Busana dalam konteks sosial budaya merupakan objek studi yang menarik
diperbincangkan, tidak hanya oleh dunia perguruan tinggi tetapi juga oleh lembaga
lain yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial budaya suatu masyarakat.
Isu busana islami yang mencuat akhir-akhir ini di Aceh, dan terutama di Bumi
Teuku Umar patut mendapatkan perhatian banyak pihak, sebagai suatu realitas
sosial yang terus berkembang. Realitas sosial ini akan terus bergulir dan tidak
mungkin dibendung, mengingat isu busana sebagai realitas (social reality) akan terus
menerus melaju hingga memenukan titik nadir. Dalam studi sosiologi titik nadir ini
dikenal dengan “kesempurnaan realitas sosial”.
Diskursus busana sebagai isu sosial dalam konteks Aceh hari ini, memiliki latar
belakang yang patut diselami dan diketahui secara seksama oleh pemerhati sosial
budaya. Paling tidak terdapat empat simpul yang dapat dinyatakan sebagai
background yang mencuatkan isu busana sebagai isu hangat yang memerlukan
jawaban akademik dan praktis. Jawaban tersebut bisa saja diungkap dalam
kerangka ilmu fiqh, ilmu hukum, ilmu sosial-budaya dan berbagai dimensi ilmu
lainnya. Isu busana yang sedang menjalani proses pencarian kesempurnaan realitas
sosial, diharapkan benar-benar mampu menciptakan situasi sosial yang seimbang
(social equilibrium).
Keempat simpul yang menjadi background munculnya isu busana sebagai isu sosial
di Aceh, termasuk di Aceh Barat adalah sebagai berikut :
Pertama, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang dikenal kental dengan ajaran
syari’at Islam. Islam sebagai ajaran yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW, sudah dijadikan pedoman hidup yang mengikat seluruh prilaku
masyarakat Aceh sejak puluhan abad yang lalu. Masyarakat Aceh menjadikan
syari’at Islam sebagai nilai, norma dan standar etika yang memayungi setiap gerak
individu dalam kehidupan keseharian. Nilai dan norma yang berasal dari ajaran
syari’at Islam menjelma sebagai nilai positif yang dipatuhi dan diikuti oleh seluruh
masyarakat Aceh. Nilai, norma dan etika yang dijadikan referensi masyarakat Aceh
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, pada akhirnya melahirkan panduan baku
dalam menjalankan sejumlah interaksi sosial.
Proses internalisasi ajaran syari’at Islam menjadi nilai sosial positif ditengah
masyarakat Aceh, melalui proses panjang yang berangkat dari pemahaman teks
keagamaan. Pemahaman keagamaan sangat dipengaruhi oleh situasi ketika teks itu
dibicarakan atau diimplementasikan dalam realitas masyarakat Aceh. Situasi sosial,
kultur dan politik ikut juga mempengaruhi proses internalisasi ajaran syari’at
menjadi nilai moral, dan nilai kultur yang bersifat implementatif. Dengan demikian,
norma, nilai dan etika yang bersifat implementatif, merupakan pemaknaan dari
ajaran normatif syari’at Islam.
Dari sisi ajaran normatif syari’at, busana bagi muslim memiliki posisi tersendiri,
sehingga sejumlah teks memberikan ruang agar manusia memaknai busana yang
dikenakannya sebagai bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang dihargai, dihormati
dan dijunjung tinggi. Busana dengan konsep menutup aurat, merupakan bentuk
aktualisasi dari nilai budaya suatu komunitas manusia. Oleh karena itu, ketika nilai
sosial-budaya yang melekat pada busana/pakaian yang filosofinya menutup aurat,
digeserkan pada situasi lain yang berbeda dengan nilai dan norma yang berlaku
selama ini, hampir dapat dipastikan munculnya gelembung dan gejolak sosial yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kerangka pikir di atas secara praktis akan dipertanyakan oleh sebagian masyarakat
kenapa masyarakat muslim menggunakan pakaian yang tidak sejalan dengan aturan
syari’at Islam. Bukankan syari’at telah memberikan batasan yang jelas bagaiamana
pengaturan mengenai pakaian atau busana yang mesti digunakan oleh masyarakat
muslim. Pertanyaan ini muncul di sebagian masyarakat muslim Aceh Barat selama
ini, melihat sebagian masyarakat muslim menggunakan pakaian yang diklaim
sebagai pakaian yang tidak mencerminkan nilai-niliai yang bersumber pada ajaran
agama Islam. Namun, sebagian pandangan memahami apa yang digunakan oleh
masyarakat muslim selama ini, dianggap sejalan dengan nilai etika yang berasal dari
ajaran Islam. Perbedaan pandangan iniliah yang telah memunculkan reaksi dari
berbagai pihak mengenai bagaimana semestinya pakaian /busana yang tepat bagi
seorang muslim.
Kedua, Aceh memiliki otonomi khusus dalam menjalankan syari’at Islam secara
menyeluruh (kaffah). Kewenangan yang dimiliki Aceh dalam menjalankan syari’at
Islam mendapat payung hukum yang cukup kuat yaitu UU No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini memberikan
kesempatan kepada Aceh untuk menjadikan aturan hukum syari’at yang tertera
dalam al-Qur’an dan al-Hadis sebagai hukum positif. Kedua undang-undang ini
mendorong rekonstruksi aturan syari’at menjadi hukum positif negara. Proses
rekonstruksi materi syari’ah menjadi norma hukum positif dilakukan melalui proses
legislasi yang melahirkan Qanun Aceh.
Pengaturan busana bagi masyarakat muslim dalam Qanun Aceh belum mendapat
tempat secara jelas dan tegas. Qanun tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam hanya
mengatur secara umum prinsip berbusana islami yaitu menutup aurat, dengan tidak
merinci secara spesifik norma-norma hukum yang harus diikuti seseorang dalam
menggunakan busana islami. Akibatnya, prinsip busana islami yang tertera dalam
Qanun Aceh diberikan tafsiran secara beragam oleh masyarakat guna mengukur
prilaku seseorang dalam berbusana. Keragaman tafsiran mengenai norma hukum
yang digunakan telah menimbulkan sejumlah perbedaan dalam memaknai
pakaian/busana islami yang memenuhi standar syari’at. Dalam kenyataan sering
ditemukan sekelompok orang mengklaim bahwa busana yang ia kenakan sejalan
dengan syari’at dan sebagian lagi mengklaim bahwa pakaian yang dikenakan orang
tertentu tidak sejalan dengan syari’at. Kecenderungan menilai bahwa busana yang
dikenakan seseorang memenuhi standar atau tidak memenuhi standar, sangat
tergantung pada nilai yang dianut oleh suatu komunitasnya. Nilai ini bisa saja
berbeda antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain.
Ketiga, terdapat kekhawatiran pada sebagian kalangan bahwa tindakan yang diambil
petugas yang diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan penertiban
busana islami terkesan tidak lagi menjurus kepada pesan tazkir dan ta’dib tetapi
lebih dirasakan menjurus kepada perlakuan yang dianggap tidak tepat dan tidak
adil. Kekhawatiran seperti ini sangat wajar terjadi melihat realitas di mana
sosialisasi yang terbatas ikut mempengaruhi terbangunnya persepsi miring terhadap
penertiban dan pembinaan masyarakat yang berbusana islami. Harus diakui pula
bahwa terdapat juga sekelompok orang yang memproklamirkan diri sebagai
penegak syari’at, tetapi melakukan tindakan yang dianggap jauh dari nilai
kemaslahatan dan kedamaian. Padahal kedua nilai ini semestinya dijunjung tinggi oleh
pelopor dan penegak syari’at.
Keempat, busana mendapat tempat dalam setiap tatanan nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat. Tatanan nilai ini dapat saja berbentuk wahana nilai agama, nilai hukum, nilai
sosial, nilai budaya, nilai kesehatan, nilai etika maupun nilai estetika. Nilai-nilai ini
diharapkan menjadi kongkrit dalam realitas sosial yang dapat memandu anggota komunitas
dalam penggunaan busana. Semakin kongkrit nilai yang ada dalam persepsi masyarakat,
semakin mudah masyarakat memahami dan menjadikannya sebagai patokan prilaku
terutama dalam kaitannya dengan busana. Walaupun dalam masyarakat tradisional,
pengkongkretisasian nilai melalui sejumlah “areal” tidak begitu penting, karena dalam
masyarakat tradisional nilai dinyatakan sebagai sesuatu yang melekat di dalam setiap
anggota komunitas, dan mereka sendiri yang merasakan pentingnya ditegakkan nilai-nilai
itu. Sebaliknya, dalam kehidupan masyarakat modern, nilai-nilai abstrak yang dianut dan
dipersepsikan masyarakat memerlukan pengejawantahan secara kongkrit dalam norma
positif, sehingga akan memudahkan untuk diukur dan dijadikan patokan dalam setiap
prilaku termasuk dalam berbusana. Oleh karenanya, kekosongan kongkretisasi nilai telah
menyebakan ketidakseragaman apresiasi masyarakat terhadap nilai itu. Hal ini dapat
dibuktikan dalam diskursus busana islami yang terjadi selama ini di Aceh.
Realitas di atas dapat dianggap menjadi background munculnya diskursus panjang seputar
busana di kalangan masyarakat muslim, telah mengharuskan kita memetakan sejumlah
premis antara lain ; bagaiamana busana dimakna dalam seting sosial budaya masyarakat
Aceh yang islami. Busana dalam bungkus budaya islami tentu tidak bisa menutup diri secara
rapat, karena individu merupakan urat nadi budaya yang tidak pernah berhenti berinteraksi
dengan sejumlah komponen budaya lain, di antaranya teknologi dan informasi. Kehidupan
masyarakat yang semakin hari terus melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan
modern, tentu ikut mempengaruhi konstruksi budaya mengenai busana dalam konteks
kekinian. Hal ini patut pula kita cermati, karena busana sebagai hasil konstruksi budaya
tidak pernah statis dan kaku, tetapi dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan
manusia.
Dalam masyarakat Aceh pembentukan nilai yang menjadi acuan setiap prilaku adalah
norma (norm) yang berasal dari syari’at Islam. Ajaran syari’at merupkan sumber nilai
moral, norma kepatutan, norma etika dan norma estetika. Nilai dasar ini berkembang secara
terus menerus dalam konstruksi budaya masyarakat Aceh. Nilai yang lahir dari
perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat Aceh tidak akan dikonsepsikan sebagai
nilai sosial atau budaya Aceh, jika bertentangan dengan nilai yang berasal dari ajaran
syari’at Islam. Nilai moral, nilai kepatutan prilaku, nilai etika dan estetika masyarakat Aceh
adalah syari’at Islam. Oleh karenanya, Ali Hajsmy menyatakan secara tegas bahwa budaya
Aceh adalah syari’at Islam, dan jika ada nilai yang dikonsepsikan atau dikonstruksikan
sebagai budaya yang bertentangan dengan syari’at Islam bukanlah budaya Aceh. Pandangan
Hasjmy ini mempertegas pemahaman bahwa prilaku yang dilakukan oleh individu atau
kelompok masyarakat akan selalu mengacu pada standar nilai syari’at Islam.
Busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh cenderung dipahami dalam dua
perspektif. Pertama, busana atau pakaian merupakan hasil kreasi manusia dalam rangka
memaknai ajaran Tuhan yang menghendaki tubuh manusia ditempatkan pada posisi yang
mulia dan terhormat. Tubuh manusia sebagai anugerah dan ciptaan Allah memiliki
kemuliaan, kesempurnaan dan keindahan, sehingga mengharuskan pemilik tubuh
melakukan penjagaan dan perlindungan. Pada sisi lain, tubuh manusia sangat berpotensi
dan rawan terhadap segala tindakan yang dapat menjerumuskan dan membawa manusia
pada prilaku yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Bahkan
derajat dan martabat manusia bisa hancur dan berada pada lembah kehinaan, jika manusia
memperlakukan tubuhnya tidak berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Kedua, busana
sebagai hasil kreasi budaya dalam masyarakat Aceh cenderung mengikuti pola yang
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Busana masyarakat Aceh yang
berakar dari ajaran Islam dalam lintasan sejarah tidak kaku, akan tetapi dinamis, kreatif
dan luwes, sehingga memudahkan masyarakat dalam menjalankan sejumlah interaksi
sosialnya. Busana bukanlah penghambat dari sejumlah aktivitas masyarakat, tetapi busana
menjadi pelindung masyarakat. Busana adalah gambaran ciri dan identitas masyarakat,
serta lambang kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Desain busana dalam kerangka
budaya masyarakat Aceh, tetap merujuk pada nilai agama dan nilai moral.
Busana dalam masyarakat Aceh didesaian sesuai dengan karakter masyarakat Aceh, dan
diukur dengan nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai tersebut berasal
dari ketentuan syari’at Islam baik berupa nilai agama, nilai moral, nilai kepatutan, nilai
etika dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut dikonsepsikan oleh masyarakat dan dijadikan
standar dalam menilai busana yang digunakan seseorang di dalam berbagai interaksi
sosialnya, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.
Konsepsi dan nilai yang dipegang dan dianut oleh manusia, kadangkala dapat bertahan
dalam waktu lama, karena nilai tersebut bersifat abadi, akan tetapi adakala nilai dan
konsepsi tersebut menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia yang senantiasai berubah
dari waktu ke waktu. Nilai yang permanen adalah nilai dasar yang bersifat tetap dan
umumnya berasal dari ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran yang bersifat
absolute. Sebaliknya, nilai yang berubah adalah nilai yang dibangun dari interpretasi
manusia terhadap ajaran agama, dan nilai ini berhimpitan dengan kebutuhan manusia
dalam nuansa kekinian. Dalam studi sosiologi, nilai dasar yang tidak berubah dikenal
dengan nilai primer dan nilai turunannya yang dapat berubah, sehingga dapat disesuaikan
dengan waktu, dikenal dengan nilai sekunder.
Perubahan nilai sekunder di tengah kehidupan manusia dalam konteks kekinian tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh dunia global yang bercirikan teknologi, informasi dan penuh
gerakan pemikiran yang berasal dari dunia luar. Era global yang sarat teknologi dan
informasi, menempatkan paradigma manusia dalam kerangka kerja efektif, efisien,
ekonomis dan profesional individual dalam malakukan interaksinya. Efektif, efisien,
ekonomis dan professional merupakan tatanan baru yang disepakati manusia modern dalam
menjalankan kegiatan dan profesinya sehari-hari. Profesi menghendaki adanya keluasan
gerak individu dalam menjalankan dan mengembangkan profesionalitasnya. Busana sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas manusia, tidak semestinya mengganggu atau
menghambat manusia dalam menjalankan aktifitas atau profesinya sebagai makhluk sosial.
Busana hendaknya mampu menjadikan diri manusia sebagai makhluk yang luwes,
bermartabat dan memudahkan dirinya menjalankan profesinya sehari-hari. Busana
janganlah menjadi penghambat aktivitas individu dalam menjalankan profesionalitas
keseharian. Meskipun demikian, hubungan antara busana dan profesi manusia dalam
kehidupan modern, bukanlah hubungan yang diametris, tetapi hubungan yang simetris.
Manusia diberikan kebebasan oleh norma agama, norma, moral, etika dan kepatutan untuk
melakukan sejumlah ativitas, namun tetap terjaga dibawah panduan nilai ayang dianut di
patauhis serta dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai keadilan dan kebanearan. Oleh
karena itu, standard an ukuran busana yang dikenakan setiap individu dalam lalulintas
profesi kehidupan modern adalah norna, moral, dan nilai baik etika maupun estetika. Nilai
dan norma tersebut dikonsepsikan secara bersama dan diactualisasikan secara bersama pula
oleh individu ditengah-tengah masyarakat.
Purnawacana
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang dianggap layak menjadi perhatian
berkaitan dengan busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh dan konteks kekinian.
1. Busana adalah konstruksi budaya yang memiliki sumber dari ajaran agama. Keberadaan
busana bertujuan untuk melindungi manusia, menjaga eksistensi diri dan harkat martabat
kemanusiaan. Busana sebagai konstruksi budaya bersifat dinamis yang selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan manusia.
2. Perubahan kehidupan manusia akibat pendidikan, informasi dan teknologi, tidak harus
menggugurkan nilai dasar (basic values) yang diakandung busana, tetapi nilai dasar tersebut
harus mampu mendorong manusia mengkreasi busana yang sesuai dengan nilai, norma,
kepatutan, etika dan estetika manusia sebagai makhluk berbudaya.
3. Dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh, busana telah diaktualisasikan dalam
sejumlah profesi kehidupan, baik pada ranah kehidupan domestik maupun kehidupan
publik manusia. Ciri dan karakteristik busana yang dianut suatu komunitas kemungkinan
besar berbeda dengan komunitas lain, namun nilai dasar yang bersumber dari ajaran agama
dan moral tidak pernah lekang dari busana yang dikenakan oleh masyarakat Aceh. Dalam
sejarah, busana masyarakat muslim Aceh, tidak dapat lepas dari situasi sosial, profesi
danKonsep dan Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan
dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi
semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama
warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi
menjadi makin komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan
pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan
dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat
kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.
Dari beberapa pendapat ahli ilmu sosial yang dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka
tentang perubahan sosial, yaitu suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-
penyesuaian yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya, pola
perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta kelembagaan-
kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun nonmateri.
Etzioni, Eva and Amiatai Etzioni (1967). Social Change: Sources, Pattern, and Consequences.
New York: Basic Books, Inc, Publishers.
Hoselitz, Bert FR.., and Wilbert E Moore (1963). Industrialization and Society. Unecso Mouton.
Suwarsono, dan Alvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta:
LP3S.
Taneko, Soleman B. (1993). Struktur dan Proses Sosial. (Cetakan II). Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Dayle Paul (1994), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diindonesiakan oleh Robert
M.Z. Lawang. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. III
Kasnawi, Tahir dkk. (1995). Efektivitas Lembaga-Lembaga Masyarakat Desa dalam Menunjang
Pengembangan Gerakan KB Mandiri di Sulawesi Selatan. Kerja Sama PSK Unhas Dengan
UNEPA.
Soekanto. Soerjono (1984). Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Ghalia, Indonesia.
Strasser, Herman and Susan C. Randall (1981). An Introduction to Theries of Social Chane.
Routledge And Kegan, Paul, London.
Berbagai faktor eksternal yang mendorong perubahan sosial meliputi kondisi atau perkembangan
yang terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Faktor eksternal yang terpenting di antaranya dalam pengaruh lingkungan alam fisik, pengaruh
unsur kebudayaan maupun aktualisasi, faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan
yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang
selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan masyarakat atau
bangsa yang kalah perang. Sebagai contoh, setelah terjadinya gempa bumi di suatu wilayah,
maka masyarakat di daerah tersebut terpaksa melakukan perpindahan ke wilayah lain. Pada
wilayah yang baru ini, masyarakat harus melakukan penyesuaian diri dengan komunitas barunya
karena telah ada budaya yang telah berlaku di daerah tersebut. Penyesuaian seperti ini biasanya
memerlukan waktu yang relatif panjang. Semakin mampu masyarakat menyesuaikan dirinya
dengan komunitasnya berarti semakin berkurang konflik yang dihadapi:
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Dayle Paul (1994), Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Di Indonesia oleh Robert M.Z.
Lawang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. III.
Kasnawi, Tahir dkk. (1995), Efektivitas Lembaga-Lembaga Masyarakat Desa dalam Menunjang
Pengembangan Gerakan KB Mandiri di Sulawesi Selatan, Kerja Sama PSK Unhas dengan
UNPA.
Soekanto, Soerjono (1984), Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Ghalia, Indonesia.
Strasser, Herman and Susan C. Randall (1981), An Introduction to Theries of Social Chane,
Routledge And Kegan, Paul, London.
DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman, 2004. Dimensi Institusional dan Perilaku dalam PSDM Aparatur Lembaga
Publik, Jurnal Administrasi Negara. STIA LAN, Makasar.
BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004). The Economics of Demografi: Financing
Human Development, Jakarta.
Durkheim, E. 1933. Durkheim: The Division of Labour in Society (Introduction by Lewis Coser
Translated by W.D. Halls). Macmillan, Inc., New York.
Rauf, L, Abdul (1999), Peranan Elite dalam Proses Modernisasi: Suatu Studi Kasus di Muna,
Balai Pustaka, Jakarta.
UNDP, 2004. Human Devepelopment Report: Cultural Liberty in Today’s Diverse World.
UNDP, New York.
DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman (2006). Implikasi Kebijakan Pengembangan SDM kepada Masyarakat Miskin.
Administrasi Publik, Vol. II, LAN Makasar.
Anonim. 2002. Population Reports. Published by the Population Information Program, The
Johns Hopkins School of Public Health, Baltimore, USA.
BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004). The Economics of Themografi: Financing
Human Development, Jakarta.
Biro Pusat Statistik, 2003. Statistik Indonesia. Kantor Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
Effendi, N. E. (1992), Sumber Daya Manusia: Analisis Data Sensus, Populasi, Vol. 3.
Yogyakarta.
Gee, Mc. T.G. (1991). Perubahan Struktural dan Kota di Dunia ke Tiga: suatu Teori Evolusi
Kota, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota, ed. C. Manning dan T.N. Effendi.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hugo, Grame, J. dkk (1987). The Demografic Dimention in Indonesia Development. Oxford
University Press, New York.
Kasnawi, Tahir, 2006. Paradoks Urbanisasi dan Tantangan Pembangunan Kota di Negara Sedang
Berkembang. Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap Fisip Unhas, Makasar.
Lowry, Ira S., 1991. “World Urbanization in Perspective” in Resources, Environment, and
Population (ed. by Kingsley Davis and M.S. Bernstam). New York, Oxford University Press.
Ogawa, N., G. W. Jones and J. G. Williamson (1993). Human Resources in Development along
the Asia-Pacific Rim. Oxford University Press, Singapore.
Pemerintah RI. 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Rachbini, Didik J. dan Abdul Hamid, 1994. Ekonomi Informal Perkotaan. Jakarta: LP3S.
Todaro, Michael P., 1994. Economic Development in the Third World. Singapore: Longman
Publisher.
BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004) . The Economics of Demografi: Financing
Human Development, Jakarta.
Dwiyanto, Agus. dkk. (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. PPK-UGM. Yogyakarta.
Darwin, Muhadjir (2005). Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Girta Guru,
Yogyakarta.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000, Pedoman Penetapan Standar
Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, Jakarta.
Grindle, Marilee S. (ed.) 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, New
Jerssy. Princetion University Press.
Hugo, Graeme J, dkk., (1987). The Demographic Dimention in Indonesia Development, Oxfod
University Press, Singapore & New York.
Kasnawi, Tahir, dkk (2005). Pengembangan Pariwisata dan Kaitannya dengan PSDM
Masyarakat Miskin di Sulsel. Hasil Penelitian PSK-PSDM Unhas - Mekokesra RI, Makasar.
LAN, 2004. Kajian Manajemen Stratejik: Bahan Ajar Diklatpim Tingkat II. Lan, Jakarta.
Ogawa, N., G. dkk., 1993. Human Resources in Development a long the Asia-Pacific Rim.
Oxford University Press, Singapore.
Ratminto dan Atik S.W. (2005). Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual,
Penerapan Citizen Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
UNDP, 2004. Human Development Report: Cultural Liberty in Today Diverse World. UNDP,
New York.
YPPAN & BAPPEDA Kota Makasar (2006), Kajian Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik:
Kasus dalam Bidang Kesehatan pada Dua Puskesmas di Kota Makasar. Bappeda Kota Makasar,
Makasar.:
Pembangunan kebudayaan pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua orientasi, yaitu
orientasi kepada manusia dan orientasi kepada negara. Pembangunan yang berorientasi kepada
manusia kurang lebih berjalan seiring dengan konsep-konsep partisipasi masyarakat (aspirasi
dari bawah), sementara orientasi kepada negara lebih bersifat sentralistis (kebanyakan ditentukan
oleh negara). Secara ideal, pembangunan kebudayaan bangsa adalah mengoptimalkan ke dua sisi
ini.
Pelaksanaan pembangunan kebudayaan bangsa dapat menimbulkan perubahan dan pergeseran
sistem nilai budaya yang selanjutnya berpengaruh kepada sikap mental, pola pikir, dan pola
perilaku keluarga atau masyarakat Indonesia. Perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya di
satu sisi dapat menjadi pendorong ke arah kondisi kehidupan yang lebih baik, tetapi di sisi lain
dapat menjadi bumerang yang memosisikan manusia sebagai objek yang kehilangan nilai
kemanusiaannya, bahkan melanggar hak asasinya.
Perubahan Sosial dan Pelestarian Nilai-nilai Tradisional
Masyarakat
Ada dua aspek utama yang dideskripsikan di bagian ini, yaitu mencakup konsep nilai-nilai
tradisional, dan dampak perubahan nilai-nilai tradisional. Pada bagian pertama antara lain
diuraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian nilai-nilai tradisional masyarakat
yang diuraikan melalui aspek jarak komunikasi antar etnis dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Nilai-nilai tradisional masyarakat diartikan sebagai salah satu wujud sistem sosial yang berlaku
pada warga masyarakat tertentu. Nilai tersebut hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warganya, dan sekaligus berfungsi sebagai pedoman ter¬tinggi dari sikap mental, cara berpikir,
dan tingkah laku. Nilai-nilai tersebut merupakan pengalaman hidup yang berlangsung dalam
proses waktu yang lama sehingga menjadi kebiasaan yang terpola kepada anggotanya.
Aspek yang menyangkut jarak komunikasi antar etnis antara lain dijelaskan semakin sering para
anggota komunitas melakukan komunikasi, maka semakin lestari nilai-nilai tradisional
masyarakat itu. Dengan demikian ada perbedaan kelestarian nilai itu bagi mereka yang bertempat
tinggal di daerah asal dibanding yang berada di perantauan.
Berkembangnya ilmu pengetahuan di negara Barat secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kelestarian nilai-nilai tradisional. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kepekaan
khusus untuk menyeleksi pengaruh Barat yang relevan dengan budaya Timur.
DAFTAR PUSTAKA
Hampton, D.R. (1977). Contemporary Management. McGraw-Hill, Inc., New York.
Machan, Tibor, R. (2006). Kebebasan dan Kebudayaan: Gagasan tentang Masyarakat Bebas.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, (2005). Ilmu Sosial Budaya Dasar, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Pemda Kota Makasar, (2006). Rencana Pembangunan Kota Makasar 2005 – 2025, Makasar.
Sobary, Muhammad, (1992). Kesalehan, Etos Kerja, dan Tingkah Laku Ekonomi: Studi Kasus di
Ciater (dalam Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan.
Sofian Effendi, Syafri Sairin, dan Alwi Dahlan, Eds.). Gadjah Mada University Press.
Triyanto dan Tutik Triwulan Tutik, (2007). Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman. 2004. Dimensi Institusional & Dimensi Perilaku dalam Pengembangan SDM
Aparatur Lembaga Publik. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10, No. 3 Tahun 2004.
LAN (Lembaga Administrasi Negara) 2003, SANRI (Sistem Administrasi Negara Republik
Indonesia), Buku I & II, LAN, Jakarta.
Moerdani, L.B. 1992, Ilmu-Ilmu sosial dan Penciptaan Martabat Manusia: Di mana Letak dalam
Konteks Ketahanan Nasional. Dalam Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial
dalam Pembangunan (Sofian Effendi, Syafri Syairi dan M. Alwi Dahlan, eds), Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Osborne, D. dan T. Gebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. (terj. Abdul Rosyid). Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
Ryasid, Rias. 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Kristin Samah, (eds). PUSKAP dan
MIPI, Jakarta.
Riza Noer Arfani, Riza Noer, 2005. Governance & Pengelolaan Konflik. Materi Workshop
Analisis Kebijakan, Kerja sama Magister Studi Kebijakan Yoyakarta dengan Jurusan Ilmu
Administrasi Unhas Makasar.
UNDP, 2006. Human Development Report, (http:// www@UNDP.HDI), diakses 1 Mei 2007).
Kegiatan Belajar 3 :
DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman. 2004. Dimensi Institusional & Dimensi Perilaku dalam Pengembangan SDM
Aparatur Lembaga Publik. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10, No. 3 tahun 2004.
LAN (Lembaga Administrasi Negara) 2003, SANRI (Sistem Administrasi Negara Republik
Indonesia), Buku I & II, LAN, Jakarta.
Osborne, D. dan T. Gebler. 1995. Mewirausahaan Birokrasi. (terj. Abdul Rosyid). Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
Ryasid, Rias. 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Kristin Samah, (eds). PUSKAP dan
MIPI, Jakarta.
Riza Noer Arfani, Riza Noer, 2005. Governance & Pengelolaan Konflik. Materi Workshop
Analisis Kebijakan, Kerja sama Magister Studi Kebijakan Yogyakarta dengan Jurusan Ilmu
Administrasi Unhas Makasar.
UNDP, 2006. Human Development Report, (http:// www@UNDP.HDI), diakses 1 Mei 2007).
Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling mempelajari, menyerap, dan
mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang kemudian melahirkan sintesis budaya baru.
Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya,
yakni sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi.
Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan yang lain. Para ahli
antropologi mengemukakan, sosialisasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai
suatu organisme yang hidup dengan manusia lain membangun suatu jalinan sosial dan
berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi, serta
mengembangkan relasi sosial di dalam masyarakat.
Rumusan singkatnya adalah, “Socialization implicates those interactive processes through which
one learns to be an actor, to engage in interaction, to occupy statues, to act roles, and to forge
social relationships in community life” (Peter-Poole 2002).
Akulturasi adalah suatu proses perubahan budaya yang lahir melalui relasi sosial antarkelompok
masyarakat, yang ditandai oleh penyerapan dan pengadopsian suatu kebudayaan baru, yang
berkonsekuensi hilangnya kekhasan kebudayaan lama. Penjelasan umumnya adalah, “Cultural
change brought by contact between people with different cultures indicated by the loss of
traditional culture when members of small-scale cultures adopt elements of global-scale
cultures” (John Bodley 1994).
Enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang bernalar,
punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir,
pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Definisi sederhananya adalah,
“Enculturation refers to the process of learning a culture consisting in socially distributed and
shared knowledge manifested in those perceptions, understandings, feelings, intentions, and
orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life” (Peter-Poole,
2002).
Proses sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik
dan paling efektif untuk mengembangkan ketiga proses sosial budaya tersebut adalah
pendidikan, yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah merupakan wahana strategis
yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang beragam,
untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menyerap nilai-nilai budaya yang berlainan,
dan beradaptasi sosial.
Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang
penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk
mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui–meskipun tidak
hanya terbatas pada–sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi
kebudayaan (lihat artikel Media Indonesia, 9/11/2009).
Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-
ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan
peradaban umat manusia. Paling kurang ada tiga argumen pokok yang dapat dikemukakan.
Pertama, melalui pendidikan, kemampuan kognitif dan daya intelektual individu dapat
ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya intelektual ini sangat penting
bagi individu untuk mengenali dan memahami konsep kebudayaan suatu masyarakat yang
demikian beragam, unik, dan bersifat partikular.
Pengenalan dan pemahaman itu diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi terhadap perbedaan
budaya yang ada dalam masyarakat. Instrumen yang relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas
keanekaragaman budaya, antara lain melalui mata pelajaran kesusastraan dan kesenian.
Dengan mempelajari kesusastraan dan kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat
tumbuh kesadaran kolektif sebagai sesama anak bangsa, meskipun mereka mempunyai latar
belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada akhirnya akan memperkuat
kohesi sosial dan integrasi nasional.
Kedua, melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai pentingnya
membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya terdapat berbagai macam entitas
sosial. Sekolah adalah miniatur masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi,
peran, norma dan nilai.
Sekolah menjadi sarana bagi setiap anak didik untuk belajar memainkan peran dan menjalankan
fungsi menurut posisi dan status di dalam struktur sekolah itu. Dalam menjalankan peran dan
fungsi, setiap anak didik juga diajarkan mengenai makna tanggung jawab sosial.
Dalam konteks ini, mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan kewargaan (civic
education), karena setiap anak didik dibekali pengetahuan dan pemahaman bagaimana menjadi
warga negara yang baik. Dalam filsafat pendidikan klasik dikemukakan, the ultimate goal of
education is how to facilitate students to be a good citizen.
Di dalam sistem persekolahan, pendidikan merupakan aspek yang sangat penting untuk
bersosialisasi dan sekaligus menjadi sarana proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya
di dalam masyarakat. Schaefer & Lamm (1992) menegaskan mengenai fungsi transmisi
kebudayaan sebuah sistem persekolahan, “As a social institution, education performs a rather
conservative function-trasmitting the dominant culture; through schooling, each generation of
young people is exposed to the existing beliefs, norms, and values of the culture.”
Pendidikan juga dapat menumbuhkan inovasi kebudayaan, karena sekolah dapat menstimulasi
intellectual inquiry dan menumbuhkan critical thinking yang menjadi basis bagi pengembangan
gagasan-gagasan baru. Dalam suasana persekolahan yang demikian, kebudayaan suatu
masyarakat dapat berkembang dinamis.
Ketiga, pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat integrasi sosial politik.
Para penganut paham struktural-fungsionalis meyakini bahwa melalui proses sosialisasi dan
enkulturasi, pendidikan memberi kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan
konsensus politik.
Sarana paling efektif untuk memperkuat integrasi sosial politik adalah melalui mata pelajaran
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan warisan
paling berharga dari para tokoh pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum
kemerdekaan.
Karena kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kongres Pemuda para
pelopor gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, justru lebih memilih bahasa
Indonesia, dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional. Argumen-argumen yang
dikemukakan di atas sesungguhnya sejalan dengan pandangan dan pemikiran para filosof sosial
klasik, seperti Emile Durkheim, Jean-Jacques Rousseau, Johann Pestalozzi, atau John Dewey.
Para pemikir klasik itu bahkan menulis khusus mengenai tema-tema penting di bidang
pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir generasi selanjutnya.
Tema-tema penting itu, antara lain, mengenai pendidikan moral, pendidikan dan tanggung jawab
sosial, pendidikan dan demokrasi, pendidikan dan pembangunan masyarakat berpengetahuan,
serta banyak lagi yang lain.
Para pemikir klasik itu pada dasarnya meyakini bahwa pendidikan merupakan bentuk strategi
kebudayaan yang paling efektif untuk membangun tatanan sosial dan mewujudkan masyarakat
yang baik serta membangun peradaban umat manusia selaras dengan cita-cita kemanusiaan
paling asasi
aya.htmlembangunan&Itemid=74&c
http://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/01/31/pendidikan-sebagai-medium-
enkulturasi-2/atid=29:fisipsuatu kurun waktu tertentu.
TUGAS FILSAFAT
NIM : 421005993
JURUSAN BPI
FAKULTAS DAKWAH
IAIN AR-RANIRY