Anda di halaman 1dari 15

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Sikap Etis

Ditinjau dari sudut bahasa, sikap dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia

didefinisikan sebagai perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian, pendapat

atau keyakinan (Dani, 2002). Sementara definisi sikap menurut para ahli hingga saat ini

masih berbeda pandangan, yang secara umum pandangan tersebut dibagi ke dalam tiga

kelompok. Kelompok pertama yang diwakili oleh Thurstone, Likert, dan Osgood dalam

Azwar (2005) memandang sikap merupakan bentuk evaluasi atau reaksi perasaan

terhadap suatu obyek, yang dapat berupa mendukung atau memihak maupun tidak

mendukung atau tidak memihak. Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave, Bogardus,

LaPieree, Mead, dan Allport dalam Azwar (2005) memandang sikap merupakan

kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu apabila individu

dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Kelompok ketiga

yang diwakili oleh Secord & Backman dalam Azwar (2005) memandang sikap

merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling

berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek.

Berdasarkan ketiga pandangan di atas, sikap dapat didefinisikan sebagai reaksi

individu terhadap suatu obyek yang merupakan konstelasi kognitif, afektif, dan konatif

yang disebabkan oleh suatu stimulus yang menghendaki adanya respon (pendirian).
9

Universitas Sumatera Utara


28

Sikap dan perilaku etis merupakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma

sosial yang diterima secara umum sehubungan dengan tindakan-tindakan yang

bermanfaat dan yang membahayakan (Griffin dan Ebert dalam Maryani dan Ludigdo,

2001). Dengan demikian dalam kaitan dengan etika profesi, sikap dan perilaku etis

merupakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan etika profesi tersebut.

Dunia pendidikan tinggi mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap etis

akuntan. Dunia pendidikan yang baik akan mencetak mahasiswa menjadi calon akuntan

yang mempunyai sikap profesional dan berlandaskan pada standar moral dan etika.

Sebagai pemasok tenaga profesional ke dunia usaha dan bisnis, perguruan tinggi

mempunyai peran yang sangat strategis untuk mengantarkan dan mempersiapkan para

mahasiswa menjadi calon-calon profesional yang mempunyai nilai- nilai etis yang baik.

2.1.1.1. Etika

Pengertian etika, dalam bahasa latin "ethica", berarti falsafah moral. Ia

merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila

serta agama. Sedangkan menurut Keraf (1998), etika secara harfiah berasal dari kata

Yunani ethos (jamaknya: ta etha), yang artinya sama persis dengan moralitas, yaitu adat

kebiasaan yang baik. Istilah etika jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1998), memiliki tiga arti, yang salah satunya adalah nilai mengenai benar dan salah

yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari beberapa definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat aturan/ norma/ pedoman yang

mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan

Universitas Sumatera Utara


29

yang dianut oleh sekelompok/ segolongan manusia/ masyarakat/ profesi. Menurut Keraf

dan Imam (1995), etika dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

1. Etika umum.

Etika umum berkaitan dengan bagaimana manusia mengambil keputusan etis,

teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia

dalam bertindak, serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.

Etika umum dapat dianalogikan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai

pengertian umum dan teori-teori.

2. Etika khusus.

Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang

kehidupan yang khusus. Etika khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Etika individual, menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.

b. Etika sosial, berkaitan dengan kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia dengan

manusia lainnya salah satu bagian dari etika sosial adalah etika profesi, termasuk

etika profesi akuntan.

Dalam banyak hal, pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari pembahasan

mengenai moral. Suseno (2005) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau

pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.

Sedangkan Karl Barth dalam Madjid (1992) mengungkapkan bahwa etika (ethos) adalah

sebanding dengan moral (mos), dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat

kebiasaan (sitten). Sitte dalam perkataan Jerman menunjukkan arti moda (mode) tingkah

laku manusia, suatu konstansi tindakan manusia. Karenanya secara umum etika atau

Universitas Sumatera Utara


30

moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau

konstansi-konstansi tindakan manusia.

Dengan mengkritik terlalu sederhananya persepsi umum atas pengertian etika

yang hanya dianggap sebagai pernyataan benar dan. salah atau baik dan buruk. Etika

sebenarnya meliputi suatu proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus

dilakukan seseorang dalam situasi tertentu. Proses itu sendiri meliputi penyeimbangan

pertimbangan sisi dalam (inner) dan sisi luar (outer) yang disifati oleh kombinasi unik

dari pengalaman dan pembelajaran masing masing individu.

Kemudian Chua dkk (1994), dalam konteks etika profesi, mengungkapkan

bahwa etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral. Perilaku moral di sini

lebih terbatas pada pengertian yang meliputi kekhasan pola etis yang diharapkan untuk

profesi tertentu. Pada riset tentang isu-isu etika dalam akuntansi, secara umum

menghindari diskusi filosofi tentang benar atau salah dan pilihan baik atau buruk.

Namun lebih difokuskan pada perilaku etis atau tidak etis para akuntan yang didasarkan

pada apakah mereka mematuhi kode etik profesinya atau tidak (Adams dalam Rianto,

1994).

2.1.2. Kecerdasan Emosional

Cooper dan Sawaf dalam Tikollah dkk (2006) mengatakan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan

daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.

Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai

Universitas Sumatera Utara


31

perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara

efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah

kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam

menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur

keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan

emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Lebih

lanjut Goleman (2005) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari

hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana

hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat

emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan

sosial serta lingkungannya.

Goleman (2005) yang mengadaptasi model Salovey-Mayer membagi kecerdasan

emosional ke dalam lima unsur yang meliputi: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi,

empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kelima unsur

tersebut dikelompokkan ke dalam dua kecakapan, yaitu: a) Kecakapan pribadi; yang

meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi; serta b) Kecakapan sosial; yang

meliputi empati dan keterampilan sosial (Goleman, 2005).

Kecerdasan emosional dapat berpengaruh terhadap sikap etis seorang mahasiswa

akuntansi karena dengan memiliki kecerdasan emosional yang memadai maka ia dapat

mengelola emosinya dengan lebih baik. Dengan demikian ia akan lebih dapat

mempertimbangkan apakah suatu tindakan etis atau tidak untuk dilakukan. Kecerdasan

Universitas Sumatera Utara


32

emosional juga memperluas gagasan seseorang tentang sikap etis dan pemikiran

strategis, sebab jelas bahwa di samping menjalankan strategi rasional, seseorang juga

menjalankan strategi emosional, atau setidaknya bahwa sering terdapat suatu kontribusi

emosional pada strategi-strategi disusunnya.

2.1.3. Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan

persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam

konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa tindakan atau jalan hidup

seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (Zohar dan Marshall, 2002).

Kecerdasan spiritual melampaui kekinian dan pengalaman manusia, serta merupakan

bagian terdalam dan terpenting dari manusia (Pasiak, 2002).

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Kecerdasan spiritual adalah

kecerdasan yang membuat seseorang menjadi utuh, sehingga dapat mengintegrasikan

berbagai fragmen kehidupan, aktifitas dan keberadaannya. Kecerdasan spiritual

memungkinkan seseorang dapat mengetahui apa sesungguhnya dirinya dan

organisasinya. Kecerdasan spiritual membuat persentuhan dengan sisi dalam keberadaan

seseorang dan dengan mata air potensialitasnya. Kecerdasan spiritual memungkinkan

lahirnya wawasan dan pemahaman untuk beralih dari sisi dalam itu ke permukaan

keberadaan seseorang, tempat seseorang bertindak, berpikir, dan merasa. Kecerdasan

spiritual juga menolong seseorang untuk berkembang. Lebih dari sekedar melestarikan

apa yang diketahui atau yang telah ada, kecerdasan spiritual membawa seseorang pada

Universitas Sumatera Utara


33

apa yang tidak diketahui dan pada apa yang mungkin. Kecerdasan spiritual membuat

seseorang menghasratkan motivasi-motivasi yang lebih tinggi dan membuatnya

bertindak dengan motivasi-motivasi ini. Dalam evolusi manusia, pencarian akan

maknalah yang menggerakkan otak seseorang untuk mengembangkan bahasa. Dalam

evolusi masyarakat, pencarian akan makna dan nilai-nilai mendalamlah yang

menyebabkan seseorang menyeleksi para pemimpin terbaik bagi kelompoknya.

Pencarian kecerdasan spiritual akan makna, tujuan, dan nilai-nilai yang lebih agung

membuat seseorang tidak puas dengan apa yang telah tersedia, dan mengilhaminya

untuk mencipta lebih banyak lagi. Kecerdasan spiritual juga mendorong seseorang untuk

tumbuh dan berkembang sebagai sebuah budaya. Kecerdasan spiritual menyediakan satu

jenis wawasan dan pemahaman nirbatas mengenai keseluruhan sebuah situasi, sebuah

masalah, atau mengenai keseluruhan eksistensi itu sendiri. Kecerdasan spiritual

membuat seseorang mengetahui atau menemukan kedalaman atau arti penting dari

segala sesuatu. (Zohar dan Marshall, 2002).

Menurut Zohar dan Marshall (2002), ada beberapa indikasi dari kecerdasan

spiritual yang telah berkembang dengan baik yang mencakup:

a) Kemampuan untuk bersikap fleksibel,

b) Adanya tingkat kesadaran diri yang tinggi,

c) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,

d) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui perasaan sakit,

e) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,

f) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu,

Universitas Sumatera Utara


34

g) Kecenderungan untuk berpandangan holistik,

h) Kecenderungan untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” dan berupaya

untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar,

i) Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

Kecerdasan spiritual tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan

spiritual mendahului seluruh nilai spesifik dan budaya manapun, serta mendahului

bentuk ekspresi agama manapun yang pernah ada. Namun bagi sebagian orang mungkin

menemukan cara pengungkapan kecerdasan spiritual melalui agama formal sehingga

membuat agama menjadi perlu (Zohar dan Marshall, 2002).

Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk menyatukan hal-hal yang

bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan

orang lain. (Zohar dan Marshall, 2002). Wujud dari kecerdasan spiritual ini adalah sikap

moral yang dipandang luhur oleh pelaku (Ummah dkk, 2003). Matinya etika lama dan

seluruh kerangkan pikiran yang mendasarinya, memberi kesempatan yang berharga

untuk menciptakan ajaran etika baru berdasarkan kecerdasan spiritual (Zohar dan

Marshall, 2002).

Kecerdasan spiritual dapat memberi pengaruh terhadap sikap etis seorang

mahasiswa akuntansi karena melalui kecerdasan spiritual memungkinkan lahirnya

wawasan dan pemahaman untuk menemukan makna akan keberadaan seseorang, tempat

bertindak, berpikir, dan merasa. Hal ini dapat terjadi karena selaku mahkluk Tuhan

seseorang berkewajiban melakukan tindakan – tindakan yang benar dan baik

berdasarkan nurani sehingga fungsi dari kecerdasan ini adalah sebagai dasar untuk

Universitas Sumatera Utara


35

mempertimbangkan suatu tindakan etis atau tidak untuk dilakukan karena wujud dari

kecerdaan spiritual ini adalah sikap moral yang dipandang luhur oleh pelaku, dalam hal

ini adalah mahasiswa akuntansi.

2.1.4. Gender

Gender adalah penggolongan gramatikal terhadap kata benda yang secara garis

besar berhubungan dengan dua jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin atau

kenetralan. Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender berarti “jenis kelamin”,

dimana sebenarnya artinya kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan

pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World

Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan

perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Neudfeldt dalam Umar, 1999).

Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural

yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,

dan karakteristik emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam

masyarakat (Tierney dalam Umar, 1999).

Meskipun kata gender belum masuk dalam pembendaharaan Kamus Besar

Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri

Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai

interprestasi mental dan kultural terhada perbedaan kelamin yakni laki-laki dan

perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang

dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Universitas Sumatera Utara


36

Pengertian gender menurut Fakih (2001) adalah suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan,

sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri

merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional,

lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.

Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke

tempat lain. Pengertian tersebut sejalan dengan kesimpulan yang diambil oleh Umar

(1995) yang mendefinisikan gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk

mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi-budaya,

sehingga gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut

pandang non-biologis.

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks

(jenis kelamin). Secara umum, konsep gender berbeda dengan konsep sex (jenis

kelamin). Gender yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang

dikontruksi secara sosial maupun kultural. Gender berarti perbedaan yang bukan

biologis dan bukan kodrat dari Tuhan. Sedang sex merupakan kodrat dari Tuhan

sehingga secara permanen berbeda. Pengetahuan jenis kelamin merupakan pensifatan

atau pembagian dua jenis kelamin tertentu. Manusia jenis laki-laki adalah manusia yang

memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki

alat kelamin yang memproduksi sperma, memiliki jakala. Sedangkan perempuan

memiliki alat reproduksi seperti: rahim, dan saluran untuk melahirkan, memproduksi

Universitas Sumatera Utara


37

telur, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis tidak dapat

dipertukarkan menurut fungsinya antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-

laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis

atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat).

Gender adalah perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang dikontruksi

secara sosial, yaitu perbedaan yang bukan ketentuan dari Tuhan melainkan diciptakan

oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Mosse dalam Wijaya

(2005) mendefinisikan gender sebagai seperangkat peran yang dimainkan untuk

menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang tersebut feminim atau maskulin.

Penampilan, sikap, kepribadian, tanggung jawab keluarga adalah perilaku yang akan

membentuk peran gender. Peran gender ini akan berubah seiring waktu dan berbeda

antara satu kultur dengan kultur yang lainnya. Peran ini juga berpengaruh oleh kelas

sosial, usia dan latar belakang etnis.

Perbedaan gender di antara pria dan wanita dibentuk oleh suatu proses yang

sangat panjang. Pembentukan perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal

misalnya, melalui sosialisasi, budaya yang berlaku serta kebiasaan-kebiasaan yang ada.

Perbedaan gender ini sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan

ketidakadilan gender. Dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menyebabkan

berbagai ketidakadilan baik bagi pria maupun wanita. Ketidakadilan gender tersebut

dapat berwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya marginalisasi, proses

pemiskinan ekonomi, subordinasi pengambilan keputusan, stereotyping dan

diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja untuk waktu yang lebih lama dan

Universitas Sumatera Utara


38

memikul beban ganda (Glover dkk dalam Rianto, 2008).

Ameen & Millanl dalam Rianto (2008) menyatakan ada dua alternatif penjelasan

mengenai perbedaan gender tentang perilaku tidak etis dalam bisnis. Pendekatan

tersebut adalah pendekatan sosialisasi gender (gender socialization approach) dan

pendekatan struktural (structural approach).

Pendekatan sosialisasi gender menyatakan bahwa pria dan wanita membawa

perbedaan nilai dan perlakuan dalam pekerjaannya. Perbedaan ini disebabkan karena

pria dan wanita mengembangkan bidang peminatan, keputusan dan praktik yang

berbeda yang berhubungan dengan pekerjaannya. Pria dan wanita merespon secara

berbeda tentang reward dan cost. Pria akan mencari kesuksesan kompetitif dan bila

perlu melanggar aturan untuk mencapainya. Sedangkan wanita lebih menekankan pada

melakukan tugasnya dengan baik dan lebih mementingkan harmonisasi dalam relasi

pekerjaan. Wanita lebih memiliki kecenderungan taat pada peraturan dan kurang toleran

dengan individu yang melanggar aturan (Rustiana, 2008).

Dalam pendekatan struktural, perbedaan antara pria dan wanita lebih disebabkan

karena sosialisasi awal dan persyaratan peran. Sosialisasi awal diatasi dengan reward

dan cost yang berhubungan dengan peran. Pada situasi ini pria dan wanita merespon

secara sama. Pada pendekatan ini memprediksi bahwa pria dan wanita dalam

kesempatan atau pelatihan akan menunjukkan prioritas etika yang sama (Rustiana,

2003).

Universitas Sumatera Utara


39

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang membahas mengenai kecerdasan. Penelitian Tikollah

dkk (2006) yang meneliti tentang pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan

emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi

menunjukkan bahwa Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan

spiritual, secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa

akuntansi, tetapi secara parsial hanya kecerdasan intelektual yang berpengaruh

signifikan serta berpengaruh dominan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi.

Penelitian Chrismastuti & Purnamasari (2004) meneliti tentang hubungan sifat

Machiavellian, pembelajaran etika dalam mata kuliah etika, dan sikap etis akuntan yang

dilakukan terhadap 54 akuntan dan 99 mahasiswa akuntansi.Penelitian ini menunjukkan

bahwa sifat Machiavellian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku

etis akuntan dan mahasiswa akuntansi demikian pula halnya dengan pembelajaran etika

dalam mata kuliah etika.

Penelitian yang dilakukan Maryani dan Ludigdo (2001) bertujuan untuk

mengetahui faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan

serta faktor yang dianggap paling dominan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku

tidak etis akuntan. Hasil yang diperoleh dari kuesioner tertutup menunjukkan bahwa

terdapat sepuluh faktor yang dianggap oleh sebagian besar akuntan mempengaruhi sikap

dan perilaku mereka. Sepuluh faktor tersebut adalah religiusitas, pendidikan,

organisasional, emotional quotient, lingkungan keluarga, pengalaman hidup, imbalan

yang diterima, hukum, dan posisi atau kedudukan. Sedangkan hasil yang diperoleh dari

Universitas Sumatera Utara


40

kuesioner terbuka menunjukkan bahwa terdapat 24 faktor tambahan yang juga dianggap

berpengaruh terhadap sikap dan perilaku etis akuntan dimana faktor religiusitas tetap

merupakan faktor yang dominan.

Penelitian lain tentang etika yang berhubungan dengan gender adalah penelitian

yang dilakukan oleh Martadi dan Suranta (2006) yang meneliti tentang persepsi akuntan,

mahasiswa akuntansi, dan karyawan bagian akuntansi dipandang dari segi gender

terhadap etika bisnis dan etika profesi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pria dan wanita serta mahasiswa akuntansi

pria dan wanita, tetapi terdapat perbedaan persepsi antara karyawan bagian akuntansi

pria dan wanita. Ringkasan dari hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh

peneliti sebelumnya dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:

Universitas Sumatera Utara


41

Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu

Nama Judul Penelitian Variabel Hasil Penelitian


Tikollah, Pengaruh Sikap etis (variabel Kecerdasan intelektual,
Triyuwono kecerdasan dependen). Kecerdasan kecerdasan emosional,
dan Ludigdo intelektual, intelektual, kecerdasan kecerdasan spiritual, secara
(2006) kecerdasan emosional, kecerdasan simultan berpengaruh
emosional, dan spiritual (variabel signifikan terhadap sikap
kecerdasan independen). etis mahasiswa akuntansi,
spiritual terhadap tetapi secara parsial hanya
sikap etis kecerdasan intelektual yang
mahasiswa berpengaruh signifikan serta
akuntansi. berpengaruh dominan
terhadap sikap etis
mahasiswa akuntansi.
Chrismastuti Hubungan sifat Perilaku etis, tingkat Sifat Machiavellian
dan Machiavellian, kecenderungan sifat merupakan salah satu faktor
Purnamasari pembelajaran etika Machiavellian (variabel yang mempengaruhi
(2004) dalam mata kuliah dependen). Gender, perilaku etis akuntan dan
etika, dan sikap etis status, pendidikan, usia mahasiswa akuntansi.
akuntan: suatu dan mata kuliah etika
analisis perilaku (variabel independen).
etis akuntan dan
mahasiswa
akuntansi.

Maryani dan Survei atas faktor- Sikap dan perilaku Religiusitas adalah faktor
Ludigdo faktor yang etis (variabel yang berpengaruh dominan
(2001) mempengaruhi dependen). terhadap perilaku etis
sikap dan perilaku Religiusitas, akuntan, kecerdasan
etis akuntan. pendidikan, emosional juga berpengaruh
organisasional, terhadap sikap etis akuntan.
emotional quotient,
lingkungan keluarga,
pengalaman hidup,
imbalan yang
diterima, hukum, dan
posisi atau kedudukan
(variabel independen).

Martadi dan Persepsi akuntan, Persepsi etika bisnis dan Tidak terdapat perbedaan
Suranta mahasiswa etika profesi dan gender. persepsi antara akuntan pria
(2006) akuntansi, dan dan wanita serta mahasiswa
karyawan bagian akuntansi pria dan wanita.
akuntansi Terdapat perbedaan persepsi
dipandang dari segi antara karyawan bagian
gender terhadap akuntansi pria dan wanita.
etika bisnis dan
etika profesi.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai