Dalam agama Hindu selalu mengajarkan pada umatnya untuk senantiasa menjaga
kesucian dalam diri baik melalui perbuatan dan juga dalam bentuk pelaksanaan
upacara. Dengan demikian umat diharapkan dapaat pula melaksanakan uapacara
pembersihan diri mulai dari ia lahir sampai pada waktunya harus kembali pada Hyang
Widhi. Upacara yang diperuntukan bagi umat manusia disebut dengan upacara Manusa
Yadnya. Disini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Upacara untuk
bayi yang baru lahir.
Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara) Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi
baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si
kecil di dunia. Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan
telah mendapat perawatan pertama. Upacara ini dilaksanakan Upacara Jatakarma
dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah.
Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua
atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak
ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah dapat melaksanakan
upacara ini.
Ari - ari merupakan salah satu bagian penting dalam proses perkembangan janin di
dalam kandungan. Dalam tatwa Kanda Pat disebutkan bahwa manusia lahir ke dunia
dibantu oleh 4 saudara yaitu ari - ari, lamas, darah dan yeh nyom. Ke empat saudara
inilah yang menjaga bayi dalam kandungan dan membantu proses kelahiran bayi.
Setelah bayi lahir maka sang kanda pat pergi menuju lokasinya masing untuk beryoga
dan karena keteguhannya beryoga maka keempat saudara kita tersebutlah pada
akhirnya akan menjadi Sang Suratman, Sang Jogormanik, Sang Mahakala dan Sang
Dorakala yang akan menjadi saksi perilaku kehidupan dan sebagai penuntun jalan
setelah kematian.
Pelaksanaan upacara bagi bayi yang baru lahir salah satu maknanya adalah sebagai
ungkapan rasa gembira dan shyukur atas lahirnya si bayi ke dunia. Upakara-upakara
yang dipergunakan disebut dengan Dapetan. Upakara dapetan ini terdiri dari beberapa
bagian yang disesuaikan dengan tingkatan upacaranya, yaitu:
A. Tingkatan Kecil :
Upakaranya: nasi muncuk kuskusan, dilengkapi dengan buah-buahan (raka-raka),
rerasmen (kacang, saur, garam, sambel dan ikan), sampian jaet, dan canang
sari/canang genten, serta sebuah penyeneng. Upakara ini dihaturkan kepada Sang
Dumadi.
maksudnya:
Anak Alit Wawu lekad Upakarania: Nasi muncuk kukusan, wohwohan, raka-raka,
rerasmen, kacang saur, garam, sambel, ulam, sampiyan jaet, canang sari, canang
genten, penyeneng. Katur ring Sang Numadi. Yan ageng upekarane, maweweh jrimpen
miwah tumpeng. Munguwing ari-arine, Ri sampun kabersihan, kacelepan ring jeroning
kelapa sane sapun kabelahang dados kalih, toyane kutang. Ring luhurne marajah
ongkara, sane ring sor marajah ah,ring jeroning kelapa kedagingan duwi-duwian
miwah lekesan sagenep. Kelapane cakupang malih, kahungkus antuk duk miwah
wastra putih, raris pendem. Yan lanang ring tengen, yan wadon ring kiwa umah
meten. Iki mantran mendem: Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha
sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, nama sa jabang bayi mangda dirgayusa
nutugang tuwuh.
Tata pelaksanaan upacara anak yang baru lahir memiliki beberapa tatanan dalam
pelaksanaannya yaitu :
Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu
dipotong dan dikeluarkan airnya. ari-ari atau plasenta setelaht dibersihkan kemudian
dimasukan ke dalam buah kelapa yang sebelumnya sudah dibelah menjadi dua bagian
yang airnya juga telah dibuang. Bagian atas kelapa itu diisi tulisan “Ongkara” ( þ ).
Sedangkan pada bagian bawah kelapa tersebut diisi tulisan Ahkara ( ö ).
Selain dari itu ke dalam kelapa tadi dimasukan beberapa jenis duri terung, mawar dan
sebagainya. Selain duri ada bebarapa lagi yang dimasukan yaitu sirih lekesan
selengkapnya. Setelah itu kedua belahan kelapa tadi dicakupkan dibungkus dengan
ijuk dan kain putih kemudian dipendamkan. Kalau seandainya kesulitan dalam
mencari ijuk, penggunaan kain putih saja diperbolehkan.
Tempat memendamnya adalah sesuai dengan jenis kelamin si bayi. Kalau si bayi laki-
laki maka dipendam disebelah kanan pintu balai, sedangkan kala bayinya perempuan
maka ari-arinya dipendam di sebelah kiri pintu balai (dilihat dari dalam rumah).
Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan disi ngad, lontar
yang telah ditulisi diatas, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin
ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar
ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul diatasnya, dan dipasangkan kwangen
diatasnya.
Masukkan ari-ari kedalam lubang atau bangbang dengan muka kwangen kearah
halaman rumah. Sambil meletakkan didalam lubang ucapkan mantra dalam hati :
“Om presadha stiti sarisa sudha ya namah“
Ucapan saa:
"Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa
tumuwuh, ( nama bayi ) mangda dirgayusa nutugang tuwuh"
artinya: Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pertiwi, penguasa segala
kekuatan, penguasa kehidupan menghidupi segala yang lahir/ tumbuh, si anu (nama si
bayi) semoga panjang umur.
Tata letak pembuatan lubang memiliki etika yang berbeda antara bayi wanita dengan
bayi laki-laki. Kalau bayi laki-laki ditanam dibagian kanan pintu rumah dari kita
menghadap ke halaman rumah, sedangkan bagi bayi perempun dibagian kiri.
Setelah ditanam diatasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang
buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah
batu hitam atau batu bulitan.
Diatas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap
menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.
Dibagian hulu dari ari-ari ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan
bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang
Maha Yoni.
Suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada ari-ari sebanyak empat
tanding antara lain :
ucapan:
"ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit"
Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak
kepelan putih satu tanding dengan sedikit garam, dihaturkan di sanggah kemara
(diatas tempat tidur bayi).
lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan
dina kelahiran bayi.
Selanjutnya setiap hari diatas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi
segenggam diatas daun dapdap dengan lauk garam dan arang. setiap selesai
memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut.
Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan ucapan :
“Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring
pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken
bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta
nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing
joti maetmahan jati, Ang…Ah amertha sanjiwani ye namah swaha”
Menghaturkan soda pada pelinggih kemulan, dengan tujuan memohon tirtha pasucian
kehadapan Hyang Guru dengan mantra :
“Om guru rupam sadadnyanam, guru pantharanam dewam, guru nama japet sadha,
nasti-nasti, dine-dine, Om gung guru paduke byonamah swaha”
Ucapan saa:
“Om pakulun paduka Bhatara Hyang Guru mami angaturaken tadah saji pawitra,
aminta nugraha Bhatara tirtha pengelukatan pebersihan, nggenlumulangaken
keletehan sariran ipun dijabang bayi, kelukat, kelebur de paduka Bhatara
matemahan sarira sudha nirmala yenamah, Om sidhi rastu yenamah swaha“
Tirtha pasucian dipercikkan ketempat sanggah tutuan dan tempat ari-ari, banten
buwu, serta dapetan. Selanjutnya bayi dan ibunya diperciki tirtha buwu dan ayabang
banten dapetan.
Sang anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai
personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi
lahir ke dunia.
Sang Kala merupakan sebutan darah yg keluar pada saat melahirkan sebagai
sumber energi dari bayi sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu
Sang Bhuta merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus
tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir,
sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelican saat bayi
lahir.
Sang Dengen adalah sebutan untuk ari-ari atau placenta yang ikut lahir. Karena
ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan , sebab ari-ari
merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari Ibu kepada bayi dalam
pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi
terhadap suhu badan si Ibu
Pohon Pandan
Pohon pandan diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap
gangguan yang bersifat black magic.
Lampu Bali
lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang
(tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya). Lampu Bali yang menyala
melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karan
itu lampu tersebut ditatabkan atu ayab. Mantra : “Om Ang Ah Surya Candra Gumelar
Ye Namah Swaha“
Sangkar Ayam
Sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas
pandang alam semesta). Bahwa catur sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang
Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung
bayi
Sanggah Tutuan
Merupakan simbul dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang
bayi
Banten Bhuwu
Merupakan banten penyucian terhadap bayi dan ibunya serta lingkungan agar suci dari
kecuntakaan atau sebel pada tahap permulaan
Banten Dapetan
Mengandung makna dan tujuan sebagai penyapa kehadapan roh suci yang baru
reinkarnasi menjadi bayi.
UPAKARA
Demikianlah perawatan terhadap ari-ari dianggap selesai dan setiap ada upacara yang
ditujukan pada sibayi, hendaknya ari-arinya jangan dilupakan. Disamping itu perlu
kiranya dikemukan bahwa bila keadaanya tidak memungkinkan/ tidak mengijinkan
maka ada kalanya ari-ari itu dibungkus dengan kelapa seperti tadi kemudian dibuang
dilaut.
Demikian yang dapat penulis sampaikan apabila ada kekeliruan memohon kritik dan
sarannya dan mari diluruskan secara bersama agar sesuai dengan sastra agama. Atas
segala kekurangan yang ada penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya karena segala
keterbatasan yang ada.