Anda di halaman 1dari 5

Teori Resepsi Sastra dan Pendidikan Oleh: Arif Faturrahman Dhari Teori dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep

yang saling berkaitan secara ilmiah, disajikan secara sistematis, dan berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala tertentu. Sebagai perangkat (atau alat), teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian. Adapun metode dan teknik adalah instrumen yang lebih kongkret untuk melakukan analisis terhadap objek penelitian. Dengan demikian, teori ditujukan untuk mempermudah pemahaman terhadap objek penelitian sekaligus memberikan keluaran secara maksimal. Dalam rangka menjelaskan sejumlah gejala tersebut
__

yang merupakan

tujuan suatu penelitian, maka langkah pertama adalah menentukan cara menghampiri objek penelitian atau yang lebih dikenal dengan istilah pendekatan. Dalam konteks sastra, terdapat berbagai model pendekatan, di antaranya: pendekatan biografi sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, historis, dan mitopoik, termasuk pendekatan model Abrams, yaitu ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif.1 Di sini, yang akan diberi penjabaran adalah pendekatan pragmatik, karena erat hubungannya dengan teori resepsi sastra. Secara historis, pendekatan pragmatik telah ada sejak tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica-nya Horatius. Namun begitu, secara teoretis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi strukturalisme memerlukan variabel pembaca. Dalam konteks pendekatan pragmatik, karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang itu sangat erat hubungannya dengan pembaca, yaitu karya sastra itu ditujukan kepada pembaca, bagi kepentingan masyarakat pembaca. Pembacalah yang menentukan makna dan nilai karya sastra __inilah prisip dasar teori resepsi lain sebagai stimulans pemicu proses estetis, yaitu

Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). hlm. 1, 54, 55 1

sastra.2 Eksistensi keterkaitan trikotomi pengarang, karya sastra, dan pembaca, secara sederhana, diilustrasikan seperti berikut:3

PENGARANG

LINGKUNGAN

KARYA SASTRA

LINGKUNGAN

PEMBACA

Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya sastra dengan tanpa batas. Secara etimologis, resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas, resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. 4 Sebagaimana dituturkan Rahmat Djoko Pradopo, menurut Jauss respons atau apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra tersebut akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan kalimat lain, respons yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan hanya seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (sinkronis) atau malah pembaca sepanjang sejarah (diakronis). Dengan kontinuitas apresiasi ini, maka makna historis dan nilai estetis dari karya sastra akan dapat diungkapkan dan diperkaya.5
2

Rahmat Djoko Pradopo.Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya dalam Bahasa Sastra Budaya. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 1985) hlm. 183 3 majalah Al-Urwah No. 1, 1412 H. hlm. 46 4 Nyoman Kutha Ratna. ibid. hlm.72 5 Rahmat Djoko Pradopo. ibid. 185 2

Dalam teori resepsi sastra, peranan pembaca signifikan dan dominan dalam penerapannya. Dalam hal ini, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang proses kreatif diberikan fungsi utama, sebab pembacalah yang menikmati, menilai, dan memanfaatkannya. Dengan kata lain, karya sastra memiliki ruang kosong untuk diisi oleh interpretasi pembacanya.6 Ruang kosong (open plek) yang diintroduksi oleh Iser adalah ruang yang disediakan oleh penulis, di mana pembaca secara kreatif dan secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong mengandaikan teks bersifat inklusif, terbuka agar pembaca secara aktif dan kreatif berpartisipasi untuk mengisinya. Sebagaimana diketahui, karya sastra itu bersifat multitafsir (poly-interpretable), karenanya lokus kosong ini, dengan sendirinya, akan menjadi pusat pembuktian kualitas interpretasi pembaca. Semakin banyak ruang kosong, semakin berkualitas pula suatu karya, karena membuka banyak kesempatan pembaca untuk menginterpretasi. Dengan dasar pemikiran bahwa karya sastra memiliki ruang kosong untuk interpretasi pembaca, maka seorang guru bisa mengaplikasikan hal tersebut dalam dunia pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa guru memiliki peranan yang penting dalam pendidikan. Terkait hal ini, ada sebuah filosofi bermakna yang layak untuk direnungkan: Apabila seorang dokter salah mendiagnosa, hanya seorang pasien yang mati; Apabila seorang hakim salah mengadili, hanya seorang narapidana yang terdzalimi;Apabila seorang guru salah memberi pendidikan, peradaban manusia yang terancam.7 Dalam bidang pendidikan, teori resepsi sastra sangat memiliki keleluasaan aplikasi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Apresiasi sastra, yang di antaranya mengidentifikasi unsur penokohan dan amanat dari suatu teks (baca: karya sastra) merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus terkuasai oleh peserta didik. Pada konteks ini, seorang guru bisa menanamkan nilai-nilai moral dan agama dengan media karya sastra tanpa harus berceramah secara formalnormatif. Mengapa? Karena sastra tidak hanya sekadar ungkapan bahasa. Sastra
6 7

Nyoman Kutha Ratna. ibid. hlm.169 Wowo, 2010. Pendidikan Karakter (Makalah). Rakor dan Implementasi Sinergitas SSN/SBI 3

mengandung makna lebih yang memperkaya nilai-nilai rohani dan meningkatkan kehidupan.8 Kisah sebagai salah satu jenis karya sastra, misalnya, bisa merupakan sebuah media pembelajaran yang mempunyai kekuatan sangat besar untuk mensugesti orang untuk berubah. Kisah bisa membuat orang terpengaruh tanpa sadar telah dipengaruhi; membuat orang mengerti tanpa merasa digurui; dan membuat orang belajar tanpa merasakan adanya paksaan.9 Dengan karakteristik demikian, seorang guru bisa memfasilitasi peserta didik untuk mengapresiasi karya sastra dan mengisi ruang kosong yang tersedia dengan nilai-nilai moral reflektif nan penuh kebermaknaan. Nilai-nilai ini, pada gilirannya, akan berimplikasi pada perubahan peserta didik ke arah yang lebih baik. Dan, perubahan inilah yang menjadi hakikat tujuan pendidikan. Munculnya istilah pendidikan karakter mengimplikasikan tentang perlunya dipahami dan diingat kembali bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada perubahan karakter dan perilaku peserta didik. Perubahan perilaku inilah yang menjadi ruh pendidikan. Dalam kalimat lain, pembelajaran tidaklah semata transfer pengetahuan (knowledge) dan perubahan keterampilan, namun juga perubahan sikap (attitude) yang sangat berperan terhadap kesuksesan. Seorang pakar pendidikan, W. H. Burton, pernah menyatakan, learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his/her environment, which feels a need and makes him/her more capable of dealing adequately with his/her environment. Kriteria keberhasilan belajar, karenanya, ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pembelajar; dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dari fatalis menjadi progresif, dari tidak peduli menjadi empati. Sekali lagi, sangat perlu digarisbawahi bahwa ruh pendidikan adalah perubahan tingkah laku dan bukan knowledge an sich. Anak-anak yang pandai, cerdas, terampil, dan pintar sangat berbahaya bagi dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya, serta bagi bangsa dan negaranya apabila tidak diimbangi dengan akhlakul karimah. Berbeda dengan pencemaran air atau udara yang dapat
8 9

Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. (Padang: Angkasa Raya.1990). hlm. 24 Virouz. 17 Kisah Penuh Hikmah. 2010. e-book. hlm.2 4

direduksi lewat tekhnologi, pencemaran moral tak dapat ditanggulangi dengan tekhnologi. Pada titik ini, teori resepsi sastra menemukan signifikansinya dalam dunia pendidikan. Seorang guru akan bisa secara efektif menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didik dengan memanfaatkan ruang kosong yang tersedia dalam karya sastra. Kendatipun apresiasi sastra merupakan bagian kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia, namun mengingat luasnya ruang kosong yang tersedia dalam karya sastra maka teori resepsi sastra aplikatif juga dalam mata pelajaran lain. Contoh kecilnya dalam mata pelajaran Matematika, seorang guru bisa menanamkan nilai kejujuran sambil mengajarkan penjumlahan dan perkalian. Pada suatu hari, Dani membeli dua belas buah permen ke warung Ibu Diah. Harga satu permen adalah Rp. 125,00. Berapakah uang yang harus Dani bayarkan? Assessment yang diberikan guru, tentu dan semestinya, tidak bersifat hitam-putih; benar atau salah. Saat seorang peserta didik menjawab dengan keliru, guru bisa memberikan assessment positif, Berarti Dani tidak jujur dong. Rujukan
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. Pradopo, Rahmat Djoko. 1985. Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya dalam Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Virouz. 2010. 17 Kisah Penuh Hikmah. e-book di URL http://virouz007.wordpress.com/ Wowo, 2010. Pendidikan Karakter (Makalah). Rakor dan Implementasi Sinergitas SSN/SBI _________ . 1412 H. Purifikasi Sastra Islam dan Ketidakpedulian Umat dalam Majalah Al-Urwah No. 1 Tahun I.

Anda mungkin juga menyukai