Soska
Novel
2
Cecep Syamsul Hari lahir di Bandung, Jawa Barat, Indonesia, 1
Mei 1967. Reputasinya sebagai penyair tak dapat dipisahkan dari dua buku
kumpulan puisinya yang paling dikenal: Kenang-kenangan (1996,
Remembrance) dan Efrosina (Euphrosine, cetakan pertama sebanyak 1.000
eksemplar pada tahun 2002; cetak ulang sebanyak 10.000 eksemplar pada
tahun 2005).
Karya-karyanya dipublikasikan secara internasional dalam sejumlah
jurnal dan antologi: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999),
Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings
(United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words:
Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001),
Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006).
Ia menerjemahkan sejumlah buku, antara lain: Para Pemabuk dan
Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja
(selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation
of Bukhari's hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short
stories of R.K. Narayan, 2002).
Ia pun menjadi editor sejumlah buku, di antaranya: Kisah-kisah
Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison
Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail,
et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of
Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004).
Pada tahun 2006, Cecep Syamsul Hari tinggal di Korea Selatan
sebagai sastrawan tamu (writer in residence) atas undangan Korea Literature
Translation Institute. Pada bulan Desember 2007 s.d. Februari 2008, ia
tinggal di Selangor, Malaysia, sebagai sastrawan tamu atas undangan Rimbun
Dahan Arts Residency.
Cecep Syamsul Hari adalah redaktur majalah sastra Horison. *
3
Daftar Isi
Le Petite Soska
Catatan
4
1
5
Tubuh Pria Itu
Pecah Berkeping-keping
6
UNTUK urusan nama, saya tidak semujur kakak saya.
dasar yang kemungkinan besar bermusuhan dengan huruf y dan patut diduga
sangat suka pada huruf a menulis di ijazah SD saya Samsul Hari; tanpa y dalam
Syamsul; mengubah e dalam Heri menjadi a; dan dengan tangan besi mengirim
Rahmansyah untuk selamanya ke pembuangan politik. Lebih dari itu, entah siapa
perguruan tinggi, nama saya harus sesuai dengan ijazah SD saya kecuali jika saya
kepala sekolah yang wajib dilampirkan di ijazah SD; lalu Pak RT akan memberi
surat pengantar yang harus saya bawa kepada Ketua RW (Rukun Warga) untuk
mengurus surat pengantar Pak RW yang mesti saya bawa ke kelurahan untuk
mendapatkan surat pengantar serupa dari Kepala Desa yang wajib saya bawa ke
kecamatan. Setelah urusan dari RT hingga kecamatan selesai, saya harus pergi
membawa surat pengantar Pak Camat ke balai kota yang melalui salah seorang
pegawainya yang berwenang akan memberi saya rekomendasi untuk saya bawa ke
kantor catatan sipil yang akan mengubah akta kelahiran saya dan mengembalikan
7
Ayah saya tidak memandang perubahan nama akibat kelalaian
administratif itu sebagai urusan penting. Begitu pun saya di kemudian hari
pada suatu hari di tahun 1986 saya melakukan pemberontakan kecil ketika saya
Rakyat yang waktu itu masih diasuh Saini KM. Jangan tanya saya apa nama
ijazah SD Saini KM. Saya tidak tahu. Yang saya tahu kemudian “KM” di
belakang Saini ternyata bukan seperti yang saya duga, Kartahadimaja, melainkan
nama lain. Pemberontakan kecil itu ialah dalam tulisan-tulisan saya, saya
Hari untuk Heri, tidak lagi mengungkit-ungkit nasib Rahmansyah, dan menerima
nama depan Cecep itu, yang bagi masyarakat Sunda memiliki makna amelioratif
sebagai anak kesayangan. Demikianlah, nama itulah, Cecep Syamsul Hari, yang
kemudian lebih dikenal kawan-kawan saya ketika puisi-puisi saya kerap dimuat di
Pikiran Rakyat.
saya dapat menuliskan nama kompromistis itu di KTP saya sampai suatu siang di
tahun 1999 saya pergi mengurus paspor ke kantor imigrasi. Saya memerlukan
paspor karena pada tahun itu saya diundang menghadiri Pertemuan Sastrawan
pergi naik kapal laut ke Batam, dan dari Pelabuhan Sekupang menyeberang ke
Singapura menumpang kapal cepat, lalu dari sana kami akan naik bis menuju
8
tempat acara itu diselenggarakan di Hotel Hyatt, Johor Bahru. Pengalaman pergi
ke Johor Bahru adalah pengalaman pertama saya naik kapal laut, “berkayuh”
dalam istilah orang Malaysia. Sejak itu saya jatuh cinta pada kapal laut meskipun
seperti kesatria Highlander itu muncul kembali sebagai pemenang. Nama paspor
saya akhirnya terpaksa menyesuaikan diri dengan nama di dalam ijazah SD, SMP,
Apalah arti sebuah nama, kata seorang pujangga Inggrisi yang namanya
memberikan arti yang besar dalam membersihkan kotoran dan aib salah satu
matahari tidak pernah tenggelam di wilayahnya itu. Untunglah pula ayah dan saya,
pemerintahan, tidak cukup gila untuk mengurus persoalan kecil yang menjanjikan
banyak kerumitan itu. Jadi, yang sudah terjadi, ya biarkanlah terjadi. Let’s gone
be bygone. Ini hanya persoalan sebuah kata yang tidak mau menerima kehadiran
huruf y; pertempuran diam-diam di dalam kata yang lain antara sesama huruf
vokal a dan e; dan Rahmansyah yang apa boleh buat dipaksa mati muda di
pembuangan politik.
kafe-kafe yang pernah saya kunjungi yang sebagian kecil di antaranya menjadi
9
kafe langganan saya, para penyanyi atau pelayan—selalu saja terbuka jalan yang
Sam menjadi semacam nama alias untuk kehidupan saya yang lain.
Kehidupan malam. Juga untuk kehidupan rehat siang atau jeda sore berongkos
mahal ketika saya merasa segar kembali dan siap menjalani sisa hari itu bukan
melalui siesta alias tidur siang seperti umumnya dilakukan para pekerja Meksiko
dan para penyair Yogya yang saya kenal, dan bukan juga dengan jalan-jalan sore
di mal seperti ditempuh para ABG di kota-kota besar, melainkan dengan segelas
machiato atau latte atau secangkir kopi pekat Italia yang kadang-kadang dicampur
light-rum.
Jauh sebelum kafe menjadi sangat populer di negeri saya yang sangat
rakus pada segala sesuatu berbau modis, dari mulai gaya pakaian sampai gaya
pemikiran, dari mulai gaya hidup hippies yang pura-pura populis hingga gaya
hidup borjuis yang pura-pura elitis, sebagai seorang remaja yang tumbuh di kota
besar saya sering mengunjungi tempat-tempat yang sejak awal tahun 1990-an,
melihat cara kerjanya, dapat dikategorikan sebagai kafe. Saya rasa itu dimulai
sejak saya duduk di kelas satu SMA ketika saya menjalin persahabatan dengan
seorang gadis. Sejenis persahabatan yang aneh karena beberapa hari setelah kami
duduk di kelas tiga sering pula kami melakukan aktivitas yang umumnya
tangan, duduk berdampingan saling merapatkan badan di halte bis kota atau
10
bangku taman sekolah, dan kadang-kadang juga berciuman. Yang terakhir ini
seingat saya hampir seluruhnya dilakukan di rumah gadis itu ketika kebetulan
hanya kami berdua saja yang sedang berada di ruang tamu, di ruang tengah atau
di ruang makan. Seingat saya pula, kami belum pernah berciuman di kamar
pembantu maupun di kamar mandi. Sedangkan di kamar tidur, kami hanya sekali
Diam-diam ternyata tumbuh juga perasaan cinta di dalam diri saya lengkap
memiliki, dan semacamnya. Karena saya belum pernah mengalami hal serupa
dengan gadis lain, saya kira gadis itu tak bisa tidak merupakan cinta pertama saya.
Neni dan saya memiliki hobi yang sama: bermain musik dan bernyanyi. Di
rumahnya kami sering memainkan lagu favorit kami berdua: Castles Made of
Sand atau dikenal pula dengan judul lain: Little Wing. Lagu itu tak bisa dipandang
sebelah mata. Itu sebuah komposisi sulit. Penciptanya Jimi Hendrix. Banyak
penyanyi yang membawakan kembali lagu itu dengan interpretasi musikal berlain-
lainan. Meskipun dasarnya merupakan komposisi rock namun para penyanyi jazz
sangat menyukainya dan lama kemudian lagu itu pun memasuki barisan standar
khasanah lagu-lagu jazz. Di tahun 1994 Tuck & Patti, duet pria gitaris berkulit
putih dan wanita vokalis berkulit hitam, mempopulerkan kembali lagu itu.
11
Kesannya jadi sakral. Di awal tahun 2000-an kelompok musik bersaudara, The
Corrs, kembali mempopulerkan lagu itu. Kesannya menjadi profan. Cair dan
seksi. Dulu, kami berdua biasa memainkannya dengan gitar dan piano. Neni
menarikan jari-jemarinya yang lincah namun gemulai di atas tuts piano dan
bersamaan saya mengiringi dentingan piano dan alunan suara Neni dengan petikan
gitar. Kadang-kadang kami menyanyikan pula Smoke Gets in Your Eyes dan Fly
Me to the Moon. Keduanya juga lagu standar jazz. Fly Me to the Moon biasa kami
mainkan tanpa gitar, Neni mengiringi saya menyanyikan lagu itu dengan
Neni jauh lebih kaya daripada saya. Lebih tepat saya katakan ayahnya jauh
lebih kaya dibandingkan ayah saya. Ia sering mengisi kantong saya yang kerap
kosong dan mentraktrir saya minum, makan, dan nonton, dan saya membalasnya
rumah dan menjadi ensiklopedia ilmu pengetahuan yang sedang saja tebalnya bagi
rasa ingin tahunya yang besar. Singkatnya, kami saling mengisi kekurangan kami
Saya percaya Neni dalam keadaan sadar pula ketika pada suatu hari di
tahun 1986—waktu itu kami baru saja lulus SMA yang berarti pula kini kami
bebas berbuat apa saja tanpa harus takut dimarahi guru—mengusulkan kepada
saya bahwa hubungan kami mulai hari itu harus secara tegas didefinisikan sebagai
12
sahabat saja. Tidak lebih tidak kurang. Menurutnya, hubungan kami tidak
ditingkatkan lagi menjadi sepasang suami-isteri serius. Alasan Neni adalah ini:
kami sudah sangat terbuka satu sama lain sehingga apabila kami memutuskan
sebagai ayah dan ibu dari sejumlah anak, pengetahuan kami masing-masing atas
untuk saling menikam dari belakang jika terjadi percekcokan atau perselisihan.
Pada akhirnya kami akan terpaksa bercerai. Dan perceraian selalu meninggalkan
luka yang pedih, dalam, dan lama. Seperti luka yang lama ditanggung Neni akibat
perceraian mama-papanya.
Bertahun-tahun yang lalu, mamanya tiba-tiba saja pergi dari rumah itu
dengan seorang lelaki yang lebih tampan dari iblis sebelum dikutuk karena
tahun. Kakak-beradik itu tiba-tiba tidak punya mama dan sebagai gantinya
setelah saya lulus dari perguruan tinggi yang mencetak calon-calon guru itu
hingga sekarang saya telah menjalani berbagai jenis pekerjaan: loper koran;
penjaga toko pakaian; sopir angkot; pelayan rumah makan Padang; penjual polis
13
pramuniaga mobil bekas; makelar jual-beli tanah; distributor Amway (pekerjaan
ini telah berhasil melatih saya terampil memakai dasi); guru Tsanawiyah; guru
tempat itu karena dua sebab: pertama, saya mengantongi sertifikat lulus pelatihan
perbankan, dan kedua, isteri saya adalah salah seorang pemegang saham di bank
itu); editor bahasa sebuah majalah seni rupa; pemilik rental, sekaligus toko
perakitan, komputer; dosen tidak tetap di dua perguruan tinggi swasta untuk mata
kuliah sosiologi dan penulisan ilmiah; penyunting dan penerjemah lepas sebuah
penerbitan besar di Bandung; pemimpin redaksi sebuah jurnal puisi dan esai yang
sekali berarti setelah itu almarhum; manajer program sebuah yayasan penerbit
buku-buku seni rupa merangkap sekretaris pribadi seorang pelukis ternama; bos
outlet yang menjual berbagai jenis telefon genggam baru dan bekas beserta
seluruh aksesorisnya; dan dosen tamu di sebuah perguruan tinggi negeri untuk
mata kuliah penulisan kreatif. Nasib jugalah yang membawa saya menjadi salah
seorang redaktur sebuah majalah sastra yang paling panjang umur di sebuah
negeri yang tidak terlalu hirau pada umur manusia dan mahluk hidup lain.
Sementara itu, selepas SMA, Neni yang berparas bidadari itu melanjutkan
lagi di negara yang sama. Hingga beberapa tahun yang lalu, kami masih sering
kontak melalui surat-surat biasa dan surat-surat elektronik. Email terakhir yang
14
saya terima dari Neni, saya peroleh sekitar seminggu setelah Soeharto
memutuskan mengundurkan diri, dan setelah itu Neni seperti tiba-tiba ditelan
bumi, tak pernah terdengar kabarnya lagi. Saat ini usia kami masing-masing sudah
masuk kepala 3. Saya sudah punya seorang anak perempuan yang berkulit hitam
manis seperti ayahnya dan seorang anak laki-laki yang kulitnya putih-mulus
seperti ibunya. Si bungsu ini tampannya bukan main. Saya tidak tahu
ketampanannya diwarisi dari siapa. Jelas bukan dari saya. Semua orang tahu saya
Mungkin ketampanan anak saya itu diwariskan dari kakeknya, ayah saya,
Sinatra. Tentu saja saya menolak keras pendapat isteri saya karena pada hemat
saya Frank Sinatra sama sekali tidak tampan. Saya kira hanya isterinya, mantan
pacarnya, dan orang aneh saja yang yakin Frank Sinatra tampan. Karena isteri
saya bukan isterinya dan juga bukan mantan pacarnya, jadi saya kira isteri saya
saya yang ketiga. Maksud saya, sebelum kawin dengan Raudha saya pernah dua
menikah karena menurut mereka usia kami masih sangat muda, lagi pula kami
15
masih kuliah dan oleh sebab itu lebih baik kami menyelesaikan kuliah kami dulu.
Saya dan Indah Rusmini pun menikah. Tidak dirayakan. Hanya keluarga dekat
saja yang diundang. Untunglah tidak dirayakan karena enam bulan kemudian kami
bercerai. Orangtua kami benar, kami masih sangat muda. Ego kami sama
besarnya. Kemauan kami untuk menang sendiri sama kuatnya. Semua urusan
nasi sudah matang tapi sayur lodehnya belum dimasak?”; “Kenapa sayur lodeh ini
terlalu asin?”; “Kenapa kaus kakimu bau sayur lodeh?”; “Kenapa kamu tidur
pakai kaus kaki?”; “Kenapa kamu membaca sambil tidur?”; “Kenapa cangkir kopi
kamu simpan di tempat tidur?”; “Kenapa kamu pulang telat dan mengganggu
tidurku?”; “Kenapa kamu pakai daster di dapur?”; dan sejenisnya, dan sebagainya.
Urusan musik dan penyanyi idola pun menjadi persoalan besar. Indah
selalu marah besar kalau saya mendengarkan Jimi Hendrix dan saya tak tahan
Rhoma Irama menggoda Indah sepanjang malam. Indah mengejek Jimi sebagai “si
ejekan Indah dengan menyebut Rhoma sebagai “si Gasing” karena gaya jogetnya
16
yang balik kiri lalu menghadap ke depan lalu balik kanan lalu menghadap lagi ke
depan lalu mengangkat kaki kiri lalu setelah kaki kiri diturunkan mengangkat kaki
kanan lalu setelah kaki kanan diturunkan berputar ke belakang sebelum akhirnya
Lalu, ketika seekor kucing berbulu putih tebal dari negeri entah-berentah
tanpa diundang datang sebagai mahluk ketiga dalam kehidupan rumah tangga
kami dan saya memutuskan untuk memeliharanya, kepala ikan dan kucing itu pun
saya tak suka kepala ikan dan Indah sebaliknya. Sejak kecil saya selalu memberi
kucing jenis apa pun yang saya pelihara kepala ikan karena menurut saya kepala
ikan jenis apa pun hanya pantas dimakan seekor kucing sedangkan bagi Indah
kepala ikan adalah bagian yang paling mewah dari seekor ikan. Maka berminggu-
minggu lamanya kosa kata “kepala ikan” dan “kucing” yang diungkapkan dalam
nada yang keras pun berhamburan ke seluruh sudut rumah kontrakan kami dan
Namun, saya kira, yang membuat kami bercerai enam bulan setelah kami
menikah adalah karena Indah bersikeras tidak ingin punya anak sebelum
kuliahnya selesai dan kami berdua memperoleh pekerjaan tetap dan saya dapat
membeli rumah sendiri, dan sebelum semua cita-cita mulia itu tercapai ia
bersikeras pula tidak mau ber-KB dengan cara apa pun: memasang spiral, minum
17
mengetahui masa subur dan masa tidak subur, dan dengan tegas menyuruh saya
memakai kondom.
berapa lama kemudian tubuh saya dipenuhi bentol-bentol yang gatalnya bukan
di seluruh tubuh. Saya bisa menerima menunda punya anak tetapi saya tidak bisa
menanggung duka gatal itu setiap kali melakukan hubungan seksual, untuk suatu
jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Siapa berani menjamin segera setelah saya
selesai kuliah saya dapat pekerjaan tetap dan segera setelah saya dapat pekerjaan
Saya pun akhirnya sadar bahwa saya tidak bisa meniru jejak teman kuliah
saya, Fais dan Dewi Kania, yang menikah di usia muda namun hidup rukun-rukun
saja. Maka pernikahan diam-diam itu pun berakhir pula dengan diam-diam,
Meskipun terjadi banyak keributan selama masa perkawinan, ketika kami bercerai
kami resmi dipisahkan talak satu: “Indah harap Kakak menemukan pengganti
yang lebih baik dari Indah.” Dan inilah jawaban saya: “Kakak harap Adik pun
18
Pengganti Indah Rusmini itu datang setahun kemudian, sebulan setelah
saya menempuh ujian sidang skripsi saya. Dan sesuai harapan Indah, isteri kedua
saya ini memang lebih baik dari Indah. Namanya Abidah as-Salihah, dan sesuai
Kecuali sedang haid, Abidah biasa puasa selang sehari atau lazim disebut
puasa Daud dan tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Pernah pada suatu
hari ia menangis dengan kesedihan yang sempurna dari pagi sampai datang waktu
shalat dhuhur. Saya sangat cemas melihatnya menangis begitu rupa. Ketika saya
hari itu ia terlambat shalat subuh. Seketika itu juga saya merasa sangat berdosa
dan meminta maaf kepadanya dan memohon ampun kepada Tuhan karena saya
pikir sayalah yang menjadi penyebab Abidah terlambat bangun dan ketinggalan
bersemangat bercinta. Lepas shalat isya hingga pukul tiga dini hari kami
melakukannya tiga kali. Sebagai isteri yang salihah, ia mengikuti saja kemauan
hubungan intim dengan Abidah hanya sekali seminggu, dan setiap hubungan intim
cuma dilakukan satu kali. Kelak keputusan bersejarah dalam kehidupan saya
sebagai lelaki dan sebagai suami ini saya berlakukan pula kepada Raudha.
Abidah berbagai cara untuk menemukan jalan ke surga. Sampai suatu ketika, tiga
19
bulan setelah hari perkawinan kami, Tamtamur, kucing peliharaan kami, tanpa
alasan yang jelas lari ke luar pintu pagar rumah kami dan Abidah yang
berambut lurus-panjang dan berkumis tebal yang mengebut motornya seperti setan
Tamtamur karena para tukang ojek sepeda motor percaya menabrak mati kucing
adalah alamat akan memperoleh nasib sial seumur hidup. Tamtamur kami
tersayang selamat. Abidah saya tersayang tidak. Tubuh Abidah terlempar kembali
ke pintu pagar rumah kami setelah bagian belakang kepalanya membentur tembok
beton lebih dulu akibat hantaman sangat keras sepeda motor setan itu.
Selama dua minggu Abidah koma di rumah sakit dan pada hari kelima
saya mendekatkan telinga kanan saya ke bibirnya, Abidah berbisik lirih. Saya
kaget karena suara itu bukanlah suara Abidah melainkan suara yang belum pernah
saya dengar keluar dari mulut manusia mana pun sebelumnya. Mungkinkah suara
malaikat? Mungkin saja saya kira. Saya menduga di wilayah perbatasan antara
hidup dan mati, Abidah yang salihah itu meminta tolong kepada malaikat untuk
20
calon pengganti Mama untuk Papa. Ia sepupu Mama sendiri. Mama yakin Raudha
surga itu adalah amanat yang wajib saya jalankan. Saya pun tidak melarutkan diri
saya ke dalam kesedihan dan setahun setelah kematian Abidah saya menikahi
saudara sepupunya, Raudha, isteri saya yang sekarang, yang telah memberi saya
anak perempuan yang hitam manis seperti ayahnya dan anak laki-laki yang
SETELAH saya pikir-pikir, alih-alih mirip Frank Sinatra ayah saya lebih
mirip aktor Kaharudin Syah yang pernah berperan sebagai Soeharto dalam film
Janur Kuning. Di zaman kejayaan penguasa Orde Baru yang sebagai jenderal
Panglima Besar Sudirman dan arsitek perang gerilya A.H. Nasution, film yang
menceritakan peristiwa pengambilalihan Yogya selama enam jam dari tangan para
diputar meskipun tidak sesering film Pengkhianatan G-30 S/PKI yang bertahun-
tahun wajib ditayangkan TVRI setiap tanggal 30 September. Dalam film yang
disutradarai Arifin C. Noer itu yang berperan sebagai Soeharto adalah aktor
Amoroso Katamsi. Kalau dipikir-pikir lagi, ayah saya juga memiliki kemiripan
21
wajah dengan Amoroso Katamsi. Namun, ayah sendiri pernah berkata dengan
keyakinan yang luar biasa kepada saya bahwa wajahnya sangat mirip Al-Pacino.
Sejak rezim Orde Baru runtuh dan sang jenderal bintang lima yang
senyumnya dan sepak terjang anak-anaknya sangat terkenal itu lengser, Janur
Kuning dan Pengkhianatan G-30 S/PKI tidak pernah terdengar kabar beritanya
lagi.
Kembali ke Neni. Saya tidak tahu apakah saat ini ia masih tinggal di
apartemennya yang luas di Seattle, Amerika Serikat, atau sudah pindah ke kota
yang berkantor pusat di Jerman. Emailnya terakhir memberi saya kabar bahwa ia
pemabuk, kolektor pemantik api dan kisah-kisah lucu dari seluruh penjuru dunia.
adalah seorang doktor dalam ilmu politik lulusan Ohio State University.
Satu-satunya ironi, puncak dari puncak ironi saya kira, dalam hubungan
saya dengan Neni di masa silam adalah saya pernah bersikap sangat heroik
menolak keras ajakannya melakukan hubungan intim yang muncul dari suasana
tak terkendali sebagai konsekuensi logis dari peristiwa berciuman kami yang
kelamaan. Akan tetapi, malam itu ia dalam keadaan mabuk berat. Terlalu banyak
minum anggur koleksi ayahnya. Dan waktu itu saya berpikir adalah sebuah
seseorang yang secara temporer sedang kehilangan kesadarannya. Apa yang harus
22
saya jelaskan ketika ia memperoleh kesadarannya kembali, satu atau dua jam
kemudian, di kamar tidur penuh sapuan warna pink dan sesak dengan boneka
panda dan barbie, dan menemukan dirinya, diri kami berdua, telanjang seperti
keperawanannya baru saja hilang? Jadi, sebagai jawaban atas ajakannya itu, saya
menampar pipinya. Saya kira tamparan saya sangat keras karena membuatnya
terjungkal ke ranjang dan baru siuman kembali kira-kira setengah jam kemudian.
Yang pertama kali dilakukannya setelah siuman adalah meninju dagu saya dengan
kekuatan banteng betina yang terluka. Kali ini, giliran saya yang terjengkang ke
ranjang.
NOVEL yang belum kelar saya tulis itu, dalam kepala saya, sebenarnya
sudah lama selesai. Catatan-catatan garis besarnya (rough draft), sudah pula saya
bereskan ketika saya diinapkan selama lebih kurang empat minggu di paviliun
Nama kegiatan kerjasama majalah sastra Horison dan PPPG itu adalah
program pelatihan yang bersifat workshop. Dalam pelatihan itu saya menjadi
asisten tetap Ismail Marahimin (dua asisten tetap lainnya: Maman S. Mahayana
dan Sunu Wasono) untuk materi menulis meskipun kadang-kadang saya juga
menjadi asisten serep Taufiq Ismail untuk materi apresiasi sastra apabila salah
23
seorang dari tiga asisten tetapnya (Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, dan Moh.
melahirkan sebuah novel dan peluang untuk menjadi satu-satunya novel yang
pernah dia tulis sangat besar. Saya kira, buku karangan Ismail Marahimin yang
dijadikan panduan materi dalam pelatihan MMAS dan juga merupakan buku teks
yang menjadi bacaan wajib para mahasiswa pengikut mata kuliahnya di UI,
Menulis Secara Populer, saat ini jauh lebih populer di kepala para guru di
para guru peserta pelatihan MMAS, saya mengisi waktu saya dengan menulis
sketsa-sketsa peristiwa, tokoh-tokoh, dan latar untuk novel saya itu dan
memikirkan bentuk dan teknik penulisan yang kira-kira tepat untuk novel itu.
Saya juga sadar betul bahwa novel saya itu adalah novel dengan banyak tokoh
atau karakter. Dan karena saya seorang optimis, saya memandang banyaknya
tokoh atau karakter itu bukan sebagai kelemahan melainkan sebagai kelebihan.
Pada mulanya, dalam pikiran saya, dari segi bentuk dan teknik penulisan
novel itu haruslah berada di luar berbagai jenis novel yang pernah dikenal orang
selama tiga ratus tahun terakhir yang berdasarkan penelitian para sarjana sastra
Barat, setelah saya pelajari, dapat dikelompokkan ulang berdasarkan abjad sebagai
24
autobiographical novel; (5) bildungsroman; (6) biblical novel; (7) black novel;
(8) crime novel; (9) critique novel; (10) christian novel; (11) deduction novel;
(12) demonology novel; (13) detective novel; (14) dramatic novel; (15) education
novel; (16) empirical novel; (17) epic novel; (18) epistolary novel; (19)
epistemology novel; (20) essay novel; (21) expedition novel; (22) experiment
novel; (23) erastianism novel; (24) fable novel; (25) filmy novel; (26) gender
novel; (27) genesis novel; (28) gothic novel; (29) hellenistic novel; (30) histamine
novel; (31) historical novel; (32) induction novel; (33) judaism novel; (34) kitsch
novel; (35) laxative novel; (36) machismo novel; (37) novel of manners; (38)
novel of manqué; (39) naïveté roman; (40) nouveau roman; (41) orpheus novel;
(42) picaresque novel; (43) pittoresque novel; (44) poetical novel; (45) poignant
novel; (46) proletarian novel; (47) proliferate novel; (48) psychological novel;
(49) psywar novel; (50) quipy novel; (51) quixotic novel; (52) renaissance novel;
(53) roman à bord; (54) roman à clef; (55) sadism novel; (56) science-fiction
novel; (57) scintillate novel; (58) sentimental novel; (59) senility novel; (60)
spiritual novel; (61) teenager novel; (62) ubiquitous novel; (63) utopian novel;
(64) verbiage novel; (65) vogue novel; (66) white novel; (67) whittle novel; (68)
xenophobia novel; (69) xylophonic novel; (70) yankees novel; (71) zealot novel;
Tentu saja memilah-milah novel dari segi bentuk dan teknik penulisan
hingga mencapai 72 jenis adalah pekerjaan gila, dan setelah saya timbang-
25
timbang, menulis novel yang dari segi bentuk dan teknik penulisan harus berada di
luar berbagai jenis novel ini adalah pekerjaan yang jauh lebih gila lagi.
Menulis novel, ya, menulis novel, pikir saya. Apa pun yang perlu
dimasukkan, ya, dimasukkan, dan apa pun yang tidak perlu dimasukkan, ya,
dibuang saja, pikir saya lagi. Ke dalam jenis apa novel saya kelak dikelompokkan
ISTILAH novel itu sendiri berasal dari bahasa Italia, novella, yaitu sebuah
prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks yang secara imajinatif berjalin-
saling berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah
orang (tokoh, karakter) di dalam latar (setting) yang spesifik. Perlu digarisbawahi
zaman.
menjadi genre sastra tersendiri dan dalam kerangka kerjanya yang luas
berkembang ke dalam berbagai jenis, seperti telah saya sebutkan di atas. Jenis
kesusastraan yang ditandai pandangan dunia yang dominan pada masa itu tempat
dominan pula pada masanya, seperti novel-romantik (masa ketika kaum Romantik
26
(masa ketika kaum Realis dan pandangan-pandangannya menempati posisi yang
tempat, antara lain pada zaman Roma klasik, di Jepang pada sekitar abad ke-10
dan ke-11, dan pada masa Elizabethan di Inggris, novel Don Quixote de la
antara idealisme yang muskil versus kehidupan praktis dan membumi yang
dihadirkan dalam karakter seorang kesatria konyol yang bahkan dengan kincir
sesudahnya.
Perancis pada abad ke-17; akan tetapi di Inggris-lah novel sebagai suatu genre
memapankan posisi novel sebagai genre sastra yang memiliki akar literer kuat.
Popularitas novel kemudian menjadi umum di Eropa hingga memasuki abad ke-19
ketika ia berkembang bukan saja sebagai karya prosa naratif fiksional semata-
mata tetapi tumbuh sebagai bentuk karya sastra dengan variasi tema, karakterisasi,
Novel menjadi karya yang memikat perhatian banyak orang karena dapat
27
image) dari suatu realitas kehidupan sehari-hari daripada yang dapat dilakukan
ke layar perak, seperti yang mereka lakukan terhadap karya-karya Marey Shelley
(Frankenstein, 1818), Bram Stroker (Dracula, 1879), dan H.G. Wells (The Island
sejarah tarik-menarik antara upaya si pengarang untuk keluar atau menyebal dari
melecehkan spirit zaman itu. Inilah yang menjelaskan kenapa novel-novel realis
dan naturalis bermunculan pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, sebuah
zaman ketika karya sastra menemukan audiensnya yang sangat luas dan media
massa belum begitu berperan. Pada masa inilah Charles Dickens, Thackeray dan
George Eliot menulis di Inggris; Balzac, Gustave Flubert dan Emile Zola di
28
Herman Melville di Amerika. Novel menjadi referensi jurnalistik untuk
peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa itu, khususnya Perang Dunia I
dan II, karakter dalam novel pun menjadi semakin kompleks dan konvensi-
konvensi lama yang secara kuat direpresentasikan dalam bahasa dan struktur
novel sebelumnya, dipertanyakan. Hal itu antara lain dilakukan James Joyce,
Virginia Woolf dan Franz Kafka, para penulis yang memeriksa kembali
terhadap konvensi-konvensi sastrawi lama. Pada masa yang sama dalam penulisan
drama (plays), Luigi Pirandello melakukan apa yang dilakukan Joyce dan Woolf
dalam novel; dan di wilayah kesenian yang lain, Igor Stravinsky membongkar
karaktrer baru yang menyebal dari “persoalan abadi” pertentangan antara harmoni
baru, suatu konsep tentang bunyi yang disusun kembali dari horison kreativitas
yang antara lain dapat kita simak dalam Le Sacre du Printers dan Symphony in
Three Movements.
Di Indonesia, novel-novel awal yang terbit pada zaman Balai Pustaka dan
Pujangga Baru dan masa-masa sesudahnya seperti yang misalnya terlihat dalam
29
Mangunwijaya, Umar Kayam dan Ahmad Tohari, merupakan bagian tak
adanya pencarian konvensi-konvesi baru sebagai upaya keluar dan menyebal dari
Pane, yang dapat dikatakan sebagai tonggak novel Indonesia modern, dan pada
Pada lebih dari satu dasa warsa terakhir, cerpen, seperti juga puisi, tumbuh
menyediakan rubrik khusus untuk kedua genre sastra itu, berdampingan dengan
majalah sastra Horison yang telah melahirkan banyak penyair dan pengarang
menulis novel sampai akhir tahun 1990-an berlangsung biasa-biasa saja dan
mungkin itu pula yang menyebabkan kenapa ketika sebuah novel baru diterbitkan,
dari pengarang lama maupun baru, perhatian orang begitu besar. Itulah yang
terjadi pada Olenka dan Ny. Talis Budi Darma, Bumi Manusia dan Arus Balik
Dukuh Paruk Ahmad Tohari, Para Priyayi Umar Kayam, hingga Saman Ayu
Utami.
peningkatan yang pesat dan para novelis berbakat pun bermunculan, misalnya,
untuk menyebut beberapa nama: Dewi Lestari, Eliza Vitri Handayani, Eka
Kurniawan, Dewi Sartika, Ratih Kumala. Pada sisi yang lain, gairah penerbitan
30
novel di Indonesia pertengahan pertama tahun 2000-an diramaikan pula dengan
menjadi sasaran-pasarnya.
Tidak ada cara yang lebih baik dalam mengapresiasi novel selain dengan
karakterisasi, plot, latar dan gaya, hanya diperlukan sebagai pengantar ke arah
Tema adalah ide sebuah cerita. Pada saat menulis cerita, pengarang bukan
terhadap kehidupan. Pada karya yang berhasil, tema tersembunyi dalam tindakan-
Tema tidak harus berwujud ajaran moral (seperti yang dipercaya para penganut
temanya adalah percintaan antara Yuri (Zhivago) dan Lara (Larissa). Perjalanan
cinta mereka dibingkai latar peristiwa besar, yaitu revolusi Rusia. Tema yang
31
sama dapat kita temukan dalam novel Ernest Hemingway, A Farewell to Arms.
Hanya, dalam novel yang disebut terakhir, latarnya adalah Perang Dunia I. Pada
kedua novel yang mengantarkan para pengarangnya meraih hadiah Nobel tersebut,
sebagai pembaca kita dilibatkan ke dalam konflik dalam maupun konflik luar
Yang dimaksud watak psikologis adalah struktur jiwa tokoh yang bersangkutan
yang terkadang aneh, luar biasa, dan mengejutkan. Misalnya, seperti yang
dibayangkan kira-kira kita akan mengikuti karakter kehidupan macam apa. Watak
psikologis yang dimiliki sang tokoh akan membimbingnya pada watak sosial yang
32
psikologis yang kuat, adalah contoh yang baik dari bagaimana seorang pengarang
pikiran tokoh, dan keterangan langsung pengarang. Dalam novel, kelima cara itu
digunakan secara optimal. Dalam penulisan cerpen, cara yang satu biasanya lebih
Plot adalah rencana atau cerita utama suatu karya sastra dan disebut pula
sebagai struktur naratif. Dalam sejarah kritik kesusastraan, pengertian tentang plot
pentingnya plot dan menyebutnya sebagai “jiwa” (soul) dari suatu tragedi. Apa
yang disebut plot dalam cerita pada dasarnya sulit dicari. Ia tersembunyi di balik
jalan cerita (narasi). Akan tetapi, jalan cerita bukanlah plot melainkan manifestasi
atau bentuk jasmanih plot. Menurut E.M. Forstervii dalam Aspects of the Novel,
daripada yang misalnya biasa diperlukan dalam cerita-cerita fabel. Jalan cerita,
demikian, plot dan narasi memiliki pengertian yang berbeda meskipun kedua
33
menggerakkan peristiwa-peristiwa tersebut. Jika Aristoteles menyebut plot
sebagai jiwa dari suatu tragedi, kita dapat mengatakan bahwa plot adalah jiwa dari
suatu narasi.
intisari plot adalah konflik. Konflik dalam novel tak bisa diperikan begitu saja dan
mesti ada dasarnya. Karena itulah plot sering dikupas menjadi elemen-elemen
Latar adalah bingkai (frame) waktu, peristiwa atau lokasi tempat narasi
menjadi unsur narasi yang penting. Dalam sebuah narasi, latar berjalin-
susunan dan perilaku tokoh yang ia ciptakan bergantung pada lingkungan tempat
tokoh itu berada dan diperlakukan sama pentingnya dengan personalitas tokoh
itu. Sebagai contoh, latar bagi Emile Zolaviii, novelis dan kritikus Perancis pendiri
gerakan naturalis, merupakan bagian sangat penting karena dia percaya bahwa
dibuktikan dalam novelnya, Theresa. Kebetulan pada masa yang sama dalam
lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap menjadi jahat atau saleh seseorang.
Teori ini lahir sebagai kritik atas teori Lambrosso di Italia yang beranggapan
34
watak jahat diturunkan secara genetik dan bahwa ciri-ciri orang jahat dapat dilihat
peristiwa atau lokasi. Jika berbicara tentang tempat, misalnya, maka ia mestilah
menunjukkan pula anasir lain yang hakiki dari tempat tersebut, seperti cara
karya-karya R.K. Narayan, novelis dan pengarang cerpen India, kita akan
prototype desa kecil di Jawa; Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik
merekonstruksi kota Blambangan abad ke-15 dengan memikat; tak kalah memikat
pada abad yang sama dengan Arus Balik; dan latar yang dipilih Budi Darma dalam
gaya, maupun kaitan filosofis genre sastra itu dengan realitas. Latar tidak bisa
dipaksakan. Demikian pula apa yang sering disebut-sebut para kritikus sastra
sebagai “warna lokal”. Dalam novel, latar dan warna lokal muncul secara alamiah
35
itulah mencoba-coba mengubah latar Perang Dunia I dalam A Farewell to Arms
dengan latar Perang Dunia II, misalnya, akan menyebabkan novel tersebut
kehilangan kesatuannya. Pemilihan latar juga dapat membentuk tema atau plot
kehidupan tokoh-tokoh dari generasi in-between yang dilakukan Ayu Utami dan
Dewi Lestari yang dengan sendirinya membentuk tema dan plot yang khas, baik
dalam Saman dan Larung maupun Supernova dan Akar. Begitu pula latar
kehidupan tokoh-tokoh dari masa depan yang diangkat Eliza Vitri Handayani
dalam Area X, dan latar kehidupan tokoh-tokoh dari masa silam yang dihadirkan
Eka Kurniawan dalam Cantik Itu Luka, membentuk tema dan plot yang tak kalah
khasnya.
tentang gaya yang lazimnya dikupas dalam judul “Gaya Bahasa”, lengkap dengan
peyoratif, amelioratif, totem pro parte, asosiasi, hiperbola, repetisi, dan lain-lain.
karya-karya para sastrawan Indonesia masa Pujangga Baru dan Balai Pustaka.
pengertian “gaya bahasa” tidak lagi memadai. Pengertian gaya telah berkembang
36
Menurut pengertian kesusastraan, gaya atau style (berasal dari bahasa
Yunani: stilus) adalah cara berekspresi yang lain daripada yang lain (a distinctive
lainnya meskipun menjadi sesuatu yang biasa pula manakala kita menemukan
keserupaan gaya antara satu pengarang dengan satu atau banyak pengarang
lainnya.
ceritanya, baik novel atau cerpen, dengan kalimat-kalimat pendek atau panjang,
Virginia Woolf, Milan Kundera, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, dan
sekaligus yang bertendensi filsafat dapat ditemukan antara lain pada karya-karya
Sifat ekonomis atau pemborosan dalam cerita juga merupakan unsur gaya.
Ada pengarang yang suka memperpanjang cerita, boros dengan kalimat dan
kadang-kadang kalimat yang satu hampir sama artinya dengan kalimat yang lain;
para novelis Jepang seperti Kawabata Yasunari, Natsume Soseki, Yukio Mishima,
Kenzaburo Oe, Kobo Abe (dilakukan pula sejumlah pengarang Jepang generasi
37
sesudahnya yang besar di negeri lain, seperti Kazuo Ishiguro) menggunakan
untuk memperoleh efek estetika tertentu; ada juga pengarang yang betul-betul
hemat dengan kata-kata dan menggunakan kalimat yang perlu dan fungsional saja.
Yang juga menjadi ciri dari gaya seorang pengarang adalah penggunaan
dialog sebagai unsur utama jalan cerita. Umar Kayam termasuk yang sangat
Pengarang yang belum berpengalaman dengan teknik ini tetapi dengan keras
dibuat-buat.
Indonesia, para penyair yang sangat teliti menggunakan detail dalam baris-baris
sajaknya adalah Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono; Idrus dan Hamsad
Rangkuti dalam cerpen; Pramoedya Ananta Toer dalam novel; Umar Kayam dan
Ahmad Tohari dalam novel maupun cerpen. Penggunaan detail ini juga
digunakan Franz Kafka bahkan sejak kalimat awalnya, seperti terlihat dalam
pada karya pengarang tertentu; pada dasarnya mereka terpikat pada gaya si
pengarang itu.
38
NOVEL yang belum kelar saya tulis itu adalah sebuah novel cinta.
tahun 1980-an, sezaman dengan masa mahasiswa saya, terlibat berbagai gerakan
diskusi inilah yang antara lain kelak menjadi dasar dari terbentuknya berbagai
pertengahan kedua tahun 1990-an. Harus saya akui, melihat watak psikologis dan
sosial yang saya lekatkan pada lelaki itu, saya merasa bahwa dia, si tokoh utama
Sayang sekali bahwa sampai sebelum saya bertemu dengan kawan lama
belum punya model untuk tokoh utama saya. Sedangkan untuk nama, saya sudah
menemukannya: Kafka.
39
Aneh bukan, model untuk tokoh utama belum punya tetapi nama untuknya
Malam itu saya sedemikian lelahnya setelah menunaikan salah satu tugas
wajib saya sebagai seorang suami, memberi isteri saya nafkah batin. Raudha pun
lebat-ikal, berkening luas dan lebar, beralis tebal, berbibir tipis, berhidung
dari bahan yang murah, berkemeja katun putih, berjas wol hitam tetapi hanya
bercelana pendek dan tanpa alas kaki. Tiba-tiba saja ia sudah berada di samping
saya yang dalam mimpi saya waktu itu sedang berdiri di depan sebuah lemari
belum pernah saya lihat di mana pun sebelumnya.x Saya memutar tubuh saya
“Someone must have been telling lies about me, for without having done anything
wrong I was arrested one fine morning….” Dua detik kemudian, tubuh pria itu
menyatukan dirinya kembali membentuk sebuah buku. Dasar mimpi. Saya tidak
merasa aneh, terkejut, heran atau takjub menyaksikan peristiwa ajaib itu. Saya
40
Saya terbangun dan segera membangunkan Raudha. Saya ceritakan mimpi
perasaan penuh kasih. Lalu isteri saya yang kegilaannya pada novel menandingi
kegilaan suaminya pada puisi itu, berkata lirih: “Papa kan tahu The Trial itu novel
Kafka. Mama yakin pria dalam mimpi itu Kafka sendiri. Siapa tahu dia ingin
menyampaikan sesuatu yang ada hubungannya dengan novel Papa. Mungkin dia
ingin namanya jadi judul buku Papa.” Setelah itu, Raudha tidur kembali.
Tinggallah saya sendirian terjaga dan gelisah. Bahwa The Trial itu novel
Franz Kafka, saya tahu. Yang pria dalam mimpi itu ucapkan memang kalimat
pembuka The Trial yang aslinya berbahasa Jerman dan edisi Inggris-nya berbunyi
seperti ini: Someone must have been telling lies about Joseph K., for without
having done anything wrong he was arrested one fine morning….” Lalu saya
berselancar ke beberapa situs di internet mencari-cari foto Franz Kafka dan setelah
menemukannya yakinlah saya yang diyakini Raudha benar adanya. Pria dalam
tak lain tak bukan Franz Kafka sendiri? Saya kira, satu-satunya orang yang tahu
Di luar persoalan itu, bahwa Raudha mengaitkan Franz Kafka versi mimpi
dengan novel saya, bagi saya adalah sebuah tafsir mimpi yang cemerlang. Aneh
juga isteri saya menafsirkan mimpi itu dengan sangat baiknya padahal
41
seringnya ia mengkritik keyakinan dan definisi Freud tentang mimpi—bahwa
mimpi adalah “via regia” yang mengantar kita ke ketidaksadaran dan bahwa
mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi—
mimpi secara maknawi jauh lebih kaya dan secara spiritual jauh lebih suci
eskatologis, mimpi merupakan salah satu dari 46 tanda kenabian? Untuk urusan
mimpi, Raudha lebih percaya pada sebuah kitab kuning karangan Ibn Sirin yang
rahasia pribadi manusia.” Dengan kata lain, Raudha yang komisaris sebuah bank
syariah ini, berpendapat bahwa Sigmund Freud telah gagal memahami jiwa
manusia.
Sejak malam itu saya pun membulatkan hati saya. Tokoh utama dalam
novel saya yang belum selesai-selesai itu jika kelak akhirnya kelar akan saya beri
nama “Kafka”. Nama itu juga akan menjadi judul novel itu. Kebetulan malam itu
di luar kamar tidur kami bulan penuh bercahaya. Bulan purnama. Maka saya
42
berpikir apabila Kafka dalam novel saya menuntut saya memberinya nama
belakang, “Purnama” akan menjadi nama belakang yang bagus untuknya. Sebuah
dari segi rhyme effect nama itu nyaman diucapkan dan enak didengar.
Keinginan untuk memberi judul novel saya sesuai tokoh utama, Kafka,
bertahan sampai pertengahan kedua tahun 2005, ketika saya diberi tahu sahabat
saya, Joni Ariadinata, bahwa sebuah novel berjudul Lorca telah diterbitkan. Novel
“Tidak baik bagi publikasi, jika novel Akang bersikeras diberi judul Kafka.
“Punya ide yang lebih baik, Jon? Nama itu sudah terlanjur mendarah
“Masa?”
mengisahkan Ran, dalam novel itu, sebenarnya Ran, hampir disebut dengan
seluruh kata-kata.”
43
“Itu judul film Akira Kurosawa.”
“Soska?”
“Itu cara guru filsafat Kafka, Mr. Ismail Batubara, memanggil Kafka,
“Ya gitu aja Kang, gitu aja. Lagi pula Le Petite sudah terlanjur dipake
SAYA seorang introvert. Pada saat saya masih seorang mahasiswa saya
lebih banyak berurusan dengan puisi dan kucing kesayangan daripada berurusan
dalam dan di luar kampus. Sebagian dari masa mahasiswa saya juga disibukkan
untuk mengurusi kehidupan perkawinan pertama saya yang lebih banyak ributnya
daripada damainya. Betul saya sudah menikah tiga kali, akan tetapi dari dulu
hingga kini tetap saja saya sangat tidak terampil membuat wanita jatuh cinta.
Mungkin karena saya tidak mahir merayu. Sementara tokoh utama saya itu dalam
mistis sifatnya. Dalam kehidupan organisasi di kampus, dia adalah seseorang yang
mampu mengubah pandangan politik orang lain menjadi sepaham dengan dirinya.
mati untuknya. Tentu saja untuk yang terakhir ini, saya sedikit melebih-lebihkan.
negara Amerika, Frederick Henry, tokoh utama dalam A Farewell to Arms, yaitu
bahwa di masa paling ranum dalam kehidupan saya dan tokoh utama saya, masa
ketika kami setiap hari kecuali Minggu berseragam SMA putih-abu, kami berdua
pertama saya, sudah saya ceritakan. Sedangkan nama wanita yang menjadi cinta
pertama tokoh utama saya adalah Yulia Maharani. Tokoh utama saya memiliki
Sampai akhir tahun 2004 saya sudah pergi ke semua provinsi kecuali Aceh dan
Papua untuk urusan-urusan yang pribadi sifatnya, dan untuk urusan dua pekerjaan:
MMAS dan SBSB. MMAS sudah saya ceritakan. SBSB adalah singkatan dari
45
dengan para siswa sekolah menengah atas, siswa-siswa Madrasah Aliyah, dan
para santri.
dalam istilah Buya Mahmud, “barokah”. Pada suatu hari di bulan April 2003
ketika saya berada di Palu selama lebih kurang dua minggu akhirnya saya
Saya hanya pernah sekali bertemu dengan Afuz setelah penerima beasiswa
Tunjangan Ikatan Dinas (TID) ini dikirim sebagai tenaga dosen ke Universitas
Tadulako. Itu terjadi pada suatu siang di tahun 1997 di bandara Soekarno Hatta.
Saya sedang check-in untuk mendapat nomor seat di sebelah pintu darurat dalam
pesawat yang akan membawa saya ke Padang sedangkan Afuz yang pergi
sama yang akan membawa dia dan rombongannya pergi ke tujuan lain. Saya lupa
ke mana. Yang jelas bukan ke Palu. Kami tak sempat bicara panjang lebar. Sosok
Afuz yang tinggal dalam ingatan saya ternyata tak banyak berubah, masih
langsing dan kurus. Tetap ramah, dan senyumnya yang dulu sangat terkenal juga
masih menjadi ciri khasnya. Satu-satunya yang berubah dalam dirinya adalah
rumah kami ketika ia sedang berada di Bandung mengikuti seminar atau acara
46
sejenisnya dan pada dua kali kesempatan ia berkunjung itu kebetulan saya sedang
tidak ada di rumah. Saya lupa sedang berada di mana saya saat itu.
saya biasa-biasa saja, saya tidak bisa melupakan sebuah fase dalam hubungan
kami yang bukannya menjauhkan tetapi malah mendekatkan kami. Fase itu adalah
ketika kami sama-sama mencintai seorang gadis berkulit terang dan wajahnya
lembut rupawan. Nama gadis itu Ratna Suminarsari. Cinta yang kami duga segi
tiga itu ternyata jajaran genjang karena rupanya cinta Ratna sudah lama dijatuhkan
kepada orang lain. Kemudian kami tahu orang lain itu adalah teman sekelas dan
Ya, begitulah. Setelah itu saya dan Afuz seperti disatukan oleh perasaan
saya abadikan dalam sebuah sajak berjudul “Sebelum Makan Malam”. Sajak itu
Perihal Ratna, saya dan Afuz dan juga kawan-kawan lain seangkatan di
program S-1 maupun D-3, tidak ada yang mengira akan meninggal dalam usia
masih sangat muda. Gadis yang baik itu. Yang senyumnya bagai buaian itu. Tuhan
punya cara aneh dan beragam mengambil nyawa seseorang. Ratna dipanggil
pulang kepada-Nya justru ketika ia sedang menjadi tamu-Nya dalam musim haji
tahun 1990. Ratna yang waktu itu terpisah dari ayah-ibunya terperangkap dalam
kerumunan panik para jemaah haji di terowongan Harat al-Lisan di Mina. Konon,
47
menurut, saya lupa Fais atau Nirwan, kematian kekasihnya itulah yang membuat
Kehilangan orang yang pernah kita cintai, meskipun orang yang pernah
kita cintai itu tidak pernah mencintai kita, adalah kesedihan yang menekan.
Seandainya X tahu sedalam apa duka saya dan Afuz mendengar kabar
meninggalnya Ratna….
DIANTAR Pak Wagimin, sopir yang memandu kami ke mana pun kami
pergi di Palu, saya meninggalkan Hamid Jabbar dan Jamal D. Rahman di hotel itu
menerima telefon dari Ceu Ati, isteri kakak saya, bahwa kakak saya yang
Operasi Militer (DOM) di masa Orde Baru. Tidak lebih dari itu.
Saya dan kakak saya hanya berselisih umur dua tahun. Dalam hampir
semua hal kami memiliki kemiripan: bentuk rambut, bentuk dahi, bentuk alis,
bentuk mata, bentuk hidung, cara berjalan, tinggi badan, susunan gigi, cara bicara,
begitu pun warna kulit sehingga apabila kami kebetulan berjalan berdampingan
48
orang mungkin akan menduga kami berdua saudara kembar. Akan tetapi, apabila
orang lebih jeli lagi memperhatikan sebenarnya ada pembeda yang sangat penting
untuk menandai yang mana kakak saya dan yang mana saya. Tahi lalat. Saya
memiliki tahi lalat di pipi sebelah kanan sedangkan kakak saya tidak memilikinya.
Pembeda lainnya tentu saja nama. Nama kakak saya adalah Dewa Bujana
ia kerap diduga lahir di Bali. Entah apa yang ada dalam pikiran ayah saya
sehingga memberi nama kakak saya seperti itu. Di kemudian hari nama kakak
saya tanpa Rahmansyah diketahui sama persis dengan nama gitaris kelompok
musik Gigi.
Ceu Ati berkata sudah seminggu Dewa tidak menelefon. Itu di luar
kebiasaan. Biasanya setiap hari ia menelefon, dan setiap hari dua kali ia
menelefon. Malam di atas pukul sebelas, dan sore di bawah pukul enam. Telefon
genggamnya pun sulit dihubungi. Segera setelah menerima telefon Ceu Ati, saya
cemas karena saya tidak kenal seorang pun di Aceh kecuali seorang penyair yang
dulu tidak sengaja tertukar fotonya dengan foto saya di halaman biodata buku
Mimbar Penyair Abad 21 terbitan Balai Pustaka, 1996. Seingat saya nama penyair
tangisan Ceu Ati di telefon yang menambah cemas itulah saya pergi menuju
rumah Afuz.
49
SEKITAR pukul tiga dini hari, saya baru meninggalkan rumah Afuz. Ia
sebenarnya meminta saya untuk tidur di rumahnya tetapi saya menolak halus
kebaikan hatinya karena masih ada laporan yang mesti saya tulis dan lima jam ke
depan saya masih harus bertugas sebagai presenter untuk para sastrawan tamu
Afuz memberi tahu saya bahwa lebih kurang sebulan sebelumnya, X juga
berada di Palu. Ia tinggal di hotel yang sama dengan tempat saya menginap. Tak
lama, cuma dua hari. Dalam setahun terakhir, X dan Afuz tiga kali bertemu. Afuz
dengan para pemohon dana bantuan, baik lembaga maupun perorangan, yang
seorang mahasiswi. X mengenalkan perempuan itu kepada Afuz. Afuz lupa nama
perempuan itu.
Hal lain yang tak kalah anehnya, X menemui Afuz seperti seseorang yang
tahu tidak akan pernah lagi bertemu dengan sahabatnya. Seperti seseorang yang
datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Yang membuat Afuz terkejut dan tak
Jakarta yang isinya antara lain menyebutkan bahwa X mewariskan separuh dari
50
Malam itu, dari perbincangan saya dengan Afuz, pengetahuan saya
sifatnya. Afuz juga mengatakan kepada saya bahwa di dalam ingatan X, saya tak
kurang tak lebih hanyalah “si penyair yang mengunci pintu” dan “seseorang yang
pendiamnya minta ampun”. Dan ini yang membuat saya tertawa tergelak-gelak:
sejak zaman mahasiswa kami dulu hingga pertemuan dengan Afuz itu, X yakin
Dalam perjalanan pulang ke hotel, menembus jalanan dini hari kota Palu
yang sudah sepenuhnya menjadi sepi, saya tahu novel saya akhirnya akan selesai.
BAHKAN sebelum pesawat Merpati pukul satu siang dari Palu di hari
Jumat yang panas itu tinggal landas, saya sudah memutuskan X adalah model dari
tokoh utama novel saya. Ketika transit di Makassar dan dalam penerbangan
pesawat yang sama menuju Surabaya saya mulai memetakan dan mengembangkan
karakter tokoh utama saya. Ketika transit di Surabaya, menunggu pesawat Merpati
dengan nomor penerbangan lain dari Lombok yang akan membawa saya ke
saya sebagai kehidupan tokoh utama saya. Lima belas menit sebelum pesawat itu
keputusan untuk mengisahkan sebagian besar fase kehidupan tokoh utama saya
dalam bentuk dan teknik penulisan epistolary novel, yaitu novel yang ditulis
seperti orang menulis buku harian. Ketika saya menuruni tangga pesawat sambil
bandara yang sempit untuk memeluk Raudha dan mencium keningnya, saya
52
Ratusan Kupu-kupu
Bersayap Warna-warni
53
SETELAH kakek dan ibu saya, sayalah yang menjadi satu-satunya orang
yang memiliki ilmu pamungkas sukma. Hidup saya terkutuk, dan saya akan
Saya segera ingin menceritakan semuanya kepada anda hanya saya sadar
saya memerlukan sedikit waktu untuk mempersiapkan hati saya, pikiran saya,
perasaan saya, hingga saya dapat membuka diri saya sampai kemungkinan yang
paling muskil. Akan lebih baik bila anda bersedia bersabar mengetahui lebih dulu
masa kecil dan masa remaja dan masa keemasan yang singkat dari usia dewasa
saya. Saya harap anda bersedia menjadi pendengar saya yang setia. Sebagaimana
saya memperlakukan anda sebagai sahabat saya, anggaplah saya sahabat anda.
Sejak kecil saya tidak menyukai kekerasan. Saya enggan berkelahi. Saya
pantang menyakiti binatang. Saya tidak tahan melihat darah dan itu barangkali
sebabnya sampai sekarang saya bermusuhan dengan warna merah, dan itulah
antara lain yang menjadi alasan saya menolak tawaran seorang sahabat yang juga
seorang pengurus partai yang memiliki atribut serba merah untuk menjadi kader
partai itu. Itu pula yang menyebabkan saya tidak begitu tertarik dengan
perempuan yang memakai lipstik atau mengecat merah kuku-kuku jari tangan dan
kakinya dan oleh sebab itu pula saya sampai detik ini tidak menyukai warna
bendera negara saya—saya lebih suka warnanya putih seluruh, sebab kalau merah
seseorang tak perlu berani apabila dia suci karena dalam kesucian telah
terkandung keberanian, dan saya kira warna merah dalam bendera saya secara
54
tidak langsung telah ikut andil membuat negara saya menjadi tempat yang sangat
luas untuk pertumpahan darah, saya tidak asal bual dan anda saya pastikan akan
sependapat dengan saya bila anda, saya tahu anda banyak membaca, meneliti
kembali teori arketif dan mimpi kolektif Carl Gustav Jung—dan saya juga tidak
mengandung warna merah dominan, dan oleh sebab itu pula sampai saat ini saya
tidak pernah menjadi bagian dari fans Manchester United dan Liverpool dan
dan saya memilih menjadi fans kesebelasan Belanda atau Perancis atau Persib
saja. Akan tetapi, bila tiga kesebelasan itu mengganti kostumnya dengan warna
merah, saya akan meninggalkan mereka dan menjadi bagian dari fans kesebelasan
yang kausnya berwarna lain. Biru, oranye, hijau, atau apalah asal bukan merah.
Perihal warna merah dalam dunia olahraga, akhir-akhir ini ada lelucon
yang bunyinya seperti ini: “Kalau mau sukses, ubahlah semua atribut anda dengan
warna merah, karena warna merahlah yang merajai dunia olahraga….” Mungkin
ada benarnya guyonan kering khas orang Inggris itu. Arena balap Formula 1 atau
yang lebih dikenal dengan F-1, bertahun-tahun dikuasai tim Ferari yang serba
merah. Dalam kompetisi Liga Inggris era 1970-an hingga 1980-an “The Red
Devils” (Liverpool) menguasai Inggris dan Eropa. Pada tahun 1990-an kekuasaan
itu beralih ke “The Red Devils” lain, Manchester United, dan di era 2000-an “The
Gunners” alias Arsenal yang juga berkostum merah giliran tampil menjadi
penguasa liga kick and rush meskipun tidak terlalu berjaya di wilayah Eropa.
55
Saya tidak suka pistol atau senapan mainan dan puji Tuhan saya tidak
ditakdirkan menjadi seorang polisi atau tentara atau satpam bank atau perampok
bank sehingga tak usah sekali pun memegang pistol atau senapan sungguhan.
Berkaitan dengan masalah pistol dan senapan ini saya akan selalu bersyukur
dengan seluruh hati saya karena saya tidak dilahirkan di awal abad ke-20 di
Irlandia bagian utara sebab sangat mungkin saya terpaksa membunuh seseorang di
masa perang saudara dan saya akan senantiasa bersyukur dengan seluruh hati saya
karena tidak dilahirkan pada pertengahan abad ke-20 di Sisilia karena sangat
mungkin kemiskinan dan balas dendam mendorong saya hijrah ke Amerika dan
melemparkan saya menjadi anak buah Al-Capone atau Vito Corleone dan saya
akan setiap hari bersyukur pula sebab saya tidak dilahirkan di Aceh sebab
Wah! anda harus membacanya. Itu cerpen bagus. Bukan bagus, istimewa.
Saya selalu merasa hati saya dibetot, didempet, ditekan, diris-iris setiap kali
yang tidak sengaja membunuh adiknya (juga seorang sniper) setelah mereka
saling mengintai sehari penuh dari subuh hingga malam tiba menahan haus dan
lapar di atap gedung yang dipisahkan sebuah jalan lebar yang murung. Ketika
masa saling intai yang nyaris abadi itu usai, salah seorang dari mereka kena
tembak, terjengkang, menggelosor dari atas atap, jatuh berdebam menimpa badan
kepalanya yang menjadi semerah saus tomat, lalu membalikkan tubuh kaku itu.
Wajah adiknya.
anda lain waktu. Mungkin akan saya kirimkan lewat pos. Saya hanya ingin anda
berjanji setelah membaca “Sniper” anda bersedia juga membaca puisi berjudul
“Elegi buat Perang Saudara”. Saya berpendapat, melihat strukturnya, puisi itu
adalah tafsir liris atas cerpen itu. Puisi itu ditulis penyair Taufiq Ismail tahun
1960, termasuk ke dalam puisi-puisi yang dia tulis sebelum era Tirani dan
Benteng.
Bunyinya begini:
Dengan mata dingin dia turun ke medan/ Di bahunya tegar tersilang hitam
berbulu dendam// Angin pun bagai kampak sepanjang hutan/ Bukit-bukit dipacu
atas kuda kelabu/ Dada dan lembah menyenak penuh deram/ Di ujung gunung
langit teja mengantar malam tembaga/ Luluhlah senja dalam denyar. Api mesiu/
Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu// Angin tak lagi menderu tapi desah
tertahan/ Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu/ Ketika senja berayun
menyukai sajak-sajak Taufiq Ismail yang lain, terutama “Buku Tamu Musium
“Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini”, dan tentu saja di atas semua itu, “Dengan
Puisi, Aku”.
Saya juga tidak suka ketapel dan selalu heran kenapa teman-teman saya
lalu batu-batu kecil itu mereka masukkan ke saku kiri-kanan celana kedodoran
mereka, kemudian meletakkan sebutir batu ke dalam potongan persegi empat kulit
ketapel itu, setelah itu mencari pohon-pohon di kebun atau di tegalan atau di
di salah sebuah ranting dari salah sebuah dahan dari salah sebuah pohon mereka
melihat seekor burung, lalu menarik tali ketapel mereka, memicingkan sebelah
mata mereka membidik burung itu, dan melesatlah si batu kecil layaknya sebutir
peluru mencari serdadu lawan, seperti sperma mencari indung telur. Sesabar itu
kawan-kawan saya di waktu kecil mulai belajar untuk melukai, dan membunuh,
Saya juga berusaha sesedikit mungkin berurusan dengan pisau dan perkara
tahun 1986 dalam kegiatan Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus
58
(OPSPEK), nama alias perpeloncoan, yang melelahkan, kadang-kadang
harus dialami setiap mahasiswa baru. Akan tetapi, ajaib juga setelah bertahun-
tahun saya mulai menikmati kegiatan itu sebagai sebuah kenangan dari banyak
Pagi itu saya melihat seorang gadis kurus, berkulit terang, berambut lurus,
mahasiswi satu fakultas dan satu jurusan, seangkatan dan sesama korban
- Ada apa?
- Lalu kenapa?
sendiri—isinya yang asli telah saya pindahkan ke botol lain dan saya ganti
dengan sirup stroberi—dari kotak kertasnya dan saya berikan kepada Ratna
Nanking masih memeluk Budha ketika menikah dengan ayahnya yang Muslim
dan asli Garut. Dua tahun setelah pernikahan mereka dan setahun setelah anak
pertama mereka lahir, ibunya sukarela masuk Islam. Keluarga kecil itu kemudian
pindah ke Bandung.
Ayah dan ibu Ratna memulai usaha mereka di Bandung dengan membuka
toko kelontong dan lambat laun mencoba pula merambah bidang-bidang usaha
59
lain hingga akhirnya tumbuh menjadi sepasang suami isteri yang sukses
mengelola perusahaan kurir dan jasa angkutan. Kepandaian Ratna memasak, saya
- Ambillah.
- Kamu gimana?
dalam tas yang terbuat dari bekas kantung terigu. Tas wajib bagi para pelonco
seperti kami.
- Nuhun.xi
Di dalam gedung, pada saat pemeriksaan, saya ketahuan! Bukan saja kena
marah, saya digiring keluar seorang panitia berbibir muncul berkepala gundul
bawah bentakan-bentakan, di lapangan bola voli yang keras, saya dihukum push-
up seratus kali dan sit-up lima puluh kali. Masih belum puas, ia menyuruh saya
jalan jongkok dua puluh lima kali putaran dan lari juga dua puluh lima kali
putaran mengelilingi gedung olahraga yang kumuh itu. Kemudian, senior sangar
dan gundul itu yang terheran-heran karena saya yang waktu itu bertubuh tipis dan
masih memiliki perut yang sangat rata tidak juga pingsan membawa saya kembali
ke dalam gedung, menyuruh saya berdiri tegap dalam sikap sempurna dan kaku di
60
atas pentas yang biasa digunakan untuk pertunjukan kesenian selama dosen-dosen
penatar menyampaikan materi P-4xii hingga datang waktu istirahat makan siang
bersama para terhukum lain karena dosa serupa atau dosa yang lain.
Sesekali saya lihat Ratna, nun jauh di sana, di negeri cahaya kunang-
tengah rimba kesunyian kekal dan bisu enam ratus mahasiswa baru fakultas saya,
duduk bersila atau bersimpuh di atas ubin yang dingin, menoleh ke arah saya,
Ketika waktu istirahat tiba, ketika orang lain berbaris ke luar gedung, di
jalan! cepat! pemalas kalian! cepat! cepat! tunduk! tunduk! tunduk! tunduk!
tunduk! jalan!” para senior Neo-Nazisme bertampang bengis yang tiba-tiba saja
muncul dari kerak neraka, Ratna menyebal keluar dari barisannya, berlari ke arah
pentas, bergegas naik, dan memegang kedua lengan saya. Sepasang telapak
tangis).
- Pusing.
- Kita makan berdua, ya? Mau, ya? Saya bawa rendang…. Mama
yang masak….
61
Dari langit segala huru-hara tiba-tiba terdengar suara guntur: “Hey!
Romeo! Juliet! the show is over. Cepat turun! Siang-siang pacaran. Masuk barisan
kalian. Cepat!”
kuat dari Semelexvii ketika berseru kepada Zeus untuk menampakkan diri dalam
wujudnya yang asli. Si pembentak itu mahasiswi satu fakultas lain jurusan, seksi
acara, angkatan 1985. Namanya Meita Intania. Kelak saya tahu membentak
Sejak peristiwa obat merah itu saya menerima limpahan perhatian dan
kasih sayang Ratna. Ratna-lah, dan bukan ibu saya yang sebenarnya seorang
master dalam urusan mengolah makanan, yang membuat saya memiliki hobi
keempat: memasak (waktu itu saya sudah punya tiga hobi lain: memancing,
Selain masakan Sunda yang rata-rata mudah diolah karena serba direbus,
dipepes atau digoreng, masakan favorit Ratna adalah sambel goreng udang,
gerinting udang basah, daging masak Bali, ayam kelia, sayur lodeh Betawi,
kambing rica-rica Manado, dan rendang. Memang, gadis Sunda peranakan yang
satu ini lidahnya lebih mirip lidah Padang, suka segala sesuatu yang serba pedas.
rendang khas itu kepada Ratna, dan Ratna menularkannya kepada saya. Apa
62
Membuat rendang sebenarnya mudah sekali, asal punya sedikit kesabaran.
Namun untuk pemula mulailah dengan ½ kilogram daging sapi sebab seberapa
banyak daging yang akan dibuat rendang berhubungan erat dengan peta
perbumbuan yang harus disiapkan secara seimbang dengan banyaknya daging dan
rasa yang pada gilirannya akan menentukan apakah rendang yang kita buat layak
mengisi usus besar kita atau justru lebih sesuai mengisi tempat sampah di dapur
kita. Siapkan pula 4 buah lombok atau cabe merah, 1 potong terasi, 6 siung
bawang merah dan 4 siung bawang putih, 1 ½ sendok teh ketumbar, ½ sendok teh
(gunakan feeling anda, jangan sampai terlalu asam), 2 sendok teh gula, garam
secukupnya (periksa juga feeling anda, jangan sampai keasinan), dan siapkan pula
santan dari satu butir kelapa (boleh juga santan instan). Setelah itu, godoklah
daging sampai setengah matang. Nah, di sini kita akan sampai pada kekhasan
resep rendang ibu Ratna. Biasanya rendang yang sering kita jumpai di restoran-
restoran Padang bentuknya tidak beraturan, ada yang persegi empat, jajaran
ukuran rata-rata sepanjang jari, kira-kira 5 cm. Namun rendang versi ibu Ratna
yang diturunkan kepada anaknya dan ditularkan kepada saya bentuknya indah
sekecil itu membuat saya repot minta ampun karena saya tidak bisa memegang
63
pisau dengan telapak tangan telanjang tetapi harus dengan sarung tangan, dan
mencoba membuat rendang untuk pertama kalinya, terpaksa saya membalut lebih
dulu gagang pisau itu dengan kain serbet, dan kerepotan ini membuat daging yang
saya iris tidak beraturan bentuknya. Melihat kekacauan ini, Ratna menyuruh saya
Rendang ukuran mini itu, kata Ratna, akan sangat membantu nafsu makan
kita, sebab kita tidak perlu menggigitnya berulang-ulang tetapi cukup blam!
santannya habis. Di sini kita sampai pada kekhasan kedua resep rendang ibu
Ratna: anggur putih! Ya, betul, anggur putih, bukan anggur merah. Jangan pernah
kepada ibu Ratna karena saya yakin di masa silam tentu ia telah juga melakukan
eksperimen semacam itu. Masukkan lima sendok makan anggur putih itu ke dalam
larutan santan. Aduklah santan beranggur itu hingga kental benar, terus-menerus,
tanpa terhenti-henti, dengan penuh perjuangan dan ketabahan, sampai kering. Jika
santannya sudah habis dan dagingnya masih kenyal, airnya ditambah dan digodok
Empat tahun yang lalu saya berhenti makan daging yang berasal dari
semua hewan darat dan sejak itu saya tidak pernah makan rendang lagi. Ratna
64
sendiri sudah tidak dapat menikmati rendang khasnya sejak musim haji tahun
1990. Bukan karena ia memutuskan berhenti makan daging dan menjadi seorang
peristiwa itu karena terjadi di kota Mina pada saat para peziarah melakukan salah
satu rukun ibadah haji, melempar jumrah. Tubuhnya tidak pernah kembali ke
Ayah dan ibu Ratna selamat dari musibah itu tetapi tidak pernah dapat
dan setahun setelah kematian ibu Ratna, saya hadir dalam pemakaman ayah Ratna.
Bandung.
seorang sahabat saya di masa lampau, menjadi kenyataan, seharusnya saat ini saya
dan Ratna sudah memiliki tiga orang anak. Yang pertama perempuan, lahir tahun
1992; yang kedua laki-laki, lahir tahun 1995; yang ketiga perempuan, lahir tahun
1998. Kami sekeluarga hidup bahagia. Saya bahagia sebagai suami Ratna dan
sebagai seorang ayah dari tiga anak; Ratna bahagia sebagai isteri saya dan sebagai
seorang ibu dari tiga anak; ibu Ratna bahagia sebagai nenek dari tiga cucu; ayah
Ratna bahagia sebagai kakek dari tiga cucu; dan anak-anak berbahagia
65
Nama ketiga anak saya yang tidak jadi dilahirkan dari rahim Ratna itu
adalah: Evita Lina Kurniasari, Fauzy Dylan Pandita, dan Sinta Wulan Banondari.
kesepakatan saya dan Ratna. Lina Kurniasari: nama ibu Ratna. Dylan Pandita:
Dylan Pandita, kakak Ratna, meninggal pada usia sangat muda: 10 tahun.
berlumuran darah di dapur. Ibu bunuh diri. Menggorok lehernya sendiri dengan
pisau daging. Ibu tidak pernah bisa menerima kenyataan suaminya mati di tangan
anaknya sendiri.
MESKIPUN sejak kecil saya enggan berkelahi, bukan berarti saya tidak
pernah terlibat duel, perkelahian satu lawan satu. Selama hidup saya, saya pernah
dua kali bertarung. Perkelahian pertama terjadi ketika saya berumur 12 tahun.
Waktu itu saya masih anak kelas 6 SD. Perkelahian kedua terjadi ketika saya
duduk di kelas terakhir SMA. Dalam perkelahian pertama lawan saya adalah
seekor anjing, dan pada perkelahian kedua lawan saya adalah suami ibu saya
sendiri.
Guru wali kelas saya waktu SD adalah seorang lelaki separuh baya berkulit
petualangan dan tamasya. Fotografi bukan saja hobinya melainkan juga hidupnya.
dan berat.
66
Setiap kenaikan kelas ia selalu membawa kami pergi piknik.
Di kelas 3, Pak Suminto, nama wali kelas kami itu, membawa kami
tamasya ke Situ Aksan. Itulah satu-satunya situ (danau) yang masih tersisa di kota
Bandung. Sekarang sudah punah, sudah tidak ada bekasnya lagi dan telah lama
Tamansari. Sampai sekarang kebun binatang itu masih menjadi tujuan melancong
favorit warga kota Bandung dan sekitarnya. Pada hari Raya Idul Fitri dan
beberapa hari sesudahnya tempat itu berubah menjadi lautan manusia sehingga
jangan heran apabila mungkin membuat kita bingung apakah para pentamasya itu
yang sedang melihat kaum binatang atau hewan-hewan di kebun itu yang sedang
melihat kaum manusia. Konon, sejak kebun binatang itu berdiri, saya sendiri tidak
percaya kisah ini, ada kebiasaan aneh dari para wali kota terpilih untuk segera
setelah usai dilantik pergi ke kebun binatang membawa sekantong kacang asin dan
memberikannya dengan penuh perhatian dan ketulusan yang luar biasa kepada
orang utan di kebun binatang itu. Apakah kebiasaan ini semacam simbolisme,
bahwa kelak selama mereka memegang jabatan publik itu mereka akan
(ape)? Monyet dan kera yang terbagi-bagi lagi jenisnya menjadi bermacam-
macam itu adalah mahluk primata. Orang utan, misalnya, termasuk ke dalam
golongan kera.
67
Primata ini aneh. Merekalah satu-satunya kelompok binatang yang kedua
matanya berada di depan, bukan di samping. Mereka hewan berotak besar, ini bisa
diartikan cerdas, yang dapat berjalan tegak sebagaimana manusia, dan semua ibu
jari mereka baik yang di tangan maupun yang di kaki dapat ditekukkan untuk
menyentuh jari-jari lainnya. Ibu jari kaki manusia tak bisa melakukannya. Nah,
kembali ke perbedaan antara monyet dan kera itu, inilah perbedaannya: monyet
waktu itu tanaman eceng gondok belum merajalela. Orang masih bisa leluasa
berakit-berakit di sana.
Cangkuang namanya. Sewaktu pergi piknik ke candi itu, saya baru saja mengubah
model rambut saya yang lurus dengan gaya yang sedang sangat populer pada masa
itu. Gaya John Travolta (dalam Saturday Night Fever). Musik disko juga sedang
sama populernya. Nah, teman saya yang tergila-gila pada gaya goyang disko John
John. Maka, kalau anda pada suatu ketika melihat album foto saya, pada salah
sebuah foto berwarna yang sudah memburam anda akan melihat ada seorang anak
bertubuh paling kecil di antara teman sekelasnya sedang bergaya di depan Candi
dirinya tak lain tak bukan adalah John Travolta. Tentu saja si kurcaci itu tak
Ketika model rambut saya masih menyerupai gaya raja disko itulah saya
berkelahi dengan anjing itu. Anda tak perlu percaya pada fakta yang, terus-terang
belum pernah saya ungkapkan kepada siapa pun kecuali kepada anda: anjing itu
bisa bicara! Ya, bicara dalam bahasa manusia. Layaknya saya bicara kepada anda
sekarang ini.
Kalau anda suka di dalam mini bar itu saya lihat ada Heineken. Saya kira
dapat sedikit menghangatkan tubuh anda. Atau apa perlu memesan minuman lain
jenis dari layanan room-service? Anda boleh memesan Chivas Regal kalau anda
mau. Kalau anda meminumnya dengan takaran yang tepat, tidak berlebih,
minuman itu dapat membuat mata anda terbuka sepanjang malam tanpa membuat
anda mabuk. Jangan, sebaiknya jangan Martini. Anda tentu tahu apa akibatnya
bagi daya rangsang adrenalin. Saya kira Martini hanya cocok diminum pasangan
yang sedang berbulan madu. Lagi pula tak ada Martini yang enak di hotel mana
pun. Martini yang pas sampai ke hati hanya mungkin didapat bila kita meraciknya
sendiri. O, tidak. Terima kasih. Sehari setelah pesta perkawinan saya dengan
Meita Intania, saya berhenti minum minuman yang mengandung alkohol. Bukan.
Bukan karena saya penganut agama yang saleh. Saya kira agama saya cuma
agama KTP. Sekadar formalitas. Ya, tentu saja saya percaya Tuhan, seperti saya
69
percaya di dunia lain ada surga dan neraka dan di dunia ini selain manusia ada
juga jin. Saya sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali saya pergi ke masjid dan
kapan terakhir kali saya melakukan shalat. Saya berhenti minum karena saya
usai. Itu terjadi ketika saya masih duduk di tahun-tahun pertama perguruan tinggi.
Apabila tak ada di antara teman-teman lama saya yang pernah melihat saya
mabuk atau memegang botol minuman, itu karena saya mengatur urusan ini
dengan tertib sebagaimana dengan tertib pula saya mengatur urusan-urusan saya
yang lain. Saya tak pernah mabuk di depan umum. Mabuk bagi saya urusan
pribadi sebab saya mabuk bukan untuk membuktikan apa pun. Misalnya untuk
membuktikan bahwa saya pemberani. Mabuk saya juga bukan untuk meraih
kenikmatan sesaat. Saya biasa mabuk di kamar tidur saya di malam hari ketika ibu
saya dan pembantu kami, Bi Encum, sudah nyenyak tidur. Pagi-pagi sekali saya
bangun, dan ketika ibu saya keluar dari kamar tidurnya dan Bi Encum sedang
sibuk di dapur, saya sudah terlihat segar. Mabuk saya adalah mabuk pelarian,
eskapisme. Ketika saya merasa tak perlu lagi melarikan diri karena saya sudah
menemukan pelabuhan untuk pelarian diri saya, Meita, saya berhenti mabuk. Saya
sangat menyedihkan jika hidup saya seluruhnya putih atau seluruhnya hitam.
Apabila itu yang terjadi, saya tak akan pernah sampai-sampai pada hakikat
sendiri. Meskipun Meita sudah tidak lagi menjadi pelabuhan saya, kami bercerai
beberapa bulan sebelum ibu saya bunuh diri, sekarang saya sudah sangat matang
70
dalam menghadapi persoalan apa pun, jadi saya tak akan pernah melarikan diri
lagi. Tapi, who knows? Siapa yang dapat mengira kejadian berat tak
tertanggungkan apa yang mungkin menimpa seseorang? Jika hal itu terjadi lagi
kepada saya, dan ternyata saya menganggap melarikan diri sebagai satu-satunya
jalan yang mungkin untuk menyelesaikannya, saya sudah berjanji tidak akan
melarikan diri saya lagi ke haribaan alkohol. Saya akan melarikan diri ke tempat
lain. Ke sesuatu yang lain. Nah, saya kira pesanan anda sudah datang. Tolong
bukakan pintu dan beri pelayan itu tip. Ada beberapa pecahan ribuan di atas meja
WAKTU itu saya kebelet kencing. Saya pergi mencari kamar mandi
umum yang letaknya agak jauh berada di luar komplek candi. WC umum itu
memiliki empat bilik, tampaknya tak dibedakan mana bilik untuk laki-laki dan
mana bilik untuk perempuan. Bilik pertama terisi, bilik kedua dan ketiga tidak ada
airnya, sedangkan bilik keempat yang saya masuki walaupun ada airnya namun
warna dengan kata-kata rucah, jorok, dan aneh-aneh. Kecuali orang gila atau
orang yang kepepet masturbasi, saya kira tak seorang pun manusia waras mau
Begitulah setelah hajat saya terpenuhi saya segera keluar, dan baru
beberapa langkah saja saya menjauh dari pintu WC itu ketika saya menangkap
sepasang mata merah saga sekor anjing besar berbulu coklat memandang saya
71
dengan tatapan memusuhi. Air liur tak henti-henti menetes dari lidahnya yang
menjulur, dan kemudian dia berkata dengan suara ngirung, sengau. Di tanah
Sunda, kita disebut ngirung apabila terlalu banyak menyisipkan, biasanya bukan
hasil dari suatu tindakan yang disengaja, ny atau ng dalam kata-kata kita.
saya menguasai diri, saya sudah cukup lama dilatih kakek saya yang di masa
- Saya mau makan siang, anjing, dengan teman-teman dan guru saya.
- Tak bisa, manusia. Langkahi dulu mayat saya. Saya mencari kamu
- Saya tidak mengerti, anjing. Urusan apa? Saya baru ketemu kamu
urusan apa pun yang harus diselesaikan antara saya dan kamu,
anjing.
- Apakah kamu sudah gila, anjing. Umur saya 12 tahun. Saya belum
pernah mimpi basah. Penis saya pun belum kuat tegak lama.
anjing. Punya pacar pun saya belum. Asal kamu tahu, anjing, saya
melukai burung dan kecoa pun tak pernah, apakah masuk akal pula
72
saya membunuh kamu, anjing? Lagi pula kalau memang saya
Dayang Sumbi isteri saya yang kemudian kamu paksa untuk mau
dibunuh siapa pun karena cuma akulah yang bisa membunuh diriku
sendiri, manusia.
- O, jadi kamu, anjing, ayah saya. Lalu yang di rumah saya tadi pagi
- Baiklah kalau itu maumu, anjing. Bunuhlah saya kalau kamu bisa,
anjing.
Maka tanpa menunda waktu lebih lama, anjing itu menyerang saya,
menggigit kaki saya. Saya mengangkat kaki kanan saya ke atas kemudian dalam
hitungan detik kaki kanan saya turunkan kembali tepat ketika moncong anjing itu
gagal menggigit kaki kanan saya dan dengan kaki kiri saya yang terlatih saya
menghantam batok kepala anjing itu sampai pecah. Darah muncrat. Duel itu
berlangsung sangat singkat. Anjing yang mengaku ayah saya itu mati. Darah dari
merahan. Tiba-tiba, bangkai anjing itu menghilang dan genangan darah itu
putar melingkari kepala saya sehingga dari jauh kepala saya akan terlihat seperti
Cangkuang.
anjing!”
- Silakan.
Sunda.
- Tidak.
- Tidak.
- Hmm….
- Tidak.
- Waktu Kakak berkelahi dengan anjing itu, Kakak sudah tahu kisah
Sangkuriang?
- Tidak.
- 100%.
anjing?
anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet dan sok polisi: sepi berkelebat
sedikit saja ia sudah panik lalu menyalak keras sekali. Anjing-anjingan sungguh
kalem lagi pemalu – maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh, batu. Entah
sungguhan sehingga anjing sungguhan jadi cemburu. “Aku yang sibuk menjaga
rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!” kata anjing sungguhan kepada
anjing-anjingan. Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor anjing
bertengkar hebat di depan pintu. Dari suaranya aku bisa tahu bahwa anjing
sungguhan makin lama makin frustasi. Aku baru sadar bahwa anjing-anjingan
bisa lebih anjing dari anjing sungguhan. Tapi kalau tidak ada anjing sungguhan,
anjing-anjingku.
- Puisinya lucu.
- Ya.
76
- Itu tidak membuat anda kemudian harus percaya bahwa anjing
yang mengaku ayah saya dan terpaksa saya bunuh, dapat bicara.
manusia, 2 ekor harimau, dan 11 babi hutan. Dari 13 orang yang dibunuh kakek, 5
di antaranya tentara Nipon, 5 orang begal (dalam satu kesempatan), dan 3 orang
Kakek sayalah yang membuat kaki kiri saya dapat membunuh seekor
tidak mendirikan perguruan silat dan oleh karena itu ia tak punya murid.
Sebenarnya disebut sama sekali tak punya murid juga tidak tepat sebab ia
menurunkan ilmunya kepada tiga orang. Orang pertama adalah isteri kakek (nenek
saya) sendiri. Orang kedua adalah anak tunggal kakek (ibu saya) sendiri. Dan
orang ketiga adalah cucu semata wayang kakek yang tak lain tak bukan adalah
saya sendiri.
Nenek sudah menjadi murid kakek sebelum kakek peristeri. Menurut cerita
nenek, pada hari pertama kakek menurunkan ilmunya yang dilakukan kakek cuma
memandang nenek lama sekali. Matanya menyisir seluruh tubuh nenek, dari
77
telapak kaki ke ubun-ubun, lalu dari ubun-ubun ke telapak kaki. Kemudian kakek
memegang telapak tangan kanan nenek, dan berseru: ”Dampal leungeun maneh!
Dampal leungeun maneh nu katuhu! Omat tong dipake sakali oge nampiling
pernah sampai dipakai untuk menampar orang lain. Yang ditampar olehmu pasti
mati.”)
Begitulah kakek selalu dapat melihat di mana inti kekuatan jiwa seseorang
tersembunyi. Menurut kakek inti kekutan jiwa seseoranglah yang membuat orang
itu memiliki kelebihan dari orang lain. Tidak seperti umumnya keyakinan para
pendekar yang menganggap inti kekuatan jiwa seseorang terdapat di dalam hati,
kakek percaya bahwa inti kekuatan jiwa seseorang berada di telapak tangan atau
di telapak kaki (yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri). Apabila latihan-
kekuatan spiritual maka bagian tubuh yang meyimpan inti kekuatan jiwa itu akan
menjadi senjata yang sangat dahsyat. Dapat digunakan untuk membunuh orang
hanya dengan sekali tampar, sekali pukul, atau sekali tendang. Dalam tubuh
anjing, angsa, dan ayam. Ia perempuan Sunda yang sangat lembut yang tak pernah
berpikir selintas pun untuk menyakiti mahluk hidup lain. Bahkan nyamuk
lain, dengan sukarela tanpa dipaksa siapa-siapa nenek memotong dengan telapak
78
tangan kirinya sendiri telapak tangannya yang kanan. Kakek sama sekali tidak
berusaha mencegahnya. Waktu itu, ibu saya belum lahir. Ibu lahir dua tahun
Kakek mulai mengajari ibu ilmu silat ketika usia ibu menginjak 10 tahun.
Tujuh tahun kemudian, kakek menyisir dengan pandangannya yang tajam seluruh
bagian tubuh ibu seperti yang di masa silam dilakukannya terhadap nenek, dari
lembut kepada ibu: “Geulis, kameumeut Apa, omat tong sakali oge dipake
nampiling eta dampal leungeun maneh nu kenca. Tong boro sirah jelema, cacak
batu ge ancur!” (“Putriku yang cantik, jangan pernah menampar orang dengan
telapak tangan kirimu. Jangankan kepala manusia, batu pun hancur bila kena
tamparanmu!”).
Seperti nenek, ibu saya juga seorang penyayang binatang dan tak pernah
menyakiti mahluk hidup lain. Selain memelihara kucing, anjing, angsa, dan ayam,
sejak kecil ibu pun memelihara bebek, ikan, dan kambing. Yang tidak mau ibu
dibiarkan bebas berkeliaran di langit dan biar saja Tuhan sendiri yang
Pada umur delapan belas tahun ibu menikah. Ayah saya meninggal ketika
saya masih berada dalam kandungan ibu. Ibu menikah lagi ketika usia saya masih
satu tahun. Setahun setelah menikah lagi, menyadari akibat yang mungkin
khususnya kepada suaminya (ayah tiri saya) yang bejat dan pemabuk yang sering
79
menyiksa ibu dan memukul kepala ibu tanpa sebab yang jelas, yang tanpa kenal
waktu memaksa ibu melayani nafsu seksualnya kapan pun dia mau (bahkan ketika
ibu dalam keadaan haid), yang di luar pengetahuan ibu punya banyak pacar gelap
dan sekian dari pacar gelapnya adalah para pelacur, ibu dengan telapak tangannya
Seperti ibu, pada umur 10 tahun, saya mulai dilatih kakek ilmu silat. Persis
seperti yang dialami ibu, pada umur saya yang ke-17 tahun kakek menyisir dengan
pandangannya yang tajam seluruh bagian tubuh saya, dari ubun-ubun ke telapak
kaki, dari telapak kaki ke ubun-ubun, lalu berteriak: “Incu aing, kameumeut aing!
Suku kenca anjeun! Suku kenca anjeun! (Cucuku, kesayanganku! Kaki kirimu!
Kaki kirimu!)”
penjelasan apa pun lagi. Saya segera paham bahwa inti kekuatan jiwa saya ada di
(telapak) kaki kiri saya. Menyadari itu, saya bangga sekaligus sedih. Bangga
saya, sedih karena saya tahu dengan (telapak) kaki kiri saya itulah suami ibu (ayah
kiri saya. Saya tak bisa lagi menanggungkan rasa sakit dan menahan amarah saya
yang terpendam bertahun-tahun kepada ayah tiri saya yang memperlakukan ibu
saya seperti hewan. Sebenarnya kakek bisa saja dengan santai membunuh ayah tiri
saya seandainya kakek tidak terikat sumpah setahun setelah membunuh 3 orang
80
komunis bahwa ia tidak akan membunuh orang lagi. Sebagai jawara yang terikat
etika kependekaran, kakek tak bisa tidak harus memegang sumpahnya. Lagi pula
jika kakek melanggar sumpah, bencana besar akan segera datang menimpa bukan
besar tetap menimpa kami. Bagi saya, bencana besar itu dimulai sejak pertarungan
saya dengan ayah tiri saya: sejak hari itu ibu tidak pernah mau berbicara lagi
dengan saya, tak mau lagi tersenyum kepada saya, tak mau lagi menatap saya, tak
- Waktu Kakak membunuh anjing gila itu, usia Kakak masih dua
- Kok sudah bisa membunuh anjing itu sekali tendang dengan kaki
kiri? Bukankah kakek Kak Kafka baru tahu inti kekuatan jiwa
Tetapi inti kekuatan jiwa itu sendiri sudah terdapat dalam diri
rahasianya, Kak?
- Dia siapa?
- Menunggu.
- Menunggu?
- Apakah kakek Kak Kafka tidak bisa meninggal dengan cara yang
83
2
84
Le Petite Soska
85
April – Desember 1999
keluar dari KONTRAS dan akan terjun sepenuhnya di dunia politik. Kawan-
Freedom for Asian Foundation di Indonesia, semua urusan hukum yayasan itu
Ibu yang bertahun-tahun tak pernah lagi mengajakku bicara, ibu yang
bertahun-tahun tak mau lagi tersenyum kepadaku, ibu yang bertahun-tahun selalu
di sebuah desa di Subang siang itu, tinggal aku dan kakek yang tersisa. Kami
berdua mematung dalam diam yang asing hingga udara panas tengah hari berubah
menjadi udara sejuk senja hari. Hujan gerimis, dan di kejauhan desir halus arus
Meita menginterlokal, turut berduka cita, dan mohon maaf tidak bisa ikut
orang.
persoalan selesai, jika bukan karena HD yang memberiku kabar dan menyuruhku
menerima bocoran informasi bahwa ia, aku, dan sejumlah nama lain telah
dikelompokkan militer (entah militer yang mana, banyak sekali friksi dan faksi di
Sejumlah aktifis PRD yang dibredel Soesilo Soedarman dua tahun yang
SFM dan WT, keduanya penyair yang banyak menulis puisi yang berpihak
kepada rakyat kecil dan tertindas, raib. Diculik juga? Dibunuh? Entahlah. Kontak-
terkesan didramatisasi, dan harus dikonfirmasi ke berbagai sumber lain yang dapat
Aku kasihan kepada Meita, meskipun dia sendiri tidak pernah mengeluh,
Kegaduhan seperti ini merupakan hal baru baginya yang terbiasa dengan suasana
serba tenang dan tertib bagi lima tahun perkawinan kami yang bagai lautan cinta
yang tak pernah mengenal pasang surut. Ya, meskipun hingga saat ini Meita
87
belum diberi tanda-tanda akan memberiku anak. Pengalamannya menjadi aktifis
terjadi bertahun-tahun yang lalu, sebagai panitia OPSPEK yang membuatnya jatuh
Ah, betapa setelah Ran di masa yang jauh—masa yang telah menjadi
begitu saja dariku, aku tak pernah berhenti mencintai Meita, perempuan yang
Sepanjang hari orang-orang datang dan pergi. Setiap malam ada saja
Kemarin malam dua orang tokoh mahasiswa UI sayap kiri mampir ke sini,
menginap semalam, dan baru pulang pagi tadi. Mereka menceritakan situasi
terakhir (versi mereka) gerakan mahasiswa di Jakarta dan peta aliansinya dengan
Yang menarik adalah Amien Rais saat ini mengumpulkan dalam dirinya
Dua kamar kosong di rumah kami dua hari yang lalu menjadi tempat
bermalam enam mahasiswa dari Semarang dan Salatiga. Pagi ini mereka
Nita, Reza, Yuli, Agus, Doddy, Anwar, Nanang, Eko, Adi, Jajang, Dadan, Imran,
Harun, Budi, Zaky. Kecuali Jajang dan Nanang yang mahasiwa UNSIL, Tasik,
yang kanan ada yang tengah ada yang kiri. Ada yang merah, oranye, putih, dan
sepuluh tahunan lalu. Aku (dan Rukmana) cuma ingin membantu mereka yang
sedang berhadapan langsung dengan tembok raksasa rezim itu dengan cara kami
sendiri yang harus kami akui kecil sekali kontribusinya. Ini terutama berulang-
ulang kukatakan kepada Ismet, Nita, Budi, Doddy, Anwar, Asep, dan Nanang.
Tan Malaka melebihi pemujaan Anwar terhadap Imam Ali, menjadi seksi sibuk di
dan kopi. Anak muda gondrong yang jangkung, ceking, pendiam, berwajah
flamboyan namun jarang mandi dan selalu bersepatu lancip dan berikat pinggang
kulit dengan gesper metal berbentuk tengkorak dan dikenal memiliki banyak pacar
ini, suka menulis puisi. Seminggu yang lalu, ia memintaku membaca seratusan
sajaknya. Baru selesai kubaca kemarin. Membaca puisi-puisinya, aku pikir, Ismet
dan Rukmana.
Menyesakkan dada: kami hampir putus asa mencari kepastian nasib Yani
salah seorang martir dalam penyerbuan militer dan orang-orang suruhan Suryadi
ke kantor PDI pimpinan Mega, 27 Juli 1996. Akan tetapi, seorang sahabat
Rukmana, FM, kenalan Yani dan juga kenal dengan sejumlah orang di lingkaran
dalam PRD, menduga kemungkinan besar Yani saat ini masih berada di salah satu
kamp pertahanan NPA (New People Army), Tentara Partai Komunis Filipina, di
Basilan.
mengunjungi kamp-kamp itu bahwa sejumlah aktifis komunis berusia muda dari
Indonesia (dan beberapa negara lain) sedang dilatih NPA. Seorang sersan NPA,
yang memimpin sepuluhan anak muda Indonesia lain seusianya atau sedikit lebih
muda darinya yang datang ke kamp pelatihan Thomas di Basilan pada bulan
duka kami. Ia dan isterinya meninggal empat tahun lalu. Pada suatu subuh hujan
90
deras yang licin dan angker, mobilnya ditabrak truk kontainer. Di jalan tol
Lain-lain:
beruntun.
mohon maaf. Anaknya sudah tiga, dan katanya sambil ketawa-ketiwi, “Windy
Terus terang aku agak rendah diri di depan Rukmana yang sekarang. Ia
kuliah lagi, mengambil S-1 hukum pidana di sebuah perguruan tinggi swasta dan
mengambil gelar doktor di UI. Tapi bukan karena itu. Yang membuatku agak
Kuat, kukuh, keras. Tak mengherankan bila di kalangan pengacara muda Jakarta,
koran atau televisi, seperti Munir, aku punya dugaan kuat, Rukmana-lah yang
91
sebenarnya menjadi konseptor dan otak dari sepak terjang lembaga pencari orang
Dengan Hans, sejak kami lulus tahun 1992, aku hanya sekali pernah
tetapnya tidak jelas. Entah di mana. Mobilitas fisiknya tetap tinggi. Ia dan
militan di Pulau Jawa. Ia banyak berkeliling dari kota ke kota, kampus ke kampus,
Hans dan Rukmana punya cara berbeda untuk mengatasi persoalan seksual
Ya, aku pikir, dan aku percaya, masing-masing orang punya kelemahan
dan kelebihan. Selalu ada unsur malaikat dan iblis dalam diri setiap orang. Namun
di dalam diri Hans, aku sama sekali tidak melihat kelemahan. Tidak ada unsur
iblis sedikit pun di dalam dirinya. Tingkat keimanannya kepada Allah sudah
sampai pada apa yang dikatakan Nietzsche sebagai das Heiligste und Mächtigste.
itu, yang terakhir ini akan punya a living model untuk konsep manusia adikodrati
92
yang diidam-idamkannya: űebermencsh. Seorang penulis komik dari negeri yang
Aku menduga aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai kota telah
Dalam sejarah kerusuhan di mana pun di dunia ini yang pertama kali
kawasan perang. Batu, petasan dan bom molotov berseliweran. Kabar terakhir
yang kudengar korban tewas dari kalangan sipil mulai jatuh: Moses Gatotkaca.
93
Menghadiri pameran lukisan.
Menurut Amelia Chandra, satu dari tiga orang pemandu tamu pameran
tersebut, lukisan-lukisan itu dijual dengan sistem lelang dan akan diberikan
kepada penawar tertinggi yang baru akan diketahui pada hari penutupan pameran
dua hari lagi. Seluruh hasil penjualan lukisan akan digunakan untuk mendanai
anggun dan mewah. Aku langsung jatuh cinta pada lukisan itu.
Amelia menelefon. Lukisan itu dan sepuluh lukisan lain dengan ukuran
yang lebih kecil dan harga yang lebih rendah yang kubeli dengan nama-nama lain
Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto. 12 Mei. Siang itu ribuan mahasiswa bergerak
94
Semalaman menelefon kawan-kawan: AFM, Romo D, BAW, Rukmana,
Aku mencoba menelefon GM, tak bisa masuk. Telefonnya sibuk terus.
Aku men-dial telefon genggam FM yang dipercaya punya akses langsung kepada
kalangan aktifis atas dan aktifis bawah, aktifis veteran dan pemusik HR, YS, HD,
perkembangan baru. Turbulansi politik sudah bukan dalam hitungan hari atau jam,
tetapi menit.
sela-sela rapat, Nita yang sedang menyusun skripsi dan belakangan kuketahui
menelefon.
Akhirnya. Ya Tuhan!
Inilah kerusuhan terbesar yang pernah terjadi di negeri ini sepanjang abad
ke-20.
95
Menurutku yang ditunggu-tunggu rakyat yang sudah muak pada rezim ini
Kabar terakhir dari HR dan dikonfirmasi TS dan HD: SFM tidak diculik.
Aku telah membaca semua buku SFM. Aku berharap suatu saat dapat
pengagum beratnya.
WT mungkin Camus yang lahir di negeri yang keliru. Di masa yang keliru.
Aku tak pernah lupa kata-katanya: “Hanya ada satu kata, lawan!” seperti dulu
Camus berkata: “Aku melawan, jadi aku ada”. Ia masih belum jelas nasibnya.
sumber intelijen yang layak dipercaya” ia dijemput satu unit kecil pasukan elit
Mr. Coultier, seorang tokoh Partai Buruh Australia. Kontakku yang lain lagi
Sejauh ini yang sudah dapat dipastikan tewas 15 orang. 7 mahasiswa dan 8
rakyat biasa. Aku tidak yakin dengan jumlah korban tewas ini. Melihat cara kerja
militer yang sangat metodis dan sitematis di dalam sejarah konflik di Indonesia,
aku yakin korban tumbal Sidang Istimewa yang berjatuhan di Semanggi jauh lebih
banyak.
Aku tak pernah ingin menceraikan Meita tetapi dia juga punya hak untuk
basah.
Bu Winarti masih ingat ketika aku datang kepadanya lebih kurang dua
Kukatakan kepada beliau tak ada lagi rasa rendah diri, dan keraguan
tentang penjurusan dulu itu tak beralasan karena ternyata aku tak salah pilih.
98
Tetapi kukatakan kepada Bu Winarti bahwa kau tetap hidup dalam hidupku,
“Eh, ketemu lagi, doain aja deh aku…” begitulah kau lontarkan kata-
katamu. Ran, aku mencintai kamu. Kamu pernah tahu. Kini pun aku masih
Yey! Rupanya kau belum mandi. Belakangan kau bilang baru saja beres-
beres dan menguras bak mandi. Agak lama kau baru kembali, membawa nampan
dengan dua gelas sirup markisa di atasnya. Kau tampak segar. Habis mandi, sih!
Daftar lagu yang direkam kembali dalam satu kaset. Khusus untukmu,
Ran.
Side A: All the Way (Sammy Davis Jr.); Here Comes the Sun (The
Beatles); Blueberry Hill (Skeeter Davis); All My Love (Cliff Richard); Honesty
(Billy Joel); Moon River (Jerry Butler); Sunshine on My Shoulder (John Denver);
Early Morning Rain (Peter, Paul & Mary); To Love Somebody (Bee Gees); One
Side B: When I Falling Love (Nat King Cole); If Not for You (George
Harrison); Bridge over Troubled Water (Nana Mouskouri); Goodbye to the Island
99
(Bonnie Tyler); Moonlight Eyes (Nazareth); Scarborough Fair (Simon &
Ran, kamu sangat suka Goodbye My Love. Masih ingat ketika pada suatu
sore sehabis rapat OSIS kita pulang bareng jalan kaki hingga Astanaanyar?
ayahmu itu.
(3 April 1986)
Akhirnya!
Ran, aku terkejut ketika diberi tahu Bu Winarti, pagi itu juga, bahwa kita
akan berjalan paling depan, berdampingan, memimpin barisan para lulusan tahun
ini.
Menurut Bu Winarti, pilihan jatuh ke tangan kita karena selain kita berdua
aktifis dan pernah memimpin OSIS (aku ketua, kau sekretaris) juga karena
memilih memakai pakaian adat Sunda hingga akan terlihat lebih sesuai dengan
100
Sukar kulukiskan perasaanku, berdampingan dengan seseorang yang sejak
Banyak yang membuatku bahagia hari itu meskipun tentu saja yang paling
Winarti.
NEMxviii ke-3 terbaik, dinyatakan sebagai siswa teladan bersama dua siswa lain,
mendapat piagam penghargaan sebagai aktifis OSIS. Dan juga yang sudah kamu
Tentang yang terakhir ini aku teringat pada suatu hari ketika Bu Riris
“NEM setinggi itu! Sayang kalau cuma masuk IKIP,” kata Bu Riris.
takdirmu. Mungkin kamu akan menemukan jalanmu sendiri. Tapi ibu tetap yakin
kamu tak akan pernah bisa menjadi guru meskipun kamu masuk IKIP dan lulus
101
Bu Riris memintaku naik ke atas panggung, bersama teman-teman lain
yang lulus PMDK juga. Ucapan selamat dan jabat tanganmu yang tulus
membahagiakan aku. Aku minta izin padamu. Kau mengangguk dan tersenyum.
Cintaku Jauh di Pulau (Chairil Anwar), Surat Cinta; Di Beranda Ini Angin Tak
Like a Red Red Rose (Robert Burns), Present in Absence (John Donne), Stanza;
Hutan Bogor (Rendra), Bunga; Sungai Bening (Sitor Situmorang), Langit Ungu
Aku tidak akan pernah berhenti berterima kasih kepada Bu Winarti yang
dalam hatiku akan selalu menjadi guruku tersayang. Sejak di kelas satu beliau
buku sastra (novel dan kumpulan puisi), baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia
maupun Inggris. Beliau tahu aku suka membaca dan nilai bahasa Inggrisku sejak
Sepucuk surat singkat dan kartu lebaran yang dibuat sendiri datang tadi
sangat indah dalam hatiku. Sebuah lukisan cat air: rumpun bambu, gunung yang
sagala kalepatan abdi.xx Nb: Terima kasih untuk kaset dan “19 Sajak Cinta” itu.
itu aku lebih suka berdiri di halaman, memandang sekitar. Gerimis turun. Ranting-
ranting pohon dan bunga-bunga basah. Hamparan rumput di taman lembut dan
Tiba-tiba ibumu keluar dan menyuruhku masuk. Aku gugup, “Monggo, eh,
mangga, Bu.”
baik, Ran. Kemudian kau datang berbaju putih, berenda motif kembang-kembang
yang dipadukan dengan rok panjang hitam. Paduan warna yang semakin
When somebody loves you, it’s not good unless she loves you. All the way.
Happy to be near you, when you need someone to cheer you. All the way. Taller
than the tallest tree is that’s how it’s got to feel. Deeper than the deep blue sea is
that’s how deep it goes if it’s real. When somebody needs you, it’s no good unless
he needs you. All the way. Through the good or lean yours and for all the in-
between years, come what may. Who knows where the road will lead us. Only a
fool would say. But if you let me love you, it’s for sure I’m gonna love you. All the
Till a’ the seas gang dry, my dear, and the rocks melt wi’ the sun: And I
will love thee still, my dear, while the sands o’ life shall run (Burns).
Ran, saat pamit pulang kepadamu hatiku panas dengan bara, jiwaku
pusing, kepalaku pedih. Hanya ada dua kalimat dalam dadaku: Aku tidak ingin
kembali, ke rumahmu. Dan saat tiba di depan pintu rumahmu, hari telah berubah
cepat. Aku tatap matamu dan lepaslah dua kalimat itu: “Aku tidak ingin kamu
menunduk.
gone.
Langit rebah.
(2 September 1986)
Tentu saja tak ada masa lalu yang paling membekas hingga kini selain
(9 Januari 1987)
kagum dan sering dibuat terkejut oleh begitu pekanya hati mereka.
Ran, bagi mereka dunia gelap. Namun, hati mereka berlimpahan cahaya.
menyisipkan dua helai kartu pos. Ada La Maire dan L’Eglise. Ada juga Rue Jean
… I send you postcards because I had promise you. You remember?? Yes,
you, the most important thing that you write me…. I hope these postcards enjoyed
sky. I’ve heard your country, a big and nice one. And Bali. Would you like to tell
me more about this Goddess Island? I like my place, Livorno. Someday you must
penuh kalimat-kalimat berirama seperti pantun (bahasa Italia?) yang aku tidak
Ran, hari ini secara resmi, bagi kami, masa kuliah semester II telah
berakhir. Aku tak pergi ke kampus. Kemarin membayar SPP dan iuran
Ada juga Fahmi Iskandar (Fais) dan Abdullah Mahfuz (Afuz). Kami diskusi.
Kenyataan bahwa meskipun aku dan Ratna satu jurusan tetapi berbeda program,
banyak menyebalkan….
Bertemu Meita Intania yang usianya dua tahun lebih tua dariku dan yang
entah kenapa tiba-tiba berbicara panjang lebar tentang masalah pribadinya. Aku
Kamu, Ran.
Nirwan Nazir perihal nilai-nilai ujianku. Ternyata benar. Nirwan memang orang
108
jujur. Bahasa Inggris: A. Bahasa Indonesia: A. Hukum Islam: A. Pengantar tata
Masa berkabung “12 Juli” selama satu tahun, telah kuakhiri tiga hari lalu.
Kadang-kadang aku bertanya: Apakah aku masih waras? Atau sudah gila?
Akhirnya aku bercerita tentang Ran kepada orang lain. Kepada Ningrum
dan Nirwan. Aku tak ingin melukai perasaan Ratna, sahabat tersayang mereka
berdua.
seangkatan umumnya tak mengerti; para senior ada yang tak setuju,
mengacungkan jempol, mendukung, ada juga yang tiba-tiba membenci (aku baru
berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa. Seorang peserta
dari kampusku juga. Keningnya yang luas, kedua matanya yang cekung, wajahnya
banyak hal, aku mengambil kesimpulan lagi: baginya persoalan seberat apa pun
Kuajak Rukmana Ekajati, anak Sejarah, dan Hanson Sihombing (seorang mualaf,
redaksi, tukang fotokopi, penulis, sekaligus loper buletin empat halaman itu. Edisi
“seorang agen dari kekuatan politik yang besar dan tidak kelihatan”.
110
Rezim ini telah suskes menciptakan generasi penakut dan pencuriga. Ran,
power tends to corrupt and the absolute power tends to corrupt absolutely?
umumnya, termasuk mahasiswa kampusku, dan menjadi salah satu topik yang
kami bahas dalam pertemuan pemimpin informal mahasiswa se-Jawa yang lalu.
Dan di sini, di kampus ini, aku kerap merasa bosan. Suasananya terlalu
tenang dan sumuhun dawuhxxii. Mereka pikir karena mereka “cuma” akan jadi
Ada seorang dosen muda yang sering bicara panjang lebar tentang
demokrasi namun sangat text-book thinking. Buku teksnya dari zaman dia
111
tangan jurusan untuk menekan mahasiswa membayar iuran himpunan atau kalau
Ada dosen lain yang kelihatan nikmat sekali setiap kali mengutip kata-kata
Sudah dapat dipastikan Soeharto kembali jadi presiden. Ini bukan hal baru.
ABRI.
nasional. Aku takjub ketika Soeharto berkata “miris” untuk berkuasa lagi dan
minta jika nanti dipaksa turun, jangan lewat ribut-ribut. Namun kupikir pula, ini
kendaraan MPR supaya tidak terlihat inkonstitusional. Aku pikir juga akal bulus
112
1 Oktober yang lalu anggota MPR/DPR dilantik. Ada “kasus Ali Said”
yang tidak biasa dalam konvensi kenegaraan. Gaji dan tunjangan anggota
MPR/DPR naik. Mudah-mudahan mereka tidak lupa bahwa uang gaji dan
tunjangan mereka berasal dari rakyat dan tingkat “kevokalan” mereka harusnya
naik juga. Kecuali jika mereka tidak malu untuk terus-menerus 4N: ndatang,
Ran, aku melihat juga peran ulama di negeri ini terpinggirkan. Sebagian
karena ulah mereka sendiri. Mengeluarkan fatwa tentang porkas saja tidak serius,
lama lagi munculnya. Kudengar bahkan banyak dari mereka yang merasa “aman
Ran, mengapa kau harus menjadi bagian dari hidupku? Mengapa aku tidak
dapat melupakanmu?
What I feel I can’t say but my love is there for you anytime of day. What I
know I can do if I give my love to everyone like you. But if it’s not love that you
need then I’ll try my best to make everything succed. And tell me, what is my life
Kuliah.
Transition (Wertheim). Tapi guru politik dan filsafatku tersayang ini tak mau
Council, pasar buku loakan Cikapundung. Nihil! Padahal Mr. Ismail pun beberapa
kali, jika tak mau dikatakan sering, meminjam bukuku. Yang dua ini bahkan
belum beliau kembalikan: Penelitian Agama (aku lupa nama editornya) dan
termasuk buku baru dalam penelitian sosiologi empiris. Tak apalah. Rupanya aku
lagi “reses”.
114
Aku bertemu kawan-kawan seangkatan, dan memberi mereka pekerjaan
kosnya tidak ada. Tetangganya bilang dia pulang kampung. Sakit kok pulang
kampung….
Ran, kemudian aku ingat kamu lagi. Sampai mampus pun aku ingat kamu.
If not for you, I couldn’t even find the door. I couldn’t even see the floor.
I’d be sad and blue. If not for you, the night would see me wide awake. The day
would surely have to break. It would not be new. If not for you my sky would fall,
rain would gather too. Without your love I’ve be nowhere at all, I’d be lost if not
for you. If not for you, the winter would hold no spring. I couldn’t hear the robin
Ran, aku bangun setengah tiga pagi. Aku mimpi, lama, tidak biasa, juga
buruk. Aku mimpi ketemu kamu. Mengucapkan salam dan duduk lama-lama.
115
Ngobrol. Aku lihat orang lain, Ratna Suminarsari, yang begitu kristal, begitu
lembut, menangis.
Kemarin malam mimpiku sama persis. Tapi yang berdiri dalam diam di
kejauhan memandang kita ngobrol itu orang lain lagi: Meita Intania.
Nanti malam program “sarasehan kopi pahit” dimulai. Kerja sama dengan
hebat dan pengagum berat penyair Sutardji Calzoum Bachri ini adalah ketua
Masih banyak yang ingin kutulis. Tetapi sulit sekali rasanya. Mimpi tadi
Bagi Abdullah Mahfuz, kebenaran mutlak itu diri kita, ego kita, dan di
Menurut Ningrum kebenaran mutlak itu agama dan tidak bersifat relatif
Namun, menurut Nirwan Nazir, kebenaran mutlak itu tidak ada di dunia
ini. Ia akan kita rasakan bila kita sudah mati! Aku bertanya kepadanya: “Apakah
pada saat kita masih hidup kita tidak dapat menemukan kebenaran mutlak?” Ia
kesalahan Faust: menjual jiwa kita kepada Mephisto. Maklum Ran, dia pengagum
Goethe hingga ke ubun-ubun. Seolah-olah cuma dia seorang di dunia ini yang
membaca Faust.
Windy Sudirman berpendapat kebenaran mutlak itu hati nurani. Apa yang
menurut hati nuranimu benar, itulah kebenaran. Bagi Windy kebenaran mutlak itu
juga adalah Kasih yang menuntun manusia pada pembebasan spiritual. Aku suka
Sementara itu, Cecep Syamsul Hari, “si penyair yang mengunci pintu”—
kami menyebutnya begitu karena ia sangat tergila-gila pada puisi dan pendiamnya
minta ampun—bilang kebenaran mutlak itu nonsens. Tidak ada. Kebenaran selalu
klamas-klemes.
utama Seminar edisi ketiga. Bahan dari sumber-sumber lainnya sudah cukup
memadai.
Kuliah kedua. Hukum pidana. Yang masuk asisten dosen tetapi dia tak
Pulang.
117
Sepanjang jalan ngobrol dengan Windy Sudirman. Bercanda berulang kali.
- Kamu baik. Tapi sayang kalau kita dekat, di kelas kita ada yang
cemburu.
- Ada, aja!
- Afuz, ya?
Di kelas kami, gigi Windy yang putih seluruh, berbaris amat rapi, sungguh
tiada tandingan. Mestinya ia jadi model film iklan pasta gigi. Lagi pula wajahnya
Malamnya diskusi “sarasehan kopi pahit” sampai sekitar pukul dua belas.
sering merugikan mahasiswa dan oleh karena itulah dia dianggap “pemberontak”.
118
Pikiran-pikirannya yang cerdas, keluar dari hasil kunyahannya atas bacaan-bacaan
yang cerdas pula, sering dianggap aneh. Karena itu jugalah, konon, dia tidak lulus-
lulus.
Ini jawabanku, Ran: “Ya. Dan sayalah yang memilih warnanya, bukan
Anda.”
bahkan di rumah ini, rumah pemberian kakekku ini. Ia mengurung diri seharian di
kamar. Entah apa yang dikerjakannya. Mungkin bertapa. Untuk urusan itu ibuku
memang ahlinya.
Bukankah rumah ini menjadi damai justru setelah ayah tiriku mati?
Entahlah, aku semakin sering mabuk akhir-akhir ini. Mungkin ibu dan Bi
menarik. Ditulis B.N. Pandly, South and South-East Asia 1945-1979: Problems
and Politics. McMillan Press, 1980. Setidaknya aku membaca “pendapat kedua”
lainnya tentang demokrasi terpimpin Soekarno, revolusi, dan apa yang disebut
Buku itu kandungan isinya hampir sama dengan sebuah bab dalam World
Politic since 1965, ditulis Peter Colvocoressi. Yang aku garis bawahi dan aku
ingat terus dari buku ini, Ran, adalah kalimat berikut (hlm. 317): in a counter
coup, widely believed to have had American aid, something like a half million
communists (including Aidit) or supposed communist were killed and the army
Begitu murahnya nyawa dalam suatu revolusi! Hok Gie bilang sekitar
300.000 orang. Namun sampai saat ini kayaknya hanya rezim ini yang tahu berapa
sesungguhnya jumlah yang mati pada waktu ritus balas dendam itu dilakukan,
Aku sama sekali tidak bangga kakekku pernah menjadi bagian dari ritus
Para tentara itu menyuruh kakek mengambilalih tugas mereka untuk menghemat
pukulan di kepala.
120
Lalu ke perpustakaan daerah di Cikapundung, mencoba mencari (lagi)
Malaikat maut kerja sekaligus kemarin (19 Oktober), sekitar pukul tujuh
pagi, di Jakarta. Tabrakan kereta api. Bintaro. Berita terakhir malam ini, pukul
sembilan, korban meninggal mencapai seratus lima puluh orang, tiga ratusan
Aku sedih sekali. Ran, ternyata bukan hanya pada saat revolusi nyawa
terasa murah.
Hans dan Rukmana kompak sekali. Kelompok diskusi kami mulai jalan
(Syubban) dan Umar Said. Sementara Hans membawa Samiun Salim dan Abdul
Gani Ibrahim (Gani). Keempat orang itu berasal dari UNPAD dan ITB.
“Sumpah Syubban”-nya: “Langit saksiku! Sebelum Soeharto turun aku tidak akan
kawin!”
121
Dicapai sejumlah kesepakatan, antara lain kelompok diskusi kami akan
bergerak di bawah tanah. Tujuan kelompok diskusi kami adalah juga yang
Perjuangan ke arah itu akan memakan waktu yang lama dan kemungkinan
gagalnya sangat besar. Kami tahu siapa yang kami hadapi, tritunggal kekuasaan:
mencapai tujuan itu. Langkah pertama yang akan kami lakukan adalah
lain yang kelak akan menjadi ujung tombak dalam menggulingkan Soeharto.
pematangan pertama untuk arus berpikir itu. Aku mengurus IKIP. Syubban
segera dibentuk. Rukmana, Yani, Umar, Samiun, akan melakukan dan membina
122
(Terpaksa kulanjutkan dengan spidol hijau Bi Encum).
terakhirlah penyebabnya. Pulpen elok nian itu hadiah dari Ratna bulan Juni lalu.
buku.
kecil.
Ia tertawa.
“Jangan yang itu… jangan yang itu… simpan lagi!” jeritnya panik. “Sudah
Mahal sekali.
123
- Aku tidak sebaik yang kamu kira.
memanggilnya Inar) cerita bahwa Afuz sering ke rumahnya. Dan kemarin malam
memikirkannya.”
Nirwan dan Ningrum beberapa waktu lalu, pertanyaan itu hanya tinggal
“Afuz anak baik. Agak childish memang, tapi baik. Tidak ada alasan bagi
124
Inar masih sempat tersenyum manis sekali dan melambaikan tangannya. Ia
Ran, seminggu aku tak menulis. Betul-betul tak sempat. Banyak sekali
yang harus kulakukan. Terkadang ketika kesempatan untuk menulis ada, aku telah
terlalu lelah.
26 Oktober.
kujawab. Lainnya tidak. Aku pikir hasilnya tidak begitu baik. Pulang, langsung
ke Gramedia (dengan Inar) membeli buku Masalah Sosial Budaya Tahun 2000.
27 Oktober.
langsung ke kampus. Janji ketemu Afuz. Ditunggu sampai pukul lima sore Afuz
tidak muncul.
28 Oktober.
Pengakuan Inar: “Aku akan menjadi sahabatmu, dan hanya akan menjadi
rendang!
125
Di ruang kuliah akhirnya aku membahas buku Van Neil, The Emergence
Mula-mula Mr. Ismail tak setuju dan memberiku waktu dua minggu lagi.
Aku bersikeras. Akhirnya aku diperbolehkan maju membahas buku itu. Diskusi
bahwa dasar negara kita itu sangat berbahaya jika ditafsirkan dari point of view
agama.
Duduk di kursinya, di sudut barat yang jauh dan sunyi, Mr. Ismail
bincang sampai beberapa saat sebelum waktu shalat magrib tiba. Akhirnya beliau
meminjamkan Indonesian Society in Transition itu. Namun aku tidak lagi disuruh
membahasnya.
Aku pamit dan mencium punggung telapak tangan Mr. Ismail, dosen yang
paling kuhormati bukan saja di jurusan tetapi juga di kampusku itu; seorang guru
yang kepadanya aku belajar filsafat dan pemikiran agama, dan sebagai murid aku
126
pengetahuan dan mengajarkannya; kabur dari McGill University, Kanada,
mengikuti dorongan hati nurani; menguasai dan fasih berbicara dalam delapan
bahasa asing: Belanda, Jepang, Perancis, Spanyol, Inggris, Jerman, Arab, dan
Persia.
“lingkungan intelektual” yang terlalu kecil untuk menampung pemikir sebesar itu,
Lebih sayang lagi, Mr. Ismail yang berperawakan kecil dan wajahnya
3 November.
September lalu tidak mubazir. Yusuf dan aku memiliki kesamaan pandangan dan
Sayang, hasilnya tak sesuai dengan harapanku. Memang betul kata Afuz:
127
Para pembicara adalah para PR III dari IKIP, ITB dan UNPAD. Ketiga-
tiganya berbicara dengan nada yang sama yang jika disimpulkan membentuk
mahasiswa 80-an saat ini harus dipahami sebagai daripada bagian daripada
9 November.
burangrang
kula datang
teu pisan-pisan
kaendahan nu lawas
anjeun!xxiv
17 November.
128
Ran, tiga orang mahasiswa meninggal dunia dalam kasus helm. Radio
Nederland pagi ini mengupas insiden itu. Rukmana, Gani, dan Syubban
19 November 1987.
lebih jauh “Kasus Ujung Pandang”. Gani, Umar Said, Syubban, hadir. Samiun
berhalangan.
Sehabis diskusi itu, kami berempat: Hans, Yani, aku, Rukmana, berkumpul
menyebelah dengan kantin fakultas tempat kami biasa makan siang. Kepada
formal (himpunan mahasiswa dan senat) di lingkungan fakultas kami dalam satu
dua tahun ke depan. Kujelaskan pula visi, warna, dan implementasinya ke dalam
tidak pada musim pemilihan ketua himpunan yang akan datang mereka bertiga
Blue-print itu pun dibahas kami berempat dengan alot. Perkiraanku, sejauh
129
akan terpilih sebagai ketua himpunan. Kubahas pula rencana B dan C jika rencana
A gagal.
“Saya lebih suka Afuz yang menjadi ketua himpunan. Ia ‘orang kita’ juga.
Namun, saya tidak tahu kalau keadaan memaksa. Kita lihat saja nanti…” jawabku.
di Geografi.”
senat.”
opini publik.
lubang peraturan teknis NKK/BKK. Dan saya kira bentuk yang paling mungkin
adalah unit kegiatan. Sebuah unit pers. Kebetulan saya punya kawan. Namanya R.
Bagus Sartono, angkatan 82, dari fakultas lain, yang bisa membantu kita
orangnya selain dapat diandalkan juga sangat cerdas. Suatu hari akan saya
130
28 November.
Agak sore, ke rumah Inar. Mama-papanya baru saja pergi. Ada undangan
Lepas isya itu, Bi Iroh, pembantu di rumah Inar, masuk ke kamar tidurnya.
Di meja makan, di dapur yang luas dan resik dan beraroma lemon itu, kami
makan malam berdua. Inar tiba-tiba kelihatan manjanya. Kami bercanda dan
bercakap-cakap tentang banyak hal. Ia pembaca yang rakus dan penikmat musik
dan film. Ia penggemar Chopin, Vivaldi, The Beatles, The Police, Queen, Duran
terutama untuk dua lagu ini: The Shadow of Your Smile dan Some Enchanted
Evening. Ia pengagum berat Robert de Niro dan Al-Pacino. Untuk The Beatles
dan dua aktor watak ini kami nyambung. Saling pamer pengetahuan, bersambut-
gayung.
Terjadi begitu saja. Aku bilang bahwa sudah saatnya aku pulang. Kami
berdiri. Lengannya belum lagi sampai ke grendel pintu ketika tiba-tiba kami
begitu dekat. Kami saling menatap. Dan, Ran, di kamar tamu itu, aku mencium
Inar. Mula-mula keningnya, sepasang alisnya, kedua kelopak matanya, lalu pucuk
menolak, kemudian menyerah, lalu setelah pagutan yang lama, ia mendorong kuat
131
Ia menangis, membebankan seluruh punggung dan kesadarannya ke
Pukul sembilan.
Aku minta maaf. Inar diam saja. Aku pamit. Inar mengantarku hingga
pintu pagar.
(4 Desember 1987)
Aku ke rumah Hermawan, sahabat SMA yang kini nyeniman dan aktifis
kampus. Ngobrol soal politik, situasi terakhir di ITB, Indonesia sepuluh tahun
lagi, rencana “kudeta” anak seni rupa angkatan 86, Tigor dan kasetnya, wanita lain
selain Susi dalam kehidupannya, lukisan terbarunya, The Beatles, Deep Purple
dan Earth, Wind and Fire, nostalgia SMA, tentang kamu, dan seterusnya, dan
sebagainya.
- Sebentar (dia berpikir cukup lama) ya… ya.. yang pendek gempal
dan berkaca mata tebal itu, ya? Tidak dekat sih. Tahu aja.
Andir. Sehabis itu kami masak mie, dengar musik, dan begadang semalaman.
132
“Le petite Soska!” sapa Mr. Ismail kepadaku, pagi itu, “someday you’ll
menghabiskan enam batang rokok dan dua teh botol, akhirnya R. Bagus Sartono
datang juga.
ular sanca tua, di atas sebuah kursi taman beton yang mati segan hidup pun tak
mau, di gigir kolam berteratai penuh ikan mas dan mujair, beberapa meter saja
dari Gedung Isola yang berdiri rapuh seperti raksasa perempuan yang bertahun-
tahun kurang makan dan enggan berganti gaun, pertemuan ini menjadi diskusi
tahap akhir kami berdua untuk mendirikan Unit Pers Mahasiswa (UPM).
133
anggota pertama yang sekaligus akan menjadi badan pendiri, tidak lebih dari
sepuluh orang.
mengajukan lima nama dari fakultasnya, FPBS: Khalid Alkatiri, Ajang Heryawan,
seperti ini dan kenyataan bahwa ia lebih senior dariku tidak ada yang lebih layak
Sartono tersenyum, dan dengan santai berkata, “Jika begitu, Anda jadi
wakil saya.”
Ran, itulah asal-muasal aku menempati posisimu di OSIS kita dulu. Ah ya,
betapa aku harus meminangmu dengan seluruh akal dan sepenuh hati supaya
kelas satu, meminta bantuannya membujukmu pula. Mendekati Erlina, teman SD-
134
semua yang baik-baik tentang aku setelah membujuknya lebih dulu dengan kata-
nonton film dan teater, mengantarnya pulang berkali-kali, dan akibatnya malah
membuat Erlina nyaris jatuh cinta padaku. Diam-diam pula aku menelefon
bibimu yang cantik itu, bekas kakak kelas kita, dan mengatakan bahwa
kamu terima mengapa aku memilih kamu, bukan yang lain. Alasanku sebenarnya
cuma satu waktu itu: agar kamu terus-menerus berada di dekatku. Dengan begitu,
setiap hari aku dapat memandang wajahmu, menyapa lembut namamu, mendengar
Setelah itu, aku dan Sartono berdiskusi panjang lebar dengan PR III.
Hari Sabtu lalu kami tidak berhasil bertemu PR III. Baru dapat bertemu
Senin, kemarin.
direncanakan akan diberi nama Isola Pos. Menurut PR III, “Ini prosesnya
panjang.”
135
Kemarin siang itu juga, tanpa menunda-nunda, aku dan Sartono mengurus
seluruh persoalan administrasi yang diperlukan dan mencatatkan diri secara resmi
Tinggal menunggu Surat Izin Kegiatan. Kami berdua tidak mengira prosesnya
demikian cepat.
Kami gembira sekali. Di jalan lengang dan teduh penuh pohon rimbun
Aku dan Sartono merayakan “kemenangan” ini dengan upacara minum teh
dingin dan lembab, sesak oleh buku dan berdebu, berjendela sempit dan muram,
Di tengah keributan senja hari yang nyaris kekal itu, seekor tikus
kolong dipan yang rahasia, mencericit dan lari terbirit-birit, menyisir pinggir
diarahkan padaku.
Aku membalas kelakar(?) Mr. Ismail, “Sudah selesai, Pak. Bapak sudah
Mr. Ismail sedang flu. Hari itu, hari terakhir Sidang Umum MPR.
H.J. Naro batal jadi wapres. Ah, semua orang tahu pencalonannya
seluruh syarat kecerdasan alamiah dan moral, termasuk posisinya sebagai mualaf
yang membuatnya akan dengan senang hati diterima di lingkungan aktifis masjid
mana pun.
“penyusupan pikiran”. Pada kesempatan itu kami bahas pula perkembangan UPM
yang masih lelengkah halu, masih seperti anak-anak yang sedang belajar berjalan.
masuk. Masih ada sisa waktu lima menit. Lagi pula aku tak pernah terlambat.
Baru kali ini. Tapi dosen mata kuliah psikologi sosial bertubuh tambun itu berkata
Levi Strauss 501, classic, original. Hadiah dari Inar. Sakit hati juga, diusir. Tapi
Tak ada kuliah lain hari itu. Aku tak punya rencana berlama-lama di
perpustakaan. Sekadar menunggu Inar. Ibu sakit. Kelihatannya tidak terlalu berat.
Tapi aku selalu panik kalau melihat ibu kurang sehat. Tadi malam aku menelefon
Inar. Dia ingin ketemu ibu. Bayangkan, Ran, dia ingin ketemu ibu yang selalu
Di lantai dua perpustakaan yang besar, agung, dan selalu sepi pengunjung,
aku duduk sendiri membaca I’m an Aborigin Boy. Sebuah buku propaganda
pemerintah Australia. Buku itu ditutup dengan kalimat yang sangat kolonialistis:
the right place for them (maksudnya, orang-orang Aborigin itu) is settlement.
pembayar SPP. Apa masa remajanya kurang bahagia? Apa hubungannya celana
jeans dengan kecerdasan atau kedunguan? Mengapa mahasiswa IKIP tak boleh
138
pakai celana jeans ke kampus? Aku merasa menjadi si anak Aborigin yang
dianiaya dalam buku itu. Hanya nasibku jauh lebih baik, settlement itu:
perpustakaan.
tugas-tugas psikologi sosial dan pembagian kelompok diskusi mata kuliah itu, ia
menyarankan aku minta maaf kepada si dosen yang patut diduga masa kecilnya
kurang bahagia itu. Minta maaf? Ia khawatir dosen killer itu membuatku gagal
Aku selalu menyukai kawanku yang satu ini. Afuz selalu bicara tanpa
tedeng aling-aling dan sebenarnya cerdas juga. Aku menjawab singkat dan hati-
hati kepadanya: “Nama baik itu beban. Mencarinya dengan cara menjilat adalah
suatu kejahatan.”
Afuz berdiri, menepuk kesal bagian belakang kepalaku dan pergi menuruni
Setelah Afuz pergi, aku baru merasakan kehadiran orang lain di situ, empat
meter di depanku terhalang meja penuh tumpukan buku, sedang melihatku dengan
Syamsul Hari.
Aku sering cemas melihat cara anak pendiam yang kelihatannya tidak
memiliki banyak kawan di kampus dan sama sekali tidak punya teman perempuan
itu memandangku, dalam diskusi di kelas atau di tempat lain, terutama ketika aku
139
Kabar burung yang kudengar, Cecep seorang homo.
kelakuannya persis seperti ibu, lebih suka mengasingkan diri, adalah suatu
kepadaku, jika, tanpa mauku, aku melukai gadis yang sangat baik dan lembut ini?
Sampai saat ini belum ada proklamasi resmi di antara kami berdua bahwa kami
Aku tahu bahwa kau, Ran, belum sepenuhnya menjadi masa lalu bagiku,
dan aku pikir, Inar pun tahu kau belum sepenuhnya menjadi masa lalu bagiku.
dan Arus Zaman”. Sayang, Dindin S. Maolani, S.H. tidak datang. Yang hadir
(pemimpin redaksi Salam) yang karirnya sedang naik ke langit yang tinggi.
plakat. Ah, plakat, tak di himpunan mahasiswa, tak di senat, tak di UPM. Aku
benar-benar malu. Kupikir Sartono pun sama malunya. Keinginan kami berdua
sesungguhnya dapat memberi para penceramah itu honorarium yang layak. Yang
patut. Mereka berdua membuat makalah, suatu kerja intelektual, kerja pikiran.
Seandainya mereka tidak membuat makalah pun, selama tiga jam di ruangan itu
mereka telah bekerja keras. Dan yang namanya kerja intelektual, kerja berpikir,
penceramah dan tamu yang diundang dengan lebih beradab. Aku akan
wakil ketua UPM yang baru saja ditinggal minggat pacarnya itu, “Tradisi tidak
memberi honor ini harus segera dilempar ke laut mulai kegiatan berikutnya.
Kesannya mahasiswa itu miskin, papa, tidak punya usaha, kuuleunxxv. Mungkin
lain kali kita dapat melibatkan sponsor untuk urusan-urusan seperti ini.”
sesekali menuding ke arah langit yang murung, ke arah sepasang merpati putih di
141
angkasa yang mendung, ke arah tanah, ke arah pohon beringin nun jauh di sana,
ke arah sepasang kekasih berjas almamater biru di bangku taman pinggir kolam
yang duduk mesra berdampingan, ke arahku, ke arah siapa saja, Khalid berkata
dengan suara keras dan nada kesal: “Iya, itu. ‘Kejahatan’ itu. Terbelakang!
Primitif! Memalukan karuhun.xxvi Masa cuma plakat, tidak diberi honor. Apa
mereka makan plakat? Makan nuhun? Ada sebuah hadis Nabi (ia mengutip sebuah
hadis dalam bahasa Arab dengan fasih) yang artinya ‘buruh harus dibayar
sebelum peluhnya kering’. Pak Saelan dan Pak Aceng itu kan kita undang untuk
pemikir. Nggak bener kita ini. Kita harus ngomong ke Sartono sekarang juga,”
katanya.
Khalid kelihatannya geram sekali siang itu. Orang yang baru ditinggal
civics hukum (HMCH) dilaksanakan, 7-8 Mei 1988, aku membujuk Afuz untuk
mendasarkan penolakannya pada dua alasan: pertama, akulah calon resmi fraksi
“melangkahi” aku.
142
Ketika Mumas berlangsung, dalam kapasitas sebagai ketua fraksi, aku
anggota fraksi kami kukatakan bahwa memilih Afuz sama dengan memilih aku,
ditingkahi teriakan “Yes!” atau “Huuuu!” setiap kali kartu suara dibuka, meskipun
perbedaan suaranya tipis sekali Afuz berhasil mengungguli calon kuat lain, anak
in E Flat Major K16 Wolgang Amadeus Mozart dan Prelude Op. 28-15 in D Flat
Major “Raindrop” Frederic Chopin, kedua komposisi itu kesukaan Inar, sambil
selang sebentar menikmati teh hangat manis dan memandang horison senja hari di
bawah, dan gadis tetangga di loteng sebelah, setelah seminggu lamanya ditelikung
143
Mestinya kamu ikut, Ran. Mungkin Tuhan masih mau memaafkan kita
Langkah kedua! Tadi pagi, Rukmana, Afuz, Hans dan Yani dilantik
dilakukan PD III di ruang senat FPIPS. Sorenya, kecuali Afuz, kami berkumpul di
(1 Juli 1988)
Seharian di rumah Inar. Masak, makan siang, dengar musik, nonton video
musik Queen, dan lain-lain. Sejak kejadian itu, aku tak pernah berusaha
menciumnya lagi.
rumahnya sore tadi: “Awas, saya tidak bermaksud menyuruh kamu berontak!
terorganisasi.”
(4 Juli 1988)
Tadi pagi, di gerbang kampus IPB, Ran, aku berpapasan dengan seseorang.
Ia berjalan cepat sekali, dan tiba-tiba raib ditelan keriuhan jalan raya. Wajahnya
sangat mirip denganmu. Masih saja kurasakan jalan darahku sejenak terhenti.
Badai turun
di dalam sajak-sajakku
Selalu, sayang,
makan, kami berdua sepakat untuk tidak menyerah. Dalam waktu dekat akan
dicoba meyakinkan mereka lagi. Seperti biasa, menghadapi jalan buntu seperti ini,
“America”. Juga sebuah puisi penyair Irlandia, Patric Kavanagh, “If Ever You Go
hidup antara 772-846 M. Aku jatuh cinta pada sajaknya: “Desa Chu-ch’en”.
dengan Cecep Syamsul Hari yang pendiam itu, aku selalu menyukai sajak-sajak
bagus. Dan bila menemukan sajak bagus dalam bahasa asing, bahasa Inggris
yang ditandai khusus di dalam laci tersendiri. Mungkin suatu saat aku perlu juga
memperlihatkannya ke Cecep. Siapa tahu dia bisa belajar banyak dari karya-karya
Kepada Afuz ternyata Cecep lebih dapat terbuka, juga untuk urusan
menceritakan kehidupan yang pribadi sifatnya. Menurut Afuz, sifat Cecep yang
mengindikasikan Cecep seorang homo. Bisa saja sikap itu muncul karena
Ran, benar apa yang dikatakan Keith Watson (Education in the Third
World, 1982) tentang akibat pendidikan (sistem) kolonial yang antara lain
yang sejarahnya relatif masih berusia muda ini, yang tercerabut, terpisah, terasing
146
dari kenyataan sosial masyarakat mereka, dari keinginan dan aspirasi masyarakat
yang paling tidak sehari-hari kulihat di kampusku, kampus yang mendidik calon-
Aku ngeri, Ran, aku ngeri. Bagaimana sistem pendidikan abdi dalem (a
bank concept of education, meminjam istilah Paolo Freire) ini bukan menciptakan
Sepanjang jalan yang kulihat cuma slogan, dan slogan, dan slogan.
seperti ini, berpikir secara radikal dalam pengertian filsafat (to radix – secara
mengucapkan selamat kepada bangsa yang teraniaya dan terlunta-lunta itu dan
(5 Januari 1989)
147
It is a story of the first world war (1914-1918) that is different from any
Ran, All Quiet on the Western Front Erich Maria Remarque, membuatku
Baumer, terjun ke dalam kancah perang parit yang bengis dan kejam, tak
Aku selalu ingin menulis novel. Dan selalu ingin menulis novel yang
Bulan ini Fais akan menikah dengan adik manisku, Dewi Kania. Adik
semata-mata untuk menangis. Begitu pula ketika suatu saat hubungannya dengan
Fais dihantam badai. Mereka akan nikah agama, diam-diam, karena tidak disetujui
Dewi menderita asma yang akut. Setiap kali menghadapi persoalan berat
asmanya kambuh. Kasihan sekali jika melihatnya dalam kondisi seperti itu. Ia
Fais dan Dewi Kania memintaku menjadi salah seorang saksi perkawinan
148
(11 April 1989)
lalu. Ada cerita tentang mosi tak percaya, demo untuk Janer Sinaga, perkelahian
yang nyaris terjadi antara peserta utusan Ujung Pandang dan daerah lain, kawan-
kawan sesama panitia yang stres. Ada juga kisah-kisah cinta antarpanitia, panitia-
Sabar dan telaten. Waktu seolah-olah berhenti atau bergerak lambat, berpindah-
pindah secara mistis dari mangkuk dalam genggaman telapak tangan kiri Inar ke
149
Inar yang perasaannya sangat peka itu menangkap gestur halus Sumarsono
bahwa dia ingin berbicara berdua denganku. Ia berdiri, memeriksa termos yang
kebetulan hampir kosong, mengambilnya, dan berkata kepada kami berdua bahwa
- Teman.
- Hanya teman.
suaranya).
jadi isteri Mas kelak. Maaf tapi ya Mas, hati saya mengatakan apa
yang Mas cari selama ini ada dalam diri Mbak Ratna….
sekali.
150
Aku menceritakan semuanya kepada Sumarsono seperti yang kuceritakan
kepada Ningrum dan Nirwan. Kamu tahu? Ia hanya duduk diam mendengarkan
tanpa sekali pun berusaha memotong pembicaraanku. Dan setelah selesai, ia tak
berkomentar sedikit pun, hanya memandangku dengan tatapan yang aneh. Mistis.
Jawa. Ia seorang Solo berdarah ningrat yang sangat kuat menjalankan laku,
tirakatan. Selalu tidur sedikit di malam hari. Biasa puasa empat puluh hari
“Mas akan dikutuk bila menyakiti Mbak Ratna,” kata Sumarsono tiba-
tiba. Pelan namun tegas tetapi di telingaku terdengar seperti guntur. Di sore habis
(3 Mei 1989)
Ran, aku dan Rukmana sepakat sudah saatnya mengambil jarak dengan
Jika tidak ada sesuatu yang luar biasa, menurut dugaan kami berdua,
setelah R. Bagus Sartono yang tak lama lagi akan menyelesaikan studinya, Hans-
lah yang akan memegang pimpinan unit kegiatan yang punya moto kebanggaan
ini: “Hanya ada dua unit kegiatan di kampus kami: yang pertama UPM, dan yang
151
Target kami, tahun ini atau selambat-lambatnya pertengahan tahun depan,
Hans alias Hanson Sihombing sudah akan menjadi Ketua UPM yang kedua.
nilai, kerja, dan moralitas UPM. Mobilitasnya ke atas dan ke bawah sama baiknya.
Ia juga memiliki kemampuan dan kekuatan karakter yang lebih dari cukup untuk
Aku juga percaya, dan dalam hal ini rasa percayaku jauh lebih kuat
daripada Rukmana, UPM akan menjadi lebih besar, lebih solid, jika dipimpin
Hans.
Namun yang lebih penting, apabila UPM di tangan Hans dengan leluasa
kami dapat mengarahkan opini publik mahasiswa kampus ini sesuai dengan visi
dasar yang kami bahas beberapa waktu yang lalu di kamarku yang diperangkap
cahaya, yang penuh dengan perdebatan yang alot, panas, dan diakhiri dengan
upacara minum teh di sore yang kering itu. Visi dasar kelompok diskusi kami
tindakan selanjutnya.
Ran, Umar Said setelah lama tak muncul, menemuiku tadi pagi. Sendiri. Ia
Syubban, Hans, Samiun, Rukmana, dan Umar sendiri, telah masuk black-list
militer.
Kodam, menurut Umar yang mengutip sebuah sumber yang tidak mau dia
sebutkan, mencatat kami sebagai kader-kader kiri yang berbahaya dan harus
diwaspadai.
Namun terus-terang, aku agak keder juga, Ran, hanya tak kutampakkan di
depan Umar yang terlihat sangat nervous. Tak ada yang lebih menakutkan saat ini,
dituduh kiri. Dituduh PKI. Itu sama artinya dengan divonis mati.
Mungkin aku harus segera menemui Yani. Aku cemas, setelah putus
dengan Rukmana enam bulan yang lalu ia tak pernah lagi datang dalam
Sebulan yang lalu, tak sengaja aku bertemu dengan Yani di pasar buku
Palasari. Ia sedang berada di sebuah kios buku bersama seorang lelaki yang jauh
lebih tua. Mereka berdua terlihat lengket. Yani mengenalkan lelaki berjanggut
“Kawan Lenin”. Si lelaki itu mengaku mahasiswa tahun terakhir sospol UI.
minggu. Jika aku betul-betul mencintainya, maka ia tak mau kamu, Ran, masih
153
menjadi bagian dari kehidupanku. Kamu, Ran, harus sepenuhnya menjadi masa
lalu.
pada saat yang sama kamu juga tahu kamu harus bersaing dengan masa laluku?
Aku tak mau bersaing terus-menerus dengan masa lalumu. Itu persaingan yang
tidak adil. Kalau kamu ingin memasukkan aku ke dalam suatu persaingan, beri
aku persaingan yang dapat diterima akal sehatku. Kamu boleh memilih aku atau
memilih Ran. Memilih masa depanmu atau memilih masa silammu. Aku
memberimu waktu untuk berpikir. Tapi jangan lebih dari seminggu. Beri aku
kepastian.”
Ran, aku akan memberi Inar kepastian. Aku akan melamarnya, minggu
depan.
(20 April)
“AKU pernah membaca tulisanmu tentang Iqbal. Di mana ya… aku lupa.
Waktu itu kita nggak nyangka, ya, bakal ketemu di Yogya,” kata Ran, kemarin
sore itu.
Aku tertegun. Aku teringat koridor di ruang dalam sebuah hotel seusai
acara penutupan “Pekan Diskusi dan Apresiasi Tingkat Nasional tentang Hidup,
154
Pemikiran, Kepenyairan dan Karya-karya Iqbal” di kampus UII, Yogyakarta, 20-
25 September 1989.
berpakaian serba hitam. Malam ketika aku pindah ke kursi lain meninggalkan
Rahzen dan para pengagumnya, untuk berdiskusi dengan teman-teman lain dari
Medan dan Ujung Pandang padahal aku tahu Ran hanya dipisahkan sebuah taman,
(30 April)
Ada sebuah tulisan Beni Setia di Pikiran Rakyat hari itu. Tentang Sepuluh
“Bagaimana, selesai?”
berleher panjang berisi sirup markisa itu. Ah, aku teringat sebuah masa yang
ranum ketika di hari-hari Jumat yang telah menjadi petang-petang kekal dalam
ingatanku, aku selalu datang ke rumahnya. Ketika kami berbicara dan berdiskusi
155
Selain warna gordennya, ruang tamu ini tak banyak berubah. Lukisan 2 x 2
meter dalam bingkai kayu warna coklat tua itu masih berada di tempat yang sama.
antara ruang tamu dan ruang tengah dan berhadapan langsung dengan pintu
vertikal ke arah langit sementara telapak tangan kirinya mengenggam hulu pedang
lubang besar berwarna merah di belakangnya, matahari senja hari yang anehnya
tidak temaram melainkan menyala terang di atas tanah yang gersang. Wajah
samurai itu sangat keras, memperlihatkan bahwa ia telah banyak ditempa oleh
ekor bajing yang sedang menungging. Ada butir-butir peluh menempel di dahinya.
Sepasang alisnya yang lebat hitam melengkung seperti sayap elang. Sorot mata
samurai itu sangat tajam. Betul-betul sorot mata seorang pendekar. Betul-betul
Dan kursi ini, masih kursi tamu yang sama. Lembut. Empuk. Hijau.
Sehijau kenangan.
“Ingat Toto-chan?”
Ran mengangguk.
156
Maka mengalirlah. Kami bicara tentang skripsi Arief Budiman dan
“Bagaimana skripsimu?”
“Tertegun-tegun.”
Kami tertawa.
“Kamu tahu, Kafka? Aku masih menyimpan ’19 Sajak Cinta’ itu….”
“Aku orang yang tak mudah melupakan…. Sering aku berpikir, seandainya
hidup berhenti di usia 19 tahun…. Aku sangat suka sajak Toto Sudarto Bachtiar
dan John Donne yang kamu pilihkan untukku. ‘Stanza’ Rendra sangat
memabukkan dan ‘Derai-derai Cemara’ Chairil Anwar lebih kekal dari kenangan.
Sajak Goenawan Mohamad, ‘Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi’ selalu
melemparkan aku ke kehampaan tetapi sajak Taufiq Ismail, ‘Dengan Puisi, Aku’,
Situmorang mengenalkan aku pada hakikat sunyi, dan ‘Langit Ungu Matahari
Jingga’ Saini KM membuatku tahu cinta dapat pula dihampiri dengan pikiran, tak
cuma dengan perasaan. Dan ‘My Love is Like a Red Red Rose’, Robert Burns, oh,
benar-benar pernyataan cinta yang ingin didengar setiap wanita. Kamu tahu,
Kafka? Itulah hadiah ulang tahun yang membuatku dewasa. Hadiah ulang tahun
157
“Kenapa?”
Lalu kami bicara tentang Yogya. Ran mengulang pertanyaan yang sama
Malam itu, Ran menjadi bagian dari pertunjukan tarian teatrikal Islami
sebuah kelompok penari yang dipimpin seorang perempuan penyair yang sedang
naik daun. Tarian yang dipergelarkan dalam acara penutupan pekan diskusi itu
“Apa itu?”
bercakap-cakap serius dengan orang berbaju hitam dan juga kawan-kawan lain
yang ribut itu. Nonsens. Tidak. Aku lebih goblok dari Faust waktu itu. Seharusnya
158
Ran membisu dan matanya menembus jauh ke dalam hatiku.
Lalu kuberikan bungkusan dalam kantong plastik itu. Baju hangat warna
menghadiahkan ikan pari mentah dan segar untuk pacarnya dan membuat geger
keluarga calon isterinya. Sejak itu ia menyebut apa pun hadiah yang diterima dari
Aku tersenyum.
Azan magrib. Aku pamit pulang. Langit gaib. Awan mengandung hujan.
“Di pojok itu,” aku menunjuk sudut tenggara taman di halaman rumah
Pulas sekali.
159
(1 Mei)
Pukul tujuh malam lebih sedikit, Hans datang. Setengah jam setelahnya
Rukmana muncul. Tak berapa lama kemudian pelayan hotel mengantarkan nasi
pembentukan jaringan antarkampus dan program lima tahun ke depan. Asap rokok
menguatkan dugaan kami selama ini: Umar Said adalah informan yang
disusupkan militer. Ia menyarankan kami semua untuk tidak berada “di tempat
“Umar?” tanyaku.
ke Surabaya dan aku ke Yogya. Dari Yogya, aku akan langsung pergi ke Jakarta,
kami berempat untuk hadir dalam diskusi bulanan mereka. Hans dan Rukmana
akan berada di Surabaya selama dua minggu, dan Rukmana akan berada di
Salatiga tidak kurang dari seminggu. Banyak orang yang harus mereka temui di
160
Kami akan bertemu lagi bulan depan. Kapan dan di mana pertemuan itu
“Silakan.”
kehilangan.”
pengalaman pribadimu….”
“Sudahlah, Kafka. Aku harus pergi. Tak apa jaketmu ini kupinjam dulu,
kan?”
“Oke.”
161
Rukmana dan aku tertawa.
Hans bercakap-cakap denganku hingga pukul satu pagi. Setelah itu tinggal
Tanpa diundang John Donne muncul di kepalaku: Where none can match
her, in some close corner of my brain: There I embrace and kiss her; and so I
(2 Mei)
lurus dan ranggas. Sepasang matanya sempit memberi kesan licik. Hidungnya
disentuh pasta gigi. Ketika ia tersenyum aku melihat mulut serigala dan ketika ia
Ia memakai parfum, dari jenis yang paling murah, kukira. Ia bicara dengan
lain. Kosa katanya terbatas. Belum sepuluh menit bicara, ia telah menista lima
keyakinan bila suatu saat ia memperoleh kekuasaan, ia akan segera menjadi tiran.
162
Bagaimana Hans bisa blunder memilih orang seperti ini? Waktuku
terbuang percuma.
Aku janji kepada Ran memberikan alamat Ajip Rosidi di Jepang. Ran,
“Masuklah….”
“Terima kasih, Ran. Aku tak lama. Aku cuma ingin segera memenuhi
janjiku. Kamu tahu, aku tak pernah percaya pada esok hari…”
“Ya. Aku tahu. Tapi masuklah, please. Aku mohon. Akan kubuatkan kopi.
“Aku mohon sekali lagi, masuklah barang sebentar. Tak akan makan
“Bukan salahmu kalau aku kena flu. Biar kusalahkan hujan, virus, atau
163
Di beranda itu, Ran berkata, “Apakah kamu punya nama samaran lain
selain namaku?”
“Maksudmu?”
namaku….”
Aku tak kuasa menggunakan namaku sendiri. Tak terpikirkan nama lain olehku
waktu itu.”
kucintai.”
Aku diam beberapa saat memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan
“Terima kasih.”
164
“Kafka, jangan menunggu seseorang terlalu lama dan jangan membiarkan
seseorang menunggu terlalu lama. Aku punya firasat kamu tak akan pernah
mencintaiku.”
Sekelebatan langit bercahaya. Lalu suara guntur yang jauh, angin yang
menderu, kerisik ranting dan daun-daun, dan aliran hujan yang bergegas
“Ada sebuah ruang di dalam hatiku yang akan selalu menjadi milikmu,”
kataku.
Ran tersenyum.
Lalu, sangat perlahan, aku mengecup kening Ran. Ragu. Tipis. Dingin.
aku melihat kilauan mutiara menggenang dalam ceruk mata Ran yang abadi.
Hujan masih sangat deras ketika kubuka pintu pagar rumah itu.
Kembali ke hotel.
O, my pity Chairil! Hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-
koyak sepi.
165
(Di Hotel P., Yogya,
4 Mei 1991)
itu?”
“Siapa?”
“Apa perlu?”
“Dua rius. Membuat harum ketiakmu agak sedikit menghibur dan lebih
Aku tertawa….
166
Sekitar pukul dua dini hari aku turun di stasiun Yogya.
Chauchat untuk orang yang nama depannya sama denganmu, Hans Castrop. The
“Hati-hati.”
“Ya?”
“Oke.”
“Apa?”
“Ah, kau!”
“Lalu?”
167
“Teman sekursinya yang tak berjilbab turun di sini.”
“Lalu?”
“Lalu?”
“Lalu?”
“Lalu?”
“Lalu?”
“Lalu. Lalu. Lalu. Ajak ngobrol dong dia. Siapa tahu nasibmu beruntung.
Wajah Ran dan Ratna bergantian muncul di hadapanku. Ke mana pun aku
O, my humble Toto… mereka tak tahu aku di mana… ku tak tahu cintaku
di mana, terlalu hampir tetapi terasa sepi, sekali tertangkap terlepas kembali.
168
Dua Esai dan Tiga Surat Cinta
169
Mandala, Bandung, Sabtu, 23 Juni 1990
Itulah pula yang rupanya menjadi sebab kenapa ia selalu terlihat gemas ketika
sebuah hari yang saya lupa tanggal, bulan, dan tahunnya, untuk di masa depan
saya sendiri” adalah tugas yang berat dan belum tentu saya dapat menemukannya.
**
Iqbal tentulah tak asing lagi. Terutama sejak Bahrum Rangkuti menerjemahkan
salah satu karyanya, Asrar-i Khudi di tahun 1950-an, kehidupan, pemikiran dan
170
Iqbal yang dilahirkan di Sialkot pada tahun 1877 dan meninggal pada
India terbesar abad ke-20. Ia juga penyair Muslim terkemuka abad ini, dan karena
negara itu.
Iqbal juga seorang filsuf, pemikir pembaru Islam dan ahli tasawuf. Ia
itu, kita harus terlebih dahulu menjelajahi pemikiran filsafatnya tentang Tuhan
**
wujud Tuhan. Kedua, Iqbal merumuskan wujud Tuhan sebagai Realitas Terakhir,
yaitu suatu kehidupan kreatif yang terarah secara rasional. Pada fase ketiga,
wujud Tuhan, yaitu bahwa Realitas Terakhir sesungguhnya adalah Ego Mutlak.
171
kepentingan manusia. Ini tercermin dari seruan Iqbal untuk menumbuhkan sifat-
Khudi adalah perkataan Persia (dan juga Urdu) yang berkonotasi negatif.
Iqbal memilihnya sebagai salah satu terminologi inti pemikiran filsafatnya dan
diberi arti lain yang serba positif untuk menggambarkan “a unique I” (sebuah saya
mementingkan diri sendiri, arogansi, dan egotisme. Bagi Iqbal, secara etis khudi
bermakna kepercayaan diri, keyakinan diri, penjagaan diri, bahkan penegasan diri,
Menurut Iqbal, manusia adalah mahluk yang unik sebagaimana uniknya Tuhan.
Bila Tuhan unik sebagai Pencipta, manusia unik dibandingkan mahluk apa pun di
172
Istilah lain untuk khudi adalah ego. Bagi Iqbal, khudi, personality atau ego
posisi tertinggi yang dapat diraih setiap manusia yang sadar akan agamanya.
Posisi tertinggi itu dalam terma Iqbal disebut mard-e mumin atau insan-e kamil.
Posisi tertinggi ini hanya dapat diraih melalui latihan mental dan spiritual yang
reflektif dan kontemplatif atau dalam bahasa eskatologis, melalui jenjang fikr dan
Iqbal, seperti juga Rumi, Hamzah Fansuri (bapak bahasa dan sastra
Melayu) dan belakangan Ali Syari`ati mengecam para sufi yang terjerumus pada
sikap egoisme, eksklusivisme, asosial, dan hanya puas dalam kehidupan zuhud
(kasyf), harus berada di tengah keramaian sebab kehidupan zuhud bukanlah tujuan
tasawuf melainkan tahapan awal dari latihan ruhani. Ia harus menerima dan
menjalankan kewajiban normatif untuk mengelola alam ini secara kreatif dan
menyebarkan kasih sayang kepada manusia dan mahluk lainnya. Tentang ini Iqbal
berkata:
173
Janganlah bermain di tepian/ Di sana tarian kehidupan bergerak lamban/
Bagi Iqbal, hubungan yang intim yang telah diraih seorang sufi dengan
Entitas Abadi tidaklah berarti pemisahan dirinya dari kehidupan normal. Ia harus
sebagai metafora sosial yang dinamis dan penuh perjuangan. Dalam hal ini, Iqbal
seorang sufi, kata Iqbal, Nabi tidak akan kembali ke bumi oleh karena telah
merasa tenteram bertemu Tuhan dan berada di sisi-Nya. Akan tetapi, Nabi
dan menjadi tanggung jawab para sufi. Dengan kata lain, suatu bentuk tasawuf
Kepada sufi yang telah meraih posisi tertinggi sebagai mard-e mumin atau
insan-e kamil seperti inilah Iqbal bahkan bersedia mengabdi “bagaikan budak”.
174
**
Apabila dosen dan sahabat saya, Mr. Ismail Batubara, kebetulan termasuk
orang yang membaca esai ini, saya ingin mengatakan kepadanya bahwa melalui
pemikiran filsafat kemanusiaan Iqbal, saya kira saya sudah menemukan jalan
175
Mandala, Bandung, Jumat, 20 Juli 1990
TAHUN ini saya berduka. Tahun ini kaum muslimin Indonesia berduka.
Enam ratus orang lebih jemaah haji asal Indonesia dipastikan meninggal dalam
musibah itu. Pada tahun ini, jumlah jemaah haji yang diberangkatkan dari
Indonesia 82.000 orang, terbesar selama pemerintahan Orde Baru. Jumlah ini
meningkat 40% bila dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 57.912
orang.
Selain itu, menurut menteri agama, Munawir Sjadzali, peningkatan jumlah itu ada
pembangunan ekonomi. Ongkos Naik Haji (ONH) biasa tahun ini Rp 5.320.000,-
naik 3,3% dibanding tahun lalu dan yang tertinggi di negara-negara ASEAN.
Namun, di luar semua itu, seperti dikemukakan Dr. Martin van Bruinessen,
bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat
176
penting. Haji selain berfungsi ibadah, berperan pula sebagai sarana pencarian
ilmu. Kita mencatat beberapa nama orang Indonesia yang berhaji seraya
menuntut ilmu, seperti Syaikh Yusuf al-Makassari yang berangkat ke tanah suci
tahun 1644 dan baru kembali 26 tahun kemudian. Ia berguru kepada ulama besar
Madinah, Ibrahim al-Kurani, yang juga guru dari para reformis besar Islam seperti
tinggi di Aceh. Seperti Syaikh Yusuf, ia pun berguru kepada Ibrahim al-Kurani.
itu. Selain kedua ulama besar itu, kita mengenal sejumlah ulama lain yang bahkan
menjadi guru (syaikh) terkenal di Makkah dan Madinah, antara lain: Syaikh
Minangkabawi.
Berbeda dengan fungsi haji dalam era komunikasi dan informasi saat ini
yang cenderung menyempit menjadi semata-mata ibadah ritual, fungsi haji zaman
dulu selain ibadah dan menuntut ilmu juga memiliki fungsi politis dan sosiologis
zaman pemerintahan kolonial Belanda, haji juga berfungsi menjadi alat pemersatu
176
Nusantara dan mendorong munculnya gerakan-gerakan antikolonialisme.
Kartodirdjo dalam sebuah buku yang sangat bagus, diilhami pengalaman tokoh-
**
waktu 11 jam). Selain mesti menempuh jalan laut (mula-mula dengan kapal layar,
lalu dengan kapal api) juga harus menempuh perjalanan darat. Termasuk melintasi
gurun pasir. Kebanyakan dari mereka berusaha tiba di sana sebelum bulan
Ramadhan supaya dapat menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih di Masjid
al-Haram. Mereka tinggal agak lebih lama di sana sebelum pulang ke Tanah Air.
Kesempatan yang cukup lama untuk saling bertemu di antara para jemaah
haji yang berasal dari berbagai suku bangsa memberikan keleluasaan kepada
mereka untuk saling bertukar pikiran dan bertukar pengalaman. Dalam sebuah
177
Meskipun sekarang fungsi ibadah haji cenderung menyempit
orang sebagai simbol status sosial—dan tidak lagi memiliki fungsi politis dan
pendorong untuk menunaikan ibadah haji. Kedudukan ibadah haji sebagai satu
dari lima rukun Islam dan banyaknya keutamaan yang disandangnya serta
faktor penting yang mempengaruhi orang untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan
**
mengunjungi tempat suci”. Oleh karena itu, kunjungan dari berbagai penjuru
dan konseptual, menurut Ali Syari`ati, haji termasuk rukun Islam yang terpenting
selain jihad dan tauhid yang memberikan motivasi kepada bangsa-bangsa Muslim
dan yang membuat warga negara bangsa-bangsa Muslim itu sadar, merdeka,
Dalam Ihya Ulum al-Din, Al-Ghazali mengutip beberapa hadis Nabi yang
banyak meriwayatkan keutamaan ibadah haji dan pahala surga bagi mereka yang
syuhada bagi mereka yang wafat ketika tengah melaksanakan ibadah haji. Dalam
178
sebuah hadis sahih, Nabi Muhammad berdoa kepada Allah untuk mengampuni
orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang yang dimohonampunkan oleh
orang yang melaksanakan ibadah haji. Begitu besar keutamaan ibadah haji.
**
Sampai Kamis (19/7) kemarin, tercatat 613 orang jemaah haji asal
pelaksanaan salah satu wajib haji, yaitu melontar jumrah (ada tiga jumrah,
masing-masing: Ula, Wustha, dan Uqba). Musibah ini adalah musibah terburuk
dalam sejarah haji Indonesia setelah beberapa tahun silam ratusan jemaah haji
Sri Langka.
tamu Allah di tanah yang hingga akhir zaman disucikan itu, kita semua berharap
kejadian ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang dan persoalan keamanan
(tidak hanya kenyamanan dan kemudahan) para jemaah haji kita dan para jemaah
semua yang meninggal dalam musibah Mina itu dimasukkan ke dalam barisan
para syuhada dan memperoleh pahala selayaknya syuhada. Insya Allah, mereka
179
(3:169-170): “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapatkan rezeki.
kepada mereka.” (Tulisan ini didedikasikan untuk para korban musibah Mina
dan untuk Ratna Suminarsari, salah seorang jemaah haji Indonesia yang wafat
180
Bandung, 28 Juli 1988
(Goenawan Mohamad)
Aku mendengar percakapan Zinda Rud dan Rumi. Zinda Rud bertanya:
pedang. Timur mengenal pedang tapi tak dapat menajamkannya. Barat pengasah
Ran, aku bahkan tak kenal pemilik pedang…. Semakin hari aku semakin
merasa kalah. Kini aku tidak tahu apa yang ingin kuraih dalam hidupku. Aku
selalu merasa terasing. Sendiri. Sering aku berpikir kenapa aku tak mati saja.
Salam.
Kafka Purnama
181
Yts. Yulia Maharani
Atau baru usai? Aku doakan semoga senantiasa dipilihkan dan ditetapkan Tuhan
rekaman “khotbah” Emha Ainun Najib di Aula UNPAD, Sabtu, 9 Desember 1989
Lima bulan terakhir aku hanya membaca, menulis (untuk kubaca sendiri),
berdiskusi dengan banyak orang, dengan banyak kelompok orang, dan dalam
waktu-waktu tertentu tetap mengabari cakrawala dan langit bahwa aku tetap
182
Tadi pagi, aku baru pulang dari Bogor dan Jakarta. Menemui sejumlah
kawan.
melainkan awan dan laut, dan ilmu bukankah aliran sungai yang gelisah mencari
ibu samudera? Lima tahun dan lima bulan terakhir (untuk) entah sampai kapan
Faust? Aku sering berpikir, apakah tak mungkin suatu saat kelak ketika
senantiasa menjadi elang berumah di angin, aku disampaikan waktu pada sebuah
tebing tempatku hinggap sejenak dan berkata kepada diriku sendiri, seperti Faust
Dan, setelah sekian lama, pada kau seorang masih kurasakan keberartian
hidup dan bercerita meskipun kusadari sungguh di hadapanmu aku tak pernah
dewasa.
Ran sayang, Indonesia kita sedang menuju ke senja. Apa boleh buat, hari
memang tak lagi pagi. Indonesia kita tak lagi terasa sebagai tujuan, kini, ia lebih
183
terasa sebagai kepentingan. Indonesia kita ibarat lelaki renta dalam kemudaan
usianya. Indonesia kita bagai panggung Voltaire yang lugu, dipenuhi aktor yang
buruk. Indonesia kita bukan lagi kau, aku, kami atau kita, tetapi mereka.
(Taufiq Ismail)
Indonesia kita bukan elang terbang tapi pipit pulang. Indonesia kita bagai
istana khayali yang terus dipercantik para pemain demam panggung yang
mengigaukan alam bawah sadar para raja: selama hayat dikandung badan tetap
berada di atas panggung kekuasaan. Bahkan ketika pertunjukan telah usai. Kursi-
Indonesia kita telah menjadi gugusan penjara, dan di salah satu penjara
dalam negeri
tanpa keadilan
tembok tinggi
184
bukan batas
soalnya hanya
esok engkau
hingga tak ada penjara yang cukup bagi kita. Maka kuteruskan berjalan, menuju
sepi. Seperti elang yang sendiri. Menempuh malam dan angin. Menuju kuburku
Ran yang lebih ramah dari mawar, seminggu setelah pulang dari Yogya
akhir September lalu seseorang berkata: kita tak pernah dewasa di depan orang
yang kita cintai. Entahlah, tetapi di depanmu, aku memang tak pernah dewasa.
Salam.
Kafka Purnama
185
Yts. Yulia Maharani
Ran yang baik, sekali lagi mohon maaf untuk peristiwa di Yogya itu. Aku
kepadamu. Aku cuma tidak tahu apa yang harus kulakukan waktu itu.
Aku tidak marah kau menyebutku seorang pesimis dalam suratmu yang lalu.
untuk mencintainya.
Salam.
Kafka Purnama
186
3
187
Testamen dan Buku Harian
188
Maret, 2003.
RUPANYA tak banyak tamu Palu Golden Hotel hari ini sebab selain
Kafka dan saya, hanya ada dua tamu lain yang sedang sarapan, sepasang lelaki-
Kafka terlihat segar. Necis dan muda. Saya heran, sepertinya Kafka tidak
pernah tumbuh menjadi tua sejak saya mengenalnya 17 tahun yang lalu, ketika
sebagai mahasiswa tingkat satu kami berdua sama-sama harus mengikuti masa
perpeloncoan.
menghadap ke arah kami, enam ratusan mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Ilmu
“Lihat ke mari! Perhatikan baik-baik wajah teman kalian ini. Dia mencoba
menipu kami. Dia menguji ketelitian dan kesabaran kami. Dia pikir tugas-tugas
kalian yang diberikan kepada kami tidak akan kami periksa. Dia keliru! Hari ini
baru itu, Kafka, ke atas pentas bersamaan dengan suara ramai dan seruan-seruan
keras yang menyuruh kami untuk menundukkan kepala. Lima menit kemudian
189
terdengar teriakan di sana-sini untuk mengangkat muka kami kembali, dan si
mahasiswa baru itu sudah berpindah tempat ke sudut pentas, di belakang deretan
Sepanjang pagi hingga siang itu Kafka berdiri di sana, dalam sikap
Saya kebetulan duduk di bagian depan, dan dengan jelas dapat melihat raut
wajah Kafka yang memendam kemarahan. Melihat atribut yang dipakainya, saya
Ketika masa istirahat makan siang tiba, saya segera berdiri dan
seorang gadis berlari ke arah pentas dan memegang tangan Kafka yang dihukum
mahasiswi senior: “Hey! Romeo! Juliet! the show is over. Cepat turun! Siang-
Kafka dan gadis itu, Ratna Suminarsari, bergegas turun, dan hilang dalam
kerumunan orang-orang yang bergerak ke arah pintu keluar untuk makan siang.
“Siapa? Maya?”
“Ya.”
“Pulang.”
“Kapan?”
190
“Kemarin siang.”
“Percuma.”
menyeruputnya perlahan-lahan. Sepasang tamu berkulit bule masuk dari arah lobi,
langsung menuju meja panjang tempat menu makan pagi dihidangkan. Cuma ada
tiga menu makan pagi di meja itu, conro Makassar, bubur Manado dan nasi
goreng. Selebihnya, pepaya yang telah dipotong-potong kecil segi empat dan
semangka yang telah dipotong-dipotong kecil menjadi segi tiga sama sisi.
“Meita?”
“Ya.”
191
“Ya.”
“Kapan?”
“Tahun lalu.”
“Siapa suaminya?”
“Hanson Sihombing?”
angguk, menghilang beberapa saat, dan kembali lagi membawa sebungkus rokok.
“Kau mungkin tak akan percaya, Fuz, bila kukatakan aku sungguh-
sungguh bahagia. Apa yang membuat Meita bahagia, selalu, dan akan selalu,
membuatku bahagia.”
“Ya.”
cukup lama mengenal Hans ketika kami masih sama-sama aktif di himpunan dan
senat meskipun saya tak mengenal dekat Hans sebagaimana Kafka mengenalnya.
192
“Bagaimana kabar teman kita yang lain,” tanya saya.
“Siapa?”
“Jangan selalu percaya apa yang kau dengar, Fuz. Terkadang, tidak
Kafka tertawa.
Kembali kami berdiam diri dan tenggelam dalam pikiran, dan kenangan,
masing-masing.
Lelaki dan perempuan setengah baya yang telah berada di restoran itu
sebentar di depan konter resepsionis yang terlihat jelas dari tempat kami. Lobi dan
193
“Kafka, kau yakin dengan testamenmu? Maksudku… dengan semua
pewarisan itu?”
“Fuz, sekali lagi kau tanyakan itu, kau bukan lagi kawanku.”
“Aku punya firasat buruk, Fuz. Aku merasa aku tak akan pernah bertemu
kau lagi.”
“Testamen dan buku harian itu, kaulah satu-satunya orang yang kuingat
kata Windy tentang Harun Araniri? Tak kusangka mereka pernah sekelas….”
bilang, orangnya sangat cerdas dan dapat dipercaya. Dan bukan kali ini saja dia
bermitra dengan lembaga-lembaga donor. Siapa saja yang akan kau temui di
Banda Aceh?”
194
“Beberapa dosen Unsyiah, termasuk teman Windy-mu itu, tiga yayasan
“Nggak…. Cuma dalam pikiranku begitu saja muncul nama gitaris Gigi.
Namanya sama persis dengan orang LSM yang akan kutemui di Banda Aceh
“Ayo. Kukira sudah waktunya. Kita akan mampir ke beberapa toko perajin
ukiran kayu dan koperasi para pedagang bawang goreng khas Palu yang
kuceritakan itu, dan setelah itu aku langsung antar kau ke bandara….”
April, 2003.
SAYA sangat terkejut ketika adik saya dengan nafas memburu memberi
tahu saya seorang pria yang mengaku kawan lama saya sedang menunggu di
rumah saya. Saya bergegas pulang meninggalkan lapangan sepak bola itu, masih
memakai sepatu bola saya. Betul-betul di luar sangkaan, ternyata memang sahabat
lama saya….
- Dan bapak dosen kita ini, habis rambutnya sekarang. (Kami berdua
tertawa.)
bilang ada acara sastra. SBSB itu, ya? Coba kalau aku tahu kamu
ke Palu.
mereka pulang?
- Telefon ini masih atas nama penghuni rumah yang lama. Windy
- Alhamdulillah.
Cimahi.
isteriku.
196
- Rumahmu atau rumah isterimu yang penting nyaman, kan? Aku
pernah dua kali ke rumahmu. Kamu tak ada. Sibuk sekali rupanya
kamu, ya.
- Dibilang sibuk sekali tidak, dibilang tidak sibuk sekali juga tidak.
Sambil menikmati teh manis dan bir dingin nonalkohol kami berbincang-
bincang tentang banyak hal, dan sebagaimana umumnya bila sahabat lama
Suminarsari.
- Kita siapa?
menarik. Agak berbau mistis. Dan warna merahnya sangat dominan. Judulnya
Efrosina. Menurutnya, buku itu dicetak terbatas, hanya untuk keperluan Festival
Puisi Internasional Indonesia tahun 2002. Jadi eksklusif sifatnya. Saya mencari-
197
Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz. Tertegun-tegun menunggu
kekuasaan tumbuh dewasa: Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu, dan
fosil atau gambar separuh badan sebagai sasaran tembakan. Seperti engkau, aku
lahir dari sebuah sejarah yang lecak dan selingkuh. Tetapi kita mencinta negeri
yang sama, yang senyumnya bagai impian, seperti pada masa remaja kita
mencintai wanita yang sama, yang senyumnya bagai buaian. Cinta dan kekuasaan
bersandar pada waktu, Afuz, seperti babad rambutmu yang menipis dan hikayat
karena ada rumah kanak-kanak dalam batin kita yang penuh senyum dan gelak
tawa. Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan menderas dari jauh dan jatuh
dua kaki dari lubang persembunyian, juga impian, kita yang rapuh. Seperti Peter
Pan, Tom Sawyer atau Bimbilimbica, kita menunggu hadiah ulang tahun bukan
saja dari pasangan paman dan bibi yang tambun dan riang. Tetapi juga dari
sahabat hayalan, Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti, sepasang granium,
198
- Aku tidak tahu. Menurutmu?
- Mungkin. Tapi, aku pikir, kamu yang bukan penyair pun punya
199
Hanya Ada Satu Kali Penerbangan
ke Kendari
200
TAK ada kota yang lebih damai dari Kendari. Itulah yang selalu kurasakan
setiap kali bangun pagi. Pagi? Sebenarnya aku terlalu percaya diri menyebut
“bangun pagi”. Sudah setahun terakhir aku selalu terlambat bangun. Aku kira
inilah hubungan sebab-akibat yang logis dari sebuah kehidupan yang lebih
berpihak pada malam, ya, yang kutempuh dua belas bulan terakhir ini. Apakah
aku sedang sendirian atau ketika sedang bersama seseorang menghabiskan malam,
ini. Menerobos lubang angin di atas kusen jendela depan. Menembus kaca dan
tirai tipis yang masih tertutup. Seperti biasa, rumah ini layaknya tanpa penghuni.
Selalu sepi. Bagai kuburan. Adikku rupanya masih betah di Raha, di rumah paman
sebab belum juga pulang meskipun sudah berjanji akan kembali dua minggu yang
lalu. Papa entah di mana saat ini setelah seminggu yang lalu dari Pekanbaru
adikku. Kasihan papa. Mengapa dia belum dapat juga menerima kenyataan bahwa
mama sudah tak mungkin lagi kembali kepadanya. Kepada kami. Aku dan Dina
sudah dapat menerima kemungkinan dari kesedihan atas kenyataan itu ketika
dengan kenyataan itu. Dina masih sering diam-diam pergi ke Raha. Ada saja
201
Mengapa aku dan Dina begitu mencintai mama padahal mama bukan ibu
kandung kami? Beberapa tahun yang lalu, ketika papa kembali dari Jepang dan
membawa wanita lembut yang baru saja menyelesaikan studi program masternya
di Universitas Tokyo, dan berkata dengan nada datar kepada kami bahwa mulai
hari itu kami “punya mama lagi”, aku dan Dina segera tahu mama bukan saja
kehidupan masa kecilku dan jauh lebih singkat lagi dalam kehidupan masa kecil
Dina, dan wajahnya telah lama berubah menjadi kenangan samar lewat foto-foto
lama—melainkan lebih dari itu: menjadi sahabat dekat kami, tempat kami
campuran Sunda-Jepang dan memiliki nama lengkap Yulia Maharani Hayashi itu,
hanya berselisih umur 13 tahun dan dengan Dina cuma 10 tahun tetapi kami
begitu takjub melihat bagaimana mama dapat segera menjadi ibu bagi kami
menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya pengalaman tidaklah penting?
kenapa mama yang baik ini mengisi kehidupan kami seperti senja mengisi sebuah
202
Ah, bukankah sebenarnya pula aku tak ada bedanya dengan Dina dan
papa. Setelah kepergian mama, bukankah aku lebih sering lari dari rumah? Aku
Budaya, lalu pulang ke rumah menjelang tengah malam, nonton MTV, membaca
atau melamun hingga dini hari, dan… tidur. Esoknya, rutinitas itu pun kembali
berulang. Bangun sekitar pukul sebelas siang. Mandi. Ganti baju. Sarapan. Pergi.
Aku tak pernah menemani klien lebih dari satu minggu dan dalam satu bulan
cuma ada satu klien. Itu aturan main. Aturan mainku. Takjub juga kalau kupikir-
kupikir, aku tak pernah bertemu secara fisik dengan papa dan Dina selama tiga
bulan terakhir. Kami hanya saling telefon atau mengirim SMS. Menanyakan kabar
masing-masing.
Rumah itu ada baiknya segera dijual, seperti usul Dina, lalu kami pindah
ke rumah lain, di bagian kota yang lain, sehingga kami semua, aku, papa, dan
Dina dapat membebaskan diri dari tahun-tahun kenangan yang menghunjam jauh
ke dalam lubuk hati kami, merantai kami, membelenggu kami. Kenangan tentang
mama. Terus-terang, aku sendiri punya rencana, segera setelah studiku selesai,
akan segera pindah ke Raha. Kota itu memang sangat panas namun bila malam
datang, Anda akan menemukan langit yang tak akan pernah Anda peroleh di kota
203
Bayangkanlah sebuah kanvas mahabesar yang sangat biru dan jernih. Itulah langit
Raha siang hari. Dan bayangkanlah sebuah kanvas mahabesar yang sangat hitam
tetapi dipenuhi taburan jutaan permata bintang-bintang yang saling merapat satu
seperti yang biasa kulihat di Raha. Di hari keempat, menyebal dari kebiasaan, aku
bangun pagi-pagi benar. Meninggalkan lelaki itu dengan secarik pesan di samping
pesawat telefon, bergegas keluar dari pintu hotel itu, menuju bandara Polonia.
Setiap hari, dari Jakarta, hanya ada satu kali penerbangan ke Kendari. Aku
yang tak akan pernah kusukai itu. Dan esok paginya dengan Merpati pukul enam
Tak ada yang perlu kuingat-ingat dari lelaki Jakarta yang mengaku seorang
pengacara dan tokoh partai yang kutinggalkan di Novotel Medan itu kecuali
tubuhku sebagai sekadar payudara dan vaginaku. Dengan kata lain, diriku baginya
tak lebih dari sebuah objek seksual dan oleh sebab itu aku tak memberikan sedikit
pun ruang dalam hatiku baginya selain menganggapnya sebagai seorang pembeli.
Seorang penyewa. Tipe lelaki kebanyakan yang selalu membuatku sebal setelah
meninggalkannya.
204
HARI itu aku lelah sekali. Aku cuma bermalas-malasan di tempat tidur.
Mencoba berkali-kali menelefon Dina dan papa yang sungguh suatu kebetulan
luar biasa telefon genggam mereka berdua sama-sama dalam keadaan tidak aktif.
Aku pergi ke dapur membuat jus tomat, menyeduh secangkir kopi, membikin
sandwich yang sebenarnya terlalu siang untuk dipilih sebagai menu sarapan. Lalu
kembali ke kamar tidur. Mengirim SMS ke sejumlah teman, dan membaca novel
Mario Puzo tentang Don terakhir yang kubeli di sebuah toko buku di Medan dan
Ya, begitulah, tiga hari tiga malam dengan lelaki yang dalam banyak hal
tak tahu adat itu mulut dan tangankulah yang dipaksa bekerja keras. Selebihnya
aku tinggal sendirian di kamar hotel (membaca, nonton TV, melamun) atau pergi
jalan-jalan ke mal di pusat kota yang tak begitu jauh jaraknya dari Istana
Maimun, belanja, makan dan minum, lalu kembali ke hotel sementara lelaki yang
Pak Rukmana yang posesif. Ia tak mau aku terlihat bersamanya ketika ia
hotel. Ia membebaskan aku pergi sesukaku ke mana pun di siang hari asal ketika
ia kembali ke kamar di malam harinya aku sudah dalam keadaan siap melakukan
apa pun yang dimintanya. Ya… apalagi kalau bukan permintaan yang begituan.
Aku sempat cemas ia termasuk dari jenis lelaki yang memiliki kelainan seksual,
yang baru terangsang setelah terlebih dulu melakukan kekerasan terhadap teman
205
kencannya. Untunglah kecemasanku urung menjadi kenyataan. Memang tak
Sahal tahu aku sudah pulang. Pundi-pundinya akan bertambah lagi, 30%
buncit seperti kerbau yang nafsu seksnya jauh lebih besar daripada daya tahan
penisnya. 30% dari keringatku (dari tubuhku) yang lebih dari cukup untuk
hidupnya yang serba wah dan borju. Suaranya di telefon yang membuatku
terbangun lebih pagi dari biasanya, menandakan ia sedang riang betul. Seniorku
yang satu ini sudah sangat menikmati perannya yang lain. Germoku.
Sahal adalah jenis mahasiswa yang lebih banyak berada di luar daripada di
tinggal di rumah sendiri. Secara ekonomi hidupnya mandiri dan sudah lama tidak
memiliki pergaulan yang luas dan kenalan yang beragam. Kadang-kadang ia juga
menjadi pemandu wisata turis lokal atau asing yang tersesat ke Kendari. Sahal
renyah).
206
- (Tertawa). Dia sempat telefon aku. Marah-marah. Katanya kamu
- Lain kali pilih-pilih, dong, Kak. Jangan kasih lembu kayak gitu….
- (Tertawa lagi). Cuma itu kakap yang Kakak punya bulan ini. Dia
- Nggaklah. Cuma bete aja kalau kliennya kayak gitu. Main jebus
- Mana bisa lupa, Dani sayang? Satu bulan satu klien. Tiga hari dari
sekarang kan sudah bulan yang baru.… Percayalah klienmu kali ini
- Ke luar kota?
Ah, apakah aku sudah terjebak dalam permainan berbahaya ini? Apakah
aku sudah mulai sulit untuk keluar dari jeratan berbagai kenikmatan dan
kesenangan yang disediakan dengan mudah permainan ini? Tentu saja apabila aku
207
dapat memainkannya dengan baik. Mungkinkah suatu ketika aku terlempar begitu
jauhnya dan tak dapat lagi kembali? Apa yang kucari sebenarnya? Materi? Kasih
menjadi semacam candu yang membuatku tergantung dan ketagihan dan aku tak
lagi dapat meloloskan diri dari jeratannya? Apakah ini memang permainan?
merenung dan berpikir. Menilai apa yang kulakukan setahun terakhir, setelah
kepergian mama. Aku tahu suatu ketika aku harus menyelesaikan apa yang telah
kumulai. Bukan karena aku takut pada akhirnya papa dan Dina tahu. Bukan itu.
Aku hanya sadar bahwa suatu saat aku harus berhenti melarikan diri. Mungkin
Mungkin sudah saatnya aku punya pacar tetap. Barangkali ada baiknya aku mulai
membuka diri terhadap Sigit, sahabat dekatku sejak sekolah menengah dan yang
sekarang ini juga sedang menyelesaikan skripsinya. Sigit yang penuh perhatian.
Sigit yang kepadanyalah aku bersedia mencurahkan isi hatiku. Sigit yang selalu
KAMI tidak berlama-lama di rumah makan itu. Hanya ada dua meja
terisi. Meja kami dan sebuah meja panjang di dekat pentas yang para penghuninya
beranjak pulang lebih kurang lima belas menit setelah kami datang. Ini bukan
pertama kalinya aku makan malam di restoran paling top di Kendari itu. Saking
208
ngetop-nya mereka yang akan makan malam di tempat ini harus memesan tempat
beberapa jam sebelumnya karena biasanya seluruh meja terisi. Aku pikir
persoalannya bukan terutama karena rumah makan itu selalu penuh pengunjung
tetapi karena itulah cara pengelola restoran menjaga gengsi tempat itu.
yang ingin menyumbangkan suara mereka, dan juga keyboardist dan penyanyi
tetap restoran itu, memperdengarkan lagu-lagu lembut. Suaranya yang serak dan
berat terdengar seksi ketika ia mulai memainkan Misty. Aku agak terkejut ketika
dari salah seorang pelayan, sewaktu aku pergi ke toilet, aku tahu bahwa lagu itu
dimainkan Jim, sang pemain keyboard, atas permintaan Kafka, tamuku. Aku
segera dapat mengukur level Kafka. Kalau Anda sudah tidak asing lagi dengan
sangat bermartabat, yang bermartabat, atau sama sekali tidak bermartabat, maka
bukan hal yang aneh apabila Anda segera dapat mengukur level seseorang dari
lagu yang dia minta untuk dimainkan atau dari lagu yang dia nyanyikan.
Kafka tak sedikit pun menyentuh nasi. Hanya dia, setelah menghabiskan
dua mangkuk kecil tomyam, terlihat rakus melahap ikan baronang bakar dan
selusin udang ukuran sedang. Ia masih tak banyak bicara. Hanya sesekali tanpa
- Tak ada sumber protein yang lebih baik daripada ikan. (Katanya,
tersenyum).
209
- Mas Kafka ini anggota angkatan laut, Maya. (Sahal menimpali).
- Iya. Mas Kafka tidak makan daging semua hewan darat. (Sahal
Kering. Formal. Tertib. Seperti pakaiannya yang perlente dan rapijali itu. Ah,
tetapi paling tidak selera musiknya baik. Apabila seseorang di sebuah kafe atau di
baik.
Aku dan Sahal baru saja menyelesaikan makan malam kami ketika kulihat
Kafka berdiri dan berjalan pelan ke arah Jim. Kulihat mereka saling berbisik
sebentar, dan tak berapa lama kemudian kudengar dari atas pentas Kafka berkata,
“Lagu ini saya persembahkan untuk Maya. Untuk hari-hari yang akan kita lalui
bersama.”
Jim mengutus intro. Dan All the Way pun mengalun seperti riak danau
senja hari. Gila! Ini lagu kesukaan mama. Lagu kesukaanku juga. Sering kulihat
mama malam-malam masih duduk di depan komputer yang menyala, dan All the
210
Pernah suatu malam aku menyelinap masuk ke kamar kerja mama,
“Lagu itu punya kenangan khusus ya, Ma? Entar Dani bilangin sama Papa.”
mengusap rambutku, lalu berkata pelan, “Semua orang punya kenangan, Dani.
Tak banyak orang tahu ini lagu kesukaanku. Aku mengerling ke arah
Suara Kafka tak bisa dibilang sempurna. Itu bisa dipahami. Ia toh bukan
penyanyi profesional. Yang membuat lagu itu terdengar begitu indah di telingaku
penghayatan.
kesayanganku.
211
- Tentu saja saya percaya dia sama ngantuknya denganmu
Sahal menunggu di kursi lobi hotel ketika kami berdua masuk ke dalam
restoran yang bersebelahan dengan lobi. Aneh, sehabis makan malam, tamu-
tamuku yang lain biasanya langsung menyeretku ke tempat tidur. Dengus syahwat
mereka bahkan sudah tercium ketika masih berada di dalam mobil, semakin kuat
ketika sudah melihat pintu kamar, dan segera menjadi babi ketika sudah berada di
dalam kamar.
- Teh krimer baik diminum malam hari. Membuat tubuh kita jadi
- Belum….
- Cobalah.
- Saya ingin anda ikut saya besok ke Palu. Tak akan lebih dari dua
hari.
- Apa yang bisa saya bantu di sana? (Tiba-tiba aku merasa bodoh
212
- Tak ada. Saya hanya ingin anda tak keberatan menjadi teman
- Ayah anda tak keberatan anda bepergian dengan orang yang baru
anda kenal?
- Apa perlu malam ini saya mampir ke rumah anda barang sebentar
- (Diam agak lama). Rupanya nasib kita tak jauh beda. Kehilangan
terlihat murung).
jalan raya yang pekat dan sepi. Lalu menatap lama mataku).
Mama anda?
- Setahun lebih.
- Saya kira sudah saatnya kita istirahat. Sahal sudah mengurus semua
bandara.
213
- Baiklah. Sampai jumpa besok, Kak. (Aku berdiri. Mencium
- Wah! Rupanya persamaan kita bertambah lagi. Saya kira kita akan
Sahal sudah jatuh tertidur di kursi lobi hotel itu. Kafka agak keras
mengguncang-guncang bahunya.
- Bangun, Penidur….
- Sorry, Mas. Lelah sekali aku. Gimana, aku sudah boleh pergi?
- (Heran). Pulang?
PUKUL tiga lebih dua puluh lima menit. Aku sudah sepuluh menit
berada di kamar 109 ini. Duduk di salah satu kursi memegang remote TV. Saluran
HBO sedang memutar sebuah film lama yang dibintangi Charles Bronson. Aku
tak tahu judulnya. Lagi pula apa urusannya? Papaku mungkin kenal Bronson,
tetapi aku tidak. Aku memindahkan saluran TV ke MTV. Tapi jika datang ke
214
mari hanya untuk sekadar nonton MTV, aku lebih suka melakukannya di kamar
Aku seperti hilang di kamar itu, dan jika pun dianggap ada, barangkali aku tak
kasih. Sebentar lagi. Tak akan lama…. Maaf membuat Anda menunggu. ”
Aku baru saja selesai packing dan hendak pergi ke kamar mandi ketika
HP-ku berdering. Ah, mungkin papa atau Dina. Aku segera lari ke meja makan
dan menyambar HP itu. Bukan nomor papa. Juga bukan nomor Dina.
packing?
- Sudah.
- Oke.
Pada dasarnya aku adalah tipe orang yang menunggu. Aku bukan
penstimulus. Aku perespon. Dalam situasi semacam itu, ketika seorang lelaki
215
dewasa dan seorang perempuan dewasa berada di dalam sebuah kamar yang
sangat pribadi pada waktu yang sangat pribadi pula, berdasarkan pengalaman, aku
lebih suka bersikap menunggu. Kita tak pernah bisa menebak apa keinginan klien.
kehidupan seperti ini, “menunggu” adalah sikap yang terbaik. Itu akan
membuatku tak bisa ditebak, dan ketika diriku tak bisa ditebak, maka nilaiku akan
ke kamar mandi. Terdengar suara guyuran kloset. Kucuran air kran wastafel.
Suara mulut yang berkumur. Dan tak lama berselang pintu kamar mandi itu
terbuka kembali. Wajah Kafka terlihat segar. Ia berjalan ke arah pintu kamar,
Ia menarik satu kursi lainnya yang tadinya terletak sejajar dengan kursi
yang sedang kududuki dan hanya terpisah sebuah meja bulat yang ringkih. Ia
216
“Jadi, siapa yang akan bercerita lebih dulu?” tanyanya dengan suara yang
datar.
ternyata seorang pemburu, tentulah ia seorang pemburu yang sangat sabar yang
perangkapnya dan tak bisa lagi meloloskan diri. Kalau ia orang yang biasa
bertindak hati-hati, maka tentulah ia telah melewati masa-masa latihan yang lama,
termasuk latihan menghadapi situasi seperti ini. Tiba-tiba aku teringat si lelaki
Jakarta itu dan sejumlah pria lain setahun terakhir dan aku begitu saja sadar bahwa
tidak semua tamuku babi. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa aman sekali, seakan-
lalu hanya mama yang mampu memberikannya. Tiba-tiba pula aku merasa
menjadi seorang anak kecil yang rapuh di hadapan papa yang mengetahui segala
sesuatu.
SENJA sudah selesai. Satu jam yang lalu. Langit kota Palu yang jarang
kencang. Daun-daun lebar dan runcing pohon-pohon kelapa sawit yang bertebaran
di sepanjang kebun terpelihara rapi yang mengelilingi kolam renang itu seperti
menari-nari. Tarian yang kaku. Debur ombak Teluk Palu sayup-sayup sampai.
belakang sebuah kamar sekelas suite Palu Golden Hotel tempat kami menginap,
kelihatannya sudah saling mengenal lama sekali. Lelaki yang sama yang
aku dapat mengambil kesimpulan jadwal Kafka di Palu dalam dua hari ini akan
adalah kontak Kafka di Palu ini. Pak Afuz-lah yang mengatur jadwal pertemuan
para pemohon bantuan dana penelitian dari berbagai kalangan di kota ini, baik
bertemu langsung dengan Kafka sebagai program officer Freedom for Asian
Foundation. Yayasan karitasi itu berkantor pusat di Tokyo, Jepang, dan memiliki
kantor perwakilan di ibu kota sejumlah negara di Asia. Kafka sendiri berkantor di
Jakarta.
bulan dalam setahun untuk turun langsung ke lapangan dan itu artinya
218
Sumatera hingga Papua. Selama tiga minggu terakhir ini, ia menghabiskan
Kendari.
seorang peneliti dari Biro Pusat Statisitik setempat. Di Palu, sedikitnya ada empat
orang dosen (semuanya dari Universitas Tadulako) dan dua LSM yang menunggu
Ada memang. Tetapi tak sebercahaya ketika mereka kulihat di langit Raha.
Kembali ingatan tentang mama menyergapku. Lalu papa. Lalu Dina. Teman-
teman masa kecilku. Mama lagi. Kemudian kamar tidurku yang dikuasai warna
pink. Dan dini hari yang aneh itu, di kamar 109 Hotel Aden.
219
Ketika Kafka berkata, “Jadi siapa yang akan bercerita lebih dulu?” aku tak
tahu harus menjawab apa. Bagaimanapun aku merasa Kafka masih menjaga jarak
denganku. Ia selalu menyapaku dengan “anda” bukan dengan “kamu” atau dengan
nama lainku pemberian Sahal, “Maya”. Nama yang selain Sahal mungkin hanya
diketahui tamu-tamuku.
Aku cuma tersenyum. Melihatku berdiam diri seperti itu dan membalas
pertanyaannya hanya dengan senyuman panjang, Kafka berkata lagi, “Mau saya
dongengi?”
Anak kecil yang memiliki sayap kupu-kupu. Dan aku tahu, sayap-sayapku rapuh.
ingat dengan baik. Akan jadi sangat tebal bila saya menuliskannya
dalam sebuah buku. Ibu saya suka mendongeng. Tapi dulu. Dulu
- Belum.
- Nah, itu dongeng yang akan saya kisahkan kepada anda sekarang.
Dongeng itu belum pernah saya dengar dari ibu, nenek dan orang
lain. Juga belum pernah saya ceritakan kepada siapa pun. Tahu
kenapa?
- Kenapa, Kak?
220
- (Aku tak bisa berbuat lain kecuali ikut tertawa juga). Awas kalau
nggak seru!
main. Ia cuma ingin membuatku merasa terhibur dan tertawa, barangkali. Aku
“Anda lelah sekali, gadis kecil yang rapuh. Tidurlah….” Lalu kurasakan tubuhku
membaringkanku di tempat tidur. Masih dapat kulihat ia menarik selimut tebal itu
hingga ke dadaku, lalu lamat-lamat kudengar suara pintu kamar ditutup, pintu
kamar mandi yang terbuka dan tertutup kembali, dan tubuh seseorang kemudian
menyelusup ke dalam selimut lain dan berbaring di tempat tidur sebelah yang
memakai pakaian yang sama yang kupakai malam itu: celana jeans biru, kemeja
lengan panjang warna biru dalam balutan sweater warna yang sama. Satu-satunya
yang tanggal dari tubuhku malam itu hanya sepatuku yang terlihat kaku dan
kedinginan di bawah kursi. Aku tahu, Kafka tak menyentuhku sama sekali.
221
“Kita masih punya waktu satu jam. Cukup untuk anda mandi, ganti
pakaian, dan sarapan.” Itulah yang dikatakan Kafka pagi itu sebelum kami pergi
“Uh, hari yang melelahkan,” ujarnya singkat. “Rasanya kota Palu tambah
Aku menggeleng. Aku sama sekali tak merasa lapar malam itu.
“Kita makan di kamar saja, ya. Room service di hotel ini tidak akan
membuat kita menunggu terlalu lama.Tolong pilihkan menu untuk kita. Apa saja
yang cocok untuk makan malam yang terlambat. Saya kira sebaiknya saya mandi
yang baik baginya—di atas single bed yang sangat lebar itu, di kursi kamar, di
kursi beranda, dan di tempat tidur itu lagi—dan menyimak ceritanya yang pada
beberapa bagian bagiku tak masuk akal, barulah aku mulai mengetahui banyak hal
memahami siapa klienku yang lain daripada yang lain ini meskipun sebenarnya
aku biasa dibayar bukan untuk memahami atau mendengarkan tamu melainkan
222
Itu semua dimulai ketika Kafka berkata bahwa setelah kakek dan ibunya,
dialah yang menjadi satu-satunya orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma.
Kafka juga berkata bahwa karena ilmu itulah hidupnya menjadi terkutuk, dan ia
Kafka tidak mau menjelaskan lebih jauh kepadaku apa sesungguhnya ilmu
pamungkas sukma itu dan kenapa ilmu itu membuatnya menjadi orang yang
kepadanya apakah ilmu pamungkas sukma itu ada hubungannya dengan inti
kekuatan jiwa yang diceritakannya itu. Ia hanya menyebutkan bahwa ilmu itu
adalah ilmu yang terlarang, yang dapat digunakan untuk memusnahkan jiwa atau
nyawa seseorang dengan cara yang sangat halus namun mengerikan. Bukan hanya
itu, orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma juga dapat menundukkan maut.
rahasia itu kepada Kafka: orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma hanya
dapat mati oleh pemilik ilmu pamungkas sukma juga. Ilmu itu tidak dapat
sebagian lagi hanya khayalannya saja. Ada yang masuk akal dan ada yang tidak
masuk akal. Ada beberapa bagian dari ceritanya yang kupercayai, dan ada
beberapa bagian dari ceritanya yang aku tidak mempercayainya sama sekali.
223
Aku tidak percaya Kafka pernah membunuh anjing gila itu. Aku tidak
percaya kaki kiri Kafka dapat membunuh orang sekali tendang. Aku tidak percaya
Kafka pernah membunuh ayah tirinya sendiri. Aku bahkan tidak percaya Kafka
Aku tidak percaya ibu Kafka mati bunuh diri. Aku tidak percaya Kafka
punya ilmu pamungkas sukma, seandainya ilmu itu memang ada. Aku tidak
nyawanya. Aku bahkan tidak percaya saat ini kakek Kafka masih hidup.
Aku percaya Kafka penikmat musik dan sajak-sajak bagus. Aku percaya
Kafka bisa memasak. Aku percaya Kafka pernah menikah dan kemudian bercerai
dengan seorang perempuan bernama Meita. Aku percaya Kafka pernah mencintai
Aku percaya aku telah jatuh cinta kepada Kafka, dan aku tidak ingin ia
224
Catatan
iWilliam Shakespeare. Karya-karyanya yang terdiri dari 37 drama dan 160 soneta dan puisi, yang
sebelumnya diterbitkan terpisah-pisah, dikumpulkan dalam The Illustrated Stratford Shakespeare,
London: Chancellor Press, first published in 1993, reprinted 2003.
ii
Pengelompokan novel dari segi bentuk ke dalam 72 jenis ini merupakan pemetaan kompilatif
yang merujuk pada antara lain: Leonard Dodsworth, The Survival of Novel: A Contemporary
Survey, London: Faber and Faber (1970); Malcolm Bradbury and David Palmer, The
Contemporary English Novel (Stratford-Upon-Avon Studies 18), New York: Holmes & Meier
Publisher (1979); Julia Strinberg, The Modern Novel, London: The Hogarth Press (1985); Esther
Van Homrigh and Thérèse le Vasseur, A History of Western Novel, London: Secker & Walburg
(1998: khususnya halaman 125-232 dan 711-824).
iii
Meninggal di Madrid, Spanyol, 23 April 1616.
iv
Nama aslinya, Daniel Foe. Lahir di London, 1660, dan meninggal 24 April 1731, di kota yang
sama. Novel-novelnya: Robinson Crusoe (1719), Moll Flanders (1722), dan Roxana (1724).
v
Meninggal 4 Juli 1761 di Parson’s Green, dekat London. Samuel Richardson inilah yang
dipandang sebagai peletak dasar-dasar penulisan epistolary novel. Novel-novelnya yang utama
adalah Pamela (1740) dan Clarrisa (1747).
vi
Lihat: Aristoteles, “Poetics” dalam Reading for Liberal Education, Locke, Louis G. et.al. (eds.),
New York: Holt Rinehart and Winston, 1967.
vii
Lihat: E.M. Forster, Aspects of the Novel, Harmondsworth: Penguin Books, 1970.
viii
Nama aslinya, Émile Édouard Charles Antoine, lahir 2 April 1840 di Paris dan meninggal 28
September 1902 di kota yang sama. Ia menulis sekitar dua puluh novel. Selain Theresa (Thérèse
Raquin), antara lain: Nana (1880), Germinal (1885), L’Oeuvre (1886), dan La Bête Humaine
(1890).
ix
“Since the death of Evelyn Waugh,” tulis Graham Green dalam endorsement buku Under the
Banyan Tree and Other Stories, “Narayan is novelist I most admired in the English language.”
x
Kelak barulah saya ketahui, ketika saya memperoleh kesempatan berkunjung ke Mesir, dan
melakukan perjalanan darat dari Kairo ke Alexandria lebih kurang 400 kilometer jauhnya, bahwa
perpustakaan yang saya lihat dalam mimpi itu meskipun masih jauh lebih luas, mirip sekali
interiornya dengan Perpustakaan Alexandria, perpustakaan yang dapat dikatakan tertua di dunia.
xi
Terima kasih.
xii
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
xiii
Dalam mitologi Yunani ada tiga grasia. Mereka adalah gadis-gadis yang membantu para Musae,
puteri-puteri Zeus.
xiv
Dasar kambing!
225
xv
Kutendang baru tahu rasa kau!
xvi
Salah satu bentuk makian kasar yang diarahkan pada penistaan terhadap bibir.
xvii
Anak perempuan dari Cadmus dan Harmonia, dan ibu dari Dionysus. Saingan Hera, isteri Zeus.
xviii
Nilai Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) Murni.
xix
Penelusuran Minat dan Kemampuan.
226