Anda di halaman 1dari 33

PENGARUH LAMANYA INTENSITAS MENONTON

TELEVISI TERHADAP PROGRESIVITAS MIOPIA


PADA ANAK

PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh


Derajad Sarjana Kedokteran Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh
AKHYAR SULAIMAN
NIM : 2007 031 0014

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2010
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran televisi sesungguhnya bagai pisau bermata ganda,

memberikan pengetahuan namun sekaligus berdampak negatif dalam proses

perkembangan anak, baik fisik, psikis, maupun sosial (Mimpsy, 2009).

Menurut Adam Normies (1992), televisi adalah pesawat sistem penyiaran

gambar obyek yang bergerak yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel

atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya

(gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya

kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat

didengar, digunakan untuk penyiaran pertunjukan, berita, dsb.

Seringnya anak-anak menonton televisi tidak lepas dari peran orang

tua yang dalam hal ini bertanggung jawab untuk memberikan pengawasan.

Menurut Djaelani (2010), bahwa banyak orang tua yang dengan alasan

menyenangkan anak, justru menyediakan televisi di masing-masing kamarnya.

Sehingga anak-anak dapat dengan mudah menonton televisi tanpa mendapat

pengawasan dari orang tuanya. Dan hal tersebut didukung dengan waktu

penyiaran televisi yang dapat berlangsung 24 jam setiap hari.

Dengan semakin meningkatnya interaksi anak dengan televisi dapat

diperoleh sisi-sisi positif dari menonton televisi adalah bahwa di beberapa


tayangan tertentu dapat menjadi sumber pelajaran yang membantu kita,

terutama anak dan remaja untuk memahami dunia dan bahkan memperkaya

ilmu yang telah didapatkan di bangku sekolah, tetapi ada hal-hal negatif yang

dapat membahayakan dan merugikan bagi kesehatan. Gangguan kesehatan

yang timbul akibat intensitas pemakaian yang terjadi dalam waktu lama dan

terus menerus dalam menonton televisi. Selama berjalannya waktu, gangguan

kesehatan yang serius seperti gangguan saraf, gangguan penglihatan,

gangguan perkembangan otak, gangguan konsentrasi dan lain-lain dapat

terjadi. Gangguan tersebut rata-rata diakibatkan oleh kurangnya aliran darah

serta ketegangan di bagian tubuh tertentu secara terus menerus dan berulang.

Hal ini bisa berlangsung bertahun-tahun sebelum gangguan itu muncul

sebagai suatu cidera yang serius (Wasito, 2005).

Gangguan yang sering muncul adalah gangguan kesehatan mata.

Menurut American Academy of Ophthalmology (1992), dampak yang dapat

terjadi pada mata akibat intensitas melihat monitor atau televisi yang lama

antara lain astenopia, mata kering, sakit kepala, kabur melihat dekat secara

periodik, kabur melihat jauh, mata merah, rasa panas pada mata, silau,

perubahan persepsi warna, nyeri leher dan bahu. Menurut Yani (2008),

kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak terbentuk pada

retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi

ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan

kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa akan membelokkan sinar pada titik
fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea

dan lensa yang betul-betul sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan

refraksi sinar tidak dibiaskan tepat pada bintik kuning, akan tetapi dapat di

depan atau di belakang bintik kuning atau malahan tidak terletak pada satu

titik yang tajam.

Gejala kelainan refraksi yang membuat penderita datang ke dokter

biasanya dengan keluhan sakit kepala terutama di daerah tengkuk atau dahi,

mata berair, cepat mengantuk, mata terasa pedas, pegal pada bola mata, dan

penglihatan kabur yang sering dialami setelah lama menonton televisi dengan

jarak yang dekat.

Salah satu kelainan refraksi adalah miopia. Miopia disebut rabun jauh

karena berkurangnya kemampuan melihat jauh tapi dapat melihat dekat

dengan lebih baik. Miopia terjadi jika kornea (terlalu cembung) dan lensa

(kecembungan kuat) berkekuatan lebih atau bola mata terlalu panjang

sehingga titik fokus sinar yang dibiaskan akan terletak di depan retina

(”Kelainan Refraksi”, 2008). Gejala yang muncul pada penderita miopia

antara lain penglihatan kabur melihat jauh dan hanya jelas pada jarak

tertentu/dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang dilihat

pada mata, gangguan dalam pekerjaan, dan jarang sakit kepala. Faktor resiko

yang dapat menimbulkan atau memperburuk keadaan miopia adalah kebiasaan

melihat jarak dekat secara terus menerus. Demikian juga kebiasaan membaca

dengan penerangan yang kurang memadai. Oleh karena hal tersebut kita harus
bersyukur dan menjaga kesehatan mata, seperti yang disebutkan dalam Al-

Quran surat An-Nahl ayat 78 :

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur. QS. an-Nahl (16) : 78

Namun bila kita mendapat ujian dari Allah SWT berupa penyakit yang

berhubungan dengan mata, dalam Islam diajarkan bahwa semua penyakit ada

obatnya, dan semua ujian ada hikmahnya. Seperti yang disampaikan

Rasulullah dalam hadistnya yang berbunyi :

”Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] telah


menceritakan kepada kami [Al Laits] dia berkata; telah menceritakan
kepadaku [Ibnu Al Hadi] dari ['Amru] bekas budak Al Mutthalib, dari [Anas
bin Malik] radliallahu 'anhu dia berkata; saya mendengar Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Allah berfirman; "Apabila Aku menguji hamba-
Ku dengan penyakit pada kedua matanya, kemudian ia mampu bersabar, maka
Aku akan menggantinya dengan surga." maksud (habibataihi) adalah kedua
matanya. Hadits ini juga diperkuat oleh riwayat [Asy'ats bin Jabir] dan [Abu
Dzilal bin Hilal] dari [Anas] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
(HR.Bukhari)”.

Masyarakat pada umumnya belum mengetahui secara pasti pengaruh

lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas miopia pada

anak. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang faktor yang dapat

menyebabkan progresivitas miopia pada anak, karena belum diketahui secara


pasti apakah lamanya intensitas menonton televisi berpengaruh terhadap

progresivitas miopia pada anak.

B. Perumusan Masalah

Anak-anak dapat setiap hari menonton televisi sehingga memiliki

risiko peningkatan progresivitas miopia. Progresivitas tersebut dipengaruhi

oleh lama dan jarak anak saat menonton televisi. Oleh karena itu timbul

permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah lama menonton televisi berpengaruh terhadap progresivitas

miopia pada anak?

2. Apakah jarak dalam menonton televisi memiliki korelasi terhadap

progresivitas miopia pada anak?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum :

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh intensitas lamanya

menonton televisi terhadap progresivitas miopia pada anak.

Tujuan Khusus :

1. Untuk mengetahui lama menonton televisi yang baik untuk anak.

2. Untuk mengetahui progresivitas miopia anak setelah 2 tahun dengan

intensitas menonton televisi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini juga dapat menambah wawasan penulis tentang pengaruh

dari lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas miopia. Dan


penelitian ini juga bermanfaat bagi ilmu pengatahuan agar dapat menjadi

masukan bagi penelitian yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang telah dilakukan peneliti lain tentang progresivitas

miopia adalah

1. Pengaruh Interaksi Komputer Terhadap Progresivitas Miopi dan

Astigmatisme oleh Juliana Munir (Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta).

2. Pengaruh Antara Ketaatan Berkacamata Dengan Progresivitas Derajat

Miopia oleh Maya Syarief (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian tentang pengaruh

lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas anak belum

pernah dilakukan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Anatomi Mata

Menurut Ilyas (2008), mata normal atau mata emetropia adalah suatu

keadaan dimana sinar yang sejajar atau jauh dibiaskan atau difokuskan oleh

sistem optik mata tepat pada daerah makula lutea tanpa mata melakukan

akomodasi. Sinar yang masuk ke dalam mata harus melalui beberapa medan

refraksi yang terdiri atas kornea, humor aqueus, lensa, badan kaca, hingga

terbentuk bayangan obyek pada retina. Berikut akan dijelaskan secara singkat

anatomi mata yang berfungsi sebagai media refraksi yang terdiri dari :

a. Bola Mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola

mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam

sehingga terdapat bentuk dengan dua kelengkungan yang berbeda. Menurut

Ilyas (2005), bola mata dibungkus oleh tiga lapisan, yaitu :

(1) Sklera merupakan jaringan ikat

yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata, merupakan bagian

terluar yang melindungi bola mata.

(2) Jaringan uvea merupakan jaringan

vaskuler. Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.
Otot siliar yang terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa

untuk kebutuhan akomodasi. Badan siliar yang terletak di belakang

iris menghasilkan cairan bilik mata (humor aqueus), yang

dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di

batas kornea dan sklera. Humor aqueus dibentuk dalam mata rata-

rata 2 sampai 3 mikroliter tiap menit (Guyton, 1997). Menurut

Perhimpunan Dokter Mata Indonesia (2002), koroid adalah suatu

membran berwarna coklat tua, yang terletak diantara sklera dan

retina terbentang dari ora serrata sampai ke papil saraf optik.

Koroid kaya pembuluh darah dan berfungsi terutama memberi

nutrisi kepada retina bagian luar.

(3) Retina atau selaput jala adalah

bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima

rangsangan cahaya. Retina merupakan lapisan bola mata yang

terletak paling dalam dan mempunyai susunan sebanyak sepuluh

lapis yang merupakan lapisan membran neurosensoris yang akan

merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan

ke otak.

b. Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, sebagian selaput mata yang

tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata

sebelah depan.
c. Pupil

Cahaya yang masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil

merupakan lubang bundar anterior di bagian tengah iris yang mengatur

jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pupil akan membesar bila

intensitas cahaya kecil (bila berada di tempat gelap), dan apabila

berada di tempat terang atau intensitas cahayanya besar, maka pupil

akan mengecil.

d. Iris

Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot, yaitu otot

dilatator, sfingter iris dan otot siliar dapat mengatur jumlah sinar

masuk ke dalam bola mata.

e. Lensa

Lensa terletak tepat di belakang iris, di depan badan vitreous, dan

dilingkari oleh prosesus siliaris yang mana overlap pada bagian

tepinya. Kapsul lensa (capsula lentis) merupakan membran transparan

yang melingkupi lensa, dan lebih tebal pada bagian depan daripada di

belakang. Lensa merupakan struktur yang rapuh namun sangat elastis.

Di bagian belakang berhadapan dengan fossa hyaloid, bagian depan

badan vitreous; dan di bagian depan berhadapan dengan iris. Lensa

merupakan struktur transparan bikonveks. Kecembungannya di bagian

anterior lebih kecil daripada bagian posteriornya.

f. Badan Vitreous (Vitreous body)


Vitreous body membentuk sekitar empat perlima bola mata. Zat seperti

agar-agar ini mengisi ruangan yang dibentuk oleh retina. Transparan,

konsistensinya seperti jeli tipis, dan tersusun atas cairan albuminus

terselubungi oleh membrane transparan tipis, membran hyaloid.

Membran hyaloid membungkus badan vitreous. Porsi di bagian depan

ora serrata tebal karena adanya serat radial dan dinamakan zonula

siliaris (zonule of Zinn). Disini tampak beberapa jaringan yang

tersusun radial, yaitu prosesus siliaris, sebagai tempat menempelnya.

Zonula siliaris terbagi atas dua lapisan, salah satunya tipis dan

membatasi fossa hyaloid, lainnya dinamakan ligamen suspensori lensa,

lebih tebal, dan terdapat pada badan siliaris untuk menempel pada

kapsul lensa. Ligamen ini mempertahankan lensa pada posisinya, dan

akan relaksasi jika ada kontraksi serat sirkular otot siliaris, maka lensa

akan menjadi lebih konveks. Tidak ada pembuluh darah pada badan

vitreous, maka nutrisi harus dibawa oleh pembuluh darah retina dan

prosesus siliaris.
Gambar 1. Anatomi Mata
(Sumber : www.riversideonline.com, 2008)

2. Fisiologi Penglihatan

Cahaya masuk ke mata dan di belokkan (refraksi) ketika melalui kornea

dan struktur-struktur lain dari mata (kornea, humor aqueous, lensa, badan

vitreous) yang mempunyai kepadatan berbeda-beda untuk difokuskan di retina,

hal ini disebut kesalahan refraksi.

Mata mengatur (akomodasi) sedemikian rupa ketika melihat obyek yang

jaraknya bervariasi dengan menipiskan dan menebalkan lensa. Penglihatan dekat

memerlukan kontraksi dari badan siliar, yang bisa memendekkan jarak antara

kedua sisi badan siliar yang diikuti dengan relaksasi ligamen pada lensa. Lensa

menjadi lebih cembung agar cahaya dapat terfokuskan pada retina. Penglihatan

yang terus menerus dapat menimbulkan ketegangan mata karena kontraksi yang

menetap (konstan) dari otot-otot siliar. Hal ini dapat dikurangi dengan seringnya
mengganti jarak antara obyek dengan mata. Akomodasi juga dibantu dengan

perubahan ukuran pupil. Ada beberapa teori mengenai mekanisme akomodasi

berdasarkan Ilyas (2008) antara lain :

a. Teori Hemholtz yaitu Zonula Siliaris

kendor akibat kontraksi otot siliar sirkuler lensa yang elastis menjadi

cembung dan diameter menjadi kecil.

b. Teori Tsernig yaitu bahwa nukleus lensa

tidak dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah

bagian lensa superfisial atau korteks lensa pada waktu akomodasi

terjadi tegangan pada Zonula Siliaris sehingga nukleus lensa terjepit

dan bagian lensa superfisial di depan nukleus akan mencembung.

Kemudian cahaya diterima oleh fotoreseptor pada retina dan dirubah

menjadi aktivitas listrik dan diteruskan ke kortek. Serabut-serabut saraf optikus

terbagi di optik chiasma (persilangan saraf mata kanan dan kiri), bagian medial

dari masing-masing saraf bersilangan pada sisi yang berlawanan dan impuls

diteruskan ke korteks visual.

3. Refraksi

Pada orang normal (emetropia) susunan pembiasan oleh media penglihatan

dan panjang bola mata demikian seimbang sehinnga bayangan benda setelah

melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea (Ilyas, 2008).

Individu dengan mata emetropia dapat melihat jarak jauh dengan jelas tanpa

berakomodasi (Bruce, et al, 2003).


Gambar 2. Mata Normal (emetropia)
(Sumber : www.fr.academic.ru, 2008)

Pada mata emetropia terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan

sinar dengan panjang bola mata. Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar

ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola

mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding media

penglihatan mata lainnya. Lensa memegang peranan terutama pada saat

melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.

Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan

pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan

panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat

terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia (Ilyas, 2008). Menurut

Wilson (2005), terdapat 3 keadaan yang menyebabkan ametropia, yaitu :

a. Miopia

b. Hipermetropia

c. Astigmat
Menurut Ilyas (2008), miopia terjadi bila titik fokus sistem optik media

penglihatan terletak di depan makula lutea. Hipermetropia terjadi bila sinar

sejajar difokuskan di belakang makula lutea. Sedangkan astigmat adalah suatu

keadaan dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan dengan kekuatan yang sama

pada seluruh bidang pembiasan sehingga fokus pada retina tidak pada satu titik.

4. Kelainan Refraksi Miopia

Rabun jauh atau myopia adalah sebuah kondisi penglihatan yang sering

terjadi dimana seseorang dapat melihat benda dekat secara jelas, tetapi benda yang

jauh terlihat tidak jelas (Mayo Clinic Staff, 2010). Pada pasien miopia tajam

penglihatan mereka selalu kurang dari 5/5 (Ilyas, dkk, 2002).

Gambar 3. Titik fokus pada miopia


(Sumber : www.eyecare2020.com, 2008)

Hampir semua orang miopia terlahir dengan penglihatan normal dan

berkembang menjadi miopia karena cara mereka menggunakan matanya dalam

kehidupan. Miopia seperti ini disebut miopia dapatan karena terjadi setelah mata

normal (The Myopia Myth, 2007). Terdapat dua etiologi yang berkaitan dengan

miopia, yaitu karena faktor genetik dan lingkungan. Menurut American Academy
of Ophtalmology Staff. (2007), keduanya antara faktor genetik dan faktor

lingkungan memegang peranan penting dalam perkembangan miopia. Salah satu

contoh kasus faktor genetik dari penelitian Weiss (2003) didapatkan bahwa

miopia unilateral yang tinggi pada seorang anak dengan riwayat keluarga

memiliki miopia bilateral tinggi yang kuat menunjukkan bahwa hemifacial

microsomia mengimbangi kecenderungan genetik dari mata ipsilateral untuk

berkembang secara berlebihan.

Prevalensi miopia (-0,75 D atau lebih) terhitung sejumlah 9% pada anak-

anak di Amerika Serikat antara umur 5 sampai 17 tahun. Sebuah penelitian meta-

analysis berdasarkan populasi, ditemukan prevalensi miopia sebesar 25% pada

orang diatas usia 40 tahun (American Academy of Ophtalmology Staff, 2007).

Menurut Ilyas (2004), terdapat tiga perjalanan penyakit miopia :

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah

dewasa.

b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus

setelah dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.

c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif,

yang dapat mengkibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan

miopia pernisiosa.

Dan menurut derajat keparahannya, Ilyas (2008) membagi menjadi tiga :

a. Miopia dengan derajat ringan yaitu 1-3

dioptri.
b. Miopia dengan derajat sedang yaitu 3-6

dioptri.

c. Miopia dengan derajat berat yaitu lebih

dari 10 dioptri.

Penegakan diagnosis dilakukan oleh dokter ahli mata atau spesialis mata

dengan memeriksa gejala yang timbul dan dengan alat uji yang dilakukan untuk

mengetahui penanganan yang tepat pada pasien miopia.

Menurut Mayo Clinic Staff. (2010), gejala miopia dapat berupa :

a. Penglihatan benda yang jauh menjadi kabur.

b. Harus mengerlingkan mata untuk melihat benda

agar terlihat jelas.

c. Nyeri kepala yang disebabkan akomodasi kuat

yang sering.

Miopia sering pertama kali terdeteksi pada masa anak-anak dan paling

sering selama masa awal sekolah hingga akhir remaja. Seorang anak dengan

miopia akan menunjukkan gejala :

a. Sering mengerlingkan mata.

b. Harus duduk sangat dekat pada televisi

atau papan tulis agar dapat melihat dengan jelas.

c. Membaca buku sangat dekat ketika

membaca.
d. Kurang waspada pada obyek-obyek yang

jauh.

e. Sering mengedipkan mata.

f. Sering mengusap mata.

Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih

dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan

konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila

kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau

esotropia (Ilyas, 2008).

Pengujian yang dilakukan pada pasien kelainan refraksi adalah :

a. Uji pinhole atau uji lubang kecil yang

dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam penglihatan

diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media

penglihatan, atau kelainan retina lainnya.

b. Uji refraksi yang dilakukan dengan

memeriksa tajam penglihatan mata satu persatu dengan Tes Snellen

yang dilakukan pada jarak jauh dan Tes Jaeger yang dilakukan pada

jarak dekat.

c. Uji fogging technique yaitu setelah

pasien dikoreksi untuk hipermetropi atau miopia yang ada, maka tajam

penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam


penglihatan berkurang 2 baris pada kartu snellen, misalnya dengan

menambah lensa sferis positif 3.

5. Radiasi Televisi

Data tahun 2002 mengenai jumlah jam menonton televisi pada anak di

Indonesia adalah sekitar 30-35 jam / minggu atau 1.560-1.820 jam / tahun .

Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak

sampai 1.000 jam / tahun (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).

Salah satu penyebabnya adalah perkembangan teknologi yang lebih

menarik minat anak. Dan dengan seringnya membaca atau bermain dengan obyek

pada jarak yang dekat, misalnya bermain videogame atau play stasion, membaca

komik dengan huruf dan gambar yang kecil sehingga mau tidak mau harus

didekatkan supaya mendapatkan gambar yang jelas. Sekarang dengan adanya

ponsel yang dapat untuk bermain videogame dan untuk menonton film, juga

berpengaruh terhadap penglihatan anak-anak (Hnerviadi, 2008).

Seringnya menonton televisi dapat memberikan pengaruh yang buruk pada

mata anak. Televisi memancarkan sinar biru yang juga dihasilkan oleh matahari,

namun sinar biru ini berbeda dengan sinar ultra violet. Sinar biru tidak membuat

mata mengedip secara otomatis. Parahnya, sinar biru langsung masuk ke retina

tanpa filter. Panjang gelombang cahaya yang dihasilkan adalah 400-500nm

sehingga berpotensi memicu terbentuknya radikal bebas dan melukai fotokimia

pada retina mata anak (Mimpsy, 2009). Total sinar biru televisi yang diterima
anak tergantung pada dua faktor, yaitu total waktu menonton televisi per hari dan

jarak saat menonton televisi (Anonim, 2008).

B. Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang mempengaruhi :


Umur
Lama Genetik
Menonton Televisi

Kemampuan Progresivitas Miopia


Akomodasi Menurun

Relaksasi Otot Siliar Bola Mata Memanjang


C. Hipotesis

Terdapat pengaruh antara lamanya intensitas dan jarak menonton televisi

terhadap progresivitas miopia pada anak.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Pada penelitian ini digunakan desain penelitian deskriptif analitik secara cross

sectional (potong lintang). Desain penelitian ini diambil karena pengamatan

dilakukan satu kali untuk setiap obyek pada satu waktu.

B. Populasi dan Sampel

Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa –

siswi SMP Negeri 2 Cirebon yang berusia dibawah 15 tahun dan memiliki

kelainan refraksi miopia.

Kriteria inklusi adalah kriteria subyek penelitian yang masuk dalam sampel

dan dapat terjangkau.

Kriteria inklusi :

1. Siswa – siswi yang memiliki kelainan refraksi miopia

2. Berusia dibawah 15 tahun pada saat penelitian dilakukan

3. Bersedia menjadi subyek penelitian

Kriteria eksklusi adalah beberapa subyek penelitian yang masuk dalam kriteria

eksklusi harus dikeluarkan.

Kriteria eksklusi :

1. Subyek dengan pemakaian atropin (sikloplegi)

2. Subyek yang pernah dilakukan bedah refraksi


C. Identifikiasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : lama menonton televisi

2. Variabel tergantung : progresivitas derajat miopia

D. Definisi Operasional Penelitian

1. Intensitas menonton televisi

Intensitas menonton televisi adalah faktor lamanya menonton televisi

setiap harinya yang dihitung dalam jam, dengan ketentuan :

a. Intensitas rendah : menonton televisi < 2 jam

b. Intensitas sedang : menonton televisi 2 – 4 jam

c. Intensitas tinggi : menonton televisi > 4 jam

2. Progresivitas derajat miopia

Progresivitas miopia adalah peningkatan derajat miopia yang dihitung

sejak awal masuk SMP hingga pada saat penelitian dilakukan, dengan

ketentuan :

a. Meningkat : jika terjadi peningkatan derajat miopia

b. Menetap : jika derajat miopia tidak ada perubahan

c. Menurun: jika terjadi penurunan derajat miopia

E. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner

F. Jalannya Penelitian

1. Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan

izin untuk melakukan penelitian di SMP Negeri 2 Cirebon.


2. Peneliti membagikan kuesioner untuk dijawab oleh responden

terpilih.

3. Kuesioner yang telah dijawab, dikumpulkan dan dianalisis.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

Instrumen penelitian dengan penggunaan kuesioner telah dilakukan uji

validitas dan reliabilitas.

H. Teknik Analisis Data

Data tersebut diolah dan dianalisa secara statistik menggunakan uji chi-square,

yaitu metode yang digunakan untuk menganalisa pengaruh antara variabel bebas

dengan variabel tergantung. Analisa tersebut menggunakan program komputer

SPSS 15.0 for windows.

I. Etika Penelitian

Penelitian ini tetap memperhatikan etika dalam melakukan sebuah penelitian.

Untuk tetap melindungi hak-hak responden, maka responden diberi kebebasan

untuk bersedia menjadi subjek penelitian atau tidak dengan cara responden

mengisi lembar persetujuan yang merupakan sebuah bukti bahwa subyek bersedia

dan menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 2 Cirebon pada tanggal 7 Agustus

2010. Subyek penelitian ini adalah siswa siswi SMP Negeri 2 Cirebon yang

berumur dibawah 15 tahun dan menggunakan kacamata.

Pengambilan data dilakukan dengan memberikan kuesioner pada seluruh

anak yang berkacamata. Kuesioner berisikan 9 pertanyaan untuk mendapatkan

data pengaruh lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas miopia

pada anak. Setelah disaring berdasar kriteria inklusi dan eksklusi, diperoleh

responden sejumlah 38 orang.

Dari 38 orang yang menjadi responden dilakukan uji analisis

menggunakan uji chi-square. Dengan uji tersebut didapatkan bahwa tidak terdapat

pengaruh yang signifikan secara statistik p = 1 ( p > 0,05) antara semakin tinggi

intensitas menonton tv terhadap kenaikan derajat miopia pada anak.


Tabel 1. Frekuensi Progresivitas Miopia Terhadap Intensitas Menonton Televisi

Progresivitas Miopia
Intensitas Menurun Menetap Meningkat
N % N % N %
Rendah 2 5,27 3 7,89 10 26,31
Sedang 1 2,63 6 15,79 14 36,85
Tinggi 0 0 1 2,63 1 2,63
Total 3 7,9 10 26,31 25 65,79

Dari 38 responden yang diteliti, terdapat 2 (5,27%) responden yang

menonton televisi dengan intensitas rendah dan progresivitas miopia menurun, 3

(7,89%) responden dengan intensitas rendah dan derajat miopia yang menetap,

dan 10 (26,31%) responden dengan intensitas rendah dan derajat miopia yang

meningkat. Responden yang menonton televisi dengan intensitas sedang yang

mengalami penurunan derajat miopia berjumlah 1 (2,63%), yang menetap

berjumlah 6 (15,79%), dan yang meningkat berjumlah 14 (36,85%). sedangkan

responden yang menonton televisi dengan intensitas tinggi dan mengalami

penurunan derajat miopia berjumlah 0 (0%), yang menetap berjumlah 1 (2,63%),

dan yang meningkat berjumlah 1 (2,63%).

Tabel 2. Frekuensi Progresivitas Miopia Menurut Umur


Progresivitas
Umur Menurun Menetap Meningkat
N % N % N %
12 tahun 3 7,89 2 5,27 7 18,42
13 tahun 0 0 6 15,79 11 28,94
14 tahun 0 0 2 5,27 7 18,42
Total 3 7,89 10 26,33 25 65,78
Dari keseluruhan 38 responden didapatkan 3 (7,89%) responden yang

berumur 12 tahun dan derajat miopia menurun, 2 (5,27%) responden menetap, dan

7 (18,42%) responden meningkat. Dari responden yang berumur 13 tahun terdapat

penurunan derajat miopia berjumlah 0 (0%), derajat miopia yang menetap

berjumlah 6 (15,79%), dan derajat miopia yang meningkat berjumlah 11 (28,94%)

responden. Dan dari responden yang berumur 14 tahun terdapat penurunan derajat

miopia berjumlah 0 (0%), derajat miopia yang menetap berjumlah 2 (5,27%), dan

derajat miopia yang meningkat berjumlah 7 (18,42%) reponden.

Tabel 3. Frekuensi Progresivitas Miopia Menurut Jenis Kelamin


Progresivitas
Jenis
Menurun Menetap Meningkat
Kelamin
N % N % N %
Laki – laki 0 0 2 5,27 8 21,05
Perempuan 3 7,89 8 21,05 17 44,74
Total 3 7,89 10 26,32 25 65,79

Frekuensi laki – laki berbanding perempuan dalam penelitian ini adalah

1:2,8. dengan laki – laki yang mengalami penurunan derajat miopia berjumlah 0

(0%), derajat miopia yang menetap berjumlah 2 (5,27%), dan derajat miopia yang

meningkat berjumlah 8 (21,05%). Perempuan yang mengalami penurunan derjat

miopia berjumlah 3 (7,89%), derajat miopia yang menetap berjumlah 8 (21,05%),

dan yang mengalami peningkatan berjumlah 17 (44,74%) responden.


Tabel 4. Frekuensi Progresivitas Miopia Terhadap Jarak Menonton Televisi
Progresivitas
Jarak Menurun Menetap Meningkat
N % N % N %
<1meter 2 5,27 2 5,27 6 15,78
1-2meter 1 2,63 7 18,42 19 50
>2meter 0 0 1 2,63 0 0
Total 3 7,9 10 26,32 25 65,78

Dari 38 responden dalam penelitian ini, didapatkan responden yang

menonton televisi dengan jarak kurang dari 1 meter antara televisi terhadap mata

dan mengalami penurunan derajat miopia berjumlah 2 (5,27%), derajat miopia

yang menetap berjumlah 2 (5,27%), dan derajat miopia yang meningkat berjumlah

6 (15,78%). Dengan jarak menonton 1 sampai 2 meter, responden yang

mengalami penurunan derajat miopia berjumlah 1 (2,63%), derajat miopia yang

menetap berjumlah 7 (18,42%), dan yang mengalami peningkatan berjumlah 19

(50%). Sedangkan dengan jarak menonton lebih dari 2 meter hanya didapatkan 1

(2,63%) responden dan dengan derajat miopia yang menetap.

Riwayat Keturunan

31,58
Ya

Tidak
68,42

Gambar 1. Riwayat Keturunan Penderita Miopia


Dari 38 responden didapatkan 26 (68,42%) memiliki riwayat keturunan

miopia dan 12 (31,58%) responden tidak memiliki riwayat keturunan miopia.

B. PEMBAHASAN

Perkembangan miopia dapat terjadi karena dua faktor yang

mempengaruhinya, genetik dan lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan

penelitian terhadap pengaruh dari lamanya intensitas menonton televisi terhadap

progresivitas miopia yang termasuk dalam faktor lingkungan, dengan mengambil

subyek penelitian anak – anak yang berusia dibawah 15 tahun yang menderita

miopia. Dikarenakan miopia yang terdapat pada anak – anak akan memburuk

hingga usia 15 atau 16 tahun (Kate, 2004). Intensitas menonton televisi dalam

penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Intensitas rendah dengan lama

menonton kurang dari 2 jam, intensitas sedang dengan lama menonton antara 2

hingga 4 jam, dan intensitas tinggi dengan lama menonton lebih dari 4 jam. Untuk

progresivitas miopia, peneliti mengklasifikasikannya menjadi tiga bagian.

Progresivitas yang menurun, menetap, dan meningkat.

Pada penelitian ini didapatkan 10 (26,31%) responden yang mengalami

peningkatan derajat miopia dengan intensitas menonton rendah. Setelah dilakukan

analisis dengan uji chi square, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat pengaruh

yang signifikan antara lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas

miopia. Khader YS, dkk (2006) juga mengungkapkan hasil yang sama pada

penelitiannya bahwa menghabiskan waktu rata – rata 1,7 jam di depan televisi per

hari tidak berpengaruh secara signifikan terhadap progresivitas miopia. Hal


tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama adalah faktor lain diluar

penelitian yang menyebabkan progresivitas miopia pada responden terjadi, seperti

menggunakan komputer dalam jarak yang dekat dan waktu yang lama, dan

membaca yang terlalu dekat dengan kondisi cahaya kurang. Kedua adalah

dikarenakan menonton televisi dalam jangka waktu yang lama hanya akan

menimbulkan kelelahan pada mata, bukan memperberat atau menambah derajat

miopia yang dimiliki.

Pada saat menggunakan komputer dan membaca dengan jarak yang dekat

dalam waktu yang lama menyebabkan bola mata mendapat tekanan otot yang

berkepanjangan. Hal ini menyebabkan sumbu bola mata semakin memanjang,

sehingga titik fokus bayangan yang dibentuk jatuh semakin jauh didepan retina,

sehingga derajat miopia yang diderita akan bertambah. Setiap 1 jam penggunaan

komputer atau membaca buku dapat berpengaruh terhadap meningkatnya derajat

miopia hingga 24 % (Khader YS, dkk , 2006).

Didapatkan 68,42 % responden pada penelitian ini memiliki riwayat

keturunan orang tua yang menderita miopia, baik itu dari kedua orang tua, dari

ayah, ataupun dari ibu. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor yang terkait genetik x

secara heretozigot dari ibu atau pihak wanita. Prevalensi tertinggi miopia pada

anak – anak adalah dengan orang tua yang menderita miopia derajat tinggi

(Weiss, 2003).

Wanita memiliki panjang aksial bola mata yang lebih tinggi, dan memiliki

bilik vitreus yang lebih dalam dari pada pria. Hal ini memungkinkan pada wanita
memiliki prevalensi miopia lebih tinggi dari pria. Pada penelitian ini didapatkan

hasil yang serupa dengan perbandingan jumlah perempuan penderita miopia 2,8 :

1 terhadap laki-laki dengan miopia.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari penelitian terhadap 38 anak yang dilakukan di SMP Negeri 2 Cirebon

tentang pengaruh intensitas lamanya menonton televisi terhadap progresivitas

miopia dapat diambil kesimpulan tidak terdapat hubungan secara signifikan atau

bermakna antara intensitas lamanya menonton televisi terhadap progresivitas

miopia pada anak.

B. SARAN

1. Saran untuk subyek penelitian

• Sebaiknya anak yang menderita miopia lebih manjaga kesehatan matanya

dengan tidak memaksakan kerja mata dalam waktu yang lama tanpa

istirahat.

• Lebih banyak mengedipkan mata ketika berhadapan dengan televisi dalam

jangka waktu yang lama agar tidak menyebabkan kekeringan pada mata.

2. Saran untuk peneliti selanjutnya

• Penelitian yang selanjutnya dilakukan hendaknya menggunakan

sample yang lebih besar dengan rentang umur yang lebih panjang.

• Meneliti lebih banyak faktor yang berhubungan dengan progresivitas

miopia.

Anda mungkin juga menyukai