Created by gunz
Igunz24@yahoo.com
0274-9194045
TUGAS
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PROFESI
Dosen:
Dr. Sofia Retnowati,MS
IWAN GUNAWAN
08914017
Oleh :
Iwan Gunawan
089194017
DAMPAK BENCANA
Dampak dari bencana alam sudah dipastikan banyak menimbulkan kerugian, baik
harta benda maupun jiwa, ini merupakan hal yang tidaklah mudah untuk
dihadapi, bayangkan ketika seorang yang selama bertahun-tahun mengumpulkan
harta benda dari yang tidak punya dikumpulkan sedikit-sedikit sampai dengan
lumayan banyak dengan perjuangan yang tentunya tidaklah mudah, ketika terjadi
Iwan Gunawan _08914017_page 2
bencana akan hilang dalam sekejap, sungguh sesuatu yang sangat sulit untuk
diterima, dan juga akibat bencana dapat kehilangan orang tua, suami, istri dan
anak-anak yang tidak mungkin tergantikan.
Dampak bencana juga dapat menghambat laju pembangunan, akibat bencana
gedung sekolah, tempat ibadah, rumah tinggal, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya
akan rusak atau runtuh, sehingga kehidupan sehari-hari akan terganggu yang
akhirnya akan berakibat munculnya kegagalan di masa yang akan datang.
Selain dampak bencana yang berakibat terhadap fisik, bencana juga membawa
dampak terhadap psikologis seseorang yang dapat dikelompok sebagai berikut :
1. Dampak langsung (Impact Phase = Heroic phase)
- Menyelamatkan diri, orang lain.
- Perilaku survivor, bingung tidak terarah dan lain sebagainya.
2. Tahap Segera Setelah Bencana (Immediate post-Disaster Phase)
1 sd 6 bulan PTSD (Post Traumatic Stress Disorders) numbess, denial, shock)
3. Tahap Kekecewaan dan Pemulihan (Dissillussionment & Recovery)
Menyesuaikan diri dengan keadaan.
Besarnya akibat yang ditimbulkan dari bencana tentu saja akan menimbulkan
dampak psikologis yang besar bagi mereka yang merasakannya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Rasa ketakutan, kehilangan, kesakitan, dan
keputusasaan akhirnya memunculkan suatu kondisi yang disebut dengan trauma.
Menurut Chaplin (1994), trauma adalah suatu luka baik fisik maupun psikologis
yang disebabkan oleh pengalaman yang sangat menyaktikan. Dalam lingkup
psikologis ”luka” yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut dapat berkembang
menjadi suatu gangguan yang dikenal dengan istilah PTSD (Post-Traumatic Stress
Disorder). PTSD merupakan gangguan emosional yang menyebabkan distres
permanen, yang terjadi setelah individu menghadapi ancaman keadaan yang
membuatnya merasa tidak berdaya atau ketakutan (Durand & Barlowm, 2006).
Individu tidak mampu menghilangkan kecemasan terkait dengan peristiwa
traumatis sehingga sering mengalami flashback ke kejadian itu, mimpi buruk, dan
kecenderungan menolak fakta bahwa peristiwa itu benar pernah terjadi (Halgin &
Withbourne, 1994). Pada akhirnya gangguan psikologis yang diderita oleh
individu yang mengalami PTSD akan berdampak pada aspek fisik individu
tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Ramchand, dkk (2008) menyebutkan
Iwan Gunawan _08914017_page 3
bahwa ada korelasi positif antara simtom PTSD dengan keberfungsian fisik
(physical functioning). Semakin tinggi level PTSD yang diikuti oleh luka fisik, maka
semakin lama waktu kesembuhan untuk luka tersebut dan sebaliknya.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pengalaman traumatis memang
memiliki tingkat resiko tinggi bagi individu, yaitu berkembang menjadi suatu
gangguan psikologis yang serius dan pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi
fisik individu tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai langkah preventif
sehingga resiko-resiko itu dapat dicegah. Salah satu cara yang umum dilakukan
oleh para konsultan atau terapis adalah memfasilitasi individu untuk
mengekpresikan pikiran dan perasaannya terkait dengan pengalaman traumatis
tersebut (Seery, dkk, 2008). Tindakan pengekspresian tersebut penting agar
individu tidak terjebak dalam perasaan dan pikiran negatif secara terus-menerus
sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan psikologis pada dirinya. Pada
kenyataannya banyak individu yang mengalami peristiwa traumatis memang
memilih untuk menceritakan pengalamannya itu. Ditinjau menurut pendekatan
behavioral kecenderungan individu untuk mengekspresikan pengalaman traumtis
itu dapat dijelaskan dengan konsep reinforcement. Individu akan merasakan suatu
respon positif dalam dirinya seperti perasaan lega dan nyaman setelah bercerita
dan itu menjadi reinforcer (penguat) bagi individu untuk terus mengekspresikan
pikiran dan perasaannya. Tak kalah penting untuk diperhatikan bahwa dengan
bercerita, individu itu kemungkinan besar juga akan mendapatkan reward berupa
dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya.
Dampak psikologis yang sangat besar terutama terhadap orang-orang yang
ditinggalkan oleh sanak keluarganya. Hal ini juga lebih menjadi perhatian apabila
menyangkut keadaan anak-anak yang ditinggal mati oleh ayah dan ibunya serta
tidak ada lagi keluarga untuk berlindung seperti terjadi saat tsunami Aceh.
Melihat pelajaran terdahulu saat Tsunami di Aceh, banyak pihak yang akhirnya
mendirikan posko-posko bantuan atau dompet-dompet sosial untuk menyalurkan
bantuan materi seperti bahan makanan dan air serta sandang ke saudara-saudara
kita yang tertimpa bencana. Hal itu juga terjadi saat peristiwa gempa Jogja dan
Iwan Gunawan _08914017_page 4
yang terakhir ini gempa Pangandaran. Walaupun seringkali tidak beres dalam
pengaturan dan penyaluran bahan logistik bantuan, namun banyak juga saudara-
saudara kita yang merasa sangat terbantu dengan bantuan yang diberikan. Namun
bila kita melihat lebih jauh, apakah hanya bantuan materi yang mereka butuhkan.
Apakah juga mereka butuh bantuan dan dukungan psikologis untuk membuat
mereka merasa lebih nyaman?