Anda di halaman 1dari 30

Prawacana

Busana dalam konteks sosial budaya merupakan objek studi yang menarik
diperbincangkan, tidak hanya oleh dunia perguruan tinggi tetapi juga oleh lembaga
lain yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial budaya suatu masyarakat.
Isu busana islami yang mencuat akhir-akhir ini di Aceh, dan terutama di Bumi
Teuku Umar patut mendapatkan perhatian banyak pihak, sebagai suatu realitas
sosial yang terus berkembang. Realitas sosial ini akan terus bergulir dan tidak
mungkin dibendung, mengingat isu busana sebagai realitas (social reality) akan terus
menerus melaju hingga memenukan titik nadir. Dalam studi sosiologi titik nadir ini
dikenal dengan “kesempurnaan realitas sosial”.

Diskursus busana sebagai isu sosial dalam konteks Aceh hari ini, memiliki latar
belakang yang patut diselami dan diketahui secara seksama oleh pemerhati sosial
budaya. Paling tidak terdapat empat simpul yang dapat dinyatakan sebagai
background yang mencuatkan isu busana sebagai isu hangat yang memerlukan
jawaban akademik dan praktis. Jawaban tersebut bisa saja diungkap dalam
kerangka ilmu fiqh, ilmu hukum, ilmu sosial-budaya dan berbagai dimensi ilmu
lainnya. Isu busana yang sedang menjalani proses pencarian kesempurnaan realitas
sosial, diharapkan benar-benar mampu menciptakan situasi sosial yang seimbang
(social equilibrium).

Keempat simpul yang menjadi background munculnya isu busana sebagai isu sosial
di Aceh, termasuk di Aceh Barat adalah sebagai berikut :

Pertama, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang dikenal kental dengan ajaran
syari’at Islam. Islam sebagai ajaran yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW, sudah dijadikan pedoman hidup yang mengikat seluruh prilaku
masyarakat Aceh sejak puluhan abad yang lalu. Masyarakat Aceh menjadikan
syari’at Islam sebagai nilai, norma dan standar etika yang memayungi setiap gerak
individu dalam kehidupan keseharian. Nilai dan norma yang berasal dari ajaran
syari’at Islam menjelma sebagai nilai positif yang dipatuhi dan diikuti oleh seluruh
masyarakat Aceh. Nilai, norma dan etika yang dijadikan referensi masyarakat Aceh
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, pada akhirnya melahirkan panduan baku
dalam menjalankan sejumlah interaksi sosial.

Proses internalisasi ajaran syari’at Islam menjadi nilai sosial positif ditengah
masyarakat Aceh, melalui proses panjang yang berangkat dari pemahaman teks
keagamaan. Pemahaman keagamaan sangat dipengaruhi oleh situasi ketika teks itu
dibicarakan atau diimplementasikan dalam realitas masyarakat Aceh. Situasi sosial,
kultur dan politik ikut juga mempengaruhi proses internalisasi ajaran syari’at
menjadi nilai moral, dan nilai kultur yang bersifat implementatif. Dengan demikian,
norma, nilai dan etika yang bersifat implementatif, merupakan pemaknaan dari
ajaran normatif syari’at Islam.

Dari sisi ajaran normatif syari’at, busana bagi muslim memiliki posisi tersendiri,
sehingga sejumlah teks memberikan ruang agar manusia memaknai busana yang
dikenakannya sebagai bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang dihargai, dihormati
dan dijunjung tinggi. Busana dengan konsep menutup aurat, merupakan bentuk
aktualisasi dari nilai budaya suatu komunitas manusia. Oleh karena itu, ketika nilai
sosial-budaya yang melekat pada busana/pakaian yang filosofinya menutup aurat,
digeserkan pada situasi lain yang berbeda dengan nilai dan norma yang berlaku
selama ini, hampir dapat dipastikan munculnya gelembung dan gejolak sosial yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kerangka pikir di atas secara praktis akan dipertanyakan oleh sebagian masyarakat
kenapa masyarakat muslim menggunakan pakaian yang tidak sejalan dengan aturan
syari’at Islam. Bukankan syari’at telah memberikan batasan yang jelas bagaiamana
pengaturan mengenai pakaian atau busana yang mesti digunakan oleh masyarakat
muslim. Pertanyaan ini muncul di sebagian masyarakat muslim Aceh Barat selama
ini, melihat sebagian masyarakat muslim menggunakan pakaian yang diklaim
sebagai pakaian yang tidak mencerminkan nilai-niliai yang bersumber pada ajaran
agama Islam. Namun, sebagian pandangan memahami apa yang digunakan oleh
masyarakat muslim selama ini, dianggap sejalan dengan nilai etika yang berasal dari
ajaran Islam. Perbedaan pandangan iniliah yang telah memunculkan reaksi dari
berbagai pihak mengenai bagaimana semestinya pakaian /busana yang tepat bagi
seorang muslim.

Kedua, Aceh memiliki otonomi khusus dalam menjalankan syari’at Islam secara
menyeluruh (kaffah). Kewenangan yang dimiliki Aceh dalam menjalankan syari’at
Islam mendapat payung hukum yang cukup kuat yaitu UU No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini memberikan
kesempatan kepada Aceh untuk menjadikan aturan hukum syari’at yang tertera
dalam al-Qur’an dan al-Hadis sebagai hukum positif. Kedua undang-undang ini
mendorong rekonstruksi aturan syari’at menjadi hukum positif negara. Proses
rekonstruksi materi syari’ah menjadi norma hukum positif dilakukan melalui proses
legislasi yang melahirkan Qanun Aceh.

Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang


mengatur urusan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun yang
dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh bersama Gubernur merupakan wahana
yang diberikan sistem hukum Indonesia untuk menampung norma hukum syari’ah,
hingga menjadi aturan tertulis yang dapat ditegakan oleh negara. Oleh karenanya,
materi qanun sangat terbuka ruang diskusi, sehingga sering dikontraskan dengan
apa yang tertulis secara literal dalam teks al-Qur’an dan al-Hadis, dan bahkan tidak
jarang pula dikontraskan dengan pemahanan atau pandangan ulama yang terdapat
di dalam sejumlah buku-buku fiqh.

Pengaturan busana bagi masyarakat muslim dalam Qanun Aceh belum mendapat
tempat secara jelas dan tegas. Qanun tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam hanya
mengatur secara umum prinsip berbusana islami yaitu menutup aurat, dengan tidak
merinci secara spesifik norma-norma hukum yang harus diikuti seseorang dalam
menggunakan busana islami. Akibatnya, prinsip busana islami yang tertera dalam
Qanun Aceh diberikan tafsiran secara beragam oleh masyarakat guna mengukur
prilaku seseorang dalam berbusana. Keragaman tafsiran mengenai norma hukum
yang digunakan telah menimbulkan sejumlah perbedaan dalam memaknai
pakaian/busana islami yang memenuhi standar syari’at. Dalam kenyataan sering
ditemukan sekelompok orang mengklaim bahwa busana yang ia kenakan sejalan
dengan syari’at dan sebagian lagi mengklaim bahwa pakaian yang dikenakan orang
tertentu tidak sejalan dengan syari’at. Kecenderungan menilai bahwa busana yang
dikenakan seseorang memenuhi standar atau tidak memenuhi standar, sangat
tergantung pada nilai yang dianut oleh suatu komunitasnya. Nilai ini bisa saja
berbeda antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain.

Ketiga, terdapat kekhawatiran pada sebagian kalangan bahwa tindakan yang diambil
petugas yang diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan penertiban
busana islami terkesan tidak lagi menjurus kepada pesan tazkir dan ta’dib tetapi
lebih dirasakan menjurus kepada perlakuan yang dianggap tidak tepat dan tidak
adil. Kekhawatiran seperti ini sangat wajar terjadi melihat realitas di mana
sosialisasi yang terbatas ikut mempengaruhi terbangunnya persepsi miring terhadap
penertiban dan pembinaan masyarakat yang berbusana islami. Harus diakui pula
bahwa terdapat juga sekelompok orang yang memproklamirkan diri sebagai
penegak syari’at, tetapi melakukan tindakan yang dianggap jauh dari nilai
kemaslahatan dan kedamaian. Padahal kedua nilai ini semestinya dijunjung tinggi oleh
pelopor dan penegak syari’at.

Keempat, busana mendapat tempat dalam setiap tatanan nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat. Tatanan nilai ini dapat saja berbentuk wahana nilai agama, nilai hukum, nilai
sosial, nilai budaya, nilai kesehatan, nilai etika maupun nilai estetika. Nilai-nilai ini
diharapkan menjadi kongkrit dalam realitas sosial yang dapat memandu anggota komunitas
dalam penggunaan busana. Semakin kongkrit nilai yang ada dalam persepsi masyarakat,
semakin mudah masyarakat memahami dan menjadikannya sebagai patokan prilaku
terutama dalam kaitannya dengan busana. Walaupun dalam masyarakat tradisional,
pengkongkretisasian nilai melalui sejumlah “areal” tidak begitu penting, karena dalam
masyarakat tradisional nilai dinyatakan sebagai sesuatu yang melekat di dalam setiap
anggota komunitas, dan mereka sendiri yang merasakan pentingnya ditegakkan nilai-nilai
itu. Sebaliknya, dalam kehidupan masyarakat modern, nilai-nilai abstrak yang dianut dan
dipersepsikan masyarakat memerlukan pengejawantahan secara kongkrit dalam norma
positif, sehingga akan memudahkan untuk diukur dan dijadikan patokan dalam setiap
prilaku termasuk dalam berbusana. Oleh karenanya, kekosongan kongkretisasi nilai telah
menyebakan ketidakseragaman apresiasi masyarakat terhadap nilai itu. Hal ini dapat
dibuktikan dalam diskursus busana islami yang terjadi selama ini di Aceh.

Realitas di atas dapat dianggap menjadi background munculnya diskursus panjang seputar
busana di kalangan masyarakat muslim, telah mengharuskan kita memetakan sejumlah
premis antara lain ; bagaiamana busana dimakna dalam seting sosial budaya masyarakat
Aceh yang islami. Busana dalam bungkus budaya islami tentu tidak bisa menutup diri secara
rapat, karena individu merupakan urat nadi budaya yang tidak pernah berhenti berinteraksi
dengan sejumlah komponen budaya lain, di antaranya teknologi dan informasi. Kehidupan
masyarakat yang semakin hari terus melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan
modern, tentu ikut mempengaruhi konstruksi budaya mengenai busana dalam konteks
kekinian. Hal ini patut pula kita cermati, karena busana sebagai hasil konstruksi budaya
tidak pernah statis dan kaku, tetapi dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan
manusia.

Busana dalam seting sosial-budaya


Studi busana dalam seting sosial budaya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai (values) yang
dianut oleh suatu masyarakat. Nilai tersebut dapat saja bersumber dari ajaran agama atau
nilai budaya yang dibentuk secara turun temurun oleh para leluhur sebagai warisan yang
dipegang dan dianut oleh suatu komunitas. Nilai yang berasal dari leluhur merupakan kreasi
orang-orang terdahulu sebagai bentuk warisan mulia yang harus dipertahankan oleh
generasi selanjutnya. Nilai ini patut dipertahankan karena dapat menjaga eksistensi nilai
kemanusiaan dari setiap anggota masyarakat.

Kepatuhan anggota masyarakat untuk menjaga dan mengamalkan seperangkat nilai


(values), bukan semata-mata karena dorongan untuk memperkuat komunitas atau menjaga
jati diri dan karakteristik komunitas, tetapi lebih dari itu adalah untuk mempertahankan
kehormatan dan harga diri manusia sebagai makhluk mulia dan bermartabat. Nilai yang
diacu masyarakat baik yang berasal dari ajaran agama maupun nilai budaya, akan
menempatkan individu dalam komunitas sebagai makhluk berbudaya. Oleh karenanya,
esensi budaya tertumpu pada seperangkat nilai yang dipersepsikan oleh seluruh anggota
masyarakat, yang mana nilai tersebut dimaknai secara kongkrit dalam setiap prilaku
anggota masyarakat. Nilai dimaksud dapat saja berupa nilai moral, nilai kepatutan, nilai
etika dan bahkan nilai estetika.

Dalam masyarakat Aceh pembentukan nilai yang menjadi acuan setiap prilaku adalah
norma (norm) yang berasal dari syari’at Islam. Ajaran syari’at merupkan sumber nilai
moral, norma kepatutan, norma etika dan norma estetika. Nilai dasar ini berkembang secara
terus menerus dalam konstruksi budaya masyarakat Aceh. Nilai yang lahir dari
perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat Aceh tidak akan dikonsepsikan sebagai
nilai sosial atau budaya Aceh, jika bertentangan dengan nilai yang berasal dari ajaran
syari’at Islam. Nilai moral, nilai kepatutan prilaku, nilai etika dan estetika masyarakat Aceh
adalah syari’at Islam. Oleh karenanya, Ali Hajsmy menyatakan secara tegas bahwa budaya
Aceh adalah syari’at Islam, dan jika ada nilai yang dikonsepsikan atau dikonstruksikan
sebagai budaya yang bertentangan dengan syari’at Islam bukanlah budaya Aceh. Pandangan
Hasjmy ini mempertegas pemahaman bahwa prilaku yang dilakukan oleh individu atau
kelompok masyarakat akan selalu mengacu pada standar nilai syari’at Islam.

Busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh cenderung dipahami dalam dua
perspektif. Pertama, busana atau pakaian merupakan hasil kreasi manusia dalam rangka
memaknai ajaran Tuhan yang menghendaki tubuh manusia ditempatkan pada posisi yang
mulia dan terhormat. Tubuh manusia sebagai anugerah dan ciptaan Allah memiliki
kemuliaan, kesempurnaan dan keindahan, sehingga mengharuskan pemilik tubuh
melakukan penjagaan dan perlindungan. Pada sisi lain, tubuh manusia sangat berpotensi
dan rawan terhadap segala tindakan yang dapat menjerumuskan dan membawa manusia
pada prilaku yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Bahkan
derajat dan martabat manusia bisa hancur dan berada pada lembah kehinaan, jika manusia
memperlakukan tubuhnya tidak berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Kedua, busana
sebagai hasil kreasi budaya dalam masyarakat Aceh cenderung mengikuti pola yang
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Busana masyarakat Aceh yang
berakar dari ajaran Islam dalam lintasan sejarah tidak kaku, akan tetapi dinamis, kreatif
dan luwes, sehingga memudahkan masyarakat dalam menjalankan sejumlah interaksi
sosialnya. Busana bukanlah penghambat dari sejumlah aktivitas masyarakat, tetapi busana
menjadi pelindung masyarakat. Busana adalah gambaran ciri dan identitas masyarakat,
serta lambang kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Desain busana dalam kerangka
budaya masyarakat Aceh, tetap merujuk pada nilai agama dan nilai moral.

Busana dalam masyarakat Aceh didesaian sesuai dengan karakter masyarakat Aceh, dan
diukur dengan nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai tersebut berasal
dari ketentuan syari’at Islam baik berupa nilai agama, nilai moral, nilai kepatutan, nilai
etika dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut dikonsepsikan oleh masyarakat dan dijadikan
standar dalam menilai busana yang digunakan seseorang di dalam berbagai interaksi
sosialnya, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.

Busana Dalam Konteks Kekinian


Secara alamiah, kehidupan manusia akan terus berubah dan berkembang dari waktu ke
waktu. Perubahan kehidupan manusia bisa saja terjadi secara berurut, teratur dan gradual,
tetapi dalam realitasnya perubahan dapat juga terjadi secara tidak teratur bahkan
cenderung revolusioner. Manusia sebagai makhluk dinamis memiliki sejumlah perangkat
dan potensi diri sebagai anugerah Tuhan guna melalukan perubahan dalam kehidupannya.
Pendidikan adalah upaya yang ditempuh manusia dalam rangka melakukan perubahan
kehidupan, sehingga perubahan itu menempatkan diri manusia sebagai makhluk mulia,
bermartabat dan bermoral. Perubahan kehidupan manusia melalui pendidikan ditujukan
untuk membangun intelektual, emosional dan spiritual. Perubahan-perubahan ini akan
menghasilkan kepribadian dan nilai yang disepakati manusia, sehingga dijadikan rujukan
dalam setiap prilaku.

Konsepsi dan nilai yang dipegang dan dianut oleh manusia, kadangkala dapat bertahan
dalam waktu lama, karena nilai tersebut bersifat abadi, akan tetapi adakala nilai dan
konsepsi tersebut menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia yang senantiasai berubah
dari waktu ke waktu. Nilai yang permanen adalah nilai dasar yang bersifat tetap dan
umumnya berasal dari ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran yang bersifat
absolute. Sebaliknya, nilai yang berubah adalah nilai yang dibangun dari interpretasi
manusia terhadap ajaran agama, dan nilai ini berhimpitan dengan kebutuhan manusia
dalam nuansa kekinian. Dalam studi sosiologi, nilai dasar yang tidak berubah dikenal
dengan nilai primer dan nilai turunannya yang dapat berubah, sehingga dapat disesuaikan
dengan waktu, dikenal dengan nilai sekunder.

Perubahan nilai sekunder di tengah kehidupan manusia dalam konteks kekinian tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh dunia global yang bercirikan teknologi, informasi dan penuh
gerakan pemikiran yang berasal dari dunia luar. Era global yang sarat teknologi dan
informasi, menempatkan paradigma manusia dalam kerangka kerja efektif, efisien,
ekonomis dan profesional individual dalam malakukan interaksinya. Efektif, efisien,
ekonomis dan professional merupakan tatanan baru yang disepakati manusia modern dalam
menjalankan kegiatan dan profesinya sehari-hari. Profesi menghendaki adanya keluasan
gerak individu dalam menjalankan dan mengembangkan profesionalitasnya. Busana sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas manusia, tidak semestinya mengganggu atau
menghambat manusia dalam menjalankan aktifitas atau profesinya sebagai makhluk sosial.
Busana hendaknya mampu menjadikan diri manusia sebagai makhluk yang luwes,
bermartabat dan memudahkan dirinya menjalankan profesinya sehari-hari. Busana
janganlah menjadi penghambat aktivitas individu dalam menjalankan profesionalitas
keseharian. Meskipun demikian, hubungan antara busana dan profesi manusia dalam
kehidupan modern, bukanlah hubungan yang diametris, tetapi hubungan yang simetris.
Manusia diberikan kebebasan oleh norma agama, norma, moral, etika dan kepatutan untuk
melakukan sejumlah ativitas, namun tetap terjaga dibawah panduan nilai ayang dianut di
patauhis serta dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai keadilan dan kebanearan. Oleh
karena itu, standard an ukuran busana yang dikenakan setiap individu dalam lalulintas
profesi kehidupan modern adalah norna, moral, dan nilai baik etika maupun estetika. Nilai
dan norma tersebut dikonsepsikan secara bersama dan diactualisasikan secara bersama pula
oleh individu ditengah-tengah masyarakat.

Purnawacana
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang dianggap layak menjadi perhatian
berkaitan dengan busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh dan konteks kekinian.

1. Busana adalah konstruksi budaya yang memiliki sumber dari ajaran agama. Keberadaan
busana bertujuan untuk melindungi manusia, menjaga eksistensi diri dan harkat martabat
kemanusiaan. Busana sebagai konstruksi budaya bersifat dinamis yang selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan manusia.

2. Perubahan kehidupan manusia akibat pendidikan, informasi dan teknologi, tidak harus
menggugurkan nilai dasar (basic values) yang diakandung busana, tetapi nilai dasar tersebut
harus mampu mendorong manusia mengkreasi busana yang sesuai dengan nilai, norma,
kepatutan, etika dan estetika manusia sebagai makhluk berbudaya.

3. Dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh, busana telah diaktualisasikan dalam
sejumlah profesi kehidupan, baik pada ranah kehidupan domestik maupun kehidupan
publik manusia. Ciri dan karakteristik busana yang dianut suatu komunitas kemungkinan
besar berbeda dengan komunitas lain, namun nilai dasar yang bersumber dari ajaran agama
dan moral tidak pernah lekang dari busana yang dikenakan oleh masyarakat Aceh. Dalam
sejarah, busana masyarakat muslim Aceh, tidak dapat lepas dari situasi sosial, profesi
danKonsep dan Pengertian Perubahan Sosial

Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan
dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi
semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama
warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi
menjadi makin komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan
pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan
dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat
kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.
Dari beberapa pendapat ahli ilmu sosial yang dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka
tentang perubahan sosial, yaitu suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-
penyesuaian yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya, pola
perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta kelembagaan-
kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun nonmateri.

persepsi masyarakat yang berkPendekatan Teori-teori


Klasik terhadap Perubahan Sosial
Dalam kelompok teori-teori perubahan sosial klasik telah dibahas empat pandangan dari tokoh-
tokoh terkenal yakni August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber.
August Comte menyatakan bahwa perubahan sosial berlangsung secara evolusi melalui suatu
tahapan-tahapan perubahan dalam alam pemikiran manusia, yang oleh Comte disebut dengan
Evolusi Intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran tersebut mencakup tiga tahap, dimulai dari tahap
Theologis Primitif; tahap Metafisik transisional, dan terakhir tahap positif rasional. setiap
perubahan tahap pemikiran manusia tersebut mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat
lainnya, dan secara keseluruhan juga mendorong perubahan sosial.
Karl Marx pada dasarnya melihat perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan-perubahan
yang terjadi dalam tata perekonomian masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan
yang terus terjadi antara kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan kelompok
pekerja.
Di lain pihak Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor
ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang
diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas
organistik.
Sementara itu, Max Weber pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini dicontohkan masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai
Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas dorongan
dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan
kehidupan modern.

Pendekatan Teori-teori Modern terhadap Perubahan Sosial


Pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat
adalah karena terganggunya keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan
masyarakat yang bersangkutan, baik karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern)
sehingga memerlukan penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial, seperti yang dijelaskan oleh
Talcott Parsons, maupun karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti yang dijelaskan
dengan Teori kesenjangan Budaya (cultural lag) oleh William Ogburn.
Pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser,
pada dasarnya merupakan pengembangan dari pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan
menitikberatkan pandangannya pada kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi dan
industrialisasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya
perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat.
Adapun pendekatan konflik yang dipelopori oleh R. Dahrendorf dan kawan-kawan, pada
dasarnya berpendapat bahwa sumber perubahan sosial adalah adanya konflik yang intensif di
antara berbagai kelompok masyarakat dengan kepentingan berbeda-beda (Interest groups).
Mereka masing-masing memperjuangkan kepentingan dalam suatu wadah masyarakat yang sama
sehingga terjadilah konflik, terutama antara kelompok yang berkepentingan untuk
mempertahankan kondisi yang sedang berjalan (statusquo), dengan kelompok yang
berkepentingan untuk mengadakan perubahan kondisi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Craib, Ian (1986). Teori-teori Sosial Modern. Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: CV.
Rajawali.

Etzioni, Eva and Amiatai Etzioni (1967). Social Change: Sources, Pattern, and Consequences.
New York: Basic Books, Inc, Publishers.

Hoselitz, Bert FR.., and Wilbert E Moore (1963). Industrialization and Society. Unecso Mouton.

Soekanto, Soerjono (i987). Sosiologi, suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit CV Rajawali.

Suwarsono, dan Alvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta:
LP3S.

Taneko, Soleman B. (1993). Struktur dan Proses Sosial. (Cetakan II). Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Bentuk-bentuk Perubahan Sosial


Dilihat dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga
dimensi atau bentuk, yaitu: perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya, ada yang
berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan sosial menurut skala atau
besar pengaruhnya luas dan dalam, serta ada pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan
masyarakat. Dan yang ketiga, adalah perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang
direncanakan (planned) atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned).
Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah memulai proses
perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, yang disebut dengan proses evolusi. Tetapi
ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat, yang disebut dengan revolusi.
Adapun menurut skala pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, ada perubahan sosial yang
terjadi dan sekaligus memberikan pengaruh yang luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Namun sebaliknya ada pula perubahan sosial yang berskala kecil dalam arti
pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas.
Sementara itu menurut proses terjadinya, ada perubahan sosial yang memang dari semula
direncanakan atau dikehendaki. Misalnya dalam bentuk program-program pembangunan sosial.
Namun ada pula yang tidak dikehendaki terjadinya atau tidak direncanakan.

Aspek-aspek Perubahan Sosial


Aspek-aspek perubahan sosial dapat dibahas dalam dua dimensi. Pertama, aspek yang dikaitkan
dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang terdiri dari aspek material, aspek norma-norma (norms)
dan aspek nilai-nilai (values). Kedua, aspek yang dikaitkan dengan bidang-bidang kehidupan
sosial masyarakat, yang dalam kegiatan belajar ini dikemukakan bidang kehidupan ekonomi,
bidang kehidupan keluarga, dan lembaga-lembaga masyarakat.
Aspek kebudayaan material (artifacts) adalah aspek-aspek yang sifatnya material dan dapat
diraba atau dilihat secara nyata, seperti pakaian, alat-alat kerja, dan sebagainya. Karena sifatnya
material, maka aspek kebudayaan ini relatif cepat berubah
Adapun aspek norma (norms), menyangkut kaidah-kaidah atau norma-norma sosial yang
mengatur interaksi antara semua warga masyarakat. Aspek ini relatif lebih lambat berubah
dibandingkan dengan aspek kebudayaan material.
Aspek lain adalah nilai-nilai budaya (values), yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang
menjadi pandangan atau falsafah hidup masyarakat. Nilai-nilai inilah yang mendasari norma-
norma sosial yang menjadi kaidah interaksi antar warga masyarakat. Aspek nilai inilah paling
lambat berubah dibandingkan dengan kedua aspek kebudayaan yang disebut terdahulu.
Perubahan sosial dalam bidang ekonomi pada dasarnya menyangkut perubahan-perubahan yang
terjadi pada kehidupan masyarakat dalam upaya mereka untuk memenuhi berbagai macam
kebutuhan hidupnya, baik perubahan dalam nilai-nilai ekonomi, sikap, hubungan ekonomi
dengan warga lainnya, maupun dalam cara atau alat-alat yang dipergunakan. Salah satu kunci
dalam perubahan bidang ekonomi ini adalah proses “diferensiasi” dan spesialisasi”.
Dalam aspek kehidupan keluarga, yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan fungsi dan
peranan keluarga dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan
dalam struktur dan jumlah anggota keluarga mendorong terjadinya perubahan fungsi dan peranan
keluarga. Salah satu aspek kehidupan keluarga yang paling jelas perubahannya adalah peranan
kaum ibu.
Adapun dalam aspek lembaga-lembaga masyarakat, perubahan sosial pada dasarnya
berkembang, dari suasana kehidupan masyarakat tradisional dengan lembaga-lembaga
masyarakat yang jumlah dan sifatnya masih sedikit dan terbatas, serta umumnya berdasarkan
kegotongroyongan dan kekeluargaan. Berkembang menuju masyarakat modern dengan lembaga-
lembaga masyarakat yang lebih bervariasi yang pada umumnya dibentuk atas dasar kepentingan
warganya, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, serta dalam bidang hukum,
politik dan pemerintahan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial


Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial terdiri atas faktor-faktor internal dan faktor-
faktor eksternal. Faktor-faktor internal yakni kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam
lingkungan masyarakat yang bersangkutan yang mendorong perubahan sosial. Faktor-faktor ini
yang mencakup terutama faktor demografis (kependudukan), faktor adanya penemuan-penemuan
baru, serta adanya konflik internal dalam masyarakat.
Faktor-faktor Demografis adalah semua perkembangan yang berkaitan dengan aspek demografis
atau kependudukan, yang mencakup jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan
faktor penemuan-penemuan baru, adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga
masyarakat berkaitan dengan suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya
secara luas oleh masyarakat, dan karena itu mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial
mereka. Sementara itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di kalangan
warga atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan atau
perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok.
Adapun Faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau perkembangan yang terjadi di luar lingkungan
masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam faktor eksternal, yang terpenting
di antaranya adalah pengaruh lingkungan alam, pengaruh unsur kebudayaan maupun aktualisasi,
faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan yang mengakibatkan terjadinya
penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan
terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan bangsa yang kalah perang.

DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Dayle Paul (1994), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diindonesiakan oleh Robert
M.Z. Lawang. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. III

Kasnawi, Tahir dkk. (1995). Efektivitas Lembaga-Lembaga Masyarakat Desa dalam Menunjang
Pengembangan Gerakan KB Mandiri di Sulawesi Selatan. Kerja Sama PSK Unhas Dengan
UNEPA.

Soekanto. Soerjono (1984). Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Ghalia, Indonesia.

--------------------------, (1987). Sosiologi suatu Pengantar. Penerbit CV. Rajawali Jakarta.

Strasser, Herman and Susan C. Randall (1981). An Introduction to Theries of Social Chane.
Routledge And Kegan, Paul, London.

Faktor-faktor Internal Perubahan Sosial


Faktor-faktor internal yang mempengaruhi perubahan sosial adalah menyangkut faktor-faktor
yang berkaitan dengan kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat
yang mendorong perubahan sosial. Faktor-faktor ini terutama mencakup faktor demografis
(kependudukan), faktor penemuan-penemuan baru, serta adanya konflik internal dalam
masyarakat.
Faktor-faktor demografis adalah semua perkembangan yang berkaitan dengan aspek demografis
atau kependudukan, yang mencakup jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan
faktor penemuan-penemuan baru adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga
masyarakat, berupa suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas
oleh masyarakat, yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial mereka.
Sementara itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di kalangan warga atau
kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan
persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok.

Faktor-faktor Eksternal Perubahan Sosial

Berbagai faktor eksternal yang mendorong perubahan sosial meliputi kondisi atau perkembangan
yang terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Faktor eksternal yang terpenting di antaranya dalam pengaruh lingkungan alam fisik, pengaruh
unsur kebudayaan maupun aktualisasi, faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan
yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang
selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan masyarakat atau
bangsa yang kalah perang. Sebagai contoh, setelah terjadinya gempa bumi di suatu wilayah,
maka masyarakat di daerah tersebut terpaksa melakukan perpindahan ke wilayah lain. Pada
wilayah yang baru ini, masyarakat harus melakukan penyesuaian diri dengan komunitas barunya
karena telah ada budaya yang telah berlaku di daerah tersebut. Penyesuaian seperti ini biasanya
memerlukan waktu yang relatif panjang. Semakin mampu masyarakat menyesuaikan dirinya
dengan komunitasnya berarti semakin berkurang konflik yang dihadapi:

Perubahan Sistem Budaya sebagai Faktor Dasar Perubahan


Sosial
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan nilai, norma, dan
tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang juga dapat disebut dengan
perubahan nilai sosial. Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh
pertama-tama adanya inovasi yang diperkenalkan oleh sekelompok warga masyarakat, baik yang
berupa variasi, inovasi, maupun difusi budaya. Untuk masuk menjadi bagian dalam sistem
budaya masyarakat, nilai-nilai baru yang dimaksud harus melalui proses penerimaan sosial serta
proses seleksi sosial. Nilai-nilai budaya baru yang mampu memberikan kepuasan atau
peningkatan hidup bagi masyarakat baik secara materi ataupun nonmateri, atau bertahan lama,
dan lambat laun akan masuk menjadi bagian integral dari sistem budaya masyarakat yang
bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Dayle Paul (1994), Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Di Indonesia oleh Robert M.Z.
Lawang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. III.

Kasnawi, Tahir dkk. (1995), Efektivitas Lembaga-Lembaga Masyarakat Desa dalam Menunjang
Pengembangan Gerakan KB Mandiri di Sulawesi Selatan, Kerja Sama PSK Unhas dengan
UNPA.

Soekanto, Soerjono (1984), Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Ghalia, Indonesia.

----, (1987), Sosiologi suatu Pengantar, Penerbit CV, Rajawali Jakarta.

Strasser, Herman and Susan C. Randall (1981), An Introduction to Theries of Social Chane,
Routledge And Kegan, Paul, London.

Ciri-ciri Masyarakat Tradisional, Transisi, dan Modern


Secara garis besar, uraian subbahasan ini mencakup karakteristik masyarakat yang
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni masyarakat tradisional, masyarakat transisi, dan
masyarakat modern, dimana uraian ini antara lain diarahkan kepada aspek politik, sosial budaya,
demografis, dan aspek kelembagaan.
Salah satu ahli yang banyak berjasa dalam teori perubahan model administrasi di negara sedang
berkembang, adalah Fred W. Riggs. Ide-ide dasar Riggs, banyak yang di adaptasi dalam
mendeskripsikan perubahan sifat dan prilaku masyarakat menurut tiga klasifikasi tersebut.
Terutama pada karakteristik masyarakat transisi (masyarakat prismatik) merupakan kajian yang
sangat relevan dengan masyarakat kita, mengingat posisi masyarakat Indonesia sekarang berada
dalam masa transisi yang berarti segala keunggulan dan kelemahannya bermanfaat diketahui
untuk selanjutnya dilakukan perbaikan (intervensi) di periode mendatang.
Misalnya, dilihat dari aspek politik, maka karakteristik masyarakat tradisional cenderung
memiliki kesadaran politik yang rendah, di samping itu antara satu golongan yang lainnya
cenderung saling mencurigai. Keadaan seperti ini berlaku terbalik pada masyarakat modern, di
mana partisipasi dalam aspek politik cenderung tinggi dan sportivitas antara satu golongan/partai
dengan yang lainnya relatif berjalan baik. Sementara itu, pada masyarakat transisi berada di
antara dua kutub ini, dimana ciri-cirinya lebih banyak diwarnai oleh warna yang formalistis.
Artinya, secara formal telah ada aturan dalam pelaksanaan suatu aktivitas, seperti dalam Pemilu,
namun yang lazim terjadi pada masyarakat transisi adalah aturan itu lebih bersifat formalitas
dibanding dipraktekkan atau ditegakkan di lapangan.

Sistem Masyarakat dan Proses Modernisasi


Salah satu masalah yang mempengaruhi proses modernisasi adalah sikap hidup masyarakat.
Sikap hidup masyarakat terutama pada masyarakat tradisional, banyak dipengaruhi oleh faktor
adat istiadat dan kebiasaan beragama. Selain itu, hambatan lainnya karena masih adanya sikap
hidup konsumtif yang tidak/kurang rasional. Meskipun demikian, tingkah laku dan sikap hidup
masyarakat dapat berubah menurut perkembangan waktu dan keadaan akibat dari berbagai
pengaruh ekstern. Akan tetapi, kalau hal itu berjalan dengan sendirinya, maka perkembangan dan
perubahan ke arah yang positif hanya akan berlangsung lambat. Hal ini pada satu pihak adalah
berkaitan dengan perkembangan tingkat hidup, ilmu pengetahuan dan daya absorpsi dari
masyarakat sendiri. Pada lain pihak peningkatannya dapat dilakukan dengan cara perluasan
komunikasi pada masyarakat melalui berbagai media massa serta penyuluhan dan bimbingan
secara langsung.
Dalam hubungan dengan penyebaran ide-ide baru dan inovasi kepada masyarakat serta
menanamkan sikap hidup yang development-oriented di kalangan masyarakat, maka segala
aparat dan daya mungkin digunakan agar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini
selain melalui media massa serta penyuluhan/bimbingan tersebut, di samping unsur-unsur tenaga
kepemimpinan dari kalangan pemerintah, perlu manfaatkan tenaga-tenaga teknokrat dan para
pemuka berpengaruh yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Oleh karena perubahan
sikap hidup masyarakat itu ke arah modernisasi adalah sukar untuk tercipta secara cepat
sekaligus, maka seyogianyalah unsur-unsur kepemimpinan dan tenaga-tenaga penyuluh pada
masyarakat itu perlu bersifat tabah, tekun, kreatif dan berjiwa dharma (mission) dalam
menciptakan modernisasi bagi kehidupan masyarakat.

Sikap Golongan-golongan Masyarakat terhadap


Pembaharuan
Dalam proses pembaharuan diperlukan adanya kerja sama antara beberapa golongan elit dalam
masyarakat. Golongan elit ini terdiri atas: Pertama, elit politik yaitu mereka yang termasuk
dalam kelompok yang mengesahkan kehendak politik bangsa. Kedua, elit administratif yaitu
kelompok yang tugasnya untuk menerjemahkan keinginan-keinginan politik, dan dapat pula
memberikan input di dalam perumusan kehendak politik. Ketiga, elit cendekiawan yaitu
kelompok pemikir yang diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap usaha
pembaharuan.
Keempat, elit bisnis yaitu kelompok usahawan yang mempunyai modal dan dapat mendukung
proses pembaharuan. Kelima, elit militer yaitu kelompok yang peranannya secara lebih efektif
terlihat dalam pemberian otoritas pelaksanaan kebijaksanaan atau program, serta stabilitas dan
kontinuitas usaha pembaharuan. Namun seringkali kurang respektif dan kurang terbuka.
Keenam, informed observer yaitu kelompok yang tugas sehari-harinya menjadi penyalur
informasi dan pembentuk pendapat masyarakat.
Selain golongan-golongan elit tersebut, terdapat tiga golongan besar dalam masyarakat luas.
Pertama, golongan tradisionalis, yaitu golongan yang karena pandangan, nilai-nilai atau
kepentingan tertentu, enggan menerima pembaharuan. Kedua, golongan modernis, yaitu mereka
yang berorientasi kepada masa depan, bersedia menerima unsur-unsur kultural dari luar yang
dianggap sesuai dan mendorong usaha pembaharuan. Ketiga, golongan ambivalent, yaitu mereka
yang hanya mengikuti arus, dan pada hakikatnya enggan terhadap perubahan-perubahan karena
selalu mengandung risiko.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman, 2004. Dimensi Institusional dan Perilaku dalam PSDM Aparatur Lembaga
Publik, Jurnal Administrasi Negara. STIA LAN, Makasar.

BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004). The Economics of Demografi: Financing
Human Development, Jakarta.

Durkheim, E. 1933. Durkheim: The Division of Labour in Society (Introduction by Lewis Coser
Translated by W.D. Halls). Macmillan, Inc., New York.

Indrawijaya, Adam I (1986), Perilaku Organisasi, Sinar Baru, Bandung.

Rauf, L, Abdul (1999), Peranan Elite dalam Proses Modernisasi: Suatu Studi Kasus di Muna,
Balai Pustaka, Jakarta.

Riggs, Fred, W. (1988), Administrasi Negara-negara Berkembang: Teori Prismatis, Rajawali,


Jakarta.

UNDP, 2004. Human Devepelopment Report: Cultural Liberty in Today’s Diverse World.
UNDP, New York.

Pergeseran Struktur Ekonomi dan Perubahan Sosial


Uraian pokok bahasan ini mencakup beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk menilai
pergeseran struktur ekonomi dan perubahan sosial, di antaranya adalah pergeseran Tingkat
partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), pergeseran Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT),
pergeseran tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan, menurut jenis pekerjaan, dan pergeseran
menurut status pekerjaan.
Untuk melihat perubahan sosial dari aspek ketenagakerjaan ini digunakan konsep Labour Force
Approach (LFA), di mana konsep ini yang digunakan BPS untuk memaparkan data
ketenagakerjaan melalui berbagai survei, seperti Sakernas, Susenas, dan Sensus penduduk.
Ditinjau dari sisi lapangan ketenagakerjaan, analisis dilakukan terhadap pergeseran tenaga dari
sektor pertanian ke sektor industri maupun ke sektor jasa. Sementara dalam status pekerjaan
dikaji tentang peranan sektor formal dan sektor informal dalam menyerap tenaga kerja,
sedangkan dalam jenis pekerjaan diuraikan tentang aspek yang terkait dengan pekerja
profesional dan pekerja kasar.
Khusus menyangkut pengangguran, terlebih dahulu diungkap aspek yang berkaitan dengan
pengangguran terbuka, kemudian dilanjutkan dengan pengangguran terselubung (pengangguran
tidak kentara). Disimpulkan bahwa pengangguran terbuka memang telah menjadi permasalahan
bangsa ini yang sangat kelihatan di permukaan, namun intensitas permasalahan yang demikian
juga tinggi adalah kepada mereka yang tergolong pengangguran tidak kentara yang dapat
dideteksi ke dalam tiga jenis, yaitu pengangguran terselubung dilihat dari jam kerja, menurut
pendapatan, dan ketidaksesuaian antara keahlian dengan kegiatan ekonomi oleh tenaga kerja.

Dinamika Perubahan Ketenagakerjaan dan Hubungan


Industrial
Pada pokok bahasan ini diuraikan konsep hubungan industrial. Di dalam konsep hubungan
industrial, organisasi (tempat bekerja) dipandang sebagai suatu sistem sosial di mana hubungan
antara para anggotanya merupakan sistem sosial; dan dari interaksi sosial itu menyebabkan
munculnya kelompok nonformal dalam organisasi (seperti serikat pekerja) yang dapat
berpengaruh terhadap kinerja organisasi apabila diberdayakan.
Aspek yang berkaitan dengan dinamika perubahan ketenagakerjaan dan hubungan industrial
adalah aspek yang menyangkut kondisi normatif (kewajiban) yang harus dipenuhi kedua belah
pihak yaitu tenaga kerja dan perusahaan/unit usaha tempat bekerja. Dinamika ini bervariasi
dilihat dari segi waktu, lokasi usaha, tempat usaha, dan jenis usaha.
Khusus yang menyangkut dinamika ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pengolongan
industri, maka digunakan klasifikasi menurut International Standar Industrial of all Economic
Activitas (ISIC) yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik perekonomian di tanah air
dengan nama Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia (KLBI). Klasifikasi ini diukur menurut
besaran tenaga kerja, yaitu Industri: Besar (100 - ke atas orang); Sedang (20 - 99 orang); Kecil (5
- 19 orang); dan Industri Rumah Tangga (1 - 4 orang).
Berkaitan dengan aspek kesejahteraan tenaga kerja, pemerintah telah mengeluarkan Undang-
Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, misalnya yang berkaitan dengan kesejahteraan,
termaktub dalam Pasal 99 ayat: (1) setiap buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja, (2) Jaminan sosial tenaga kerja yang dimaksud dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam Pasal 100 ayat (1)
dijelaskan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya,
pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan melalui koperasi perusahaan.

Urbanisasi dan Perubahan Sosial


Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan di atas, dapat dipetik pemahaman, bahwa
urbanisasi yang telah menjadi bagian dari proses pembangunan sosial ekonomi di negara-negara
sedang berkembang selama ini sesungguhnya telah menghadirkan fenomena yang paradoksial.
Urbanisasi telah menggiring begitu banyak penduduk desa berbondong-bondong memasuki kota-
kota, dan telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melalui berbagai kegiatan yang
produktif. Juga telah mendorong tumbuhnya kehidupan masyarakat modern yang lebih terbuka,
rasional, dan demokratis.
Namun pada saat yang sama, urbanisasi juga telah menggiring begitu banyak penduduk ke dalam
kehidupan masyarakat kota yang begitu banyak diwarnai oleh kondisi-kondisi yang tidak
diharapkan, seperti; pengangguran, kemiskinan, patologi sosial, kriminalitas, dan sebagainya.
Faktor yang esensial adalah karena aliran urbanisasi telah melampaui kemampuan sistem
perkotaan untuk menyambutnya dan memberikan peluang dan pelayanan yang memadai.
Untuk menanggulangi masalah-masalah negatif yang ditimbulkan urbanisasi, maka dibutuhkan
penguatan urban governance yang dapat meningkatkan kapasitas manajerial dan pelayanannya,
dan menjamin penggalangan partisipasi optimal dari segenap stakeholders pembangunan kota.
Dalam hubungan ini, kebijakan pembangunan wilayah yang mampu mempersempit kesenjangan
taraf hidup masyarakat kota dengan masyarakat desa, diyakini dapat mengendalikan arus
urbanisasi dari desa ke kota-kota.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman (2006). Implikasi Kebijakan Pengembangan SDM kepada Masyarakat Miskin.
Administrasi Publik, Vol. II, LAN Makasar.

Anonim. 2002. Population Reports. Published by the Population Information Program, The
Johns Hopkins School of Public Health, Baltimore, USA.

BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004). The Economics of Themografi: Financing
Human Development, Jakarta.

Biro Pusat Statistik, 2003. Statistik Indonesia. Kantor Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.

Effendi, N. E. (1992), Sumber Daya Manusia: Analisis Data Sensus, Populasi, Vol. 3.
Yogyakarta.

Gee, Mc. T.G. (1991). Perubahan Struktural dan Kota di Dunia ke Tiga: suatu Teori Evolusi
Kota, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota, ed. C. Manning dan T.N. Effendi.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Hugo, Grame, J. dkk (1987). The Demografic Dimention in Indonesia Development. Oxford
University Press, New York.
Kasnawi, Tahir, 2006. Paradoks Urbanisasi dan Tantangan Pembangunan Kota di Negara Sedang
Berkembang. Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap Fisip Unhas, Makasar.

Lowry, Ira S., 1991. “World Urbanization in Perspective” in Resources, Environment, and
Population (ed. by Kingsley Davis and M.S. Bernstam). New York, Oxford University Press.

Mantra, Ida Bagoes (1985). Pengantar Studi Demografi. Nurcahaya, Yogyakarta.

Ogawa, N., G. W. Jones and J. G. Williamson (1993). Human Resources in Development along
the Asia-Pacific Rim. Oxford University Press, Singapore.

Pemerintah RI. 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

Rachbini, Didik J. dan Abdul Hamid, 1994. Ekonomi Informal Perkotaan. Jakarta: LP3S.

Rosenbloom, D. H., dan Robert S. K. (2006). Publik Administration: Understanding


Management, Pilotics, and Law in the Public Sector, McGraw-Hill, Singapura.

Todaro, Michael P., 1994. Economic Development in the Third World. Singapore: Longman
Publisher.

Perubahan Sosial dan Pelayanan Pendidikan


Faktor pendidikan dapat merupakan faktor penyebab dan sekaligus dapat menjadi faktor yang
disebabkan oleh perubahan sosial di bidang lain, seperti dari bidang ekonomi dan politik.
Perubahan sosial dilihat dari pendekatan dalam bidang pendidikan bukan merupakan perubahan
yang berlangsung secara alamiah, tetapi di dalamnya diperlukan perencanaan, kemudian
dilaksanakan, dan selanjutnya dievaluasi untuk melihat perubahan pendidikan yang terjadi dalam
satu periode.
Ada lima pendekatan perubahan yang ditampilkan dan dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan perubahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan, yaitu; (a) perubahan
input (orientasi masukan) seperti tingkat alokasi anggaran yang digunakan ke dalam sektor
pendidikan; (b) perubahan output (luaran atau perubahan jangka pendek) atau sering pula disebut
sebagai pendekatan efektivitas pelayanan, yakni dinilai dari tingkat realisasi program-program
pelayanan pendidikan dalam suatu periode; (c) perubahan outcomes (perubahan atau luaran
jangka menengah), antara lain dapat dideteksi melalui Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan rata-
rata lama pendidikan penduduk di suatu komunitas; (d) perubahan asas manfaat (pendekatan
benefits) yang antara lain dapat dinilai dari penggunaan ilmu pengetahuan ke dalam kegiatan
setiap hari; (e) pendekatan perubahan jangka panjang (impact atau dampak) yang antara lain
bentuknya dapat dilihat dari membaiknya pendidikan sehingga menyebabkan kesejahteraan
masyarakat semakin meningkat di suatu komunitas atau wilayah.
Perubahan Sosial dan Pelayanan Kesehatan
Pembangunan kesehatan dan gizi merupakan salah satu unsur dalam pembangunan sumber daya
manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh UNDP. Alasan utama di masukannya aspek ini
sebagai salah satu unsur pembangunan SDM karena memiliki posisi kunci dalam kehidupan
manusia.
Terdapat berbagai indikator pembangunan dan perubahan sosial yang berkaitan dengan
pelayanan kesehatan, di antaranya adalah Angka Kematian Bayi, Angka Harapan Hidup,
Persentase Penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, Persentase Angka morbiditas,
Persentase Penduduk yang melakukan pengobatan sendiri, dan Persentase Kelahiran yang
ditolong tenaga medis.
Menurut Gordon Chase bahwa secara garis besar ada tiga masalah yang berkaitan dengan
efektivitas pelayanan kesehatan, yaitu: a) masalah yang timbul karena kebutuhan operasional
yang melekat di dalam program (difficulties arising from operation demands), b) masalah yang
timbul berkaitan dengan sumber daya yang dibutuhkan (difficult arising from nature and
availability of resources), dan c) masalah lain yang timbul dari adanya keterkaitan dengan
organisasi lainnya, yang diperlukan dukungan, bantuan persetujuan dalam pelaksanaan program
pelayanan kesehatan (difficults arising from need to share autority).
Keberadaan visi dan misi lembaga dalam pelayanan kesehatan adalah penting. Visi merupakan
suatu deskripsi tentang wujud cita-cita tentang keberhasilan setelah melakukan perubahan sosial
dalam periode jangka panjang. Sementara itu, misi bertujuan untuk menjabarkan lebih lanjut dari
makna visi untuk mencapai perubahan sosial tersebut. Ada beberapa komponen yang melekat
pada karakteristik misi yang baik dalam pelayanan kesehatan.

Perubahan Sosial dan Pengembangan Peranan Perempuan


Secara garis besar, pokok bahasan ini terdiri dari dua bagian, yaitu menyangkut pengembangan
gender dalam perspektif sosial-ekonomi dalam arti luas, dan secara khusus menyangkut
perubahan sosial dilihat dari aspek mobilitas perempuan yang berkaitan dengan pengembangan
peranannya. Untuk menjelaskan berbagai aspek yang dimaksudkan, maka disertakan beberapa
contoh kasus dalam penjelasannya.
Bahasan yang menyangkut perspektif sosial-ekonomi, antara lain dikaji tentang pengembangan
peranan perempuan melalui: pendidikan wanita (aspek sosial), jumlah wanita sebagai anggota
parlemen (aspirasi politik wanita), persentase wanita pekerja profesional, persentase wanita
sebagai angkatan kerja, dan kontribusinya terhadap total pendapatan rumah tangga (perspektif
ekonomi).
Subbagian selanjutnya adalah mendeskripsikan beberapa aspek yang berkaitan dengan mobilitas
penduduk dalam kaitannya dengan peningkatan (perubahan) peranan perempuan dalam
pembangunan. Uraian pertama menyangkut hal ini adalah tentang konsep mobilitas secara
umum, selanjutnya dilihat dalam perspektif pengembangan peranan perempuan. Lebih spesifik
lagi dalam konteks adalah pengembangan peranan perempuan dikaji menurut tiga jenis
kebutuhan utama sehingga melakukan mobilitas, yaitu pemenuhan kebutuhan dalam aspek
pendidikan, pemenuhan kebutuhan dalam aspek ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan dalam
aspek politik.
DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman, 2005. Dimensi Institusional dan Perilaku dalam PSDM Aparatur Lembaga
Publik, Jurnal Administrasi Negara. STIA LAN, Makasar.

BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004) . The Economics of Demografi: Financing
Human Development, Jakarta.

Bastian, A.R. 2002. Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan


Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Lappera Pustaka Utama,
Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus. dkk. (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. PPK-UGM. Yogyakarta.

Darwin, Muhadjir (2005). Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Girta Guru,
Yogyakarta.

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000, Pedoman Penetapan Standar
Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, Jakarta.

Grindle, Marilee S. (ed.) 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, New
Jerssy. Princetion University Press.

Hugo, Graeme J, dkk., (1987). The Demographic Dimention in Indonesia Development, Oxfod
University Press, Singapore & New York.

Kasnawi, Tahir, dkk (2005). Pengembangan Pariwisata dan Kaitannya dengan PSDM
Masyarakat Miskin di Sulsel. Hasil Penelitian PSK-PSDM Unhas - Mekokesra RI, Makasar.

LAN, 2004. Kajian Manajemen Stratejik: Bahan Ajar Diklatpim Tingkat II. Lan, Jakarta.

Ogawa, N., G. dkk., 1993. Human Resources in Development a long the Asia-Pacific Rim.
Oxford University Press, Singapore.

Ratminto dan Atik S.W. (2005). Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual,
Penerapan Citizen Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

UNDP, 2004. Human Development Report: Cultural Liberty in Today Diverse World. UNDP,
New York.

YPPAN & BAPPEDA Kota Makasar (2006), Kajian Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik:
Kasus dalam Bidang Kesehatan pada Dua Puskesmas di Kota Makasar. Bappeda Kota Makasar,
Makasar.:

Perubahan Sosial dan Pembangunan Keagamaan


Setidaknya ada dua aspek utama yang dijelaskan menyangkut perubahan sosial dan
pembangunan keagamaan ini, yaitu: hubungan agama dengan negara sebagai organisasi, dan
struktur rencana pembangunan keagamaan yang berlaku di Indonesia.
Perubahan sosial dan pembangunan keagamaan, antara lain dapat ditelusuri melalui pandangan
integralistik, pandangan simbolik, pandangan sekularistik. Ketiga jenis pandangan ini memiliki
tekanan tersendiri dalam memahami bagaimana pembangunan keagamaan diselenggarakan di
suatu komunitas atau di suatu wilayah administratif, seperti: Negara, Propinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan, bahkan sampai di tingkat Desa/Kelurahan.
Aspek yang menyangkut struktur pembangunan di sini di adaptasi dari pola atau struktur
pembangunan yang berlaku secara umum kepada semua sektor pembangunan, namun untuk
menjelaskan pembangunan keagamaan, maka uraiannya dispesifikan kepada program
pembangunan agama itu sendiri.
Berkenaan dengan itu, secara umum ada beberapa tujuan jangka panjang yang ingin dicapai
dalam pembangunan keagamaan dalam dekade terakhir di Indonesia, di antaranya adalah dengan
mengupayakan berkembangnya kehidupan beragama, semakin membaiknya kerukunan umat
beragama, semakin membaiknya pengamalan nilai-nilai agama, membentuk kerja sama antara
pemerintah dan seluruh organisasi keagamaan yang semakin baik, serta semakin meningkatnya
aktivitas keagamaan dengan memperhatikan kemajemukan dari latar belakang anggota
masyarakat. Tujuan jangka panjang ini selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan pembangunan
jangka menengah (lima tahun), dan jangka menengah ini dioperasionalkan lagi ke dalam
kegiatan yang berjangka tahunan.

Perubahan Sosial dan Pembangunan Kebudayaan Bangsa


Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang pernah dihasilkan manusia yang berasal dari
pemikirannya. Tiga wujud utama dari kebudayaan adalah:
1. keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan ketentuan lainnya yang berperan
mengarahkan kelakuan masyarakat disebut sebagai “adat dan kelakuan”
2. Kemudian keseluruhan aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang berlaku di masyarakat
yang selanjutnya disebut “sistem sosial”
3. keseluruhan karya manusia yang berbentuk fisik.

Pembangunan kebudayaan pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua orientasi, yaitu
orientasi kepada manusia dan orientasi kepada negara. Pembangunan yang berorientasi kepada
manusia kurang lebih berjalan seiring dengan konsep-konsep partisipasi masyarakat (aspirasi
dari bawah), sementara orientasi kepada negara lebih bersifat sentralistis (kebanyakan ditentukan
oleh negara). Secara ideal, pembangunan kebudayaan bangsa adalah mengoptimalkan ke dua sisi
ini.
Pelaksanaan pembangunan kebudayaan bangsa dapat menimbulkan perubahan dan pergeseran
sistem nilai budaya yang selanjutnya berpengaruh kepada sikap mental, pola pikir, dan pola
perilaku keluarga atau masyarakat Indonesia. Perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya di
satu sisi dapat menjadi pendorong ke arah kondisi kehidupan yang lebih baik, tetapi di sisi lain
dapat menjadi bumerang yang memosisikan manusia sebagai objek yang kehilangan nilai
kemanusiaannya, bahkan melanggar hak asasinya.
Perubahan Sosial dan Pelestarian Nilai-nilai Tradisional
Masyarakat
Ada dua aspek utama yang dideskripsikan di bagian ini, yaitu mencakup konsep nilai-nilai
tradisional, dan dampak perubahan nilai-nilai tradisional. Pada bagian pertama antara lain
diuraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian nilai-nilai tradisional masyarakat
yang diuraikan melalui aspek jarak komunikasi antar etnis dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Nilai-nilai tradisional masyarakat diartikan sebagai salah satu wujud sistem sosial yang berlaku
pada warga masyarakat tertentu. Nilai tersebut hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warganya, dan sekaligus berfungsi sebagai pedoman ter¬tinggi dari sikap mental, cara berpikir,
dan tingkah laku. Nilai-nilai tersebut merupakan pengalaman hidup yang berlangsung dalam
proses waktu yang lama sehingga menjadi kebiasaan yang terpola kepada anggotanya.
Aspek yang menyangkut jarak komunikasi antar etnis antara lain dijelaskan semakin sering para
anggota komunitas melakukan komunikasi, maka semakin lestari nilai-nilai tradisional
masyarakat itu. Dengan demikian ada perbedaan kelestarian nilai itu bagi mereka yang bertempat
tinggal di daerah asal dibanding yang berada di perantauan.
Berkembangnya ilmu pengetahuan di negara Barat secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kelestarian nilai-nilai tradisional. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kepekaan
khusus untuk menyeleksi pengaruh Barat yang relevan dengan budaya Timur.

DAFTAR PUSTAKA
Hampton, D.R. (1977). Contemporary Management. McGraw-Hill, Inc., New York.

Machan, Tibor, R. (2006). Kebebasan dan Kebudayaan: Gagasan tentang Masyarakat Bebas.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, (2005). Ilmu Sosial Budaya Dasar, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Pemda Kota Makasar, (2006). Rencana Pembangunan Kota Makasar 2005 – 2025, Makasar.

Sobary, Muhammad, (1992). Kesalehan, Etos Kerja, dan Tingkah Laku Ekonomi: Studi Kasus di
Ciater (dalam Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan.
Sofian Effendi, Syafri Sairin, dan Alwi Dahlan, Eds.). Gadjah Mada University Press.

Triyanto dan Tutik Triwulan Tutik, (2007). Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan,
Prestasi Pustaka, Jakarta.

Perubahan Sosial dan Pembangunan Bidang Ketertiban dan


Keamanan
Uraian kegiatan belajar ini diawali beberapa indikator yang berkaitan perubahan sosial dalam
bidang ketertiban dan keamanan. Secara garis besar, indikator itu meliputi pertahanan ketertiban
dan keamanan yang bersifat internal dan eksternal.
Selanjutnya diuraikan tentang pembangunan ketertiban dan keamanan dengan menggunakan
pendekatan sistem. Pendekatan sistem bermakna bahwa suatu sistem terdiri dari berbagai
subsistem untuk terciptanya ketertiban dan keamanan. Sebagai contoh, dalam unsur masukan,
maka perubahan sosial dalam pembangunan ketertiban dan keamanan dapat dikaji melalui
sumber daya yang digunakannya, seperti sumber daya manusia (penambahan jumlah dan kualitas
personil TNI dan Polri) dan sumber daya bukan manusia, seperti mempercanggih teknologi alat
perang.
Baik Polri dan TNI keduanya merupakan aparat pemerintah Negara yang sama-sama berfungsi
melindungi segenap bangsa. Namun ke-duaya mengandung beberapa perbedaan. Tugas POLRI
ditujukan kepada setiap gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (keamanan domestik)
yang mengancam individu dan masyarakat termasuk pemerintah, sedangkan TNI ditujukan pada
setiap gangguan yang mengancam Negara bangsa, baik yang bersumber dari luar maupun dari
dalam negeri.
Terakhir, dijelaskan tentang gaya kepemimpinan pada organisasi militer. Antara lain diuraikan
bahwa gaya kepemimpinan yang lebih banyak dipraktekkan dalam internal organisasi militer
adalah gaya otokratis (terutama dalam situasi darurat). Penerapan gaya ini terkait dengan sifat
pekerjaan pada organisasi tersebut. Misalnya, dalam keadaan genting, maka tidak diperlukan
diskusi secara panjang lembar untuk mengambil tindakan secepatnya untuk mencegah atau
mengatasi ketertiban dan keamanan.

Perubahan Sosial dan Pembangunan Politik


Kegiatan belajar ini menjelaskan peranan legislator bahwa dengan semakin terbukanya informasi
di berbagai belahan dunia, maka dengan mudah masyarakat dapat membandingkan keadaan
(penyaluran aspirasi) yang dialaminya dengan kejadian di belahan dunia lain. Secara ideal,
penyaluran aspirasi masyarakat yang demikian lancar kepada wakil-wakilnya di parlemen di
tempat lain dapat menjadi pelajaran bagi wakil-wakil kita di DPR/DPRD, namun berbagai bukti
yang ada menunjukkan bahwa salah satu wujud dari penerapan good governance seperti itu,
belum menjalar ke negara kita. Berdasarkan kondisi ini, maka dipandang perlu bahwa
pembangunan di bidang politik, antara lain diperlukan pemberdayaan (peningkatan kualitas)
kepada DPR/DPRD adalah suatu yang mendesak di Tanah Air .
Beriringan dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tanah Air, menyebabkan semakin banyak
pula anggota masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Perubahan yang terjadi berkaitan
dengan aspek ini adalah ketika pemilu pertama 1955, hanya 37,7 juta anggota masyarakat yang
ikut dalam pemilu, kemudian mengalami perubahan menjadi 113.1 juta yang diwakili oleh 550
oleh anggota DPR tahun 2004. Hal ini berarti bahwa masyarakat Indonesia semakin menyimpan
banyak harapan kepada wakil-wakilnya di DPR. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana
harapan itu jika dikaitkan dengan konsep good governance.
Kelihatan bahwa konsep good governance sesungguhnya telah kita miliki secara fomal.
Misalnya, dalam pasal 42 s/d pasal 45 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
telah ditegaskan mengenai substansi good governance yang harus dilakukan oleh anggota
parlemen. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ketentuan itu lebih bernuansa formalitas
ketimbang prakteknya di lapangan.

Perubahan Sosial dan Pembangunan Birokrasi


Pemerintahan
Uraian kegiatan belajar ini antara lain dijelaskan tentang model birokrasi klasik yang antara lain
disponsori oleh Max Weber yang didasarkan pada beberapa prinsip, antara lain: hierarki,
peraturan yang konsisten, formalistik, impersonality dan sistem sentralisasi. Pada perkembangan
selanjutnya, ternyata berbagai prinsip dari birokrasi klasik tersebut, telah banyak mendapat
kritikan dari ahli-ahli ilmu sosial itu sendiri. Kritik yang tajam, antara lain adalah berbagai
prinsip birokrasi klasik telah wafat. Banyak aspek yang kurang diperhitungkan di dalam
ajarannya, seperti: proses kematangan pada diri birokrat, dan manfaat dari terjadinya hubungan
informal, justru dilarang oleh ajaran Weber. Kemudian para ahli melahirkan konsep yang
disebutnya sebagai paradigma baru birokrasi.
Antara lain, Osborne dan Gaebler mengidentifikasi karakteristik “paradigma baru” birokrasi ini
dalam “Mewirausahakan Birokrasi” yang pada substansinya ditekankan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan yang baik terjadi, apabila birokrat lebih bersifat: mengarahkan, memberikan
wewenang (desentralisasi), menciptakan persaingan dalam pemberian pelayanan, organisasi
lebih digerakkan oleh misi, lebih berorientasi kepada pembiayaan hasil, orientasi menghasilkan,
mencegah timbulnya masalah, dan lebih berorientasi kepada pasar. Paradigma baru birokrasi ini,
nampaknya banyak mewarnai secara formal pembangunan nasional, termasuk pembangunan
sosial yang dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999, kemudian ditarik kembali dengan
dimunculkannya UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Substansi ini terlihat dari
pasal-pasalnya, dan lebih tegas lagi dicantumkan di dalam berbagai butir yang menjadi dasar
pertimbangan ditetapkannya kedua UU tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman. 2004. Dimensi Institusional & Dimensi Perilaku dalam Pengembangan SDM
Aparatur Lembaga Publik. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10, No. 3 Tahun 2004.

Depdagri, 2007. Hasil Perhitungan Suara Pemilu 2004, Jakarta.

LAN (Lembaga Administrasi Negara) 2003, SANRI (Sistem Administrasi Negara Republik
Indonesia), Buku I & II, LAN, Jakarta.

Moerdani, L.B. 1992, Ilmu-Ilmu sosial dan Penciptaan Martabat Manusia: Di mana Letak dalam
Konteks Ketahanan Nasional. Dalam Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial
dalam Pembangunan (Sofian Effendi, Syafri Syairi dan M. Alwi Dahlan, eds), Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Osborne, D. dan T. Gebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. (terj. Abdul Rosyid). Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
Ryasid, Rias. 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Kristin Samah, (eds). PUSKAP dan
MIPI, Jakarta.

Riza Noer Arfani, Riza Noer, 2005. Governance & Pengelolaan Konflik. Materi Workshop
Analisis Kebijakan, Kerja sama Magister Studi Kebijakan Yoyakarta dengan Jurusan Ilmu
Administrasi Unhas Makasar.

Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Himpunan Lengkap UU Peraturan Daerah. Sentosa


Sembiring (eds) Nuasa Alia, Bandung.

UNDP, 2006. Human Development Report, (http:// www@UNDP.HDI), diakses 1 Mei 2007).

Dampak Globalisasi terhadap Perubahan Sosial di


Indonesia
Pengertian globalisasi lebih menekankan kepada kesamaan produk yang dapat dibuat dan di
pasarkan secara bersama oleh sekelompok negara di berbagai belahan dunia. Secara sederhana,
substansi makna dari globalisasi adalah suatu keadaan di mana segenap aspek perekonomian
(seperti pasokan dan permintaan bahan baku, informasi, transportasi tenaga kerja, keuangan
distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran) menyatu secara terintegrasi dan semakin terjadi
ketergantungan satu sama lain dengan skala internasional. Bentuk kegiatan dilakukan dengan
memasarkan produk atau menciptakan merek global seperti Coba-cola, McDonald, Kodak dan
produk internasional lainnya.
Secara garis besar, ada empat jenis strategis yang lazim diterapkan dalam manajemen
internasional dan salah satu di antaranya adalah strategi memanfaatkan kekuatan internal untuk
mengurangi ancaman dari lingkungan eksternal. Sebagai misal, negara kita sebagai negara
agraris yang berpenduduk banyak bekerja di sektor ini. Tetapi kita membeli makan/minuman
(seperti Kentucky dan Coca-cola) yang mahal dari (lisensi) luar negeri, di mana bahan
mentahnya justru sebagian besar berasal dari negara kita (sebagai faktor kekuatan). Strateginya
adalah memanfaatkan sumber daya (tenaga kerja dan bahan baku) membuat produksi sejenis
yang bisa dipasarkan di dalam dan luar negeri (globalisasi).
Banyak dampak yang dilahirkan globalisasi, seperti dampak terhadap aspek budaya, dampak
terhadap aspek kesehatan, dan dampak terhadap kemiskinan.

Reformasi dan Perubahan Sosial di Indonesia


Reformasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari arah yang kurang baik menjadi lebih
baik. Misalnya pemerintahan yang dulunya otoriter berubah menjadi demokratis. Reformasi
sendiri telah lama berlangsung di berbagai negara, namun di Tanah Air, sejak tahun 1998.
Ruang lingkup reformasi meliputi seluruh aspek pembangunan. Misalnya dalam bidang
ekonomi, diperlukan upaya menggeser posisi negara kita sebagai negara miskin, meningkatkan
infrastruktur ekonomi seperti kondisi jalan dan pemenuhan kebutuhan listrik di luar Jawa. Pada
aspek pemerintahan, diperlukan upaya memperbaiki pelayanan publik pada bidang sosial, seperti
dalam aspek kesehatan dan pendidikan yang mencerminkan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Aspek keamanan mengubah adanya ancaman disintegrasi bangsa, seperti di Maluku,
Papau dan Aceh.
Secara khusus reformasi dalam bidang politik berintikan a) adanya kebebasan perss; b) sistem
kepartaian tidak hanya terpusat kepada partai tertentu; c) pejabat publik (seperti PNS) tidak
boleh diarahkan kepada partai tertentu, dan d) diperbolehkan PNS tidak hanya menjadi anggota
Partai Golkar, meskipun dalam kenyataan Golkar tetap dominan dalam berbagai dimensi; dan e)
penempatan seseorang atau sekelompok orang sesuai bidang keahliannya. Misalnya, ABRI lebih
tepat memusatkan diri pada penjagaan ketertiban dan keamanan dibanding ikut serta dalam
pemerintahan (Dwi Fungsi ABRI).

Kegiatan Belajar 3 :

Tatanan Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam


Konteks Otonomi Daerah
Beberapa aspek yang diuraikan berkaitan dengan Otonomi Daerah, antara lain aspek
kewenangan. Aspek kewenangan ini secara spesifik antara lain diatur di dalam pasal 10 UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun kewenangan ini cenderung
disalahtafsirkan oleh Pemerintah Daerah, bahwa semua kewenangan di luar kewenangan
Pemerintah Pusat adalah menjadi kewenangan daerah.
Aspek kepegawaian. Ada berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek “kepegawaian” dalam
implementasi kebijakan OTODA, antara lain kewenangan pembinaan kepegawaian oleh daerah
sebagaimana diatur dalam Bab V UU No 32 Tahun 2004. Jika semua ketentuan dalam bab ini
(pasal 129 - 135) diterapkan secara konsisten, maka kecil permasalahan menyangkut
kepegawaian terangkat ke permukaan. Banyak pengangkatan pegawai yang berbau nepotisme
dan beberapa Sekretaris Daerah telah diberhentikan dari jabatannya tanpa alasan yang jelas.
Banyak pengamat menilai bahwa pemberhentian seperti itu lebih diwarnai oleh kolusi dan
nepotisme.
Aspek “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pusat secara umum diatur dalam
bab IX (Pasal 66 - 84) pada UU No. 33 Tahun 2004. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan
OTODA belum bisa diimplementasikan di Tanah Air, karena banyaknya daerah yang belum siap
dari segi “keuangan” yang ditambah dengan kemampuan SDM yang belum memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman. 2004. Dimensi Institusional & Dimensi Perilaku dalam Pengembangan SDM
Aparatur Lembaga Publik. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10, No. 3 tahun 2004.

Depdagri, 2007. Hasil Perhitungan Suara Pemilu 2004, Jakarta.

Hidayat, L. Misbah, 2007. Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga


Presiden. Gramedia, Jakarta.

LAN (Lembaga Administrasi Negara) 2003, SANRI (Sistem Administrasi Negara Republik
Indonesia), Buku I & II, LAN, Jakarta.
Osborne, D. dan T. Gebler. 1995. Mewirausahaan Birokrasi. (terj. Abdul Rosyid). Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.

Ryasid, Rias. 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Kristin Samah, (eds). PUSKAP dan
MIPI, Jakarta.

Riza Noer Arfani, Riza Noer, 2005. Governance & Pengelolaan Konflik. Materi Workshop
Analisis Kebijakan, Kerja sama Magister Studi Kebijakan Yogyakarta dengan Jurusan Ilmu
Administrasi Unhas Makasar.

Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Himpunan Lengkap UU Peraturan Daerah. Sentosa


Sembiring (eds) Nuasa Alia, Bandung.

UNDP, 2006. Human Development Report, (http:// www@UNDP.HDI), diakses 1 Mei 2007).

embang untuk http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?


option=com_content&view=article&id=79:ipem4439-perubahan-sosial-dan-
phttp://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/05/

busana-dalam-konteks-sosial-budMasyarakat adalah suatu kumpulan individu yang memiliki


karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama. Setiap kelompok
masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi dalam menjalani kehidupan pun
tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi yang
memungkinkan terjadinya pertukaran budaya.

Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling mempelajari, menyerap, dan
mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang kemudian melahirkan sintesis budaya baru.
Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya,
yakni sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi.

Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan yang lain. Para ahli
antropologi mengemukakan, sosialisasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai
suatu organisme yang hidup dengan manusia lain membangun suatu jalinan sosial dan
berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi, serta
mengembangkan relasi sosial di dalam masyarakat.

Rumusan singkatnya adalah, “Socialization implicates those interactive processes through which
one learns to be an actor, to engage in interaction, to occupy statues, to act roles, and to forge
social relationships in community life” (Peter-Poole 2002).

Akulturasi adalah suatu proses perubahan budaya yang lahir melalui relasi sosial antarkelompok
masyarakat, yang ditandai oleh penyerapan dan pengadopsian suatu kebudayaan baru, yang
berkonsekuensi hilangnya kekhasan kebudayaan lama. Penjelasan umumnya adalah, “Cultural
change brought by contact between people with different cultures indicated by the loss of
traditional culture when members of small-scale cultures adopt elements of global-scale
cultures” (John Bodley 1994).

Enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang bernalar,
punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir,
pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Definisi sederhananya adalah,
“Enculturation refers to the process of learning a culture consisting in socially distributed and
shared knowledge manifested in those perceptions, understandings, feelings, intentions, and
orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life” (Peter-Poole,
2002).

Proses sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik
dan paling efektif untuk mengembangkan ketiga proses sosial budaya tersebut adalah
pendidikan, yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah merupakan wahana strategis
yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang beragam,
untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menyerap nilai-nilai budaya yang berlainan,
dan beradaptasi sosial.

Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang
penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk
mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui–meskipun tidak
hanya terbatas pada–sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi
kebudayaan (lihat artikel Media Indonesia, 9/11/2009).

Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-
ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan
peradaban umat manusia. Paling kurang ada tiga argumen pokok yang dapat dikemukakan.

Pertama, melalui pendidikan, kemampuan kognitif dan daya intelektual individu dapat
ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya intelektual ini sangat penting
bagi individu untuk mengenali dan memahami konsep kebudayaan suatu masyarakat yang
demikian beragam, unik, dan bersifat partikular.

Pengenalan dan pemahaman itu diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi terhadap perbedaan
budaya yang ada dalam masyarakat. Instrumen yang relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas
keanekaragaman budaya, antara lain melalui mata pelajaran kesusastraan dan kesenian.

Sebab, keduanya merefleksikan dinamika kebudayaan dan menggambarkan kekayaan khazanah


budaya dan aneka jenis kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua siswa dapat mempelajari
kesusastraan Melayu, kesusastraan Jawa, atau kesusastraan Bugis-Makassar. Mereka juga dapat
mempelajari kesenian Aceh, kesenian Minangkabau, atau kesenian Sunda.

Dengan mempelajari kesusastraan dan kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat
tumbuh kesadaran kolektif sebagai sesama anak bangsa, meskipun mereka mempunyai latar
belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada akhirnya akan memperkuat
kohesi sosial dan integrasi nasional.

Kedua, melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai pentingnya
membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya terdapat berbagai macam entitas
sosial. Sekolah adalah miniatur masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi,
peran, norma dan nilai.

Sekolah menjadi sarana bagi setiap anak didik untuk belajar memainkan peran dan menjalankan
fungsi menurut posisi dan status di dalam struktur sekolah itu. Dalam menjalankan peran dan
fungsi, setiap anak didik juga diajarkan mengenai makna tanggung jawab sosial.

Dalam konteks ini, mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan kewargaan (civic
education), karena setiap anak didik dibekali pengetahuan dan pemahaman bagaimana menjadi
warga negara yang baik. Dalam filsafat pendidikan klasik dikemukakan, the ultimate goal of
education is how to facilitate students to be a good citizen.

Di dalam sistem persekolahan, pendidikan merupakan aspek yang sangat penting untuk
bersosialisasi dan sekaligus menjadi sarana proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya
di dalam masyarakat. Schaefer & Lamm (1992) menegaskan mengenai fungsi transmisi
kebudayaan sebuah sistem persekolahan, “As a social institution, education performs a rather
conservative function-trasmitting the dominant culture; through schooling, each generation of
young people is exposed to the existing beliefs, norms, and values of the culture.”

Pendidikan juga dapat menumbuhkan inovasi kebudayaan, karena sekolah dapat menstimulasi
intellectual inquiry dan menumbuhkan critical thinking yang menjadi basis bagi pengembangan
gagasan-gagasan baru. Dalam suasana persekolahan yang demikian, kebudayaan suatu
masyarakat dapat berkembang dinamis.

Ketiga, pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat integrasi sosial politik.
Para penganut paham struktural-fungsionalis meyakini bahwa melalui proses sosialisasi dan
enkulturasi, pendidikan memberi kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan
konsensus politik.

Di dalam sistem persekolahan, pendidikan dapat merangsang tumbuhnya kesadaran sosial di


kalangan anak-anak didik, bahwa mereka adalah bagian integral sebagai warga bangsa dengan
latar belakang sosial budaya yang berlainan. Touraine (1974) menulis, “Education serves the
latent function of promoting social and political integration by transforming people composed of
diverse racial, ethnic, and religious groups into a society whose members share a common
identity.”

Sarana paling efektif untuk memperkuat integrasi sosial politik adalah melalui mata pelajaran
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan warisan
paling berharga dari para tokoh pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum
kemerdekaan.
Karena kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kongres Pemuda para
pelopor gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, justru lebih memilih bahasa
Indonesia, dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional. Argumen-argumen yang
dikemukakan di atas sesungguhnya sejalan dengan pandangan dan pemikiran para filosof sosial
klasik, seperti Emile Durkheim, Jean-Jacques Rousseau, Johann Pestalozzi, atau John Dewey.

Para pemikir klasik itu bahkan menulis khusus mengenai tema-tema penting di bidang
pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir generasi selanjutnya.
Tema-tema penting itu, antara lain, mengenai pendidikan moral, pendidikan dan tanggung jawab
sosial, pendidikan dan demokrasi, pendidikan dan pembangunan masyarakat berpengetahuan,
serta banyak lagi yang lain.

Para pemikir klasik itu pada dasarnya meyakini bahwa pendidikan merupakan bentuk strategi
kebudayaan yang paling efektif untuk membangun tatanan sosial dan mewujudkan masyarakat
yang baik serta membangun peradaban umat manusia selaras dengan cita-cita kemanusiaan
paling asasi

Oleh Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex,


United Kingdom

aya.htmlembangunan&Itemid=74&c

http://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/01/31/pendidikan-sebagai-medium-
enkulturasi-2/atid=29:fisipsuatu kurun waktu tertentu.
TUGAS FILSAFAT

SOAL DAN JAWABAN

OLEH : IRAWATI BR MANIK

NIM : 421005993

JURUSAN BPI
FAKULTAS DAKWAH

IAIN AR-RANIRY

DARUSSALAM - BANDA ACEH


2011

Anda mungkin juga menyukai