BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ditinjau dari sudut bahasa, sikap dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
atau keyakinan (Dani, 2002). Sementara definisi sikap menurut para ahli hingga saat ini
masih berbeda pandangan, yang secara umum pandangan tersebut dibagi ke dalam tiga
kelompok. Kelompok pertama yang diwakili oleh Thurstone, Likert, dan Osgood dalam
Azwar (2005) memandang sikap merupakan bentuk evaluasi atau reaksi perasaan
terhadap suatu obyek, yang dapat berupa mendukung atau memihak maupun tidak
mendukung atau tidak memihak. Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave, Bogardus,
LaPieree, Mead, dan Allport dalam Azwar (2005) memandang sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu apabila individu
dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Kelompok ketiga
yang diwakili oleh Secord & Backman dalam Azwar (2005) memandang sikap
individu terhadap suatu obyek yang merupakan konstelasi kognitif, afektif, dan konatif
yang disebabkan oleh suatu stimulus yang menghendaki adanya respon (pendirian).
9
Sikap dan perilaku etis merupakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma
bermanfaat dan yang membahayakan (Griffin dan Ebert dalam Maryani dan Ludigdo,
2001). Dengan demikian dalam kaitan dengan etika profesi, sikap dan perilaku etis
merupakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan etika profesi tersebut.
Dunia pendidikan tinggi mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap etis
akuntan. Dunia pendidikan yang baik akan mencetak mahasiswa menjadi calon akuntan
yang mempunyai sikap profesional dan berlandaskan pada standar moral dan etika.
Sebagai pemasok tenaga profesional ke dunia usaha dan bisnis, perguruan tinggi
mempunyai peran yang sangat strategis untuk mengantarkan dan mempersiapkan para
mahasiswa menjadi calon-calon profesional yang mempunyai nilai- nilai etis yang baik.
2.1.1.1. Etika
merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila
serta agama. Sedangkan menurut Keraf (1998), etika secara harfiah berasal dari kata
Yunani ethos (jamaknya: ta etha), yang artinya sama persis dengan moralitas, yaitu adat
kebiasaan yang baik. Istilah etika jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1998), memiliki tiga arti, yang salah satunya adalah nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari beberapa definisi di atas dapat
mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan
yang dianut oleh sekelompok/ segolongan manusia/ masyarakat/ profesi. Menurut Keraf
dan Imam (1995), etika dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
1. Etika umum.
teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia
dalam bertindak, serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Etika umum dapat dianalogikan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai
2. Etika khusus.
kehidupan yang khusus. Etika khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Etika individual, menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial, berkaitan dengan kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia dengan
manusia lainnya salah satu bagian dari etika sosial adalah etika profesi, termasuk
Dalam banyak hal, pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari pembahasan
mengenai moral. Suseno (2005) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau
Sedangkan Karl Barth dalam Madjid (1992) mengungkapkan bahwa etika (ethos) adalah
sebanding dengan moral (mos), dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat
kebiasaan (sitten). Sitte dalam perkataan Jerman menunjukkan arti moda (mode) tingkah
laku manusia, suatu konstansi tindakan manusia. Karenanya secara umum etika atau
moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau
yang hanya dianggap sebagai pernyataan benar dan. salah atau baik dan buruk. Etika
sebenarnya meliputi suatu proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus
dilakukan seseorang dalam situasi tertentu. Proses itu sendiri meliputi penyeimbangan
pertimbangan sisi dalam (inner) dan sisi luar (outer) yang disifati oleh kombinasi unik
bahwa etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral. Perilaku moral di sini
lebih terbatas pada pengertian yang meliputi kekhasan pola etis yang diharapkan untuk
profesi tertentu. Pada riset tentang isu-isu etika dalam akuntansi, secara umum
menghindari diskusi filosofi tentang benar atau salah dan pilihan baik atau buruk.
Namun lebih difokuskan pada perilaku etis atau tidak etis para akuntan yang didasarkan
pada apakah mereka mematuhi kode etik profesinya atau tidak (Adams dalam Rianto,
1994).
Cooper dan Sawaf dalam Tikollah dkk (2006) mengatakan bahwa kecerdasan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.
perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Lebih
lanjut Goleman (2005) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari
hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana
hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat
emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan
emosional ke dalam lima unsur yang meliputi: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi,
empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kelima unsur
meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi; serta b) Kecakapan sosial; yang
akuntansi karena dengan memiliki kecerdasan emosional yang memadai maka ia dapat
mengelola emosinya dengan lebih baik. Dengan demikian ia akan lebih dapat
mempertimbangkan apakah suatu tindakan etis atau tidak untuk dilakukan. Kecerdasan
emosional juga memperluas gagasan seseorang tentang sikap etis dan pemikiran
strategis, sebab jelas bahwa di samping menjalankan strategi rasional, seseorang juga
menjalankan strategi emosional, atau setidaknya bahwa sering terdapat suatu kontribusi
persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (Zohar dan Marshall, 2002).
lahirnya wawasan dan pemahaman untuk beralih dari sisi dalam itu ke permukaan
spiritual juga menolong seseorang untuk berkembang. Lebih dari sekedar melestarikan
apa yang diketahui atau yang telah ada, kecerdasan spiritual membawa seseorang pada
apa yang tidak diketahui dan pada apa yang mungkin. Kecerdasan spiritual membuat
Pencarian kecerdasan spiritual akan makna, tujuan, dan nilai-nilai yang lebih agung
membuat seseorang tidak puas dengan apa yang telah tersedia, dan mengilhaminya
untuk mencipta lebih banyak lagi. Kecerdasan spiritual juga mendorong seseorang untuk
tumbuh dan berkembang sebagai sebuah budaya. Kecerdasan spiritual menyediakan satu
jenis wawasan dan pemahaman nirbatas mengenai keseluruhan sebuah situasi, sebuah
membuat seseorang mengetahui atau menemukan kedalaman atau arti penting dari
Menurut Zohar dan Marshall (2002), ada beberapa indikasi dari kecerdasan
spiritual mendahului seluruh nilai spesifik dan budaya manapun, serta mendahului
bentuk ekspresi agama manapun yang pernah ada. Namun bagi sebagian orang mungkin
bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan
orang lain. (Zohar dan Marshall, 2002). Wujud dari kecerdasan spiritual ini adalah sikap
moral yang dipandang luhur oleh pelaku (Ummah dkk, 2003). Matinya etika lama dan
untuk menciptakan ajaran etika baru berdasarkan kecerdasan spiritual (Zohar dan
Marshall, 2002).
wawasan dan pemahaman untuk menemukan makna akan keberadaan seseorang, tempat
bertindak, berpikir, dan merasa. Hal ini dapat terjadi karena selaku mahkluk Tuhan
berdasarkan nurani sehingga fungsi dari kecerdasan ini adalah sebagai dasar untuk
mempertimbangkan suatu tindakan etis atau tidak untuk dilakukan karena wujud dari
kecerdaan spiritual ini adalah sikap moral yang dipandang luhur oleh pelaku, dalam hal
2.1.4. Gender
Gender adalah penggolongan gramatikal terhadap kata benda yang secara garis
besar berhubungan dengan dua jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin atau
kenetralan. Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender berarti “jenis kelamin”,
dimana sebenarnya artinya kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan
pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World
Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Neudfeldt dalam Umar, 1999).
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural
yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai
interprestasi mental dan kultural terhada perbedaan kelamin yakni laki-laki dan
Pengertian gender menurut Fakih (2001) adalah suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan,
sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional,
lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.
Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat lain. Pengertian tersebut sejalan dengan kesimpulan yang diambil oleh Umar
(1995) yang mendefinisikan gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk
sehingga gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut
pandang non-biologis.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks
(jenis kelamin). Secara umum, konsep gender berbeda dengan konsep sex (jenis
kelamin). Gender yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikontruksi secara sosial maupun kultural. Gender berarti perbedaan yang bukan
biologis dan bukan kodrat dari Tuhan. Sedang sex merupakan kodrat dari Tuhan
atau pembagian dua jenis kelamin tertentu. Manusia jenis laki-laki adalah manusia yang
memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki
memiliki alat reproduksi seperti: rahim, dan saluran untuk melahirkan, memproduksi
telur, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis tidak dapat
dipertukarkan menurut fungsinya antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-
laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis
Gender adalah perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang dikontruksi
secara sosial, yaitu perbedaan yang bukan ketentuan dari Tuhan melainkan diciptakan
oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Mosse dalam Wijaya
menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang tersebut feminim atau maskulin.
Penampilan, sikap, kepribadian, tanggung jawab keluarga adalah perilaku yang akan
membentuk peran gender. Peran gender ini akan berubah seiring waktu dan berbeda
antara satu kultur dengan kultur yang lainnya. Peran ini juga berpengaruh oleh kelas
Perbedaan gender di antara pria dan wanita dibentuk oleh suatu proses yang
sangat panjang. Pembentukan perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal
misalnya, melalui sosialisasi, budaya yang berlaku serta kebiasaan-kebiasaan yang ada.
Perbedaan gender ini sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
berbagai ketidakadilan baik bagi pria maupun wanita. Ketidakadilan gender tersebut
diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja untuk waktu yang lebih lama dan
Ameen & Millanl dalam Rianto (2008) menyatakan ada dua alternatif penjelasan
mengenai perbedaan gender tentang perilaku tidak etis dalam bisnis. Pendekatan
perbedaan nilai dan perlakuan dalam pekerjaannya. Perbedaan ini disebabkan karena
pria dan wanita mengembangkan bidang peminatan, keputusan dan praktik yang
berbeda yang berhubungan dengan pekerjaannya. Pria dan wanita merespon secara
berbeda tentang reward dan cost. Pria akan mencari kesuksesan kompetitif dan bila
perlu melanggar aturan untuk mencapainya. Sedangkan wanita lebih menekankan pada
melakukan tugasnya dengan baik dan lebih mementingkan harmonisasi dalam relasi
pekerjaan. Wanita lebih memiliki kecenderungan taat pada peraturan dan kurang toleran
Dalam pendekatan struktural, perbedaan antara pria dan wanita lebih disebabkan
karena sosialisasi awal dan persyaratan peran. Sosialisasi awal diatasi dengan reward
dan cost yang berhubungan dengan peran. Pada situasi ini pria dan wanita merespon
secara sama. Pada pendekatan ini memprediksi bahwa pria dan wanita dalam
kesempatan atau pelatihan akan menunjukkan prioritas etika yang sama (Rustiana,
2003).
Machiavellian, pembelajaran etika dalam mata kuliah etika, dan sikap etis akuntan yang
bahwa sifat Machiavellian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
etis akuntan dan mahasiswa akuntansi demikian pula halnya dengan pembelajaran etika
mengetahui faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan
serta faktor yang dianggap paling dominan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku
tidak etis akuntan. Hasil yang diperoleh dari kuesioner tertutup menunjukkan bahwa
terdapat sepuluh faktor yang dianggap oleh sebagian besar akuntan mempengaruhi sikap
yang diterima, hukum, dan posisi atau kedudukan. Sedangkan hasil yang diperoleh dari
kuesioner terbuka menunjukkan bahwa terdapat 24 faktor tambahan yang juga dianggap
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku etis akuntan dimana faktor religiusitas tetap
Penelitian lain tentang etika yang berhubungan dengan gender adalah penelitian
yang dilakukan oleh Martadi dan Suranta (2006) yang meneliti tentang persepsi akuntan,
mahasiswa akuntansi, dan karyawan bagian akuntansi dipandang dari segi gender
terhadap etika bisnis dan etika profesi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pria dan wanita serta mahasiswa akuntansi
pria dan wanita, tetapi terdapat perbedaan persepsi antara karyawan bagian akuntansi
pria dan wanita. Ringkasan dari hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh
Maryani dan Survei atas faktor- Sikap dan perilaku Religiusitas adalah faktor
Ludigdo faktor yang etis (variabel yang berpengaruh dominan
(2001) mempengaruhi dependen). terhadap perilaku etis
sikap dan perilaku Religiusitas, akuntan, kecerdasan
etis akuntan. pendidikan, emosional juga berpengaruh
organisasional, terhadap sikap etis akuntan.
emotional quotient,
lingkungan keluarga,
pengalaman hidup,
imbalan yang
diterima, hukum, dan
posisi atau kedudukan
(variabel independen).
Martadi dan Persepsi akuntan, Persepsi etika bisnis dan Tidak terdapat perbedaan
Suranta mahasiswa etika profesi dan gender. persepsi antara akuntan pria
(2006) akuntansi, dan dan wanita serta mahasiswa
karyawan bagian akuntansi pria dan wanita.
akuntansi Terdapat perbedaan persepsi
dipandang dari segi antara karyawan bagian
gender terhadap akuntansi pria dan wanita.
etika bisnis dan
etika profesi.