Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH BETA-KAROTEN SECARA IN VIVO

TERHADAP AKTIVITAS GLUTATION S-TRANSFERASE SITOSOLIK


PARU TIKUS MENGGUNAKAN SUBSTRAT
1-KLORO-2,4-DINITROBENZENA

Yulius Budiman Darius, Mulyono


Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Intisari

Glutation S-transferase (GST) merupakan kelompok enzim sitosolik multifungsi


yang berperan penting dalam detoksifikasi xenobiotik elektrofilik melalui konjugasi
dengan glutation (GSH). Induksi GST merupakan respon protektif terhadap toksisitas
xenobiotik elektrofilik. Beta-karoten merupakan mikronutrien yang berfungsi sebagai
provitamin A dan antioksidan yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Dilaporkan
bahwa pemberian sari wortel pada tikus terinduksi parasetamol dapat meningkatkan
metabolit konjugat parasetamol. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan
bukti ilmiah tentang pengaruh beta-karoten terhadap aktivitas GST paru tikus. GST
dalam fraksi sitosol paru tikus dipersiapkan menggunakan metode sentrifugasi bertingkat
menurut Lundgren et al. (1987). Penetapan kadar protein dalam fraksi sitosol dilakukan
secara spektrofotometri dengan bovine serum albumin (BSA) sebagai standar. Aktivitas
GST diukur secara spektrofotometri terhadap konjugat GS-DNB pada reaksi antara
glutation (GSH) dengan 1-kloro-2,4-dinitrobenzena (CDNB). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pra-perlakuan beta-karoten mengakibatkan peningkatan aktivitas
GST paru tikus terhadap kontrol.

Kata kunci: Glutation S-transferase - beta-karoten - glutation - CDNB - induksi enzim

Bab I. Pendahuluan
Glutation (GSH) adalah tripeptida (γ-L-glutamil-L-sisteinil-glisin) yang
memainkan peran utama dalam biotransformasi dan ekskresi xenobiotika dan pertahanan
sel terhadap oxidative stress (Josephy, 1997).
Glutation S-transferase (GST) merupakan keluarga enzim yang mengkatalisis
reaksi konjugasi glutation dengan sejumlah besar xenobiotika elektrofilik endogen
maupun eksogen. GST melindungi sel tubuh terhadap serangan senyawa elektrofil yang
sering bersifat sitostatik, mutagenik, dan karsinogenik, dengan jalan mengkatalisis reaksi
konjugasi antara gugus tiol (-SH) pada glutation (GSH) dengan pusat elektrofilik
senyawa elektrofil. Reaksi ini akan menghasilkan produk konjugat glutation yang

191
selanjutnya akan ditranspor ke ginjal dan dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam
merkapturat (Josephy, 1997).
Glutation S-transferase terdapat pada fraksi sitosol kebanyakan sel dan organ
tubuh seperti hati, ginjal, paru, dan usus halus (Commandeur et al., 1995). GST dapat
ditemukan dalam berbagai spesies dan dalam seluruh organ mamalia. Berdasarkan
kesamaan urutan-urutan asam amino penyusunnya, selektivitas substrat, titik isoelektrik,
dan reaktivitas imunologik (Van der Aar, 1997), GST pada mamalia dapat digolongkan
menjadi beberapa kelas isoenzim yang berbeda, yaitu alpha (α), mu (μ), pi (π)
(Mannervik et al., 1985), theta (θ) (Meyer et al. 1991), sigma (σ) (Meyer and Thomas,
1995), zeta (z) (Board et al., 1997), beta (β) (Rossjohn et al., 1998), dan omega (ω)
(Board et al., 2000). Juga terdapat kelas kappa (κ) dari mitokondria (Pemble et al., 1996)
dan isoenzim dalam bentuk terikat membran (Morgenstern and DePierre, 1983).
Organisme hidup secara terus-menerus terpapar oleh senyawa kimia asing non-
nutrisional (xenobiotika). Senyawa ini dapat berinteraksi secara merusak dengan
organisme menyebabkan efek toksik.
Environmental Tobacco Smoke (ETS) mengandung lebih dari 4000 senyawa
kimia. Metabolisme dan detoksifikasi senyawa-senyawa dari asap tembakau yang masuk
ke dalam tubuh merupakan mekanisme penting untuk meminimalkan efek toksik dari
ETS. Pada manusia, GST memiliki peranan besar dalam proses detoksifikasi ini. GST
memfasilitasi respons terhadap reaksi stres oksidatif, termasuk detoksifikasi hidrokarbon
aromatik polisiklik dan benzo(a)pirene. Senyawa-senyawa tersebut merupakan senyawa
karsinogen yang ditemukan dalam asap tembakau. Pada perokok berat yang mengalami
defisiensi GST memiliki resiko besar terjadi penurunan kemampuan saluran pernafasan
untuk menghilangkan substansi toksik tersebut, sehingga memicu terjadinya inflamasi
pada saluran pernafasan (Kabesch et al., 2004).
Paru secara konstan terpapar oleh banyak polutan atmosfer seperti asap rokok,
ozon, dan nitrogen dioksida dan juga resiko kerusakan oksidan (oxidant injury) oleh
inhalasi oksigen dengan konsentrasi tinggi. Paru mengandung area permukaan
endothelial terbesar dari beberapa organ, yang menjadikan paru sebagai target utama
untuk sirkulasi oksidan dan xenobiotika. Tidak mengherankan bahwa paru manusia

192
merupakan salah satu area penyimpanan GSH yang penting (6,1 – 17,5 nmol/mg paru)
(Blair et al., 1997).
Penelitian Wijoyo (2001) membuktikan bahwa pemberian sari wortel dapat
meningkatkan metabolit konjugat merkapturat parasetamol pada tikus terinduksi
parasetamol. Karena konjugat merkapturat adalah hasil konjugasi suatu senyawa dengan
glutation (GSH) yang dikatalisis oleh GST, maka diduga beta-karoten dapat
meningkatkan aktivitas GST.

Bab II. Metode Penelitian


A. Subjek dan Bahan Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek uji yang digunakan untuk penelitian ini adalah tikus putih jantan galur
Wistar dengan berat badan 220-240 g.
2. Bahan Penelitian
Beta-karoten, glutation dan bovine serum albumin (Sigma Chem. Co.),
natrium hidroksida (NaOH), natrium karbonat (Na2CO3), kupri sulfat (CuSO4.5H2O),
natrium kalium tartrat (NaK-tartrat), kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4), dikalium
hidrogen fosfat (K2HPO4) (kualitas p.a. E. Merck), 1-kloro-2,4-dinitrobenzena
(CDNB) (Aldrich), minyak kelapa (home industry), dan aquadest.
B. Alat Penelitian
Spektrofotometer Genesys 5 (Milton Roy), pH meter (TOA HM-60S),
ultrasentrifuge (Hitachi SCP 85H), neraca analitik (Shimadzu type LM-20), delivery
pipette (Gilson pipetman dengan berbagai ukuran), dan deep freezer (Sanyo Ultra Low
MDF-U281).
C. Tata Cara Penelitian
1. Pra-Perlakuan Beta-Karoten Secara Per-Oral Pada Hewan Uji
Tikus putih jantan strain Wistar dengan berat 220-240 g, sebanyak 20 ekor
diberi pakan pelet dan diberi minum air ad libitum. Tikus dibagi menjadi 4 kelompok
dengan masing-masing kelompok berjumlah 5 ekor. Tiga kelompok sebagai
kelompok perlakuan, sedangkan satu kelompok sebagai kontrol. Kelompok perlakuan
diberi larutan beta-karoten dalam minyak kelapa secara per-oral dengan tiga peringkat

193
dosis (0,205 mg/kgBB; 0,615 mg/kgBB dan 1,845 mg/kgBB) sebanyak 1 kali sehari
selama 6 hari dan minum air ad libitum. Untuk kelompok kontrol diberi minyak
kelapa sebanyak 2,5 ml. Dosis beta-karoten yang digunakan mengacu pada penelitian
terdahulu (Wijoyo, 2001).

2. Preparasi Fraksi Sitosol Paru Tikus


Setelah masa perlakuan selesai, tikus dipuasakan selama 24 jam sebelum
dibunuh dan diambil parunya untuk mempersiapkan fraksi sitosol yang mengandung
GST menggunakan metode sentrifugasi bertingkat menurut Lundgren et al. (1987)
dengan sedikit modifikasi.

Tikus dibunuh dengan cara mendislokasi tulang belakang pada bagian leher.
Paru tikus diambil dan langsung dimasukkan ke dalam bufer fosfat (campuran
KH2PO4 dan K2HPO4) 0,1 M dingin (4 0C) dengan pH 6,5 kemudian ditimbang.
Selanjutnya dihomogenkan menggunakan blender dingin (4 0C) dengan kecepatan
440 rpm. Homogenat paru tikus tersebut disentrifugasi dengan kekuatan 10.000 x g
selama 25 menit pada suhu 4 0C. Endapan yang diperoleh dibuang dan supernatannya
disentrifugasi kembali dengan kekuatan 105.000 x g selama 90 menit pada suhu 4 0C.
Supernatan yang diperoleh merupakan fraksi sitosol yang mengandung GST.
Fraksi sitosol yang diperoleh disimpan pada suhu –20 0C sampai saat
digunakan. Untuk menetapkan kadar protein dalam fraksi sitosol dilakukan secara
spektrofotometri menggunakan metode Biuret dengan BSA sebagai pembanding.
3. Penetapan Kadar Protein Fraksi Sitosol Paru Tikus
Penetapan kadar protein menggunakan metode Biuret dengan BSA 1%
sebagai pembanding. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 546 nm dengan
waktu inkubasi 20 menit. Absorbansi yang diperoleh diplotkan terhadap kurva baku
BSA untuk memperoleh kadar protein.
4. Penetapan Aktivitas GST Fraksi Sitosol Paru Tikus
Untuk penetapan aktivitas GST paru tikus dengan atau tanpa pra-perlakuan
beta-karoten digunakan kondisi campuran inkubasi sebagai berikut (modifikasi Habig
et al., 1974): ke dalam kuvet 1 ml dimasukkan berturut-turut 702,5 μl bufer fosfat 0,1
M pH 6,5, 17,5 μl fraksi sitosol paru tikus, 15 μl GSH 50 mM (larutan dalam
aquadest), dan 15 μl CDNB 50 mM (larutan dalam etanol). Produk konjugat GS-DNB

194
diukur pada panjang gelombang 340 nm dari menit ke-0 sampai menit ke-3
menggunakan program simple kinetic. Hasil pengukurannya merupakan data berupa
rate (= Δ absorbansi/menit).
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa nilai kecepatan (V) pembentukan
produk konjugat GS-DNB. Nilai V yang diperoleh dari masing-masing kelompok
perlakuan kemudian dianalisis menggunakan one-way anova untuk melihat perbedaan
antara nilai V kelompok yang diberi pra-perlakuan beta-karoten dengan nilai V kelompok
kontrol (tanpa pra-perlakuan beta-karoten).
Rate
V=
ΔεGS − DNB . d . c
Keterangan:
ΔεGS-DNB : koefisien ekstinsi (9,6 mM-1cm-1)
d : tebal kuvet (cm)
c : kadar protein dalam campuran inkubasi (mg/ml)
V : kecepatan pembentukan produk konjugat (μmol/min/mg)

Bab III. Hasil dan Pembahasan


Untuk menentukan aktivitas spesifik GST terlebih dahulu dilakukan penetapan
kadar protein fraksi sitosol paru tikus. Penetapan kadar protein dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah protein tiap satuan volume pada fraksi sitosol
paru tikus. Data kadar protein inilah yang kemudian digunakan untuk menghitung
aktivitas spesifik GST sitosolik paru tikus.
Kadar protein ditetapkan menggunakan metode Biuret dengan persamaan regresi
y = 0,1778x + 0,1137 (r = 0,9983). Hasil penetapan kadar protein adalah sebagai berikut:
Tabel I. Kadar protein total fraksi sitosol paru tikus
Kadar protein
Kelompok
total (mg/ml)
Kontrol 26,333
Dosis I 26,040
Dosis II 16,817
Dosis III 13,937

195
Dari hasil penetapan kadar protein fraksi sitosol paru tikus terlihat adanya
penurunan kadar protein antara kelompok perlakuan dibanding kontrol. Penurunan kadar
protein pada kelompok dosis I, II, dan III dibanding kelompok kontrol diduga karena
adanya penghambatan biosintesis protein. Mekanisme penghambatan biosintesis protein
adalah melalui perusakan DNA oleh retinal sehingga mengganggu transkripsi RNA
(Murata and Kawanishi, 2000). Pada tekanan O2 tinggi, beta-karoten dapat mengalami
auto-oksidasi menghasilkan apokarotenal dan radikal beta-karoten (produk degradasi
oksidatif beta-karoten). Aktivitas produk degradasi beta-karoten akan mengakibatkan
penggunaan berlebihan (turn over) protein yang dikarakterisasi dengan penurunan protein
sulfidril (protein-SH) (Siems, et al., 2002).

Kadar Protein

30
Kadar protein total (mg/ml)

26,333 26,040
25

20 16,817
13,937
15

10

0
Kontrol Dosis I Dosis II Dosis III
Dosis beta-karoten (mg/kgBB)

Gambar 1. Hubungan dosis beta-karoten vs kadar protein total fraksi sitosol paru tikus

Hasil perhitungan aktivitas GST paru tikus disajikan pada tabel 2. Berdasarkan
hasil analisis statistik menggunakan one-way anova, terdapat perbedaan bermakna antara
aktivitas spesifik rata-rata GST kelompok kontrol dibandingkan ketiga kelompok
perlakuan pada taraf kepercayaan 95%.

196
Tabel II. Aktivitas spesifik GST sitosolik paru tikus
V rata-rata
Kelompok
(nmol/mg/menit)
Kontrol 31,099
Dosis I 34,876
Dosis II 48,086
Dosis III 48,505

Reaksi antara GSH dan CDNB adalah substitusi nukleofilik aromatik. Proses
tersebut melibatkan senyawa intermediet yang dikenal sebagai kompleks Meisenheimer
(Meisenheimer complex).

GS Cl
NO2

Cl GS
NO2
NO2 NO2
- Cl
GS +
GS Cl
NO2 NO2 NO2

NO2

Gambar 2. Pembentukan konjugat GS-DNB melalui kompleks Meisenheimer (Josephy, 1997)


Pengukuran produk konjugat pada reaksi antara GSH dengan CDNB yang
dikatalis GST dilakukan pada panjang gelombang 340 nm. Panjang gelombang ini
merupakan panjang gelombang maksimum untuk produk konjugat GS-DNB. Pengukuran
produk konjugat GS-DNB dilakukan dari menit ke-0 sampai menit ke-3 (Habig et al.,
1974).
Peningkatan aktivitas spesifik GST paru tikus pada ketiga kelompok perlakuan
diduga adalah peran dari produk degradasi oksidatif beta-karoten. Beta-karoten dapat
mengalami auto-oksidasi menghasilkan produk degradasi oksidatif, yaitu retinal dan beta
apo-8’-karotenal (Woggon, 2002). Kedua senyawa tersebut merupakan senyawa
elektrofilik, sehingga memungkinkannya untuk bertindak sebagai substrat untuk GST
(Mannervik and Danielson, 1988). Dengan demikian semakin banyak produk degradasi
oksidatif beta-karoten yang terbentuk maka aktivitas GST akan semakin meningkat.

197
Aktivitas GST

60

(nmol/menit/mg protein)
48.0863 48.5049
50
Aktivitas GST
40 34.8757
31.0989
30

20

10

0
Kontrol Dosis I Dosis II Dosis III
Dosis beta-karoten (mg/kgBB)

Gambar 3. Hubungan dosis beta-karoten vs aktivitas spesifik GST sitosolik paru tikus
Persentase peningkatan aktivitas GST paru tikus pada kelompok perlakuan
dibandingkan terhadap kontrol ditunjukkan oleh gambar 4. Dari hasil tersebut maka dapat
diketahui bahwa beta-karoten mampu meningkatkan aktivitas GST sitosolik paru tikus.

Persentase peningkatan aktivitas GST

60.00 54.62 55.97

50.00
Persentase (%)

40.00

30.00

20.00
12.14
10.00

0.00
Dosis I Dosis II Dosis III

Dosis beta-karoten (mg/kgBB)

Gambar 4. Persentase peningkatan aktivitas GST sitosolik paru tikus terhadap kontrol.

198
Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa aktivitas GST paru tikus mengalami
peningkatan setelah pemberian beta-karoten selama 6 hari berturut-turut untuk ketiga
peringkat dosis beta-karoten. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa semakin tinggi dosis
beta-karoten yang diberikan secara per-oral maka semakin tinggi pula aktivitas GST paru
tikus. Penelitian ini dapat membantu menjelaskan bahwa beta-karoten dapat
meningkatkan pembentukan konjugat merkapturat parasetamol pada tikus jantan yang
diberi pra-perlakuan sari wortel (Wijoyo, 2001).

Bab IV. Kesimpulan


Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pra-perlakuan beta-karoten secara
per-oral dapat meningkatkan aktivitas GST sitosolik paru tikus menggunakan substrat
CDNB.

Daftar Pustaka
Commandeur, J.N.M., Stijntjes G., and Vermeulen N.P.E., 1995, Enzymes and transport
systems involved in the formation and disposition of glutathione S-conjugates,
Pharmacol. Rev., 47 (2), 271-330.
Habig, W.H., Pabst, M.J., and Jakoby, W.B., 1974, Glutathione S-Transferase, the first
enzymatic step in mercapturic acid formation, J. Biol. Chem., 249 (22), 7130-7139.
Hayes, J.D. and Pulford, D.J., 1995, The glutathione S-transferase supergene family:
regulation of GST and the contribution of the isoenzymes to cancer
chemoprotection and drug resistance, Crit. Rev. Biochem. And Mol. Biol., 30, 445-
600.
Henderson, C.J., Wolf, C.R., Kitteringham, N., Powell, H., Otto, D., and Park, B.K.,
2000, Increase resistance to acetaminophen hepatotoxicity in mice lacking
glutathione S-transferase pi, Proc. Natl. Acad. Sci., USA, 97 (23), 12741-12745.
Josephy, D.P., 1997, Molecular Toxicology, 153-162, Oxford University Press, Inc.,
London.
Kabesch, M., Hoefler, C., Carr, D., Leupold, W., Weiland, S.K., Von Mutius, E., 2004,
Glutathione S-transferase deficiency and passive smoking increase childhood
asthma, Thorax, 59, 569-573.
Lundgren, B., Meijer, J., and DePierre, J.W., 1987, Characterization of the induction of
cytosolic and microsomal epoxide hydrolases by 2-ethylhexanoic acid in mouse
liver, Drug Metab. Dispos., 15, 114-121.
Richterich, T.R and Colombo, J.P., 1981, Clinical Chemistry, 401-412, John Wiley and
Sons, New York.

199
Sheehan, D., Meade, G., Foley, V.M., and Dowd, C.A., 2001, Structure, function and
evolution of glutathione transferases: implications for classification of non-
mammalian members of an ancient enzyme superfamily, Biochem. J., 360, 1-16.
Siems, W., Sommerburg, O., Schild, L., Augustin, W., Langhans, C-D., and Wiswedel, I.,
2002, β-Carotene cleavage products induce oxidative stress in vitro by impairing
mitochondrial respiration, FASEB J., 10, 1096.
Wijoyo, Y., 2001, Antaraksi Sari Wortel (Daucus carrota, L.) dengan Parasetamol:
Kajian terhadap Kehepatotoksikan dan Kinerja Toksikokinetika Parasetamol pada
Tikus Jantan, Tesis, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Woggon, W-D., 2002, Oxidative cleavage of carotenoids catalyzed by enzyme models
and beta-carotene 15,15’-monooxygenase, Pure Appl. Chem., 74 (8), 1397-1408.

200

Anda mungkin juga menyukai