Anda di halaman 1dari 6

Neny Widyatama (1 2 1 0 4 1 0 0) 8

Upacara Mendhem Ari-ari dalam Masyarakat Jawa


A. Asal Mula Ari-ari menurut Masyarakat Jawa

Keberadaan kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Semenjak pertama kali
kita diturunkan ke alam dunia lewat rahim ibu, Tuhan sudah menitahkan
adanya penjaga-penjaga yang senantiasa mendampingi kita hidup di alam
dunia dan sesuai dengan perintah Tuhan, para penjaga-penjaga itu
dengan setia senantiasa berada disekililing kita.

Bagi orang Jawa, khususnya orang yang memahami tentang Kejawen,


adanya para penjaga tersebut dikenal dengan sebutan “Sedulur Papat”.
Siapa saja Sedulur Papat itu? Sedulur Papat yang dikenal masyarakat
yang memahami Kejawen adalah:

1. Kakang Kawah (Air Ketuban)

Yang disebut dengan Kakang Kawah adalah air ketuban yang


menghantarkan kita lahir ke alam dunia ini dari rahim ibu. Seperti
kita ketahui, sebelum bayi lahir, air ketuban akan keluar terlebih
dahulu guna membuka jalan untuk lahirnya si jabang bayi ke dunia
ini. Lantaran air ketuban (kawah) keluar terlebih dulu, maka
masyarakat Kejawen menyebutnya Kakak/Kakang (saudara lebih
tua) yang hingga kini dikenal dengan istilah Kakang Kawah.

2. Adhi Ari-Ari (Ari-Ari)


Sedangkan yang disebut dengan adhi ari-ari adalah ari-ari jabang
bayi itu sendiri. Urutan kelahiran jabang bayi adalah, air ketuban
terlebih dulu, setelah itu jabang bayi yang keluar dan dilanjutkan
dengan ari-ari. Karena ari-ari tersebut muncul setelah jabang bayi
lahir, maka masyarakat Kejawen biasanya mengenal dengan
sebutan Adhi/adik Ari-ari.

3. Getih (Darah)

Getih memiliki arti darah. Dalam rahim ibu selain si jabang bayi
dilindungi oleh air ketuban, ia juga dilindungi oleh darah. Dan darah
tersebut juga mengalir dalam sekujur tubuh si jabang bayi yang
akhirnya besar dan berwujud seperti kita ini.

4. Puser (Pusar)

Istilah Puser adalah sebutan untuk tali pusar yang menghubungkan


antara seorang ibu dengan anak yang ada dalam rahimnya. Dengan
adanya tali pusar tersebut, apa yang dimakan oleh sang ibu, maka
anaknya pun juga ikut menikmati makanan tersebut dan disimpan di
Ari-Ari. Disamping itu, pusar juga digunakan oleh si jabang bayi untuk
bernapas.

Ketika seorang jabang bayi lahir ke dunia dari rahim ibu, maka semua
unsur-unsur itu keluar dari tubuh si ibu. Unsur-unsur itulah yang
dititahkan oleh Yang Maha Kuasa untuk menjaga setiap manusia yang ada
di muka bumi ini. Maka masyarakat Jawa hingga kini mengenal adanya
doa yang menyebut saudara yang tak tampak mata yaitu secara lengkap
yaitu:

“Kakang Kawah, Adhi Ari-Ari, Getih, Puser, Kalimo


Pancer”(Saudara Papat Kalimo Pancer)/(Saudara Empat Lima
Pusat)

Pancer (Pusat)

Lalu siapakah yang disebut dengan istilah Pancer itu? Yang disebut
dengan istilah Pancer tersebut adalah si jabang bayi itu sendiri. Artinya,
sebagai jabang bayi yang berwujud manusia, maka dialah yang menjadi
pusat dari semua saudara-saudaranya yang tak tampak itu.
Asal Muasal Istilah SEDULUR PAPAT LIMA PANCER (Saudara Empat Lima
Pusat) mengambil dari Kitab Kidungan Purwajati yang tulisannya dimulai
dari lagu Dhandanggula yang berbunyi sebagai berikut;

Ana Kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira


Nganakaken saciptane Kakang Kawah punika Kang rumeksa ing
awak mami Anakakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-ari
ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah
Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa
Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa
mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ing
sunpapat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ing
wang.

Pada lagu diatas, disebutkan bahwa “Saudara Empat” itu adalah Marmati,
Kawah, Ari – ari (plasenta/ tembuni) dan Darah yang umumnya disebut
Rahsa. Semua unsur-unsur itu berpusat di Pusar yang terdapat pada Bayi.
Keempat unsur tadi berpusat di setiap manusia. Ada beberapa alasan
mengapa unsur-unsur tersebut diberi nama Marmati, Kakang Kawah, Adhi
Ari – Ari, dan Rahsa. Marmati itu artinya Samar Mati (Takut Mati).
Umumnya bila seorang ibu mengandung sehari - hari pikirannya khawatir
karena Samar Mati. Rasa khawatir tersebut hadir terlebih dahulu sebelum
keluarnya Kawah (air ketuban), Ari – ari, dan Rahsa. Oleh karena itu Rasa
Samar Mati itu lalu dianggap Sadulur Tuwa (Saudara Tua). Perempuan
yang hamil saat melahirkan, yang keluar terlebih dahulu adalah Air Kawah
(Air Ketuban) sebelum lahir bayinya, dengan demikian Kawah lantas
dianggap Sadulur Tuwayang biasa disebut Kakang (kakak) Kawah. Bila
kawah sudah lancar keluar, kemudian disusul dengan lahirnya si bayi,
setelah itu barulah keluar Ari – ari (plasenta/ tembuni). Karena Ari – ari
keluar setelah bayi lahir, ia disebut sebagai Sedulur Enom (Saudara Muda)
dan disebut Adhi (adik) Ari-Ari. Setiap ada wanita yang melahirkan, tentu
saja juga mengeluarkan Rah (Getih=darah) yang cukup banyak.
Keluarnya Rah (Rahsa) ini juga pada waktu akhir, maka dari itu Rahsa itu
juga dianggap Sedulur Enom. Puser (tali pusat) itu umumnya gugur
(Pupak) ketika bayi sudah berumur tujuh hari. Tali pusat yang copot dari
pusar juga dianggap saudara si bayi. Pusar ini dianggap pusatnya Saudara
Empat. Dari situlah muncul semboyan ‘Saudara Empat Lima Pusat’.

B. Upacara Mendhem Ari-ari


Karena adanya kepercayaan pada masyarakat Jawa tentang Sedulur
Papat Lima Pancer (Saudara Empat Lima Pusat), maka Ari-ari dianggap
merupakan salah satu dari sadulur papat atau sadulur kembar dari jabang
bayi yang dilahirkan. Selain itu, Ari-ari juga memilki peranan pokok dalam
menjaga pertumbuhan janin hingga menjadi bayi secara utuh. Ari-ari ini
juga dipercaya sebagai kepanjangan tangan Tuhan yang dapat disambat-
sebuti atau dimintai pertolongan untuk membantu memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan sang bayi di masa depan sehingga Ari-ari
harus dirawat dan dijaga dengan cara dipendhem (ditanam) selama 35
hari (Selapan)

Secara detail cara-cara Mendhem Ari-ari diuraikan dalam baris-baris


Kidungan di bawah ini:

Kidungan Pangruktining Ari-ari

(1) Bebukane golong-galing kaki (utawa : nini), putu banteng Wulung.


Kaki Among Nini Among kiye, lah tunggunen gusti arsa guling, sira
sun opahi satriya mujung.
(2) Kakang Kawah Adi Ari-ari payo padang lumpuk. mBok Nirbiyah lan
Diah den age, batok bolu lan uyah ywa kari, lan arta rong
duwit,dome aja kantun.
(3) Beras abang lawan lenga wangi, miwah gantal loro. Tetulisan Arab
lan Jarwane, den lebokken ing kendil tumuli, nganggo lawon putih,
karya lemek iku.

Tiga bait Kidungan di atas menerangkan secara gamblang


perlengkapan apa saja yang harus dimasukkan ke dalam bejana
tanah bersama tembuni Sang Bayi, yaitu: garam, uang sepasang,
jarum yang tajam, beras merah, gantal (sirih yang digulung dan
diikat) dua ikat, kertas yang bertuliskan huruf Arab, Latin dan Jawa.
Sebelumnya dipersiapkan dahulu kain mori putih secukupnya
sebagai alas tembuni dan berbagai perlengkapan yang
menyertainya. Kemudian minyak wangi disiramkan secukupnya,
kain putih dari ujung ke ujung ditangkupkan dengan rapi, terakhir
kendil ditutup dengan tutupnya.

Garam merupakan simbol kehidupan, dan nantinya si anak jika


besar akan mampu ’menggarami’ dunia, agar menjadi tempat yang
nikmat dan enak bagi siapa saja bak rasa masakan yang lezat. Uang
menggambarkan harapan, kelak nanti sang Anak tidak akan
kekurangan dalam hal materi. Berjumlah sepasang, agar dalam
mencari materi dia tetap menjaga hubungan baik dengan orang-
orang disekelilingnya, tidak asal ’tabrak’ dan juga agar tidak lupa
bersedekah jika lebih.

Jarum yang tajam adalah gambaran pikiran yang tajam dari sang
anak. Beras merah meyimpan harapan agar sang anak tidak pernah
kekurangan pangan. Dipilih Beras Merah dengan maksud apa yang
dimakan memberikan kekuatan dan kesehatan bagi sang bayi.
Beras Merah juga menggambarkan kejujuran dalam berusaha, dan
lambang keterikatan dengan keluarga. Sedang warna merah sendiri
dalam budaya Jawa menggambarkan sisi keduniawian dari
kehidupan. Kertas bertuliskan huruf Arab, Jawa dan Latin,
dimaksudkan agar sang anak akan menjadi anak yang beragama,
cerdas secara spiritual, emosi dan rasio. Gantal (sirih) menjadikan
anak tumbuh sehat dan kuat, serta kelak akan mendapat jodoh
yang ideal. Kesemuanya itu beserta tembuni dimasukkan kedalam
mori putih, sebagai lambang kepasrahan kepada Yang Maha Esa
atas segala doa dan harapan yang dibubungkan dan daya upaya
yang telah dilakukan.
Selanjutnya kita simak lanjutan Kidungan di atas tersebut sebagai
berikut:

(4) Kutu-kutu walang ataga sami, bareng laringong. Kang gumremet


kang kumelip kabeh, lah tunggunen gusti arsa guling sira sun opahi,
jenang sungsumtelu.
(5) Dandanane saking suwarga di, batok isi konyoh. Batok tasik tapel
lan pupuke, ana nggawa bokor lawan kendi, ana nggawa maning
kebut wiyah payung.

(6) Widadari gumrubyung nekani pra samya amomong ana ngreksa in


kanan kering. Ana nggawa kasur lawan guling kajang sirah adi,
kemul sutra alus.
(7) Benjang lamun bayi neka nangis, ingembana gupoh. Marang latar
pojok lor prenahe, pra leluhur rawuh anyuwuki, meneng aja nangis,
jabang bayi turu.

Bait 4, menyatakan agar si Orang Tua membuat bubur sumsum


sebagai sarana penolak segala penyakit dan bahaya. Kemudian di
saat akan menananam kendil berisi tembuni, Bapak dan Ibu harus
berdandan rapi seperti akan pergi ke pesta. Kendil di gendong
menggunakan selendang, dan dilambari kasur kecil lengkap dengan
bantal dan gulingnya, serta diselimuti sutra halus. Sang Ayah berdiri
di sampingnya sambil memayungi Sang Ibu yang menggendong
kendil berisi tembuni, di tangan satunya membawa kebutan.

Selanjutnya kendil tersebut dimasukkan ke dalam lubang tanah


yang telah disiapkan dan ditimbun rapi. Bila malam datang, tepat di
atas timbunan itu diberi lampu minyak tanah (senthir) dan agar
tidak mati tertiup angin ditutupi oleh kendil yang dibalik yang telah
dilubangi dasarnya. Biasanya pemasangan senthir ini dilakukan
minimal 35 hari (Selapan) dan kadang sampai 3 bulan lamanya.

Dalam bait terakhir, dinyatakan apabila kelak sang bayi menangis


terus. Maka orang tua harus menggendongnya ke pojok utara
pekarangan rumahnya, dengan maksud agar para leluhur datang
untuk menghibur bayi agar tenang.

Anda mungkin juga menyukai