Anda di halaman 1dari 39

Cerpen; Ibu, di Manakah Engkau?

Setiap kali aku melintas di jalan raya, terlebih saat lampu merah menyala, selalu kuamati. Adakah sosok ibuku di sana, di antara pengemis-pengemis itu? Kupandangi wajah-wajah wanita pengemis itu. Sungguh berharap ibu ada di antaranya. Tak malu aku mengakui beliau, membawa beliau masuk ke mobil jika beliau ada di depan mataku sekarang. Tak ragu aku memeluknya, menciumnya meski keadaannya kotor dan berdebu. Sungguh aku mau ibuku, aku ingin berbagi kebahagiaan bersamanya. Penantianku sudah pada puncaknya. Lima belas tahun bukanlah tahun, bukanlah waktu yang singkat. Terus menerus berharap, setiap hari berharap menemukan ibu. Dari saat aku masih di SD, saat aku diantar pak sopir, aku selalu melihat ke jalan, mengamati jalanan untuk menemukan sosok ibu, hingga saat ini di mana aku sudah mengendarai mobil sendiri. Setiap malam selalu berdoa, ingin dipertemukan dengan ibu, terkadang sampai menitikkan air mata, menahan kerinduan untuk bertemu beliau. Hari inipun sama, aku tidak menemukan sosok ibuku. Ibu di manakah engkau? Tak rindukah engkau pada diriku? Ibu, aku ingin bertemu denganmu Mungkin kalian merasa heran, mengapa aku yang hidup boleh dibilang mapan, mempunyai ibu seorang pengemis. Heran, mengapa tidak malu mengakui beliau dan mengapa masih tetap mencarinya walau 15 tahun sudah berlalu. Saat ini ceritakan peristiwa 15 tahun yang lalu Desember 1989 "Ibu, kita mau ke mana?" siang begitu teriknya ibu menarik aku keluar dari rumah. "Kita jalanjalan kemudian beli boneka, ya," sahut ibu. Belum sempat aku tersenyum bahagia, ibu menyahut, "Wajahmu nanti harus cemberut, ibu nggak mau kamu tersenyum." Setiap harinya tetap sama, namun hari ini aku berharap sungguh akan berjalan-jalan dan membeli boneka, karena hari ini ulang tahunku yang ke delapan dan aku tidak ingin menghabiskan waktu di jalan, yang kata orang kita-kita ini adalah pengemis. Namun jika tidak menuruti nasihat ibu, apa jadinya nanti. Pernah aku melihat ibu menangis, menangis sedih sekali dan aku tidak mau menambah kesedihannya lagi. Dan bukanlah surga ada di telapak kaki ibu, kata ibu kalau ingin masuk surga harus menuruti nasihatnya.

"Ibu, aku capek, kita mau ke mana lagi, hari sudah gelap," kataku dengan suara serak. "Tahan sebentar lagi, sebentar lagi sampai," sahut ibu sambil mengelus kepalaku. "Ah, ini rumahnya," ibu menekan bel pintu dengan segera. Rumah yang begitu besar, pagarnya tinggi, halamnnya luas. Sungguh betul-betul mirip istana. Seseorang datang dan tampak sudah mengenal ibu. "Ibu Parmi, ya, silahkan masuk, sudah ditunggu nyonya." Ibu pun masuk sambil menggandeng aku, kemudian ibu bercakap-cakap dengan wanita yang nampaknya disebut nyonya oleh mbak yang tadi membuka pintu, sedang aku dibiarkan duduk sendiri. Beberapa saat kemudian ibu memanggilku, katanya, "Dinda, mulai malam ini Dinda tinggal di sini, Dinda harus jadi anak baik dan penurut ya, dengan tante ini kamu nanti bisa punya boneka banyak, tak perlu kepanasan lagi dan bisa sekolah. "Aku merengek tak mau berpisah, ibu aku pegang dengan erat. Aku takut, takut hidup tanpa ibu. "Dinda pasti bahagia dan jadi anak sukses, nanti jemput ibu ya, sekarang ikut sama tante ini." "Nggak, nggak, aku mau ibu," kataku. "Ibu sayang kamu, ibu beri yang terbail untukmu, maafkan ibu ya," ibu mencium kenigku lalu pergi Sejenak aku berontak, berusaha lari mengejar ibu, namun tidak bisa, tangan yang kuat mencengkeramku dan ibu sudah berlalu. Ibu sudah pergi ibuku pergi dan aku hanya bisa menangis. Sudah seminggu ini aku mogok bicara, hanya menangis dan berpikir bahwa ibu jahat sekali, tega meninggalkanku sendiri. Pernah aku berpikir untuk keluar mencari ibu. Namun aku tak mampu, tak tahu arah dan di mana ibu sekarang. Tante dan om baik sekali, mereka tetap sabar padaku, mereka memperhatikan dan mencintaiku. Kadang aku melihat gurat khawatir dan sedih di mana tante, tetapi aku juga sedih harus berpisah dengan ibu. Di hari kedelapan aku menemukan sepucuk surat Dinda, ibu sayang Dinda. Dinda baik-baik saja kan, nggak nakal kan. Dinda masih kecil jadi masih belum mengerti, tiap malam ibu berdoa supaya Dinda senang, sekolah dengan baik dan jadi

orang sukses. Ibu ingin yang terbaik bagi Dinda, walau itu berat. Tante dan om sangat baik. Mereka sayang Dinda, jadi berusaha cintai mereka, ya. Turuti mereka seperti kamu menuruti ibu dan ibu mengizinkanmu memanggil mereka ibu dan bapak. Ibu bahagia punya anak manis sepertimu. Doa ibu besertamu. Air mataku menetes dan saat itu pula kurasakan kehangatan tante dan om. Mereka memeluk dan menciumku. Nah, akhirnya hidupku dapat seperti sekarang ini, aku disekolahkan, dididik, dirawat bagai anak sendiri. Mereka mencintaiku, demikian pula aku. Namun peristiwa malam itu tak pernah kulupakan, hingga saat ini aku terus mencari ibu. Hidupku akan terasa hampa bila aku tidak dapat menemukan ibu. Cintanya begitu besar bagiku dan sudah saatnya aku membahagiakannya pula. Aku akan terus mencari engkau ibu, dua puluh tahun, dua puluh luma tahun, tiga puluh tahun bahkan sepanjang sisa hidupku akan tetap aku cari. Aku merindukanmu ibu memunculkan sosokmu

Perempuan dan Sebutir Tomat Cerpen Dyah Indra Mertawirana MENURUTMU bagaimana mengatasi kesunyian pada hari tua. Barangkali ini hanya sebatas ucapan kosong, melantur, dan tak kumaksudkan untuk apa-apa serta bukan untuk siapa-siapa. Kalau perlu lupakan saja. Namum, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Sesuatu yang membuatku menghabiskan hampir sebulan penuh hanya untuk mengikuti perempuan itu. Sesuatu yang barangkali seperti menemukan selembar kertas koran bekas yang terbang di jalan, kumal, tertanggal seumur usia, dan menyimpan sebuah berita kematian saudara. Jangan pernah bilang aku jatuh cinta karena sorot matanya yang tentu menyimpan sebuah dunia yang asing itu. "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," *) kata-kata itu meluncur dari mulutnya selancar

doa-doa dan mantra. Bergulir seiring kerenyit derit roda-roda kereta yang menukik membelah sepanjang persawahan, sesekali hutan, sepuluh sungai besar dan kecil, tiga kota kecamatan dan selebihnya kota-kota yang riuh. Bersamanya seorang lelaki sebaya, mungkin suaminya. Tangannya memegang sebutir tomat merah ranum, selalu diputar-putar dan seperti tak hendak dimakan. Berbaju kebaya, menyimpan sedikit kerak kecantikan yang tersemburat dari gurat-gurat kulit wajah dan tubuhnya. Sementara lelaki yang sebangku dengannya itu terkantuk-kantuk dengan jenggot putih jatuh membungkus usianya yang sepuh. Ah, kenapa aku ingin berbagai cerita padamu. Entah. Tetapi yang sangat aku ingat, kali pertama aku melihatnya ketika aku duduk di dalam kereta sementara ia berada di bangku seberang, duduk dekat jendela. Matanya ditebar ke keluasan perjalanan. Namun mulutnya selalu mengucapkan kata-kata seperti mantra, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," Sedang lelaki yang bersamanya seolah tak ingin mendengar semua kata-katanya yang menderas selaju kencang kereta, jatuh tertidur dengan dengkur lentur. Kereta berhenti hampir di setiap stasiun. Namun kedua orang itu tak juga turun. Hingga sampai di ujung stasiun, baru kulihat perempuan itu merapikan barang-barang. Hanya dua tas jinjing kecil dan sebuah tas yang menggantung di bahu kirinya. Sementara si lelaki membawa dua tas jinjing kecil itu keluar kereta, perempuan itu terus berbicara yang di kepalaku menjadi semacam gerutuan yang mengerikan, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita." Sementara sepanjang perjalanan, kami menjadi akrab. Berkat mantra-mantranya, aku pun menyempatkan diri bercakap-cakap sepanjang kereta menderit-derit dan memenuhi tawaran untuk berkunjung ke rumahnya. Sebuah kebetulan. Rumahnya dipenuhi oleh bermacam kupukupu yang selalu singgah saban hari, katanya. Rumah kayu di tepi sebuah hutan kecil, tak banyak rumah, tak juga ada listrik, hanya lampu-lampu minyak yang terpancang di beberapa tiang, dan seorang anak muda berumur sekitar sepuluh tahun yang terikat di kursi. Menuju ke rumahnya perlu di tempuh dengan sepuluh menit mengendarai ojek atau hampir setengah jam jalan kaki melewati jalan berbatu. Dan hampir selama sebulan penuh akhirnya aku tinggal di rumah itu. "Apa ia tak mati kelaparan?" tanyaku pada Ubit Abi suami Uni Daiya, kedua orang itu, sambil

melirik ke arah Kun, anak yang diikat di kursi dekat bibir pintu rumah itu. "Masih hidup," katanya sambil membawa biji-biji bunga matahari yang ia bawa keluar ke arah Uni Daiya yang tengah menyiangi pelataran yang dipenuhi segala macam bunga-bunga. "Berapa hari kalian meninggalkan dia?" "Cukup waktu sehari semalam untuk serbuk bunga ini tumbuh." "Bagaimana jika ia mati?" "Kematian tak perlu lagi membuat tangis kan?" "Anak siapa? Cucumu? Kalian menculiknya?" "Manusia harus dibiarkan hidup, membunuh adalah kejahatan!" "Kalian tidak takut dilaporkan ke polisi?" "Usiaku tinggal menghitung satu dua hari." "Kejahatan!" sergahku. "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," sahut Uni Daiya. Mukanya nampak kumal terpanggang matahari, seharian. Ia beranjak melewatiku dan berjalan ke arah dapur. Tubuhnya kembali bersama sebuah piring yang telah dipenuhi dengan nasi dan lauk pauk. Ia mendekati Kun dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Selang beberapa lama kemudian kudengar kedua orang itu tengah mendengkur lentur di dalam rumah. Aku mendekati Kun. "Kau mendengarku?" bisikku sambil menggerak-gerakkan tubuh Kun. Anak itu menatapku, bola matanya bersinar. "Kau ingin aku melepaskan ikatanmu?" tanyaku dibalas gelengan kepala. Ia tertunduk lagi dan juga tertidur. Perempuan itu saban hari pekerjaannya hanya memelihara kebun tomat dan bunga-bunga. Seminggu sekali mereka akan memetik bunga-bunga dan beberapa butir tomat untuk ditukar suaminya dengan beras dan minyak tanah di pasar, tujuh kilometer di bawah sana. "Dari mana Uni naik kereta?" "Anakku dikuburkan," jawabnya sederhana. "Maaf." Tak ada suara. "Kenapa Uni tak ikut anak Uni di kota?"

"Keterasingan." "Kenapa Uni selalu mengikat Kun. Biarkan dia berjalan-jalan sesekali, aku yakin dia tidak akan lari!" "Kun yang tak ingin jalan-jalan dan lari. Dia yang ingin duduk di situ!" "Kenapa diikat?" "Kau ingin dia terjatuh kalau tidur?" "Tidur di ranjang atau di tikar pandan!" "Repot!" "Uni tidak ingin dibilang menyakiti dia kan?" "Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati?" Aku tak mengerti. Aku berhenti bertanya ketika ia terbatuk-batuk. Dadanya seperti tertekuk dan seketika menjadi ringkih, ada kerit sesak ketika ia bernafas. Hawa di daerah ini menyimpan kelembaban yang tinggi. Daerah yang tidak kondusif untuk orang yang menderita asma atau bronkitis. Menjelang malam Uni menyeduh segelas teh hangat dan meminumkan dengan sabar ke Kun, menyelimuti dan menutup sebagian wajahnya. Setelah itu ia memasang lampu minyak dan menutup pintu. Suara serangga malam menjadi liar di tengah malam. Beberapa kunang-kunang terkadang menyerobot masuk. Sementara Ubit Abi membakar semak-semak di sebelah rumah hingga hangat menyelusup masuk ke dalam. Uni dan Ubit Abi memperlakukanku dengan baik. Pekerjaanku yang hanya memotret dan sesekali ikut Ubit Abi masuk hutan -menemukan beberapa spesies kupu-kupu unik yang bisa kujepret- seperti tak mengganggu keseharian mereka, sama sekali. Selang dua minggu, aku menemukan Kun tak bergerak. Panik dan ketakutanku tak membuat rumah ini riuh. Mereka mengangkat tubuh Kun kemudian memperlakukan layaknya orang yang sudah mati. Sekeyakinanku Kun memang sudah membeku, mungkin sejak subuh. "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," kata-kata itu kembali nyaring keluar dari mulut Uni Daiya. Senja setelah kuburan Kun dipenuhi bunga-bunga, Uni Daiya duduk di kursi Kun sembari memutar-mutar sebutir tomat, sesuatu yang pernah dilakukannya di kereta. Sesaat aku teringat ucapannya, "Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati."

Dadaku sesak. "Kenapa Uni tak biarkan dia berlari, barangkali dia ingin melihat bunga-bunga yang Uni tanam?" "Barangkali dia mendengar dan berlari lebih jauh hanya dari kursi ini. Aku melihatnya. Sering. Barangkali sekarang aku yang ingin mendengar gersak daun-daun yang dibaliknya ada seekor babi hutan yang diam-diam dengan tergesa menyeruduknya hingga kedua rusuk iganya patah hingga ia tumbuh menjadi lumpuh hingga yang aku tahu umurnya bisa bertahan selama tomat ini belum membusuk. Kun terlampau lemah. "Membawa kanker tulang dari kota. Hingga aku meyakini kanker itu diam-diam menggerus tubuhnya sampai kerontang hingga suamiku hanya akan menghitung hari demi hari. Ia bermain di sana -sambil jari telunjuknya menunjuk ke sisi bukit- nyaris masuk ke tengah hutan. Lalu babi hitam itu meretakkan dua tulang iganya. Kun hanya berlibur. Kun senang sekali menemani kami. Mengejar kupu-kupu, sepertimu. Tapi akhirnya kami yang harus memiliki kesetiaan untuk menemani Kun. Menjaga matanya tetap terjaga dan berlari mengejar kupu-kupu." Aku bungkam. Di telingaku, angin menjadi tajam dan menusuk lebih keras kulit tubuhku. "Ia sanggup bertahan, makanya kami tak tanyakan kematian kami. Setelah ibunya di kota dikubur, barangkali dia tak ingin lari lagi." Ia mengulurkan sebutir tomat itu ke tanganku. "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," katakata itu diucapkannya bersama sebuah senyuman. Matanya dipejamkan. Senja tiba dan Ubit Abi memperlakukan dia sebagaimana Uni Daiya memperlakukan Kun. Dan terakhir, aku yang menyelimuti tubuh Ubit Abi sepanjang senja mulai turun hingga perlahan sebutir tomat yang ada di tanganku mulai lembek dan membusuk. Saat itu aku musti menanamnya, begitu pesan Uni Daiya. Sebulan, tepatnya. Perjalanan pulang. Barangkali hanya sebersit harap, aku menemukan selembar kertas koran, seumur usia dan ada berita kematian seorang kerabat. Lalu lamat-lamat gerimis merapat. Aku menarik krah jaketku ke atas dan tertidur pulas di kereta. Barangkali aku juga ingin menyimpan kisah ini, sekalipun kepadamu. Ry!

Bandar Lampung, 2004

*) ungkapan Afrizal Malna yang juga menginspirasi cerita ini dalam pengantar Arsitektur Hujan.

Related Posts by Categories Sebuah Surat Tuk Sahabat Dalam tiap langkah kaki menapak, aku ada. Dalam tiap hari menjelang, aku pun terbit. Laksana mentari di atas sana yang tak bosan menerangi sekalipun banyak awan nakal sesekali menutup indah terangnya, juga seperti tiap ibu yang mengasihi anaknya sekalipun banyak durhaka tercipta dalam tiap langkah menuju kedewasaan... aku tetap di sana. Menyunggingkan sebuah senyum sambil mengawasi tiap mereka yang butuh aku. Sama seperti Rupiah yang bermimpi tuk jadi Dollar, ia pun dulu adalah seorang pemimpi. Hidup dalam impian terbayang indahnya dunia luar. Namun kini, mimpi itu selangkah demi selangkah telah menuju puncaknya. Lihat bagaimana mudahnya sebuah perubahan itu tercipta. Hanya perlu menambahkan 1 huruf tuk jadi berbeda, seorang yang berguna. Dari pemimpi tuk jadi pemimpin kita hanya perlu menambahkan sebuah n . Lalu, bagaimana dengan kalian? Aku mampu hadir dalam tiap hati, kecuali jika ambisi berlebih, dengki, kerakusan, serta dendam yang telah menempati posisinya terlebih dulu. Namun, aku akan tetap menunggu. Menanti dan terus menanti. Sampai semua yang membutuhkanku sudah tak ada lagi di dunia ini. Sama seperti hari-hari sebelumnya, hari ini aku tetap menemaninya. Melangkah bersama dalam tiap suka dan dukanya. Menguatkan hatinya di kala gundah dan saat semua hitam memenuhi kalbunya. Bagi gadis ini, akulah pengubah hidupnya. Sedikit demi sedikit, topeng yang selama ini dikenakannya sudah mulai dilepas. Mantel imam yang selama ini dihindari sentuhannya pun sudah mulai dikenakannya kembali. Hidupnya sudah jauh lebih indah dibandingkan dulu. Masih ingat kala itu, saat ia sudah sangat putus asa. Hanya kematian yang jadi jawaban baginya. Hanya tinggal hitungan menit tuk sampai kembali kepada Pencipta. Namun, saat itu dia menangis. Meratap dan mengutuk diri atas semua dosa yang telah terukir. Karena itu, aku hadir. Kembali memulihkan kalbunya yang sudah terlanjur terluka parah. Hingga kini, hanya dalam hitungan tahun, ia akan jadi seorang yang berbeda. Seorang yang mampu berbuah tuk sesamanya. Oleh karena itu, aku tetap menemani. Mengawasi tiap harinya sampai sang Pemimpi tak perlu lagi lelah bermimpi. Biarlah sayap itu mampu terbentang lebar atas birunya sangkakala. Ya... sebagai sang Pemimpin... baik atas sesama makhluk ciptaan-Nya maupun atas dirinya sendiri. Sekarang, aku rasa kalian sudah dapat menebak siapa aku. Aku adalah cinta kasih, ketulusan, dan semua indah yang telah Tuhan ciptakan tuk kalahkan keegoisan diri. Mudah rasanya tuk

melangkah lurus ke depan, tapi tak semua mereka memiliki aku. Alhasil, hanya usaha hampa tanpa ada sedikitpun kepuasan yang dihasilkan. Jika hanya Rupiah yang dijadikan patokan kesuksesan, akankah itu bisa untuk selamanya? Jika hanya Rupiah yang dijadikan pemuas kehidupan, benarkah kebahagiaan itu ada? Sama seperti para dokter di luar sana. Mereka diibaratkan sebagai penyembuh sakit. Inilah akar konflik yang telah eksis dan terus berkembang. Pandangan yang terlalu positif itu seringkali jadi bumerang bagi rekan-rekan lainnya. Apakah seorang dokter dikatakan sukses hanya dengan menilai jumlah Rupiah yang dihasilkannya per bulan? Benarkah itu yang terikrar dalam Sumpah Dokter tanda kelulusan? Bagiku, kesuksesan seorang dokter adalah mereka mampu menyembuhkan sesama, baik jasmani maupun mentalnya. Lantas, benarkah jika seorang dokter hanya melakukan cek TTV (tanda-tanda vital) seadanya saja yang bahkan dapat dihitung dalam detik lalu menulis resep seadanya itu dikatakan bahwa mereka telah mendedikasikan diri dan gelar mereka tuk sesama? Ingat kawan, memang waktu adalah uang, namun tak setiap detik boleh kau ibaratkan sebagai Rupiah. Seorang kaya yang mandi di atas tiap puing Rupiah, benarkah mereka dapat dikatakan telah meraih kesuksesan? Benarkah hartanya dapat menemaninya jika hanya ada kematian menjemput? Bukankah hidup itu indah jika kita berarti bagi sesama? Yang dapat menilai eksistensi diri kita hanyalah orang lain. Demikianlah seperti bibir dan pipi yang sangat berdekatan. Namun sang Bibir takkan mampu mencium sang Pipi. Yang dapat mencium pipi kita hanyalah orang lain. Bahkan, saat kematian menjemput, bukankah kita hanya dapat hidup dalam hati dan kenangan mereka yang tertinggalkan? Lantas, apa gunanya materi itu jika kita tak punya hati nurani. Hanya akan jadi kosong yang hanya dapat hidup dalam hitungan menit kemudian terlupa untuk selamanya. Hanya akan terlapis topeng dan tersumpal bualan, bak lidah ular yang bercabang. Namun, hati nurani akan selamanya berupa hati nurani. Takkan ada yang sanggup menggantinya, menutupinya, ataupun memalsukannya. Untuk itu, aku ada. Memimpin tiap mereka tuk raih kesuksesan, baik dalam arti materi duniawi maupun materi akhirat. Kalau kau bilang, ularlah yang salah ketika menghasut Hawa yang kemudian memulai keruntuhan manusia, bagiku semuanya sama saja, baik ular, Hawa, Adam, maupun Eden. Tak ada yang lebih salah dari yang lainnya, begitu juga tak ada yang lebih benar. Semuanya merupakan tersangka utama. Oleh karena itu, aku hadir tuk kuatkan agar tahan godaan. Hanya jiwa yang mengasihi yang mampu menolong sesama tanpa harap akan apapun selain sebuah ucapan terima kasih. Hanya ketulusan yang membuat manusia tak saling mendengki lalu saling menjatuhkan. Melihat banyak mata kalian menatap, tampaknya banyak tugas yang harus kukerjakan. Tenang saja Kawan, kami akan tetap hadir tuk tiap kalian. Bukalah hati kalian, maka kami akan ada di

sana. Sekarang, sudah siapkah kalian untuk mengecap perubahan? Ingat, hanya perlu usaha yang tak sulit tuk jadi seorang yang berguna, dari seorang pemimpi tuk jadi pemimpin. Lantas, apakah kalian masih ingin disibukkan oleh hal-hal semu? Ataukah kalian sudah siap tuk rasakan gejolak kehidupan yang lebih bermakna? Hanya tiap kalian yang mampu menjawabnya... Kini, biarkanlah aku terlelap dalam lautan bintang-bintang sembari menunggu. Ya... menunggu kalian. Salam hangat selalu, Hati nurani

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/1926156-cerpen-motivasi/#ixzz1bz9IveCc

Kumpulan cerita motivasi Kumpulan cerita motivasi ANAK KECIL PENJAJA KUE oleh Lwg Corp. pada Wednesday 27 July 2005 Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, Pak mau beli kue, Pak? Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab Tidak, saya sedang makan . Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab Tidak dek saya sudah kenyang . Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak

itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah . Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini. Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan. Pak mau beli kue saya? , pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja. Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik . Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kepada orang lain. Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil? . Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, Saya sudah berjanji sama ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis . Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa kerja itu adalah sebuah kehormatan , kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang. Suatu pantangan bagi ibunya, bila anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang. Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu kerja adalah sebuah kehormatan , ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik. CATATAN : Semoga cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya kerja. Bukan sekadar untuk uang semata. Jangan sampai mata kita menjadi hijau karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki. Sekecil apapun profesi itu, kalau kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berarti besar.

Anak Lelaki dan Apel Busuk Anak Lelaki dan Apel Busuk oleh acha_gtx pada Thursday 02 February 2006 Suatu ketika ada seorang anak lelaki yang rajin bekerja. Kali ini ia berencana untuk menanam pohon apel. Bibit terbaik dibeli pupuk terbaik pun juga turut dibeli.Tanpa bosan anak lelaki tadi terus merawat pohon apelnya setiap hari. Menyiram, memupuk, dan membersihkan hama dilakukannya dengan senang hati.

Usaha sang anak lelaki tadi akhirnya membuahkan hasil. Setelah pohonnya membersar, pohon itu mulai menghasilkan buah. Walaupunbelum matang benar, dapat terlihat buah yang dihasilkan adalah buah aple yang pastinya sangat enak. Hari yang dinantipun tiba, satu demi satu buah apelnya matang. Sang anak lelaki bukan main senangnya. Usahaku berhasil .Hore . ucap sang anak dengan penuh suka cita. Ya, kini apel menjadi makanannya sehari-hari. Hal itu wajar karena apelnya sangat enak. Lebih enak dari apel washington Suatu hari ada tetangga sang anak tadi yang ingin mencicipi buah apel milik anak lelaki yang rajin tadi. Ia pun memberanikan diri untuk meminta buah apel itu ke pemiliknya. Wahai tetanggaku yang baik .bolehkah aku mencicipi buah apel yang itu sambil menunjuk salah satu buah di pohon. Kamu mau makan apel dari pohon yang aku tanam? tanya anak lelaki. Benar, sepertinya buah apel dari pohon yang kamu tanam sangat enak rasanya. Lihat saja warnanya ehmm its looks yummy Oh begitu kalau kamu ingin makan apel kamu harus menanamnya sendiri. Lihat nih aku, setiap hari merawat pohon ini. Sendirian lagi, tanpa ada yang membantu. Usaha donk!!!Kan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah! , jawab sang anak dengan penuh kesombongan. Anak lelaki tadi langsung masuk rumah dan meninggalkan tetangganya yang meminta apel. sang tetangga akhirnya pulang dengan kecewa. Setiap hari ada saja yang tergiur dengan buah apel yang ditanam oleh anak lelaki tadi. Tetapi jawaban yang sama senantiasa diucapkannya, Oh begitu kalau kamu ingin makan apel kamu harus menanamnya sendiri. Lihat nih aku, setiap hari merawat pohon ini. Sendirian lagi, tanpa ada yang membantu. Usaha donk!!!Kan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah! . Para tetangga yang tergiur pun lagi-lagi pulang dengan kecewa. Hari demi hari buah apel di gudang semakin penuh. Ternyata sang anak tidak mampu menghabiskannya sendirian. waduh gimana nich, kalau dibiarkan terus pasti akan busuk , pikir anak lelaki tadi. Sempatt terpikir untuk memberikannya kepada tetangga yang pernah meminta buah apel darinya di waktu yang lampau. Tetapi niat itu diurungkan. Enak saja kan aku yang menanamnya, masa diberikan begitu saja pada tetangga. No way ! Buah apel pun coba dibawa ke pasar untuk dijual. Wah kami ngga berani menjual buah ini, sebentar lagi busuk. Pasti jadi ngga enak lagi. Coba kamu datang beberapa hari yang lalu pasti kami beli. It s best apples taught i ever saw! Satu demi satu penjual buah ditawari, dan jawaban yang diterima selalu sama Wah kami ngga berani menjual buah ini, sebentar lagi busuk. Pasti jadi ngga enak lagi. Coba kamu datang beberapa hari yang lalu pasti kami beli. Its best apples taught i ever saw! . Sang anak pulang dengan rasa kecewa. Bau yang menyengat tersebar ke seluruh kota hanya dalam beberapa hari. Ya benar, bau busuk ini dari buah-buah apel yang membusuk milik anak lelaki tadi. Bukan hanya satu, dua, atau tiga kilo yang busuk tapi apel di gudang busuk semua, (mungkin sang anak tadi tidak punya kulkas kali jadi busuk dech buahnya ). Sang anak tidak berani keluar rumah. Malu pastinya. Ia pun tak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi masalah ini. Para penduduk resah, terutama para tetangga yang tinggal di dekat rumah sang anak karena tidak tahan bau busuk yang menyengat. Akhirnya penduduk desa meminta sang anak untuk membawa apel-apel busuknya jauh keluar kota atau sang anak harus meninggalkan kota itu. Sang anak memilih pilihan pertama, ia membawa seluruh apel busuknya ke suatu lembah dan

membuangnya di sana. Ia menyesal andaikan buah itu dibagikan ke para tetangga pasti hasilnya tidak begini. CATATAN : Pesan yang ingin saya sampaikan melalui cerita ini adalah Indahnya berbagi. Kita terkadang sama seperti anak lelaki tadi, merasa semua usaha kita adalah sepenuhnya milik kita, tidak ada untuk orang lain. Terkadang kita berucap, Usaha donk kalau ingin sukses, Kerja donk kalau ingin kaya, belajar donk kalau ingin pintar. Ya itu sepenuhnya benar, tapi apa salahnya membagi sedikit kebahagiaan kita kepada saudara-saudara yang lain. Ini lebih baik dari pada menyimpannya di gudang dan membiarkannya membusuk . Mulai sekarang kita akan coba untuk senantiasa berbagi. Sekali lagi Ini lebih baik dari pada menyimpannya di gudang dan membiarkannya membusuk . Judul: Arti Persahabatan Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah... Hahahahaha! aku tertawa sambil membaca. Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation! jelas Judi dengan nada nyaring. Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game. Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini. Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu? Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal. Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.

Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan ( Eh, itu... ) . Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri... aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah. Ohh iya itu! Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu. Oke, Beni kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk. Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. ...Beni, ayo...satpam Judi membisiku sekali lagi. Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku. Ya Tuhan! kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini. Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya. Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu. Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi. Hahahahaha... Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu. ( Hahahahaha... ) Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini. Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada

orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ). ---------------------------Cerpen tentang persahabatan yang berjudul Arti Persahabatan ini buah karya Loeis Chandra, Mahasiswa di Sidoarjo - Jawa Timur. Cerpen arti Persahabatan juga telah ditayang pada CerpenPersahabatan[dot]com

Kutitipkan cintaku pada-Mu Muhammad Aqil Al Fatih... Itu nama salah satu mahasiswa sekaligus seniorku. Mahasiswa lain biasa memanggilnya Aqil , tapi tidak denganku, aku lebih senang memanggilnya Alfath . Kebiasaanku mengganti nama orang memang sudah melekat kuat pada diriku. Semua berawal dari PROSPEK. Kebetulan aku mahasiswa baru disalah satu Universitas Islam di kota Sangatta Kaltim. Jadi mau tidak mau aku harus mengikuti Program Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (PROSPEK). Oh iya, namaku Azzna , nama yang diambil dari nama depan dan akhiran, begitulah orang-orang mendeskripsikannya. Lengkapnya Azzatul Khusna . Waktu itu tepat seorang panitia prospek berteriak nyaring disampingku. Owh My God, very noisy...!!! hanya kata itu yang aku ucapkan dalam hati. Setelah aku membelokkan kepalaku kurang lebih berbelok 90 derajat, kira-kira segitulah, karna aku juga tidak sempat mengukur berapa derajat kepalaku berbelok. Seorang laki-laki bertubuh tidak terlalu tinggi, berhidung mancung dan kalau aku bandingkan dengan laki-laki kebanyakan, dia termasuk laki-laki yang berkulit putih bersih, wajahnya terlihat sangat kalem dan religius. Tapi lupakan dulu gambaran dari panitia yang aku ceritakan tadi, karna aku juga bukan type-kal cewe yang selalu menomor satukan fisikly. Dan semenjak itu ada kebencian yang tertanam dihatiku. Aku hanya kurang suka dengan sikapnya itu, aku tidak suka ada orang yang berteriak didekatku. Waktu terus berjalan, dari prospek hari pertama, hari kedua, hari ketiga, dan aku merasa ada yang aneh denganku. Diam-diam aku suka memperhatikan seniorku itu, bahkan dengan berbagai alasan aku mendekatinya, tidak bisa disebut mendekatinya juga, karna aku hanya ingin melihatnya lebih dekat, paling tidak dari jarak yang tidak lebih dari satu meter. sampah .. yahh hanya itu yang bisa aku jadikan alasan. Dia berdiri tidak jauh dari tong sampah berukuran sedang, dua kali aku mondar-mandir memungut kertas/ plastic yang tidak terpakai, jelas memang aku seperti orang yang kurang kerjaan, tapi aacchhh.. aku tidak peduli, aku hanya ingin

melihat kakak senior, just it. Tiba waktunya para mahasiswa baru (peserta prospek., termasuk aku) harus meminta tanda tangan panitia-panitia prospek. Banyak panitia yang baik hati memberikan tanda tangannya tanpa si mahasiswa harus bersusah payah menuruti satu persatu perintah dari panitia. Tapi sepertinya hanya aku yang aneh, aku sibuk mencari dimana keberadaan salah satu panitia disana. Alhamdulillah, aku melihatnya, Thanks God , aku langsung mendekati rerumunan mahasiswa yang sedang asik meminta tanda tangan dari seorang panitia. Dan kini bukan satu meter lagi jarak aku dengan panitia itu. Aku bisa melihat jelas wajahnya, dia berada tepat dihadapanku, aku melihat dia bertanda tangan atas nama Muhammad Aqil Al Fatih . Itu dia namanya, sekarang aku tau siapa namanya. Nama yang indah seperti keindahan yang terpancar dari wajahnya. Dan otomatis, aku tidak mau melewatkan kesempatan itu, setelah mendapat tanda tangannya, aku masih tetap berdiri tegap disana, memandangnya dengan kekaguman yang luar biasa, mengagumi ciptaan Allah dengan jantung yang terus berdetak kencang. Prospek hari ke empat, sekaligus prospek terakhir yang kami ikuti, aku dan mahasiswa lainnya, senang, sedih bercampur seperti gado-gado yang tidak enak dibenakku. Pukul dua siang, seorang dosen memberikan materi terakhirnya. Aku mendengarkan dengan seksama, tetapi otakku terhenti saat aku menyadari Muhammad Aqil Al Fatih berdiri disamping kursi yang sedang kududuki. Astaga, Kak Alfath ,.. aku terpekik pelan, aku terlalu senang dengan detik ini, detik yang memporak-porandakan otak dan hatiku. Dan bukan lagi seperti gado-gado yang bercampur aduk, melainkan seperti tomat yang diblender, berkolaborasi dengan gula, air, es batu yang teraduk dalam satu tempat. (huuuhhhh.. ...) aku menarik pelan nafasku dan mulai mencari inspirasi untuk memunculkan ide-ide konyol sesion 2, selain ide sampah kemarin. (Ohh inspirasi.. datanglah.. datanglah..) Aku menjatuhkan pulpenku, bertujuan agar Kak Alfath bersedia mengambilkan untukku, dan sial.. pulpen itu tidak bisa diajak kolaborasi dengan baik. Ntah apanya yang salah, tanganku yang terlalu berdosa atau memang pulpenku yang sedang tidak mood bekerjasama denganku. Pulpen itu meluncur dengan tidak terkontrol. Alhasil, seorang laki-laki bertubuh besar yang duduk didepanku berbaik hati mengambil pulpen itu untukku. makasih .. itu yang aku ucapkan pada laki-laki itu dengan imbuhan senyum kecut yang sok manis. Berhubung hari terakhir prospek, jadi malamnya diadakan acara malam penutupan prospek . Panjang ceritanya aku bisa dapat nomor HP Kak Alfath, tetap dengan berbagai alasan konyol, yang intinya, seusai prospek aku sudah ber sms an dengannya, yang aku tau sekarang, dia orang yang cukup pendiam, kaku seperti robot, atau memang karna aku yang belum mengenalnya

lebih dekat. Tapi tenang saudara-saudara, sikap Kak Alfath yang seperti itu tidak lantas mematahkan semangatku. Kampus mengadakan kemah mahasiswa disebuah pedesaan selama empat hari. Selama kemah mahasiswa itu, aku semakin menambah pengalaman dan wawasanku. Berbaur dengan warga sekitar, sangat menyenangkan. Terlebih lagi dengan adanya Kak Alfath, meski ada dia, tidak setiap saat aku bisa bertemu dengannya. Kami memang ber sms an, tapi bukan berarti kami jadi dekat, yang seperti aku bilang tadi, Kak Alfath seperti robot, tidak asik, kalaupun tidak sengaja aku bertemu dengannya, tidak ada tegur sapa sama sekali. Lambat laun, masih melalui sms, aku mulai tidak canggung lagi, obrolanku juga agak menjurus kearah rayuan, aku tidak peduli, aku bukan orang yang gengsi untuk merayu lawan jenisku, jelas yang aku maksud disini bukan rayuan seperti perempuan genit, nakal atau sebagainya. Kalau tidak percaya, aku akan beri salah satu rayuan terbaikku itu, Ehm.. kalau boleh jujur, ada satu hal yang aku suka dari kakak, aku suka mata kakak, indah,, bersinar,, aku boleh panggil kakak bintang? . . gimana menurut kalian? Bukan seperti perempuan genit yang berusaha menggoda lawan jenisnya kan? Dari situ Kak Alfath mulai merespon, aku tidak tau itu harapan atau hanya sekedar formalitas saja. Kak Alfath juga mulai tidak canggung membalas kata-kataku, kami bisa lebih saling mengenal satu sama lain, dengan berbagai pertanyaan yang bertujuan memancing sang idolapun kukerahkan satu persatu, hingga aku tau banyak tentang Kak Alfath, dari makanan favorit, minuman favoritnya sampai hal terkecil aku berusaha untuk mengetahuinya. Dia terlihat lebih menyenangkan bila seperti ini. And all my love I m holding on forever Reaching for the love that seem So far.. So i say a little prayer Andhope my dream will take me There Where the skies are blue To see you once again my love Oversees from coast to coast To find the place i love the most Where the fields are green To see you once again my love

Lirik lagu favoritku westlife-my love persis menggambarkan perasaanku saat ini. Empat hari berlalu, kemah mahasiswapun hanya bisa dikenang. Akhirnya aku kembali dirumah. Aku masih bingung dengan perasaanku kepada Kak Alfath. Aku terus memikirkannya, dan itu membuat hatiku tidak tenang. Seusai shalat maghrib, aku menengadahkan tanganku pada-Nya. Ya Allah,, Ya Rob,, nama Kak Alfath sungguh semakin melekat dihati ini, kebencian yang pernah tertanam pada diri hamba kepada Kak Alfath sudah tidak ada dihati hamba, kebencian itu lantas menjadi jembatan untuk hamba masuk kedalam hati Kak Alfath, tentu hamba hanya ingin selalu melihat Kak Alfath dalam keadaan yang baik, berikanlah yang terbaik untuknya, amiinn.. Didalam bait doaku, aku selalu melampirkan nama Kak Alfath, perasaanku akhir-akhir ini gelisah tidak melihat Kak Alfath. Ini pertama kali aku merasakan hal aneh seumur hidupku. Apa aku jatuh cinta? Ntahlah.. sepertinya begitu. Semakin hari aku semakin tersiksa dengan perasaan ini, aku menangis dalam keheningan malam-malamku. Dadaku terasa sesak bila terus-terusan sepeti ini, cinta pertama yang kualami terasa menyesakkan. Bukan hanya perasaanku, tapi semua yang aku punya untuk mencintai Kak Alfath, semuanya terasa sakit. Kembali aku berdoa pada shalat tahajud yang aku lakukan, Maha Suci Allah.. Engkau yang tau perasaan hamba, sungguh sampai detik ini, hamba tidak bisa berhenti memikirkan Kak Alfath, tanpa kusadari air mata jatuh tepat dimukena putih yang aku kenakan. Apa hamba salah jika hamba mengharapkan Kak Alfath mempunyai perasaan yang sama? Apa hamba terlalu egois jika hamba berpikir seperti itu? Tunjukan jalanmu Ya Allah.. Tidak bisa memiliki orang yang kusayang, terlebih lagi ini cinta pertamaku, itu sangat menyedihkan. Apa yang harus kulakukan agar Kak Alfath bisa sedikit membuka hatinya untukku? Kurang lebih beberapa hari ini aku mencari tau informasi tentang Kak Alfath melalui temanteman seangkatannya. Kini aku tau, perempuan seperti apa yang bisa menarik hatinya. Aku memulai dengan merubah penampilanku menjadi lebih feminim, semua orang tau aku bukan perempuan yang bisa dikatakan feminim, bahkan sangat jauh dari itu, aku lebih sering memakai rok sekarang, walaupun itu tidak nyaman untukku, tapi kalau dipikir dengan akal sehat, memang bagus merubah diri menjadi yang lebih baik, karna kodrat seorang perempuan harus seperti itu.

Malam ini aku memberanikan diri untuk menanyakan suatu pada Kak Alfath melalui sms yang aku kirimkan padanya, aku juga bukan perempuan yang suka berlama-lama berbasa-basi. Ini sms yang aku kirimkan, Kak, apa kakak udah punya pacar? . Seketika aku merasa bodoh menanyakan hal itu, tapi inilah tujuan utamaku. Azzna bodoh.. apa kamu siap dengan jawaban Kak Alfath nantinya? Bagaimana kalau jawabannya hanya membuat kamu semakin sakit? Apa yang akan kamu lakukan? Menangis dan terus-terusan mengadu pada Sang pemberi hidup? Bisikku pada diriku sendiri. Dengan perasaaan kacau aku menunggu balasan dari Kak Alfath. Getar Hpku menghentikan segala pertanyaan aneh yang meraung-raung meminta jawaban diotakku. Bismillah.... sembari membuka sms itu, Iya, kakak sudah punya pacar dik, dikampung. Degggg.... kali ini bukan lagi sakit yang aku rasa, tapi rasa nyeri yang tidak terkendali, aku merasa berdosa telah menyukai dan berharap pada orang yang notabene sudah menjadi pacar perempuan lain. Air mataku sekejap bercucuran menolak kenyataan ini. Apa aku menyesal bertanya seperti ini? Kenapa aku harus menanyakan hal ini? Kenapa Kak Alfath tidak mengerti perasaanku? Kenapa semuanya tidak berpihak padaku? Berbagai kata kenapa memenuhi otakku kini. Sms ini tidak aku lanjutkan, aku tidak mau mendengar pernyataan selanjutnya yang akan Kak Alfath ucapkan. Aku hanya ingin tidur, yahh.. dengan tidur aku bisa melupakan smuanya, sakit hati, air mata, semuanya... Paginya aku kembali terbangun, tepat setengah empat pagi aku mengambil air wudhu. Shalat tahajudku kali ini terasa berbeda, karna mataku sedikit terjanggal, mataku terlihat sangat sembab, efek dari tangisan semalam. Tiba saatnya aku memanjatkan doa seusai shalat, Engkaulah tempat terbaik untuk mengadu, hanya Engkau penenang hati dan jiwaku saat ini, Ya Allah kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan, hamba mencintai Kak Alfath sebesar yang Engkau ketahui, atas dasar keridhoanmu, hamba bisa mencintainya seperti ini. Sepenuhnya hamba titipkan cintaku pada-Mu, lindungilah Kak Alfath... Satu minggu setelah itu, aku mendapati kabar bahwa ayahku harus berpindah kerja di Jambi, aku dan keluargaku terpaksa ikut pindah, dan kuliahku juga harus terhenti, mungkin aku memang harus memulainya dikota lain, karena ayah akan menetap kerja di Jambi, jadi aku tidak takut lagi memulainya dari nol. Masih ada waktu untuk aku menulis surat untuk Kak Alfath, karna hanya dia yang pertama kali kuingat sebelum perpindahanku. Paginya pukul tujuh, Airin teman dekatku dikampus kerumah, seperti halnya seorang sahabat,

ia menemuiku mengucapkan salam perpisahan sebelum ia pergi kuliah. Tidak lupa aku menitipkan suratku itu pada Airin, Airin yang mengerti benar bagaimana awal cerita aku membenci hingga menyukai Kak Alfath sekaligus sahabat terbaik yang aku miliki. Mobil avanza berwarna silver milik Om ku sudah datang, Om ku yang akan mengantarkan aku dan keluargaku menuju bandara Balikpapan. Pelukan hangat dari Airin membuatku tenang. Hati-hati Na.. jaga dirimu baik-baik.. . ucap Airin padaku dengan mata berkaca-kaca. Iya Rin, jangan nangis ach.. makin jelek tau. Balasku dengan tetap terlihat cool. Sakit ya Na.. Aku baik, makanya selalu doakan aku supaya selalu baik agar kita bisa bertemu lagi esok. Kataku dengan sedikit menahan tangis, meski aku tau yang Airin maksud memang bukan fisikku, melainkan sakit hatiku. Tepat setengah delapan Aku dan keluargaku berangkat. Sekarang aku sudah berada dipersimpangan Bontang, Airin pasti sudah bertemu dengan Kak Alfath dan memberikan suratku. Assalamualaikum Kak Alfath... Memory otakku seolah tidak berhenti memutar setiap kenangan tentang Kak Alfath sewaktu aku menulis surat ini. Muhamamad Aqil Al Fatih .. mungkin ini kali pertama aku menyebut nama kakak, dan aku tidak pernah berharap menjadi yang terakhir kalinya, karna aku berkeinginan suatu saat nanti tepat dihadapan kakak, aku bisa menyebutkan nama kakak dengan lengkap, walaupun hal itu dirasa sulit, karna bahkan aku tidak tau bisa bertemu kakak lagi atau tidak. Kakak tentu ingat pertama kali aku meminta izin ingin memanggil kakak bintang ..? pada saat itulah aku merasakan perasaan itu, perasaan yang mungkin orang biasa menyebutnya dengan cinta.. . aku cukup senang bisa mengenal kakak, tidak ada sedikitpun penyesalan yang aku rasa. Sampai akhirnya aku tau sudah ada perempuan beruntung yang memiliki kakak. Sumpah, demi tiap tetes air mataku, aku berat menerima kenyataan itu, kenyataan yang menghancurkan hati dan jiwaku. Satu detik dimana aku rasa, aku telah benar-benar mencintai kakak. Tapi ada hal yang paling rendah dan berdosa, yaitu kalau aku iri dengan perempuan yang sudah memiliki hati kakak. Aku sadar, hidup itu pilihan, sama seperti cinta, aku bisa memilih melupakan kakak atau tidak sama sekali, dan dua-duanya tetap ada resiko. Aku hanya ingin melupakan hal yang bisa aku lupakan dan tidak ingin memaksakan diri untuk melupakan hal yang sulit untuk lupakan, dan itu kakak. Jangan timbulkan pertanyaan knapa aku menyukai kakak, karna sampai nafasku berhenti

berhembus, aku tidak akan pernah mengetahui alasan knapa aku menyukai kakak, aku hanya tau sebuah rasa yang tulus ialah seonggok rasa yang tidak beralasan. Kakak sepeti malaikat untukku, malaikat yang sedikit banyak sudah mengajarkan arti kedewasaan, mengikhlaskan sesuatu yang belum berpihak padaku, berubah menjadi yang lebih baik, dan semuanya. Terimakasih dan maaf. Wassalam... . Dering HP menghentikan lamunanku. Airin .. . ada apa dia meneleponku. Hallo, assalamualaikum .. ucapku. Walaikumsalam.. .Azzna, aku mohon sekarang kamu putar balik, Kak Aqil ingin menemuimu. Dengan suara yang terdengar terdesa-desa. Tapi.... Aku mohon. .. pinta Airin. Hanya kali ini, aku yakin keluargamu akan mengerti. Lima menit lamanya aku berhasil membujuk orang tua dan Om ku. Setelah setengah jam perjalanan, aku sampai diKampus, karna tadi Airin sempat sms menyuruhku langsung ke Kampus. Jantungku berdegup kencang sekali. Didepan salah satu ruangan, aku melangkahkan kakiku perlahan. Banyak orang disana, terlihat Airin menghampiriku. Azzna..,.. kemudian Airin terdiam. Langkah kakiku membuat orang-orang disana beralih melihat kearahku. Aku melihat seorang laki-laki terbaring lemah ditengah-tengah rerumunan orang yang sekarang melihat kearahku. Aku mendekati laki-laki itu, jantungku tidak lagi berdegup kencang, tapi serasa berhenti melihat laki-laki yang sekarang sudah berada didepanku. Kak Alfath .. . wajahnya terlihat aneh. Sabar Na.., aku seperti mendengar sayup-sayup suara Airin, dan beberapa isakan tangis orangorang disekitarku. Kak Alfath. .. apa kakak kedinginan? Udara sangat panas diluar, dan bukannya kakak pernah cerita kalau kakak sangat menyukai warna coklat? Kakak bilang hampir semua barang-barang yang kakak punya bewarna coklat, tapi knapa sekarang kakak memakai selimut putih ini? ucapku. Kakak juga berbohong hari ini, kakak juga cerita kalau kakak suka sekali dengan jus jeruk, bahkan kakak bilang selalu menolak jika diberi minuman selain jus jeruk, lalu kenapa air yang menempel dibibir kakak bewarna merah? Itu seperti bukan warna jus jeruk. Aku berusaha sedikit mendekatkan telingaku pada hidung mancung Kak Alfath, dan memejamkan mataku, mencoba merasakan hembusan nafasnya.

Kak, knapa kakak menahan nafas seperti ini? Tolong jawab kak. Kataku sambil menahan tangis. Setelah membaca suratmu, Kak Aqil sudah berusaha mengejarmu Jan, Kak Aqil bilang, dia hanya ingin mendengar smuanya langsung dari kamu, tapi takdir berkata lain, motor yang dipakai Kak Aqil oleng dan smuanya terjadi. Semuanya terlambat sebelum dibawa ke Rumah Sakit. Ucap Airin dengan sedikit terisak. Kali ini tangisku benar-benar pecah. .. Aku memang sudah sepenuhnya menitipkan cintaku Pada-Nya.. Kak Alfath pergi untuk selamanya.. . *THE END *... -------------------Tersenyumlah Sahabat Ku!! Cerpen Sahabat Kala mentari sudah mulai menampakan dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Tubuhku sudah siap untuk menyambut pagi ini, meski bahan makalah masih terbengkalai, laporan karya ilmiah masih terbengkalai, tugas-tugas sekolah pun masih terbengkalai dan sekarang muncul pula masalah yang memusingkan kepala. Meski pikiranku ini tak karuan, aku paksakan kaki ini untuk terus melangkah ke tempat tujuan.

Dia datang dengan wajah cemberut, yang duh .... aku tak suka, wajah itu mengingatkan aku pada musuh-musuh teroris yang seakan-akan ingin memangsa negeri ini sampai tak berdaya. Gayanya, senyum sinisnya, bicaranya, diamnya dan aku muak pada semua yang berhubungan dengannya. Iya ... aku tau, dia sahabatku. Sahabat yang selama ini ada disampingku, berjuang dan hidup di tempat yang sama, bahkan tak jarang makan dan tidur bersama. Tapi sedihnya kebersamaan yang indah itu harus terenggut begitu saja, kami mengalami perang dingin semenjak kebersamaan itu terekat semakin indah. Awalnya tidak ada yang salah, kami tetap seperti dulu, akrab dan selalu bersama, dimana-mana

berdua, dimana diri ini berada, disitu pun ada dia. Tapi seketika bencana datang menghadang, ombak yang besar menghancurkan sendi-sendi persahabatan kami, dan yang ada kini hanya tinggal puing-puing tak berarti. Aku sedih .. !! Iya ,, aku sangat sedih. Dalam waktu sekejap persahabatan yang indah itu hancur berkepingkeping. Wajah manis berubah menakutkan, tak ada kata yang keluar dari bibirku dan bibirnya. Bibir itu mengatup tanpa komando. Kebahagiaan berubah menjadi kesedihan, kebersamaan berubah menjadi perpisahan. Meski raga bersatu tapi jiwa terpisah. Sering aku bertanya dalam hati, kenapa ini bisa terjadi?? Mengapa kesedihan yang sama harus terulang kembali, mengapa harus ada kesedihan setelah kesedihan itu pergi ?? Tapi sayang, tak ada jawaban ! Pertanyaan hanya tinggal tanya. Aku hanya manusia biasa, aku tetaplah insan lemah yang tak punya daya. Aku tidak bisa mengelak dari bencana itu. Rha, besok giliran kelompok kita untuk presentasi, tadi siang Fachri kasih tau aku. Aku beranikan diri menghampirinya. Aku harus bisa melawan syetan itu. Aku tidak mau dicap sebagai orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi. Seperti sabda Nabi dalam sebuah hadistnya : Tidak akan masuk surga orang yang mendiamkan saudaranya selama lebih dari 3 hari. Percuma beribadah sepanjang masa kalau akhirnya tetap masuk neraka. Itulah kenapa aku mati-matian ungkapkan sepatah dua patah kata padanya. Aku tak peduli apakah dia mau dengar atau tidak, ditanggapi atau tidak aku tak peduli. Biar saja, yang yang penting tugas dan kewajibanku selesai. Dia mengangguk sambil bergumam pelan, aku tidak sempat mendengar gumaman itu karena aku terlanjur mengangkat kaki dari sana, aku tak punya daya untuk terus menopang kaki di tempat itu. Tak ada ucapan terima kasih yang aku dengar dari bibirnya. Biarlah ! aku tak butuh ucapan terimakasih itu, yang pasti aku lega karena kewajiban itu berhasil aku tunaikan. Setidaknya aku tidak akan masuk neraka karenanya. Itu saja ! Lambat laun perang dingin itu tercium juga. Teman-teman sekelas pun heran melihat aku yang tidak seperti biasanya. Mereka yang tau aku dan kenal siap aku, mereka yang selalu melihat aku dengan Zahra selalu bersama-sama. Tapi sekarang .. mereka tak melihat lagi hal itu. Mungkin mereka juga sudah tau masalah antara aku dan Zahra. Aku ditemui Nabil setelah bel pulang sekolah di ruang kelas. Syah, ada masalah ya sama Zahra ? tanyanya sambil menarik kursi dan duduk disampingku. Mau tak mau aku harus jujur. Iya, aku juga ngga tau kenapa bisa terjadi ? ujarku. Awalnya gimana sih kejadiannya ? Nabil balik Tanya. Aku rasa karena masalah kemarin, dia nanya tapi aku menanggapinya kurang ramah. Seharusnya dia juga ngerti kalau saat itu aku lagi bingung dan panik. Kamu kenapa jawabnya kurang ramah? protes Nabil.

Aku kesal aja, dia ngga sopan sama aku. Memang dia anggap aku apa ? Aku balik protes. Aku tau, semuanya terjadi karena kalian sama-sama panik dan terjadilah salah paham seperti itu. Sekarang kamu lupakan saja masalah itu.kembalilah bersikap biasa, bersahabatlah seperti dulu. Aku ngga suka kamu seperti itu. Sebenarnya aku yang salah, seharusnya aku bersikap bijaksana, tidak boleh membalas keegoan dengan keegoan yang lain. Nah ,, itu kamu tau sendiri. Sekarang kamu harus seperti dulu lagi, sapa dan bicaralah denganya. Jangan takut dicuekin, itu tantangan mulia untukmu. Ayo Aisyah ...berjuanglah ! sangat mulia orang yang menghubungkan silaturrahmi. Nabil menasehatiku. Aku bersyukur punya teman yang perhatian dan suka mengingatkan. Dia memang teman yang baik. Makasih ya ,, Bil. Aku akan berjuang mengembalikan jalinan itu kembali. Mohon doanya ya !! Aku menggerakan bibir sambil membentuknya menjadi lebih indah, itu senyuman paling manis yang aku ciptakan. Aku berharap senyumman itu bisa meluluhkan hatinya. Tapi ternyata senyum itu hanya tinggal senyum. Senyuman manisku teracuhkan begtu saja, dia melengah tanpa membalas sedikitpun. Hatiku menyuruh sabar .. sabar .. dan tetap sabarr. Perjuangan belum usai !! Aku tidak boleh menyerah ... Aku harus tetap berjuang sampai senyuman manisku dibalas dengan senyuman yang paling manis. Oya ,, Rha , besok materi presentasi kita tentang wawancara, drama dan pidato. Lagi-lagi senyumku mengembang sambil menyapanya. Aku bersyukur punya bahan pembicaraan supaya bisa berbicara dengannya. Dia diam saja, lagi-lagi tanpa ucapan terima kasih. Ah ,, sudah biasa. Hari ini kos an sepi, sunyi, tak ada suara-suara yang berarti. Mungkin semua orang sibuk dengan aktivtasnya disekolah. Aku tau, di kamar sebelah ada Zahra. Aku juga tau, hanya aku dan Zahra yang tersisa di kos an hari ini. Aku sengaja berangkat agak siang ke sekolah,karena aku tau Zahra masih siap-siap di kamarnya. Aku beranikan diri menghampirinya dan mencoba menyapanya. Bermaksud untuk mengajak beangkat kesekolah bersama, tapi sayang sepertinya usahaku kembali sia-sia. Dia seolah-olah menganggapku tak ada. Saat itu, tak sanggup lagi rasanya hatiku menerima perlakuan seperti ini. Dia hanya diam saja tak perdulikan omonganku. Rha ,, aku kesekolah duluan ya. Lagi-lagi aku tabah-tabahkan hati setelah sekali lagi dicuekin. Dalam hati aku berdoa semoga Allah melembutkan hatinya dan bisa menerima aku kembali menjadi sahabatnya. Sayang ,, persahabatan indah itu harus pupus di tengah jalan setelah sekian lama membinanya Boleh bicara, Rha ? Aku menghampirinya di perpustakaan. Dia cuek, tanpa mmenoleh sama sekali, matanya lekat tertuju pada buku yang sedang dia baca. Rha ,, kamu dengar suara aku kan ? kali ini suaraku terdengar serak.sedih sekali dicuekin

seperti ini. Mau ngomong apa ? Itu suara Zahra. Alhamdulillah akhirnya suara itu terdengar juga setelah sekian lama aku menantinya. Kita tidak boleh seperti ini terus Rha, diam-diaman tanpa kenal dosa.sedih hati ini Rha, kita bersahabat sejak lama, sayang hanya karena masalah sepele kita bermusuhan seperti ini. Mari kita rajut kembali benang-benang itu menjadi tali ukhuwah yang lebih indah, mari kita bina persahabatan kita kembali. Air mataku berjatuhan dari pelupuknya. Air mata itu mengalir mengairi pipi mulusku lalu merambas ke sela-sela jilbab putih yang aku pakai. Rabb ,, hati ini sedih sekali. Batinku pelan. Terserah .... Hanya itu jawaban darinya. Terserah apanya, Rha ? Ya terserah . Kamu ga boleh seperti itu Rha, kasihlah komentar harus seperti apa hubungan kita,harus dibawa kemana persahabatan kita ? Up to you ! itu jawaban singkat yang betul-betul menyinggung perasaanku. Sedikitpun dia tidak menghargai aku sebagai sahabatnya. Dari jawaban ketus itu aku bisa mengambil kesimpulan bahwa Zahra tak lagi menganggap diriku sahabatnya. Terima kasih Rha atas jawabanmu, setidaknya aku tau apa yang harus aku lakukan setelah ini. Maaf kalau aku selama ini tidak bisa menjadi sahabat yang baik bagimu, maaf kalau selama ini aku sering merepotkanmu dan maaf kalau aku harus mengambil keputusan yang aku sendiri tak sanggup melakukannya. Tapi sanggup tak sanggup aku harus tetap menjalankannya. Air mtaku bertambah deras membasahi pipi,suaraku gemetar tak terhingga. Sebelum beranjak aku kuatkan hati untuk mengulurkan tangan ingin bersalaman, mungkin jabat tangan terakhir. Alhamdulillah dia menyambutnya walaupun hanya sekilas saja. Aku beranjak ke luar dengan hati pilu. Keputusanku sudah bulat, aku harus hijrah ke tempat lain. Aku tidakmau menjadi masalah disini. Mengalah bukan berarti kalah bukan ??? Namun, sungguh sejujurnya aku tak mengharapkan kejadian ini. Aku pikir semuanya akan baikbaik saja. Sudahlah ... Apa dayaku ,,, Harapan aku selama ini tak kunjung ku dapatkan, ku tak temukan lagi senyuman dari sahabatku . SAHABAT Aku bersembunyi .. Bukan berarti akumenghindar Aku tenggelam..

Bukan berarti aku menghilang Tapi.. Semua itu aku lakukan Demi kebaikan kitabersamanya

Rana Adalah satu hal yang selalu dilakukan Rana setiap sore. Setiap hari selepas berkeliling kota mencari objek foto yang bagus, dia selalu mendaki bukit kecil dibelakang kotanya itu, kemudian duduk di sana melepas penat. Sebelum pulang, ia tak pernah lupa memotret sebatang pohon besar yang menaunginya sepanjang sore. Sekalipun rutinitas itu telah mengakar dalam daripadanya, dan tak satu haripun ia terlupa melakukannya, ia tak tahu nama pohon itu. Tapi tak apa, baginya pesona pohon itu memberikan sesuatu yang berbeda. Kebanyakan fotografer tidak suka mengambil foto dari objek yang sama terus menerus. Rana berbeda. Pohon itu milik Rana. Beberapa temannya sempat mencoba setelah melihat kumpulan fotonya mengenai pohon itu. Begitu ekspresif. Selalu ada yang berbeda dari setiap foto, semuanya menggambarkan sisi yang lain dari bukit itu. Saying, tak pernah ada yang berhasil. Hanya Rana yang mampu mewujudkan pesona pohon itu kedalam kameranya. Ia tidak tahu mengapa, namun hal itu tidak membuatnya risau. Baginya, hal itu terjadi karena teman temannya yang lain tidak punya koneksi dengan pohon itu seperti dirinya. Baginya pohon itu lebih dari sekedar satu satunya pohon di bukit. Pohon itu adalah perwujudan dirinya. Tanaman yang tumbuh sendirian tanpa perhatian orang lain, kokoh walaupun berada di tempat yang tidak dilihat orang. Akarnya saling membelit liar, Rana yatim piatu. Ia menghuni panti asuhan sejak ia bisa mengingat. Kamera bekas sumbangan seseorang adalah pelariannya. Benda itu begitu menakjubkan, mampu mewujudkan kepingan kepingan memorinya dalam gambar. Dia memandang benda itu dengan kagum setiap harinya, dan setiap pulang sekolah selalu melompat keluar jendela untuk mencobanya pada semua hal yang disukainya. Rana memang agak pemberontak di waktu waktu tertentu. Tapi dia bukanlah berandalan. Baginya, ada desir kecil yang selalu membawanya berpetualang bersama kamera usangnya. Ia berhenti jajan dan menabung uangnya untuk dua atau tiga rol film setiap bulannya. Sebelum dia sadar, dia sudah menjadikannya mata pencahariannya, sekaligus pelepas gundahnya. Dia memenangkan kontes fotografi junior setelah dimarahi guru matematikanya, dia mendapat pekerjaan sebagai fotografer freelance setelah sang editor Koran melihat foto yang dibuatnya saat ia bolos sekolah. Ia tidak bangga pada pelanggaran pelanggaran yang dibuatnya, tapi ia bangga pada karyanya. Ia mencintai dunianya, dunia yang dilihat dari celah viewfinder, yang selalu terlihat lebih luas di matanya. Dan itu satu alasan dia lebih menyukai gambar pemandangan disbanding manusia. Sebagai profesional yang populer, tidak hanya dari kemampuannya namun juga sifatnya, Rana sering diundang ke berbagai tempat di luar negeri, membuat foto untuk iklan pariwisata,

pamphlet konservasi alam dan sebagainya. Pekerjaan yang otomatis membawanya ke berbagai tempat indah di bumi, tapi baginya, tempat inilah rumahnya. Ia masih menyukai rutinitasnya semasa sekolah, sebelum memulai karir profesional. Pohon ini selalu menyambutnya kapanpun Rana kembali. Banyak orang menganggapnya eksentrik. Malahan, ia pernah mendengar bisik bisik iri yang menuduhnya mendapat bakatnya dari si pohon. Ia mendengus dan menahan tawa mendengarkan kisah ini beredar. Begitu syirik! Ia nyaman berada di sana, seolah berada dalam pelukan Bunda Pertiwi, dibelai angin berdesir lembut, keluar dari segala tekanan perkotaan. Sampai satu hari pemerintah hendak menebang pohon itu dan mengubah bukit itu menjadi kompleks gedung pemerintah. Mendengarnya, ia begitu marah, begitu frustasi. Orang orang itu, berani mengusik oasenya! Mengubah satu lagi pojok yang tersisa dari bumi jadi gedung gedung kotak kotak yang kasar dan dingin! Mentang mentang lebih berkuasa. Yang membuatnya sakit hati, tender dimenangkan oleh sebuah grup perusahaan besar, yang terdiri dari petinggi yang solid dan berduit, yang dengan kata lain menghilangkan kemungkinannya menuntut secara hukum. Yang bisa dibuatnya dalam kapasitas yang dimilikinya adalah membuat foto foto yang dimilikinya menjadi brosur dan selebaran. Cara yang diharapkannya dapat membantu mempertahankan tanah itu. Ketika rakyat mulai berkumandang meminta pemerintah mendukung pelestarian dan buaknnya merusaknya, muncul lagi berita bahwa kompleks itu tak hanya erdiri atas sekedar gedung administrasi, namun juga pusat kesehatan dan fasilitas lain bagi anggotanya, yang jelas, mewah. Rana terbantu, karena dengan itu masyarakat semakin vokal. sayang, harapan itu gugur pulalah saat para petinggi menampik tuduhan tuduhan rakyat, berkilah dengan alasan aneh seperti bahwa para anggota memerlukan semua itu agar tidak stress. Ingin rasanya Rana masuk dan menampar si petinggi yang diwawancarai. Buat rakyat mana?! Kunjungannya ke bukit itu menjadi semakin sering dan sering semenjank mencuatnya kasus tersebut, seolah dengan kedatangannya dapat mempertahankan tempat itu sedikit lebih lama. Ia merasa bahwa itu terasa tidak adil. Tempatnya di dunia telah terenggut semenjak ia kecil, ketika ia dibuang dip anti asuhan. Sekarang dia telah mendapat tempat untuk dirinya, mereka seenaknya merebutnya darinya. Dialah yang menemukan tempat itu. Pohon itu milik Rana. Tiada yang boleh mengambilnya darinya. Ketika putusan telah ditetapkan dan tanggal pembangunan telah disiapkan,ada satu kejadian di tengah malam berangin yang mengubah semuanya. Malam itu berbadai. Tidak ada yang berani keluar rumah, bahkan dengan jaket tiga lapis sekalipun. Tiang listrik serasa mau rubuh, begitu juga rumah mereka. Atap nyaris terbang, dan sekali kali terdengar bunyi genting rumah sebelah menghantam rumah lainnya.

Yang keesokan paginya ditemukan Rana adalah akar pohon itu, meranggas dan menghitam. Sekelilingnya hangus dengan mengerikan. Petir telah menyambar dan membumihanguskan bukit itu. Menggundulinya. Ia dapat merasa hatinya tercabik menyaksikan pemandangn tiu. Kemudian tersiar berita pembangunan tidak jadi dilaksanakan. Kontur tanah itu rusak, ada lubang retakan merekah di tengah bukit dari akar akar pohon tua itu. Tempat yang dulunya indah itu tak lagi cocok jadi tempat rekreasi para pejabat. Dalam hati ia berpikir, ia lebih senang tempat itu diambil kembali oleh Langit daripada dipakai para pejabat korup sok kuasa yang dibencinya. Biarpun begitu, ia tetap tidak bisa membiarkan bukit itu kehilangan cahayanya. ***** Bukit itu beralas karpet beludru hijau rerumputan yang halus. Beberapa macam bunga mencuat dari semak semak. Anak anak bermain dengan gembira, mengejar kupu kupu beraneka warna. Bertahun tahun telah lewat, dan hampir tidak ada lagi yang mengingat kejadian yang menghancurkan bukit itu. Hanya saja, lekat di ingatan mereka seseorang yang mendedikasikan hidupnya pada bukit itu, mengembalikannya pada kejayaan lamanya. Rana. **** Kutemukan Arti Hidup - Cerpen Remaja Cerpen Remaja, Judul: Kutemukan Arti Hidup ------------------------------------Kehidupan itu adalah perjalanan yang panjang, penuh tikungan yang tajam, dan akan jatuh bila tidak hati-hati melewatinya. Orangtuaku memberi namaku Viandita, yang kata teman-temanku adalah anak pendiam, terutama di SMA kami. Aku sangat mencintai masa-masa SMA-ku, walaupun sebenarnya aku belum pernah mendapatkan apa yang selama ini aku cari. Di sekolah aku mempunyai banyak teman, ya ada Icha, Satya sahabatku sejak SMP dulu. Sejak tiga tahun kematian ayah karena gagal ginjal, aku tinggal bersama tante Ana, dia adalah adik dari ibuku. Dimana ibumu? Ya, ibuku meninggal ketika aku baru berusia dua hari, dia meninggal karena pendarahan yang hebat. Dan aku tidak pernah merasakan hangat pelukannya. Sifatku yang keras terkadang membuat orang di sekelilingku jengkel, aku tahu itu, tapi itulah aku.

Selama ini aku telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupanku. Aku terlalu egois dan selalu berpikir hidup ini hanya untuk bersenang-senang. Tanpa kusadari bahwa sebenarnya aku tak kan selamanya merasakan kebahagiaan, dan kesedihan akan selalu mencari celah utnuk masuk di kehidupanku. Hidup ini seperti pohon, itu yang ayah bilang padaku. Tiap bagiannya mempunyai arti khusus yang tak bisa diuraikan satu persatu, tapi akan kuberikan satu diantaranya, yaitu daun. Ayah bilang mereka tumbuh, lalu berguguran dan berganti lagi dengan yang baru, itu seperti orang yang lahir, pergi dan akan ada lagi yang baru. Dan di sini, aku telah menemukan arti dari kehidupan itu yang sebenarnya... Bel berbunyi, seperti biasa pelajaran akan dimulai, tapi beberapa anak masih tampak berkeliaran di luar, mereka memperbaiki pakaian yang berantakan, berlari karena terlambat dan memelas untuk bisa melewati pintu gerbang yang sudah ditutup tepat pukul 07.15. Pemandangan ini adalah makanan sehari-hari bagiku yang bisa kulihat dari jendela yang tepat berada di sampingku. Aku menyukai tempat yang sedang kududuki ini karena di sini semua sudut sekolah bisa kulihat. Aku tersentak kaget saat tangan Icha mendarat di pundakku. Serius amat, lagi ngeliat apaan sih? tanya Icha heran. Ngak ada, balasku singkat dengan senyum yang tak berarti. Wajah Icha terlihat bingung, tapi dilanjuti dengan senyum manis yang sering membuatku gemas. Dan ..... Tuk...tuk ....tuk.... suara sepatu menyentuh lantai itu kian mendekat kelasku. Anak-anak yang sudah hapal dengan suara itu berhamburan kembali ke tempat duduknya. Padahal tadinya mereka asik berjalan mencari tempat nongkrong yang paling seru untuk topik gossip hari ini. Dan kelasku yang tadinya hampir seperti pasar, kini lengang seperti pemakaman. Sepulang dari sekolah, aku memilih berpisah di perempatan jalan, karena hari ini ada satu tempat yang ingin aku kunjungi. Mau kemana sih Vi? tanya Satya. Cuma mau ke toko buku sebentar, balasku. Yah, Satya kayak nggak tau aja rutinitas Vian. Lupa ya, ini kan hari Rabu, biasa, tambah Icha. Ya, aku hampir lupa. Ya udah kalau gitu, hati-hati ya, nasehat Satya. aku hanya membalasnya dengan anggukan, dan pastinya mereka tau arti dari anggukan ku itu. Dan di sini, aku berdiri menatap langit yang hampir mendung. Angin yang berhembus membuat pohon dan rumput-rumput hijau itu bergoyang pelan, daun-daun itu seakan mengikuti alunan lagu yang dibawakan oleh angin. Aku menyukai hal itu, dan semua ini hanya bisa kudapatkan di sini.

Di tepian danau yang tak jauh dari rumahku, bukan di toko buku seperti yang kubilang pada Satya dan Icha, aku duduk di bawah pohon rindang. Kuterawang setiap tempat, sunyi, hanya ada aku, pepohonan, rumput hijau dan danau ini. Terkadang aku heran, mengapa tempat seindah ini tak pernah terjamah oleh mereka yang ingin mencari kenyamanan, mereka malah pergi ke cape, diskotik dan club-club malam yang sarat akan keributan. Entahlah, mungkin mereka bisa mendapatkan kenyamanan dari tempat-tempat itu, tapi tidak untuk aku. Ya, aku tau tiap orang berbeda-beda. Hampir setengah jam aku di sini, tak ada yang berubah, hanya saja daun-daun yang sudah menguning itu berguguran dan angin pun sesekali bertiup pelan. Aku lelah, andai saja aku masih mempunyai banyak waktu utnuk berada di tempat ini, tapi sayangnya aku harus pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.40, aku takut tante khawatir. Di perjalan pulang seperti biasa, aku melewati beberapa ruko dan rumah tak berpenghuni. Ini adalah jalan yang biasa kulewati ketika pulang sekolah. Langkah kakiku berhenti di depan rumah yang bergaya tempo dulu, bangunannya masih asli dan belum pernah direnovasi. Rumah yang tak pernah diurus oleh pemiliknya itu terlihat ada yang menghuni. Aku penasaran, ingin rasanya bertanya, tapi ... Selamat siang, Bapak pemilik rumah ini ya? tanyaku yang tadinya ragu-ragu. Ya siang. Bukan, saya anak yang punya rumah ini. Kamu tinggal di sekitar sini ya? balasnya dengan nada yang sangat lembut. Oo... saya kira bapak yang punya rumah ini. Ya, rumah saya nggak jauh dari sini. Nama saya Vian, tambahku sambil mengulurkan tangan. Saya Herdian, panggil saja Om Hedi, ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. Lelaki paruh baya itu terlihat baik, dan aku menghabiskan cukup lama untuk ngobrol dengannya. Dia bercerita padaku tentang perjuangannya selama dua tahun belakangan ini melawan penyakit kanker darah. Penyakit yang membuatnya mengerti tentang hidup dan betapa berartinya waktu. Aku teringat saat ayah melawan penyakit yang bersarang di tubuhnya dulu. Ia hampir putus asa dan menyerah, tapi ada satu alasan yang membuat ia bangun dan kekeh untuk bisa bertahan, yaitu aku. Ayah Vian pasti orang yang baik..., ucap Om Hedi menatapku. Pasti, dia adalah orang yang paling baik di dunia ini, balasku bangga. Dan pastinya dia adalah seorang pekerja keras, benarkah? tambahnya lagi. Aku hanya mengangguk.

Garis-garis halus di wajah ayah sudah menegaskan bahwa ia adalah sosok ayah yang kuat dan rela melakukan apa saja demi kebahagianaan keluarganya. Di luar sana masih banyak orang yang bernasib sama dengan Om, dan ayah Vian. Kami mendambakan kehidupan, tapi banyak pula orang yang menyia-nyiakan kehidupannya itu, ucap Om Hedi lirih. Raut wajahnya menggambarkan rasa kecewa. Aku percaya ayah pasti setuju dengan apa yang baru saja aku dengar tadi. Tapi Om yakin, Vian nggak ngelakuin itu, tambahnya lagi. Aku hanya membalas dengan untaian senyum. Aku pulang disambut dengan beberapa pertanyaan dari tante Ana. Aku tau dia pasti khawatir, seperti ayah dulu yang selalau mewawancaraiku bila aku pulang terlambat. Di kamar, kubuka lagi buku jurnal ayah yang berisi kalimat-kalimat indah. Buku yang sudah menjadi saksi perjalanan hidup ayah itu kini ada bersamaku. Jangan pernah menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk saling berjauhan, tapi jadikanlah perbedaan itu sebagai alasan untuk kita saling mengenal dan pondasi untuk membangun suatu hubungan... . 9 November 1997. Keberhasilan yang sebenarnya tak akan menemukan jalan yang lurus, tapi ia akan menemukan jalan yang berliku dan beberapa tikungan yang tajam... . 28 Juli 2001. Kini setalah apa yang terjadi, apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan, aku mulai mengerti tentang hidup. Bahwa sebenarnya hidup ini adalah berjuang, ya berjuang untuk bisa mencapai titik yang diinginkan. Entah itu kebahagiaan atau keberhasilan, dan sekarang tak akan kubiarkan ayah dan ibuku kecewa, tapi sebaliknya... aku akan berjuang untuk membuat mereka bangga. Hari ini, entah kenapa aku merindukan mereka. JudulCerpen: Tentang Kita ------------------------------Otakku buntu. Aku nggak tau lagi apa yang mau kutulis. Udah lebih dari 2 jam aku berkutat pada tulisanku, tapi tak sedikitpun inspirasi mengalir ke otakku. Aku bingung, apa yang akan aku jadikan bahan cerita kali ini, padahal waktunya tinggal 3 hari lagi, belum lagi waktu untuk mengetik dan mengirimkannya ke meja redaksi. Aku memang belum terbiasa mengetik langsung inspirasi yang menjalar di otakku, tapi kutulis di buram dulu, ya seperti inilah. Biasanya dalam beberapa menit saja telah beberapa halaman yang kutulis, tapi kali ini aku benar-benar buntu. Tema apa yang akan kuangkat kali ini. Awalnya aku ingin mengambil sebagian kisah hidupku, tapi kisahku juga tidak menarik untuk kutulis dan

dipublikasikan. Boleh aku masuk?, tanya seseorang dari balik pintu. Dia lagi, dia lagi. Aku mendengus kesal, sadar siapa pemilik suara itu. Ya, masuk aja, jawabku sejurus kemudian. Kepala Alka menyembul dari balik pintu, lalu ia masuk. Lagi ngapain sayaang ?! tanyanya sok mesra setelah berdiri di sampingku, lalu ia menarik kursi dan tanpa dipersilahkan ia sudah nangkring manis di sana. Dasar !. Lagi ngapain?! ulangnya lagi. Masih dengan sok mesra. Lagi nungging! jawabku ketus. Ia tertawa mendengar jawabanku lalu meng-O ria. Habisnya, udah tau aku lagi nulis, pake nanya lagi, kataku. Surat cinta buat sang kekasih ya?! tanyanya lagi sambil melongok kertas di tanganku. Buruburu aku menutupnya. Hari gene, surat cinta?! Pulsa nggak laku lagi dong, lagian kasihan banget tukang posnya, udah waktunya di pensiun . terangku panjang lebar. Entahlah, benar atau tidak apa yang kuucapkan tadi. Tapi aku yakin dia nggak ngerti maksud ucapanku, hee Eya, udah putus ya ma Reno , kok dia, tanyanya. Degg!! Pertanyaan yang telah langsung ke jantungku. Padahal aku berusaha tidak menyinggung nama itu. Setelah dari pertanyaan itu tak terdengar lagi, rasanya darah sudah membeku di kepalaku. Wooii! bengong aja! dia menabok punggungku. Sakit banget. Sialan dia! aku melotot ke arahnya yang sedang menatapku dengan penuh selidik. Kami baik-baik saja kok, suaraku meninggi, menutupi kegugupanku. Mampus aku. Pasti dia tau aku bohong. Reno, cowok yang setengah tahun ini menempati tempat terindah di hatiku. Tapi sayangnya, kisahku dengannya telah di ujung jalan. Dia sendiri yang memporak-porandakan singgasana cinta yang telah ia bangun. Tinggal satu kata saja darinya, maka kami akan berada pada jalur yang berbeda, dan berakhirlah semuanya! He he he.. bahasamu nak! Aku jadi ngerti mengapa ia tak pernah membalas sms-sms dariku,. Aku selalu mencoba mempercayainya bila ia sibuk dengan part-time barunya. Aku selalu mencoba menepis fikiranfikiran buruk tentangnya. Walaupun aku tahu, dia bukan Reno yang kukenal dulu, ia mulai berubah. Reno yang selalu tersenyum lepas saat bersamaku, lebih banyak diam dan terkesan sungkan. Ia seperti menyembunyikan sesuatu. Dan saat kutanya, ia hanya menjawab tak ada . Aku selalu membelanya bila hatiku berkata jelek tentangnya. Karena aku sayang padanya dan aku percaya dia tidak mungkin mengingkari janji kelingking kami. Tapi nyatanya hatiku benar, dia menduakanku. Aku memergokinya di sebuah departemen

store. Dan yang lebih menyakitkan lagi dia tak pernah menghubungiku untuk menjelaskannya dan mencoba meminta maaf, ketika kata putus terucap dari bibirku. Ia tak pedulikanku, ia hanya mendiamkanku, ia sedikitpun tak menunjukkan penyesalan karena telah menyakitiku. Dan bodohnya aku, setiap ponselku berbunyi dan motor berhenti di depan rumahku aku selalu berharap itu dia. Aku berharap dia datang dan jelaskan semuanya lalu ia minta maaf karena aku masih sayang padanya dan tak pernah menginginkan berakhir begitu saja. Walaupun aku tahu, dia telah menduakanku, ia telah mengingkari janji kelingking kami, tapi aku tak pernah bisa membencinya. Justru rasa sayangku semakin bertambah. Gila bukan!! Ia tak pernah datang dan menghubungiku. Mungkin ia menganggap semua telah berakhir. Aku pengen tertawa sejadi-jadinya bila kuingat kata-katanya. Jangan turuti perasaanmu, karena itu bisa menghancurkan hubungan kita . Atau bila ku ingat janji kelingking kami. Ha ha ha ha ha.. Aku seperti pemabuk, aku melayang, tapi sakit bila kusadar dia bukan milikku lagi, semua telah berakhir. Dan Pletakkk!! Bengong aja lu! lagi-lagi Alka menjitak kepalaku. Aku tersadar dari lamunanku. Dan untung aja, air mata yang kubendung tidak tumpah. kalau saja Alka tidak menyadarkanku. Dia tidak boleh melihatku menangis ! Sakit, tau! aku membalas jitaknya. Lebih keras dari yang kudapatkan. Mampus, siapa suruh nantangin aku! Lalu Aku mencoba bersikap biasa. Al, lo kan cowok, ngapa sih hobi selingkuh?! tanyaku. Itu yang terlintas di kepalaku. Dia masih mengelus-ngelus kepalanya yang benjol, hasil karya jitakku. Ha ha ha! Udah takdir ! jawabnya singkat nan ketus. Menyebalkan sekali. Udah takdirnya cowok itu tukang selingkuh, dan cewek buat diselingkuhin! terangnya lagi. Aku semakin dongkol. Itu sih kata hatinya, karena dia emang hobi selingkuh sama seperti Reno. Hhhhhh Emang nggak bisa dirubah ya, itu kan takdir mualaf, eh mubram atau mualaq ya?! Aku teringat pelajaran kelas 2 SMA kemarin, katanya. Nilai agamaku standar ! jawabnya tanpa dosa. Sudah kuduga, kapasitas otaknya tak jauh-jauh amat dengan ku walaupun dia kemarin di sekolah di SMA unggulan kota ini. Lagian kita kan masih muda, jadi wajar aja selingkuh. Kita kan mau cari yang terbaek di antara yang baik. Toh untuk masa depan kita juga kan!! Lagian kalau udah nikah nggak bisa gonta-ganti pasangan lagi, katanya dengan semangat 45 menyuarakan isi hatinya. Aku pasrah diam saja, sekali-kali ngutuk-ngutuk dalam hati. Mungkin faham itu juga yang diterapkan Reno . Diakan

cowok juga. Paling 1 diantara 100 yang nggak selingkuh, imbuhnya lagi. Dia puas banget, kelihatan tuh dari hidungya kembang kempis nggak karuan. Dan kamu diantara yang 99 kan?! tandasku cepat, tak mau kalah. Dia terdiam sejenak, lalu memasang tampang lugunya. Tapi aku nggak gitu-gitu sih, he he he he he Kamu kok nanyanya gini sih, napa, Reno selingkuh ya? tembaknya pelan. Dia menatapku, dalam dan penuh selidik, menyesakkan sekali. Dadaku sakit sekali, rasanya mau pecah bergemuruh jadi satu. Mataku kembali panas dan kurasakan air mulai mengenang di pelupuk mataku. Sekuat tenaga aku menahannya agar tak menetes, tapi sia-sia. Dan . Whuaaa aku nggak tahan lagi. Air mata yang sejak tadi meronta-ronta minta dikeluarkan akhirnya keluar juga. Aku nangis, memalukan. Tri, kenapa?! Aku salah ngomong ya..?! tanya Alka mulai panik. Ia berusaha membujukku, tapi sia-sia, tangisku semakin pecah. Akhirnya air mata yang selama ini kubendung tumpah bersama sisa cintaku. Aku menangis kebodohanku akan kesetiannya. Aku menangisi diriku yang begitu bodoh mengharapkan kedatangannya, penjelasan darinya. Aku menangisi diriku sendiri, memilukan sekali. Alka salah tingkah sendiri. Ia lalu buru-buru keluar dari kamarku, mungkin cari tisu untuk melap air yang membanjiri wajahku. Apa ada yang salah pada diriku? Mengapa aku selalu ngalamin hal seperti ini. Minggu lalu, ketika aku butuh penjelasan dari Reno, dia justru mendiamkanku pada kekesalan sendiri. Tadi pagi Alka meninggalku saat aku menginginkan seseorang yang bisa menenangkanku. Ku fikir, dia sibuk mencari tissu, hingga beberapa lama aku menunggu dan aku lelah menangis. Tu manusia beserta tissunya tak kunjung menampakkan tanda-tanda kehidupan. Kebangetan dia. Awas dia datang lagi. Dan naskah ini belum juga terselesaikan, otakku tambah buntu. Tapi aku gak akan nyerah! Mungkin dengan adanya aku diantara bunga-bunga nan harum ini inspirasi mengalir ke otakku, semoga saja. Atau lihat bunga matahari itu selalu saja menengadah ke arah matahari. Menarik juga, mungkin bisa dijadikan bahan cerita. Astri , sapa seseorang di belakangku. Degg! suara itu. Astri , ulangnya lagi. Suara langkahnya mendekatiku, seirama dengan irama jantungku. Hingga berjarak 1 meter, ia berhenti. Angin kecil menerpaku. Aku ingat betul parfum ini. Tuhan, bila ini mempiku, izinkan aku tidur sejenak lagi, izinkan aku tetap bermimpi, walaupun aku tau semua akan hilang saat aku terbangun nanti..

Astri, maafkan aku, ucapnya terbata. Kubuka mataku yang sejak tadi kupejamkan. Ini nyata, bukan mimpi. Dengan gemetar, aku membalikkan tubuhku, menyakinkan hatiku. Aku mohon, maafkan aku, ucapnya bergetar, ketika aku mendapati matanya. Mata yang begitu teduh, mata yang mampu menawanku dalam rindu. Reno,... Mataku basah lagi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ia datang lagi, meminta maaf seperti yang kuharapkan selama ini. Tapi, kenapa Aku tahu ini memang egois dan sangat melukaimu, tapi aku ngelakuin ini semua agar hubungan kita nggak berakhir begitu aja, tuturnya pelan dan tak lepas dari mataku. Aku tak mengerti maksudnya. Dia cuekin aku, diemin aku, ngarangin aku demi hubungan kami? Apa maksudnya? Aku..tahu, saat itu kamu lagi emosi banget, dan jika aku angkat bicara untuk jelaskan semua bakalan sia-sia aja, karna kamu pasti nggak bakal dengerin aku. Apa dia telah meninggalkanmu? sindirku cepat. Dia kaget, lalu aku membuang pandangan darinya. Ku akui aku khilaf, tapi aku sadar dia tak bisa menggantikanmu di hatiku, sejaka itu aku lebih suka termenung. Cerpen Pendidikan Judul: Sekolahku di Pedalaman ---------------------------Sudah lima tahun aku belajar di sekolah Budi Makmur ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek.

Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam. Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!

Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara. Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut? tanyaku. Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai! janji Pak Nantan. Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol. Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman. Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. Apa cita-citamu, Jang? Aku ingin jadi seperti Bapak! jawabku mantap. Menjadi guru? Pak Nantan ter-senyum. Aku mengangguk, Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju! Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka

dari pada pergi ke sekolah. Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung. Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung, ujar Abah memujiku. Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja, kata Emak lalu mencium kepalaku. Terima kasih, ucapku terharu. Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta. Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!*** Sebuah cerpen pendidikan oleh: Surya Ismail Mahasiswa Bahasa Inggris UIN Suska Riau

Jangan lupa baca juga Cerpen Pendidikan


y y y y y y y

Sang Pengawas Ujian Tragedi Seorang Calon Abdi Negara Cerpen Pendidikan ''Menjadi Tokoh Tanpa Menjadi Tokoh'' Cerpen Pendidikan: Labirin Kecil Cerpen Tema Pendidikan - Kilasan Hati Pak Guru Ahmad Cerpen Tentang Pendidikan Cerpen Tema Pendidikan

y y y

Cerpen Pendidikan - Mendulang Harta Cerpen Pendidikan: RANI Cerpen tentang Santriwati

Cerpen
y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y

Cerpen tentang Jodoh - Lysa Lavonne Cerpen Bahasa Indonesia Kutitipkan cintaku pada-Mu Cerpen Sahabat: Tersenyumlah Sahabat Ku!! Cerpen Juara Lomba: Istana Cokelat Cerpen: Setitik Gerimis di Pagi Hari Somewhere I Belong Cerpen tentang Keadaan Hidup Indonesia Cerpen tentang Anak Yatim Piatu ''Rana'' Cerita Pendek tentang Persahabatan Cerpen Tentang Pendidikan Cerpen Tentang Persahabatan Cerpen Tema Pendidikan Cerpen Pendidikan - Mendulang Harta Cerpen Cinta Remaja: "Seharusnya Kau Pergi" Karma - Cerpen Psikologi Cerpen Sedih : Tanpa Kekasih Ternyata Dia Abang Temanku Di Pusara dan Impian - Sebuah Cerpen Kutemukan Arti Hidup - Cerpen Remaja Gita - Sebuah Cerpen Biarkan Cinta Tumbuh di Hati - Cerpen Cinta Cerpen Tentang Kita Tentang Kita - Cerpen

26 komentar:

Fuadsaid... Aku ingin jadi seperti

Monday, 28 June, 2010

Anonymous said... keren banget blognya, mungkin kamu butuh software design grafik, windows atau mau download film silahkan kunjungi http://abdoelcharies.blogspot.com/, semoga bermanfaat Saturday, 03 July, 2010

<img src="http://3.bp.blogspot.com/_17zkr7kaQgw/TE72gpzghBI/AAAAAAAAAFY/VQG5ZIx 4yZ4/S45/Foto1050.jpg" width="35" height="35" class="photo" alt=""> Viviecksaid... keren cerpennya sob... Thursday, 26 August, 2010

Anda mungkin juga menyukai