Anda di halaman 1dari 4

Home

Jangan Makan Gaji Buta!


02 Feb 2010

 Nasional
 Pikiran Rakyat

SISTEM penggajian pegawai negeri sipil (PNS) yang diberlakukan di Indonesia mengacu pada
sistem pemberian gaji dasar yang sangat rendah, serta tidak secara langsung menyesuaikan
dinamika perubahan inflasi dan biaya hidup dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut berdampak
terhadap semakin lemahnya daya beli PNS. Dengan sistem penggajian sekarang ini, mayoritas
PNS di Indonesia merasa sulit untuk mendukung pemenuhan kebutuhan primer sehari-hari setiap
bulannya, walaupun dalam kategori hidup sangat sederhana.

Sistem penggajian seperti itu diyakini merupakan salah satu penyebab timbulnya korupsi
(corruption by need). Bentuk korupsi tersebut adalah dengan melakukan penyalahgunaan
wewenang dengan memanfaatkan aturan hukum yang lemah untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidup primer. Kenyataan bahwa gaji PNS tidak memadai menumbuhkan sikap permisif
masyarakat terhadap perilaku koruptif PNS. Demikian pula, sikap toleransi PNS terhadap
lingkungan kerja yang korup menjadi semakin meluas di seluruh Indonesia, seiring
berkembangnya pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif.

Merespons hal itu, pada 2009 lalu pemerintah telah menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS)
dan pensiunan rata-rata sebesar 10-15 persen. Malah, rencananya pada 2010 ini, melalui sistem
remunerasi pemerintah juga kembali akan menaikkan gaji pokok PNS golongan IIIa dengan
masa kerja o tahun sampai pada besaran Rp 3,7 juta per bulan. Bahkan, bila ditambah dengan
tunjangan, gaji PNS golongan Hi/a bisa mencapai Rp 4 juta per bulan. Ini bukan tidak mungkin
terwujud, menyusul usulan kenaikan gaji 100 persen bagi kalangan PNS yang makin gencar
disuarakan terkait reformasi birokrasi.Lantas, apakah peningkatan gaji PNS tersebut berbanding
lurus dengan profesionalitas PNS? Melihat kinerja dan citra PNS selama ini yang dikenal malas,
tidak disiplin, dan cenderung korup, agaknya tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Alih-
alih profesional, di kalangan masyarakat justru muncul stigma, PNS bisanya cuma makan gaji
buta!

Makan gaji buta adalah sebuah idiom atau ungkapan yang menggambarkan suatu kondisi di
mana orang tetap mendapatkan bayaran, meskipun dia tidak melakukan apa yang menjadi
tanggung jawabnya. Dalam buku Indonesian Idioms Expressions (2002), makan gaji buta jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi eat blind wages yang artinya, get paid for doing
nothing.

Etos kerja
Ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan tersebut kerap disematkan kepada PNS.
Mereka secara rutin tetap mendapatkan gaji utuh setiap bulan, meski dalam kenyataannya acap
datang ke kantor dan menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk membaca koran,
ngerumpi, mangkir ke mal, atau main game di komputer. Jadwal kerja PNS pun tidak terukur.
Kadang datang, kadang bolos. Masuk siang pun tidak mengapa, apalagi pulang lebih dulu. Para
PNS hanya mengambil gajinya tanpa berkontribusi berarti terhadap pekerjaannya. Sehingga,
tidak heran jika mantan Meneg PAN Feisal Tamin pada waktu lalu pernah menyebutkan, hanya
60 persen PNS yang bekerja efektif. Sisanya kurang produktif.

Ungkapan yang telah menjadi stigma PNS itu tampaknya sangat melekat dalam benak
masyarakat. Sebab, tidak bisa dimungkiri, performa yang ditunjukkan PNS selama ini adalah
demikian adanya-tidak profesional. Semuanya berlangsung seolah-olah tanpa kontrol. Panca
Prasetya Korpri sebagai landasan etis PNS yang selalu diucapkan dalam HUT Korpri setiap 29
November, seakan tidak mampu mengawal tingkah polah PNS. Payung hukum kedisiplinan yang
termaktub dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pun seakan
lumpuh.Singkatnya, code of conduct perilaku PNS luntur. Akibatnya, tidak tumbuh budaya
organisasi (corporate culture) yang sehat. Kerja keras, tepat waktu, tidak keluyuran di pusat
perbelanjaan saat jam kerja, keinginan untuk berprestasi, jujur, bersih, dan bebas KKN, yang
menjadi prasyarat penting hadirnya good governance dan dean government, sepertinya belum
menjadi etos PNS kita.

Oleh banyak pihak, langkah pemerintah dalam menaikkan gaji PNS tanpa berdasarkan pada
penilaian yang terukur, seolah tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja. Pada
batas tertentu, teori lama yang menyebutkan kenaikan gaji PNS berimbas terhadap peningkatan
kinerja pelayanan publik, agaknya perlu dikoreksi lagi. Karena, dari evaluasi beberapa tahun
terakhir, tidak ada hubungan yang positif antara kenaikan gaji dengan kinerja PNS. Sejak zaman
pemerintahan Gus Dur, teori ini dilakukan, tetap tidak ada buktinya.

Rekrutmen PNS

Masalah terbesar kinerja PNS yang stagnan, sejatinya berawal dari proses penerimaan "bibit"
PNS yang salah. Sebagai contoh, gejala nepotisme, uang pelicin, dan lemahnya mutu rekrutmen
sumber daya PNS, misalnya, berdampak pada sukamya mendapatkan putra dan putri terbaik
bangsa untuk menjadi PNS. Mayoritas di antara mereka lebih suka bekerja di sektor swasta
ketimbang di pemerintahan. Sehingga, PNS yang berkualitas, memiliki mentalitas dan integritas,
serta kemampuan untuk melayani masyarakat sangatlah sedikit, yang banyak malah PNS malas.

Malangnya, kondisi ini diperparah dengan pengetahuan PNS tentang seluk-beluk pemerintahan
yang minim, dan disiplin kerja yang rendah. Belum lagi, lemahnya sistem meritokrasi dalam
jenjang karier, serta landasan etika yang kian memudar, semakin menurunkan citra PNS di mata
masyarakat.Kalau kita bandingkan dengan kondisi PNS di Singapura, Indonesia tertinggal jauh.
Sejak PM Lee Kwan Yew memerintah, pemerintah Singapura mulai menyeleksi tiap-tiap anak
dari sekolah dasar yang dianggap punya bakat dan kemampuan untuk kemudian diberi beasiswa,
sampai ke tingkat universitas dan diproyeksikan untuk bekerja di pemerintahan. Lulusan terbaik
di universitas harus masuk ke pemerintahan, sementara sektor bisnis baru mendapatkan lulusan
terbaik kedua atau ketiga dari universitas. Singapura sadar, untuk membangun suatu negeri,
diperlukan suatu pemerintahan yang baik. Untuk memperoleh pemerintahan yang baik,
diperlukan orang-orang yang baik pula.

Solusi alternatif

Oleh karena itu, belajarlah dari Singapura, untuk mendapatkan PNS qualified- yang tidak
sekadar makan gaji buta-, Indonesia mesti menerapkan standar persyaratan yang lebih tinggi dan
eksaminasi yang lebih ketat lagi dalam proses penjaringan calon-calon PNS yang akan direkrut.
Setelah rekrutmen, diperlukan suatu tahap transisi sebelum seseorang memperoleh tugas dan
tanggungjawab kedinasan. Oleh karena itu, pendidikan tentang seluk-beluk pemerintahan,
termasuk kepamongprajaan perlu diberikan guna menanamkan komitmen pengabdian dan
pelayanan yang kuat. Upaya itu bisa dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat)
pegawai. Diklat dapat berupa diklat prajabatan dan diklat dalam jabatan, antara Iain diklat
kepemimpinan, diklat fungsional, dan diklat teknis.

Selain itu, ukuran-ukuran baku yang dapat menjadi acuan obyektif untuk promosi karier perlu
dibuat. Penghargaan terhadap prestasi, kejujuran, kerja keras, dan kedisiplinan seyogianya
dijadikan jaminan bagi promosi karier. Sistem merit ini akan mendorong lahirnya suasana
kompetitif yang sehat dalam lingkungan kerja. Dalam pada itu, perbaikan kinerja pemerintahan
dapat terlaksana bila setiap instansi pemerintah menegakkan disiplin PNS. Disiplin tersebut tidak
terjadi hanya untuk sementara alias hangat-hangat tahi ayam. Penerapan peraturan disiplin PNS
harus tegas dan konsisten.

Dan, sudah sepatutnya pula, PNS dapat menjaga dan mengembangkan etika profesinya.
Ketersediaan pedoman bertingkah laku-yang dikenal dengan etika profesi birokrasi
pemerintahan-sangat diperlukan dalam upaya membangun semangat pengabdian dan
mengembangkan kualitas PNS. Etika ini tidak sama dengan peraturan disiplin. Etika berkaitan
dengan suatu acuan moralitas yang menjamin tegaknya wibawa dan citra baik PNS sebagai abdi
masyarakat. Sehingga, melalui semua upaya itu, stigma buruk yang disematkan kepada PNS
selama ini, "makan gaji buta", diharapkan bisa ditepis. (Moh. Ilham A. Hamudy)***

Entitas terkaitBentuk | Diklat | Disiplin | Etika | Etos | Gus | Iain | Ilham | Indonesia | Inggris
| Jadwal | Kadang | Kenyataan | Kerja | Ketersediaan | Kondisi | Lulusan | Makan |
Masalah | Mayoritas | Merespons | Payung | Penerapan | Penghargaan | PNS | PP |
Semuanya | Singapura | Sisanya | SISTEM | Solusi | Ungkapan | Upaya | HUT Korpri | Para
PNS | Rekrutmen PNS | Indonesian Idioms Expressions | Jangan Makan Gaji | Panca
Prasetya Korpri | Disiplin Pegawai Negeri Sipil | Meneg PAN Feisal Tamin | Sejak PM Lee
Kwan Yew | Ringkasan Artikel Ini
SISTEM penggajian pegawai negeri sipil (PNS) yang diberlakukan di Indonesia mengacu
pada sistem pemberian gaji dasar yang sangat rendah, serta tidak secara langsung
menyesuaikan dinamika perubahan inflasi dan biaya hidup dari tahun ke tahun. Melihat
kinerja dan citra PNS selama ini yang dikenal malas, tidak disiplin, dan cenderung korup,
agaknya tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Panca Prasetya Korpri sebagai
landasan etis PNS yang selalu diucapkan dalam HUT Korpri setiap 29 November, seakan
tidak mampu mengawal tingkah polah PNS. Kerja keras, tepat waktu, tidak keluyuran di
pusat perbelanjaan saat jam kerja, keinginan untuk berprestasi, jujur, bersih, dan bebas
KKN, yang menjadi prasyarat penting hadirnya good governance dan dean government,
sepertinya belum menjadi etos PNS kita. Rekrutmen PNS Masalah terbesar kinerja PNS
yang stagnan, sejatinya berawal dari proses penerimaan "bibit" PNS yang salah. Sebagai
contoh, gejala nepotisme, uang pelicin, dan lemahnya mutu rekrutmen sumber daya PNS,
misalnya, berdampak pada sukamya mendapatkan putra dan putri terbaik bangsa untuk
menjadi PNS. Sehingga, PNS yang berkualitas, memiliki mentalitas dan integritas, serta
kemampuan untuk melayani masyarakat sangatlah sedikit, yang banyak malah PNS
malas. Solusi alternatif Oleh karena itu, belajarlah dari Singapura, untuk mendapatkan
PNS qualified- yang tidak sekadar makan gaji buta-, Indonesia mesti menerapkan standar
persyaratan yang lebih tinggi dan eksaminasi yang lebih ketat lagi dalam proses
penjaringan calon-calon PNS yang akan direkrut.

Jumlah kata di Artikel : 1132


Jumlah kata di Summary : 219
Ratio : 0,193

*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan
untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.

Anda mungkin juga menyukai