Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Stroke merupakan salah satu penyakit serebrovaskuler yang hingga saat ini masih menjadi masalah serius di seluruh dunia. Stroke merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang utama di banyak negara. Sebagai penyebab kesakitan dan kematian, stroke menempati urutan ketiga setelah penyakit jantung dan kanker di negara-negara maju (Adam et al., 1997) maupun di negara-negara berkembang (Maz dan Zuber, 1991). Di seluruh dunia, angka kematian akibat stroke pada tahun 1990 diperkirakan mencapai 4,38 juta orang, 3 juta diantaranya terdapat di negara-negara berkembang (Murray dan Lopez, 1997). Di Amerika Serikat, kematian akibat stroke mencapai 175.000 orang dari sekitar 500.000 penderita stroke setiap tahunnya (Adam et al., 1997). Di Indonesia, stroke merupakan penyakit neurologis yang banyak dijumpai dan merupakan penyebab kematian dan kecacatan fisik yang utama (Lamsudin, 1998). Penelitian Jusuf Misbach dan kawan-kawan selama 1996 s/d 1997 diseluruh rumah sakit di Indonesia memberikan data, kasus stroke terdiri dari 41% infark, 39% diagnosis tidak jelas, dan 20 % perdarahan. Sutantoro dan Lamsudin (1993) meneliti pada 5 rumah sakit di Yogyakarta dari Januari 1991 s/d 31 Desember 1991, didapatkan hasil angka mortalitas stroke 28,3% dari seluruh penderita stroke (1053 kasus). Angka mortalitas stroke infark 20,4% dari 780 kasus. Kematian terbanyak pada kelompok umur 61-70 tahun, kemudian kelompok umur lebih dari 70 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, kematian pada penderita stroke laki-laki lebih besar dibandingkan pada perempuan. Angka mortalitas stroke di RS Dr. Sardjito pada 1 Januari 1994 s/d 31 Desember 1995 menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan keganasan dengan perbandingan 51,58% karena stroke perdarahan, 47,37% karena stroke infark dan 1,05% karena perdarahan subarakhnoid. Kematian terbanyak terjadi pada hari ke 2 sampai ke 7 yakni 56,32 % (Sinta dan Sutarni, 1997). Tindakan pengobatan stroke yang memuaskan belum ada, sehingga tindakan pencegahan menjadi hal yang utama. Tindakan pencegahan terhadap stroke merupakan tujuan primer pada komunitas dan program kesehatan (WHO, 1989). Pencegahan stroke

dilakukan dengan mengendalikan faktor risiko seperti merokok, hipertensi, aktifitas fisik dan profil lipid (Wannamethe, 1999). Di Amerika Serikat terjadi penurunan angka kematian akibat stroke antara tahun 1990-1995 diakibatkan karena keberhasilan pengendalian faktor risiko dan peningkatan survival (Brott et al., 1999). Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang telah terbukti (Dyker et al., 1997), sebagai faktor risiko utama stroke pertama kali (Adam et al., 1997). Hipertensi adalah paling penting dari faktor-faktor risiko yang dikenal terhadap semua jenis stroke (Du et al., 1997; Lepala et.al., 1999). Hipertensi adalah faktor resiko paling kuat dari stroke, dan tekanan darah sistolik dan diastolik tinggi telah dikaitkan dengan peningkatan kejadian stroke iskemik dan hemoragik pada manusia dari semua umur dan kedua jenis kelamin (Makino et al., 2000). Tidak ada faktor risiko lebih kuat atau lebih sering dari hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat dengan umur terhadap semua jenis stroke (Lefkovits et al., 1992). Pada orang-orang yang berumur 40 tahun atau lebih, prevalensi hipertensi kurang lebih 30%, berkurangnya bersamaan dengan penggunaan anti hipertensi secara luas (Hachinski dan Norris, 1985). Terapi farmakologi antihipertensi seyogyanya ditujukan pada sistim kontrol hipertensi dan mencegah atau mengembalikan perubahan patofisiologi yang terjadi pada ginjal pasien-pasien hipertensi (Buzio et al., 1994), menormalkan struktur vaskuler (Thybo et al., 1995), menurunkan kekakuan dinding arterial melalui modifikasi komposisi material (Safar et al., 2000). Jika tidak diobati, hipertensi mengakibatkan komplikasi serius pada vaskuler, jantung dan fungsi sistim organ lain seperti ginjal, otak. Terapi hipertensi tidak semata-mata bertujuan mengendalikan tekanan darah namun dalam jangka panjang memperbaiki morbiditas dan mortalitas. Pada orang tua penurunan tekanan darah sebaiknya dilakukan secara perlahan-lahan dengan memperhatikan efek samping hemodinamik dan kualitas hidup. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi implikasi terapi farmakologis seperti : elektrolit abnormal, peningkatan kreatinin, peningkatan serum glukosa, peningkatan serum TSH, proteinuri, hipertrofi ventrikel kiri, EKG abnormal, disfungsi seksual, hipertrofi prostat benigna, hipotensi ortostatik, dislipidemia (Widiana dan Sjabani, 1994). Seberapa optimum terhadap penurunan tekanan itu sendiri. Hal ini memerlukan kebijaksanaan, pada penderita-penderita yang sudah berusia lanjut pemberian obat-obatan anti hipertensi dapat mengakibatkan cerebral blood flow yang biasa disusul dengan

timbulnya manifestasi stroke (Yamamoto et al., 1998). Penanganan hipertensi pada stroke harus mengingat kepentingan aliran darah otak (ADO) dan aliran darah otak regional (ADOR). Fungsi serebral harus harus tetap dipelihara untuk memulihkan lesi yang terjadi semaksimal mungkin (Wibowo, 2000). Tingkat optimum tekanan darah mungkin tergantung umur (Curb et al.,1996). Terhadap pasien-pasien dengan tekanan darah kurang lebih 160/95 mmHg biasanya pengurangan yang diakibatkan monoterapi kurang lebih 7 13 mmHg sistolik dan 4 8 mmHg diastolik, sedangkan pengobatan obat kombinasi pengurangan tekanan darah kira-kira atau 12 22 mmHg sistolik dan 7 14 mmHg diastolik pada pasien-pasien dengan tekanan darah 160/95 mmHg (WHO, 1997). Dokter seyogyanya waspada terhadap variasi sirkadian pasien pada tekanan darah bila pasien-pasien hipertensi usia lanjut menerima pengobatan antihipertensi (Watanabe et al., 1996). Hipertensi mempercepat progresi aterosklerosis (Toole, 1990; Waxman dan de Groot, 1995). Pengobatan hipertensi pada tahun 1990-an ditujukan pada hipertensi ringan dan sedang untuk mencegah terjadinya aterosklerosis sehingga mortalitas dan morbiditas kardiovaskular dapat dicegah (Prodjosudjadi, 2000). Studi-studi skala besar bangsa Amerika dan Eropa telah menunjukkan, hanya sebagian kecil hipertensi terkontrol dengan baik, mungkin disebabkan rendahnya kesadaran dengan terapi jangka panjang(Mancia et al.,1997). Hipertensi tak terkontrol logikanya berkaitan dengan faktor risiko stroke lebih kuat dari hipertensi terkontrol, dan ini telah dibuktikan dalam suatu penelitian (Lamsudin, 1990). Hasil terapi hipertensi masih suboptimal seperti ditunjukkan oleh meningkatnya morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pasien- pasien hipertensi yang diobati bila dibandingkan dengan subyek-subyek normotensi yang sama (Hansson dan Himmelmann, 1998). Hipertensi yang tidak terkontrol adalah isu klinik yang berlangsung lama dan penuh masalah. Banyak penjelasan untuk ini, seperti keinginan pasien untuk melanjutkan pengobatan, pikiran dan kebiasaan klinisi, hubungan dokter dan pasien, intoleransi obat, hipertensi yang resisten dan lain-lain. Lebih jauh, pengobatan yang kurang tepat (regimen yang kurang atau dosis yang terlalu rendah) juga diidentifikasi sebagai barier yang penting dalam pengontrolan tekanan darah (Hyman dan Pavlik, 2000). Insidensi kejadian stroke pertama kali sangat berhubungan dengan tekanan darah

yang tidak terkontrol. Diantara pasien yang mendapat terapi yang belakangan ini mengalami stroke rekuren, hanya 5% yang mempunyai tekanan darah <140/90. Diperkirakan sekitar 45%-52% insidensi stroke rekuren pada pasien dengan terapi farmakologis ini disebabkan oleh tekanan darah yang tidak terkontrol (Medin et al., 2004). Sudah banyak bukti studi yang menunjukkan hipertensi terkontrol dapat menurunkan risiko terjadinya stroke pertama, namun belum banyak bukti yang menunjukkan hipertensi terkontrol dapat menurunkan risiko terjadinya stroke rekuren (Friday et al., 2002). Meskipun ada banyak usaha yang berhasil untuk pencegahan stroke, namun rekurensi stroke masih sering terjadi. Studi-studi epidemiologi mencoba mengidentifikasi berbagai faktor risiko stroke rekuren, tetapi masih belum jelas faktor risiko yang mana sebagai penyebab utama terjadinya stroke rekuren (Yamamoto, 1998). B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang menjadi latar belakang penelitian sebagai berikut : 1. Stroke masih menjadi masalah yang serius baik di Indonesia maupun di seluruh dunia
2. Angka kematian yang disebabkan stroke masih tinggi. Penderita stroke memiliki

resiko tinggi untuk terjadinya rekurensi, untuk mencegah rekuren, diperlukan identifikasi faktor risiko strokerekuren.

terjadinya stroke

3. Hipertensi tak terkontrol sebagai faktor risiko utama terjadinya stroke pertama

telah jelas, namun hipertensi tidak terkontrol sebagai factor risiko utama terjadinya stroke rekuren masih diperdebatkan.
4. Di Indonesia khususnya di Jogjakarta belum ada penelitian mengenai hipertensi

tak terkontrol sebagai faktor risiko utama terjadinya stroke rekuren. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hipertensi tidak terkontrol merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke rekuren. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Klinisi/Dokter: Apabila terbukti Hipertensi tidak terkontrol sebagai faktor risiko utama terjadi rekurensi stroke, maka penelitian ini dapat bermanfaat bagi para klinisi dalam mengambil keputusan klinis yang tepat dalam memberikan pengobatan yang rasional, sehingga diharapkan dapat perbaikan outcomekepada penderita. Disamping tindakan kuratif, diharapkan pula para klinisi dapat berperan didalam tindakan preventif stroke rekuren. 2. Bagi Masyarakat dan Penderita: Masyarakat sehat merupakan sasaran tindakan promotif dan dengan mengenal faktor risiko stroke rekuren diharapkan masyarakat umum lebih memahami dan berupaya melakukan pencegahan stroke rekuren dengan lebih terarah. Bagi penderita diharapkan dapat memberikan kesembuhan yang lebih optimal. 3. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan: Diharapkan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada penderita stroke agar tidak berkembang menjadi stroke rekuren didalam perjalanan penyakitnya. 4. Bagi Partisipan Peneliti/Perkembangan Ilmu Kedokteran: Memberi informasi pengetahuan untuk merencanakan penelitian lebih lanjut baik dalam hal promotif, preventif, kuratif maupun prognosis. yang lebih terarah, terukur dan lebih efektif terhadap penyakit serebrovaskuler, sehingga di masa mendatang akan menurunkan insiden terjadinya

BAB II A.TINJAUAN PUSTAKA

Stroke

1. Defenisi Stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak berupa tanda klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali akibat dari pembedahan atau kematian), tanpa tanda-tanda penyebab nonvaskuler, termasuk didalamnya tanda-tanda perdarahan subarahhnoid, perdarahan intrasebral dan infark serebri (WHO, 1997). Menurut EUSI 2003, stroke atau serangan otak (brain attack) adalah defisit neurologis mendadak susunan saraf pusat yang disebabkan oleh peristiwa iskemik atau hemoragik. 2. Patofisiologi Stroke Berdasarkan patologinya stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke infark dan stroke perdarahan. Stroke infark mempunyai prevalensi terbanyak, yaitu sekitar 74 persen. Stroke perdarahan intraserebral (PSI) sekitar 24 persen dan stroke perdarahan subarakhnoid (PSA) sebanyak 2 persen (Martono & Lamsudin, 1993). Otak manusia beratnya kira-kira 1200 1400 gram atau 2-3 persen dari berat badan. Setiap menit otak memerlukan oksigen 600 ml dan glukosa 100 mg yang hanya sanggup dihantar oleh 1000 ml darah. Hal ini mengakibatkan 20 persen dari curah jantung harus beredar ke otak setiap menitnya, karena otak tidak mempunyai cadangan oksigen maupun glukosa (Toole, 1990). Stroke infark pada dasarnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak (ADO). Dalam keadaan normal aliran darah ke otak adalah 58ml/100gr jaringan otak/menit. Aktifitas listrik neuron otak akan berhenti apabila aliran darah ke otak turun hingga 18ml/100gr jaringan otak/menit. Pada keadaan tersebut, struktur sel otak masih baik sehingga apabila aliran darah kembali normal maka gejala klinisnya masih reversibel. Daerah ini dikenal sebagai area iskemik penumbra. Jika aliran darah ke otak turun sampai 10ml/100gr jaringan otak/menit maka akan terjadi perubahan biokimia sel dan membran sehingga berakibat terjadinya perubahan fungsi dan struktur otak yang bersifat menetap, daerah ini dikenal area infark (Chandra, 1990). Perdarahan intraserebral (PIS) dapat terjadi akibat ruptur arteriol kapiler atau vena didalam jaringan otak. Menurut Toole (1990), ada beberapa teori terjadinya PIS yaitu: (1)

kenaikan akut dari tekanan darah sistemik, (2) kenaikan akut dari peredaran darah otak secara difus atau fokal setelah perbaikan dari obstruksi arteri (reperfusi) dan (3) kebocoran atau kerusakan dinding pembuluh darah akibat repurfusi dari jaringan iskemik atau luka (Toole, 1990). Menurut Lamsudin (1997) penyebab perdarahan intraserebral adalah berkaitan dengan beberapa perubahan dinding pembuluh darah arteri serebral yang dapat dijumpai pada penyakit arteri degeneratif, artherosklerosis dan angiopati amiloid. Lokasi yang paling sering terjadi perdarahan intraserebral adalah di ganglia basal, yaitu duapertiga dari semua perdarahan intraserebral. Hematom yang terjadi pada jaringan otak akan merusak jaras-jaras yang melewati jaringan otak tersebut. Perdarahan subarakhoid (PSA) terutama terjadi karena pecahnya aneurisma. Predileksi aneurisma umumnya di pembuluh darah besar otak, dimana sirkulasi serebri anterior lebih banyak terjadi dari pada serebri posterior. Proses aterosklerosis dianggap punya peran dalam terbentuknya aneurisma. Selanjutnya akibat proses tersebut terjadi penipisan lapisan media pembuluh darah serebri dan degerasi elastis lamina pembuluh darah serebri. Jika terjadi kenaikan tekanan arteri atau tekanan venosa serebri maka dinding aneurisma yang sudah tipis tersebut akan mudah pecah dan darah akan masuk ke dalam ruang subarakhnoid atau terjadi perdarahan subarakhnoid (PSA). Stroke menimbulkan gejala dan tanda fokal yang berhubungan dengan area di otak yang mendapat suplai pembuluh darah yang terkena. Sumbatan pembuluh darah dapat berakibat putusnya aliran darah pada otak dan menyebabkan terganggunya aliran darah pada daerah tertentu di otak dan menyebabkan berbagai macam defisit neurologik tergantung fungsi neurologik area tersebut (Greenberg et al., 1992). 3. Faktor Risiko Stroke Faktor risiko stroke adalah suatu karakteristik yang ada pada seseorang (demografi, psikologik, anatomik, fisiologik, patologik) yang dapat menaikkan risiko stroke pada orang tersebut (Lamsudin, 1997). Larry et al.,(2001) mengklasifikasikan faktor risiko stroke menjadi modifiabel, nonmodifiabel dan potensial modifiabel. Faktor risiko stroke yang modifiabel yaitu faktor risiko yang dapat dilakukan intervensi dengan hasil terapi baik dan didukung data yang baik pula adalah hipertensi, diabetas mellitus, merokok, penyakit jantung, hiperkolesterolemia. Faktor risiko stroke nonmodifiabel yaitu

faktor risiko yang tidak bisa dilakukan intervensi untuk menanggulanginya adalah usia, gender, ras, keturunan. Sedangkan yang potensial modifiabel yaitu faktor risiko yang secara teori bisa diintervensi namun tidak didukung data yang baik tentang hasil terapi meliputi obesitas, inaktifitas fisik, alkohol, hiperhomosisteinemia, hiperkoagulabilitas, terapi hormon. Suatu komite di Amerika Serikat telah dibentuk untuk mengkaji faktor risiko stroke yang didapat dari berbagai penelitian kasus kontrol dan kohort, disimpulkan faktor risiko stroke sebagai berikut: (1) faktor risiko tunggal dan (2) faktor risiko multipleks. Faktor risiko tunggal dibagi menjadi dua kelompok yaitu (a) faktor risiko yang telah terbukti dengan pasti dan (b) yang kurang terbukti dengan pasti (Musfiroh dan Lamsudin, 1998). Milikan (1987) membagi factor risiko dalam 2 golongan besar yaitu risiko mayor dan risiko minor. Yang termasuk dalam faktor risiko mayor adalah TIA, menderita stroke sebelumnya, hipertensi, kelainan jantung, diabetes melitus, polisitemia dan aterosklerosis sistemik. Yang termasuk faktor minor adalah kadar lipid yang tinggi dalam darah, hematokrit yang tinggi, merokok, obesitas, kontrasepsi oral, hiperurisemia, alkohol, hiperfibrinogenemia. Pada kelainan jantung dalam hal ini fibrilasi atrium terjadi perubahan aliran darah, kelainan dinding pembuluh darah dan peningkatan aktivitas sistim homeostasis, memudahkan terbentuknya trombus. Trombus adalah massa abnormal yang terbentuk di dalam pembuluh darah yang berasal dari komponen darah. Trombus yang terjadi pada fibrilasi atrium disebabkan karena statis darah dalam atrium akibat gangguan mekanik dan listrik (Handin, 1986). Dikenal dua teori yang menerangkan mekanisme pathogenesis aterosklerosis yaitu: a) Hipotesis lemak dan b) Hipotesis kerusakan endotel (Yatsu, 1990). Pada teori yang pertama dinyatakan bahwa hiperlipidemia terutama hiperkolesterolemia merupakan penyebab utama aterosklerosis. Fraksi lipoprotein yang berperan adalah LDL (Low Density Lipoprotein) dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein). Sedangkan pada teori kedua dinyatakan bahwa kerusakan endotel pembuluh darah mempunyai peran penting untuk terjadinya lesi aterosklerotik. Faktor-faktor yang dapat mempercepat proses aterosklerosis adalah herediter, hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, merokok dan hiperosmosistemia (Toole, 1990). Selain faktor-faktor risiko tersebut ada faktor risiko lain yang membantu kita

untuk memprediksikan terjadinya stroke yang lebih dikenal faktor risiko generasi baru yaitu lipoprotein (a), fibrinogen , C-reactive protein (CRP), protein C, protein S, antitrombin II, Plasminogen Activator Inhibitor dan Antibodi Cardiolipin Antibodies (ACA) (Barnett, 1996). Hipertensi 1. Definisi Batasan mengenai hipertensi mengalami perkembangan seperti terlihat dari berbagai klasifikasi yang banyak mengalami perubahan. Kaplan (1983) mendefinisikan hipertensi sebagai tingkat tekanan darah dimana keuntungan dari tindakan yang dilakukan lebih besar dari risiko dan biaya yang diperlukan apabila tidak dilakukan tindakan. Menurut Joint National Committee VII (JNC VII) Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, atau kedua-duanya, dalam sekurang-kurangnya dua pemeriksaan atau ada riwayat pengobatan dengan obat-obat anti hipertensi (Chobanian et al., 2003). 2. Klasifikasi Berdasarkan The seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation (Chobanian et al., 2003), telah membagi level tekanan darah pada orang dewasa terdiri dari beberapa kategori seperti yang tercantum pada tabel 2 dibawah ini. Tabel 2 : Klasifikasi level tekanan darah. Diambil dari guidelines The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation (JNC VII) (Chobanian et al., 2003). Kategori Sistolik (mmHg) Diastolic(mmHg)

Normal Prehipertensi Hipertensi Tingkat 1 Tingkat 2

<120 120 139

<90 80 89

140 159 160

90 99 100

3. Patofisiologi Hipertensi pada Stroke Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Hipertensi terjadi bila didapatkan kenaikan curah jantung dan atau resistensi perifer, sedangkan curah jantung dan resistensi perifer dipengaruhi oleh banyak faktor seperti terlihat pada gambar 1 (Kaplan, 1994). Homeostatis tekanan darah dipertahankan oleh reflek baroreseptor sebagai mekanisme kompensasi yang terjadi seketika, dan oleh sistem renin angiotensis aldosteron sebagai mekanisme kompensasi yang berlangsung lebih lambat (Setiawati dan Bustami, 1995). Pada usia lanjut, pembuluh darah besar seperti aorta terjadi perubahan dimana jaringan kolagen dan elastin mulai diganti dengan jaringan fibrosa akibat proses arteriosklerosis, hal ini mengakibatkan sifat kelenturannya akan berkurang. Berkurangnya kelenturan tersebut mengakibatkan tekanan yang dihantarkan akibat kontraksi jantung tidak dapat di redam dan akan jalan dengan kecepatan yang besar. Aliran deras ini pada cabang-cabang arteri mengakibatkan tekanan yang besar dan menimbulkan hipertensi sistolik (Tarazi et al, 1995). Perubahan ini ditambah dengan terjadinya penurunan kadar renin dan lebih pekanya terhadap asupan garam natrium pada usia lanjut (Zemel dan Sower, 1988). Rendahnya renin meniadakan kemungkinan angiotensin II pada usia lanjut. Demikian juga kontrol simpatis pada vaskuler memang berubah dengan bertambahnya usia, tunika muskularis pembuluh darah arteri tidak kehilangan atau berkurang kepekaan reseptor alfa adrenergik, akan tetapi reseptor beta adrenergiknya berkurang kepekaannya. Hal ini mengakibatkan ketidak seimbangan dimana rangsang konstriksi dari reseptor alfa tidak dapat diimbangi dengan efek dilatasi dari reseptor beta (Applegate, 1994).

Dasar perubahan patologis pada arteri otak terjadi pada vaskularisasi leher dan otak, meskipun perubahan yang sama juga mungkin muncul pada pembuluh darah sistemik lain. Gangguan pada metabolisme khususnya lemak diyakini jelas kaitannya dengan perubahan dinding pembuluh darah. Hipertensi mempercepat progresi aterosklerosis dan suatu faktor risiko untuk terjadinya stroke. Hipertensi kronis dapat mengakibatkan bentuk distensi pembuluh darah pada area kecil, kemudian terjadi ruptur aneurisma, mengakibatkan perdarahan intraserebral (Waxman dan de Groot, 1995). Apabila tekanan darah arterial meningkat, arteriole konstriksi, derajadnya tergantung kenaikan tekanan. Jika hal ini durasinya singkat dan tekanan tidak terlalu tinggi, tidak jelas kelihatan merusak, tetapi jika tekanan tekanan terus menerus bahkan pada kenaikan sedang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, hialinisasi muskularis terjadi dan kemampuan lumen menjadi berubah. Ini adalah keadaan berbahaya sebab hal ini berarti bahwa arteriole serebral tidak dapat dilatasi lama atau konstriksi untuk kompensasi selama fluktuasi terhadap tekanan sistemik. Pengurangan tekanan arterial kemudian dapat menimbulkan perfusi inadekuat dari otak dan sebagai akibatnya iskemik jaringan dan meningkatkan tekanan arterial sistemik dapat menyebabkan tekanan perfusi meningkat pada kapiler yang rusak, dengan akibat hiperemia, edema dan mungkin perdarahan. Komplikasi serebrovaskuler dari hipertensi termasuk sebagai berikut: aneurisma milier, pecahnya subintimal, perdarahan intraserebral, percepatan proses aterosklerosis, aneurisma arterial sakuler, infark lakuner, dan hipertensi ensefalopati (Toole, 1990). Tekanan darah sering meningkat pada fase akut atroke. Alasan-alasan yang mungkin adalah hipertensi sebelumnya, respon patofisiologi yang mempertahankan perfusi pada iskemik penumbra, atau reaksi stres pada waktu masuk rumah sakit. Pada mulanya tekanan darah tinggi yang menjadi stroke akut telah dikaji secara ekstensif dan menunjukkan penurunan spontan selama minggu pertama (Saxena et al., 2000). 4. Pengaruh Hipertensi pada Organ Target Hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan berbagai organ target seperti otak, jantung, ginjal, aorta, pembuluh darah perifer, dan retina. Beberapa penelitian secara cross sectional membuktikan bahwa kerusakan organ target lebih erat hubungannya dengan hasil pengukuran tekanan darah selama 24 jam atau Ambulatory Blood Pressure

(ABP) daripada tekanan darah sesaat (Bonita, 1992). Pada orang normal, tekanan darah mengikuti pola sirkadian, yaitu tekanan darah mengalami penurunan pada malam hari dan mengalami kenaikan pada pagi hari. Demikian pula pada sebagian besar penderita hipertensi, yang juga mengikuti pola sirkardian orang normal (dippers). Tetapi pada penelitian hipertensi non-dippers tidak terjadi penurunan tekanan darah pada malam hari. Kejadian penyakit kardiovaskuler maupun stroke lebih sering timbul pada penderita hipertensi non-dippers dari pada penderita hipertensi dippers (Hankey dan Wanlow, 1999). Sebagai contoh, hasil penelitian secara kohort prospektif terhadap 100 penderita hipertensi, dilaporkan angka kematian rata-rata lebih tinggi, baik pada non-dippers dan reserve dipper dari pada dippers. Hasil penelitian membuktikan bahwa tekanan darah yang tinggi pada pengukuran secara ambulatoir (ABP), khususnya tekanan darah yang tinggi pada malam hari dan penurunan tekanan darah yang kurang pada malam hari, akan menyebabkan efek yang merugikan (bertambah luas lesi) pada lesi iskemik yang tenang (silent ischemic lessions) dan stroke simptomatis pada pasien dengan infark lakuner (PROGRESS Collaborative Group, 2001). 5. Peran Hipertensi Dalam Patogenesis Stroke Orang normal mempunyai suatu sistim autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh darah serebral menjadi vasospasme (vasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, pembuluh darah serebral akan menjadi vasodilatasi. Dengan demikian, aliran darah ke otak tetap konstan. Walaupun terjadi penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg, autoregulasi arteri serebral masih mampu memelihara aliran darah ke otak tetap normal. Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi ialah 200 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan 110-120 mmHg untuk tekanan diastolik. Ketika tekanan diastolik. Ketika tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi (Chobanian et al., 2003). Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun- tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini

berbahaya karena pembuluh darah serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dan tekanan perfusi ke jaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan perdarahan pada otak (Kannel et al., 2003). Pada keadaan normal, endotel menunjukkan fungsi dualistik. Sifat ini secara simultan mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor (angiotensin II, endotelin-I, tromboksan A-2, dan radikal superoksida) serta vasodilator(prostaglandin dan nitrit oksida). Faktor-faktor ini menyebabkan dan mencegah proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara sistim antagonis ini dapat mengontrol pada secara optimal fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi endotel, terjadi vasokonstrisi, proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah, agregasi trombosit, adhesi lekosit, dan peningkatan permeabilitas untuk makromolekul, seperti lipoprotein, fibrinogen, dan imunoglobulin. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya aterosklerosis, yang berperan penting untuk terjadinya stroke infark (Mendelow, 1993; Broderick et al., 1990). 6. Kontrol Tekanan Darah Dalam Pencegahan Stroke Pada suatu penelitian tentang efek pengendalian hipertensi terhadap stroke menunjukkan bahwa apabila didapatkan penurunan risiko untuk terjadinya stroke sebesar 38% apabila penurunan mencapai 14 mmHg tekanan sistolik dan 7,5 tekanan diastolik, dan penurunan kejadian stroke sebesar 56% apabila dicapai penurunan tekanan sistolik sebesar 19 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 10 mmHg, yang diikuti selama 10 tahun dengan rentang kepercayaan 95% sebesar 31-45%. Efek penurunan tekanan darah terhadap kejadian stroke dalam jangka pendek pengobatan hasilnya belum jelas. Efek penurunan kejadian stroke dengan mengendaikan hipertensi terlihat lebih besar pada kelompok pasien dengan umur yang lebih muda dibanding dengan kelompok dengan umur yang lebih tua (43 vs 34%). Pada penelitian tersebut obat yang digunakan adalah diuretika dan betabloker. Penelitian-penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa penurunan tekanan darah mencapai tingkat tekanan darah optimal secara terus menerus dalam jangka

panjang terbukti menurunkan kejadian dan kematian akibat stroke, semakin tinggi penurunannya semakin tinggi efek perlindungannya. Pada penelitian TOMHS pada kelompok dengan hipertensi sangat tinggi yang diterapi dengan obat anti hipertensi jangka lama secara intersif menunjukkan kejadian stroke yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok yang diterapi tidak intensif maupun kontrol. Hipertensi yang tidak terkontrol terdapat pada 78% kasus stroke iskemik dan 85% pada kasus stroke hemoragik (Kaplan, 2003). Suatu overviews dari 14 prospective randomized menunjukkan bahwa hipertensi yang tidak terkendali sangat kuat hubungannya (Kernan et al., 2000). Hasil penelitian The Systolic Hypertension in the Eldery Program (SHEP) memperlihatkan penurunan insiden stroke 36% dengan pengobatan antihipertensi (klorthalidon atau atenolol) pada pasien usia lanjut dengan hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension). Risiko terjadinya stroke akan meningkat duakali lipat setiap kenaikan 7,5 mmHg tekanan diastolik (Kannel et al., 2003). 7. Kontrol Tekanan Darah Pada Penderita Stroke Rekuren Penderita hipertensi atau bukan hipertensi dengan riwayat penyakit (TIA). serebrovaskuler adalah kelompok yang termasuk berisiko sangat tinggi untuk terjadinya stroke rekuren, meskipun hanya riwayat serangan Transient Ischaemic Attack Penelitian UKTIA (Transient The United Kingdom Ischaemic Attack Aspirin Trail) menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara penurunan tekanan darah dengan risiko kejadian stroke rekuren pada penderita dengan riwayat TIA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian aspirin pada penderita dengan riwayat TIA terhadap kejadian serebrovaskular tanpa memperhatikan tekanan darah subyek penelitian dalam kriteria inklusinya. Dari data hasil penelitian UKTIA menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kontinyu antara tekanan darah, baik sistolik, dengan resiko terhadap serangan stroke rekuren. Setiap penurunan 5 mmHg tekanan diastolik dan 12 mmHg tekanan sistolik terjadi penurunan risiko serangan ulang stroke sebesar 34%. Besarnya penurunan risiko ini sepadan diantara kelompok dengan riwayat TIA maupun stroke ringan pada pasien dengan umur < 60 tahun. Bukti - bukti klinis manfaat pengendalian tekanan darah terhadap risiko kejadian

stroke rekuren pada penderita dengan riwayat serangan kejadian serebrovaskuler (cerebrovascular attack), terlihat pada penelitian Carter, HSCSG (Hypertension-stroke Cooperative Study Group), TEST (The Dutch TIA trial and the Tenormin after Stroke and TIA) dan penelitian oleh PATS (the Post-Stroke Antihypertensive Study) dilakukan dengan metode uji klinik acak (RCT). Pada penelitian awal awal terapi berbasis diuretika pada pasien dengan hipertensi dengan tujuan mengetahui efek klinis obat anti hipertensi disamping efek terhadap tensi itu sendiri (beyond the treatment effects) sedangkan pada penelitian lanjutan TEST menggunakan atenolol pada kelompok normotensif untuk mengetahui efek terapi atenolol terhadap perlindungan serangan stroke rekuren dan pada penelitian lanjut PATS peneliti menggunakan beta-bloker untuk mengetahui pengaruh pemberian obat ini terhadap risiko terjadinya stroke rekuren. 8. Gambaran Rekurensi Pada umumnya, stroke rekuren selalu lebih sering mempunyai tipe yang sama dengan stroke pertama kali. Pasien-pasien dengan infark kardioembolik awal rata-rata mempunyai kemungkinan besar tipe yang sama dengan rekuren, diikuti juga dengan infark non-lakunar non kardioembolik awal, juga dengan perdarahan otak awal, dan juga dengan infark lakunar awal (Yamamoto et al., 1998). 9. Faktor Risiko Stroke Rekuren Dengan berat dan banyaknya faktor risiko, kemungkinan untuk mendapatkan risiko stroke rekuren akan meningkat pula (Sacco, 1997). Data epidemiologi menyebutkan risiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah sebesar 30 % dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan ulanga dalah 9 kali dibandingkan dengan populasi normal (Boden-Albala, 2002). Upaya untuk mencegah serangan stroke rekuren perlu mengenal dan kalau perlu merubah faktor risiko tersebut. Adapun penggolongan faktor risiko stroke rekuren dibagi atas 2 yaitu yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi, seperti terlihat pada tabel 3 (Sacco, 1997; Boden-Albala, 2002; Fayad, 2001). Tabel 3. Faktor-faktor risiko Stroke Rekuren yang

Tidak dapat dimodifikasi Usia Jenis kelamin Herediter Ras/etnik Hipertensi

Dapat dimodifikasi Riwayat stroke

Penyakit jantung Diabetes melitus Penyakit stenosis karotis Transient ischaemic attack (TIA) Hiperkolesterol Penggunaan kontrasepsi oral Obesitas Merokok Alkoholik Penggunaan narkoba Hiperhomosisteinemia Hiperurisemia

Sumber: Elkind, M., 2003.

B. Pokok-Pokok Pikiran Berdasarkan latar belakang dan tinjauan kepustakaan dapat disimpulkan beberapa pikiran sebagai berikut:
1. Stroke merupakan kedaruratan neurologis yang mempunyai angka kecacatan dan

kematian yang cukup tinggi.


2. Outcome pada penderita stroke rekuren lebih buruk dibanding pada mereka yang

hanya mengalami kejadian stroke pertama kali. 3. Studi-studi tentang faktor risiko stroke rekuren masih kurang, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih banyak. C. Kerangka Konsep Stroke Rekuren

Hipertensi Diabetes Melitus Kelainan Jantung Merokok Hiperkolesterol Hiperlipidemia

Usia Jenis Kelamin Herediter Ras/Etnik

Stroke Pertama

Gambar 2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis Hipertensi tidak terkontrol merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke rekuren. BAB III METODE PENELITIAN A. Disain dan Rancangan Penelitian Dalam studi kasus-kontrol individu-individu dengan suatu penyakit tertentu (kelompok kasus) dipilih untuk dibandingkan dengan suatu kelompok yang tidak menderita penyakit tersebut (kelompok kontrol). Kelompok kasus dan kelompok kontrol dibandingkan dengan tujuan untuk membuktikan bahwa ada relevansi terjadinya suatu penyakit tertentu yang disebabkan oleh karena ada faktor-faktor tertentu dari individu tersebut (Schlesselman, 1982). Dengan kata lain, pada studi kasus-kontrol dilakukan identifikasi subyek (kasus) yang terkena penyakit (efek), kemudian diikuti secara retrospektif ada atau tidak adanya factor risiko yang diduga berperan. Sebagai kontrol dipilih subyek yang berasal dari populasi yang karaktristiknya sama dengan kasus, dan hanya berbeda dalam hal terdapatnya penyakit atau kelainan yang akan diteliti. Rancangan penelitian ini menggunakan metode kasus-kontrol yang dicocokkan (matched case-control study). Pengambilan sampel untuk kelompok kasus dilakukan secara berurutan, yaitu penderita stroke rekuren yang datang ke rumah sakit sampai jumlah sampel terpenuhi, kemudian setiap didapat satu kasus diambil pula satu kontrol yang sama usia dan jenis kelaminnya dengan diagnosis bukan stroke. Kasus dan kontrol bersumber pada data register pasien baru (Schlesselman, 1982). Rancangan penelitian kasus-kontrol merupakan penelitian epidemiologic analitik observasional yang dapat digunakan untuk mencari hubungan antara faktor risiko dengan terjadinya penyakit (cause-effect relationship). Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus-kontrol, untuk menilai peran paparan tekanan darah terkontrol dan tidak terkontrol sebagai faktor risiko terjadinya stroke berulang. Kelebihan rancangan penelitian kasus-kontrol dibandingkan dengan penelitian kohort antara lain murah, lebih

cepat memberikan hasil dan tidak memerlukan sampel yang besar serta memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor risiko sekaligus. Bahkan untuk penyakit yang jarang, rancangan penelitian merupakan satu-satunya penelitian yang mungkin dilaksanakan untuk mengidentifikasi faktor risiko (Sastroasmoro, 1995).

APAKAH ADA FAKTOR RISIKO RETROSPEKTIF

PENELITIAN MULAI DI SINI

YA KASUS (Stroke Rekuren)

TIDAK

YA KONTROL (Bukan Stroke) TIDAK Gambar 3. Skema penelitian KasusKontrol

B. Populasi Penelitian Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita stroke rekuren (kasus) dan seluruh penderita bukan stroke (kontrol). Populasi terjangkau adalah bagian dari populasi target yang dapat dijangkau oleh peneliti, dibatasi oleh waktu dan tempat. Populasi terjangkau penelitian ini adalah seluruh penderita stroke rekuren (kasus) dan seluruh penderita bukan stroke (kontrol) yang dirawat di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, RS Panti Rapih, RS Bethesda, dan RS PKU. Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Sampel penelitian ini adalah seluruh penderita stroke rekuren (kasus) dan seluruh penderita bukan stroke (kontrol) yang dirawat di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, dipilih secara berurutan dan memenuhi kriteria terpakai (inclusion criteria) dan kriteria tidak terpakai (exclusion criteria). C. Kriteria Subyek Penelitian Kriteria terpakai untuk kelompok kasus pada penelitian ini adalah (1) stroke rekuren, dengan riwayat hipertensi baik terkontrol / tidak terkontrol, (2) berusia 18 tahun, laki-laki dan perempuan, (3) bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent. Kriteria tidak terpakai untuk kelompok kasus adalah, (1) Penyakit keganasan,epilepsi, wanita hamil, gagal ginjal kronik, penggunaan obat-obat seperti antikonvulsan, (2) tidak bersedia ikut dalam penelitian. Untuk kelompok kontrol, kriteria terpakai adalah (1) Penderita bukan stroke, dengan riwayat hipertensi baik terkontrol / tidak terkontrol yang di matching menurut usia dan jenis kelamin serta berasal dari rumah sakit yang sama dengan kelompok kasus, (2) Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria tidak terpakai untuk kelompok kontrol adalah sama dengan kelompok kasus.
Populasi Target

Populasi Terjangkau Kriteria Eksklusi Kriteria inklusi Populasi penelitian

Matching: - Usia - Jenis Kelamin - Rumah Sakit

Stroke Rekuren Bukan Stroke

HT Terkontrol

HT Tak Terkontrol

Gambar 4. Skema Rancangan Penelitian D. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pada kelompok kasus dengan cara berurutan (consecutive sampling) yaitu setiap penderita stroke rekuren yang datang kerumah

Anda mungkin juga menyukai