Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaturan Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah adalah suatu indikator dari kurang atau tidaknya asupan makanan sebagai sumber energi. Faktor yang menentukan kadar glukosa darah adalah keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan glukosa yang dikeluarkan melalui aliran darah. Hal ini dipengaruhi oleh makanan, kecepatan masuk ke dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesis glikogen dari glukosa oleh hati (Ganong 1999). Penyerapan beberapa monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa terjadi dengan proses yang membutuhkan energi melibatkan inklinasi kimiawi Na+. Oleh karena mukosa intestin biasanya sebagian besar menyerap monosakarida dan disakarida, maka bila konsumsi glukosa jenis ini meningkat akan dengan cepat meningkatkan kadar glukosa, fruktosa, dan galaktosa plasma dengan secara nyata (Linder 2006). Pada Gambar 1 memperlihatkan akibat masuknya glukosa ke dalam darah, maka akan meningkatkan kadar glukosa darah sehingga menyebabkan tersekresinya insulin dari pankreas dan menurunnya sekresi glukagon. Selanjutnya akan terjadi peningkatan pengambilan glukosa oleh hati, otot dan jaringan lemak. Ketika proses penyerapan glukosa dari intestin berhenti, maka kadar glukosa darah mulai menurun, dan mengambil langkah kembali pada mekanisme sekresi hormon pankeas (Linder 2006). Menurut Guyton dan John (1997), mekanisme pengaturan kadar glukosa darah meliputi : a. Fungsi hati sebagai buffer glukosa, yaitu apabila glukosa darah meningkat setelah makan mencapai konsentrasi yang sangat tinggi, maka kecepatan sekresi insulin juga meningkat. Sebanyak dua pertiga glukosa diabsorpsi oleh usus dan segera disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen, apabila konsentrasi glukosa darah rendah dan kecepatan sekresi turun, maka hati melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. b. Fungsi insulin dan glukagon sebagai umpan balik punya peran yang terpisah dan sangat penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah yang normal. c. Pada keadaan hipoglikemik, efek glukosa darah yang rendah pada hipotalamus akan merangsang susunan syaraf simpatis. Sebaliknya

epinefrin

yang

disekresikan

oleh

kelenjar

adrenal

menyebabkan

pelepasan glukosa lebih lanjut di hati. Hal ini untuk mengatasi hipoglikemia berat. d. Hormon pertumbuhan dan kortisol disekresikan pada respon terhadap hipoglikemia yang terus menerus, yang akan menurunkan kecepatan penggunaan glukosa oleh sebagian besar sel-sel tubuh.

Gambar 1

Pengaturan glukosa darah secara normal (Adaptasi dari Anonim 2006).

Menurut Piliang dan Djoyosubagio (2006) dalam keadaan puasa, sebelum makan pagi atau sekurang-kurangnya 12 jam sesudah makan, konsentrasi gula normal berada pada kisaran 70-100 mg/dL. Sesudah mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, kadar glukosa darah akan meningkat sampai kira-kira 140 mg/dL dan turun mencapai kadar normal sesudah 1 atau 2 jam kemudian. Kadar glukosa darah 70-100 mg/dL (dalam keadaan puasa) disebut nomoglycemia (yaitu kadar glukosa darah normal). Insulin Insulin adalah hormon protein berantai ganda dan dibentuk dari pro insulin di sel beta pulau kecil pankreatik Langerhans, berfungsi untuk mengubah glukosa menjadi glikogen (Silalahi 2006). Menurut Hardjasasmita (2000) Pro insulin merupakan suatu rantai polipeptida monomer, dimana rantai A dan rantai

B molekul insulin dihubungkan oleh suatu rantai polipeptida penghubung yang memiliki 33 molekul asam amino. Peranan insulin dalam pengaturan kadar glukosa darah tidak lepas dari pengaruh faktor lainnya juga, seperti (1) hati berperan sebagai glukostat, (2) kelenjar pankreas sebagai penghasil hormon lain selain insulin yaitu glukagon, (3) kelenjar adenohipofisis mensekresi hormon-hormon yang bersifat diabetogenik seperti ACTH, GH, TSH; (4) kelenjar adrenal yang mensekresi hormon epinefrin dari bagian medula dan glukokortikoid dari bagian kortek-nya, (5) kelenjar tiroid mensekresi hormon T3 dan T4 yang berperan terhadap metabolisme energi, serta (6) kerja fisik atau exercise yang bersifat memperkuat efek insulin terhadap metabolisme karbohidrat (Hardjasasmita 2000). Diabetes Mellitus WHO (2006) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai penyakit kronis yang terjadi akibat dari ketidak mampuan pankreas untuk memproduksi insulin yang cukup, atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin yang diproduksinya dengan efektif. Menurut NDIC (2005b) diabetes mellitus adalah kelainan metabolisme atau cara tubuh mencerna makanan menjadi energi. Menurut Media Informasi Peresepan Rasional bagi Tenaga Kesehatan Indonesia (2001) glukosa masuk ke dalam sel dapat melalui dua cara, yaitu secara difusi pasif dan transport aktif. Secara difusi pasif, masuknya glukosa tergantung pada perbedaan konsentrasi glukosa antara media ekstraseluler dan di dalam sel. Secara transport aktif, insulin berperan sebagai fasilitator pada jaringan jaringan tertentu. Insulin merupakan hormon anabolik utama yang meningkatkan cadangan energi. Pada semua sel, insulin meningkatkan kerja enzim yang mengubah glukosa menjadi bentuk cadangan energi yang lebih stabil (glikogen). Hiperglikemia pada diabetes mellitus merupakan hasil dari ketidak cukupan sekresi insulin oleh sel beta pulau Langerhans atau ketidak mampuan sekresi insulin untuk menstimulasi pengambilan gula darah seluler. Dengan demikian, diabetes mellitus merupakan hasil dari ketidaksesuaian sekresi atau kerja insulin (Wheatley 1993). American Diabetes Association menggunakan tiga standar untuk menentukan diagnosa terjadinya diabetes mellitus, (1) konsentrasi glukosa plasma kausal lebih dari atau sama dengan 200 mg/dL atau 11.1 mmol/L, (2) glukosa plasma puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dL atau 7 mmol/L,

puasa dilakukan selama 8 jam, (3) glukosa darah lebih dari atau sama dengan 200 mg/dL atau 11.1 mmol/L (Rimbawan & Siagian 2004; Rubin 2004). Sebelum terjadinya diabetes mellitus, biasanya diawali dengan prediabetes. Standar yang digunakan untuk mengetahui terjadinya prediabetes adalah bila gula darah sebelum makan mencapai 100-126 mg/dL atau 5.5-7 mmol/L dan glukosa darah setelah satu jam makan mencapai 140-199 mg/dl atau 7.8-11.1 mmol/L (Rubin 2004). Menurut Hartono (2006) kegagalan pengendalian gula darah terjadi karena dua hal: (1) produksi hormon insulin yang tidak memadai atau tidak ada. (2) penurunan sensitivitas reseptor insulin akibat sekresi insulin yang meningkat. Tidak adanya atau tidak memadainya produksi hormon insulin akan mengakibatkan diabetes tipe 1, sedangkan bertambahnya penurunan sensitivitas reseptor insulin dengan penurunan kuantitas dan kualitas insulin menyababkan diabetes tipe 2. Pada Gambar 2 sebagai ilustrasi, besar anak panah menunjukan banyaknya jumlah pembentukan insulin yang normal (gambar kiri atas), dan pembentukan insulin pada penderita diabetes (gabar kanan bawah).

Gambar 2 Diabetes tipe 1

Produksi Insulin (Medicastore 2004)

Diabetes tipe 1 atau insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) adalah diabetes mellitus yang sehari-harinya membutuhkan terapi insulin untuk diet dan pengaturan aktivitas (Carolyn 2001). Diabetes tipe 1 adalah kondisi yang

ditandai oleh tingginya level glukosa darah yang disebabkan oleh ketiadaan total hormon insulin. Diabetes tipe 1 terjadi ketika sistem imun tubuh menyerang sel beta yang menghasilkan insulin pada pankreas dan menghancurkannya (Jacquie et al. 2004). Pankreas kemudian hanya sedikit atau tidak menghasilkan insulin, sehingga gula darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk digunakan sebagai energi. Kondisi ini hanya bisa diobati dengan pemberian insulin (Depkes RI 2005). Manifestasi klinik diabetes tipe 1 ditunjukkan dengan tahap akhir insulitis, sebab pada saat didiagnosa hanya sedikit sel sehat yang memproduksi insulin. Kerusakan sel secara agresif menyebabkan penyakit nampak dalam beberapa bulan pada anak yang masih muda, meskipun ada juga proses yang akan berlanjut dalam beberapa tahun, bahkan pada beberapa kasus ada yang berlanjut lebih dari 10 tahun (Virtanen & Mikael 2003). Gejala-gejala yang sering muncul pada penderita diabetes tipe 1 adalah sering kencing, sering merasa haus, terjadi penurunan berat badan, sering merasa lapar, dan merasa lemah (Rubin 2004). Gejala mungkin bisa terjadi secara tiba-tiba. Tanpa pemberian insulin, diabetes tipe 1 akan dengan cepat berakibat fatal (WHO 2006). Orang yang menderita diabetes tipe 1 tergantung pada injeksi insulin untuk mencegah hiperglikemia dan ketoacidosis. Jika penyuntikan insulin tidak cukup, seseorang dapat memasuki koma akibat dari ketoacidosis, ketidak seimbangan elektrolit, dan dehidrasi. Pada overdosis insulin juga dapat menyebabkan koma karena hipoglikemia (kadar glukosa darah dibawah normal) (Wheatley 1993). Diabetes tipe 2 Diabetes tipe 2 sering juga disebut noninsulin dependent diabetes mellitus (NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin untuk mempertahankan keseimbangan glukosa darah (Carolyn 2001). Diabetes tipe 2 merupakan akibat dari lemahnya kemampuan pankreas guna mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi insulin, yang mana menjadi penyebab menurunnya sensitivitas insulin (Jacquie et al. 2004). Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada pintu masuk di permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin; reseptor insulin akan memberikan signal pada glukosa transporter untuk memungkinkan lewatnya gula (glukosa) yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke dalam sel. Di dalam mitokondria, gula tersebut

kemudian akan digunakan untuk menghasilkan energi atau tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan fungsi setiap sel tubuh (Hartono 2006). Penyebab terjadinya penurunan sensitivitas insulin karena peningkatan kebutuhan sekresi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa darah. Meningkatnya sekresi insulin akan membawa pada kegagalan dari sel beta pankreas dalam menghasilkan insulin, yang merupakan inti dari ketidak normalan diabetes tipe 2 (Jacquie et al. 2004). Orang yang obesitas dan kurang olah raga mempunyai resiko terhadap penyakit diabetes tipe 2 dengan menunjukkan gejala penurunan sensitivitas insulin yaitu (1) jumlah insulin di dalam darahnya meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, (2) penyuntikan insulin tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah pada keadaan menurunnya sensitivitas insulin (Rubin 2004). Penurunan berat badan dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek penurunan berat badan terhadap sekresi insulin pada penderita diabetes mellitus tergantung pada jumlah respon sekresi insulin yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas. Sel beta pankreas pada awalnya meningkatkan sekresi insulin dan Cpeptida dengan jumlah yang cukup tinggi pada penderita obesitas, sebab pankreas harus mengganti bertambahnya penurunan sensitivitas insulin yang disebabkan oleh pengeluaran insulin yang berlebihan (Pi-Sunyer 1996). Menurut Media Informasi Peresepan Rasional bagi Tenaga Kesehatan Indonesia (2001) pada penderita diabetes tipe 2, terdapat tiga kondisi abnormal yang mungkin dimiliki. Pertama, mutlak kekurangan insulin dalam arti sekresi hormon insulin berkurang karena kerusakan sel-sel beta pankreas. Kedua, relatif kekurangan insulin dimana sekresi insulin tidak mencukupi dengan adanya kebutuhan metabolisme yang meningkat (misalnya pada pasien yang kelebihan berat badan). Ketiga, resisten terhadap insulin dan hiperinsulinemia karena penggunaan insulin perifer yang kurang sempurna. Gejala-gejala yang sering muncul pada diabetes tipe 2 adalah cepat lelah; sering kencing; sering lapar dan sering haus; penglihatan menjadi buram; lambatnya penyembuhan penyakit kulit, gusi dan infeksi saluran kencing; terasa gatal pada bagian kelamin; mati rasa pada kaki atau tungkai; dan penyakit jantung (Rubin 2004). Obesitas atau kelebihan simpanan lemak sering mengiringi atau mendahului terjadinya penyakit diabetes tipe 2 (Carolyn 2001).

10

Penurunan sensitivitas insulin pada diabetes tipe 2 Penurunan sensitivitas insulin adalah kelainan metabolik yang dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall & Harmel 2002). Menurut NDIC (2006) penurunan sensitivitas insulin adalah kondisi diam yang meningkatkan rantai perkembangan penyakit diabetes mellitus dan penyakit jantung. Penurunan sensitivitas insulin terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. Diabetes tipe 2 sering disertai oleh penurunan sensitivitas insulin pada organ sasaran yang mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin endogenus maupun eksogenus (Rimbawan & Siagian 2004). Menurut Olefsky dan Nolan (1995) penurunan sensitivitas insulin mungkin terjadi pada banyak tahapan dalam aksi biologi insulin, dari awal telah terjadi pengikatan permukaan sel reseptor pada proses phosphorilasi yang dimulai oleh autophosphorilasi pada reseptor insulin. Penurunan sensitivitas insulin biasanya paling banyak ditemukan pada kegemukan dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) pada wanita (65%), tetapi dapat juga ditemukan pada 20 persen dari lean PCOS pada wanita (Dale et al. 1998). Orang dengan diabetes tipe 2 mempunyai banyak insulin dalam tubuhnya (tidak seperti penyakit diabetes tipe 1), tetapi respon tubuhnya terhadap insulin dalam keadaan yang tidak normal. Orang yang menderita diabetes tipe 2 mengalami penurunan sensitivitas insulin, artinya tubuh resisten terhadap insulin dalam keadaan normal (Rubin 2004). Proses uptake glukosa yang dimediasi oleh insulin terlihat pada Gambar 3. insulin yang diproduksi pada sel beta pankreas akan menempati reseptornya, yang kemudian akan memberikan signal transduction pada glucose transporter untuk dapat melakukan penyerapan glukosa, sehingga glukosa yang beredar dalam darah akan masuk ke dalam sel. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) penurunan sensitivitas insulin pada penderita diabetes tipe 2 dapat disebabkan oleh kerusakan signal transduction. Kerusakan ini dapat dimulai dari insulin abnormal sampai kerusakan penerima insulin pada pengangkut glukosa. Hubungan langsung antara penurunan sensitivitas insulin dan kegemukan telah diketahui dengan baik, dan kegemukan adalah salah satu faktor penting untuk memprediksi diabetes tipe 2. Kegemukan berhubungan dengan lemahnya signal insulin, dan pola tertentu dari penyimpanan lemak (misalnya penyimpanan lemak dalam perut) lebih berhubungan dengan penurunan sensitivitas insulin. Meskipun otot rangka biasanya dianggap sebagai jaringan utama yang

11

menggunakan glukosa, pengambilan glukosa juga berhubungan dengan jaringan adipose (Sinaiko et al. 2005).

Gambar 3

Mediasi insulin dalam proses uptake glukosa (Adaptasi dari Cartailler 2004)

Gestational Diabetes Mellitus Gestational diabetes mellitus didefinisikan sebagai glucose intolerance yang pertama kali diketahui terjadi selama kehamilan (Godwin et al. 1999). Gestational diabetes mellitus merupakan salah satu tipe diabetes yang banyak terjadi pada wanita selama kehamilan. Biasanya gejala ini menghilang setelah lahir. Ini terjadi karena perubahan hormonal pada kehamilan yang mana dapat merubah kemampuan tubuh untuk menggunakan insulin. Insulin merupakan hormon yang penting untuk mempertahankan kadar glukosa darah yang sehat. Selama wanita-wanita mengalami perubahan hormon, hanya beberapa wanita yang berkembang mengalami gestational diabetes mellitus (NSW Health Department 2004) Angka kejadian gestational diabetes mellitus telah meningkat 50% dari sepuluh tahun yang lalu, dan peningkatan ini telah dicirikan oleh meningkatnya penderita obesitas di Amerika. Baru-baru ini, empat sampai delapan persen wanita hamil di Amerika menderita gestational diabetes mellitus (Jung 2007). Wanita dengan karakteristik klinik yang mempunyai resiko tinggi terserang gestational diabetes mellitus (GDM) adalah wanita yang mengalami kegemukan, mempunyai riwayat GDM, glycosuria, riwayat keluarga yang mempunyai penyakit diabetes mellitus (ADA 2004)

12

Menurut Godwin et al. (1999) Pertambahan usia, obesitas, riwayat keluarga, status sosial ekonomi yang rendah, dan hipertensi pada saat hamil telah menunjukan sebagai faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian gestational diabetes mellitus. Dampak pada bayi, Gestational diabetes mellitus berhubungan dengan peningkatan kejadian kesakitan pada bayi, termasuk komplikasi yang angka kejadiannya sangat tinggi adalah macrosomatia (berat badan lahir lebih dari 4000g), hipoglikemia, hipokalcemia, hiperbilirubinemia, polycythemia, dan ketidak normalan kongenital yang serius (Godwin et al. 1999; Greene dan Solomon 2005). Perbedaan antara tanda diabetes tipe 1 dan tipe 2 Perbedaan antara tanda diabetes tipe 1 dan tipe 2 dapat dilihat dari tingkat usia, orang dengan diabetes tipe 1 biasanya lebih muda daripada tipe 2, tetapi peningkatan kejadian diabetes tipe 2 pada anak-anak yang kelebihan berat badan membuat perbedaan ini sulit dipisahkan antara tipe 1 dan tipe 2; berat badan, diabetes tipe 1 mempunyai berat badan yang kurus atau normal, sedangkan pada diabetes tipe 2 pada umumnya obesitas; tingkat glukosa, pada diabetes tipe 1 tingkat glukosa darah lebih tinggi (300-400 mg/dl) dari diabetes tipe 2, yang tingkat glukosa darahnya 200-250 mg/dl; tingkat keparahan, diabetes tipe 1 biasanya lebih parah, tetapi diabetes tipe 2 secara berangsurangsur menunjukkan gejala (Rubin 2004). Teh Minuman teh telah dikenal lebih dari 4000 tahun di Cina, tradisi pengobatan Cina telah merekomendasikan minuman teh hijau sebagai minuman untuk mencegah dan mengobati berbagai penyakit, termasuk penyakit sakit kepala dan saluran pencernaan. Minum teh juga dipercaya dapat memperbaiki fungsi imun, membantu detoksifikasi, dan memperpanjang umur, dan ini telah dianggap sebagai tradisi yang baik (Brannon 2007). Teh adalah minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia sesudah air putih, dalam jumlah kira-kira 120 ml perkapita perhari. Ada dua bentuk teh yang banyak dikonsumsi, yakni teh hitam dan teh hijau. Teh hitam paling banyak dikonsumsi (80%), sedangkan teh hijau sekitar 20% saja. Teh hijau mengandung epikatekin sebagai komponen polifenol utama yang memiliki aroma khas teh hijau (Silalahi 2006). Menurut Bahruddin dan Asmawati (2005) teh hijau secara laboratoris telah terbukti memiliki anti bakteri dan efek anti radang. Dalam penelitiannya yang

13

dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang, Bahruddin dan Asmawati menemukan bahwa teh hijau mampu memperbaiki status jaringan periodontal pada penderita diabetes mellitus yang memiliki penyakit periodontal yang cukup parah. Menurut Brannon (2007) teh hijau merupakan minuman yang kaya akan kandungan phytochemicals salah satunya yang telah diketahui adalah polifenol, yang merupakan bagian dari flavonoid. Poliphenol adalah antioksidan yang sangat kuat, salah satu fungsinya dapat mengatasi radikal bebas yang merupakan molekul sangat tidak stabil yang berada di dalam tubuh. Pemberian polifenol teh hijau (500 mg/kg berat badan) pada tikus normal meningkatkan toleransi glukosa secara signifikan pada menit ke 60. Teh hijau polifenol juga ditemukan mengurangi level serum glukosa pada tikus diabetes mellitus yang diinduksi oleh alloksan dengan signifikan pada level dosis 100 mg/kg berat badan. Selanjutnya pemberian setiap hari selama 15 hari dari ekstrak 50, 100 mg/kg berat badan menghasilkan 29-44% pengurangan dari peningkatan level serum glukosa yang disebabkan oleh pemberian alloksan (Sabu et al. 2002). Menurut Maeta et al. (2007) polifenol terutama epigallocatechin gallat (EGCG) dapat melindungi kerusakan sel beta pankreas dari pengaruh oksidasi. EGCG secara luas telah diketahui sebagai antioksidan, sebagai contoh EGCG mampu menangkal superoxide anion radicals, hydrogen peroxide, hydroxyl radicals, peroxyl radicals, singlet oxygen, dan peroxynitrite. Katekin yang diberikan pada tikus putih sebanyak 0.5 g per hari selama 3 minggu, dalam usus akan terfermentasi dalam jumlah sedikit dan kurang dari 5% dikeluarkan melalui feses dalam bentuk utuh. EC masuk dalam sirkulasi darah dalam bentuk terglukuronidasi, dan kemudian disulfatisasi dalam hati serta termetilasi dalam hati dan ginjal. Kemudian, bentuk senyawa terkonjugasi tersebut disekresi melalui feses dan urin (Hartoyo 2003). EGCG dalam tubuh sebagian diserap dalam bentuk utuh, terdeteksi dengan konsentrasi tertinggi pada serum manusia setelah 2 jam pemberian secara oral dan sebagian termetabolisme melalui proses dehidrogenasi dan dekarboksilasi EGCG, hingga membentuk produk P-I (theasinensin A), P-2 (senyawa baru), dan P-3 (theasinensin D. isomer dari P-I). Uniknya, ketiga produk hasil degradasi tersebut mempunyai sifat aktivitas antioksidan (menghambat Fe dan scavenger radikal Oksigen) yang lebih tinggi dibandingkan dengan EGCG sendiri dan lebih mudah diserap dibandingkan EGCG. Kemungkinan, ketiga produk hasil degradasi EGCG tersebut lebih cepat sampai

14

ke aliran darah dan memberikan aktivitas antioksidatifnya dalam organ dan jaringan (Hartoyo 2003). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung - Jawa Barat Indonesia menunjukkan bahwa kandungan polifenol pada teh Indonesia yang merupakan komponen aktif untuk kesehatan 1,34 kali lebih tinggi dibanding teh dari negara lain. Katekin merupakan senyawa polifenol utama pada teh sebesar 90% dari total kandungan polifenol. Rata-rata kandungan katekin pada teh Indonesia berkisar antara 7,02 - 11,60% b.k., sedangkan pada negara lain berkisar antara 5,06 - 7,47 b.k. Teh selain mengandung polifenol hingga 25-35%, juga mengandung komponen lain yang bermanfaat bagi kesehatan, antara lain : metilxantin, asam amino, peptides, karbonhidrat, vitamin (C, E dan K), karotenoid, mineral seperti kalium, magnesium, mangan, fluor, zinc, selenium, copper, iron, calcium, serta metilxantin dan alkaloid lain (PTPN VIII 2007). Menurut Bambang et al. (1995;1996) yang dikutip oleh Mahmudatussaadah (2005) bahwa kandungan katekin pada teh hijau lokal sebanyak 10.81% berat kering dan pada teh hijau ekspor sebanyak 11.60% berat kering. Pada Tabel 1 terlihat kandungan katekin pada teh hijau Camellia sinensis klon Gambung. Tabel 1 Kandungan katekin pada teh hijau Camellia sinensis Total katekin (%) 16.70 16.00 14.60 17.10 15.50 16.00 15.90 14.90 17.00 16.80 13.90

Teh hijau Camellia sinensis Gambung 1 Gambung 2 Gambung 3 Gambung 4 Gambung 5 Gambung 6 Gambung 7 Gambung 8 Gambung 9 Gambung 10 Gambung 11 Sumber : Santoso et al. (2006) Menurut Kustamiyati

(1978), katekin sesungguhnya adalah tanin yang

tidak mempunyai sifat menyamak atau menggumpalkan protein, sebagaimana tanin yang terdapat pada tumbuhan-tumbuhan umumnya. Katekin menyusun 2030% dari berat kering daun teh dan merupakan senyawa terpenting dalam menentukan perubahan rasa, warna dan aroma teh. Pada Tabel 2 terlihat unsur pokok fenol dalam teh hijau dan teh hitam.

15

Tabel 2

Konsentrasi asam fenol dan flavonoid pada produk teh Unsur pokok Teh hijau (mg/g) Teh hitam (mg/g) 50 100 40 50 30 40 10 20 10 20 60 80 100 120 30 60 300 600

Flavanols 300 400 Epigalocatechin gallat 70 150 Epicathecin gallat 30 100 Epigalocathecin 30 100 Epicathecin 10 50 Flavonols 50 100 Flavandiols 20 30 Phenolic acids and depsides 30 50 Theaflavins Thearubigin Sumber : Dreosti (1996) dan Wildman (2001). Murbei

Tanaman murbei dengan nama latin Morus alba L dan nama Cinanya Sang ye dikenal sebagai pakan ulat sutera dalam aktivitas persuteraan alam. Di lain pihak, daun murbei juga telah diketahui merupakan ramuan kuno obat tradisional Cina untuk mengobati berbagai penyakit, salah satunya diabetes mellitus. Menurut penelitian Kim et al. (2006) pemberian ekstrak daun murbei pada tikus diabetes mellitus, secara nyata dapat menurunkan kadar glukosa darah. Bahkan dalam studinya, penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus yang diberi ekstrak daun murbei bahkan lebih baik daripada glibenclamide (obat anti diabetes). Penelitian Enkhmaa et al. (2005), mendapati bahwa pemberian daun murbei pada tikus atherosklerosis selain mampu menurunkan kadar kolesterol total, juga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitiannya juga, menunjukan bahwa pemberian daun murbei dapat menghambat peningkatan berat badan pada tikus atherosklerosis dibandingkan dengan kontrol. Level glukosa plasma setelah makanan dipecah juga menurun pada tikus yang diberi daun murbei. Ini merupakan efek relatif yang dari polyhydroxylated kemampuan dari ekstrak alkaloids, menghambat daun termasuk aktifitas pada 1-deoxynojirimycin, -glucosidase. Penelitian efek penghambatan murbei hiperglikaemia setelah makan malam yang menggunakan tikus normal, menunjukan dosis ekstrak daun murbei sebanyak 0.02-0.5 g/kg, mampu menghambat kenaikan glukosa darah sebesar 50 persen (Miyahara et al. 2004). mempunyai

16

Penelitian pada tikus normal yang dipuasakan, yang diberi cekokan ekstrak daun murbei secara bersamaan dengan disakarida (sukrosa, maltosa, trehalosa, dan laktosa), dan penelitian pada usus halus manusia ternyata secara nyata mampu menghambat penyerapan dari sakarida. Kemampuan daun murbei dalam menghambat penyerapan sakarida sangat beragam, tergantung dari jenis, musim dan tempat tumbuhnya (Yatsunami et al. 2003; Oku et al. 2006) Studi yang dilakukan oleh Zhong et al. (2006) terhadap campuran ekstrak teh hijau (0.1 g), teh hitam (0.1 g), dan teh daun murbei (1.0 g), menemukan komponen 1-deoxynojirimycin 5 mg, epicatechin gallat 100 mg, epigalocatechin gallat 300 mg, dan theaflavin 100 mg. Senyawa 1-deoxynojirimycin merupakan zat aktif yang dari daun murbei. Epicatechin gallat dan epigalocatechin gallat merupakan polifenol yang terdapat dalam teh hijau. Sedangkan theaflavin merupakan kandungan yang berasal dari teh hitam. Penelitian kandungan pada murbei terus dikembangkan, pada akar tanaman murbei berhasil mengisolasi sebanyak delapan belas kandungan, termasuk tujuh diantanya terdapat dalam daun murbei. Kandungan itu adalah 1-deoxynojirimycin, N-methyl-1-deoxynojirimycin, fagomine, 3-epi-fagomine, 1,4-dideoxy-1,4-imino-D-arabinitol, 1,4-dideoxy-1,4-imino-D-ribitol, calystegin B2, calystegin C1, 1,4 - dideoxy - 1,4-imino - (2 - O - mallitus - D - glucopyranosyl) D-arabinito, dan sembilan macam glycosides (Asano 1994). Kandungan murbei tersebut mampu menurunkan level glukosa darah. Fagomine berfungsi meningkatkan level plasma insulin yang berkontribusi sebagai bagian dari aksi antihiperglikaemik (Bnouham et al. 2006;Yatsunami et al. 2003). Selain itu murbei telah menunjukan aktivitas antioksidan yang relatif tinggi. Makanan/Minuman Fungsional Menurut Goldberg (1994) konsep dan istilah makanan/minuman fungsional pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Jepang pada pertengahan tahun 1980-an. Makanan fungsional digunakan dalam pencegahan penyakit pada tingkat awal, bukan sebagai usaha penyembuhan penyakit. Jepang adalah negara pertama yang mendefinisikan makanan fungsional, yaitu makanan olahan bergizi yang juga mengandung bahan atau unsur yang berperan untuk membantu fungsi tubuh tertentu. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (2005) pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan

17

bermanfaat bagi kesehatan. Makanan fungsional secara penampilan mirip dengan makanan konvensional, tetapi makanan fungsional mempunyai keuntungan yang lebih luas daripada hanya sekedar kandungan zat gizi dasarnya. Sebagai contoh, dari beberapa studi yang telah dilakukan, bahwa makanan fungsional dapat mencegah osteoporosis, kanker, dan penyakit kardiovaskuler (Pierre & Onge 2005). Menurut Goldberg (1994) dan Silalahi (2006) Ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi, sehingga suatu pangan/minuman dapat dikategorikan sebagai pangan/minuman fungsional, yaitu sebagai berikut. 1. Merupakan makanan atau minuman (bukan kapsul, tablet, atau serbuk) yang mengandung senyawa bioaktif tertentu yang berasal dari bahan alami. 2. Harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari 3. Mempunyai fungsi tertentu setelah dikonsumsi, biologis, seperti misalnya dan meningkatkan mekanisme pertahanan mencegah

memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan mental, dan memperlambat proses penuaan dini. Menurut Astawan (2005) dasar pertimbangan konsumen dalam memilih bahan pangan pada tahun 2005 dan masa-masa yang akan datang, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi akan bergeser pada pengutamaan khasiat dari setiap bahan terhadap kesehatan tubuh. Teh hijau telah dikenal sebagai minuman fungsional karena khasiat dari komponen aktif yang terkandung di dalamnya, terutama teh hijau yang kaya akan polifenol (Silalahi 2006). Selain itu, dalam beberapa studi daun murbei telah ditemukan mengandung sejenis flavonoid yang merupakan antioksidan yaitu: quercetin 3-glucoside (Q3G) (isoquercitrin), quercetin 3-(6-malonylglucoside) (Q3MG) dan kaempferol 3-glucoside (Enkhmaa et al. 2005).

Anda mungkin juga menyukai