Anda di halaman 1dari 4

MUNCULNYA ISTILAH FIQHIYAH DAN TOKOH-

TOKOH MUJTAHID SERTA PENGARUHNYA


TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI’
Oleh : Anisatur Rohmah, Dedi Kristanto, Fizka Anggun Nidyawati,

A. Timbulnya Istilah-Istilah Fiqh


Al-Qur'an menuntut tuntutan yang dikehendaki dengan gaya bahasa yang telah kami terangkan
pada periode pertama. Gaya bahasanya tidak mempunyai kelebihan atas yang lain dalam
kekuatan menuntutnya, seluruhnya sama. Demikian juga as-Sunnah dalam menuntut tuntutan
yang dikehendakinya. Ketika tuntutan-tuntutan itu berbeda-beda di hadapan pandangan para
fuqaha maka mereka membutuhkan untuk memilih nama-nama yang menunjukkan yaitu: fardhu,
wajib, sunnah, mandub dan mustahab.
Fardhu dan wajib adalah dua buah nama bagi sesuatu yang dituntut dengan tuntutan pasti. Hanya
saja menurut golongan Hanafiyah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang qath’i
baik sampainya maupun dilalahnya seperti ayat-ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang qath’i
shaihnya karena mutawatir atau tersohor apabila dia itu nash, dan wajib adalah sesuatu yang
tuntutannya itu tetap dengan dalil yang zhanni baik sampainya maupun dilalahnya atau kedua-
duanya bersama-sama.
Adapun menurut pendapat yang lain tidak ada perbedaan antara fardhu dan wajib bahkan seluruh
hal yang dituntut dengan dalil pasti (qath’i) maupun zhanni (singkatan). Tetapi mereka
membedakan antara fardhu dan wajib yang dituntut dimana mereka mengatakan bahwa sesuatu
yang dituntut oleh syara’ dan tidak ada penggantinya maka dia fardhu seperti wuquf di Arafah
dam ifadhah. Sesuatu yang dituntut dan meningalkannya diganti dengan dam, itu namanya wajib
seperti ihram, dan di kalangan mereka fardhu itu dikenal dengan fardhu kifayah yaitu setiap
pekerjaan yang dituntut oleh syara’ tanpa merujuk kepada pelakunya, manakala seorang mukalaf
telah mengerjakannya maka dosanya gugur dari seluruh orang, dan manakala mereka
meninggalkannya semua, maka mereka berdosa.
Sunnah menurut istilah Hanafiyah adalah sesuatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah saw.
Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa udzur. Mandub dan mustahab adalah
sesuatu yang beliau tidak terus menerus mengerjakannya meskipun beliau tidak mengerjakannya
sesudah menggemarkannya pada pada orang lain. Dalam istilah lain, sunnah, mandup dan
mustahab adalah satu pengertian yaitu sesuatu yang dituntut dengan tuntutan yang tidak pasti,
hanya mereka katakana sunnah muakkadah bagi sesuatu yang oleh hanafiyah disebut sunnah,
dan sunnah ghairu muakkadah bagi sesuatu yang mereka namakan mandub dan mustahab.
Mereka istilahkan atas sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk mencegahnya dengan haram dan
makruh. Haram menurut Hanafiyah akebalikan fardhu, makruh tahrim adalah kebalikan wajib,
dan makruh tanzih adalah kebalikan sunnah. Menurut selain mereka (Hanafiyah) haram itu
kebalikan fardhu dan wajib, karena fardhu dan wajib adalah dua persamaan kata (sinonim).
Makruh tahrim atau makruh syaidah adalah sesuatu yang berlawanan dengan sunnah ghairu
muakkadah.
B. Tokoh-Tokoh Mujtahid
Disebutnya salah seorang fuqaha periode-periode yang lampau hanyalah karena sekedar
dinukilnya pendapat-pendapat mereka di tengah kitab-kitab perbedaan pendapat fuqaha sahabat
dan tabi’in yang memiliki peninggalan-peninggalan besar dalam membina hukum Islam karena
mereka adalah orang salaf yang shahuh, mereka adalah pelita bagi orang yang hidup sesudah
mereka. Dalam pada itu sesungguhnya nama-nama mereka terlipat dalam salah seorang dari
mereka tidak terhitung sebagai ikutan, sedikit jumhur atas pengaruhnya dan diikuti dalam
kumpulan pendapat-pendapatnya. Dalam periode ini muncullah para mujtahid yang oleh jumhur
dianggap sebagai imam-imam yang mengatur langkah-langkah mereka dan beramal dengan
menerapkan pendapat-pendapat mereka sehingga dijadikannya menduduki nash-nash al-Qur'an
dan as-Sunnah yang tidak boleh dilampauinya.
1. Imam Pertama Abu Hanifah
Abu Hanifah adalah salah seorang yang arif (mengetahui) tentang hadits dan fiqih penduduk
Kufah, dan ia sangat mengikuti kepada sesuatu yang dijalankan oleh manusia di negerinya. Pada
masanya di Kufah ada tiga ulama besar yaitu:
a. Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, termasuk imam ahli hadits.
b. Syarik bin Abdullah An Nakha’i
c. Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Laila
2. Imam Kedua Malik
Dia adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir. Nasabnya berakhir sampai Dzu Ashbah dari
Yaman. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah dan menetap di sana. Neneknya Abu Amir
termasuk sahabat Rasulullah saw. yang ikut berperang bersama beliau pada seluruh perang
kecuali perang Badar. Ia (Imam Malik) dilahirkan di Madinah tahun 93 H.
Ia menuntut ilmu pada ulama Madinah. Orang pertama yang menjadi tempat belajar adalah
Abdur Rahman bin Hurmuz. Ia tinggal bersama Abdur Rahman dalam waktu yang lama dan
tidak bergaul dengan orang-orang lain. Ia belajar pada Nafi’ maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab
Az Zuhri. Adapun guurnya dalam fiqh adalah Rabi’ah bin Abdur Rahman yang terkenal dengan
Rabi’ah Ar Ra’yu. Ketika gurunya telah mengakui kepadanya dalam hadits dan fiqh ia duduk
untuk meriwayatkan hadits dan berfatwa. Malik berkata: “Saya tidak duduk (untuk
berfatwa=pen) sehingga tujuh puluh guru dari ahli ilmu telah mengakui bahwa saya berhak
menempati kedudukan itu”.
Orang-orang sepakat bahwa dia adalah imam dalam hadits dan terpercata kebenaran riwayatnya.
Guru-guru, teman-temannya dan orang-orang yang sesudahnya sepakat atas yang demikian itu
sehingga sebagian dari mereka berkata “hadits yang paling shahih adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, kemudian Malik dari Abu Zinad dari
A’raj dari Abu Hurairah”.
Dari segi yang kedua ulama-ulama besar dari imam-imam madzabnya mengambil masalah-
masalah dari padanya, dan penurutan mereka akan datang kemudian.
Dalam fatwanya, Malik rahimatulullah berpegang kepada:
a. Kitabullah
b. Sunnah Rasulullah saw. yang dianggap shahih. Dalam hal ini pegangannya adalah muhadits-
muhadits besar dari ulama Hijaz dan ia memberikan perhatian yang besar atas sesuatu yang telah
berlaku untuk diamalkan di Madinah, lebih-lebih amalan para imam dan kadangan-kadang ia
menolah hadits karena tidak adanya pengalaman hadits itu.
c. Kemudian ia berpegang kepada qiyas, apabila tidak ada kitab atau sunnah.
3. Imam Ketiga Asy Syafi’i
Dia adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ Asy Syafi’i Al
Muththalibi dri Abdul Muththtalib yaitu ayah yang ke IV bagi Rasulullah saw., dan ayah yang ke
IX bagi Asy Syafi’i. ibunya berbangsa Yaman dari Al Azdi dan ibunya termasuk wanita yang
bernaluri paling cerdas.
Asy Syafi’i dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H suatu daerah di Asqalan. Ghuzzah itu bukan
tanah air nenek moyangnya, namun ayahnya yang bernama Idris datang kesana karena suatu
keperluan dan meninggal di sana. Asy Syafi’i berumur dua tahun, ia dibawa oleh ibunya pulang
ke tanah air nenek moyangnya yaitu Makkah. Di sanalah ia besar sebagai anak yatim dalam
asuhan ibunya. Ia hafal al-Qur'an di kala masih kanak-kanak.
Ia terus menetap disana sampai wafatnya pada tahun 204 H. dan dimakamkan di perkurburan
Bani Abdul Hakim. Orang-orang Mesir memuliakannya baik dikala hidupnya maupun sesudah
wafatnya. Ia dianggap orang yang berkebangsaan Mesir dimana dulunya berkebangsaan Hijaz.
Asy Syafi’i adalah seorang imam yang menyiarkan madzabnya sendiri dengan melakukan
perjalanan-perjalanan dan dialah orang yang menulis sendiri kitab-kitabnya serta mendiktekan
kepada murid-muridnya. Hal ini tidak dikenal pada imam-imam besar lain.
Asas madzab Asy Syafi’i tertulis dalam Risalah ushul-nya yakni ia berhujjah dengan zhahir-
zhahir al-Qur'an sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkannya bukan
zhahir-zhahirnya. Setelah itu berasaskan as-Sunnah, dan ia telah mempertahankan dengan
sekaut-kuatnya untuk mengalamkan hadits ahad selama perawinya itu bersambung sampai
kepada Rasulullah saw. Ia tidak mensyaratkannya, dan ia tidak mensyaratkan kemasyhuran
hadits sebagaimana penduduk Irak mensyaratkannya. Pembelaan itu memperoleh bagian yang
besar di kalangan ahli hadits sehingga penduduk Baghdad menjulukinya sebagai penolong as
Sunnah. Ia memandang as-Sunnah yang shahih sebagaimana memandang kepada al-Qur'an,
dimana anda lihat masing-masing dari keduanya wajib diikutinya. Kemudian ia mengamalkan
ijma. Pengertian ijma’ menurut Asy Syafi’i adalah tidak diketahui adanya perbedaan pendapat,
karena mengetahui dengan sepakat menurut pandangannya tidaklah mungkin, sebagaimana kami
kemukakan. Apabila di sana tidak ada dalil yang dinash-kan maka ia menuju kepada qiyas dan
mengamalkannya dengan sarat hal itu mempunyai pokok yang tertentu. Dengan kerasnya ia
menolak apa yang oleh orang-orang disebut dengan istihsan, dan apa yang oleh orang-orang
Maliki disebut istishlah, tetapi ia mengamalkan sesuatu yang mendekatinya yaitu istid-lal.
Dengan menghimpun fiqih orang-orang Hijaz, fiqih orang-orang Irak, dan kefasihan orang-orang
Badui maka Asy Syafi’i punya jalinan yang tersendiri dalam berdiskusi dan kebaikan tulisannya
yang tingkatan tulisannya tidak aklah dengan tulisan penulis yang paling petah pada waktu itu
seperti Al Jahizh dan orang-orang yang semisalnya.
4. Imam yang Keempat Ahmad bin Hambal
Dia adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal Adz Dzahili Asy Syaibani Al Maruzi Al Baghdadi,
dilahirkan pada tahun 164 H. ia mendengar pembesar-pembesar hadits dari Hasyim, Sufyan bin
Uyainah dan orang-orang lain yang setingkat.
Ia belajar fiqih pada Asy Syafi’i ketikat ia datang di Baghdad, dan dia adalah muridnya yang
tersohor dari orang-orang Baghdad, kemudian ia ijtihad untuk diirnya sendiri. Ia termasuk
mujtahid ahli hadits yang mengamalkan hadits ahad tanpa syarat selama sanadnya shahih seperti
jalan Asy Syafi’i dan ia mendahulukan pendapat-pendapat sahabat dari pada qiyas.

C. Pengaruh Fiqih Terhadap Perkembangan Tasyri’


Munculnya madzab-madzab fiqih pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan
kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzab-madzab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah
sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para
orientalis.
Munculnya madzab dalam sh terlihat adanya pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga
muncul madzab-madzab fiqih pada periode ini. Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh
Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalin ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalkan
mati oleh suaminya.
Adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya
madzab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong di antaranya:
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi
berbagai macam masalah yang berbeda-beda tradisinya.
2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzab-madzab fiqih berusaha menyebarluaskan
pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-
Madzab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian
usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-
ulama madzab ketika menghadapi masalah huku

Anda mungkin juga menyukai