Anda di halaman 1dari 28

Konferensi Ilmiah

PERSALINAN PERVAGINAM PADA PASIEN PERNAH SEKSIO ( P4S )

Disusun oleh : Dr. Nina Kartina PPDS tahap II

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo

Jakarta, Oktober 2004

BAB I PENDAHULUAN
Angka persalinan dengan seksio sesarea ( SS ) pada awalnya telah menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Di Amerika Serikat, angka ini meningkat secara bermakna, yaitu 4,5% pada tahun 1965 menjadi 25% pada tahun 1988. 1 Survey tentang presentasi seksio sesarea di seluruh Indonesia oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1997 adalah 4,3 %. 2 Namun demikian, angka seksio di kota besar jauh lebih tinggi. Survey rasio seksio di Jakarta tahun 1992 menemukan angka seksio di rumah sakit Ci pto Mangunkusu mo (RSCM) mencapai 20,7 %. 3 Hampir 50 % wanita pernah seksio tetap memilih seksio elektif, karena takut akan risiko terjadinya ruptur uteri dan morbiditas bayi. 4 Persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio ( P4 S ) merupakan masalah di bidang obstetri. Baik seksio sesarea maupun partus pervaginam tidak bebas dari risiko. Untuk meminimalkan risiko kegagalan P4S, dokter harus dapat melakukan seleksi dan manajemen pasien secara tepat, selain itu diperlukan konseling pada pasien dalam memilih cara persalinannya. Keberhasilan P4S ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia ibu, indikasi seksio sebelumnya, riwayat persalinan pervaginam, cara timbulnya persalinan dan jumlah skor Bishop. Keputusan menjalani P4 S ditentukan oleh dokter dan pasien, tingginya keberhasilan P4S merupakan salah satu parameter pelayanan obstetri yang baik. Komplikasi yang paling menakutkan adalah ruptura uteri dengan diagnosis tidak selalu mudah karena gejala dan tanda klasik tidak selalu didapat, seperti takikardi ibu, takikardi janin, hipotensi ibu, hematuri, dan nyeri pada bekas insisi . Komplikasi ini sangat berbahaya dan kejadiannya semakin meningkat dengan semakin diterimanya usaha P4S (Flamm & Geiger, 1997 ).
5

Tujuan penulisan adalah untuk mendapat gambaran P4 S aman digunakan selama semua syarat terpenuhi, namun tidak tidak
6

terdapat ada

kontraindikasi, bahwa

dengan

mengantisipasi segala risiko. Meskipun sistem penilaian telah dipakai untuk memperkirakan keberhasilan, jaminan persalinan pervaginam akan sukses pada seorang individu .

Berikut ini akan dikemukakan sebuah kasus persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio sesarea pada kehamilan aterm.

BAB II ILUSTRASI KASUS


Ny. K, 20 tahun, datang ke IGD lantai 3 pada tanggal 9 Agustus 2004 pada pukul 10.50 WIB, dirujuk puskesmas Tebet dengan G2 P1 hamil 39 minggu, PK I aktif, bekas seksio sesarea (BSS), ketuban pecah dini (KPD). Mengaku hamil cukup bulan, hari pertama haid terakhir tanggal 6 Nopember 2003, taksiran persalinan 13 Agustus 2004 (saat ini sesuai hamil 39 minggu , dengan siklus menstruasi 28 30 hari). Asuhan antenatal teratur di puskesmas Tebet , tidak ada kelainan. Mules sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS) , keluar air sejak 6 jam SM RS, lendir darah (+), gerak anak (+). Hipertensi, diabetes melitus, asma, sakit jantung, ginjal, paru disangkal. Riwayat obstetri saat ini hamil yang kedua, anak pertama laki-laki usia 3 tahun, berat lahir 3000 gram, seksio sesarea atas indikasi janin sungsang di RSCM , dirawat selama 7 hari, penyembuhan luka operasi baik. Pemeriksaan fisik : status generalis : compos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 90 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu afebris. Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, jantung: bunyi jantung I-II normal, tidak ada bising dan irama derap, paru: vesikuler, tidak terdapat rhonki dan mengi, abdomen : lemas , membuncit, hati dan limpa tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan dan tanda akut abdomen, terdapat luka parut insisi ekstremitas : akral hangat, tidak terdapat edema. Status pfanennstiel,

obstetrikus : tinggi fundus uteri 29 cm, O 4/5 , taksiran berat janin 2800 g, his 3 x/10 menit / 35 / sedang relaksasi baik, bunyi jantung janin 146 dpm, inspeksi vulva uretra tenang, inspekulo : porsio licin, ostium terbuka, tampak rambut bayi, periksa dalam : porsio lunak, aksial, panjang cm, pembukaan 4 cm, selaput ketuban (-), kepala H I-II, SSL, kaput 2 cm, moulage (-). Pelvimetri klinis : promontorium dan linea inominata sulit dinilai, dinding samping lurus, spina tajam, distansia interspinarum 9,5 cm, sakrum konkaf, arkus pubis > 90. Kesan panggul normal, imbang feto pelvik baik. Ultrasonografi tanggal 9 Agustus 2004 (IGD lt 3) : janin presentasi kepala tunggal hidup , diameter biparietal 9,0 cm, lingkar perut 29,1 cm, panjang femur 7,2 cm, taksiran berat

janin 2600 g, indeks cairan amnion 9,4 , plasenta di korpus depan, kesan sesuai hamil aterm. Skor Alamia : 5 dengan keberhasilan 78,8 %. Ditegakkan diagnosis G2 P1 hamil 39 minggu, janin presentasi kepala tunggal hidup, bekas seksio sesarea 1 x, PK I aktif, ketuban pecah 7 jam, air ketuban berkurang. Rencana diagnosis : DPL, UL, GDs, CTG, observasi TNP/ jam, S / 4 jam, his, DJJ / jam. Observasi tanda-tanda ruptura uteri iminen (takikardi ibu, takikardi janin, nyeri suprasimfisis dan hematuria). Rencana terapi: rencana awal partus pervaginam, nilai ulang kemajuan persalinan sesuai partograf, ampisilin sulbaktam 1,5 g IV dilanjutkan p.o . 2 x 375 mg. Rencana edukasi : Informed consent ke pasien dan keluarga bahwa persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio sesarea memiliki risiko salah satunya adalah ruptura uteri, namun pasien dapat partus pervaginam dengan pengawasan ketat terhadap tanda-tanda ruptura uteri. Selanjutnya, pukul 11.4 5 WIB pada kardiotokografi didapatkan frekuensi dasar 130 dpm, variabilitas 5 20 dpm, akselerasi (+), deselerasi (-), his (+), gerak janin (+). Kesan janin reaktif. Laboratorium: darah tepi lengkap : Hb : 13,1 g/dl, ht : 39 %, leukosit : 11900/ul, trombosit : 201000/ul . Urin lengkap : leukosit 4 5 /LPB, bakteri (-), esterase leukosit 122. Kesan laboratorium dalam batas normal. Pada pukul 13.00 WIB didapatkan his berkurang 2 x/10/30, DJJ 144 dpm, VT : pembukaan 5 cm, ket (-), kepala H I II. Tanda vital ibu baik. Ditegakkan inersia PK I aktif , dilakukan augmentasi dengan oksitos in 2 u/ RL 500 cc, mulai 5 tetes/menit, dinaikkan 5 tetes/menit setiap 30 menit sampai dengan tercapai his adekuat ( 3 x /10 menit/40). Puk ul 14.00 WIB tercapai his adekuat dengan 5 tetes/menit. Puku l 17.45 WIB tercapai PK II dengan his 4 x/10/45/ KRB, DJJ 154 dpm, VT : pembukaan lengkap, ketuban (-), kepala H III-IV , UUK kiri depan. Setelah 20 menit dipimpin meneran bayi belum lahir, didapatkan hal yang sama, sikap akhiri PK II dengan ekstraksi forceps. Dengan ekstraksi forceps lahir bayi laki-laki 3000 gram/ 46 cm, AS 9/10, terdapat jejas minimal di pipi kanan. Air ketuban jernih jumlah cukup. Plasenta lahir spontan, lengkap. Pada eksplorasi didapatkan luka episiotomi melebar sesuai ruptur grade III, dilakukan jahitan satu-satu pada m. sfingter ani eksterna, jahitan hemostasis pada mukosa vagina, jelujur dan subkutik uler pada vagina da perineum dengan safil 2.0. Perdarahan selama kala III-IV sekitar 250 cc. Perabaan dehisens (-) (-), nitrit (-). GD sewaktu :

Post partum ibu mendapat terapi diet tinggi serat, banyak minum , ampisilin sulbaktam 2 x 375 mg, asam mefenamat 3 x 500 mg, laxadin 3 x C1. Ibu dan bayi rawat gabung selama 2 hari, pulang dalam keadaan baik.

BAB III PEMBAHASAN


Jika persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio (P4 S) diterapkan pada semua pasien riwayat seksio sesarea (SS) , kecenderungan meningkatnya angka persalinan pervaginam sebesar 5%. Angka keberhasilan P4 S sebagian
7

besar kepustakaan 60 80 %. Stud i kasus kontrol dengan seleksi bias yang baik, angka keberhasilan 98,3 %, dengan dehisens uterus 0,3 % dari 3000 subyek. Dibandingkan dengan seksio sesarea kembali, P4 S berhubungan dengan

morbiditas yang lebih rendah, transfusi darah lebih sedikit, infeksi post partum lebih sedikit, lama perawatan lebih singkat, tanpa peningkatan morbiditas perinatal.
6,7

Hasilnya adalah penghematan biaya secara signifikan. Fakta lainnya


8

bahwa angka mortalitas pada P4S tidak lebih tinggi daripada angka mortalitas pada seluruh persalinan pervaginam (Gabbe, 1996).

Namun, kegagalan partus pervaginam menyebabkan morbiditas meningkat seperti ruptura uteri, histerektomi, cedera operasi, dan infeksi. 7 Menurut Hibbard dkk, dari tahun 1989 1998, pasien yang mengalami kegagalan dalam percobaan partus pervaginam pada pasien pernah seksio (416 orang ) berisiko lebih tinggi mengalami ruptura uteri yaitu sebanyak 8,9 % (angka kepercayaan 95 %, 1,9-42), transfusi darah 3,9% ( angka kepercayaan 95 %, 1,1 13,3), korioamnionitis 1,5% (angka kepercayaan 95%, 1,1-2,1), endometritis 6,4 % (angka kepercayaan 95 %, 4,1-9,8) dibandingkan dengan yang berhasil partus pervaginam. Dibandingkan dengan seksio sesarea elektif (431 kasus), pasien yang mencoba P4S ( 1324 kasus ), angka ruptura uteri 1,1 %, kehilangan darah lebih sedikit ( rasio odds 0,5, angka kepercayaan 95 %, 0,3-0,9), dan korioamnionitis lebih tinggi (rasio odds 3,8, angka kepercayaan 95 %, 2,3-6,4). 9 Percobaan P4S dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam. Kriteria seleksi pasien yang mencoba P4S menurut ACOG, yaitu 7 : 1. Satu atau dua seksio dengan insisi transversal rendah 2. Panggul adekuat secara klinis 3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptura uteri

4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan dan melakukan seksio sesarea segera ( dalam waktu 30 menit ) 5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio sesarea segera. Beberapa persyaratan lainnya antara lain : 1. Tidak ada indikasi seksio sesarea ( lintang, plasenta previa ) 2. Terdapat catatan medik y ang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea sebelumnya (operator, jenis insisi, kompli kasi, lama perawatan). 3. Segera mungki n pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai. 4. Tersedia darah untuk transfusi. 5. Janin presentasi verteks normal. 6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas) 7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat. 8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya. Sedangkan kontraindikasi P4S menurut ACOG
4,7,10

1. Ri wayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya (termasuk riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif ). 2. Panggul sempit atau makrosomia 3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam 4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya operator, anastesia, staf atau fasilitas Untuk memperkirakan keberhasilan P4 S, dibuat sistem penilaian dengan memperhatikan beberapa variabel yaitu nilai Bisho p, persalinan pervaginam sebelum seksio sesarea, dan indikasi seksio sesarea sebelumya. Weinstein dkk dan Alamia dkk telah menyusun sistem penilaian tidak untuk ada memperkirakan cara yang keberhasilan P4S. 5 , 1 1 Namun, menurut ACOG, suatu

memuaskan untuk memperkirakan apakah P4S akan berhasil atau tidak . 6 Sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S dari Alamia dkk (Flamm & Geiger, 1997) adalah sebagai berikut No Faktor
5,11

: Nilai

1 2

Riwayat persalinan pervaginam sebelumnya Indikasi sebelumnya : Sungsang, gawat janin, plasenta previa, seksio elektif Distosia pada pembukaan < 5 cm Distosia pada pembukaan > 5 cm.

2 1 0

Dilatasi serviks > 4 cm 2 4 cm < 2 cm 2 1 0 1 1 1

4 5 6

Station dibawah 2 Panjang serviks < 1 cm Persalinan timbul spontan

Nilai 7-9: keberhasilan P4S 94,5 % Nilal 4-6: keberhasilan P4S 78,8 % Nilai 0-3: keberhasilan P4S 60,0%

10

Adapun sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S dari Weinstein dkk (Flamm & Geiger, 1997) adalah sebagai berikut Faktor Nilai 0 4 Persalinan 0 2 Indikasi I A: Malpresentasi Hipertensi dalam kehamilan 0 6 Gemeli B: Plasenta previa atau solusio plasenta Prematuritas 0 -5 Ketuban Pecah Dini C: Gawat janin CPD 0 4 Prolaps tali pusat D: Makrosomia Pertumbuhan janin terhambat 0 3 atau Distosia 0 3 0 4 yang lalu 0 5 pervaginam 0 6 Bi shops >
11

: Tidak 4 0 0 Ya 4 2

11

Nilai > 4: keberhasilan P4S > 58% Nilai > 6: keberhasilan P4S > 67% Nilai > 8: keberhasilan P4S > 78% Nilal > 10: keberhasilan P4S > 85% Nilai = 12: keberhasilan P4S > 88% Perbandingan angka komplikasi pada P4 S dengan pasien yang langsung menjalani SS elektif kedua telah diteliti olehi McMahon dkk. Hasilnya, tidak ada perbedaan komplikasi minor pada kedua kelompok tersebut. Frekuensi ruptura uteri hanya 0,3 %. Angka histerektomi dan komplikasi mayor juga relatif tidak berbeda di antara kedua kelompok.
14

Komplikasi yang paling menakutkan dan dapat mengancam hidup ibu dan janin adalah ruptura uteri. Ru ptura uteri pada jaringan parut dapat dijumpai secara jelas atau tersembunyi. Secara anatomis , ruptura uteri dibagi menjadi ruptura uteri komplit (symptomatic rupture) dan dehisens (asymptomatic rupture). Pada ruptura uteri komplit , terjadi diskontin uitas dinding uterus berupa robekan hingga lapisan serosa uterus dan membran khorioamnion. Sedangkan disebut dehisens bila terjadi robekan jaringan parut uterus tanpa robekan lapisan serosa uterus, dan tidak terjadi perdarahan (Cuningham, 2001).
15

Ketika ruptura uteri terjadi, histerektomi , transfusi darah masif, asfiksia neonatus, kematian ibu dan janin dapat terjadi. Tanda ruptura uteri yang paling sering terjadi adalah pola denyut jantung janin yang tidak menjamin, dengan deselerasi memanjang. Deselerasi lambat, variabel, bradikardi, atau denyut jantung hilang sama sekali juga dapat terjadi. Gejala dan tanda lain termasuk nyeri uterus atau perut, hilangnya stasion bagian terbawah janin, perdarahan pervaginam, hipotensi.
7

Angka ruptura uteri pada P4 S < 1 %, pada wanita yang menjalani seksio elektif ulang tanpa persalinan masih mempunyai risiko 0,03 0,2 %. Dari wanita yang menjalani P4S, angka ruptura uteri sangat bervariasi tergantung faktor risiko yang ada. Adapun risiko ruptura uteri adalah sebagai berikut 1. Jenis parut uterus Parut klasik dan insisi T ( 4 9 %), insisi vertikal rendah (17 %), insisi transversal rendah (0,11,5 %).
7 15

12

2. Penutupan uterus satu lapis atau dua lapis Menurut Bujold dkk, dari analisis observasional kohort, insidens ruptura uteri pada P4S wanita dengan jahitan satu lapis 4 kali lipat dibandingkan dengan jahitan 2 lapis. ( OR 3,95 ; angka kepercayaan 95%: 1,35 11,49 ). 3. Jumlah SS sebelumnya Phelan JP dkk (1987) meneliti keberhasilan P4S yaitu 83 % pada pasien pernah seksio satu kali (dari 10875 pasien), 75 % pada pasien pernah seksio dua kali (dari 1585 pasien) dan 79 % pada pasien pernah SS tiga kali (dari 237 pasien). Mereka menyimpulkan bahwa P4S dua kali juga merupakan alternatif yang perlu dicoba. Namun
12 15

berbeda

dengan

Caughey

dkk

yang

mengadakan

analisis

retrospektif pada 3871 wanita P4S, angka ruptura uteri 3,7 % pada 134 wanita dengan 2 parut dibandingkan dengan 0,8 % pada 3757 wanita dengan satu parut. ( RR 4,5 ; angka kepercayaan 95 % : 1,8 11,5 ; p = 0,00 1 ). Dengan mengontrol usia ibu, analgesia epidural, induksi dan augmentasi oksitosin, prostaglandin, berat lahir, usia kehamilan, jenis insisi, tahun P4 S dan riwayat persalinan pervaginam, wanita dengan 2 parut memiliki risiko 4,8 kali mengalami ruptura uteri.
13-15

4. Ri wayat persalinan pervaginam Zelop dkk, meneliti riwayat persalinan pervaginam baik sebelum maupun setelah SS menurunkan risiko ruptura uteri pada P4S. Angka ruptura uteri diantara wanita dengan riwayat persalinan pervaginam 0,2 % (n=2/1, 021) dibandingkan dengan 1,1, % ( n = 30 / 2762 ) wanita tanpa riwayat pervaginam. Dengan mengontrol usia ibu, analgesia epidural, induksi dan augmentasi oksitosi n, prostaglandin, berat lahir, lama persalinan, dan jenis insisi, wanita dengan riwayat persalinan pervaginam angka ruptura 1/5 dibandingkan dengan wanita tanpa persalinan pervaginam ( OR 0,2 ; angka kepercayaan 95 % : 0,04 0,8 ).
15

5. Jarak kelahiran Jarak kehamilan dengan seksio sesarea sebelumnya juga berpengaruh terhadap kejadian ruptura uteri. Angka ruptur meningkat tiga kali pada kehamilan yang terjadi kurang dari 6 bulan setelah seksio dan tidak berbeda bermakna pada kehamilan dengan jarak 6 - 12 bulan atau lebih dari 12 bulan. 1 6 Sh ipp dkk

13

menemukan wanita yang menjalani P4S dengan jarak kelahiran < 18 bulan, insidens ruptur 2,3 % ( n = 7/311 ) dibandingkan dengan 1,1 % ( n = 22/2,0 98) wanita dengan jarak kelahiran yang lebih lama ( p=0,07 ). Setelah mengontrol usia ibu, lama persalinan, induksi dan augmentasi oksitosin , dan usia kehamilan, wanita dengan jarak < 18 bulan 3 kali lebih tinggi mengalami ruptura uteri ( OR 3,0; angka kepercayaan 95 % : 1,2 7,2 ). Bu jold dkk memeriksa 1527 rekam medis wanita P4S. Ruptura uteri terjadi pada 2,8 % wanita dengan jarak kelahiran < 24 bulan dibandingkan dengan 0,9 % jarak kelahiran lebih 24 bulan (p < 0,01 ). Setelah mengontrol faktor perancu, wanita dengan jarak kelahiran < 24 bulan hampir 3 kali lebih tinggi mengalami ruptura uteri (OR 2,65; angka kepercayaan 95 % : 1,08 5,46 ). Lebih lanjut, kombinasi jarak kelahiran < 24 bulan dan jahitan uterus satu lapis meningkatkan insidens ruptur 5,6 %. 6. Usia ibu Shipp dkk membandingkan insidens ruptura uteri pada wanita < 30 tahun 0,5 % dengan wanita > 30 tahun 1,4 %. Setelah mengontrol berat lahir, induksi dan augmentasi dan jarak kelahiran, wanita > 30 tahun berisiko 3,2 kali mengalami ruptura uteri dibandingkan dengan < 30 tahun ( OR 3,2 ; angka kepercayaan 95 %: 1,2 8,4 ). 7. Demam pasca seksio Suhu ibu > 38
0 15 15

C pasca seksio 4 kali lebih tinggi mengalami ruptura uteri


15

pada P4S ( OR 4 , angka kepercayaan 95 % : 1,0 15,5 ) 8. Ketebalan segmen bawah uterus ( SBU )

Pengukuran ketebalan SBU dengan ultrasonografi sangat bermanfaat dalam mengantisipasi risiko ruptura uteri. Pada ketebalan SBU > 4,5 mm risiko ruptur dikatakan 0 %, sedangkan pada ketebalan 3,6 - 4,5 mm risikonya 0,6 pada ketebalan 2,6-3,5 mm menjadi 6,6 % dan pada ketebalan < 2,5 mm risikonya mencapai 9,8 % sehingga dapat dikatakan bahwa ketebalan SBU < 2 mm sebagai kehamilan berisiko tinggi terjadinya ruptura uteri.
17

Diperlukan upaya untuk mengantisip asi terjadinya komplikasi ruptura uteri, yaitu (Ash, 1993)
18

1. Anamnesis yang teliti mengenai riwayat persalinan sebelumnya, jumlah SS, riwayat persalinan pervaginam, jarak antar kehamilan, riwayat demam pasca SS serta usia ibu.

14

2. Faktor - faktor yang berhubungan dengan kehamilan sekarang : makrosomia, usia kehamilan, kehamilan ganda, ketebalan segmen bawah uterus, presentasi janin. 3. Faktor yang berhubungan dengan penatalaksanaan persalinan : induksi dan augmentasi, maupun kemungkinan adanya disfungsi pada persalinan. 4. Pemantauan penatalaksanaan P4S terhadap tanda ancaman ruptura uteri seperti takikardi ibu, nyeri suprasimpisis dan hematuria. 5. Kemampuan mengadakan operasi dalam waktu kurang lebih 30 menit bila terjadi ancaman ruptura uteri. Pada kasus ini pasien datang dengan G2 P1 hamil 39 minggu , janin presentasi kepala tunggal hidup, PK I aktif dengan BSS 1X dimana dalam pemeriksaan pelvimetri klinis kesan panggul normal dan tidak terdapat disproporsi sefalopelvik, penilaian skor P4S dari Alamia dkk mendapatkan nilai 5 dengan angka keberhasilan sekitar 78,8 % dan pada pemeriksaan CTG kesan janin reaktif serta pasien telah diberikan penjelasan dan persetujuan tindak medik. Kasus ini merupakan kasus rujukan bidan / puskesmas. Pada kasus bekas seksio, saat asuhan antenatal perlu dibuat perencanaan cara persalinan, pervaginam atau perabdominam. Semua syarat dinilai, dilakukan penjelasan dan persetujuan medik atas tindakan yang akan dilakukan. Semua hal sepatutnya tercatat di rekam medik pasien. Pengambilan keputusan cara persalinan pada pasien apakah pervaginam atau perabdominam harus memperhatikan riwayat persalinan sebelumnya, jumlah SS, indikasi SS, jenis sayatan uterus, jahitan SBU, riwayat pervaginam, jarak antar kelahiran, riwayat demam/ penyembuhan luka operasi, ketebalan SBU. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan risiko terjadinya ruptura uteri. Selain itu juga perlu diketahui taksiran berat janin, kapasitas panggul, imbang fetopelvik, dan kesejahteraan janin sebelum keputusan untuk persalinan pervaginam diambil. Pada kasus ini, usia ibu 20 tahun, bekas SS 1 kali, jenis parut uteri transversal rendah, jahitan 2 lapis, indikasi SS sungsang, belum pernah partus pervaginam, jarak antar kelahiran 3 tahun, tidak terdapat riwayat demam pasca SS, penyembuhan luka baik, janin presentasi kepala, tidak ada CPD, skor alamia 5 dengan keberhasilan 78,8 %, kesejahteraan janin baik. Dengan data-data diatas,

15

pasien dapat menjalani P4S dengan risiko ruptur rendah. Hal-hal tersebut harus didiskus ikan kepada pasien dan keluarga termasuk risiko tindakan, sehingga pasien dapat memilih alternatif terbaik bagi diri dan bayinya. Persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio harus dilakukan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang ahli dan berpengalaman dengan fasilitas penunjang yang memadai yaitu dokter anak yang mahir dalam resusitasi neonatus dan perawatan neonatus, anastesiologis dan kamar operasi. Juga diperlukan observasi yang lebih ketat dan kewaspadaan yang tinggi . Kemajuan persalinan secara teliti dievaluasi dengan memantau dilatasi dan penurunan kepala. Pengawasan selama persalinan dianjurkan menggunakan pengawasan menetap denyut jantung janin secara elektronik. Seseorang yang biasa dengan komplikasi P4S harus hadir mengenali pola denyut jantung janin yang tidak menjamin dan kemajuan persalinan yang tidak baik.
6

Pada kasus ini dalam perjalanan persalinan, didapatkan inersia PK I aktif, dilakukan augmentasi dengan oksitosin . Menurut protokol induksi persalinan dengan oksitosin, persediaan yang umum digunakan adalah 10 IU oksitosi n dalam 1000 cc cairan seimbang dengan kecepatan 6 cc/jam = 1 mu/menit. Mulai oksitosi n dengan 0,5 1 mu/menit dan naikkan 1 2 mu/menit setiap 30 60 menit (ACOG 1995, Dawood 1995) sampai his adekuat tercapai ( 3 4 x/10 menit/ < 90 detik, dengan 30 detik relaksasi) atau sampai dosis maksimum 20 mu/menit. Bila dosis maksimal dicapai, penggunaan oksitosin harus ditinjau ulang. Peningkatan dosis dengan interval waktu tidak kurang dari 30 menit karena ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat stabil di plasma. (SOGC, 1996). 1 9 Sebelum induksi oksitosin yakinkan rasio perawat 1 : 1, gunakan abocath no. 18, pompa infus, tabel konversi, CTG selama 20 menit sebagai data dasar. Selama induksi , lakukan penilaian dan pencatatan frekuensi nadi, tekanan darah, his, dan denyut jantung janin setiap peningkatan dosis. Penggunaan monitor djj dan his menetap dianjurkan, namun bila dosis oksitosin dan keadaan ibu dan janin stabil, tidak terdapat gawat janin, monitor intermiten dapat digunakan.
19

Pada kasus P4S, penggunaan oksitosin sesuai protokol, dengan pengawasan yang lebih ketat.
6

Pada kasus ini penggunaan oksitosin sudah sesuai protokol

namun dengan konsentrasi yang lebih rendah. Komplikasi penggunaan oksitosi n diantaranya adalah intoksikasi cairan dan ruptura uteri.

16

Selanjutnya, setelah tercapai his adekuat, 4 jam kemudian tercapai PK II, setelah dipimpi n meneran 20 menit, bayi belum lahir, sehingga diputuskan untuk mempercepat PK II dengan ekstraksi forceps. Perlunya eksplorasi kavum uteri setelah P4S masih menjadi kontroversi. Belum ada data yang menyatakan bahwa hasil kehamilan selanjutnya akan membaik ataupun memburuk apabila dehisens diperbaiki. Kebanyakan dehisens bersifat asimptomatik dan mungkin dapat sembuh dengan baik serta mungkin saja mengakibatkan sedikit masalah pada P4 S berikutnya. adanya tanda syok pasca P4S.
6 20

Akan tetapi tindakan ini

harus dilakukan apabila terjadi perdarahan pervaginam yang banyak yang disertai Pada kasus ini setelah persalinan pada perabaan tidak ada dehisens, tidak ada perdarahan aktif dan tanda -tanda syok. Selama 2 hari perawatan pasien dan bayinya berada dalam keadaan baik, hemodinamik stabil, dan pulang dalam keadaan baik.

17

BAB IV KESIMPULAN

1. Angka keberhasilan P4 S 60 80 %.
2. M orbiditas P4S lebih rendah dibandingkan dengan SS kembali. Transfusi

darah, infeksi post partum, lama perawatan, biaya lebih rendah, tanpa peningkatan morbiditas perinatal.
3. Kegagalan percobaan partus pervaginam menyebabkan morbiditas meningkat

seperti ruptura uteri, histerektomi, cedera operasi, dan infeksi.


4. Kriteria seleksi P4S (ACOG): Satu/ dua seksio dengan insisi transversal

rendah, panggul adekuat, tidak ada parut lain atau riwayat ruptura uteri, dokter mendampingi , monitor persalinan dan seksio sesarea segera termasuk dokter anastesi dan personil, t idak ada indikasi SS, catatan

medik lengkap mengenai riwayat seksio sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi , lama perawatan), segera mungkin dirawat di RS setelah persalinan mulai, tersedia darah untuk transfusi, janin presentasi verteks normal, persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.
5. Kontraindikasi P4S ( ACOG ): riwayat insisi klasik / T / operasi uterus

transfundal (histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif), panggul sempit atau makrosomia, komplikasi medis / obstetri melarang pervaginam, ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya operator, anastesia, staf atau fasilitas.
6. Tidak ada cara memuaskan untuk memperkirakan P4 S berhasil atau tidak .

Terdapat sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S baik Alamia maupun Weinstein.
7. Komplikasi P4S yang paling menakutkan adalah ruptura uteri yang dapat

mengakibatkan histerektomi, transfusi darah masif, asfiksia neonatus, kematian ibu dan janin.
8. Tanda ruptura uteri adalah pola denyut jantung janin yang tidak menjamin,

nyeri

uterus

atau

perut,

hilangnya

stasion

bagian

terbawah

janin,

perdarahan pervaginam, hipotensi.

18

9. Angka ruptura uteri P4S < 1 %, seksio elektif ulang risiko 0,03 0,2 %. 10. R isiko ruptura uteri

adalah tergantung dari jenis parut uterus penutupan

uterus satu atau dua lapis, jumlah SS sebelumnya, riwayat persalinan pervaginam, jarak kelahiran, usia ibu, demam pasca seksio, dan ketebalan SBU.
11. Upaya antisipasi ruptura uteri : anamnesis dan pemeriksaan fisik dan

penunjang mengenai faktor risiko dan kontraindikasi SS, pemantauan ketat, kemampuan operasi cepat.
12. Induksi persalinan pada bekas seksio pada serviks belum matang dapat

dilakukan dengan menggunakan balon kateter, sedangkan pada serviks matang digunakan oksitosi n.
13. Tatalaksana pada kasus ini sudah tepat.

19

BAB V DAFTAR PUSTAKA

1. Sachs BP. Vaginal birth after cesarean : contemporary issues. Clin ical obstetrics and gynecology . Vol 4:3. Lippincott Williams & Wilkins, Inc. 2001: 552-9. 2. Central Bureau of Statistics. Maternal health. In : Demographic and health survey 1997. Macro international Onc. Calverton, Maryland, USA. September 1998 ; 139-57. 3. Basalamah A. Tesis : survei rasio seksio sesaria di Jakarta 1992. FKUI, Jakarta 1992 ;38. 4. Zinberg S. Vaginal delivery after previous cesarean delivery: A continuing controversy. Clinical obstetrics and gynecology. Lippincott Williams & Wilkins, Inc. 2001;44:5 61-7 5. Flamm BL, Geiger AM. Vaginal birth after cesarean delivery : an admission scoring system. Obstet Gynecol 1997 ; 90 : 907 10. 6. Vaginal Birth after Previous Sesarean Delivery. ACOG Practice Bulletin . 5, 1999. 7. Wing DA, Paul RH. Vaginal Birth after Sesarean Section : Selection and Management. Clinical Obstetrics and Gynecology 1999 ; 42(4) : 836 848.
8.

Gabbe SG. Obstetrics normal and problem pregnancies. 3 r d ed. Ch urchill Livingst one Inc. New York, 1996.

9. Hibbard JU, Ismail MA, Wang Y, et al. Failed Vaginal Birth after a Sesarean Section: How Risky Is It ?. Am J Obstet Gynecol 2001 ; 184(7) : 1365 73. 10. Depp R. Cesarean delivery. In : Gabbe SG, Niebly JR, Simps on JL (eds). Obstetrics normal & problem pregnancy. Third edition. Churchill Livingst one. NewYork, 1996:56 1-642. 11. Weinstein D, Benshushan A, Tanos V, Zilberstein R, Rojansky N. Predictive score for vaginal birth after cesarean section. Am J Obstet Gynecol 1996 ; 174 : 192 8.

20

12. Ravasia DJ, Wood SL, Pollard JK. Uterine rupture during induce trial of labor among women with previous cesarean delivery. Am J Obstet Gynecol, 2000; 183: 1176-9 13. Novas J, Myers SA, Gleicher N. Obstetrics outcome of patients with more than one previous cesarean section. Am J Obstet Gynecol, 1989; 160:364 -7. 14. Mcmahon MJ, Luther ER, Bowes WA, Olshan AF Comparison of trial of labor with an elective second cesarean section. The New England Journal of Medicine. 1996; 335: 689-95.
15. Abel, OBrien N. Uterine rupture during VBAC trial of labor : risk factor and

fetal response. Journal of midwifery and womens health. 2003 ; 48(4) : 249 57.
16. Esposito MA, Menihan CA, Malee M P. Association of interpregnancy with

uterine scar failure in labor. A case control study . Am J Obstet Gynecol. 2000;183: 1180-3. 17. Rylander EE, Beeson JH, Aikman RK. Vaginal birth after cesarean delivery. Cl in Fam Pract, 2001 ; 3 : 390-4.
18. Liebermen E. Ris k factor for uterine rupture during a trial of labor after

cesarean. Cl in Obstet Gynecol, 2001;44 :622 -9. 19. Induction of labor. Obstetric guideline 1. British Co lumb ia. Reproductive Care Program. 1999.
20. Ri pley DL. Uterine emergencies: Atony, inversion and rupture. Clin Obstet

Gynecol, 1999 ; 26 : 4 : 419 - 34.

21

Algoritma Tatalaksana persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio


Dapatkan riwayat obstetrik pasien Indikasi SS, jumlah SS, insisi uterus, penyembuhan luka Riwayat partus pervaginam Riwayat operasi uterus/ ruptur Infertilitas / mortalitas & morbiditas neonatal

Kontraindikasi partus pervaginam pada pasien pernahseksio ? Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya . Panggul sempit Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya operator, anastesia, staf atau fasilitas Tidak Konseling kepada pasien mengenai keuntungan dan risiko partus pervaginam pada pasien pernah seksio

Ya

Asuhan antenatal dan seksio sesarea elektif

Pasien ingin mencoba partus pervaginam Tidak Asuhan antenatal

Ya

Asuhan antenatal

Persalinan normal

Seksio sesarea kembali

Tidak Komplikasi persalinan Ya

Ya Partus pervagina m

Tidak

Persalinan pervaginam masih tepat ?

22

Panduan Pelayanan Medik Persalinan Pervaginam pada Pasien Pernah Seksio Sesarea ( P4S )
Persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio sesarea adalah persalinan pervaginam pada pasien dengan riwayat seksio sesarea satu kali atau lebih. Kriteria diagnos is 1 : Seksio sesarea pada kehamilan terdahulu Parut bekas seksio sesarea Hamil

Diagnos is diferensial 1 : Tidak ada Penapis an faktor risiko



2,3

Indikasi seksio sesarea terdahulu Ri wayat persalinan pervaginam Jumlah seksio sesarea yang dialami Komplikasi pasca seksio terdahulu/ penyembuhan luka operasi/ demam Jenis insisi SBU Lapisan jahitan SBU Jarak antar kelahiran Pemeriksaan obstetri untuk menentukan besar dan letak anak Usia kehamilan

Pemeriksaan penunjang 1 : R ntgen pelvimetri pada panggul suspek sempit USG untuk menentukan ketebalan SBU

Terapi : a. Seksio sesarea bila :

23

Insisi terdahulu klasik atau korporal, T terbalik atau tidak diketahui


2

Penyembuhan luka operasi buruk

2 3

Dua kali atau lebih seksio sesarea ketebalan dinding


2 2 4

Terdapat riwayat operasi uterus lain dengan insisi pada seluruh Ri wayat ruptura uteri

Pendapat operator sebelumnya Jarak kelahiran < 18 bulan Ketebalan SBU < 2,5 mm Disertai penyulit lain o o
o
4 5 3

Kelainan letak dan presentasi Kehamilan lewat waktu dengan pelvik skor rendah. P lasenta previa Disproporsi sefalopelvik Distosia Kontraindikasi pervaginam
4

o o o
b.

Partus pervaginam bila hal diatas tidak ada. khusus 4 Monitor intrapartum : o
o

Tidak perlu memasang infus,pembatasan aktivitas & monitoring

Pengawasan tekanan darah tiap jam Frekuensi nadi tiap jam Tanda akut tiap jam Kontraksi tiap jam Denyut jantung janin tiap jam. Denyut jantung janin didengarkan dengan menggunakan dopler selama satu menit penuh segera setelah his.

o o o

o o o

Saat datang, DJJ direkam dengan CTG selama 20 menit. Nilai kemajuan persalinan tiap 4 jam Monitor tanda-tanda ruptura uteri
4

Epidural dan analgesi lain dapat digunakan Induksi persalinan 4 : o

Untuk pematangan dapat menggunakan kateter foley

24

o o

Misoprostol tidak dianjurkan Oksitosi n dapat digunakan dengan observasi ketat

Perabaan dehisen post partum tidak rutin dilakukan. Perabaan dilakukan bila terdapat perdarahan pervaginam yang banyak, atau ibu syok . 2 Monitor post partum : tekanan darah, frekuensi nadi, kontraksi uterus, tanda akut abdomen, perdarahan pervaginam setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan setiap 30 menit pada 2 jam berikutnya.

Fasilitas Rumah Sakit 4 :

Bank darah Kamar operasi Resusitasi neonatus Personil perawat, anestesia dan bedah yang memungkinkan seksio segera Personil harus dapat mengenali gejala dan tanda ruptura uteri : o o
o o

Denyut jantung janin yang tidak meyakinkan Perdarahan pervaginam Hematuria Teraba bagian janin langsung di bawah kulit dinding perut Kontraksi hilang Presentasi terbawah naik Nyeri pada parut operasi Nyeri perut mendadak Syok yang tidak sesuai dengan jumlah darah pervaginam

o o
o

o o

Tatalaks ana ruptura uteri 1 : a. Segera atasi syok, termasuk infus cairan intravena, pemberian darah, oksigen, antibiotika. b. Laparotomi : Cari sumber perdarahan dan lakukan hemostasis Nilai dinding robekan, Bila kontraksi uterus dapat uterus dan kemungkinan dilakukan konservasi subtotal. uterus. dipertahankan,

histerorafi, bila tidak dapat dipertahankan, lakukan histerektomi

25

Perawatan Rumah Sakit : Segera rawat di rumah sakit bila persalinan sudah dimulai atau ketuban pecah. Penyulit 1 : Ruptura uteri, kematian janin, sepsis, luka pada kandung kencing dan vagina, hematoma parametrial, syok irreversibel. Informed consent 1 : Tertulis Lama perawatan : 3 5 hari

DAFTAR PUSTAKA
1. PB POGI. Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. Bagian 1. Jakarta, 1991; 46-7, 72-3.
2.

Wing DA, Paul RH. Vaginal birth after cesarean section : selection and management. Clinical Obstet and Gynecol, 1999; 42 (4) : 836-48

3. Shipp TD. Trial of labor after cesarean : So , what are the risks ? Cl inical Obstet and Gynecol, 2004; 47 (2) : 365-77
4.

Vaginal birth after caesarean section (VBAC) . 9 t h edition of the ALARM Course syllabus.

5. Rylander EE, Beeson JH, Aikman RK. Vaginal birth after cesarean delivery. Cl in Fam Pract, 2001 ; 3 : 390-4.

26

Lembar Pernyataan Persetujuan / Penolakan * Persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio (P4S)
S ay a y an g be rt an d a t an ga n di baw ah i n i : Na m a : .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ( l a ki - l ak i / p er e m p u an *) Um u r : .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Al am a t : .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . De ng an i n i m en y at a k a n s es ungg uh nya , ba hwa s ay a m e ny e t u j u i / m e no l ak * unt uk di l a ku k an p ers al i n a n p er va gi n a m pa da p as i e n pe rn ah s eks i o. T er h ad a p di ri s aya s end i r i / i s t er i / a na k / . .. . . . . . . . . . . * Ya ng b er na m a : .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Um u r : .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Al am a t : .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . No . R ek am m e di s : .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . S ay a m en y at a k a n s es ungg uh nya , ba hwa s ay a : 1 . t el a h di be ri k a n p en j e l as a n s er t a pe ri ng at a n ak an b aha y a , s ert a k em un gk i n an ri s i ko y ang t i m b ul d ar i pe rs a l i n an pe rv ag i n a m p ad a pas i en p er na h s eks i o . 2 . t el a h m e m a h a m i s epe nu hn ya pe nj el a s an dokt er . 3 . b er t a ng gu ng j awa b s epe nu hn ya at as ke put us a n y an g s aya a m b i l . S aks i ( . . ) Dokt e r ( . . . . . . . . ) J ak ar t a , / / Yan g m e ny a t a k a n , ( . . ) di gu na k an s e l a m a s e m u a s ya ra t m e ng a nt i s i pa s i s ega l a ri s i k o. ad al a h rupt ur a ut e ri , ke m at i a n Jumlah total sampel 3015 2409 % ruptur 1,4 % 0,5 % 2,3 % 1,1 % 0,2 % 1,1 % 3,1 % 0,5 % 4-9 % 1-7 % 0,1-1,5% 3,7 % 0,8 % 2,3 % vs 0,7 % OR 3,2 3 4 3783 1980 0,2 3,95

Ke t e r a ng a n : P ers al i n a n pe rv ag i n a m p ad a p as i en p er na h s eks i o a m an t er pe nu hi da n t i da k t e rd ap a t kon t r ai nd i k a s i , de nga n Ke be rh a s i l an P4S 60 80 % . Kom pl i k as i t er be r a t P4S j an i n da n i b u. Faktor risiko Peneliti Tahun Usia ibu : > 30 tahun < 30 tahun Jarak kelahiran : < 18 bulan > 18 bulan Demam post SC Riwayat pervaginam sebelumnya Jumlah lapis jahitan SBU : 1 lapis 2 lapis Insisi SBU : klasik/ T terbalik Vertikal rendah Transversal rendah Jumlah SC sebelumnya : > 2x 1x Induksi oksitosin * Coret yang tidak perlu Shipp, Repke Shipp, Repke Shipp, Cohen Shipp, Repke Bujold Zelop, Zelop, Zelop, Zelop, 2002 2001 2003 2000 2002

Caughey Zelop

1999 1999

3871

4,5 4,6

27

Pada penelitian , selama periode 3 tahun, terdapat 271 pasien yang menjalani P4S, 187 pasien (69 %) berhasil, sedangkan 84 pasien (31 %) gagal dan harus menjalani seksio sesarea. Pasien yang berhasil partus pervaginam, 44 % lahir secara spontan, 16 % lahir dengan ekstraksi forceps dan 9 % dengan ekstraksi vakum. Dari yang melahirkan dengan ekstraksi forceps, 95 % dilakukan atas indikasi 20 menit dipimpin meneran bayi belum lahir, 5 % dilakukan atas indikasi gawat janin PK II, sedangkan pada ekstraksi vakum, 87 % dilakukan atas indikasi 20 menit dipimpin meneran bayi belum lahir, dan 13 % dilakukan atas indikasi gawat janin PK II dengan keadaan ubun-ubun kecil janin lintang. 84 pasien yang gagal P4S, 10 % seksio sesarea atas indikasi gawat janin, 39 % mengalami disproporsi kepala pelvik, dan 25 % mengalami induksi gagal. Indikasi suspek ruptur uteri atau ruptur uteri iminens dilakukan pada 11 pasien (13 %), dari jumlah ini ternyata hanya 1 pasien yang terbukti mengalami ruptur uteri saat pembedahan, sedangkan 10 pasien lainnya diduga mengalami ruptur uteri saat persalinan berdasarkan keluhan nyeri perut pada ibu dan hematuri ringan, yang ternyata disebabkan keluhan subyektif pasien dan hematuri terjadi karena adanya peregangan vesika urinaria selama persalinan. Seksio sesarea atas indikasi distosia PK I aktif, distosia PK II syarat ekstraksi tidak terpenuhi dilakukan pada 11 pasien (13 %). 1 pasien (1%) seksio dilakukan atas indikasi tali pusat terkemuka. Terdapat 3 variabel yang dinyatakan bermakna dalam meningkatkan keberhasilan P4 S yaitu turunnya kepala > H II (OR 25,6), indikasi SC sebelumnya non distosia (OR 2,6) dan adanya riwayat persalinan pervaginam sebelum SC (OR 2,4). Skor Weinstein mempunyai sensitivitas 85,6 %, namun spesifisitas hanya 67,7 %. Model ini memberi prediksi yang tepat 80 % dengan rerata negatif palsu 11 % (harus di seksio tapi tidak dilakukan), rerata positif palsu 47 % (tidak perlu di seksio tapi dilakukan). Keakuratan prediksi kesuksesan maupun kegagalan pasien individual secara klinik melampaui 80 %.

28

Anda mungkin juga menyukai