Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH ACEH Sun, Jan 31st 2010, 09:39 Catatan Aceh yang Tercecer

Nestapa Putra Mahkota Aceh


SEJARAH Sultan terakhir Kerajaan Aceh Darussalam, sudah saya nukil minggu lalu. Kali ini, mengulas kegetiran Tuanku Raja Ibrahim putra Mahkota Kerajaan Aceh yang boleh dikatakan dia hidup luntang lantung bersama ayahnya Sultan Muhammad Daudsyah (1878-1939). Riwayat getir kehidupan pejuang Aceh ini bermula ketika K Van Der Maaten menyandera dan menangkap ibunya pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid. Saat itu, Ibrahim berusia enam tahun ketika disandera di Gampong Glumpang Payong Pidie. Gubernur Sipil dan Militer van Heutsz mengultimatum; ika dalam sebulan Sultan menolak menyerah, maka anak dan istrinya dibuang dari Acehh. Sultan yang berada di Keumala turun menghadap Belanda pada 10 Januari 1903 setelah bermusyawarah dengan para penasihatnya. Pada 20 Januari 1903, Sultan dibawa ke Kuta Radja (Banda Aceh) untuk dipertemukan. Dalam pertemua dengan Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz, Sultan menandatangani nota perdamaian dengan Belanda. Pada 24 Desember 1907 Pemerintah Hindia Belanda membuang Sultan, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Ambon. Hingga tahun 1918, mereka dipindahkan ke Batavia dan menetap di Jatinegara. Sultan meninggal di sana pada 6 Februari 1939 tanpa pernah bisa kembali ke Aceh. Parahnya seluruh kekayaannya dirampas dan dijadikan milik colonial Belanda sesuai dengan asas hukum perang Reght van Over Winning (H.C. Zentgraaff:1981 ). Anak Sultan Muhammad Daud Syah yang sulung, Tuanku Raja Ibrahim, kehidupannya cukup beragam. Misalnya ke Belanda karena Ratu Wilhelmina ingin berjumpa dengan sang Raja Muda ini. Ratu kemudian memberinya pangkat letnan kepada Tuanku Raja Ibrahim. Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943. Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima. Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya. Pangeran muda ini menjadi kawan dekat Seokarno waktu kecil. Saat itu, Soekarno memanggilnya Bram bahkan salah satu nama anaknya sama dengan nama salah satu anak Soekarno Sukmawati.Namun ketika Soekarno menjadi penguasa di Indonesia pada masa orde lama. Dia melupakan Tuanku Raja Ibrahim pada teman seperjuangan merebut kemerdekaan

Republik Indonesia. Agaknya ada kekhawatiran Soekarno bahwa sang pangeran ini menuntut pemulihan haknya semisal Yogyakarta yang secara penuh mendapatkan berbagai keistimewaan hingga hari ini. Dapat dikatakan bahwa ayah Megawati ini tidak hanya berkhianat Tuanku Ibrahim, tetapi dengan rakyat Aceh. Sukarno tidak menepati janjinya yang diucapkan di depan Teungku Daud Beureueh dan teman-temannya pada 1948. Akibatnya Daud Beureueh kecewa dan menuntut Soekarno dengan pemberontakan berdarah yang diproklamirkannya pada 21 September 1953. Sang Raja Muda ini terus menemani ayahnya di Jakarta dan pulang ke Aceh pada tahun 1937 padahal ayahnya melarang. Di tanah kelahirannya, raja muda ini kawin dengan Pocut Hamdah Putri Amponsyik Keumangan Beureunuen. Mereka dikarunia dua putri. Ada beberapa istrinya dan terakhir dengan Pocut Manyak yang dikaruniai empat putera/puteri. Jumlah anak seluruhnya yaitu 16 orang anaknya. Dan bekerja sebagai Mantri tani di Pidie dan pensiun pada tahun 1960. Walaupun putra makhota, hidupnya sangat sederhana karena seluruh harta pribadi ayahnya dirampas oleh Belanda dan pembesar pembesar Aceh yang bekerjasama dengan Belanda. Putra Sang Raja ini, menetap di sebuah perkampungan kecil Lampoh Ranup, Lamlo Pidie, dan hidup dari uang pensiun Rp 9.000 dengan 16 anaknya (Majalah Tempo, 1976). Tentu ini sangat berbanding terbalik dengan keturunan yang pernah bekerja sama dengan Belanda. Dimana mereka menikmati sekian pengaruh dan keistimewaan di dalam kehidupan sehari-hari. Pada pertengahan tahung 1975 atas inisiatif Tuanku Hasyim, SH (Kepala Kaum Alaidin) dan Tuanku Abbas, BA (mantan Kepala DEPPEN RI di Banda Aceh) menjemput tuanku Raja Ibrahim dan keluarga dari Kota Bakti dibawa ke Banda Aceh. Kemudian atas jasa dan bantuan Gubenur Daerah Istimewa Aceh Muzakir Walad dan dukungan anggota DPRD Waktu H. Yahya Luthan. Pemerintah Aceh meminjami rumah hak pakai tipe 45 di Jl. Teungku Cot Plieng No 18 dengan Surat Keputusan No 100/1976 dengan ketentuan rumah tersebut ditempati selama hidup beliau. Pada tahun 1975, Sultan Hamengkubuwono IX ikut prihatin pada nasib Tuanku Raja Ibrahim. Dengan menggunakan pengaruhnya dia berusaha agar ada tambahan pendapatan bagi Tuanku Raja Ibrahim. Akhirnya, Tuanku mendapat tambahan Rp 5.000 dari Pemda dan Rp 1.500 dari Departemen Dalam Negeri. Bila saya telah tiada, rumah ini harus dikembalikan, ujar Abang. Eh, toh, semua itu saya terima (Majalh Tempo 1976). Semasa hidupnya, menurut anaknya Tuanku Raja Yusuf, mempunyai satu keinginan yang belum terlaksana yakni ke Jakarta menziarahi makam sang ayah Sultan Muhammad Daudsyah. Tetapi karena kehidupan ekonomi yang begitu sulit, sang cita-cita pangeran ini tidak kesampaian sampai menemui azalnya pada 31 Maret 1982. Dia dimakamkan di pemakaman keluarga rajaraja di Baperis. Tuanku Raja Ibrahim meninggalkan 16 anaknya yakni Tengku Putri Safiatuddin, Teungku Putri Kasmi Nur Alam, Tuanku Raja Zainal Abidin, Tengku Putri Rangganis, Tuanku Raja Ramaluddin, Tengku Putri Sariawar, Tuanku raja Mansur, Tuanku Raja Djohan, Tuanku Raja Iskandar, Tengku Putri Sukmawati,Tuanku Raja Syamsuddin, Tuanku Raja Muhammad Daud, Tuanku Raja Yusuf, Tuanku Raja Sulaiman, Teungku Putri Gambar Gading, Tuanku Raja Ishak Badruzzaman.

Begitulah sekilas kisah getir seorang Raja Muda yang saat ini rakyat Aceh hanya bisa berbanggabangga; ketika para peneliti bangga dengan sejarah kerajaan Aceh Darussalam, namun namun tidak memiliki apresiasi yang ternyata ujung keturunan Sultan Aceh begitu pahit. Kekuasan dan harta yang dirampas dan hidup mereka hanya berlapiskan rasa iba dari pihak yang kasihan. Tampaknya kisah raja terakhir ini pun bisa dianalogkan pada nasib Aceh dewasa ini, yaitu merasa perlu dikasihani. Dimana pengkhianatan dan pelecehan kekuasaan adalah bukti kelemahan kerajaan Aceh. Raja Aceh tidak hanya dikhianati oleh Eropa tetapi juga oleh bangsanya sendiri. Tentu, kita tidak ingin menjadikan ini sebagai isu kemana kita mencari pemimpin sekarang. Sebab siapapun yang akan atau sedang memimpin Aceh, pasti akan mendapatkan sikap-sikap pengkhianatan atau pelecehaan kekuasaan setelah mereka tidak berkuasa. Kisah pahit keluarga Sultan menjadi lecutan sejarah kepemimpinan Aceh. Bedanya, Tuanku Ibrahim masih menyisakan semangat kepemimpinan Aceh. Inilah yang membuat rakyat Aceh bersatu dan bangga untuk.menjadi sebuah bangsa yang berdaulat * M ADLI ABDULLAH; aktivis social, pemerhati sejarah dan budaya Aceh.
http://aceh.tribunnews.com/news/printit/22947

Putroe Phang Mencari Pewaris Tahta


Banda Raya - 11 April 2011 | 8 Komentar Kisah cinta Sultan Iskandar Muda dengan permaisurinya Putroe Phang selalu menarik perhatian masyarakat Aceh. Gunongan dan Taman Putroe Phang di Kutaradja merupakan bukti abadi yang lahir dari cinta kasih mereka. Karena cinta ini pula, keturunan Putroe Phang mencari kembali jejak sultan Aceh.

Putri Raja Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj. (Harian Aceh/Murdani)

Pihak berwenang dari Kesultanan Negeri Pahang Malaysia, Kamis (31/3) lalu, yang mengaku sedang mencari pewaris tahta murni kerajaan Aceh atau keturunan terakhir dari Sultan Mahammad Daud Syah. Untuk menjalankan niat mereka ini, Kesultanan Pahang Malaysia, bahkan langsung mengutus Putrinya yang bergelar Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj untuk ikut bersama rombongan ke Aceh. Menurut pengurus Kerajaan Pahang, cacatan sejarah mengenai keturunan sultan terakhir Aceh ini dinilai banyak yang sengaja dikaburkan sehingga menyebabkan banyak pihak minim informasi tentang hal tersebut. Selain itu, juga banyak pihak yang mengaku sebagai keturunan raja Aceh yang terakhir. Kesultanan Aceh sejak dulu sangat megah. Namun informasi sejarahnya yang kami dapatkan terputus hingga Sultan terakhir Muhammad Daud Syah. Kami tahu, ada keturunan dari Sultan Mahammad Daud Syah. Atas dasar tersebut, kami mencoba mencari tahu soal kebenaran tersebut dan baru kami temukan sekarang, ungkap kerabat Kesultanan Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj beberapa waktu lalau di Banda Aceh. Pada kesempatan tersebut, Putri Pahang menjamu sosok bernama Tuanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja Ibrahim Bin Sultan Mahammad Daud Syah, di ruang pertemuan sebuah hotel. Keduanya kemudian kembali membahas sejarah dan hubungan mesra yang sempat terjalin antara Pahang dengan Aceh. Menurut putri Sultan Iskandar atau Raja Pahang Malaysia ini, Aceh sebenarnya merupakan sebuah daerah yang kaya akan budaya serta peninggalan sejarah. Salah satunya, adalah gunongan dan taman yang diperuntukan kepada Putroe Phang atau Putri Pahang indatu dari Tunku Hajjah Azizah yang berstatus sebagai Putri Pahang saat ini. Makanya saya senang datang ke Aceh karena ada taman yang dibuat khusus di sini,canda Tunku Hajjah Azizah di sela-sela makan. Selama seminggu di Aceh, lanjut dia, dirinya menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk Pemerintahan Aceh. Dan selama seminggu pula, banyak pihak yang mengaku keturunan sultan mencoba jumpai dengannya. Setelah melalui berbagai pertemuan tersebut, terutama dengan pakar sejarah yang ada di Aceh. Dirinya mengaku baru bisa menyimpulkan siapa keturunan murni dari Sultan Aceh yang terakhir. Sosok tersebut adalah Tuanku Raja Yusuf. Sosok Tuanku Raja Yusuf adalah cucu murni dari Sultan Muhammad Daud Syah. Namun anehnya, keberadaan sosok ini terkesan sengaja dihilangkan dari cacatan sejarah Aceh. Masyarakat di Aceh seharusnya lebih mengetahui sejarah bangsanya dibandingkan dengan warga luar seperti dirinya. Anehnya lagi, masyarakat Aceh saat ini justru lebih mengenal jabatan Wali Nanggroe ketimbang cucu sultan yang sah.

Kerajaan Aceh dengan Pahang, lanjut dia, memiliki hubungan sejarah yang paling emosional. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Pahang. Hubungan Aceh-Pahang sudah terjalin sejak abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Kerajaan Pahang atau Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara bagian di Malaysia. Sebagian besar negeri Pahang diselimuti hutan dan sebagian besar Taman Negara terletak dalam negeri Pahang. Pahang merupakan sebuah negeri ber-raja.Wujudnya negeri Pahang adalah sebelum wujudnya kerajaan Melayu Melaka. Pahang mempunyai susur galur tamadun yang panjang, sejak dari zaman pra-sejarah lagi. Dahulunya kerajaan Pahang digelar Inderapura. Negeri Pahang Darul Makmur ialah sebuah negeri yang terbesar di Semenanjung Tanah Melayu dengan luas 35.515 kilometer persegi. Kemasyhuran dan kehebatan namanya pada masa lalu menjadi rebutan kerajaan yang ada di sekelilingnya. Pada masa ini Pahang adalah negeri di Semenanjung yang terbagi atas sebelas daerah yaitu Kuantan, Pekan, Rompin, Maran, Temerloh, Jerantut, Bentong, Raub, Lipis, Cameron Highlands dan Bera. Sedangkan penduduknya pula terdiri dari berbagai kaum dan bangsa. Sebenarnya, bagi orang Aceh, negeri Melaka (Malaysia-red) atau kerajaan Pahang khususnya, tidaklah asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat dalam perang dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan daerah tersebut dari jajahan Portugis. Menurut sejarah Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu. Disinilah kemudian terbangun kampung etnis melayu di Aceh dan kampung Aceh di Pahang. Hubungan Aceh dengan Pahang kemudian dilanjutkan pada masa sultan Muhammad Daud Syah. Dimana, disaat ibukota Aceh dipindahkan ke daerah Keumala di Pidie, Sultan Abubakar yang menjadi Raja Pahang pada saat itu, pernah beberapa kali mengirimkan utusan ke wilayah Keumala. Tujuannya, untuk memperkuat hubungan antar kedua kerajaan. Selaku keturunan Sultan Abubakar, saya juga ingin kembali memperkuat hubungan dengan Aceh, tandas perempuan yang memiliki gelar Kebawah Duli Yang Teramat Mulia Tengku Puan Pahang, usai menjelaskan panjang lebar. Sementara itu, bagi Tuanku Raja Yusuf, diakhir jamuan makan, mengaku dirinya tersanjung dengan keterangan dari Kesultanan Pahang Malaysia. Menurut dia, posisi dirinya dan keluarganya saat ini sangatlah tidak sebanding jika disandingkan dengan keluarga kesultanan Pahang. Rakyat Pahang masih mengakui raja mereka. Namun di sini sudah tidak berlaku lagi. Saya ini telah lama menjadi rakyat biasa, bahkan sejak lahir. Saya juga tidak mau mengaku-gaku sebagai keturunan sultan demi mendapatkan kemegahan dan ketenaran. Silahkan saja, orang lain yang mengaku. Tapi, atas kehormatan yang diberikan Kesultanan Pahang Malaysia, saya ucapkan ribuan terimakasih, ungkap Tuanku Raja Yusuf.

Dalam pertemuan ini juga dihadiri keluarga dari pihak Kerajaan Pahang lainnya dan keluarga dari Tuanku Raja Yusuf, serta didampingi oleh Tuanku Maimun serta Tuanku Aswan, cucu dari Teuku Hasyim Banta Muda yang pernah menjadi Wali Nanggroe sewaktu Sultan Muhammad Daud Syah masih kecil. Kerajaan Pahang juga mengundang para keturunan Sultan untuk mengunjungi pihaknya dalam waktu yang dekat ini. Namun undangan ini tidak dapat langsung dijawab oleh Tuanku Raja Yusuf. Pasalnya, pria yang berstatus PNS biasa disalah satu dinas tingkat Provinsi Aceh ini mengaku masih memiliki tanggungjawab yang besar pada negara ini. Undangan ini sangat memuliakan kami sekeluarga. Kami pasti memenuhi undangan ini, tetapi tidak dalam waktu dekat. Soalnya, saya sekarang adalah abdi negara biasa, pungkasnya. Keturunan Sultan dan Rupiah Sementara itu, Menurut M. Adli Abdullah, mantan Panglima Laut Aceh, yang juga gemar menulis tentang sejarah Aceh, yang hadir dalam pertemuan dua kerabat raja tersebut, mengaku bahwa keberadaan sejumlah pihak yang mengaku keturunan sultan terakhir memang sering terjadi. Faktor ini dikarenakan kemuliaan dan rupiah yang melimpah yang dapat mereka peroleh dengan prilaku tersebut. Banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai keturunan sultan terakhir dan wali saat ini. Ini semua dilakukan untuk kepentingan politik pihak tertentu yang unjung-unjungnya adalah memperoleh rupiah, tutur Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini. Menurutnya, tindakan dari Kerajaan Pahang yang sengaja mencari keturunan murni dari sultan terakhir Aceh adalah suatu hal yang langka. Dimana, cara ini justru tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Aceh sendiri, selaku kaki tangan dari pemerintah pusat di Jakarta. Selama puluhan tahun, lanjut dia, rakyat Aceh diharuskan hidup ditengah-tengah kebingungan dan ambisi pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai daerah ini walaupun harus menghapus cacatan sejarah bangsanya. Faktor ini kemudian berimbas dengan hilangnya pengakuan rakyat terhadap kesultan Aceh, serta beralih ke wali nanggroe. Rakyat Aceh seharusnya mengambil contoh dari sikap negeri pahang. Di mana, mereka tidak lupa akan sejarah bangsanya dan sejarah daerah mereka dengan Aceh, ungkapnya. Sementara itu, dalam cacatan sejarah Aceh, posisi Wali Nanggroe sebenarnya diperuntukan untuk orang tertentu ketika daerah ini sedang terjadi krisis atau perperangan. Namun ketika Aceh sudah kembali aman seperti sekarang, maka seharusnya posisi wali dengan sendirinya menjadi gugur dan daerah ini dikembalikan pada sultan atau pewarisnya. Namun, yang berlaku di daerah ini, malah sebaliknya sehingga nasibnya kian tidak jelas hingga kini.[] Penulis Murdani http://harian-aceh.com/2011/04/11/putroe-phang-mencari-pewaris-tahta

Anda mungkin juga menyukai