yang terpenting

selain jihad dan tauhid yang memberikan motivasi kepada bangsa-bangsa Muslim

dan yang membuat warga negara bangsa-bangsa Muslim itu sadar, merdeka,

terhormat, dan memiliki tanggung jawab sosial.

Dalam Ihya Ulum al-Din, Al-Ghazali mengutip beberapa hadis Nabi yang

banyak meriwayatkan keutamaan ibadah haji dan pahala surga bagi mereka yang

menjalankannya dengan penuh kebajikan (haji mabrur) dan kedudukan sebagai

syuhada bagi mereka yang wafat ketika tengah melaksanakan ibadah haji. Dalam

178
sebuah hadis sahih, Nabi Muhammad berdoa kepada Allah untuk mengampuni

orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang yang dimohonampunkan oleh

orang yang melaksanakan ibadah haji. Begitu besar keutamaan ibadah haji.

**

TAHUN ini saya berkabung. Tahun ini kita semua berkabung.

Sampai Kamis (19/7) kemarin, tercatat 613 orang jemaah haji asal

Indonesia yang meninggal. Musibah ini terjadi bersamaan waktunya dengan

pelaksanaan salah satu wajib haji, yaitu melontar jumrah (ada tiga jumrah,

masing-masing: Ula, Wustha, dan Uqba). Musibah ini adalah musibah terburuk

dalam sejarah haji Indonesia setelah beberapa tahun silam ratusan jemaah haji

Indonesia meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat terbang di dekat Kolombo,

Sri Langka.

Terlepas dari kelalaian penyelenggara haji (pemerintah Arab Saudi) yang

seharusnya bekerja lebih profesional, sepenuh hati menjamin keselamatan para

tamu Allah di tanah yang hingga akhir zaman disucikan itu, kita semua berharap

kejadian ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang dan persoalan keamanan

(tidak hanya kenyamanan dan kemudahan) para jemaah haji kita dan para jemaah

haji dari negeri-negeri lain betul-betul dijamin.

Tuhan jugalah yang Maharahim dan Maha Berkehendak. Semoga mereka

semua yang meninggal dalam musibah Mina itu dimasukkan ke dalam barisan

para syuhada dan memperoleh pahala selayaknya syuhada. Insya Allah, mereka

termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan Tuhan dalam Al-Quran

179
(3:169-170): “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan

Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapatkan rezeki.

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang dilimpahkan-Nya

kepada mereka.” (Tulisan ini didedikasikan untuk para korban musibah Mina

dan untuk Ratna Suminarsari, salah seorang jemaah haji Indonesia yang wafat

dalam musibah itu).

180
Bandung, 28 Juli 1988

Yts. Yulia Maharani

Bukankah surat cinta ini ditulis

Ditulis ke arah siapa saja

Seperti hujan yang jatuh rimis

Menyentuh arah siapa saja

(Goenawan Mohamad)

Aku mendengar percakapan Zinda Rud dan Rumi. Zinda Rud bertanya:

“Siapakah manusia? Siapakah Tuhan? Apakah dunia?” Rumi Menjawab:

“Manusia adalah pedang. Tuhan pemilik pedang. Dunia tempat menajamkan

pedang. Timur mengenal pedang tapi tak dapat menajamkannya. Barat pengasah

pedang tapi tak kenal pemiliknya.”

Ran, aku bahkan tak kenal pemilik pedang…. Semakin hari aku semakin

merasa kalah. Kini aku tidak tahu apa yang ingin kuraih dalam hidupku. Aku

selalu merasa terasing. Sendiri. Sering aku berpikir kenapa aku tak mati saja.

Ran, aku semakin jauh dari Tuhan.

Salam.

Kafka Purnama

Bandung, akhir Desember 1989

181
Yts. Yulia Maharani

Karena laut tak pernah dusta, lautlah aku

Karena laut tak pernah takluk, lautlah aku

Terlalu hampir tetapi terlalu sepi

Tertangkap sekali terlepas kembali

(Toto Sudarto Bachtiar)

Ran yang baik, karena kedatangan igauan ini mungkin akan

mengganggumu, maka kusampaikan permintaan maafku lebih dulu. Masih ujian?

Atau baru usai? Aku doakan semoga senantiasa dipilihkan dan ditetapkan Tuhan

untukmu jalan yang baik dan lempang.

Beberapa hari yang lalu, sore-sore, seorang kawan memberiku kaset

rekaman “khotbah” Emha Ainun Najib di Aula UNPAD, Sabtu, 9 Desember 1989

dan meminta aku memberikan tanggapan karena katanya isinya kontroversial.

Namun rekaman itu belum kusentuh. Emha dapat menunggu.

Kawan yang memberikan kaset itu kepadaku bilang bahwa ia melihatmu

hadir di acara itu.

Lima bulan terakhir aku hanya membaca, menulis (untuk kubaca sendiri),

berdiskusi dengan banyak orang, dengan banyak kelompok orang, dan dalam

waktu-waktu tertentu tetap mengabari cakrawala dan langit bahwa aku tetap

memilih menjadi manusia berjalan, manusia pergi.

182
Tadi pagi, aku baru pulang dari Bogor dan Jakarta. Menemui sejumlah

kawan.

Ah, Ran, perkuliahan bukanlah tembok-tembok kelas yang angkuh itu,

melainkan awan dan laut, dan ilmu bukankah aliran sungai yang gelisah mencari

ibu samudera? Lima tahun dan lima bulan terakhir (untuk) entah sampai kapan

akulah air sungai itu.

Faust? Aku sering berpikir, apakah tak mungkin suatu saat kelak ketika

senantiasa menjadi elang berumah di angin, aku disampaikan waktu pada sebuah

tebing tempatku hinggap sejenak dan berkata kepada diriku sendiri, seperti Faust

berkata kepada dirinya sendiri:

Da steh’ ich nun, ich armer tor

Un bin so klug als wie zuvor

Nah, di sinilah aku, si goblok yang malang

Tak lebih bijak dari sebelumnya

Dan, setelah sekian lama, pada kau seorang masih kurasakan keberartian

hidup dan bercerita meskipun kusadari sungguh di hadapanmu aku tak pernah

dewasa.

Ran sayang, Indonesia kita sedang menuju ke senja. Apa boleh buat, hari

memang tak lagi pagi. Indonesia kita tak lagi terasa sebagai tujuan, kini, ia lebih

183
terasa sebagai kepentingan. Indonesia kita ibarat lelaki renta dalam kemudaan

usianya. Indonesia kita bagai panggung Voltaire yang lugu, dipenuhi aktor yang

buruk. Indonesia kita bukan lagi kau, aku, kami atau kita, tetapi mereka.

Indonesia kita adalah apologia.

Indonesia kita bagai sebuah peti,

dan kita membuat peti

di dalam peti ini

(Taufiq Ismail)

Indonesia kita bukan elang terbang tapi pipit pulang. Indonesia kita bagai

istana khayali yang terus dipercantik para pemain demam panggung yang

mengigaukan alam bawah sadar para raja: selama hayat dikandung badan tetap

berada di atas panggung kekuasaan. Bahkan ketika pertunjukan telah usai. Kursi-

kursi penonton kembali kosong, dan layar diturunkan.

Indonesia kita telah menjadi gugusan penjara, dan di salah satu penjara

itu Mochtar Lubis menulis,

dalam negeri

tanpa keadilan

tembok tinggi

dengan kawat berduri

184
bukan batas

antara dunia bebas

dan yang terpenjara

soalnya hanya

hari ini kami

esok engkau

Masalahnya adalah bagaimana sedapat mungkin membesarkan diri kita

hingga tak ada penjara yang cukup bagi kita. Maka kuteruskan berjalan, menuju

sepi. Seperti elang yang sendiri. Menempuh malam dan angin. Menuju kuburku

kelak. Entah di mana.

Ran yang lebih ramah dari mawar, seminggu setelah pulang dari Yogya

akhir September lalu seseorang berkata: kita tak pernah dewasa di depan orang

yang kita cintai. Entahlah, tetapi di depanmu, aku memang tak pernah dewasa.

Salam.

Kafka Purnama

Bandung, 15 Januari 1990

185
Yts. Yulia Maharani

Ran yang baik, sekali lagi mohon maaf untuk peristiwa di Yogya itu. Aku

tak bermaksud meninggalkanmu diam-diam, pulang ke Bandung tanpa pamit

kepadamu. Aku cuma tidak tahu apa yang harus kulakukan waktu itu.

Mungkin telah datang saatnya bagiku untuk mengubah tujuan hidupku.

Aku tidak marah kau menyebutku seorang pesimis dalam suratmu yang lalu.

Ada seseorang yang diam-diam mencintaiku, dan aku sedang belajar

untuk mencintainya.

Namanya Ratna Suminarsari.

Aku memanggilnya Inar.

Salam.

Kafka Purnama

186
3

187
Testamen dan Buku Harian

188
Maret, 2003.

RUPANYA tak banyak tamu Palu Golden Hotel hari ini sebab selain

Kafka dan saya, hanya ada dua tamu lain yang sedang sarapan, sepasang lelaki-

perempuan setengah baya. Mereka berdua sarapan tanpa banyak diselingi

percakapan di meja makan samping jendela yang berbatasan dengan taman.

Kafka terlihat segar. Necis dan muda. Saya heran, sepertinya Kafka tidak

pernah tumbuh menjadi tua sejak saya mengenalnya 17 tahun yang lalu, ketika

sebagai mahasiswa tingkat satu kami berdua sama-sama harus mengikuti masa

perpeloncoan.

Pagi itu seorang mahasiswa senior berkepala plontos, menyeret seorang

mahasiswa baru bertubuh kurus berwajah murung, dan menyuruhnya berdiri

menghadap ke arah kami, enam ratusan mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial, yang semuanya duduk bersimpuh di lantai keras gedung

olahraga itu. Wajahnya digarang-garangkan. Dia berbicara dengan nada suara

yang menghentak-hentak, meledak-ledak, sok kuasa.

“Lihat ke mari! Perhatikan baik-baik wajah teman kalian ini. Dia mencoba

menipu kami. Dia menguji ketelitian dan kesabaran kami. Dia pikir tugas-tugas

kalian yang diberikan kepada kami tidak akan kami periksa. Dia keliru! Hari ini

dia akan menjadi contoh bagi kalian semua.”

Kemudian mahasiswa senior berkepala plontos itu menyeret mahasiswa

baru itu, Kafka, ke atas pentas bersamaan dengan suara ramai dan seruan-seruan

keras yang menyuruh kami untuk menundukkan kepala. Lima menit kemudian

189
terdengar teriakan di sana-sini untuk mengangkat muka kami kembali, dan si

mahasiswa baru itu sudah berpindah tempat ke sudut pentas, di belakang deretan

kursi para penatar.

Sepanjang pagi hingga siang itu Kafka berdiri di sana, dalam sikap

sempurna, bersama para terhukum lainnya, dipunggungi para penatar yang

bergantian menceramahi kami dalam beberapa sesi.

Saya kebetulan duduk di bagian depan, dan dengan jelas dapat melihat raut

wajah Kafka yang memendam kemarahan. Melihat atribut yang dipakainya, saya

tahu, dia kawan seangkatan saya, satu jurusan.

Ketika masa istirahat makan siang tiba, saya segera berdiri dan

menghampirinya untuk berkenalan. Saya baru berjalan beberapa langkah ketika

seorang gadis berlari ke arah pentas dan memegang tangan Kafka yang dihukum

karena memberikan kotak kertas obat merah tanpa botolnya itu.

Tiba-tiba, persis dari samping saya, terdengar bentakan keras seorang

mahasiswi senior: “Hey! Romeo! Juliet! the show is over. Cepat turun! Siang-

siang pacaran. Masuk barisan kalian. Cepat!”

Kafka dan gadis itu, Ratna Suminarsari, bergegas turun, dan hilang dalam

kerumunan orang-orang yang bergerak ke arah pintu keluar untuk makan siang.

“Ke mana perempuan itu?”

“Siapa? Maya?”

“Ya.”

“Pulang.”

“Kapan?”
190
“Kemarin siang.”

“Masih muda benar dia.”

“Begitulah, seperti yang kau lihat.”

“Tak punya rencana kawin lagi?”

“Percuma.”

“Kau yakin kau tak mungkin punya anak?”

“Kau yakin kemandulan bisa disembuhkan?”

“Sorry, aku terlalu jauh masuk dalam urusan pribadimu.”

“Tak ada yang kusembunyikan darimu, Fuz.”

“Gimana kabar Meita?”

“Ternyata kami lebih cocok jadi sahabat ketimbang suami-isteri.”

Kafka tersenyum samar. Mendekatkan cangkir tehnya ke mulutnya, dan

menyeruputnya perlahan-lahan. Sepasang tamu berkulit bule masuk dari arah lobi,

langsung menuju meja panjang tempat menu makan pagi dihidangkan. Cuma ada

tiga menu makan pagi di meja itu, conro Makassar, bubur Manado dan nasi

goreng. Selebihnya, pepaya yang telah dipotong-potong kecil segi empat dan

semangka yang telah dipotong-dipotong kecil menjadi segi tiga sama sisi.

Minumannya: air bening, kopi, teh, dan jus mangga.

“Dia sedang hamil. Saat ini sudah empat bulan kukira.”

“Meita?”

“Ya.”

“Dia sudah nikah lagi?”

191
“Ya.”

“Kapan?”

“Tahun lalu.”

“Siapa suaminya?”

“Kau tak akan percaya….”

“Orang yang kukenal?”

“Teman kita juga. Hans.”

“Hanson Sihombing?”

“Dunia lebih sempit dari yang kita kira….”

Kafka melambaikan tangannya ke arah pelayan restoran hotel itu, dan

setelah pelayan itu mendekat, berbisik ke telinganya. Pelayan itu mengangguk-

angguk, menghilang beberapa saat, dan kembali lagi membawa sebungkus rokok.

“Kau mungkin tak akan percaya, Fuz, bila kukatakan aku sungguh-

sungguh bahagia. Apa yang membuat Meita bahagia, selalu, dan akan selalu,

membuatku bahagia.”

“Kapan kau terakhir ketemu mereka?”

“Meita dan Hans?”

“Ya.”

“Tiga bulan yang lalu….”

Kami lama berdiam diri. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saya

cukup lama mengenal Hans ketika kami masih sama-sama aktif di himpunan dan

senat meskipun saya tak mengenal dekat Hans sebagaimana Kafka mengenalnya.

192
“Bagaimana kabar teman kita yang lain,” tanya saya.

“Siapa?”

“Rukmana. Kau cukup sering bertemu dengannya?”

“Tidak terlalu sering.”

“Kudengar dia sekarang sangat berpengaruh di lingkaran dalam partai

yang berkuasa, ya?”

Kafka tak menjawab pertanyaan saya. Ia hanya tersenyum.

“Yani bagaimana? Apa benar dia….”

“Jangan selalu percaya apa yang kau dengar, Fuz. Terkadang, tidak

mengetahui lebih baik daripada mengetahui.”

“Ah, aku cuma kangen kawan-kawan kita. Masa-masa mahasiswa kita

dulu. Aku sebenarnya sempat juga naksir dia, dulu….”

Kafka tertawa.

“Serius! Seandainya tidak didului Rukmana,” kata saya lagi.

“Kupikir cuma Ratna yang kau taksir….”

Kembali kami berdiam diri dan tenggelam dalam pikiran, dan kenangan,

masing-masing.

Lelaki dan perempuan setengah baya yang telah berada di restoran itu

sebelum kami datang, beranjak pergi, bergandengan tangan. Mereka berhenti

sebentar di depan konter resepsionis yang terlihat jelas dari tempat kami. Lobi dan

restoran hotel itu hanya dipisahkan pembatas ruangan dari rotan.

193
“Kafka, kau yakin dengan testamenmu? Maksudku… dengan semua

pewarisan itu?”

“Fuz, sekali lagi kau tanyakan itu, kau bukan lagi kawanku.”

Lagi-lagi kami berdiam diri beberapa saat lamanya. Mata Kafka

menerawang jauh, entah ke mana.

“Aku punya firasat buruk, Fuz. Aku merasa aku tak akan pernah bertemu

kau lagi.”

“Aku tidak percaya pada firasat.”

“Aku percaya kau tidak percaya pada firasat.”

“Dan setahuku, kau orang paling rasional yang pernah kukenal.”

“Mungkin. Dan mungkin pula kau akan mengubah pendapatmu setelah

kau membaca buku itu.”

“Aku belum sempat membacanya.”

“Testamen dan buku harian itu, kaulah satu-satunya orang yang kuingat

ketika aku berpikir kepada siapa aku harus memberikannya.”

“Aku akan membacanya, malam ini…. Jadi ke Aceh? ”

“Minggu depan. Aku harus beres-beres laporan dulu di Jakarta…. Apa

kata Windy tentang Harun Araniri? Tak kusangka mereka pernah sekelas….”

“Dia alumnus program doktor UPI paling cepat di angkatannya. Windy

bilang, orangnya sangat cerdas dan dapat dipercaya. Dan bukan kali ini saja dia

bermitra dengan lembaga-lembaga donor. Siapa saja yang akan kau temui di

Banda Aceh?”

194
“Beberapa dosen Unsyiah, termasuk teman Windy-mu itu, tiga yayasan

kemanusiaan, dan sebuah LSM yang memberikan pelayanan psikologis kepada

masyarakat sipil yang anggota keluarganya menjadi korban DOM.”

Tiba-tiba Kafka tersenyum simpul.

“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya saya.

“Nggak…. Cuma dalam pikiranku begitu saja muncul nama gitaris Gigi.

Namanya sama persis dengan orang LSM yang akan kutemui di Banda Aceh

nanti…. Kita berangkat sekarang?”

“Ayo. Kukira sudah waktunya. Kita akan mampir ke beberapa toko perajin

ukiran kayu dan koperasi para pedagang bawang goreng khas Palu yang

kuceritakan itu, dan setelah itu aku langsung antar kau ke bandara….”

April, 2003.

SAYA sangat terkejut ketika adik saya dengan nafas memburu memberi

tahu saya seorang pria yang mengaku kawan lama saya sedang menunggu di

rumah saya. Saya bergegas pulang meninggalkan lapangan sepak bola itu, masih

memakai sepatu bola saya. Betul-betul di luar sangkaan, ternyata memang sahabat

lama saya….

Kami berdua berpelukan hangat sekali.

- Aduh sastrawan kita ini, gemuk kamu sekarang.

- Dan bapak dosen kita ini, habis rambutnya sekarang. (Kami berdua

tertawa.)

- Kacau! Aku baru pulang dari Bandung, kemarin.


195
- Hah?

- Iya. Isteri dan anak-anakku masih di sana. Mertuaku sakit. Empat

hari yang lalu aku sempat menelefon ke rumahmu. Isterimu belum

pulang. Kata pembantumu kamu sedang ke luar kota. Dia cuma

bilang ada acara sastra. SBSB itu, ya? Coba kalau aku tahu kamu

ke Palu.

- Iya. Bagaimana urusannya sampai namamu tak ada di buku

telefon? Berkali-kali aku menelefon ke fakultasmu. Mesin yang

menjawab. Eh, gimana kabar Windy dan anak-anak? Kapan

mereka pulang?

- Telefon ini masih atas nama penghuni rumah yang lama. Windy

dan anak-anak alhamdulillah sehat. Aku baru akan menjemput

mereka bulan depan. Agak sibuk di sini…. Sudah berapa lama

kamu di sini? Nginap di mana?

- Seminggu. Palu Golden.

- Itu hotel paling bagus di sini. Gimana acaranya, sukses?

- Alhamdulillah.

- Seperti inilah rumahku, Cep, beda betul dengan rumahmu di

Cimahi.

- Jangan merendah untuk meninggi begitulah…. Itu kan rumah

isteriku.

196
- Rumahmu atau rumah isterimu yang penting nyaman, kan? Aku

pernah dua kali ke rumahmu. Kamu tak ada. Sibuk sekali rupanya

kamu, ya.

- Dibilang sibuk sekali tidak, dibilang tidak sibuk sekali juga tidak.

(Tertawa.) Bagaimana kalau kita sudahi dulu urusan rumah dan

kesibukan itu. Aku haus nih….

Sambil menikmati teh manis dan bir dingin nonalkohol kami berbincang-

bincang tentang banyak hal, dan sebagaimana umumnya bila sahabat lama

bertemu, akhirnya kami mampir juga ke masa lalu.

Kenangan yang sama kemudian membawa kami kembali ke Ratna

Suminarsari.

- Aku menulis sajak tentang kita, Fuz.

- Kita siapa?

- Aku, kamu, dan Ratna.

- Mana? Kamu bawa?

- Dengan bukunya tentu.

Sahabat saya mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Sampulnya lumayan

menarik. Agak berbau mistis. Dan warna merahnya sangat dominan. Judulnya

Efrosina. Menurutnya, buku itu dicetak terbatas, hanya untuk keperluan Festival

Puisi Internasional Indonesia tahun 2002. Jadi eksklusif sifatnya. Saya mencari-

cari puisi yang disebutkannya, “Sebelum Makan Malam”, dan menemukannya di

halaman 72. Jauh di lubuk hati, saya membacanya.

197
Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz. Tertegun-tegun menunggu

kekuasaan tumbuh dewasa: Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu, dan

belajar membaca manusia sebagai kumpulan keinginan dan kesedihan. Bukan

fosil atau gambar separuh badan sebagai sasaran tembakan. Seperti engkau, aku

lahir dari sebuah sejarah yang lecak dan selingkuh. Tetapi kita mencinta negeri

yang sama, yang senyumnya bagai impian, seperti pada masa remaja kita

mencintai wanita yang sama, yang senyumnya bagai buaian. Cinta dan kekuasaan

bersandar pada waktu, Afuz, seperti babad rambutmu yang menipis dan hikayat

luka dalam aliran darahku. Segalanya menjadi selalu mungkin: Barangkali

karena ada rumah kanak-kanak dalam batin kita yang penuh senyum dan gelak

tawa. Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan menderas dari jauh dan jatuh

dua kaki dari lubang persembunyian, juga impian, kita yang rapuh. Seperti Peter

Pan, Tom Sawyer atau Bimbilimbica, kita menunggu hadiah ulang tahun bukan

saja dari pasangan paman dan bibi yang tambun dan riang. Tetapi juga dari

sahabat hayalan, Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti, sepasang granium,

tiga grasia, dan peri-peri riuh di hutan-hutan jauh.

- (Saya menarik nafas panjang usai membaca sajak itu.) “Seperti

pada masa remaja kita mencintai wanita yang sama, yang

senyumnya bagai buaian….” (Kembali saya menarik nafas

panjang). Aku iri padamu. Mengapa para penyair bisa membuat

luka menjadi indah?

198
- Aku tidak tahu. Menurutmu?

- Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam batin mereka

yang penuh senyum dan gelak tawa, ya?

- Mungkin. Tapi, aku pikir, kamu yang bukan penyair pun punya

rumah kanak-kanak itu. Bahkan menurutku, setiap orang punya

rumah kanak-kanak dalam hatinya masing-masing.

- Buku ini untukku, Cep?

- Ya. Aku membawanya untukmu.

- Bulan lalu, X ada di sini…. ▼

199
Hanya Ada Satu Kali Penerbangan
ke Kendari

200
TAK ada kota yang lebih damai dari Kendari. Itulah yang selalu kurasakan

setiap kali bangun pagi. Pagi? Sebenarnya aku terlalu percaya diri menyebut

“bangun pagi”. Sudah setahun terakhir aku selalu terlambat bangun. Aku kira

inilah hubungan sebab-akibat yang logis dari sebuah kehidupan yang lebih

berpihak pada malam, ya, yang kutempuh dua belas bulan terakhir ini. Apakah

aku sedang sendirian atau ketika sedang bersama seseorang menghabiskan malam,

aku hanya bisa tidur di bawah pukul tiga pagi.

Pukul sebelas. Cahaya matahari sudah menyebar ke semua sudut rumah

ini. Menerobos lubang angin di atas kusen jendela depan. Menembus kaca dan

tirai tipis yang masih tertutup. Seperti biasa, rumah ini layaknya tanpa penghuni.

Selalu sepi. Bagai kuburan. Adikku rupanya masih betah di Raha, di rumah paman

sebab belum juga pulang meskipun sudah berjanji akan kembali dua minggu yang

lalu. Papa entah di mana saat ini setelah seminggu yang lalu dari Pekanbaru

menelefon kami, menanyakan kabarku dan kepadaku menanyakan kabar Dina,

adikku. Kasihan papa. Mengapa dia belum dapat juga menerima kenyataan bahwa

mama sudah tak mungkin lagi kembali kepadanya. Kepada kami. Aku dan Dina

sudah dapat menerima kemungkinan dari kesedihan atas kenyataan itu ketika

mama masih terbaring sakit.

Sebenarnya akulah yang lebih tepat dikatakan sudah dapat berdamai

dengan kenyataan itu. Dina masih sering diam-diam pergi ke Raha. Ada saja

alasannya. Kangen ketemu sobatnyalah, refreshing-lah, ingin ketemu bibi, dan

semacamnya. Sebenarnya ia sama saja seperti papa. Melarikan diri.

201
Mengapa aku dan Dina begitu mencintai mama padahal mama bukan ibu

kandung kami? Beberapa tahun yang lalu, ketika papa kembali dari Jepang dan

membawa wanita lembut yang baru saja menyelesaikan studi program masternya

di Universitas Tokyo, dan berkata dengan nada datar kepada kami bahwa mulai

hari itu kami “punya mama lagi”, aku dan Dina segera tahu mama bukan saja

dapat menggantikan ibu kandung kami—yang hanya singgah sebentar dalam

kehidupan masa kecilku dan jauh lebih singkat lagi dalam kehidupan masa kecil

Dina, dan wajahnya telah lama berubah menjadi kenangan samar lewat foto-foto

lama—melainkan lebih dari itu: menjadi sahabat dekat kami, tempat kami

membagi semua kegembiraan dan kesedihan kami.

Sebenarnya Mama Yulia, begitulah kami memanggilnya, lebih pantas

menjadi kakak daripada menjadi mama. Denganku, mama yang berdarah

campuran Sunda-Jepang dan memiliki nama lengkap Yulia Maharani Hayashi itu,

hanya berselisih umur 13 tahun dan dengan Dina cuma 10 tahun tetapi kami

begitu takjub melihat bagaimana mama dapat segera menjadi ibu bagi kami

padahal mama belum pernah menikah sebelumnya. Namun, bukankah untuk

menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya pengalaman tidaklah penting?

Bukankah menjadi ibu sebenarnya lebih merupakan naluri daripada keterampilan

yang dipelajari? Lebih merupakan keikhlasan daripada kewajiban? Dan, Tuhan,

kenapa mama yang baik ini mengisi kehidupan kami seperti senja mengisi sebuah

hari? Begitu singkat.

202
Ah, bukankah sebenarnya pula aku tak ada bedanya dengan Dina dan

papa. Setelah kepergian mama, bukankah aku lebih sering lari dari rumah? Aku

lebih banyak menghabiskan waktuku di kampus, bertemu teman-teman,

menenggelamkan diriku dalam omong kosong kehidupan nyeniman di Taman

Budaya, lalu pulang ke rumah menjelang tengah malam, nonton MTV, membaca

atau melamun hingga dini hari, dan… tidur. Esoknya, rutinitas itu pun kembali

berulang. Bangun sekitar pukul sebelas siang. Mandi. Ganti baju. Sarapan. Pergi.

Dan ketika aku harus menemani seseorang—Sahal menyebutnya “klien” atau

“tamu”—aku merasa seperti pesakitan yang memperoleh pembebasan sementara.

Aku tak pernah menemani klien lebih dari satu minggu dan dalam satu bulan

cuma ada satu klien. Itu aturan main. Aturan mainku. Takjub juga kalau kupikir-

kupikir, aku tak pernah bertemu secara fisik dengan papa dan Dina selama tiga

bulan terakhir. Kami hanya saling telefon atau mengirim SMS. Menanyakan kabar

masing-masing.

Rumah itu ada baiknya segera dijual, seperti usul Dina, lalu kami pindah

ke rumah lain, di bagian kota yang lain, sehingga kami semua, aku, papa, dan

Dina dapat membebaskan diri dari tahun-tahun kenangan yang menghunjam jauh

ke dalam lubuk hati kami, merantai kami, membelenggu kami. Kenangan tentang

mama. Terus-terang, aku sendiri punya rencana, segera setelah studiku selesai,

akan segera pindah ke Raha. Kota itu memang sangat panas namun bila malam

datang, Anda akan menemukan langit yang tak akan pernah Anda peroleh di kota

lain. Apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, atau Surabaya.

203
Bayangkanlah sebuah kanvas mahabesar yang sangat biru dan jernih. Itulah langit

Raha siang hari. Dan bayangkanlah sebuah kanvas mahabesar yang sangat hitam

tetapi dipenuhi taburan jutaan permata bintang-bintang yang saling merapat satu

sama lain dan berkilauan. Itulah langit malam hari Raha.

Selama tiga hari di Medan, setiap malam aku selalu menengadahkan

kepalaku ke langit mencari permata-permataku. Ada memang. Namun tak seindah

seperti yang biasa kulihat di Raha. Di hari keempat, menyebal dari kebiasaan, aku

bangun pagi-pagi benar. Meninggalkan lelaki itu dengan secarik pesan di samping

pesawat telefon, bergegas keluar dari pintu hotel itu, menuju bandara Polonia.

Setiap hari, dari Jakarta, hanya ada satu kali penerbangan ke Kendari. Aku

terpaksa menginap semalam di sebuah hotel dekat bandara Soekarno-Hatta di kota

yang tak akan pernah kusukai itu. Dan esok paginya dengan Merpati pukul enam

pagi aku terbang ke Kendari.

Tak ada yang perlu kuingat-ingat dari lelaki Jakarta yang mengaku seorang

pengacara dan tokoh partai yang kutinggalkan di Novotel Medan itu kecuali

bahwa ia menafsirkan diriku semata-mata sebagai tubuhku dan menerjemahkan

tubuhku sebagai sekadar payudara dan vaginaku. Dengan kata lain, diriku baginya

tak lebih dari sebuah objek seksual dan oleh sebab itu aku tak memberikan sedikit

pun ruang dalam hatiku baginya selain menganggapnya sebagai seorang pembeli.

Seorang penyewa. Tipe lelaki kebanyakan yang selalu membuatku sebal setelah

meninggalkannya.

204
HARI itu aku lelah sekali. Aku cuma bermalas-malasan di tempat tidur.

Mencoba berkali-kali menelefon Dina dan papa yang sungguh suatu kebetulan

luar biasa telefon genggam mereka berdua sama-sama dalam keadaan tidak aktif.

Aku pergi ke dapur membuat jus tomat, menyeduh secangkir kopi, membikin

sandwich yang sebenarnya terlalu siang untuk dipilih sebagai menu sarapan. Lalu

kembali ke kamar tidur. Mengirim SMS ke sejumlah teman, dan membaca novel

Mario Puzo tentang Don terakhir yang kubeli di sebuah toko buku di Medan dan

baru kubaca separuh jalan.

Ya, begitulah, tiga hari tiga malam dengan lelaki yang dalam banyak hal

tak tahu adat itu mulut dan tangankulah yang dipaksa bekerja keras. Selebihnya

aku tinggal sendirian di kamar hotel (membaca, nonton TV, melamun) atau pergi

jalan-jalan ke mal di pusat kota yang tak begitu jauh jaraknya dari Istana

Maimun, belanja, makan dan minum, lalu kembali ke hotel sementara lelaki yang

juga mengaku memiliki perusahaan garmen di Medan itu, menghabiskan

waktunya menemui rekan-rekan bisnisnya.

Pak Rukmana yang posesif. Ia tak mau aku terlihat bersamanya ketika ia

sedang menjamu tamu-tamunya yang selalu diterimanya di lobi atau restoran

hotel. Ia membebaskan aku pergi sesukaku ke mana pun di siang hari asal ketika

ia kembali ke kamar di malam harinya aku sudah dalam keadaan siap melakukan

apa pun yang dimintanya. Ya… apalagi kalau bukan permintaan yang begituan.

Aku sempat cemas ia termasuk dari jenis lelaki yang memiliki kelainan seksual,

yang baru terangsang setelah terlebih dulu melakukan kekerasan terhadap teman

205
kencannya. Untunglah kecemasanku urung menjadi kenyataan. Memang tak

semua manusia posesif dengan sendirinya seorang Marquis de Sade.

Sahal tahu aku sudah pulang. Pundi-pundinya akan bertambah lagi, 30%

dari pendapatanku menjadi jamuan seksual si lelaki berwajah bulat berperut

buncit seperti kerbau yang nafsu seksnya jauh lebih besar daripada daya tahan

penisnya. 30% dari keringatku (dari tubuhku) yang lebih dari cukup untuk

digunakan Sahal membengkakkan tabungannya di bank, membiayai gaya

hidupnya yang serba wah dan borju. Suaranya di telefon yang membuatku

terbangun lebih pagi dari biasanya, menandakan ia sedang riang betul. Seniorku

yang satu ini sudah sangat menikmati perannya yang lain. Germoku.

Sahal adalah jenis mahasiswa yang lebih banyak berada di luar daripada di

dalam ruang kuliah. Sudah tujuh tahun ia membawa-membawa status mahasiswa

tetapi belum memperlihatkan tanda-tanda kuliahnya akan segera rampung. Ia

tinggal di rumah sendiri. Secara ekonomi hidupnya mandiri dan sudah lama tidak

bergantung lagi pada bantuan orangtuanya di Makassar sana. Di luar kuliah, ia

bekerja paruh waktu di sebuah biro perjalanan, pekerjaan yang membuatnya

memiliki pergaulan yang luas dan kenalan yang beragam. Kadang-kadang ia juga

menjadi pemandu wisata turis lokal atau asing yang tersesat ke Kendari. Sahal

pula yang mengenalkan, dan membawaku, ke permainan ini.

- Gimana kabarnya Medan, Dani, sukses? (Suara Sahal terdengar

renyah).

- Sukses… sukses…. Emangnya jurkam apa?

206
- (Tertawa). Dia sempat telefon aku. Marah-marah. Katanya kamu

masih punya hutang satu hari….

- Lain kali pilih-pilih, dong, Kak. Jangan kasih lembu kayak gitu….

- (Tertawa lagi). Cuma itu kakap yang Kakak punya bulan ini. Dia

nggak kurang ajar kan?

- Mana ada klien yang nggak kurang ajar….

- Maksudku nggak macem-macem… nggak ngasari kamu kan?

- Nggaklah. Cuma bete aja kalau kliennya kayak gitu. Main jebus

aja…. Bagian Kakak sudah kutransfer.

- Oke. Thanks. Bisa nerima klien tiga hari lagi?

- Kakak belum lupa aturan mainku, kan?

- Mana bisa lupa, Dani sayang? Satu bulan satu klien. Tiga hari dari

sekarang kan sudah bulan yang baru.… Percayalah klienmu kali ini

lain. Ia jenis klien dari tipe idealmu.

- Ke luar kota?

- Belum tahu. Kamu siap-siap saja kujemput Senin malam nanti.

Pukul tujuh. Kita makan malam di restoran Fajar.

- Eh, Kak… yakin bukan lembu, kan?

- (Tertawa). Jangan cemas. Udah, dulu ya….

Ah, apakah aku sudah terjebak dalam permainan berbahaya ini? Apakah

aku sudah mulai sulit untuk keluar dari jeratan berbagai kenikmatan dan

kesenangan yang disediakan dengan mudah permainan ini? Tentu saja apabila aku

207
dapat memainkannya dengan baik. Mungkinkah suatu ketika aku terlempar begitu

jauhnya dan tak dapat lagi kembali? Apa yang kucari sebenarnya? Materi? Kasih

sayang? Petualangan? Bagaimana apabila suatu saat permainan ini berubah

menjadi semacam candu yang membuatku tergantung dan ketagihan dan aku tak

lagi dapat meloloskan diri dari jeratannya? Apakah ini memang permainan?

Apakah aku sedang melarikan diri?

Dalam pesawat yang membawaku ke Kendari kemarin, aku lebih banyak

merenung dan berpikir. Menilai apa yang kulakukan setahun terakhir, setelah

kepergian mama. Aku tahu suatu ketika aku harus menyelesaikan apa yang telah

kumulai. Bukan karena aku takut pada akhirnya papa dan Dina tahu. Bukan itu.

Aku hanya sadar bahwa suatu saat aku harus berhenti melarikan diri. Mungkin

aku sudah harus menetapkan fokus dalam kehidupanku. Misalnya sesegera

mungkin menyelesaikan skripsiku, lalu kawin. Kawin? Ya, kenapa tidak?

Mungkin sudah saatnya aku punya pacar tetap. Barangkali ada baiknya aku mulai

membuka diri terhadap Sigit, sahabat dekatku sejak sekolah menengah dan yang

sekarang ini juga sedang menyelesaikan skripsinya. Sigit yang penuh perhatian.

Sigit yang kepadanyalah aku bersedia mencurahkan isi hatiku. Sigit yang selalu

merasa tak akan pernah dapat meraihku. Sigit yang malang.

KAMI tidak berlama-lama di rumah makan itu. Hanya ada dua meja

terisi. Meja kami dan sebuah meja panjang di dekat pentas yang para penghuninya

beranjak pulang lebih kurang lima belas menit setelah kami datang. Ini bukan

pertama kalinya aku makan malam di restoran paling top di Kendari itu. Saking
208
ngetop-nya mereka yang akan makan malam di tempat ini harus memesan tempat

beberapa jam sebelumnya karena biasanya seluruh meja terisi. Aku pikir

persoalannya bukan terutama karena rumah makan itu selalu penuh pengunjung

tetapi karena itulah cara pengelola restoran menjaga gengsi tempat itu.

Seorang pria bertubuh tambun yang biasa mengiringi para pengunjung

yang ingin menyumbangkan suara mereka, dan juga keyboardist dan penyanyi

tetap restoran itu, memperdengarkan lagu-lagu lembut. Suaranya yang serak dan

berat terdengar seksi ketika ia mulai memainkan Misty. Aku agak terkejut ketika

dari salah seorang pelayan, sewaktu aku pergi ke toilet, aku tahu bahwa lagu itu

dimainkan Jim, sang pemain keyboard, atas permintaan Kafka, tamuku. Aku

segera dapat mengukur level Kafka. Kalau Anda sudah tidak asing lagi dengan

kehidupan malam, biasa menghabiskan malam-malam Anda di kafe-kafe yang

sangat bermartabat, yang bermartabat, atau sama sekali tidak bermartabat, maka

bukan hal yang aneh apabila Anda segera dapat mengukur level seseorang dari

lagu yang dia minta untuk dimainkan atau dari lagu yang dia nyanyikan.

Kafka tak sedikit pun menyentuh nasi. Hanya dia, setelah menghabiskan

dua mangkuk kecil tomyam, terlihat rakus melahap ikan baronang bakar dan

selusin udang ukuran sedang. Ia masih tak banyak bicara. Hanya sesekali tanpa

sungkan-sungkan ia mengambilkan irisan-irisan ikan dan dengan anggun

menyimpannya di atas piringku.

- Tak ada sumber protein yang lebih baik daripada ikan. (Katanya,

tersenyum).

209
- Mas Kafka ini anggota angkatan laut, Maya. (Sahal menimpali).

- O, ya? (Aku ragu. Pria berperawakan kecil ini?).

- Iya. Mas Kafka tidak makan daging semua hewan darat. (Sahal

tertawa). Ia maniak segala jenis ikan. Kecuali piranha, kali.

- Oooo…. (Aku tak tahu harus menjawab apa).

Kesan pertamaku, Kafka orangnya serius. Jenis manusia tanpa humor.

Kering. Formal. Tertib. Seperti pakaiannya yang perlente dan rapijali itu. Ah,

tetapi paling tidak selera musiknya baik. Apabila seseorang di sebuah kafe atau di

sebuah jamuan yang menyediakan hiburan musik memesan Misty pada

kesempatan pertama, sudah dapat diniscayakan ia memiliki selera musik yang

baik.

Aku dan Sahal baru saja menyelesaikan makan malam kami ketika kulihat

Kafka berdiri dan berjalan pelan ke arah Jim. Kulihat mereka saling berbisik

sebentar, dan tak berapa lama kemudian kudengar dari atas pentas Kafka berkata,

“Lagu ini saya persembahkan untuk Maya. Untuk hari-hari yang akan kita lalui

bersama.”

Jim mengutus intro. Dan All the Way pun mengalun seperti riak danau

senja hari. Gila! Ini lagu kesukaan mama. Lagu kesukaanku juga. Sering kulihat

mama malam-malam masih duduk di depan komputer yang menyala, dan All the

Way berkali-kali menyelusup keluar dari program Winamp-nya, lalu menembus

pintu kamar kerjanya yang separuh terbuka.

210
Pernah suatu malam aku menyelinap masuk ke kamar kerja mama,

memeluknya dari belakang, mencium pipinya sebelah kanan, dan menggodanya,

“Lagu itu punya kenangan khusus ya, Ma? Entar Dani bilangin sama Papa.”

Mama menarikku duduk di pangkuannya, tersenyum, memelukku erat,

mengusap rambutku, lalu berkata pelan, “Semua orang punya kenangan, Dani.

Dan setiap kenangan selalu khusus, bagi pemiliknya….”

Karena begitu seringnya mama memutar lagu ever-green itu, lama-

kelamaan aku pun menyukainya.

Tak banyak orang tahu ini lagu kesukaanku. Aku mengerling ke arah

Sahal. Sahal cuma mengangkat bahu.

Suara Kafka tak bisa dibilang sempurna. Itu bisa dipahami. Ia toh bukan

penyanyi profesional. Yang membuat lagu itu terdengar begitu indah di telingaku

semata-mata karena Kafka melantunkannya dengan suara dalam dan penuh

penghayatan.

- (Aku segera berdiri dan menyerbunya ketika ia sudah berada

kembali di dekat meja kami dan mendaratkan kecupan ringan di

pipinya sebelah kanan). Mas Sammy Davis Jr., itu lagu

kesayanganku.

- Dari cara anda ngelangut, saya sudah dapat menebaknya…. (Ia

tersenyum dan membimbingku duduk kembali di kursiku).

- Ah, Mas Kafka, itu karena dia ngantuk…. (Sergah Sahal).

211
- Tentu saja saya percaya dia sama ngantuknya denganmu

seandainya bola mata Nona kita ini tidak berbinar-binar. (Tertawa).

Sesudahnya, tak banyak perbincangan di meja makan. Pukul sembilan

malam kami telah berada kembali di Hotel Aden.

Sahal menunggu di kursi lobi hotel ketika kami berdua masuk ke dalam

restoran yang bersebelahan dengan lobi. Aneh, sehabis makan malam, tamu-

tamuku yang lain biasanya langsung menyeretku ke tempat tidur. Dengus syahwat

mereka bahkan sudah tercium ketika masih berada di dalam mobil, semakin kuat

ketika sudah melihat pintu kamar, dan segera menjadi babi ketika sudah berada di

dalam kamar.

Kafka memesan teh dengan krimer cair terpisah.

- Teh krimer baik diminum malam hari. Membuat tubuh kita jadi

ringan dan otot-otot kita rileks. Pernah mencoba?

- Belum….

- Cobalah.

Ia mengirup teh krimernya pelan-pelan. Aku pun mengikuti caranya

minum, menghirup teh krimer itu pelan-pelan. Rasanya agak aneh.

- Saya ingin anda ikut saya besok ke Palu. Tak akan lebih dari dua

hari.

- Apa yang bisa saya bantu di sana? (Tiba-tiba aku merasa bodoh

mengajukan pertanyaan seperti itu).

212
- Tak ada. Saya hanya ingin anda tak keberatan menjadi teman

perjalanan saya. Saya dengar anda berasal dari sana?

- Bukan. Saya lahir di Raha.

- Ayah anda tak keberatan anda bepergian dengan orang yang baru

anda kenal?

- Papa sedang di luar kota.

- Apa perlu malam ini saya mampir ke rumah anda barang sebentar

meminta izin ibu anda?

- Mama sudah meninggal.

- (Diam agak lama). Rupanya nasib kita tak jauh beda. Kehilangan

ibu tak ubahnya kehilangan kehidupan…. (Wajahnya tiba-tiba

terlihat murung).

- Sudah lama ibu Kakak meninggal?

- Cukup lama. (Memandang ke arah kaca jendela, tembus hingga ke

jalan raya yang pekat dan sepi. Lalu menatap lama mataku).

Mama anda?

- Setahun lebih.

- Saya kira sudah saatnya kita istirahat. Sahal sudah mengurus semua

keperluan untuk perjalanan kita besok. Ia akan mengantar kita ke

bandara.

213
- Baiklah. Sampai jumpa besok, Kak. (Aku berdiri. Mencium

pipinya). Jangan ragu-ragu untuk menelefon saya bila Kakak tak

bisa tidur. Saya biasa tidur setelah jam tiga pagi.

- Wah! Rupanya persamaan kita bertambah lagi. Saya kira kita akan

cocok satu sama lain. (Berdiri. Menyentuh punggungku.

Menggandeng tanganku. Berjalan keluar menuju lobi hotel).

Sahal sudah jatuh tertidur di kursi lobi hotel itu. Kafka agak keras

mengguncang-guncang bahunya.

- Bangun, Penidur….

- Sorry, Mas. Lelah sekali aku. Gimana, aku sudah boleh pergi?

- Kau antarlah dulu Nona ini pulang….

- (Heran). Pulang?

- Ya. Besok pagi antarlah lagi ke mari.

- Oke, kalau begitu. (Melihat ke arahku). Oke, Maya, ayo kuantar

kamu pulang. (Kembali mengarahkan pandangannya ke arah

Kafka). Bisa ikut ke toilet, Mas?

- Silakan. Minta kuncinya di resepsionis….

PUKUL tiga lebih dua puluh lima menit. Aku sudah sepuluh menit

berada di kamar 109 ini. Duduk di salah satu kursi memegang remote TV. Saluran

HBO sedang memutar sebuah film lama yang dibintangi Charles Bronson. Aku

tak tahu judulnya. Lagi pula apa urusannya? Papaku mungkin kenal Bronson,

tetapi aku tidak. Aku memindahkan saluran TV ke MTV. Tapi jika datang ke
214
mari hanya untuk sekadar nonton MTV, aku lebih suka melakukannya di kamar

tidurku sendiri. Dia menyuruhku menunggu. Katanya, beberapa menit lagi

pekerjaannya selesai. Dia memang terlihat asyik memelototi barisan huruf-huruf

yang saling merapat di layar monitor notebook-nya. Sangat serius kelihatannya.

Aku seperti hilang di kamar itu, dan jika pun dianggap ada, barangkali aku tak

ubahnya properti lain di kamar itu.

Ia berpaling kepadaku, “Bisa sedikit anda kecilkan volumenya? Terima

kasih. Sebentar lagi. Tak akan lama…. Maaf membuat Anda menunggu. ”

Aku baru saja selesai packing dan hendak pergi ke kamar mandi ketika

HP-ku berdering. Ah, mungkin papa atau Dina. Aku segera lari ke meja makan

dan menyambar HP itu. Bukan nomor papa. Juga bukan nomor Dina.

- Hallo, Mas Kafka. Katanya mau istirahat?

- Saya kesepian. Tak keberatan anda segera ke mari?

- Saya perlu 30 menit. Saya harus pesan taksi dulu.

- Tak usah repot-repot, saya sudah mengirim seorang pesuruh hotel

menjemput anda. Katanya alamat anda tak susah dicari…. Sudah

packing?

- Sudah.

- Besok pagi kita berangkat dari sini.

- Oke.

Pada dasarnya aku adalah tipe orang yang menunggu. Aku bukan

penstimulus. Aku perespon. Dalam situasi semacam itu, ketika seorang lelaki

215
dewasa dan seorang perempuan dewasa berada di dalam sebuah kamar yang

sangat pribadi pada waktu yang sangat pribadi pula, berdasarkan pengalaman, aku

lebih suka bersikap menunggu. Kita tak pernah bisa menebak apa keinginan klien.

Lagi pula, setelah kupikir-pikir, setelah lebih kurang setahun menempuh

kehidupan seperti ini, “menunggu” adalah sikap yang terbaik. Itu akan

membuatku tak bisa ditebak, dan ketika diriku tak bisa ditebak, maka nilaiku akan

naik di mata klienku.

Kulihat Kafka menutup notebook-nya, kemudian berdiri, dan melangkah

ke kamar mandi. Terdengar suara guyuran kloset. Kucuran air kran wastafel.

Suara mulut yang berkumur. Dan tak lama berselang pintu kamar mandi itu

terbuka kembali. Wajah Kafka terlihat segar. Ia berjalan ke arah pintu kamar,

membukanya lebar-lebar. “Biar asapnya keluar…,” katanya seperti berkata

kepada dirinya sendiri.

Ia menarik satu kursi lainnya yang tadinya terletak sejajar dengan kursi

yang sedang kududuki dan hanya terpisah sebuah meja bulat yang ringkih. Ia

meletakkan kursi itu tepat di hadapanku. Dua meteran jaraknya. Ia duduk

menyandar dengan nyaman, mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, dan

menghisapnya dalam-dalam. Matanya lurus menembus ambang pintu,

memandang ke arah taman yang temaram. Tak berapa lama, tangannya

menjangkau kaleng coca-cola di atas meja, menyeruputnya, dan menyimpannya

kembali. Kemudian ia mengambil remote TV dan mematikannya.

216
“Jadi, siapa yang akan bercerita lebih dulu?” tanyanya dengan suara yang

datar.

Aku terdiam. Terus-terang, baru pertama kali aku berhadapan dengan

seorang tamu yang dapat mengendalikan dirinya sebegitu rupa. Apabila ia

ternyata seorang pemburu, tentulah ia seorang pemburu yang sangat sabar yang

hanya akan bertindak ketika buruannya sudah benar-benar terjerat dalam

perangkapnya dan tak bisa lagi meloloskan diri. Kalau ia orang yang biasa

bertindak hati-hati, maka tentulah ia telah melewati masa-masa latihan yang lama,

termasuk latihan menghadapi situasi seperti ini. Tiba-tiba aku teringat si lelaki

Jakarta itu dan sejumlah pria lain setahun terakhir dan aku begitu saja sadar bahwa

tidak semua tamuku babi. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa aman sekali, seakan-

akan memperoleh kembali ketenteraman dan perlindungan yang beberapa tahun

lalu hanya mama yang mampu memberikannya. Tiba-tiba pula aku merasa

menjadi seorang anak kecil yang rapuh di hadapan papa yang mengetahui segala

sesuatu.

SENJA sudah selesai. Satu jam yang lalu. Langit kota Palu yang jarang

disentuh hujan ini, mulai bertabur bintang-bintang. Di bawah, kolam renang

terlihat sepi. Bangku-bangku taman seperti sekumpulan bayangan. Angin

kencang. Daun-daun lebar dan runcing pohon-pohon kelapa sawit yang bertebaran

di sepanjang kebun terpelihara rapi yang mengelilingi kolam renang itu seperti

menari-nari. Tarian yang kaku. Debur ombak Teluk Palu sayup-sayup sampai.

Jauh di seberang teluk, jajaran bukit bagai bongkahan-bongkahan batu raksasa


217
yang sedang bertapa. Duduk di sebuah kursi rotan yang nyaman, di beranda

belakang sebuah kamar sekelas suite Palu Golden Hotel tempat kami menginap,

aku menikmati kesendirian yang memukau itu.

Kafka belum pulang. Sehabis check-in, mandi, dan berganti pakaian, ia

langsung pergi ke komplek perumahan dosen Universitas Tadulako bersama

penjemputnya, seorang lelaki berperawakan langsing berambut jarang yang

kelihatannya sudah saling mengenal lama sekali. Lelaki yang sama yang

menjemput kami di bandara. Dari perbincangan mereka berdua di dalam mobil,

aku dapat mengambil kesimpulan jadwal Kafka di Palu dalam dua hari ini akan

sangat padat. Lelaki penjemput kami, Abdullah Mahfuz, Kafka memanggilnya

Afuz dan mengenalkannya kepadaku dengan menambahkan Pak di depannya,

adalah kontak Kafka di Palu ini. Pak Afuz-lah yang mengatur jadwal pertemuan

para pemohon bantuan dana penelitian dari berbagai kalangan di kota ini, baik

pribadi (kebanyakan dosen) maupun organisasi (kebanyakan LSM), untuk

bertemu langsung dengan Kafka sebagai program officer Freedom for Asian

Foundation. Yayasan karitasi itu berkantor pusat di Tokyo, Jepang, dan memiliki

kantor perwakilan di ibu kota sejumlah negara di Asia. Kafka sendiri berkantor di

Jakarta.

Sebagai program officer yang bertanggung jawab untuk mengelola

kegiatan-kegiatan yayasan itu di Indonesia, Kafka menghabiskan rata-rata delapan

bulan dalam setahun untuk turun langsung ke lapangan dan itu artinya

mengunjungi kota-kota yang berserak di sana-sini di seluruh Indonesia, dari

218
Sumatera hingga Papua. Selama tiga minggu terakhir ini, ia menghabiskan

waktunya di Sulawesi, bertemu banyak orang dan organisasi yang selalu

menerimanya dengan tangan terbuka karena mereka tahu mereka sedang

berhadapan dengan seseorang yang mewakili sebuah organisasi besar berkantung

sangat tebal yang kepadanya mereka berharap memperoleh bantuan pendanaan

untuk kegiatan-kegiatan mereka. Palu adalah ibu kota provinsi terakhir di

Sulawesi yang Kafka kunjungi setelah Manado, Gorontalo, Makassar, dan

Kendari.

Rupanya malam ketika kami berjumpa pertama kali di restoran Fajar,

Kafka baru pulang dari Raha.

Menyewa sebuah mobil kijang yang dikemudikan Sahal yang juga

bertindak sebagai pemandunya, Kafka cuma sehari di sana, bertemu dengan

seorang peneliti dari Biro Pusat Statisitik setempat. Di Palu, sedikitnya ada empat

orang dosen (semuanya dari Universitas Tadulako) dan dua LSM yang menunggu

kedatangan Kafka. Lusa, ia sudah harus kembali ke Jakarta sebelum berangkat

lagi ke Medan dan Banda Aceh.

Aku menatap lama sekali langit Palu, mencari permata bintang-bintangku.

Ada memang. Tetapi tak sebercahaya ketika mereka kulihat di langit Raha.

Kembali ingatan tentang mama menyergapku. Lalu papa. Lalu Dina. Teman-

teman masa kecilku. Mama lagi. Kemudian kamar tidurku yang dikuasai warna

pink. Dan dini hari yang aneh itu, di kamar 109 Hotel Aden.

219
Ketika Kafka berkata, “Jadi siapa yang akan bercerita lebih dulu?” aku tak

tahu harus menjawab apa. Bagaimanapun aku merasa Kafka masih menjaga jarak

denganku. Ia selalu menyapaku dengan “anda” bukan dengan “kamu” atau dengan

nama lainku pemberian Sahal, “Maya”. Nama yang selain Sahal mungkin hanya

diketahui tamu-tamuku.

Aku cuma tersenyum. Melihatku berdiam diri seperti itu dan membalas

pertanyaannya hanya dengan senyuman panjang, Kafka berkata lagi, “Mau saya

dongengi?”

Ya, Tuhan! Aku betul-betul merasa seperti anak kecil di hadapannya.

Anak kecil yang memiliki sayap kupu-kupu. Dan aku tahu, sayap-sayapku rapuh.

- Saya suka dongeng. Nenek saya pendongeng yang hebat. Dongeng-

dongeng yang pernah diceritakannya di masa kecil saya masih saya

ingat dengan baik. Akan jadi sangat tebal bila saya menuliskannya

dalam sebuah buku. Ibu saya suka mendongeng. Tapi dulu. Dulu

sekali…. Pernah mendengar kisah “Manusia Panjang?”

- Belum.

- Nah, itu dongeng yang akan saya kisahkan kepada anda sekarang.

Dongeng itu belum pernah saya dengar dari ibu, nenek dan orang

lain. Juga belum pernah saya ceritakan kepada siapa pun. Tahu

kenapa?

- Kenapa, Kak?

- Karena saya baru saja akan mengarangnya. (Kafka tertawa.)

220
- (Aku tak bisa berbuat lain kecuali ikut tertawa juga). Awas kalau

nggak seru!

- Paling tidak akan membuat anda tertidur. (Kafka tertawa lagi).

Dongeng yang buruk. Kafka menceritakannya dengan semangat bermain-

main. Ia cuma ingin membuatku merasa terhibur dan tertawa, barangkali. Aku

memang tertawa, sedikit, hanya untuk membuatnya senang.

Aku memang tertidur. Ketika Kafka masih memainkan perannya sebagai

pendongeng, mataku sudah mulai berat. Samar-samar kudengar suara Kafka,

“Anda lelah sekali, gadis kecil yang rapuh. Tidurlah….” Lalu kurasakan tubuhku

melayang dalam cengkeraman kedua lengannya yang kemudian hati-hati

membaringkanku di tempat tidur. Masih dapat kulihat ia menarik selimut tebal itu

hingga ke dadaku, lalu lamat-lamat kudengar suara pintu kamar ditutup, pintu

kamar mandi yang terbuka dan tertutup kembali, dan tubuh seseorang kemudian

menyelusup ke dalam selimut lain dan berbaring di tempat tidur sebelah yang

hanya satu meteran jaraknya dari tempat tidurku.

Ketika Kafka membangunkanku sekitar pukul delapan pagi, aku masih

memakai pakaian yang sama yang kupakai malam itu: celana jeans biru, kemeja

lengan panjang warna biru dalam balutan sweater warna yang sama. Satu-satunya

yang tanggal dari tubuhku malam itu hanya sepatuku yang terlihat kaku dan

kedinginan di bawah kursi. Aku tahu, Kafka tak menyentuhku sama sekali.

Kafka kulihat sudah rapi dalam pakaian perjalanan serba coklat.

221
“Kita masih punya waktu satu jam. Cukup untuk anda mandi, ganti

pakaian, dan sarapan.” Itulah yang dikatakan Kafka pagi itu sebelum kami pergi

meninggalkan hotel menuju bandara Wolter Monginsidi.

KAFKA baru kembali ke hotel pukul sepuluh malam. Wajahnya terlihat

lelah meskipun senyumnya mengembang seperti biasanya.

“Uh, hari yang melelahkan,” ujarnya singkat. “Rasanya kota Palu tambah

panas saja, ya? Sudah makan malam?”

Aku menggeleng. Aku sama sekali tak merasa lapar malam itu.

“Kita makan di kamar saja, ya. Room service di hotel ini tidak akan

membuat kita menunggu terlalu lama.Tolong pilihkan menu untuk kita. Apa saja

yang cocok untuk makan malam yang terlambat. Saya kira sebaiknya saya mandi

dulu. Air hangat akan membuat otak saya kembali segar….”

Setelah acara makan malam yang dingin di kamar dengan temperatur AC

18 derajat Celcius, dan berjam-jam sesudahnya ketika aku menjadi pendengar

yang baik baginya—di atas single bed yang sangat lebar itu, di kursi kamar, di

kursi beranda, dan di tempat tidur itu lagi—dan menyimak ceritanya yang pada

beberapa bagian bagiku tak masuk akal, barulah aku mulai mengetahui banyak hal

tentang Kafka. Pengetahuan yang membantuku untuk sedikit demi sedikit

memahami siapa klienku yang lain daripada yang lain ini meskipun sebenarnya

aku biasa dibayar bukan untuk memahami atau mendengarkan tamu melainkan

untuk tujuan yang lebih terbatas sifatnya.

222
Itu semua dimulai ketika Kafka berkata bahwa setelah kakek dan ibunya,

dialah yang menjadi satu-satunya orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma.

Kafka juga berkata bahwa karena ilmu itulah hidupnya menjadi terkutuk, dan ia

akan menjadi orang yang paling kesepian di dunia. Kakeknya diam-diam

mewariskan ilmu itu kepada Kafka tanpa sepengetahuannya.

Kafka tidak mau menjelaskan lebih jauh kepadaku apa sesungguhnya ilmu

pamungkas sukma itu dan kenapa ilmu itu membuatnya menjadi orang yang

terkutuk dan kesepian. Ia juga enggan menjawab pertanyaanku ketika kutanyakan

kepadanya apakah ilmu pamungkas sukma itu ada hubungannya dengan inti

kekuatan jiwa yang diceritakannya itu. Ia hanya menyebutkan bahwa ilmu itu

adalah ilmu yang terlarang, yang dapat digunakan untuk memusnahkan jiwa atau

nyawa seseorang dengan cara yang sangat halus namun mengerikan. Bukan hanya

itu, orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma juga dapat menundukkan maut.

Sebelum bunuh diri, ibunya menulis surat wasiat dan mengungkapkan

rahasia itu kepada Kafka: orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma hanya

dapat mati oleh pemilik ilmu pamungkas sukma juga. Ilmu itu tidak dapat

dihilangkan kecuali dengan menghilangkan nyawa pemiliknya sendiri.

Kalau Anda bertanya kepadaku bagaimana pendapatku tentang cerita

klienku itu, menurutku, sebagian dari kisahnya sungguh-sungguh terjadi dan

sebagian lagi hanya khayalannya saja. Ada yang masuk akal dan ada yang tidak

masuk akal. Ada beberapa bagian dari ceritanya yang kupercayai, dan ada

beberapa bagian dari ceritanya yang aku tidak mempercayainya sama sekali.

223
Aku tidak percaya Kafka pernah membunuh anjing gila itu. Aku tidak

percaya kaki kiri Kafka dapat membunuh orang sekali tendang. Aku tidak percaya

Kafka pernah membunuh ayah tirinya sendiri. Aku bahkan tidak percaya Kafka

punya ayah tiri.

Aku tidak percaya ibu Kafka mati bunuh diri. Aku tidak percaya Kafka

punya ilmu pamungkas sukma, seandainya ilmu itu memang ada. Aku tidak

percaya kakeknya sedang menunggu Kafka, cucunya sendiri, untuk mencabut

nyawanya. Aku bahkan tidak percaya saat ini kakek Kafka masih hidup.

Aku tidak percaya hidup Kafka terkutuk.

Aku percaya Kafka penikmat musik dan sajak-sajak bagus. Aku percaya

Kafka bisa memasak. Aku percaya Kafka pernah menikah dan kemudian bercerai

dengan seorang perempuan bernama Meita. Aku percaya Kafka pernah mencintai

dan kemudian sangat kehilangan seorang perempuan bernama Ratna.

Aku percaya aku telah jatuh cinta kepada Kafka, dan aku tidak ingin ia

menjadi orang yang paling kesepian di dunia. ▼

224
Catatan

iWilliam Shakespeare. Karya-karyanya yang terdiri dari 37 drama dan 160 soneta dan puisi, yang
sebelumnya diterbitkan terpisah-pisah, dikumpulkan dalam The Illustrated Stratford Shakespeare,
London: Chancellor Press, first published in 1993, reprinted 2003.
ii
Pengelompokan novel dari segi bentuk ke dalam 72 jenis ini merupakan pemetaan kompilatif
yang merujuk pada antara lain: Leonard Dodsworth, The Survival of Novel: A Contemporary
Survey, London: Faber and Faber (1970); Malcolm Bradbury and David Palmer, The
Contemporary English Novel (Stratford-Upon-Avon Studies 18), New York: Holmes & Meier
Publisher (1979); Julia Strinberg, The Modern Novel, London: The Hogarth Press (1985); Esther
Van Homrigh and Thérèse le Vasseur, A History of Western Novel, London: Secker & Walburg
(1998: khususnya halaman 125-232 dan 711-824).
iii
Meninggal di Madrid, Spanyol, 23 April 1616.
iv
Nama aslinya, Daniel Foe. Lahir di London, 1660, dan meninggal 24 April 1731, di kota yang
sama. Novel-novelnya: Robinson Crusoe (1719), Moll Flanders (1722), dan Roxana (1724).
v
Meninggal 4 Juli 1761 di Parson’s Green, dekat London. Samuel Richardson inilah yang
dipandang sebagai peletak dasar-dasar penulisan epistolary novel. Novel-novelnya yang utama
adalah Pamela (1740) dan Clarrisa (1747).
vi
Lihat: Aristoteles, “Poetics” dalam Reading for Liberal Education, Locke, Louis G. et.al. (eds.),
New York: Holt Rinehart and Winston, 1967.
vii
Lihat: E.M. Forster, Aspects of the Novel, Harmondsworth: Penguin Books, 1970.
viii
Nama aslinya, Émile Édouard Charles Antoine, lahir 2 April 1840 di Paris dan meninggal 28
September 1902 di kota yang sama. Ia menulis sekitar dua puluh novel. Selain Theresa (Thérèse
Raquin), antara lain: Nana (1880), Germinal (1885), L’Oeuvre (1886), dan La Bête Humaine
(1890).
ix
“Since the death of Evelyn Waugh,” tulis Graham Green dalam endorsement buku Under the
Banyan Tree and Other Stories, “Narayan is novelist I most admired in the English language.”
x
Kelak barulah saya ketahui, ketika saya memperoleh kesempatan berkunjung ke Mesir, dan
melakukan perjalanan darat dari Kairo ke Alexandria lebih kurang 400 kilometer jauhnya, bahwa
perpustakaan yang saya lihat dalam mimpi itu meskipun masih jauh lebih luas, mirip sekali
interiornya dengan Perpustakaan Alexandria, perpustakaan yang dapat dikatakan tertua di dunia.
xi
Terima kasih.
xii
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
xiii
Dalam mitologi Yunani ada tiga grasia. Mereka adalah gadis-gadis yang membantu para Musae,
puteri-puteri Zeus.
xiv
Dasar kambing!

225
xv
Kutendang baru tahu rasa kau!
xvi
Salah satu bentuk makian kasar yang diarahkan pada penistaan terhadap bibir.
xvii
Anak perempuan dari Cadmus dan Harmonia, dan ibu dari Dionysus. Saingan Hera, isteri Zeus.
xviii
Nilai Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) Murni.
xix
Penelusuran Minat dan Kemampuan.

xx Selamat Hari Raya. Mohon segala kesalahan saya dimaafkan.


xxi
Central Intelligence Agency (Dinas Rahasia Amerika Serikat).
xxii
Ketaatan total terhadap seseorang atau sesuatu tanpa daya kritis.
xxiii
Sosialis kanan.
xxiv
Burangrang/ aku datang/ bukan untuk menantang/ sama sekali bukan/ keindahan kenangan/
tiada mungkin akan pulang/ pujaanku kekasihku/ kau!
xxv
Tidak memiliki kreativitas.
xxvi
Leluhur.

226

Anda mungkin juga menyukai