Anda di halaman 1dari 19

PENYALAHGUNAAN KEKUATAN SUPRANATURAL DAN SANKSINYA DI MINAHASA (Misappropriation of Supranatural Power and Its Sanction in Minahasa)

OLEH : FRANS MARAMIS, S.H.

DIBIAYAI DENGAN DANA DPP TAHUN ANGGARAN 1993/1994

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO, 1994

PENYALAHGUNAAN KEKUATAN SUPRANATURAL DAN SANKSINYA DI MINAHASA (Misappropriation of Supranatural Power and Its Sanction in Minahasa) BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian Belakangan ini ramai dibicarakan bahwa mereka yang melakukan praktek "santet" telah dimasukkan dalam konsep rancangan Kitab Undangundang Hukum Pidana baru sebagai orang yang dapat dipidana karena prakteknya itu. Pendapat yang pro maupun kontra telah dilontarkan berbagai pihak. Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan kodifikasi hukum pidana yang berlaku secara nasional, artinya mencakup seluruh wilayah Indonesia. Ini berarti bahwa pembuat konsep rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru ini mengasumsikan bahwa praktek "santet" terdapat di seluruh, atau setidak-tidaknya di banyak wilayah Indonesia. Ini menimbulkan pertanyaan apakah memang demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini sudah tentu diperlukan penelitian-penelitian di berbagai daerah, antara lain di Minahasa. Hal mendesak lainnya sehingga diperlukan penelitian adalah bahwa kemungkinan antara satu daerah dengan daerah lain terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat khas untuk satu daerah. Hal ini dapat menjadi kendala dalam

menerapkan pasal yang baik rumusan maupun berat ancaman pidananya bersifat umum. Terlepas dari soal kaitannya dengan konsep rancangan Kitab Undangundang Hukum Pidana baru, peristiwa-peristiwa yang oleh sebagian masyarakat dipercaya sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuatan supranatural ini banyak menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Sering ini berakhir dengan

terjadinya pembunuhan terhadap mereka yang dicurigai sebagai menjalankan praktek santet".

Keadaan

yang merupakan gangguan

terhadap ketertiban umum ini

memerlukan penanggulangan.

Tetapi penanggulangan yang tepat dan efektif

memerlukan terlebih dahulu pemahaman yang mendalam tentang permasalahan ini. B. Perumusan Masalah Permasalahan yang mendapat perhatian dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah masyarakat di Minahasa percaya bahwa makhluk dan kekuatan

supranatural dapat direkayasa (dimanipulasi) oleh orang tertentu untuk tujuan yang tertentu, khususnya untuk mencelakai sasaran? Orang yang dipercaya mempunyai kemampuan merekayasa makhluk dan kekuatan supernatural dalam bahasa Indonesia disebut : dukun. Apakah budaya Minahasa mengenal dukun? 2. Apakah masyarakat Minahasa mengenal sanksi terhadap orang yang dipercayai telah merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai sasaran? Masalah sanksi ini terutama berkenaan dengan hukum adat masyarakat Minahasa, khususnya reaksi-reaksi adat terhadap perbuatan-perbuatan tertentu. 3. Bagaimana derajat kepercayaan masyarakat Minahasa sekarang ini terhadap keberadaan makhluk dan kekuatan supranatural serta kemampuan dari

orang-orang tertentu untuk merekayasanya guna kepentingan tertentu? Masyarakat Minahasa sekarang umumnya telah bersentuhan dengan dunia modern yang rasional. Karenanya perlu pula diperhatikan sampai di mana derajat kepercayaan masyarakat ini terhadap hal-hal yang supernatural tersebut sekarang ini. C. Tinjauan Pustaka Seorang antropolog termasyur, Bronislaw Malinowski, berdasarkan

penelitian-penelitiannya menarik kesimpulan bahwa "tidak ada bangsa, bagaimana pun primitifnya, yang tidak memiliki agama dan magi". 1

Dikutip dari William A. Haviland, Antropologi, II, Edisi Keempat, terjemahan R.G. Soekadijo, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1988, hal.194.

Ini dapat dipandang berlaku juga bagi masyarakat

Minahasa, dan

masyarakat Indonesia pada umumnya. B.Ter Haar, seorang pakar tentang hukum adat Indonesia, mengemukakan bahwa untuk dapat memahami delik adat maka seseorang harus dapat "menggambarkan dalam angan-angannya suatu masyarakat di mana ada hubungan di antara manusia, kekuatan-kekuatan gaib, tanah, barangbarang dan lain-lainnya lagi yang berada di dunia ini". 2 Jadi, dalam masyarakat-masyarakat adat dahulu kala terdapat kepercayaan tentang adanya hubungan gaib (magis) antara manusia dengan alam sekitarnya. Menurut Haviland pandangan seperti ini dilatarbelakangi oleh "anggapan tentang adanya alam makhluk-makhluk supernatural". 3 Makhluk-makhluk supranatural ini, menurut beliau, dapat dikategorikan atas tiga macam, yaitu : - dewa-dewa besar (dewa dan dewi); - arwah leluhur; dan, - makhluk spiritual bukan-manusia. Orang-orang Belanda yang dahulu pernah datang ke Minahasa, baik yang datang sebagai petugas agama maupun petugas pemerintah, telah banyak menulis tentang kepercayaan orang Minahasa purba (Alifuru). Menurut mereka, orang Alifuru percaya pada banyak dewa, yang disebut opo (kakek atau dewa), empung kakek, dewa atau makhluk halus pada umumnya), atau yang di beberapa daerah Minahasa Selatan disebut kasuruan (diturunkan dari kata suru yang keturunan"). 4 Para dewa ini tidak lain daripada roh-roh manusia leluhur orang Minahasa sendiri. berarti "turunan", lalu "tergolong dalam satu

B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-7, 1983, hal.255. 3 Haviland, Op.cit., hal.197. 4 N. Graafland, Minahasa. Negeri, Rakyat, dan Budayanya, terjemahan Lucy R. Montolalu Grafiti, Jakarta, edisi ke-2, cet.ke-1, 1991, hal.85. Buku N. Graafland, seorang pendeta, ini berjudul asli De Minahasa : Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, Rotterdam, 1869.

Orang Minahasa juga mengenal roh-roh jahat yang mendiami tempattempat tertentu. Sebagai contoh, dapat dikutip tulisan L. Adam, Di antara roh-roh jahat itu yang terkenal ialah terutama lolok atau lumilinter (Tt.) atau maririnter (Tb.), yaitu roh hutan, yang berbentuk seperti orang dewasa, tetapi tidak lebih besar dari seorang anak, dan rambutnya panjang hingga menyapu tanah. 5 Dalam masyarakat-masyarakat sebagaimana digambarkan di atas, dipercayai ada orang-orang tertentu yang dapat merekayasa makhluk dan kekuatan

supranatural. Kemampuan merekayasa ini ada yang digunakan dengan tujuan yang baik, seperti : penyembuhan terhadap orang-orang sakit, atau pun dengan tujuan yang buruk, yaitu untuk mencelakai orang lain. Rekayasa dengan tujuan buruk ini dikenal di Indonesia sebagai tenung atau santet. Dalam masyarakat-masyarakat adat di Indonesia penyalahgunaan makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencapai tujuan-tujuan yang buruk ini dipandang sebagai suatu kejahatan besar. Mengenai hal ini oleh R. Soepomo dikatakan, . . . masuk golongan perbuatan jang menentang keselamatan masjarakat seluruhnja ialah perbuatan sihir atau tenung. Orang jang dikenal sebagai ahli sihir, jang biasa menggunakan kekuatan gaib untuk mengganggu hidupnya orang lain, dapat dibunuh. 6 Untuk meneliti permasalahan ini di Minahasa penting diperhatikan pengelompokan rumpun-rumpun besar bahasa di Minahasa, yaitu : 1. Tonsea 2. Toulour 3. Tombulu 4. Tontemboan 5. Tonsawang 6. Ponosakan 7. Bantik L. Adam, Adat Istiadat Sukubangsa Minahasa, terjemahan Panitia Seri Terjemahan Karangan-karangan Belanda, Bhratara, Jakarta, 1976, hal.78. 6 R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Penerbitan Universitas, cet.ke2, 1962, hal.101.
5

Melalui rumpun-rumpun bahasa ini mungkin dapat ditelusuri peristilahanperistilahan khusus bahasa lainnya. yang berbeda antara satu rumpun bahasa dengan rumpun

D. Tujuan Penelitian Dalam waktu beberapa tahun terakhir ini, sebagaimana yang diungkapkan dalam berita-berita di berbagai mass media, ada gejala meningkatnya kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat supranatural, di mana banyak orang mencoba

memanfaatkan jasa dari mereka yang diyakini punya kemampuan merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk maksud-maksud tertentu seperti penyembuhan, peningkatan karir, mencari orang hilang, dan sebagainya. Di lain pihak sering muncul kemarahan massa terhadap orang-orang yang dianggap menyalahgunakan kemampuan merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural (para dukun santet), sehingga berakhir dengan dibunuhnya orang yang dituduh sebagai dukun santet. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjajaki gejala tersebut di daerah Minahasa.

E. Kontribusi Penelitian Kontribusi penelitian ini : 1. Merupakan masukan untuk perencanaan sosial dalam permasalahan yang berkaitan dengan soal-soal supranatural. 2. Memperkaya data yang dapat dimanfaatkan oleh ilmu hukum pidana dan menanggulangi

kriminologi dalam membentuk teori-teori penanggulangan kejahatan yang berlatar belakang soal-soal supranatural. 3. Dengan diperolehnya gambaran yang lebih jelas tentang pandangan

masyarakat Minahasa berkenaan dengan makhluk dan kekuatan supranatural akan mempermudah penerapan pasalnya apabila konsep dalam rancangan Kitab Undang-undang diterima. Hukum Pidana tentang masalah ini akhirnya

F. Metode Penelitian Populasi penelitian ini adalah masyarakat Minahasa yang berdiam di Kabupaten Daerah Tingkat II Minahasa, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan. Dalam penarikan sample digunakan multistage cluster sampling. Untuk ini, pertama-tama Kabupaten Minahasa dibagi atas 7 (tujuh) lokasi penelitian. Tujuh lokasi penelitian ini didasarkan pada adanya 7 (tujuh) suku di Minahasa, yang masing-masing mempunyai bahasanya sendiri. Dengan demikian ada 7

(tujuh) rumpun besar bahasa - selain itu ada pula pecahan dari rumun-rumpun besar bahasa tersebut yang dikenal di Minahasa, yang masing-masing

mempunyai teritorialnya sendiri, yaitu : Tonsea, Toulour, Tombulu, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik. Dari tiap lokasi diambil 1 (satu) desa sebagai sample. Desa yang ditentukan sebagai desa sample letaknya tidaklah terlalu dekat ke pusat kota maupun terlalu terpencil, sehingga dengan demikian diharapkan dapat mewakili desa pada umumnya di Minahasa. Ketujuh desa tersebut dengan rumpun besar bahasanya adalah sebagai berikut : No 1 2 3 4 5 6 7 Laikit Kolongan Lolah Suluun Tombatu Tumbak Talawaan Bantik Desa Rumpun Besar Bahasa Tonsea Toulour Tombulu Tontemboan Tonsawang Ponosakan Bantik

Dari tiap desa tersebut diambil 25 (duapuluh lima) responden, sehingga dengan demikian keseluruhannya terdapat 175 (seratus responden. Penentuan responden dilakukan secara acak. tujuh puluh lima)

Sebagai instrumen pengumpulan data digunakan kuesioner. Tetapi dalam kuesioner, selain pertanyaan-pertanyaan tertutup, terdapat pula pertanyaan-

pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga untuk memperoleh jawaban digunakan pula teknik wawancara. Data yang diperoleh dari kuesioner selanjutnya diedit, diberi kode, ditabulasi, dianalisa dan ditafsirkan terutama secara kualitatif.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Dari masing-masing tujuh desa sample, yaitu : - Laikit - Kolongan - Lolah - Suluun - Tombatu - Tumbak (N1), (N2), (N3), (N4), (N5), (N6), dan

- Talawaan Bantik (N7), diperoleh 25 (dua puluh lima) responden, sehingga keseluruhan responden adalah sebanyak 175 orang (N = 175). Penentuan responden dari tiap desa dilakukan secara acak sehingga latar belakang belakang responden, dari segi umur, pendidikan, dan jenis kelamin, adalah beraneka ragam. Yang penting untuk mendapatkan perhatian adalah

variabel pendidikan dari para responden. Hal ini ditunjukkan dalam tabel berikut. Tabel I Variabel Pendidikan Asal responden N3 N4 N5 N6
4 5 6 7

Variabel pendidikan
1

N1
2

N2
3

N7
8

Jumlah % N=175
9 10

Tidak sekolah SD tidak tamat SD tamat SMP tidak tamat SMP tamat SMA tidak tamat SMA tamat PT tidak tamat PT tsmat

1 3 9 8 2 2

1 7 11 6 -

2 8 4 7 3 1

8 14 3 -

1 1 5 7 9 2 -

6 5 5 9 -

0 1 3 10 48 60 43 7 3

0 1 3 10 48 60 43 7 3

0 0,57 1,71 5,71 27,43 34,29 24,57 4,00 1,72

Variabel pendidikan ini akan ditinjau kembali sesudah dikemukakan soal percaya atau tidaknya responden terhadap adanya orang-orang yang mampu merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain.

Dari jawaban para responden diperoleh istilah yang berbeda-beda mengenai perbuatan merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural - dalam kuesioner ungkapan perbuatan ini disederhanakan menjadi "menggunakan kekuatan magis" - untuk mencelakai orang lain. Istilah-istilah tersebut menurut rumpun bahasa dan contoh desanya (desa responden) adalah : 1. Dalam bahasa Tonsea (desa Laikit) dan bahasa Toulour (desa Kolongan) digunakan istilah yang sama, yaitu : meniwo. Selain itu dalam kedua rumpun besar bahasa ini digunakan juga istilah : mengelot, tetapi istilah ini - yang dasar katanya "elot" (obat) sehingga "mengelot" berarti "mengobati" - bisa berarti buruk (mencelakai orang) bisa juga berarti baik, yaitu mengobati orang dari penyakit. 2. Dalam bahasa Tombulu (desa Lolah), bahasa Tontemboan (desa Suluun), bahasa Tonsawang (desa Tombatu) dan bahasa Ponosakan (desa Tumbak) digunakan istilah yang sama, yaitu: mariara. 3. Dalam bahasa Bantik (desa Talawaan Bantik) digunakan istilah : mananitihi. Jadi dalam bahasa-bahasa di Minahasa dikenal tiga stilah yang berbeda dengan perbuatan merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain, yaitu meniwo (bahasa Tonsea dan Toulour), mariara (bahasa Tombulu, Tontemboan, Tonsawang dan Ponosakan) dan mananitihi (bahasa Bantik). Kepada para responden ditanyakan apakah sepengetahuan responden masih ada orang-orang sedesanya yang percaya ada orang-orang yang mampu melakukan meniwo/mariari/mananitihi. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai masih percaya atau tidaknya orang-orang sedesanya. Keterangan responden mengenai pandangan orang-orang sedesa dapat dipertanggungjawabkan sebab umumnya seorang penduduk desa, yang saling kenal mengenal secara pribadi dengan seluruh penduduk desa, mengetahui pandangan dari penduduk desa yang bersangkutan secara keseluruhan. Data yang diperoleh adalah sebagaimana tampak dalam tabel berikut.

Tabel II Pengetahuan responden tentang masih percayanya orang-orang sedesa responden


Pengetahuan responden tentang orang se desa
1

N1

N2

Asal Responden N3 N4 N5

N6

N7

Jumlah N=175

100%

10

Banyak sekali Cukup banyak Jarang Tidak ada lagi Tidak tahu

22 3 -

25 -

19 6 -

24 1 -

20 5 -

25 -

25 -

160 15 0 0 0

91,43 8,57 0,00 0,00 0,00

Sesudah diajukan pertanyaan pertanyaan tentang pandangan orang-orang sedesanya, selanjutnya kepada responden ditanyakan juga pandangan pribadinya, yaitu apakah responden sendiri percaya tentang adanya orang-orang yang mampu menggunakan kekuatan magis untuk mencelakai orang lain (meniwo/mariara/ mananitihi). Untuk itu diperoleh data berikut. Tabel III Percaya tidaknya responden
Percaya tidaknya responden
1

N1
2

N2
3

Asal Responden N3 N4 N5
4 5 6

N6
7

N7
8

Jumlah N=175
9

100%
10

Percaya Antara percaya & tidak Tidak percaya

24 1 -

25 1 -

23 2 -

23 2 -

24 1 -

25 -

25 -

168 7 0

96,00 4,00 0,00

Dari data dalam tabel III ternyata sebagian besar responden, yaitu sebanyak 168 orang (96 % dari N) percaya tentang adanya orang-orang yang mampu merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain. Hanya sedikit, yaitu 7 orang (4 % dari N) saja yang meragukannya, yaitu antara percaya dan tidak. Tetapi, tidak ada responden (0 % dari N) yang sampai memberikan jawaban tidak percaya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Minahasa terdapat kepercayaan tentang dapatnya makhluk dan kekuatan supranatural direkayasa oleh orang-orang tertentu untuk mencelakai orang lain. Kepercayaan ini, khususnya di daerah pedesaan di Minahasa, masih amat kuat sebagaimana terlihat dari 96 % responden yang mengatakan

mempercayainya.

Kuatnya kepercayaan ini ditunjang pula dengan data dalam

Tabel II di mana menurut 160 responden (91,43 % dari N) masih banyak sekali orang-orang sedesanya yang mempercayai keberadaan hal sedemikian. Kepercayaan tentang adanya kemampuan orang tertentu merekayasa

makhluk dan kekuatan supranatural tersebut tidaklah tergantung pada derajat pendidikan seseorang. Hal ini ternyata dari data bahwa 3 (tiga) responden

bergelar sarjana (tamatan perguruan tinggi) - dalam Tabel I - termasuk diantara yang memberikan jawaban "percaya" terhadap hal tersebut. Kepada responden berikutnya ditanyakan apakah sepengatahuan

responden di desanya masih ada orang yang mampu menggunakan kekuatan magis untuk mencelakai orang lain. Data yang diperoleh adalah sebagai berikut. Tabel IV Masih atau tidaknya orang yang mampu merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain
Masih ada tidaknya
1

N1
2

N2
3

Asal Responden N3 N4 N5
4 5 6

N6
7

N7
8

Jumlah N=175
9

100%
10

Banyak Sedikit Tidak ada lagi Tidak tahu

15 6 4

9 14 2

3 21 1

3 20 2

1 22 1 1

19 6 -

5 14 6

35 103 21 16

20,00 58,86 12,00 9,14

Data di atas menunjukkan bahwa separuh lebih sedikit dari responden (58,86 % dari N) berpandangan bahwa sekarang tinggal sedikit orang yang mempunyai kemampuan meniwo/mariara/mananitihi di desanya masing-masing; sedangkan yang berpendapat masih banyak adalah sebesar 1/5 responden (20 % dari N).

Yang menjawab tidak ada lagi adalah sebanyak 21 responden (12 % dari N0 sedangkan yang mengatakan tidak tahu apakah masih ada atau tidak adalah sebanyak 16 responden (9,14 % dari N). Tetapi dalam melihat persentase-persentase tersebut di atas harus

diperhatikan perbedaan antara satu desa dengan desa lainnya. Sebagai contoh, responden desa Laikit (N1) dan desa Talawaan Bantik (N7) memang tidak ada yang mengatakan masih banyak, tetapi dari desa Tumbak (N6) 19 responden (atau 76 % dari N6) menjawab masih banyak. Mengenai kecenderungan perkembangan jumlah orang yang mampu

merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain akan diungkapkan berikut nanti. Mengenai sanksi terhadap orang-orang yang merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain (meniwo/mariara/mananitihi), baik pada masa dahulu kala maupun sekarang ini, kepada responden diajukan pertanyaan yang bersifat terbuka, jadi responden dapat memberikan jawaban secara bebas. Mengenai sanksi pada masa dahulu kala, dari jawaban-jawaban para respoden dapat diadakan klasifikasi sebagai berikut : 1. Dibunuh; 2. Diusir dari desa; 3. Rumah dan peralatannya dibakar; 4. Dikucilkan dalam pergaulan. Mengenai sanksi pada masa sekarang ini, dari jawaban-jawaban para responden dapat diadakan klasifikasi sebagai berikut : 1. Rumah dilempari batu; 2. Dikucilkan dalam pergaulan. Menurut banyak responden, sanksi terhadap perbuatan meniwo/mariara/ mananitihi sekarang ini umumnya sudah tidak jelas karena : 1. Tidak ada bukti jelas bahwa suatu hal memang meniwo/mariara/mananitihi, mengambil tindakan tegas; sehingga orang diakibatkan perbuatan

sekarang ragu-ragu untuk

2.

Orang sedesa banyak yang satu sama lain terikat tali keluarga, sehingga jika orang yang dicurigai melakukan perbuatan mempunyai meniwo/mariara/mananitihi Apalagi

banyak saudara orang segan untuk mengganggu.

dengan menimbang bahwa tidak adanya bukti yang jelas sebagaimana dimaksud dalam anaka 1 di atas. Dari wawancara yang dilakukan terhadap para responden juga diperoleh kesan yang jelas bahwa perbuatan meniwo/meriara/menanitihi merupakan

perbuatan yang tidak disukai oleh warga desa. Kepada responden juga diajukan pertanyaan bersifat terbuka tentang "apakah ada hal-hal lain yang hendak bapak/ibu ungkapkan sehubungan

dengan pokok penelitian ini?". Dalam rangka ini responden diarahkan untuk memberikan pandangannya tentang "prospek" dari "profesi" sebagai pelaku meniwo/mariara/mananitihi. Pada umumnya responden berpendapat bahwa orang-orang yang

menggunakan kekuatan magis untuk mencelakai orang lain sekarang ini makin lama makin berkurang. Sebab-sebabnya, sebagaimana teruungkap dari wawancara, adalah : 1. Banyak yang tidak lagi mengajarkan ilmunya kepada turun-annya. Hal ini mungkin karena orangtua tidak mau melihat turunannya terasing dari pergaulan masyarakat. 2. Banyak anak sekarang tidak mau lagi mempelajari hal dilatar belakangi oleh antara lain : a. Banyak anak sekarang yang sudah bersekolah untuk belajar hal-hal magis seperti itu; b. Kepercayaan agama yang makin mengikis habis perbuatan perbuatanyang dianggap "kerjasama dengan setan". Sebagai pertanyaan terakhir kepada responden adalah pertanyaan bersifat terbuka tentang "apakah bapak/ibu punya saran sehubungan dengan masalah ini?". Dalam wawancara responden diarahkan untuk memberikan jawaban tentang saran untuk dapat dihilangkannya keberadaan penggunaan kekuatan kekuatan sehingga merasa janggal seperti itu. Hal ini

magis untuk mencelakai orang lain, di mana jawaban-jawaban dapat diklasifikasi sebagai berikut : 1. Anak-anak disekolahkan; 2. Desa dimajukan; 3. Keyakinan agama diperkuat.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Masyarakat Minahasa ternyata mengenal kepercayaan bahwa makhluk dan

kekuatan supranatural dapat direkayasa oleh orang tertentu untuk mencelakai orang lain. 2. Perbuatan merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai

orang lain tersebut dalam bahasa Tonsea dan Toulour disebut : meniwo; dalam bahasa Tombulu, Tontemboan, Tonsawang dan Ponosakan disebut : mariara; dalam bahasa Bantik disebut : mananitihi. 3. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 di atas merupakan perbuatan yang pada umumnya tidak disukai oleh warga desa. 4. Derajat kepercayaan masyarakat pedesaan Minahasa sekarang ini terhadap adanya orang-orang tertentu yang dapat merekayasa makhluk dan

kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain masih amat kuat. 5. Percaya atau tidaknya seseorang terhadap adanya orang tertentu yang dapat

merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuuk mencelakai orang lain tidak tergantung 6. pada derajat pendidikan dari yang bersangkutan. yang

Pada umumnya responden berpendapat bahwa jumlah orang-orang

mampu merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain makin lama makin berkurang. Kecenderungan berkurang ini karena : a. banyak yang tidak lagi mengajarkan ilmunya kepada turunannya. Hal ini mungkin karena orangtua tidak mau melihat turunannya terasing dari pergaulan masyarakat. b. banyak anak sekarang tidak mau lagi mempelajari hal seperti itu. 7. Masyarakat Minahasa mengenal sanksi terhadap perbuatan merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain. Sanksi pada zaman dahulu adalah berupa : a. dibunuh;

b. diusir dari desa; c. rumah dan peralatannya dibakar; d. dikucilkan dalam pergaulan. Sedangkan sanksi pada zaman sekarang adalah : a. rumah dilempari batu; b. dikucilkan dalam pergaulan. 8. Sanksi pada zaman sekarang pada umumnya sudah tidak jelas lagi karena : a. tidak ada bukti jelas bahwa suatu hal memang diakibatkan perbuatan meniwo/mariara/mananitihi; b. orang sedesa banyak yang satu sama lain terikat tali keluarga, sehingga jika orang yang dicurigai mempunyai banyak saudara orang segan untuk mengganggu. B. Saran Sebagai perbuatan yang tidak disukai oleh warga desa dan sering menimbulkan keresahan dalam masyarakat desa, maka perbuatan merekayasa makhluk dan kekuatan supranatural untuk mencelakai orang lain sepatutnya dihilangkan dari masyarakat. Untuk tujuan ini cara-cara yang dapat dilakukan adalah dengan : 1. Anak-anak disekolahkan sehingga mereka sendiri akan merasa janggal untuk mempunyai "ilmu" sedemikian; 2. Desa dimajukan dari berbagai segi sehingga perbuatan sedemikian akan dirasakan sebagai perbuatan primitif yang tidak layak ada di zaman sekarang; 3. Keyakinan agama diperkuat sehingga perbuatan sedemikian akan dirasakan sebagai "kerjasama dengan setan".

LAMPIRAN I DAFTAR PUSTAKA Adam, L., Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, terjemahan Panitia Terjemahan Karangan-karangan Belanda, Bhratara, Jakarta, 1976. Seri

Graafland, N., Minahasa. Negeri, Rakyat, dan Budayanya, terjemahan Lucy R. Montolalu, Grafiti, Jakarta, edisi II, cet.ke-1, 1991. Haar, B. Ter, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K.Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-7, 1983. Haviland, William A., Antropologi, II, edisi keempat, terjemahan R.G. Soekadijo, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1988. Soepomo, R., Prof.Mr.Dr., Bab-bab Universitas, cet.ke-2, 1962. tentang Hukum Adat, Penerbitan

LAMPIRAN II

CURRICULUM VITAE Peneliti 1. Nama 2. Tempat, Tgl. lahir 3. NIP 4. Golongan pangkat 5. Riwayat pendidikan No 1 2 3 4 Jenis Pendidikan SD SMP SMA Sarjana Hukum

: : : : :

Frans Maramis. S.H. Manado, 6 Agustus 1955 131 117 196 Lektor, IV/a

Jurusan

IPS Hukum Pidana

Tempat Manado Manado Manado Manado

Tahun Ijazah 1968 1971 1974 1981

6. Pengalaman Penelitian a. Tindak Pidana Korupsi dan Faktor-faktor Penyebabnya Di Sulawesi Utara, 1989 (anggota) b. Kejahatan Kekerasan Di Kotamadya Daerah Tingkat II Manado, 1992 (anggota) c. Viktimisasi, 1992 (Ketua)

Anda mungkin juga menyukai