Anda di halaman 1dari 27

Pengaruh nutrisi terhadap penyembuhan luka BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Definisi Menurut Soekirman, status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu.
(7)

Menurut I Dewa Nyoman S, status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tetentu.(2) Status gizi merupakan suatu rangkaian interval dari pasien dengan nutrisi yang baik sampai pasien kakexia. Pasien malnutrisi yang parah akan mudah menjadikan terjadinya luka terbuka, infeksi, kebocoran anastomosis luka, dan komplikasi lainnya. Beberapa tekhnik dari pengukuran status gizi dapat mengestimasi status pasien dari spektrum gizi ini.(5) Kebanyakan membutuhkan penderita yang akan dibedah gizi. tidak Pada

perhatian

khusus

untuk

masalah

umumnya, mereka dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan penyakit dan pembedahannya. Akan tetapi, tidak jarang juga penderita datang dalam keadaan gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita penyakit saluran cerna, keganasan, infeksi kronik, dan trauma berat. 2.2 Pengukuran Status Gizi Pengukuran gizi telah dijelaskan secara komprehensif untuk menentukan status gizi menggunakan pendekatan riwayat medis, nutrisi, dan pengobatan; pemeriksaan fisik, pengukuran
(8)

antropometrik, laboratorium, dan pertimbangan ahli. Pengukuran gizi pasien secara komprehensif meliputi evaluasi riwayat pasien dari pola makan, pantangan makan, perubahan berat badan, dan pengaruh lain yang mempengaruhi intake atau absorpsi nutrisi. Pengukuran tubuh untuk komposisi tubuh, status cairan, dan tanda juga gejala defisiensi nutrisi, tes biokmia, seperti albumin, prealbumin, dan transferin. Analisis komposisi tubuh, kekuatan genggaman, dan hipersensitifitas kulit yang tertunda. Meskipun begitu, banyak dari pemeriksaan ini (seperti albumin dan kekuatan genggaman) tidak praktis digunakan pasca operasi.
(10)

Tekhnik skrining yang paling efektif meliputi riwayat dan pemeriksaan fisik yang adekuat dengan identifikasi penurunan berat badan yang tidak disengaja. Korelasi yang kuat muncul antara buruknya tingkat protein dan komplikasi pascaoperasi setelah operasi % dan gastrointestinal. adanya Penurunan berat badan yang yang tidak disengaja lebih dari 10 % dalam 6 bulan terakhir atau lebih dari 20 kebutuhan
(5)

metabolik

meningkat

mengindikasikan adanya resiko gangguan gizi. 2 (dua) perhitungan yang biasa digunakan ialah:

Gejala lainnya seperti nyeri perut, diare kronis, anoreksia, atau letargi biasanya menyertai perubahan klinis ini dalam berat badan. Pengukuran antropometri dengan berat dan tinggi badan sudah cukup adekuat. Ketebalan kulit untuk menentukan massa lemak, pengumpulan urin untuk menilai indeks kreatinin-tinggi badan, dan tekhnik spesifik lainnya tidak lagi digunakan secara umum. Pengukuran dari status immunologis dengan hitung limfosit perifer total atau transformasi limfosit tidak spesifik untuk defisiensi gizi dan dapat juga ditemukan pada keadaan lain seperti infeksi yang parah.
(5)

2.2.1 Wawancara Pasien, Keluarga, Atau Perawat Pasien

Setelah memeriksa rekam medis pasien, wawancara singkat dengan keluarga dekat pasien mengenai riwayat diet pasien akan sangat berharga. Sebagai contoh, kecenderungan kehilangan berat badan yang tidak disengaja harus lebih dahulu dicatat, contohnya pada pasien yang obes, merupakan petunjuk yang penting intake nutrisi yang tidak optimal dalam waktu yang lama. Dalam kasus lain, pasien yang kurus yang kelihatan malnutrisi namun memang memiliki berat badan kurang dalam waktu yang lama. Praktisi kesehatan juga perlu menanyakan pantangan dalam diet, dengan mengetahui makanan yang dipantangnya maka
(11)

akan

dapat

mengarah ke arah defisiensi beberapa nutrisi. 2.2.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat berguna dalam mengkonfirmasi kecurigaan adanya defisiensi gizi. Praktisi kesehatan harus melihat tanda dari kehilangan otot dan lemak, penyembuhan luka yang lama, buruknya integritas kulit, dan tanda lainnya dari defisiensi gizi sebagai data yang objektif dalam menentukan adanya malnutrisi. 2.2.3 Proses Penyakit Proses penyakit juga harus dipertimbangkan ketika
(11)

mempertimbangkan pilihan nutrisi suportif untuk pasien-pasien tertentu. Nutrisi suportif baik secara parenteral maupun enteral dapat membuat terjadinya risiko komplikasi yang dapat melebihi nilai manfaatnya pada beberapa pasien. Klinisi harus mengevaluasi beberapa faktor, termasuk keinginan pasien dan prognosis, tingkat keparahan penyakit, waktu durasi yang diantisipasi ketika nutrisi tidak dapat diberikan per oral, risiko yang dapat ditimbulkan dari akses nutrisi suportif dan infus, dan dampak potensial jika tidak diberikan nutrisi.
(12)

2.2.4 Malnutrisi

Malnutrisi

berat

mempengaruhi

morbiditas

karena

terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun, malnutrisi protein-kalori yang ringan tidak banyak memengaruhi kelaparan, hasil pada operasi. penderita Berbeda bedah dengan terdapat malnutrisi akibat

beberapa faktor lain yang menyebabkan malnutrisi. Dua faktor utama adalah kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.(8),(9) Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman. Ini dapat berupa diet yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung, atau secara intravena.(8) Diet juga dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada penderita diabetes. Penderita kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang kurang mengandung lemak. Contoh lain adalah diet tinggi serat untuk penderita obstipasi dan diet rendah kalori untuk penderita obesitas. Diet khusus kalori dan protein telur tinggi dibutuhkan oleh penderita malnutrisi kronik yang mampu makan secara normal.
(8)

Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita dengan obstruksi esofagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti pada patah tulang rahang.
(8)

Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia, atau terdapat gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang mengakibatkan proses faali itu tak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna bisa sangat terganggu sehingga proses pencernaan dan penyerapan sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Keadaan ini disebut kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada sindrom usus pendek akibat reseksi sebagian

besar ileum dan yeyunum, fistel usus, gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan usus yang luas seperti pada penyakit Crohn dan kolitis ulserosa. Pada kasus khusus dan sulit ini diperlukan tambahan nutrisi secara enteral atau parenteral.
(8)

2.3 Perubahan Pada Pasien Bedah 2.3.1 Perubahan Fisiologis Pada Pasien Bedah Telah dibuktikan bahwa permeabiltas usus meningkat 2 (dua) sampai 4 (empat) kali pada periode segera pascaoperasi, dan normalnya berlangsung selama 5 hari. Akhir-akhir ini kurangnya nutrisi berhubungan tinggi dengan dari peningkatan Penemuan permeabilitas ini mengarah dan ke menurunnya mukosa villus.

investigasi dari penatalaksanaan yang bertujuan menjaga barrier yang intak. Meningkatnya dari fungsi permeabilitas barrier usus usus untuk mengindikasikan satu agen kegagalan dalam

mengeluarkan bakteri dan toksin endogen. Hal ini menjadi salah penyebab systemic inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ multipel. Meskipun, terdapat kegagalan untuk menunjukan bahwa terdapat korelasi antara rusaknya fungsi barrier usus dan komplikasi sepsis setelah kegagalan gastrointestinal bagian atas.(6) 2.3.2 Perubahan Metabolik Pada Pasien Bedah Tubuh memproduksi respon khas terhadap luka karena trauma, operasi elektif, atau inflamasi. Semakin ringan cedera, responnya akan semakin tumpul dan cepat hilang, sedangkan semakin besar luka yang didapat, maka respon yang muncul akan semakin lama dan parah khususnya jika komplikasinya muncul. Respon tersebut akan meningkatkan tingkat metabolisme, sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi sitokin proinflamasi, dan retensi cairan. Retensi cairan dan output urin yang rendah

disebabkan bertambahnya sekresi vasopresin dan mineralokortikoid sebagaimana meningkatnya edema usus disebabkan meningkatnya permeabilitas. pascaoperasi Pemulihan sejalan pascaoperasi menurunnya tanpa respon komplikasi endokrin. mempunyai hasil diuresis cairan ini pada hari ketiga dan keempat dengan Hiperglikemia terjadi disebabkan oleh supresi katekolamin dari sekresi insulin oleh pankreas (efek sentral) dan inhibisi uptake glukosa oleh jaringan perifer dalam responnya terhadap kadar sirkulasi insulin (efek perifer).
(5),(6)

Setiap respon tersebut memiliki manfaat yang khusus seperti retensi garam dan air yaitu untuk menjaga volume darah, meningkatnya produksi glukosa hepar yaitu untuk menyediakan "tenaga" yang cukup, dan mobilisasi dari asam amino untuk glukoneogenesis, produksi protein hepar, proliferasi fibroblas, dan regulasi imunologi. Perubahan kecepatan katabolisme protein, khususnya pretein otot. Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar. Kortisol merangsang glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis
(5)

protein

dan

efek

potensial

katekolamin pada hepar.

Hormon lain disekresi sebagai respon terhadap luka. Arginine vasopresin (yang awalnya diketahui sebagai antidiuretik hormon (ADH)), meningkatkan absorpsi air dan stimulasi glikogenesis hepar dan glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkatkan glikolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis. Insulin like growth factor-I (IGF-I) dan Growth Hormone (GH) menurun, dan hal ini menginduksi
(5)

ketidakseimbangan dalam regulasi hormon mengarah penurunan hormon anabolik dan percepatan kehilangan jaringan. Respon stress berbeda dengan kelaparan

tanpa

luka.

Kelaparan mengurangi pengeluaran energi dan meningkatkan lipogenesis dan produksi keton bodies. Namun tidak berkembang menjadi respon protein fase akut. Stress meningkatkan pengeluaran

energi, mempercepat produksi protein hepar, merangsang respon protein fase akut, dan mempercepat proteolisis tanpa produksi keton bodies. Asam lemak, keton bodies, dan gliserol merupakan substrat energi utama dalam kelaparan dan terjadi pada 95% kebutuhan awal. Dalam keadaan stres, asam amino merupakan sumber yang penting dari produksi glukosa melalui glukoneogenesis hepar. Protein menyediakan 15-20 % energi, padahal lemak menyediakan energi sampai 80-85%.
(5)

Kondisi hipermetabolik yang lebih lama dapat berhubungan dengan keseimbangan nitrogen yang negatif yang muncul kemudian. Tingkat metabolik biasanya meningkat sekitar 10% pasca operasi. Jika dukungan gizi yang memadai tidak ada pada tahap ini akan terjadi proteolisis dari otot rangka yang berlebihan dan terjadi depresi metabolisme yang lebih lanjut. Peningkatan pengeluaran energi dikaitkan dengan berbagai tanggapan hormonal yang terjadi sebagai akibat dari trauma bedah. Sitokin, termasuk Tumor Necrotizing Factor (TNF) dan interleukin (IL-1 dan IL-6) memiliki peran penting dalam menentukan perubahan metabolik jangka panjang. Perubahan ini tidak relevan secara klinis, kecuali terjadinya sepsis pasca bedah atau trauma setelah operasi tetapi dalam hubungannya dengan kelaparan preoperatif sering
(6)

mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif secara signifikan. 2.3.3 Peran Usus Dalam Pertahanan Tubuh

Sebagian besar konsensus menyatakan bahwa nutrisi harus diberikan melalui saluran gastrointestinal daripada parenteral bila memungkinkan. Konsensus ini dihasilkan dari berbagai percobaan klinis prospektif acak pada pasien trauma dan pasien bedah umum. Hasil eksperimental yang signifikan telah mendokumentasikan bahwa terjadi perubahan dalam histologi pencernaan serta imunitas mukosa ketika saluran pencernaan tidak diberikan makanan.
(5)

Perlindungan sistemik dan intraperitoneal juga dipengaruhi oleh rute pemberian gizi. Nutrisi enteral akan mengurangi kematian bakteri intraperitoneal dibandingkan dengan hewan yang diberi makan diet parenteral isonitrogen dan isokalorik. Studi-studi awal telah dikonfirmasi oleh Lin dan rekan-rekannya, yang menunjukkan bahwa makanan enteral pada tikus menghasilkan peningkatan TNF intraperitoneal dan inhibisi proliferasi bakteri. Hal ini menghasilkan respon sistemik TNF yang tumpul terhadap sepsis intraperitoneal. Temuan ini telah dikonfirmasi oleh Fong dan rekan pada subyek manusia. Ketika nutrisi parenteral diberikan secara infus maka sebenarnya diberikan pula endotoksin, respon TNF ditingkatkan pada individu yang diberikan nutrisi secara parenteral dibandingkan dengan mereka yang makan secara enteral. Sehingga pada beberapa aspek, rute pemberian nutrisi secara enteral lebih tetap disukai.(5) 2.4 Kebutuhan Nutrisi Tujuan utama dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan energi untuk proses metabolisme, pemeliharaan suhu basal, dan perbaikan jaringan. Kegagalan untuk menyediakan sumber energi nonprotein yang memadai akan menyebabkan penggunaan cadangan jaringan tubuh. Kebutuhan untuk energi dapat diukur dengan kalorimetri secara langsung atau diperkirakan dari ekskresi nitrogen urin, yang sebanding dengan pengeluaran energi selama istirahat. Namun, penggunaan kalorimetri secara tidak langsung, terutama pada pasien yang sakit kritis, sering mengarah kepada perhitungan yang terlalu tinggi dari kebutuhan kalori.
(1)

Untuk

menentukan

kebutuhan

kalori

harus

diketahui
(1),(5),(8)

metabolisme basal, sedangkan untuk menentukan basal energy expenditure (BEE) ini digunakan suatu rumus Harris-Benedict.

Rumus : (1),(5),(8) BEE (Laki-laki) = 66,47 + 13,75 (Berat badan/Kg) + 5,0 (Tinggi Badan/Cm) - 6,76 (Usia/tahun) Kkal/hari BEE (Perempuan) = 655,1 + 9,56 (Berat badan/Kg) + 1,85 (Tinggi badan/Cm) - 4,68 (Usia/tahun) Kkal/hari Persamaan ini, disesuaikan dengan jenis stres bedah, yang cocok untuk memperkirakan kebutuhan energi pada lebih dari 80% pasien rawat inap. Telah terbukti bahwa penyediaan 30 kkal / kg per hari akan cukup memenuhi kebutuhan energi pada sebagian besar pasien pascaoperasi, dengan risiko rendah kelebihan makan. Pada trauma atau sepsis, kebutuhan substrat energi meningkat, memerlukan kalori yang lebih besar melebihi pengeluaran energi nonprotein yang dihitung (Tabel 2.1). Kebutuhan tambahan kalori nonprotein ini diberikan setelah luka biasanya 1,2-2,0 kali lebih besar daripada resting energy expenditure (REE) yang dihitung, tergantung pada jenis cedera.(1) Untuk mengoreksi katabolisme yang tinggi seperti yang terjadi pascatrauma, pascabedah, pada infeksi atau sepsis, harus ditambahkan 50% atau lebih dari BEE, tetapi jangan melebihi 150% BEE. (8) Kondisi Kkal/kg per day 2530 2530 Perhitungan di atas BEE 1.1 1.2 Gram Protein/kg Kalori non per day protein: Nitrogen 1 150:1 1.2 150:1 Top of Form 120:1 90120:1 90100:1 Bottom of Form

Normal/moderate malnutrition Mild stress

Moderate stress Severe stress Burns

30 3035 3540

1.4 1.6 2

1.5 2 2.5

Tabel 2.1 Penyesuaian kalori di atas Pengeluaran Energi Basal (BEE) pada kondisi hipermetabolik.
(1)

Tujuan kedua dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan substrat untuk sintesis protein. Kalori nonprotein yang sesuai: rasio nitrogen 150:1 (misalnya, 1 g N = 6,25 g protein), harus dipertahankan, yang merupakan kebutuhan kalori basal yang diberikan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sekarang terdapat bukti yang lebih besar yang menunjukkan bahwa asupan protein meningkat, dan kalori lebih rendah: nitrogen rasio 80:1 untuk 100:1, yang mungkin memiliki manfaat penyembuhan pada pasien dengan hipermetabolik dan sakit kritis. Dengan tidak adanya disfungsi ginjal atau gangguan hati yang berat dapat dugunakan rejimen gizi standar, sekitar 0,25-0,35 g nitrogen per kilogram berat badan harus disediakan setiap hari.
(1)

Kebutuhan kalori harus dirinci. Karbohidrat sebagai sumber kalori diberikan tidak lebih dari 6 g/kgBB/hari, bila berlebihan, terjadi hipermetabolisme. Oleh karena pembatasan penggunaan karbohidrat seperti di atas, lemak digunakan juga sebagai sumber kalori, sekaligus sebagai sumber asam lemak esensial.
(8)

Penderita dengan katabolisme berat, seperti trauma ganda dan luka bakar, memerlukan nutrisi tinggi protein dan asam amino untuk mengatasi keseimbangan nitrogen yang negatif. Umumnya diperlukan 1,2-1,5 g protein/kgBB/hari.
(8)

Elektrolit dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asam basa, juga untuk metabolisme sel. Unsur Na+, K+, Mg+, Ca+, P+, Cl- sama pentingnya seperti protein dan kalori dalam proses penggantian sel yang rusak. Vitamin dan unsur runut {trace element) juga esensial untuk proses metabolisme. Dosis tinggi vitamin tertentu, seperti vitamin C atau vitamin E, memainkan peranan penting dalam pertahanan tubuh sebagai antioksidan.

Konsentrasi plasma vitamin C dan E telah ditunjukkan dapat mengurangi pasien sakit berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dibandingkan dengan sukarelawan yang sehat.
(8) (5),

Kebutuhan nutrisi dlperkirakan atas dasar kondisi klinis pasien. Penentuan status metabolik yang
(8)

lebih

tepat

dapat

didasarkan pada keselmbangan nitrogen.

2.5 Kelebihan Pemberian Nutrisi (Overfeeding) Kelebihan memberikan nutrisi biasanya disebabkan oleh kelebihan perhitungan kebutuhan kalori yang terlalu tinggi, seperti yang terjadi ketika berat badan aktual digunakan untuk menghitung BEE dalam populasi pasien seperti pasien yang sakit kritis dengan cairan overload yang signifikan dan gemuk. Kalorimetri langsung dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan energi, tetapi sering melebihi BEE dari 10% hingga 15% pada pasien stres, terutama jika pasien sedang menggunakan ventilator. Dalam hal ini, berat kering (dry weight) yang diperkirakan harus diperoleh dari anggota keluarga atau anamnesis sebelum cedera. Secara klinis, peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan produksi CO2, lemak hati, penekanan fungsi leukosit, dan meningkatkan risiko infeksi semuanya telah didokumentasikan dengan adanya kelebihan pemberian makan (overfeeding).(1) 2.6 Rute Pemberian Nutrisi Suportif 2.6.1 Nutrisi Enteral Nutrisi enteral memberi hasil lebih baik karena prosesnya berlangsung faali. Nutrisi enteral lebih disukai daripada nutrisi parenteral atas dasar kurangnya biaya yang harus dikeluarkan dan risiko yang terdapat jika diberikan secara intravena. Pemberian nutrisi secara enteral telah menghasilkan beberapa manfaat klinis

yang spesifik, termasuk mengurangi kejadian komplikasi infeksi pasca operasi dan peningkatan respon penyembuhan luka. Nutrisi enteral dapat memiliki efek menguntungkan lain, termasuk mengubah eksposur antigen dan mempengaruhi oksigenasi dari mukosa usus. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada hal ini untuk menjelaskan apakah nutrisi enteral benar-benar memodulasi fungsi usus atau apakah indikasi pemberian gizi enteral tergantung oleh bahwa pasien telah memiliki fungsi organ tubuh yang sehat kembali.
(1),(6),(8)

Pengobatan

konvensional

setelah reseksi usus

biasanya

diperlukan puasa dengan pemberian cairan intravena sampai terjadinya flatus, terutama karena kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi. Ini didasarkan pada asumsi bahwa makanan per oral tidak dapat ditoleransi pada ileus dan integritas dari anastomosis yang baru dibangun dapat mempengaruhinya juga. Namun demikian, motilitas usus kecil pulih 6-8 jam setelah trauma bedah dan absoprsi tetap ada bahkan ketika tidak adanya gerak peristaltik normal. Sejak itu telah menunjukkan bahwa pemberian makan enteral pascaoperasi pada pasien yang menjalani
(6)

reseksi

gastrointestinal aman dan dapat ditoleransi dengan baik bahkan ketika dimulai dalam waktu 12 jam dari operasi.

Pilihan diet cairan encer untuk diet pertama pascaoperasi berdasarkan teori bahwa cairan encer lebih mudah ditoleransi daripada cairan yang kental atau makanan padat pada periode dini pascaoperasi. Alasan lainnya yaitu cairan encer menyediakan rehidrasi oral dan meminimalkan sekresi pankreas dan gastrointestinal dibandingkan makanan biasa.(4) Studi prospektif acak untuk pasien dengan status gizi yang baik (albumin 4 g / dL) dan menjalani operasi pencernaan tidak menunjukkan perbedaan dalam hasil dan komplikasi bila diberikan nutrisi enteral dibandingkan dengan pemberian pemeliharaan infus

sendiri pada hari-hari pertama setelah operasi. Selanjutnya, pada studi permeabilitas usus pada pasien gizi baik yang menjalani operasi kanker gastrointestinal bagian atas menunjukkan normalisasi permeabilitas usus pada hari kelima pasca operasi. Pada kasus ekstrem yang lain, meta-analisis terbaru pada pasien sakit kritis menunjukkan penurunan 44% komplikasi infeksi pada mereka yang menerima dukungan nutrisi enteral lebih dari mereka yang menerima nutrisi parenteral. Kebanyakan studi prospektif acak untuk trauma abdomen dan toraks yang parah menunjukkan penurunan yang signifikan terjadinya komplikasi infeksi untuk pasien yang diberi nutrisi enteral awal bila dibandingkan dengan mereka yang tidak diberi makan atau menerima nutrisi parenteral. Selain itu, pemberian makanan ke lambung sejak awal setelah cedera kepala tertutup sering dihubungkan dengan makan yang kurang dan defisiensi kalori karena kesulitan mengatasi gastroparesis dan risiko tinggi terjadinya aspirasi. (1) Rekomendasi nutrisi enteral dini untuk pasien bedah dengan malnutrisi sedang (albumin = 2,9-3,5 g / dL) hanya dapat dilakukan oleh penarikan kesimpulan karena kurangnya data secara langsung berkaitan dengan populasi ini. Untuk pasien ini, pemberian nutrisi enteral diukur berdasarkan pengeluaran energi dari pemulihan pasien, atau jika timbul komplikasi yang dapat mengubah rencana pemulihan (misalnya, kebocoran anastomotic, operasi kembali, sepsis, atau kegagalan untuk disapih saat menggunakan ventilator). Keadaan klinis lain yang memperkuat nutrisi suportif enteral dapat digunakan pada penurunan neurologis permanen, disfungsi orofaringeal, short bowel syndrome, dan pasien transplantasi sumsum tulang. (1) Diet lengkap berbentuk cairan yang menghasilkan ampas terbatas, biasanya diberikan melalui pipa lambung, duodenum, atau yeyunum. Makanan dan minuman yang sudah separuh dicerna ini digunakan untuk orang yang keadaannya payah karena malnutrisi

berat, koma lama, penderita yang sedang menggunakan respirator, dan penderita sakit berat di ruang rawat intensif.
(8)

Diet dasar (elemental diet) mulai dipakai di penerbangan ruang angkasa karena hampir tidak menghasilkan ampas. Diet ini terdiri atas campuran asam amino, glukosa, dan trigliserida yang hampir tidak usah dicerna dan langsung diserap. Diet itu juga dapat diberikan melalui pipa lambung halus pada penderita sindrom usus pendek, fistel usus, atau penderita radang usus yang parah seperti kolitis ulserosa atau penyakit Crohn.
(8)

Terdapat beberapa teknik yang tersedia untuk akses enteral. Saat ini digunakan metode dan indikasi pilihan dirangkum dalam tabel 2.2.
(1)

Pilihan Akses Nasogastric Tube

Komentar Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi;

trauma nasofaring; sering menyangkut. Nasoduodenal/nasojej Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi unal rendah pada jejunum; adanya tantangan dalam menempatkannya (bantuan radiografi Percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG) sering diperlukan) Diperlukan keterampilan endoskopi; dapat

digunakan untuk dekompresi lambung atau bolus feed; risiko aspirasi; bisa bertahan 12-24 bulan; tingkat komplikasi sedikit lebih tinggi yaitu disebabkan cara penempatan dan kebocoran pada lokasi penempatan. Membutuhkan anestesi umum dan laparotomi kecil; mungkin port ; dapat dapat dibuat penempatan yang secara sebagai feeding duodenum jejunum

Operasi gastrostomi

diperpanjang Gastrostomi fluoroskopi

ditempatkan garpu T

laparoskopik Penempatan jarum

dan

jangkar ke perut; dapat menyisipkan kateter kecil melalui gastrostomy ke duodenum /

PEG-jejunal tube

jejunum menggunakan fluoroskopi Ditempatkan pada jejunum dengan endoskopi biasa yang tergantung jejunum prosedur dua pada tahap keahlian tersangkut dengan operator; retrograde; sering

penempatan PEG, diikuti dengan konversi fluoroskopi dengan tabung pengisi jejunum Direct melalui PEG percutaneousMenempatkan melalui endoskopik langsung dengan enteroscope; adanya tantangan dalam penempatan; risiko cedera lebih besar Umumnya diterapkan saat laparotomi; anestesi biasanya umum; penempatan ilaparoskopi untuk membutuhkan asisten

endoscopic jejunostomy (DPEJ) Operasi Jejunostomi

penyisipan kateter; laparoskopi menawarkan Fluoroscopic jejunostomy visualisasi langsung dari penempatan kateter Pendekatannya sulit dengan risiko cedera; tidak umum dilakukan

Tabel 2.2 Beberapa pilihan untuk akses pemberian makan secara enteral.(1) 2.6.2 Nutrisi Parenteral Nutrisi parenteral hanya diberikan bila nutrisi enteral tak dapat dilakukan, misalnya Cara Pemberian Oral Oral Diabetes, Tinggi protein Oral/enteral Lengkap cair Malnutrisi kronis kaloriOral/Parenteral obesitas kolelitiasis, obstipasi, karena kelainan gastrointestinal sedemikian berat sehingga fungsi digesti dan absorbsi terganggu. Nutrisi Makanan cair Diet khusus Contoh Indikasi Obstruksi esophagus, patah tulang rahang

Diet dasar Parenteral total

Oral/Parenteral Malnutrisi, respirasi buatan, koma yang lama, perawatan intensif Parenteral Penerbangan ruang angkasa, fistel usus, ileus, morbus Crohn, colitis Fistel, kolitis Tabel 2.3 Diet dan nutrisi khusus.(8) short bowel syndrome,

Nutrisi parenteral total terdiri atas nutrisi intravena yang mengandung semua nutrien yang diperlukan. Nutrisi ini dipakai pada penderita dengan ileus lama atau fistel usus. Nutrisi parenteral total ini melalui vena sentral, sebaiknya ujung kateter berada di v.kava superior. Pada ketiga cara khusus di atas, yaitu diet lengkap cair, diet dasar, dan diet parenteral total, diperlukan formula nutrisi khusus sehingga pencernaan dapat berlangsung sempurna. Sebuah uji klinis besar multicentre tidak
(8)

menunjukkan

penurunan yang signifikan dalam morbiditas atau kematian ketika Total Parenteral Nutrition (TPN) perioperatif diberikan kepada sekelompok pasien bedah yang heterogen. Stratifikasi pasien dalam percobaan ini yang disesuaikan dengan status gizi menunjukkan bahwa pasien dengan gizi buruk ringan tidak memiliki manfaat dari pemberian TPN tetapi lebih banyak terjadi komplikasi infeksi. Hal ini menyebabkan para peneliti menyimpulkan bahwa TPN perioperatif harus dibatasi pada pasien dengan malnutrisi berat tanpa adanya indikasi spesifik lainnya. Studi berikutnya difokuskan terutama pada pasien malnutrisi parah dengan keganasan gastrointestinal. Pasien ini telah ditunjukkan secara klinis mengalami penurunan yang signifikan, baik pada komplikasi infeksi maupun noninfeksi ketika diberi makan secara parenteral selama minimal sepuluh hari sebelum dioperasi. Sebuah meta-analisis terbaru dari 27 percobaan

acak terkontrol menyimpulkan bahwa TPN tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik secara keseluruhan pada morbiditas dan mortalitas pasien bedah. Penelitian terbaru yang dianalisa dengan kualitas metodologi yang lebih baik hanya menunjukkan manfaat sedikit daripada studi sebelumnya. Studi tersebut hanya menunjukkan kecenderungan penurunan angka komplikasi pada pasien malnutrisi.(6) Di bawah ini merupakan situasi di mana nutrisi parenteral telah digunakan dalam upaya untuk mencapai tujuannya:
(1)

1. Bayi baru lahir dengan anomali pencernaan gastrointestinal, seperti fistula trakeoesofagus, gastroschisis, omphalocele atau atresia usus besar. 2. Bayi yang gagal berkembang karena kekurangan pencernaan disebabkan 3. Pasien 4. dengan short bowel syndrome, malabsorpsi, sekunder fistula defisiensi enzim, ileus mekonium, atau diare idiopatik. dewasa dengan short bowel syndrome atau disebabkan reseksi usus halus yang luas (<100> Enteroenteric, enterocolic, enterovesical, enterocutaneous dengan output yang tinggi (> 500 mL/hari). 5. Pasien operasi dengan ileus paralitik berkepanjangan setelah operasi besar (> 7 - 10 hari), luka multipel, trauma tumpul atau perut terbuka, atau pasien dengan refleks ileus yang rumit dengan berbagai penyakit medis. 6. Pasien dengan panjang usus normal, tetapi terdapat malabsorpsi sekunder meliputi sariawan, hypoproteinemia, insufisiensi enzim atau pankreas, enteritis regional, atau kolitis ulserativa. 7. Dewasa pasien dengan gangguan pencernaan fungsional seperti esofageal diskinesia setelah kecelakaan serebrovaskular, diare idiopatik, muntah psikogenik, atau anorexia nervosa. 8. Pasien dengan kolitis granulomatosa, kolitis ulseratif, dan enteritis TB, di mana bagian-bagian utama dari mukosa absorptif terserang penyakit.

9. Pasien dengan keganasan, dengan atau tanpa cachexia, di antaranya gizi buruk mungkin membahayakan keberhasilan cara pemberian pilihan terapeutik. 10. Gagal untuk mencoba memberikan kalori yang memadai dengan tabung enteral atau terdapat sisa residu yang tinggi. 11. Pasien sakit kritis yang hipermetabolik selama lebih dari 5 hari.
(1)

Kondisi kontraindikasi diberikannya nutrisi parenteral meliputi:


(1)

1. Kurangnya tujuan khusus dari manajemen pasien, atau pada kasus yang bukan untuk memperpanjang hidup yang bermakna. 2. Periode ketidakstabilan hemodinamik atau kekacauan metabolis yang parah (misalnya, hiperglikemia berat, azotemia, ensefalopati, hyperosmolality, dan gangguan cairan elektrolit) membutuhkan kontrol atau koreksi terlebih dahulu sebelum mencoba pemberian infus yang hipertonik. 3. Pasien layak untuk makan melalui saluran pencernaan, pada sebagian besar kasus, ini adalah jalan terbaik yang digunakan untuk memberikan gizi. 4. Pasien dengan status gizi yang baik. 5. Bayi dengan usus halus kurang dari 8 cm, ketika bayi tidak mampu beradaptasi meskipun dengan pemberian gizi parenteral. 6. Pasien yang dengan cara berfikir yang ireversibel atau tidak manusiawi.(1) 2.6.3 Rute Nutrisi Enteral Banding Parenteral Setiap rute pemberian nutrisi suportif berhubungan dengan komplikasi yang berbeda-beda. Umumnya, komplikasi yang terkait dengan nutrisi parenteral berhubungan dengan morbiditas yang lebih besar daripada nutrisi enteral karena sifat invasif dari cara pemberiannya. Rute cara pemberian juga memiliki efek pada fungsi

organ, terutama saluran usus. Substrat makanan yang diberikan oleh rute enteral lebih baik dimanfaatkan oleh usus daripada diberikan pemberian nutrisi secara parenteral. Selain itu, pemberian nutrisi secara enteral bila dibandingkan dengan solusi TPN dapat mencegah atrofi mukosa gastrointestinal, melemahkan respon trauma stres, menjaga imunokompetensi dan melestarikan flora usus normal. Sebuah
(1),(6)

penelitian

meta-analisis

yang

membandingkan

kemanjuran gizi nutrisi enteral dan parenteral awal pada pasien bedah berisiko tinggi menemukan bahwa pemberian nutrisi enteral dini pasca operasi ialah efektif dan dapat mengurangi tingkat morbiditas septik dibandingkan dengan mereka yang dikelola TPN bahkan ketika kateter yang menyebabkan sepsis telah dikeluarkan dari analisis. Nutrisi enteral juga merupakan pilihan yang sangat efektif pada pasien malnutrisi dengan kanker gastrointestinal dan memiliki komplikasi yang lebih sedikit, perawatan pascaoperasi di rumah sakit yang lebih singkat dan mengurangi biaya dibandingkan dengan TPN. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa rute enteral harus digunakan sedapat mungkin, tetapi jika rute pemberian secara enteral tidak dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) minggu maka pemberian TPN yang dini harus dipertimbangkan.(6) Jadi, pertama-tama harus diusahakan agar pasien bisa makan melalui mulut dalam bentuk makanan lunak atau makanan cair. Bila ini tidak berhasil, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa lambung melalui hidung (nasogastric tube), atau bila perlu, sonde dapat dimasukkan lebih dalam lagi sampai ke duodenum, bahkan bagian proksimal yeyunum. Kadang-kadang makanan ini perlu diberikan melalui sonde gastrostomi atau yeyunostomi. Nutrisi parenteral dapat diberikan sebagai tambahan bila nutrisi enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
(8)

Dalam

memberikan
(8)

nutrisi

enteral

maupun

parenteral,

perhitungan kebutuhan protein dan kalori sama seperti yang telah dibahas di atas.

Komplikasi nutrisi enteral, antara lain aspirasi, muntah, diare, salah letak pipa, sedangkan komplikasi nutrisi parenteral serupa dengan masalah kateter vena, seperti salah letak, menembus vena, atau tersumbat. Penyulit lain ialah tromboflebitis, infeksi dan sepsis umum, serta gangguan metabolikyang
(8)

bisa

terjadi

karena

pemberian cairan terlalu cepat. 2.7 Nutrisi Perioperatif

Banyak penelitian meneliti nutrisi suportif preoperatif dan postoperatif, meskipun hasilnya terdapat banyak konflik. Masalah utama dari data-data tersebut ialah pengambilan pasien yang tidak mempunyai resiko terhadap komplikasi yang berkaitan dengan nutrisi. Terutama ketika nutrisi perenteral pada lengan dimasukkan, hasil sering menunjukkan peningkatan komplikasi septik pada pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral yang seharusnya tidak peru mendapatkan keadaan yang penyulit seperti ini. Contoh klasik adalah Veterans Affairs Cooperive study, yang secara acak memilih pasien pra operasi bedah untuk diberikan nutrisi parenteral selama 7 sampai 15 hari sebelum operasi atau untuk kelompok kontrol dengan akses gratis untuk diet. Jumlah nutrisi parenteral yang diberikan dalam studi melebihi rekomendasi saat ini, dan ini memperburuk efek negatif. Secara keseluruhan, saat itu terjadi pengurangan komplikasi penyembuhan (luka terbuka, anastomosis luka yang tidak adekuat, pembentukan fistula) pada kelompok nutrisi parenteral, tetapi terjadi peningkatan komplikasi infeksi secara signifikan, terutama pneumonia. Setelah stratifikasi disesuaikan dengan tingkat gizi buruk yang sudah ada sebelumnya, sangat jelas manfaat nutrisi parenteral pada pasien gizi buruk, dengan pengurangan yang signifikan dalam penyembuhan

komplikasi dan tidak ada kenaikan (dan penurunan beberapa) pada komplikasi infeksi. Dalam percobaan gizi perioperatif, hampir semua percobaan dengan hasil negatif atau efek negatif dari gizi terjadi pada sebagian besar pasien dengan gizi yang baik. Namun, percobaan yang menyertakan sejumlah besar pasien malnutrisi menunjukkan manfaat yang signifikan dengan nutrisi perioperatif. Orang bisa menyimpulkan bahwa pasien dengan gizi yang baikyang teridentifikasi setelah anamnesis riwayat dan pemeriksaan fisik-tidak mungkin untuk mendapatkan manfaat preoperatif baik menggunakan nutrisi parenteral meupun makanan enteral. Namun, jika pasien memiliki defisiensi gizi yang sudah ada sebelumnya, terdapat data-data yang mendukung penggunaan nutrisi suportif di awal sebelum operasi dan/atau periode pasca operasi.(5) 2.8 Monitoring Terapi Nutrisi Suportif Status cairan harus dievaluasi setiap hari pada pasien sakit kritis. Formulasi nutrisi parenteral harus terkonsentrasi dan natrium harus dikurangi saat berat badan pasien tiba-tiba meningkat 1-2 kg dalam 24 jam. Laboratorium untuk pengukuran glukosa, natrium, kalium, status asam-basa, dan fungsi ginjal harus dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran untuk kalsium, fosfor, dan magnesium harus dilakukan setidaknya tiga kali seminggu. Konsentrasi trigliserida, tes fungsi hati, hitung darah lengkap dengan diferensial, waktu prothrombin, dan waktu tromboplastin harus dinilai mingguan selama fase akut cedera pada populasi pasien ini.(5) Keseimbangan nitrogen dapat dihitung setelah pengumpulan urin 24 jam untuk volume dan urea nitrogen yang digunakan untuk menentukan beratnya katabolisme. Keseimbangan nitrogen didefinisikan sebagai perbedaan antara asupan nitrogen dan ekskresi nitrogen. Pasien yang memiliki cedera tulang belakang atau kepala berat akan tetap berada dalam keseimbangan nitrogen negatif bahkan ketika diberikan dosis protein 2 g/kg/hari disebabkan

atrofi disuse. Keseimbangan nitrogen, atau keseimbangan nol nitrogen, dapat terjadi pada pasien stress, sehat sebelumnya, dan pasien bedah yang muda.(5),(14) Gambar 2.1 Pengaruh keparahan cedera terhadap wasting nitrogen. Konsentrasi protein serum dapat digunakan sebagai ukuran status gizi karena kenaikan konsentrasi protein tertentu dapat mencerminkan terjadinya anabolisme protein. Konsentrasi serum albumin merupakan penanda protein yang paling umum digunakan untuk menilai status gizi. Namun, albumin merupakan penanda yang buruk untuk menilai status gizi pada pasien sakit kritis karena konsentrasinya cepat menurun jika terjadi stres atau luka akibat redistribusi dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial, dan karena waktu paruh hidupnya yang panjang (<21 style="">C Reactive Protein (CRP) dapat dipertimbangkan karena protein ini merupakan protein serum jangka pendek. CRP diakui sebagai protein fase akut yang positif, dan sintesisnya meningkat selama inflamasi dan stres. Jika terjadi peningkatan konsentrasi CRP dan serum prealbumin tiba-tiba menurun, ini mungkin menandakan adanya suatu kondisi inflamasi yang mendasari daripada terjadinya penurunan status gizi. Namun, gabungan prealbumin rendah dan konsentrasi CRP dapat mencerminkan kalori atau protein yang tersedia tidak memadai. Hal-hal ini merupakan prinsip-prinsip dasar yang bisa digunakan untuk membantu klinisi dalam membuat penyesuaian
(5),(14)

yang

diperlukan dalam membuat rejimen gizi pasien. 2.9 Immunonutrisi Selain manfaat penelitian dari yang sedang rute

berlangsung memastikan untuk nutrisi suportif,

spesifik

pemberian

penelitian terbaru juga difokuskan pada komposisi rejimen gizi. Secara khusus, banyak perhatian telah dibayarkan kepada potensi

nutrisi

khusus

yang

dapat mempengaruhi

respons

metabolik

terhadap penyakit. Salah satu hal yang kontroversi atas pemberian nutrisi suportif dalam beberapa tahun terakhir ialah nutrisi yang memodulasi kekebalan (imunonutrisi), termasuk glutamin, arginin, omega-3 asam lemak, dan nukleotida. Sejumlah percobaan telah dilakukan untuk menilai dampak dari produk yang mengandung bahan-bahan tersebut pada pasien. Namun, banyak dari percobaan telah dikritik cacat desain, dan hasilnya masih menjadi konflik.
(6),(13)

Glutamin adalah asam amino bebas terbanyak yang terdapat dalam kompartemen ekstra dan intraseluler. Hal ini memainkan peran penting dalam transportasi nitrogen dan homeostasis asam basa dan merupakan bahan bakar untuk mempercepat pembelahan diri sel-sel seperti enterosit, limfosit dan fibroblast. Glutamin juga terlibat dalam mekanisme pertahanan antioksidan dengan mempengaruhi sintesis glutathione. Dalam situasi stres berat atau penurunan gizi, permintaan glutamin dapat melebihi kapasitas tubuh untuk mensintesisnya. Studi telah mengeksplorasi manfaat rejimen nutrisi parenteral yang diperkaya glutamin, terutama pada usus dan sistem kekebalan untuk tubuh. rejimen Telah nutrisi terbukti parenteral bahwa yang penambahan glutamin

diberikan kepada pasien setelah operasi elektif perut menghasilkan pengurangan panjang lama waktu rawat inap di rumah sakit dan mengurangi biayanya. Hal ini juga disertai dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan pemulihan limfosit yang lebih cepat. Glutamin juga telah ditunjukkan untuk
(3),(6)

mempertahankan

permeabilitas usus pada pasien pasca operasi. Seperti halnya glutamin, arginin

adalah

asam

amino

nonesensial yang penting dalam kondisi stres metabolik. Asam amino ini, salah satu yang tertinggi dalam nitrogen, telah dikaitkan dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan penyembuhan luka. Arginine diyakini meningkatkan imunitas melalui promosi makrofag dan sitotoksisitas natural killer tumor, serta proliferasi dan aktivasi

sel T. Selain itu, arginin merupakan prekursor untuk nitrat oksida, yang terlibat dalam pengaturan irama vaskular dan fungsi kekebalan tubuh. Ciri-ciri ini telah membuat potensi arginin menarik untuk digunakan pada pasien bedah.(3),(13) Glutamine 1. Meningkatkan kapasitas absorpsi usus setelah reseksi usus 2. Mengurangi permeabilitas usus 3. Resolusi dini eksperimental pankreatitis 4. Menjaga keseimbangan nitrogen 5. Meningkatkan regenerasi hati setelah hepatektomi 6. Mengembalikan fungsi imunoglobulin mukosa 7. Meningkatkan clearance pada peritonitis bakteri 8. Melindungi viabilitas enterosit pascaradiasi 9. Mengembalikan tingkat glutathione intraselular 10. Memfasilitasi sensitivitas tumor terhadap kemoterapi dan terapi radiasi 11. Meningkatkan fungsi natural killer dan lymphokineactivated killer cell Tabel 2.4 Manfaat eksperimental suplemen Glutamine dan Arginine.
(1)

1.

Arginine Meminimalkan iskemia reperfusi cedera hati

2. Mengurangi translokasi bakteri usus 3. Meningkatkan fungsi natural killer dan lymphokineactivated killer cell 4. Meningkatkan retensi nitrogen dan sintesis protein

Dua asam amino, alanin dan glutamin, adalah karier untuk pertukaran nitrogen pada organ. Ini dapat dijelaskan dari gambar 2.2. Gambar 2.2 Siklus otot-usus-hati-alanin-glutamin-glukosa. Secara keseluruhan skema dari respon metabolik terhadap penyakit. Skema ini meliputi hubungan metabolisme antara organ. Fitur ini sampai sekarang masih belum jelas namun saat ini mendapatkan perhatian lebih. Salah satu artikel adalah bahwa tanggapan tersebut terjadi sebagai respon terhadap cedera dan secara teleologis benar dan menguntungkan. Dengan demikian, luka membutuhkan glukosa, bisa glutamin, dan juga arginin yang berhubungan dengan elemen selular tertentu. Gerakan asam amino dari perifer (otot) menuju hati mungkin mengakibatkan sekresi protein fase akut, yang memiliki tujuan, pada gilirannya, adalah untuk melawan infeksi. Glutamin dikeluarkan otot yang sebagai energi yang berguna untuk banyak sel. Glutamin diambil ginjal untuk menjadi prekursor untuk membentuk amoniak. Usus halus dapat mengambil dan mematabolisme glutamin, yang kemudian akan mengeluarkan sejumlah alanin. Hepar kemudian menggunakan peran penting dalam alanin yang dan dilepaskan untuk memproduksi glukosa. Proses yang kompleks ini memainkan glukoneogenesis mengubahnya menjadi glutamin di otot. Asam lemak omega-3, terutama yang berasal dari minyak ikan, bersaing dengan asam lemak lainnya untuk digunakan ke dalam membran sel. Berbeda dengan asam lemak omega-6 yang biasanya disediakan sebagai lipid intravena, asam lemak ini menimbulkan antiinflamasi, dan anti-trombotik. Di antara percobaan terbatas yang mengevaluasi asam lemak omega-3 dan pengaruh mereka pada hasil pasien, percobaan kontrol acak baru-baru ini menilai dampaknya terhadap pasien pasca operasi dengan hasil memanjangnya waktu pembedahan perut. Dua puluh empat pasien gizi baik yang diterima baik infus 10 g minyak ikan (Omegaven,

Fresenius AG, Bad Homburg, Jerman) maupun tanpa infus minyak ikan pada hari 1-5 perioperatif. Kedua kelompok menerima nutrisi suportif yang sama pada hari ke-4 dan 5. Tidak ada perbedaan yang signifikan yang khas pada kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan tingkat infeksi pascaoperasi yang lebih rendah dan lama tinggal di rumah sakit yang lebih pendek untuk pasien yang makan asam lemak omega-3.
(13)

Nukleotida adalah unit dari struktur DNA dan RNA. Meskipun diketahui memiliki efek potensial meningkatkan imunitas yang berkaitan dengan natural killer cells dan limfosit T, ada penelitian manusia telah menunjukkan
(13)

efek

yang

menguntungkan

dari

suplementasi nukleotida.

Imunonutrisi dapat meningkatkan perbaikan hasil pada pasien bedah elektif tapi berpotensi merugikan pada pasien sakit kritis. Hal ini didukung oleh penelitian kontrol acak baru-baru ini yang menunjukkan bahwa pasien sepsis yang diberi nutrisi enteral untuk meningkatkan imunitas terjadi kematian lebih besar daripada yang didapat oleh nutrisi parenteral. Produk ini sebaiknya tidak direkomendasikan secara rutin untuk semua pasien pascaoperasi, sampai penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa pasien dapat mengambil manfaat dari nutrisi suportif yang memodulasi imunitas.
(13)

BAB III KESIMPULAN Pengukuran status gizi pasien dimulai dari anamnesis,

pemeriksaan fisik sampai uji laboratorium. Pada pasien dengan kurang gizi dapat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Dibandingkan dengan nutrisi parenteral, nutrisi enteral lebih baik ditoleransi dan dapat mengurangi morbiditas terjadinya sepsis,

biaya dan

lama

tinggal di rumah sakit. Imunonutrisi

dapat

meningkatkan perbaikan hasil pada pasien bedah elektif tapi berpotensi merugikan pada pasien sakit kritis, sehingga produk ini sebaiknya tidak direkomendasikan secara rutin untuk semua pasien pascaoperasi karena masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Penyembuhan luka membutuhkan memerlukann penambahan pemakaian nutrisi dalam tubuh. Pasien membutuhkan diit kaya protein,

karnohidrat, lemak, vitamin A, vitamin C, dan mineral seperti Fe dan Zn. Pasien kurang nutrisi membutuhkan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan. Pasien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipoise tidak adekuat

Anda mungkin juga menyukai