Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN DUGAAN KORUPSI PERALATAN SIARAN

DI TELEVISI REPUBLIK INDONESIA (TVRI)

Pendahuluan

Bagaimana kabar TVRI beberapa saat sebelum menjadi Televisi Publik sesuai
amanat Undang-undang Penyiaran no. 32 tahun 2002? Sesuai dengan ketentuan
undang-undang, awal tahun 2006 nanti, status TVRI sudah berubah dari Persero
menjadi TV Publik. Apakah pengelolaan TVRI dilakukan secara profesional dan
akuntabel?

Di usianya yang mencapai kurang lebih 40 tahun, keberadaan institusi ini terus
mengalami mengalami pasang surut. Secara historis TVRI sangat berperan
dalam membuka cakrawala informasi masyarakat Indonesia. Sebagai stasiun
televisi pertama, TVRI merupakan hasil dalam revolusi medium informasi pada
awal umur republik. Dengan kehadirannya, masyarakat indonesia seolah
menjadi bagian dalam setiap peristiwa dunia.

Jasa TVRI boleh dibilang tidak sedikit, prestasinya mulai dirintis sejak tahun
1961 ketika Presiden Soekarno berupaya memasukan program media televisi
kedalam proyek Asian Games di Jakarta. Akhirnya pada Tanggal 24 Agustus
1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung
upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno
pada era 60-an.

Dalam perjalanannya, stasiun televisi yang kini memiliki 395 stasiun pemancar
ini selalu diiringi oleh dinamika politik kekuasaan yang berimplikasi pada status
dan perannya. Selama orde baru, TVRI identik sebagai televisi pemerintah,
khususnya ketika TVRI berada dibawah naungan Departemen Penerangan. Saat
itu, TVRI menjadi corong propaganda Pemerintah, dimana tugas TVRI adalah
untuk menyampaikan policy Pemerintah kepada rakyat. Program penyiaran
sindikasi TVRI terintegrasi pada kebijakan maupun program pembangunan
pemerintah Orde Baru.

Posisi TVRI yang strategis tersebut memang cenderung diperebutkan dan


digunakan oleh kekuasaan baik sebagai sumber ekonomi layaknya BUMN lain
maupun sebagai ajang kampaye politik dalam program siarannya. Kondisi
memprihatinkan inilah yang kemudian mendorong terjadinya perubahan status
TVRI menjadi televisi publik sehingga stasiun ini benar-benar menjadi milik
seluruh rakyat indonesia.

1
Hingga kini, TVRI telah beberapa kali mengalami perubahan status. Mulai dari
bentuk Yayasan menjadi perusahaan jawatan (perjan) kemudian Persero hingga
menjadi lembaga penyiaran publik yang secara resmi akan berlaku pada tanggal
28 desember 2005 nanti. Perubahan statuta yang terjadi tentu berpengaruh pada
peran, tanggung jawab dan profesionalitas TVRI sebagai lembaga siaran yang
strategis.

Apakah dalam tiga tahun masa transisi menuju TV publik ini, profesionalitas
dalam hal penyiaran dan manajemen serta akuntabilitas dalam hal manajemen
keuangan TVRI membaik? Ataukah TVRI akan menyusul 15 BUMN lainnya
yang terindikasi korupsi seperti sinyalemen Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh?1. Public Accountability Review yang disusun ICW ini akan menjabarkan
tiga hal sebagai berikut:
1. Kondisi manajemen keuangna yang buruk
2. Dugaan manipulasi keuangan pendapatan iklan
3. Dugaan korupsi dalam pengadaan peralatan siaran tahun 2004.

A. Buruknya Manajemen Keuangan

Undang-undang penyiaran No 32 Tahun 2002 mensyaratkan TVRI untuk


menyesuaikan diri dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak UU tersebut
disahkan untuk mejadi televisi publik. Jika mengacu pada UU berarti awal 2006
ini Televisi Republik Indonesia (TVRI) secara definitif sudah menjadi lembaga
penyiaran publik.

Perubahan tersebut tentu bukan sekedar konversi status, setiap perubahan selalu
membawa konskuensi. Dengan menyandang predikat televisi publik, lembaga
ini harus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dengan
menyajikan program siaran yang berkualitas dengan nuansa civic education.
Selain itu juga harus diiringi dengan manajemen yang professional dan
pengelolaan keuangan yang bersih, transparan dan akuntabel mengingat
nantinya masyarakat akan ikut serta langsung membiayai TVRI.

Sampai saat ini dengan statusnya sebagai Persero, sumber keuangan TVRI masih
disubsidi oleh Negara. Dalam APBN, subsidi diberikan dalam bentuk Public
Service Obligation (PSO). Pada tahun 2004 besar PSO 275,9 milliar (nota keuangan
RAPBN 2005), sedangkan pada tahun ini sekitar 250 milliar saja (nota keuangan
RAPBN 2006). Selain dari subsidi APBN, TVRI juga melakukan mobilisasi dana
sebagai imbal jasa penyiaran diantaranya pemasukan dari iuran wajib pemilik
pesawat televisi, pendapatan coverage (peliputan berita) dari instansi lain,

1
Media Indonesia Online, Jaksa Agung: 15 BUMN Dipastikan Terjadi Korupsi, 20 mei 2005

2
kerjasama dengan pihak ketiga yang bekerja sama dengan stasiun TVRI Daerah,
serta pemasukan dari sumber iklan2.
Jika dilihat dari sumber pendapatannya, seharusnya TVRI menjadi lembaga
yang mapan dan kompetitif dengan TV swasta lain. Namun sayangnya beberapa
tahun belakangan ini kondisi TVRI justru sangat memprihatinkan, keuangan
selalu merugi bahkan mencapai 300 milliar. Berdasarkan data keuangan TVRI
pada tahun 2001 kerugian operasional sebesar Rp 393 miliar kemudian
meningkat Rp 423 miliar pada 20023.

Kondisi tersebut tentu berpengaruh pada seluruh jaringan TVRI diseluruh


daerah, beberapa stasiun transmisi TVRI seperti Padang, Surabaya, Medan, dan
Denpasar terancam tidak mengudara. Selain karena kerugian yang demikian
besar, perubahan status menjadi PT Persero juga berakibat tiadanya support dari
APBN bagi operasional TVRI daerah. Otomatis saat ini TVRI daerah kondisinya
kembang-kempis akibat operasionalnya tergantung dari kemurahan pemerintah
daerah masing-masing.

Sayangnya, kondisi yang sudah sangat memprihatinkan tidak diiringi oleh


profesionalisme dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan TVRI.
Dalam rapat kerja yang diadakan maret 2005 di komisi XI DPR RI yang
membahas laporan keuangan dan rencana PSO empat BUMN, jajaran direksi
sempat “diusir” karena dianggap melecehkan dewan. Rapat kerja yang salah
satu agendanya membahas laporan kinerja keuangan TVRI terpaksa diundur
esoknya karena TVRI ternyata hanya menyiapkan selembar laporan keuangan.

Terlepas dari itu ada yang menarik jika kita mencermati laporan keuangan yang
disampaikan direksi TVRI ke DPR, ternyata terdapat perbedaan yang signifikan
dengan laporan keuangan yang diberikan direksi ke Menteri BUMN. Jumlah
kerugian misalnya, menurut laporan keuangan yang disampaikan ke menteri
negara BUMN tercantum bahwa kerugian TVRI pada tahun 2004 sebesar Rp.
23.095.168.785,00 (Dua puluh tiga milliar sembilan puluh lima juta seratus enam
puluh delapan ribu tujuh ratus delapan puluh lima rupiah). Sedangkan kerugian
versi yang dilaporkan ke komisi XI DPR sebesar Rp. 32.929.372.054,00 (Tiga
puluh dua milliar sembilan ratus dua puluh sembilan juta tiga ratus tujuh puluh
dua juta lima puluh empat rupiah). Lantas, laporan manakah yang harus dirujuk
oleh publik? Perbedaan laporan keuangan diatas, mengindikasikan kesemrautan
manajemen keuangan TVRI.

2
Laporan Keuangan PT TVRI ke Menneg BUMN, Bagian III tentang penjelasan Perhitungan
Rugi/Laba Periode 1 Januari s/d 31 Desember 2004, Hal 32-34
3 Tempo Interaktif, Kerugian Operasional TVRI 300 Milliar, 20 April 2005

3
B. Pemasukan Iklan yang tidak jelas

Bisnis media massa sangat terkait dengan industri periklanan. Dalam lima tahun
terakhir bisnis periklanan tumbuh di kisaran 24%-26%. Tahun 2004 pendapatan
iklan cetak dan elektronika naik 34% dari Rp 16,4 milliar menjadi Rp 22,2 milliar
dan tahun ini secara nasional omzet iklan diperkirakan mencapai Rp 26 milliar
atau naik sekitar 20%4.

Sebuah survei menjelaskan bahwa 50% pengeluaran iklan dunia dihasilkan oleh
Amerika Serikat dan televisi memegang peranan yang besar dalam beriklan5. Di
Indonesia sendiri Televisi menyedot pangsa iklan terbesar 60%, diikuti surat
kabar 26%, media luar ruang 5%, majalah 4%, radio 3% dan tabloid 2%6.

Lantas dimana posisi TVRI ditengah peluang mendapatkan keuntungan yang


demikian besar ? Jika bicara jangkauan siaran (coverage), potensi TVRI sangat
menjanjikan. Dengan 395 stasiun transmisi diseluruh indonesia, jangkauan
siaran TVRI lebih unggul dibandingkan televisi-televisi swasta lainnya. Namun
berdasarkan Riset yang dilakukan AC Nielsen, sejak tahun 2003-2004 TVRI
selalu menempati urutan buncit diantara stasiun TV swasta dalam perolehan
keuntungan dari iklan.

Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan Pendapatan TVRI melalui iklan
masih minim, Pertama, TVRI baru akhir-akhir ini dapat memasang iklan,
sehingga dalam kompetisi mendapatkan iklan, TVRI adalah pemain baru.
Tercatat sejak keluarnya PP No 9 tahun 2002 tentang perubahan status TVRI dari
perusahaan jawatan menjadi PT Persero, TVRI baru benar-benar serius terjun
dalam kompetisi mendapatkan iklan.

Kedua, buruknya kualitas program siaran TVRI. Berdasarkan survei AC Nielsen


Indonesia, stasiun televisi tertua di republik ini hanya ditonton 10 persen dari
seluruh jumlah penduduk. Hal ini diperkuat oleh survei yang dilakukan
Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) terhadap TVRI di 23 kota, terungkap
bahwa penonton program TVRI cenderung lebih banyak jumlahnya di kota-kota
atau wilayah penelitian yang hanya dapat menangkap siaran TVRI dan satu
stasiun televisi swasta.

Ditengah kurangnya daya saing TVRI dalam memeperebutkan pangsa iklan,


terendus adanya dugaan manipulasi dalam pengelolaan pendapatan dari iklan
ini. Hal ini tergambar pada paparan dibawah;

4
Suara merdeka, Omzet iklan 2005 RP 26 milliar, Sabtu, 02 April 2005
5
Hasan Oetomo, http://www.petra.ac.id/dwipekan/edisi07_xxviii/seputar.html
6
Pikiran rakyat, Strategi Radio dalam persaingan, 30 September 2004

4
1. Tiga Versi Laporan Pendapatan Iklan

Ditengah kembang kempisnya perolehan iklan TVRI, tercium aroma tak sedap
tentang adanya indikasi manipulasi pendapatan dari perolehan iklan. Hal ini
bermula ketika Direksi TVRI menyampaikan laporan pertanggungjawaban
keuangan tahun 2003-2004 di hadapan Kepala Stasiun TVRI seluruh Indonesia.
Dalam rapat tersebut Direksi mengungkapkan bahwa pendapatan iklan TVRI
rata-rata sebesar Rp. 4 Miliar/bulan atau adalah 48 milliar/setahun. Jika
berdasarkan grafik pendapatan iklan, total pendapatan dalam tahun 2004
sebesar Rp. 47.840.600.000,00 (Empat puluh tujuh milliar delapan ratus empat
puluh juta enam ratus ribu rupiah) ( Lihat lampiran 1 : Grafik pendapatan iklan )

Namun jika laporan tesebut dibandingkan dengan laporan keuangan (anaudited)


PT TVRI Pesero Tahun 2004 yang dilaporkan secara resmi ke Menteri Negara
BUMN, tercantum jumlah penerimaan iklan selama setahun sebesar Rp.
33.632.878.093,00 (Tiga puluh tiga milliar enam ratus tiga puluh dua juta delapan
ratus tujuh puluh delapan ribu sembilan puluh tiga rupiah), dengan rincian
sesuai dalam tabel 1.

Tabel 1 : Penerimaan Pemasangan Iklan Stasiun TVRI Periode 1 Januari s/d 31 desember 2004*
No. Nama Stasiun TVRI Jumlah Penerimaan
1. Kantor Pusat Rp. 24.855.150.254,00
2. Nanggroe Aceh Darussalam Rp. 769.515.000,00
3. Sumatera Utara Rp. 535.929.187,00
4. Riau Rp. 178.492.000,00
5. Sumatera Barat Rp. 296.098.384,00
6. Sumatera Selatan Rp. 243.910.728,00
7. Jambi Rp. 324.587.317,00
8. Bengkulu Rp. 350.000,00
9. Lampung Rp. 131.647.090,00
10. Jawa Barat & Banten Rp. 1.136.627.060,00
11. Jawa Tengah Rp. 620.709.189,00
12. Jawa Timur Rp. 2.647.171.227,00
13. Bali Rp. 253.570.127,00
14. Kalimantan Barat Rp. 122.820.095,00
15. Kalimantan Tengah Rp. 337.914.562,00
16. Kalimantan Selatan Rp. 332.212.500,00
17. Kalimantan Timur Rp. 149.212.500,00
18. Sulawesi Selatan Rp. 267.250.000,00
19. Sulawesi Utara Rp. 71.120.600,00
20. Sulawesi Tengah Rp. 77.300.000,00
21. NTT Rp. 70.192.500,00
22. Maluku Rp. 121.870.000,00
23. Papua Rp. 89.227.773,00
Jumlah Rp. 33.632.878.093,00
* Sumber: Laporan Keuangan TVRI ke Menneg BUMN

5
Laporan resmi yang diserahkan ke Menneg BUMN tersebut ternyata juga
berbeda jika dibandingkan dengan laporan yang diserahkan direksi ke komisi XI
DPR RI. Dalam laporan kinerja keuangan TVRI versi Komisi XI selain adanya
perbedaan jumlah kerugian total yang diderita, jumlah pendapatan dari iklan
yang diraih TVRI pada tahun 2004 ternyata lebih menyusut lagi jumlahnya
menjadi Rp. 31.570.681.537,00 (Tiga puluh satu milliar lima ratus tujuh puluh
juta enam ratus delapan satu ribu lima ratus tiga puluh tujuh rupiah)

Jadi secara keseluruhan paling tidak ada tiga versi laporan pendapatan dari iklan
yang berbeda, yaitu versi laporan untuk kepala stasiun TVRI daerah, versi
laporan untuk Menneg BUMN dan versi laporan untuk komisi XI DPR RI.
Seperti halnya laporan kerugian keuangan, perbedaan angka dalam laporan
pendapatan iklan ini menandakan ketidakberesan manajemen keuangan dan
jauh dari awpek akuntabilitas.

2. Dugaan Manipulasi Pendapatan Iklan

Kontroversi perbedaan antara tiga versi laporan penerimaan pendapatan dari


iklan masih berlanjut. Menurut data penerimaan iklan (gross) yang dimuat
dalam majalah “MARKETING” terbitan No 02/V/Februari 2005, tercantum
penerimaan TVRI dari sektor iklan selama tahun 2004 mencapai 517.941 Miliar
atau mengalami pertumbuhan sebesar 524,4% sejak tahun 2003 yang hanya
sebesar 82,953 milliar.

Hasil survei tersebut sempat mendorong Serikat Pekerja (SP TVRI) melaporkan
temuan ini salah satunya kepada Menneg BUMN melalui surat No
121/III/VIII/2004 untuk meminta konfirmasi tentang hasil pendapatan iklan
TVRI. Kemudian atas permintaan Roes Aryawijaya Deputi Bidang Usaha
Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi kemudian Direksi
TVRI memberikan klarifikasi yang salah satu intinya bahwa AGB Nielsen Media
Research setiap tahun menerbitkan Advertising Expenditure, dimana semua
iklan yang ditayangkan sebuah stasiun TV dalam satu tahun dikalikan dengan
tarif iklan penuh (Gross Published Rate Card) tanpa memperhatikan discount,
bonus dan harga paket iklan berupa sponshorship yang diberikan stasiun televisi
kepada pemasang iklan.

Berdasarkan analisa terhadap dokumen-dokumen yang ada memang beberapa


hal patut dicermati. Pertama, tingkat pertumbuhan iklan. Perolehan hasil dari
iklan TVRI pada tahun 2004 dibandingkan dengan TV swasta lain memang
paling rendah namun jika dilihat dari tingkat pertumbuhan 2003-2004 justru
sangat fantastis. Dengan tingkat pertumbuhan 524,4%, TVRI jauh meninggalkan
stasiun TV swasta terkenal seperti RCTI (21,3%), Indosiar (12,6%) dan SCTV
(0,2%). Sebuah pencapaian yang luar biasa yang bisa diraih dalam kurun waktu

6
hanya setahun. Ini artinya telah terjadi perubahan dalam atmosfir industri
periklanan yang sudah mempercayai TVRI sebagai media kampaye produk dan
program.

Kedua, mengenai pemberian discount. Pemberian discount memang dipengaruhi


oleh beberapa faktor diantaranya kebijakan/strategi penjualan, rating program,
potensi stasiun televisi. Tapi bukan berarti kebijakan discount ini dibiarkan
mengambang karena terdapat acuan discount yang berlaku dalam industri
periklanan. Seperti yang tercantum dalam laporan keuangan SCTV tahun 2002,
bahwa acuan industri dalam pemberian discount pemasangan iklan yang berlaku
pada tahun itu sebesar 20%7. Menurut informasi para pakar dan praktisi
priklanan, kalaupun tahun 2004 acuan discount mengalami peningkatan
jumlahnya tidak akan lebih dari 40%.

Ketiga, mengenai nilai perolehan hasil iklan. Berdasarkan konfirmasi yang


dilakukan ICW kepada AGB Nielsen dijelaskan bahwa monitoring iklan untuk
semua stasiun TV Nasional yang dilakukan Nielsen Media Research hanya di
Jakarta saja, tidak termasuk stasiun TV daerah yang juga menghasilkan
perolehan hasil iklan. Artinya jika dibandingkan 517,941 Miliar (hasil survei
AGB Nielsen terhadap TVRI stasiun Pusat) dengan 24,855 Miliar (perolehan
stasiun pusat Jakarta seperti yang dilaporkan ke Meneg BUMN), maka TVRI
Pusat selama tahun 2004 telah memberikan discount kepada pemasang iklan
sekitar 493,086 Miliar atau sekitar 95,2% dari total tarif iklan penuh (gross
published rate card).

Menurut informasi praktisi periklanan,pendapatan bersih yang biasa didapat


stasiun televisi berkisar 25-50% dari angka yang di pantau oleh AC Nielsen8.
Sekedar untuk perbandingan perolehan hasil dari iklan antara tiga stasiun TV
swasta denga TVRI, tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2 : Perbandingan Pendapatan Iklan Stasiun Televisi Tahun 2004


No Stasiun Televisi Survey AGB Nielsen1 Pendapatan Iklan Bersih2 Prosentase3
1. RCTI Rp. 3.098.462.000.000,00 Rp. 1.285.197.000.000,00 41 %
2. SCTV Rp. 2.641.925.000.000,00 Rp. 964.722.857.000,00 36 %
3. Indosiar Rp. 2.781.177.000.000,00 Rp. 1.148.168.000.000,00 41 %
4. TVRI Rp. 517.941.000.000,00 Rp. 24.855.150.254,00 95 %
Sumber : Majalah Marketing No 02/V/Februari 2005
Catatan : 1 Merupakan Pendapatan Iklan (gross) Stasiun Televisi
2 Pendapan Iklan Bersih dikutip dari Laporan keuangan masing-masing stasiun televisi
3 Merupakan prosentase selisih antara pendapatan iklan bersih dengan survey AGB Nielsen

7 Laporan Tahunan 2002 Surya Citra Media, Pembahasan Umum oleh Manajemen hal 29
8 Informasi didapat dari hasil diskusi dengan praktisi periklanan

7
Pemotongan iklan yang diberikan oleh TVRI sebesar lebih dari 95%, jikalaupun
benar, tentu sangat memberatkan TVRI. Karena muali tahun 2006, subsidi dari
APBN kepada TVRI sudah tidak ada sama sekali (nota keuangan RAPBN 2006).
Sehingga, keuangan dan cash-flow TVRI menjadi tidak sehat untuk menjalankan
aktivitas penyiaran. Akan tetapi, jika terdapat manipulasi dalam laporan
keuangan pendapatan iklan, hal ini akan menurunkan kepercayaan publik dan
tentu saja merugikan keuangan negara.

C. Dugaan Korupsi dalam Pengadaan Peralatan Siaran

Praktek korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan Presiden


SBY diawal pemerintahnya mencanangkan gerakan nasional pemberantasan
korupsi. Keseriusan itu ditunjukkan dengan keluarnya Inpres No 5 Tahun 2004
tentang percepatan pemberantasan korupsi kemudian disusul dengan
pembentukan Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
Perkembangan dalam pemberantasan korupsi pun cukup baik beberapa kasus
korupsi didaerah yang melibatkan kepala daerah mulai serius ditangani.

BUMN pun tak luput dari sasaran tembak, setidaknya didalam 15 BUMN
terindikasi adanya korupsi. Beberapa kasus yang kini jelas ditangani KPK antara
lain kasus kredit macet Domba Mas Grup di PT BRI, Tbk yang merugikan negara
Rp745 miliar dan kasus penjualan kapal tanker Very Large Crude Carrier
(VLCC) Pertamina yang merugikan negara antara US$20 juta hingga US$56 juta9.
Bagaimana dengan TVRI ? Layaknya BUMN lain, lembaga ini juga tidak lepas
dari penyakit korupsi. Medio april 2005 lalu Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur
memeriksa pejabat, staf TVRI dan Pemprov Kaltim yang diduga melakukan
korupsi dana APBD sebesar 1,7 Miliar yang sedianya akan digunakan dalam
pengadaan barang serta kegiatan operasional10.

Tahun 2004 BPKP juga telah mengeluarkan laporan hasil audit investigatif
dengan dugaan terjadinya penyimpangan yang merugikan keuangan negara.
Perjan TVRI tahun 2002 dalam angka pengadaan peralatan teknik produksi
divisi II siaran nasional berita dan informasi. Dalam laporan tersebut BPKP
menemukan adanya rekayasa dalam proses pelelangan yang melibatkan
Direktur Utama Perjan TVRI dan mengakibatkan kerugian keuangan negara
sekurang-kurangnya sebesar Rp. 5.210.622.200,00 (Lima miliar dua ratus sepuluh
juta enam ratus duapuluh dua ribu dua ratus rupiah)11.

Temuan BPKP tersebut merupakan fakta bahwa dalam tubuh TVRI terdapat
indikasi kuat terjadinya korupsi. Sayangnya setahun setelah BPKP mengungkap

9 Media Indonesia Online, KPK Bidik Kasus Korupsi di BUMN, Kamis 25 Agustus 2005
10 Kompas Cyber Media, Korupsi di TVRI Kaltim, 11 Diperiksa, 29 April 2005.
11 Laporan Hasil Audit Investigatif Perjan TVRI, 26 Januari 2004

8
temuannya, tidak ada tindak lanjut yang berarti. Penyidikan di kepolisian pun
seolah terhenti.

Selain temuan penyimpangan dalam proses pengadaan barang yang diungkap


oleh BPKP, ICW juga menemukan indikasi hal serupa dalam proyek pengadaan
peralatan di TVRI pada tahun 2004, diantaranya :
1. Dugaan mark up pengadaan Camera Mini DV Untuk Stasiun Daerah
2. Dugaan mark up pengadaan Peralatan Produksi untuk Auditorium

1. Pengadaan Camera Mini DV Untuk Stasiun Daerah

Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kapasitas stasiun-stasiun TVRI


daerah, Direktur Utama TVRI berupaya memperlengkapi berbagai peralatan
pendukung siaran diantaranya peralatan Camera Mini DV. Untuk
Merealisasikannnya Dirut TVRI mengajukan permintaan pelelangan berdasar
surat No : TVRI/I.1/438/VI/2004 tanggal 4 Juni 2004.

Setelah melalui berbagai prosedur pelelangan sesuai keputusan presiden nomor


80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah akhirnya berdasarkan surat No : TVRI/I.1/586/VII/2004 tanggal 19
Juli 2004, Direktur Utama TVRI, sdr. Yasirwan Uyun menetapkan bahwa
Perusahaan SD diumumkan sebagai pemenang tender pengadaan 50 buah
Camera Mini DV senilai Rp. 4.966.500.000,00 (Empat milliar sembilan ratus enam
puluh enam juta lima ratus ribu rupiah).

Dalam pengadaan barang yang dilakukan di TVRI sangat rawan penyimpangan


karena dilakukan secara sentralistik serta lemahnya pengawasan. Indikasi
penyimpangan ini terlihat dalam penetapan harga peralatan 50 Mini DV yang
terlalu tinggi yaitu sebesar Rp. 88.800.000,00/buah (Delapan puluh delapan juta
delapan ratus ribu rupiah).

Berdasarkan penelusuran ICW atas harga peralatan dengan spesifikasi yang


sama sesuai yang tercantum dalam kontrak, ternyata di pasaran harga peralatan
tersebut jauh lebih murah. Untuk Sebuah camera Mini DV Camera/Recorder
ternyata harganya hanya Rp. 33.000.000,00 (Tiga puluh tiga juta rupiah).
Sedangkan jika ditotal jumlah harga dari 50 unit lengkap dengan asessorisnya
hanya menghabiskan Rp. 2.618.425.000,00 (Dua Milliar enam ratus delapan belas
juta empat ratus dua puluh lima ribu rupiah)

Artinya dari total harga keseluruhan pengadaan mini DV Camera/recorder


sebesar Rp. 4.966.500.000,00 (Empat milliar sembilan ratus enam puluh enam
juta lima ratus ribu rupiah), setelah dilakukan pengecekan harga ternyata hanya
menghabiskan Rp. 2.880.249.500,00 (Dua milliar delapan ratus delapan puluh

9
juta dua ratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah). Dengan demikian,
terdapat indikasi mark up harga sebesar 69,6% dari total dana yang
dialokasikan atau sekitar Rp. 2.003.750.500,00 (Dua milliar tiga juta tujuh ratus
lima puluh ribu lima ratus rupiah. (Lihat lampiran 2 /Tabel 3).

2. Pengadaan Pengadaan Peralatan Produksi untuk Auditorium


Pada tahun 2004, selain melakukan pengadaan Mini DV Camcoder PT TVRI juga
melakukan pengadaan peralatan produksi untuk auditorium. Hal ini bisa
ditelusuri dari adanya persetujuan kerjasama yang ditandatangani pada tanggal
6 Desember 2004 antara PT TVRI yang diwakili oleh direktur utama TVRI
Yasirwan Uyun dan LHS yang mewakili Perusahaan SBU melalui surat No :
1068/SP/TVRI/XII/2004 dan No :108/SBU/SP-DIR/XII/2004.

Hampir serupa dengan pengadaan Mini DV Camcoder, setelah melalui proses


pelelangan akhirnya tertangga tanggal 2 Nopember 2004 dan berdasarkan surat
No: 02/peng/PPL-PPS/ADT/TVRI/XI/2004, PT SBU dinyatakan sebagai
pemenang tender pengadaan peralatan produksi untuk auditorium.

Pengadaan auditorium ini secara rinci terdiri dari 8 (delapan) item pokok
diantaranya camera system, lensa, portable jimmy jib,lighting system for live
show, sound system dan audio effector, alat tambahan,microphone, cable
connector, wide screen projector, wide screen plasma TV 50” dan material
instalasi dan pelatihan. Total pengadaan dari seluruh item ini bernilai Rp.
12.664.775.000,00 ( Dua belas milliar enam ratus enam puluh lima juta tujuh ratus
tujuh puluh lima ribu rupiah).

Berdasarkan perincian harga yang tertuang dalam persetujuan kontrak tersebut,


ICW coba menelusuri rasionalitas dari nilai dari masing-masing item peralatan.
Setelah melakukan cross check terindikasi bahwa nilai yang tercantum dalam
kontrak mengalami penggelembungan harga (mark up). Dari total seluruh
pengadaan (diluar material, instalasi dan pelatihan) yang bernilai Rp.
12.094.775.000,00 (Dua belas milliar sembilan puluh empat juta tujuh ratus tujuh
puluh lima ribu rupiah) ternyata hanya menghabiskan dana sebesar Rp.
6.871.059.910,00 ( Enam milliar delapan ratus tujuh puluh satu juta lima puluh
sembilan ribu sembilan ratus sepuluh rupiah). Artinya ada selisih sebesar Rp.
5.223.715.090,00 ( Lima milliar dua ratus dua puluh tiga juta tujuh ratus lima
belas ribu sembilan puluh rupiah) atau sekitar 76,02 % (Lihat lampiran 3
/Tabel 4)

D. Kesimpulan

10
Buruknya manajemen dan perilaku koruptif tampaknya menjadi akar masalah di
tubuh TVRI. Buruknya akuntabilitas dan tranparansi dalam corporate governance
ditambah pengawasan yang lemah semakin membuat lembaga ini terperosok.
Akibatnya, program siaran yang kurang berkualitas, hutang yang menumpuk
dan akuntansi keuangan amburadul dan rawan korupsi akibat sistem birokrasi
yang masih sentralistik.

Masalah tersebut hampir terjadi disemua lini termasuk pada wilayah pengadaan
barang dan jasa baik pemenuhan kebutuhan TVRI pusat maupun daerah.
Kegiatan yang masih menggunakan pola sentralistik sangat rentan dengan
korupsi karena kebutuhan untuk daerah justru prosesnya tanpa melibatkan
jaringan TVRI daerah itu sendiri. Misalnya saja, dalam pengadaan peralatan
siaran yang dilakukan pada tahun 2004. Pengadaan dengan nilai total Rp.
16.978.775.000,00 (Enam belas milliar sembilan ratus tujuh puluh delapan juta
tujuh ratus tujuh puluh lima ribu rupiah), ternyata setelah ditelusuri ICW
hanya menghabiskan dana sebesar Rp. 9.751.309.410,00 (Sembilan milliar tujuh
ratus lima puluh satu juta tiga ratus sembilan ribu empat ratus sepuluh
rupiah) sehingga totalnya terdapat indikasi penggelembungan harga yang
berpotensi merugikan negara sebesar Rp. 7.227.465.590,00 (Tujuh milliar dua
ratus dua puluh tujuh juta empat ratus enam puluh lima ribu lima ratus
sembilan puluh rupiah) atau sebesar 74,1%, dengan rincian :
a. Mark Up Pengadaan Mini DV Camcoder : Rp. 2.003.750.500,00
b. Mark Up Pengadaan peralatan untuk Auditorium : Rp. 5.223.715.090,00
Total Mark Up : Rp. 7.227.465.590,00

Temuan adanya indikasi penggelembungan harga tersebut menunjukkan TVRI


memang bermasalah dari level manajemen, utamanya keuangan, hingga
kegiatan tender pengadaan barang. Khusus dalam sistem pengadaannya
(tender), beberapa hal patut dikritisi mengacu pada Keppres No 80 Tahun 2003,
diantaranya :

Pertama, kredibilitas pemenang tender, Berdasarkan informasi dari berbagai


sumber, peralatan broadcast memang sangat spesifik dimana tak banyak
perusahaan pemegang lisensi di Indonesia yang bisa mendistribusikan/ menjual
peralatan tersebut. Jika dilihat dari dua pemenang tender TVRI, PT SD yang
memenangkan pengadaan Mini DV Camcoder kredibilitasnya sangat
meragukan. Berdasarkan informasi terungkap bahwa PT SD ini bukan
merupakan supplier utama yang bergerak dalam dunia broadcast. Sangat
disayangkan jika lembaga sebesar TVRI masih membeli perlengkapan bukan
dari supplier pemegang lisensi atau vendor utama.

Kedua Penentuan HPS Bermasalah, Seperti diketahui pengguna barang/jasa wajib


memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan

11
berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan. HPS ini berguna sebagai
alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk
menetapkan besaran tambahan nilai jaminan.

Indikasi penggelembungan harga menunjukkan sejak awal pengguna jasa tidak


memiliki HPS yang berkualitas. Padahal jika mengacu pada Keppres 80 Tahun
2003, penentuan HPS diperoleh dengan proses yang ketat diantaranya harus
menggunakan engginer estimate, harga pasar, biaya umum, keuntungan bagi
penyedia barang, PPN bahkan pertimbangan harga/tarif barang/jasa yang
dikeluarkan oleh pabrikan/agen tunggal atau lembaga independen12.

Menindaklanjuti adanya dugaan mark up tersebut tentu diperlukan


penyelidikan dan tindakan hukum karena telah memenuhi unsur-unsur
kerugian negara seperti di sebutkan dalam Bab II Pasal 2 butir 1 UU No. 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Segala kasus penyimpangan yang pernah terjadi di PT TVRI selama ini perlu
dikaji ulang baik oleh Menneg BUMN maupun aparat penegak hukum agar
peralihan perusahaan ini menjadi lembaga penyiaran publik berjalan dengan
baik.

E. Rekomendasi

1. Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut


adanya dugaan korupsi di PT TVRI secara tuntas.
2. Meminta Menteri Negara BUMN untuk mengkaji ulang semua
penyimpangan yang terjadi di PT TVRI dan melakukan pembenahan pada
segi corporate governace, utamanya manajemen keuangan,agar tercipata Good
Corporate Governance (GCG).
3. Meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit
keungan TVRI secara menyeluruh, khususnya perolehan hasil Iklan PT TVRI
selama tahun 2003-2004 dan proyek pengadaan peralatan tahun 2004.

12
Penyusunan harga Perkiraan sendiri, Lampiran 1, Point E, Keppres 80 Tahun 2003.

12

Anda mungkin juga menyukai