Anda di halaman 1dari 5

MAHKUM FIH (OBYEK HUKUM) Pengertian Mahkum Fih Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf

yang menjadi obyek hukum syara (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam SyafeI, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syari. Syarat-Syarat Mahkum Fih Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan: 1) 2) 3) 4) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang Tercapainya syarat taklif tersebut (SyafeI, 2007: 320) dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak. ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain. berhubungan dengan fitrah manusia. Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:

Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh

tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf. Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123). Macam-Macam Mahkum Fih Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara: 1) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara. Seperti makan dan minum. 2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. 3) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara serta mengakibatkan hukum syara yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa. Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu: 1) Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. 2) Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak. 3) Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.

4) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafei: 2007: 331) MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM) Pengertian Mahkum Alaih Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (SyafeI, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah. Syarat-syarat Mahkum Alaih Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157158) Pembagian kemampuan Kemampuan dibagi dua: 1. Kemampuan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah wujud selanjutnya kemampuan menerima). Yang dimaksud dengan kemampuan ini, ialah kepatuhan seorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Dasar kemampuan menerima Dasarnya ialah kemanusiaan. Selama kemanusiaan ada, yaitu selama masih hidup, maka kemampuan tersebut tetap dimiliki. Kemampuan menerima dibagi dua:

1)

Kemampuan menerima tidak penuh, yaitu bagi bayi yang

belum dilahirkan mengingat ia tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia dapat menerima hak-hak yang tidak memerlukan penerimaan (qabul), seperti menerima waris, nasab dan lain-lain. Tetapi ia tidak mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kalau walinya memberikan sesuatu (bayi), maka yang terakhir ini tidak diwajibkan membayar dari hartanya, tetapi wali sendiri yang membayarnya. 2) Kemampuan menerima Ia penuh, dapat yaitu menerima ini yang dimiliki dimiliki dan selama seseorang sesudah kewajiban-kewajiban dilahirkan. hak-hak

sepenuhnya. Kemampuan

hidupnya. Meskipun ia kehilangan akal ataupun gila terus menerus. Yang dimasud dengan yang melaksanakan. 2. Kemampuan berbuat (ahliyyah adaa) Yang dimaksud dengan kemampuan berbuat, ialah keputusan seseorang untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Kalau ia berpuasa (perbuatan), puasa ini sah, dan ia terkait dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari perbuatan tersebut. a. Dasar kemampuan berbuat: Dasarnya ialah berakal, artinya karena seseorang sudah berakal maka ia diberi, kemampuan berbuat. Tetapi karena berakal adalah sesuatu yang tidak nampak jelas, maka kedewasaan (bulugh) yang dijadikan ukurannya, yang dapat diketahui dari tanda-tanda yang biasa dikenal atau dari umurnya, kurang lebih 15 tahun. b. Kemampuan dibagi dua: 1) Kemampuan berbuat tidak penuh, yaitu bagi kanak-kanak yang sudah tamyiz, yang dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, berguna atau tidaknya, tetapi pengetahuan tersebut belum kuat. 2) Kemampuan berbuat yang penuh, yaitu bagi orang-orang yang sudah dewasa. Adapun kanak-kanak sebelum tamyiz tidak mempunyai kewajiban yang dikenakan terhadap harta bendanya. Karena belum sempurna akal dan badannya, maka walinya

kemampuan berbuat sama sekali. Demikian kandungan.

juga yang masih dalam

DAFTAR PUSTAKA
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta Syafei, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya Hanafie, M.A, 1963, Usul Fiqih, Jakarta: PT. Bumi Restu. Al-Khudhori Biek, Syekh Muhammad, 1982, Terjemah Ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah.

Anda mungkin juga menyukai