Anda di halaman 1dari 29

MENCARI PIJAKAN IDIOLOGI KONSERVASI

KUMPULAN PAPER BANJAR YULIANTO LABAN :


1. MENGHARAP KEBAJIKAN DI SEKTOR KEHUTANAN 2. KEMBALIKAN KEDAULATAN SATWA LIAR KE HABITATNYA 3. PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP (ditinjau dari aspek modal sosial) DALAM STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI ERA OTONOMI PENDIDIKAN 4. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN BIO PROSPEKTIF DI DALAM DAN SEKITAR TAMAN NASIONAL 5. KONSEP AKSES PEMANTAPAN DAN PENGEMBANGAN STASIUN PENELITIAN PERMANEN DI KAWASAN KONSERVASI

MENGHARAP KEBAJIKAN DI SEKTOR KEHUTANAN


Domba secara perlahan-lahan akan menjadi seperti Gembalanya.
(JRR Tolkien,Novelist Bgs Inggris)

KRISIS TERMINOLOGI Ketika banyak pemangku kepentingan mulai gerah dengan wacana-wacana yang tidak jelas bakuannya, pada saat yang bersamaan sektor kehutanan mulai diserang virus politik yang menyebabkan semakin terbukanya krisis terminologi. Upaya pembebasan dari belenggu idiologi totalitarian yang menimpa sektor kehutanan, ternyata semakin menjerat sistem manajemen hutan yang masih sarad dengan gagasan. Dalam kondisi yang semacam ini, kiranya perlu proses pendekatan euphoria baru. Namun karena reformasi tidak dapat kembali, maka euphoria baru tersebut harus menjadi transformasi, dengan kata lain perlu ada proses yang mengharap kebajikan di sektor kehutanan. Opsi tersebut diharapkan dapat berjalan mulus dengan mengungkap pengakuan bahwa terlalu banyak terminologi kehutanan yang kurang dipahami atau menjadi pemahaman yang salah terap dilakukan oleh pemangku kepentingan di sektor kehutanan. Contoh : gara-gara krisis terminologi zonasi, jadilah krisis mitologi dan kebajikan bangsa (civic virtue) yang berkaitan dengan Taman Nasional. Disamping itu ada kecenderungan bahwa aplikasi terminologi kehutanan yang berbasis fungsi kawasan, berdampak pada pemilahan ruang dan akses kehidupan yang berbeda sistem manajemennya. Kondisi seperti ini sangat rawan disintegrasi kepengurusan hutan, sementara intensifikasi pengelolaan kawasan berbasis fungsi masih sangat lemah. Alasan yang berkaitan dengan kelemahan SDM, kekurangan Sarana Prasarana dan jeleknya sistem pendanaan berbasis proposal dan jatah prioritas akan terus menjadi klasik, bila tidak pernah diusik. Pengusikan yang selalu terfokus pada pola kelembagaan, tanpa disadari sebenarnya telah membuat semakin lemahnya kohesi sosial di sektor kehutanan, yang diperparah dengan pengusikan terminologi sebagai konsekuensinya. Selama sepuluh tahun terakhir ini sudah berapa kali terminologi konservasi di bongkar pasang di kelembagaan, mulai dari PPA sampai dengan PHKA. Tetapi yang jelas masyarakat di sekitar TN Lore lindu tetap konsisten dengan terminologi PPA bagi Polhutnya dan Hutan Lindung bagi kawasannya. Dampak pemahaman terminologi inilah yang menyebabkan pengelola taman, tidak langsung bekerja keras, tetapi berpikir keras terlebih dahulu untuk menerapkan arahan kebijakan baru dengan pemahaman terminologi lama yang sudah membudaya di masyarakat. Apakah penomena ini termasuk krisis terminologi? Terminologi kadang lebih didewakan sebagai alat pelayanan dari pada kelirumologi. Terminologi HKm (Hutan Kemasyarakatan) harus ada ijin. Ijin ini menjadi bagian

kelirumologi dari terminologi SHK (Sistem Hutan Kerakyatan), alasannya SHK warisan leluhur, sedang HKm warisan Jakarta yang diterapkan melalui dana hutang OECF. Sebagai warisan leluhur yang harus dikelola pewarisnya sangatlah wajar bila terminologi ijin diganti terminologi pengakuan. Kekuatiran akan timbulnya pelanggaran terhadap lestarinya warisan leluhur, tidak cukup alasan bila paket warisan kebajikan yang dibawa. Kekuatiran tersebut akan beralasan bila paket kebijakan yang dibawa, sebab kebijakan dapat membawa kebajikan setan tiban dari luar. Contoh: tragedi Dongi-Dongi. Krisis terminologi di sektor kehutanan, sangat luar biasa pengaruhnya, sehingga ibarat roti mari yang rapuh dan lezat, hutan dapat dihancurkan sekejap. Lezat mungkin jadi biangnya dan kerapuhan jadi pintu masuk kehancurannya. OTONOMI : PINTU GERBANG KEBAJIKAN?

Dalam masyarakat kita terdapat gagasan yang berkembang menjadi gagasan yang dominan. Salah satu gagasan paling penting yang terus direproduksi adalah pembangunan. Hampir tidak ada gagasan politik yang tidak dikaitkan dengan pembangunan, demikian pendapat Hendardi dalam artikelnya Reformasi Intelektual
dan Demokratisasi yang dimuat KOMPAS 26 Juli 1993. Gagasan yang dominan seharusnya ada di transisi otonomi besar (negara) ke otonomi kecil (propinsi/kabupaten/kota) sekarang ini. Namun apalah artinya bila status otonomi adalah bagian dari gagasan yang tak ada ujung akhirnya. Otonomi besar jelas gagasan dominannya, yaitu pembangunan, sampai terjadi di sub sektor kehutanan waktu itu, tak dapat membedakan mana yang eksploitasi dan mana yang rehabilitasi. Yang penting bukan treatment-nya, tetapi commitment-nya yaitu pembangunan yang lambat laun terreposisi dari sekedar gagasan jadi jargon kemuliaan. Contohnya : pembangunan satu juta hektar sawah adalah kemuliaan dari pengorbanan satu juta hektar hutan alam di Kalimantan Tengah. Apakah gagasan yang dominan di otonomi kecil masih terfokus pada pembangunan? Hal yang sangat mengkuatirkan adalah pembangunan yang masih berbasis pada ideologi totalitarian, meskipun berskala kecil. Monopoli kebenaran mutlak dapat terjadi di pemerintahan otonomi kecil sebagai pemangku kepentingan yang dominan. Argumentasi demi pembangunan, maka salah satu yang dipertaruhkan adalah sumber daya alam, termasuk hutan sebagai modal dasar besar di wilayah yang kecil. Permasalahannya adalah bagaimana melanggengkan potensi dan eksistensi wilayah kecil itu? Mohamad Sobary dalam artikelnya yang berjudul Intelektual kita membangun kebebasan jiwa dan dimuat di KOMPAS tanggal 21 September 1993, memberikan sebaris isu yang sangat menggelitik paham kelanggengan, yaitu : Tokoh-tokoh populis

yang harum di tahun 1970-an sampai 1980-an dulu, sekarang pada umumnya sudah berganti jas, bergeser dari posisi marginal ke dalam posisi sentral yang turut menentukan nasib rakyat dari wilayah kayangan. Nasib macam apa yang mereka tentukan di sana, kita tidak pernah tahu.

Isu tersebut adalah isu subyek (tokoh), yang mungkin akan lebih parah lagi bila wilayah kecil sebagai obyek akan serta merta digesernya dari posisi asli alamiah ke dalam posisi

mozaik alam keserakahan atas nama pembangunan. Kekuatiran terhadap penggalian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kemungkinan besar terlaksana melalui penerbitan ijin eksploitasi sumber daya alam, termasuk hutan/kayu yang akan jadi opsi utamanya, patut diapresiasikan. Ada kemungkinan dalam pelaksanaannya, saking banyaknya ijin, dapat jadi tumpang tindih lokasi ijin sebagai bagian dari kenikmatan aplikasi keanekaragaman badan usaha yang sebenarnya seragam di satu tangan kekuasaan. Orang bilang raja-raja kecil mulai bermunculan membentuk oligarki yang sebenarnya asosiasi monopoli. Terminologi ekonomi totaliter dapat mendominasi Kehutanan di wilayah kecil itu yang tidak jauh berbeda dengan pengalaman pelingkupannya di wilayah besar. Kawasan hutan semakin diposisikan sebagai ketupat yang dibelah-belah semakin kecil untuk disantap, tidak perlu tunggu lebaran haji atau idulfitri, yang penting siapa cepat dia dapat. PAD hanya sekedar alat legitimasi dan topeng korupsi. Keharuman tokoh-tokoh populis telah berubah jadi isu di kalangan masyarakat pinggiran yang telah berjasa mengusungnya ke posisi sentral. Sementara itu, krisis terminologi kebajikan yaitu nilai-nilai sosial semakin besar di daerah pinggiran, selaras dengan semakin berjayanya terminologi ekonomi totaliter dari pusat ke pinggir. Mengapa masyarakat pinggiran/marginal lebih peka dengan isu dari pada peka hati untuk tidak membantu menebang pohon? Akar masalahnya adalah kecemburuan sosial dan semakin longgarnya kohesi sosial, karena sesosok individu yang berhasil maju ke sentral, sudah jarang membawa kebajikan ketika dia pulang, tetapi membawa kebijakan. Isu adat yang dikemas menjadi kebijakan di kayangan, boleh jadi mengeliminir adat yang dahulu pada waktu jadi tokoh populis disemburkannya sampai berbusa-busa sebagai wahana kebajikan bangsa. Aplikasinya di lapangan adalah pengelolaan sumber daya alam sepihak, karena penguatan kohesi sosial yang berkesan adat, ujung-ujungnya organisasi sosial berbentuk koperasi sebagai selimut ekonomi yang turun dari atas lewat proses perijinan. Peluang masyarakat hanya jadi alat produksi dan eksploitasi sangat besar. Contohnya : HKm versi SK MenHut No. 31/2000. DICARI SANG GEMBALA YANG TULUS DAN TEGAS Kekuasaan peran sudah waktunya menjadi fokus perhatian kita bersama. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan esekutif perlu segera mengembangkan aplikasi pemberdayaan, dalam arti kata membagi tanggungjawab kepada pemangku kepentingan lainnya sesuai bakuan wahana yang disepakati melalui dialog kesetaraan. Berkaitan dengan hutan bakuan wahananya adalah pemahaman holistik, artinya harus ada imbangan sinergitas multi aspek yang melingkupi faham simbiosis mutualistik. Munculnya gagasan yang dominan seyogyanya dihindari, jangan seperti gagasan pembangunan yang hanya difokuskan pada aspek ekonomi saja. Hal ini penting, mengingat pemahaman masyarakat terhadap modal tidak hanya modal uang dan modal sumber daya alam, tetapi modal sosial yang secara demokratis selalu bicara nilai-nilai sosial atau kebajikan bangsa (civic virtue).

10

Pembelajaran yang kita peroleh selama ini pada tataran pembangunan sebagai gagasan yang dominan, ternyata sangat subur untuk menumbuhkembangkan pemahaman ekonomi hanya sebagai alat, yang penggunaannya sangat rawan tindakan-tindakan amoral. Reformasi yang melahirkan kesepakatan untuk berubah dari sentralistik ke otonomi adalah kesempatan yang baik untuk memposisikan peran pemerintah sebagai gembala yang tulus dan tegas. Seorang gembala tidak akan memperhatikan kawanan dombanya hanya sebagai alat reproduksi semata, tetapi memperhatikan holistikasi sistem manajemennya. Petinggi esekutif di sektor kehutanan harus belajar sistem manajemen hutan jati di Jawa yang diwariskan Belanda, sehingga sebenarnya Perhutani tidak pantas mengemban amanat pembangunan. Paksaan sentralistik dengan kewajiban langsung ke Departemen Keuangan, menyebabkan masuknya manajemen proyek pembangunan di Perhutani. Dampaknya Perhutani semakin jauh dari sistem pendekatan sosialnya, karena terbawa arus yang semakin dekat ke feodalistik totalitarian. Jamaklah sudah bila penebangan liar hutan jati marak di Jawa di masa transisi ini. Pendapat yang mengatakan bahwa manajemen proyek hanyalah pemicu untuk semakin mantapnya sistem manajemen hutan berbasis fungsi, sudah waktunya untuk dipertegas langkah-langkah penguatannya. Keputusan Pemerintah untuk mengelola Taman Nasional tidak memperdulikan pendapat itu, sehingga operasional lembaga definitifnya sampai sekarang belum kondusif dengan perannya sebagai pemangku kepentingan pengelolaannya. Sampai saat ini pengelola taman masih bertanggung jawab terhadap manajemen proyek pembangunan di wilayah kerjanya, disamping tugas promosi untuk mencari bantuan hibah kemitraan yang nota bene hasilnya diurus dengan sistem kerjasama keproyekan juga. Penguatan menuju pengelolaan swadana sekaligus kontributor dana untuk kepentingan negara yang lebih luas, mungkin dapat menjadi cita-cita. Masalahnya apakah pantas opsi ekonomi berbasis negara berbentuk BUMN diterapkan di manajemen Taman Nasional? Gembala yang baik, tulus dan tegas akan membangun sistem penggembalaannya dengan memperhatikan moralitas yang berbasis pemahaman domba dan habitatnya sebagai berkah yang dikelola. Sedangkan pengawasan sebagai bagian dari tanggungjawab kewaspadaannya. Perenungan ini sangat tepat untuk pemangku kepentingan manajemen Taman Nasional. Pemberdayaan internal dalam manajemen Taman Nasional atau kawasan fungsi hutan yang lain, tidak boleh lepas dari moralitas. Ini berarti pemberdayaan yang penguatannya memperhatikan modal sosial yang ada dan berkembang di sekitar kawasan. Budaya sebagai produk interaksi modal sosial dengan sumber daya lainnya tidak boleh diabaikan begitu saja. Melalui penampilan budaya keseharian di suatu komunitas, kita dapat belajar bersama masyarakat untuk membangun kewaspadaan bersama. Kehilangan interaksi berarti ada bagian dari wahana holistik yang hilang.

11

ASPEK HUKUM : PENGUATAN DASAR KESEPAKATAN Membangun kewaspadaan bersama, janganlah hendaknya dijadikan slogan semata, karena ini sebuah wacana demokrasi yang sebenarnya. Belajar dari kebijakan Orde Baru misalnya, yang dibungkus dengan formalitas hukum, ternyata aplikasi regulasinya sangat sektoral. Dampaknya hanya memposisikan Presiden sebagai pemain catur yang spekulatif dan kurang memperhatikan bangsa sebagai produk holistikasi yang prima. Menteri-menteri, semua diposisikan sebagai bidak yang berkarakter sama, yaitu mudah dipertemankan sekaligus dipermusuhkan. Pada waktu dipertemankan, dua atau lebih menteri dapat saling diskusi dengan topik pembicaraan keterpaduan pembangunan untuk kepentingan rakyat melalui proyekproyek. Manakala dipermusuhkan, dampaknya adalah sektor yang satu jalan terus, sedang yang lain menjadi jembatannya untuk siap diinjak-injak, bahkan harus sanggup menjadi sapi perahnya. Kehutanan pada waktu itu, lebih dari dua puluh tahun diposisikan sebagai sub-sektor dalam sektor pertanian. Schumacher yang bangga dengan slogan : kecil itu indah mungkin akan marah dengan posisi itu, karena fakta membuktikan bahwa sub sektor itu ternyata hanya diposisikan sebagai tulang punggung seekor sapi perah, yang berarti kecil itu kuat untuk siap diinjak sekaligus dipermainkan puting susunya yang semakin kosong dan lemah. Program reposisi yang belum lama ini dilakukan, antara lain dengan pengangkatannya sebagai sektor, ternyata dihadapkan pada frekuensi pergantian menteri yang terlalu cepat, sehingga kesannya hanya sekilas info dalam gunjingan inkonsistensi kebijakan. Terakhir, mungkin akan terhempas badai Transitional Justice yang berhembus dari Tap MPR Nomor : IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Menangkal badai tersebut tidak mudah, oleh karena itu marilah kita kembali ke membangun kewaspadaan bersama dan memperkuat pemahaman holistik. Ada baiknya keduanya dijadikan dua sisi sebuah koin untuk membuka permainan baru yang aturannya responsif terhadap kesepakatan semua pemangku kepentingan. REKOMENDASI : KEBAJIKAN YANG DIHARAPKAN Immanuel Wallerstein, penulis buku Lintas Batas Ilmu Sosial (163 halaman terjemahan Oscar yang diterbitkan LkiS Yogyakarta tahun 1997), mengungkap bahwa Karena

itulah kealamiahan negara sebagai unit analisis secara serius telah diruntuhkan. Berpikir secara global bertindak secara local merupakan slogan yang dengan sangat sengaja menghapuskan negara, dan ini mempresentasikan suatu penarikan diri dari keimanan kepada negara sebagai mekanisme reformasi (hal 127-128).

Terlepas dari pemahaman negara, mau dihapus atau tidak dipercaya, membangun kewaspadaan bersama lebih tepat bila difokuskan pada tindakan secara lokal, sedangkan berpikir secara global adalah basis spiritual untuk memperkuat pemahaman holistik.

12

Komitmen semua pemangku kepentingan untuk tetap menjaga kelestarian hutan dapat diidentifikasi dengan tingkat kepeduliannya terhadap upaya penyelarasan di tingkat lokal dan besarnya frekuensi penguatan di tingkat global. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka kebajikan di sektor kehutanan yang diharapkan dapat mengembangkan penyelarasan di tingkat lokal adalah : Kesetaraan dan keadilan Rekonstruksi kohesi sosial : Paguyuban lokal. Pendekatan konservasi persuasif. Kerjasama Masyarakat Terbuka ( demokrasi) Pelayanan berbasis pengakuan pemerintah Pendekatan hukum responsif Kemandirian dan keberlanjutan

Sedangkan kebajikan di sektor kehutanan yang diharapkan dapat memperkuat pemahaman holistik di tingkat global adalah : Koordinasi program pengawasan : multi control system. Forum Komunikasi Kerjasama kemitraan : Multi Stakeholders Program. Studi banding Pendidikan dan pelatihan Kampanye

Volunteer (relawan).

Palu, 8 Desember 2001.

13

KEMBALIKAN KEDAULATAN SATWA LIAR KE HABITATNYA


LOKAKARYA SPL Seiring dengan praktek interpelasi yang pertama kali di DPR pusat, Dephutbun dalam hal ini Ditjen PKA tak kalah gesit membuat acara dengan trend lokakarya. Kali ini bekerjasama dengan Gibbon Foundation dari tanggal 20 s/d 21 Juli 2000 di Hotel Salak Bogor diangkatlah topik lokakarya yang sangat menarik yaitu membahas tentang satwa liar peliharaan yang dilindungi (disingkat SPL). Lokakarya yang dihadiri pemerhati hidupan liar, sebenarnya ingin ada konsensus yang bijak atas nasib satwa liar yang dilindungi Undang-Undang. Sejarah membuktikan bahwa sejak tahun 1931 pengaturan perlindungan yang sinergi dengan habitatnya menjadi opsi utama. Namun arogansi anthroposentris telah mewariskan penomena antagonis, sehingga terjadi inkonsistensi pelaksanaan aturan. Habitat sepi penghuni, rusak dan berubah, sementara satwa liar dimasukkan kota bahkan hotel tak masalah. Inventarisasi SPL selama 1,5 tahun oleh Dephut berdasar keputusan Menteri Nomor 301/1991 juncto nomor 479/1992, sebenarnya langkah awal yang bijak untuk rekonsisten, namun dukungan tindak lanjutnya terbentur pada tidak tersedianya fasilitas untuk membendung arus manipulasi yang mendiskreditkan opsi utama. Ujung-ujungnya adalah tidak tersedia dana prioritas antara lain untuk monitoring - evaluasi, sosialisasi penyadaran dan rehabilitasi pengembalian satwa liar ke habitat alam yang diarahkan di kawasan konservasi. Program penggunaan Dana Reboisasi pada waktu itu sama sekali dikelitkan untuk upaya tersebut. Ini berarti menegasikan fakta yang berkaitan dengan penyantunan satwa liar korban pembabatan habitat berupa hutan alam tropis , demi timber oriented. Hasil inventarisasi SPL pada waktu itu untuk seluruh Indonesia diperoleh data SPL terdaftar 69.180 orang yang memelihara/menyimpan : satwa liar hidup 59.022 ekor, 63.315 opsetan dan bagian-bagiannya 26.876 buah. Kecenderungan sampai tahun akhir abad ini dapat dipastikan meningkat karena kondisi tersebut alinea diatas. Demikian halnya kecenderungan untuk punah sangat tinggi, mengingat kisaran SPL hidup setiap jenis sangat kecil, rata-rata yaitu 1 - 5 ekor dengan sex ratio yang kecil pula, sehingga menyulitkan upaya konservasi jenis ex-situ sekalipun. DILEMA KONSERVASI JENIS Pandangan hidup bangsa yang didominasi aspek ekonomi finansial semata pada waktu itu, telah membawa aspirasi dan dedikasi yang bernuansa keserakahan. Bahkan fasilitas aturan yang membuka peluang untuk berbuat serakah masih tercipta di akhir abad ini. Sebagai contoh, pada bulan Mei tahun 2000 telah terbit Keputusan Menhutbun Nomor 104 yang mengatur pengambilan tumbuhan alam dan menangkap satwa liar di habitat alam. Menurut aturan tersebut habitat alam tidak dirinci posisinya, ini berarti Balai KSDA sah sah saja dan boleh mengarahkan pengusaha/peminat flora fauna untuk melakukan penjarahan di habitat alam yang posisinya di Taman Nasional yang nota bene dikelola oleh Balai Taman Nasional, sementara pasal yang mengatur hubungan kerja antara Balai KSDA dengan Balai Taman Nasional yang berkaitan dengan praktek aturan tersebut tidak ada.

14

Perjuangan mengembalikan posisi SPL di habitat aslinya untuk memperkaya kembali komponen bio regional sesuai tipe ekosistemnya ternyata sangat berat, mungkin setara dengan beban untuk mempertahankan jenis yang sama di habitat aslinya. Dugaan atas perpanjangan jalur illegal eksploitasi babi rusa dan anoa untuk komoditi tradisi pangan lokal dari Sulut ke Sulteng, telah terbukti kebenarannya dari hasil dua kali operasi pengamanan satwa di Taman Nasional Lore Lindu bulan Desember 1999. Selama kegiatan tersebut (15 hari) di sekitar kawasan Dongi-dongi TNLL telah ditemukan 230 jerat. Bukti ini menjadi bahan sosialisasi bagi masyarakat di sekitar kawasan yang ternyata tidak hanya pendekatan persuasif dari aspek hukum semata, tetapi juga penyadaran pengertian akan pentingnya peran keanekaragaman jenis bagi daya dukung keseimbangan lingkungan dan kawasan konservasi sebagai pengawet plasma nutfah. Pada dilema yang lain, pertahanan keseimbangan lingkungan rimba belantara dengan tradisi budaya masyarakat adat yang mengandalkan tersedianya asesoris/alat adat dari bagian satwa liar ternyata akan jebol juga bila asesoris/alat tersebut diperkaya dengan terciptanya jalur illegal pemasaran barang antik yang melengkapi jeroan gedongan elit borjuis di kota-kota besar. Informasi yang diperoleh dari seorang peneliti/ pakar Kuskus dari LIPI Zoologicum Bogor pada bulan Maret 1999 yang berkaitan dengan asesoris/alat tersebut sangat menarik, yaitu beberapa etnis di Papua ada yang membuat asesoris kalung dari taring kuskus, setiap kalung terangkai dari 120 taring kuskus, ini berarti 30 ekor kuskus jadi korban. Lain halnya dengan masyarakat adat suku Wana di dalam dan se putaran Cagar Alam Morowali Sulteng yaitu 1 ekor kuskus dikorbankan untuk diambil kulitnya sebagai penutup tempat racun sumpit sebanyak 20 30 unit. Nilai komersial kalung tersebut di Jakarta hanya 2,5 3,0 juta rupiah, sedangkan untuk sumpit bersama kelengkapannya dijual orang wana di Kolonodale antara Rp 100.000,- - Rp 150.000,-. Mabes POLRI dan jajaran Polda untuk penegakan hukum dan penanggulangan tindak pidana yang terkait dengan SPL dan kecenderungannya, diakui penyaji dari Mabes bahwa sangat rendah kinerjanya, meskipun sudah dibentuk satuan lingkungan hidup pada korps reserse Direktorat Pidana Tertentu. Hal yang memprihatinkan adalah Jaksa dan Hakim masih memerlukan sosialisasi undang-undang terkait, sehingga kasus di Malang dibebaskan dan di Sukabumi diputus percobaan enam bulan. Dari sini terlontar nada himbauan agar serius, paling tidak kontribusi aparat penegak hukum dapat memberikan efek jera. Presentasi Drh. Dondin Sajuthi, Ph.D dari Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian IPB diharapkan menjadikan orang miris sebelum berSPL atau kapok berSPL. Betapa tidak, zoonosis ternyata memberi peluang untuk terinfeksi ke manusia. Demikian sebaliknya, satwa liar yang diSPL dapat mencret seperti sering menimpa manusia. Celakanya lagi, penyakit akibat virus yang sama ,misalnya hepatitis B yang dapat menyerang orangutan dan manusia, ternyata vaksin untuk orangutan tidak ada respon terhadap manusia, demikian sebaliknya. Oleh karena itu rumah sakit tanpa dinding kiranya perlu dikumandangkan, agar satwa liar dapat hidup di habitatnya dengan tenang dan berkelanjutan sebagai bemper penyakit yang dapat menyerang manusia baik lewat virus, bakteri, jamur, parasit maupun cacing. Sayang sekali di Indonesia profesi dokter hewan sangat miskin berkiprah di kehidupan liar.

15

Kelompok LSM yang tergabung dalam jaringan pantau ( lebih kurang 50 LSM) yang peduli untuk memantau seluk beluk praktek SPL, menilai bahwa SPL adalah pelanggaran hukum pidana. Permasalahan kian kompleks karena penjarahan habitat dan perdagangan gelap SPL yang semakin meningkat. Orang Jawa secara factual, terpantau paling dominan sebagai pionir perkembangan dan pertumbuhan pasar burung (dan jenis-jenis lainnya) di seluruh pelosok tanah air. Suply dan demand dalam transaksi gelap dapat menjadi lancar karena banyak penggemar yang berani bayar tantangan status tingkat perlindungannya. Lomba kicau burung dalam sangkar misalnya, dinilai sangat memicu dan memacu penggemar untuk mendudukkan moral manusia sebagai raja. Mungkin tak peduli juga, bila seandainya burung dalam sangkar menganggapnya sakit jiwa. Hasil investigasi jaringan pantau membenarkan fakta bahwa lomba burung dan jenis satwa lainnya, mempercepat penangkapan dari alam hingga mendominasi 95 % . Hal ini berarti interest dan perjuangan anggota masyarakat terhadap upaya penangkaran masih rendah. Suatu studi analisis kecil yang berkaitan dengan kelompok penggemar, telah dilakukan Wiratno, terhadap SPL yang terdokumentasi di D.I .Yogyakarta tahun 1992-1993 dengan hasil antara lain burung paling banyak dipelihara dengan urutan status kelompok penggemar dari yang paling banyak memelihara yaitu : Pegawai Negeri, Pelajar/Mahasiswa, Wiraswasta, Ibu rumah tangga dan anggota TNI/POLRI . Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat kesibukan dan home range mobilitas orang karena profesi/ tugasnya dapat mempengaruhi frekuensi penikmatan kegemarannya tersebut. Kemungkinan lain dapat dikaitkan dengan wacana budaya Yogya yang percaya bahwa kehidupan di dunia kurang lengkap bila tanpa kukilo dan turonggo ( memelihara burung dan kuda). DIPERLUKAN SIKAP TEGAS Lingkaran setan atau setan yang melingkar, mungkin tak peduli dunia sebagai tumpuan peradaban. Berkaitan dengan SPL seakan tak ada garis pemisah antara peradaban tradisional dan modern. Aturan perlindungan sejak meneer Van Mook sampai Meneer Van Danu beserta cucunya yang intelek, tidak lepas dari suasana feodalistik . Tidak hanya moral yang dirajakan, materiilpun menjadi ukuran statuta. Dan SPL adalah bagian dari materiil. Posisi SPL yang demikian sebenarnya merepotkan, namun kurungan atau rantai bahkan kebiasaan yang melingkupi SPL sebagai materi rumah tangga dapat menjadi dalih aku cinta satwa yang menjurus ke aku cinta benda. Hal inilah mungkin, yang dimaksud dengan pemberhalaan apabila keterlanjuran. Suatu perbuatan yang mencemarkan kenirwanaan dan harus diluruskan oleh ajaran agama apapun juga. Rehabilitasi SPL dapat gulung tikar, karena upaya ini bukan merobotkan benda, tetapi menghidupkan kembali benda itu pada habitatnya, pada kodrati harafiyahnya. Ini suatu proses, betapa seorang Willy Smith berupaya untuk memperbesar kurungan, melepas rantai satu persatu dan akhirnya mengembalikan hak kebebasan, kebiasaan asli orangutan sebagai ekspresi dari tindakan moral manusia yang cinta kehidupan.

16

Namun perlu diingat dan harus hati-hati bahwa, janganlah pengembalian kebebasan tersebut menjadi bencana baru bagi orangutan yang benar-benar bebas sejak bayi. Pelajaran bahwa kehidupan semakin langka di dunia, dapat kita petik hikmahnya di Pulau Kaget, Kalsel. Peng-SPL-an bekantan ke Pulau Kagetan di Bonbin Surabaya, adalah suatu contoh betapa makluk manusia tak peduli hak kodrati bekantan. Pencemaran dan perambahan telah merusak habitat bekantan, suatu dunia kecil kehidupan yang indah. Undang-undang konservasi berada di simpang jalan, Pulau Kaget yang nota bene kawasan konservasi Suaka Alam sudah kehilangan traffic light. Lampu bang-jo sudah lama rusak parah . Nyala hijau yang terus menerus dapat menjuruskan bekantan ke SPL, karena sah-sah saja menurut pasal dasar aturan konservasi jenis untuk konservasi ex-situ. Jadi, tuntutan ketegasan sangat mutlak. Konservasi kawasan dan konservasi jenis, bukan sekedar terminologi yang butuh terminal keadilan, tetapi ketegasan yang butuh kelugasan. Lugas adalah kata kunci yang erat kaitannya dengan kewajaran. Th.Huijbers, ahli filsafat dari negeri Belanda, dalam akhir tulisannya tentang sesama manusia menyatakan ....

Namun tak boleh disangkal bahwa institusi-institusi kadang-kadang membeku, menjadi kekuatan-kekuatan sendiri yang menguasai hidup. Oleh sebab itu disamping sikap keadilan dan pengabdian perlu diperkembangkan juga sikap kewaspadaan, supaya pertentangan antara hidup pribadi dan masyarakat, yang tak dapat dihindari sepenuhnya, diatasi sebaik-baiknya ( dikutip dari Sekitar Manusia, bunga rampai
tentang filsafat manusia. Soerjanto Poespowardojo dan K.Bertens. Gramedia Jakarta,1985). Memperhatikan statement filsafatis tersebut, pertanyaannya adalah apakah BKSDA Kalsel pada waktu itu sedang membeku dalam kekuatan kekuasaan, sehingga pengabdian dan sikap keadilannya terbelenggu untuk tidak mengembangkan kewaspadaan ?. Jawabnya adalah ada lingkungan dan kebijakan yang mengkondisikan proses menuju ke ketidakwajaran. Suatu blasting yang jadi lessonning.

Palu, Juli 2000.

17

PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP


(ditinjau dari aspek modal sosial)

DALAM STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI ERA OTONOMI PENDIDIKAN

GERAKAN REPLIKASI DAN UNIFORMALITAS Dalam membangun kita perlu modal. Ada tiga modal pokok yaitu : uang, fisik atau barang dan modal sosial (Kompas : 29/09/2001). Modal sosial sangat jarang kita bicarakan, sehingga tanpa kita sadari ternyata dapat menjadi ancaman terbesar bagi keberhasilan pembangunan yang berwawasan lingkungan 1 2 dekade belakangan ini. Indikatornya bukan dari kondisi lingkungan yang semakin rawan saja, tetapi dari modal sosial yang masih harus digali dan diberdayakan. Carrier & Burren (cit: Kompas) menemukan 3 komponen utama modal sosial, yaitu : associability, shared trust dan share responsibility. Associability adalah kemampuan untuk memacu aksi kolektif dalam interaksi sosial. Kemampuan ini harus didasari kepercayaan timbal balik (shared trust) dan tanggungjawab timbal balik (share responsibility). Selanjutnya Don Cohen (cit: Kompas) mengungkap bahwa modal sosial dapat terlihat dalam aspek kepercayaan, pemahaman yang kondusif untuk saling tukar

pengetahuan dan memiliki kekuatan untuk aksi kerjasama.

Harus diakui bahwa di Indonesia modal sosial masih banyak yang menjadi beban pemerintah. Banyak aturan yang memposisikan masyarakat sebagai boneka yang lemah dan bodoh. Ruang untuk dialog kesetaraan tidak pernah dibangun. Pembangunan terlalu banyak untuk kepentingan politik. Panggung sandiwara tersebar dimana-mana, tanpa pandang skenario apa yang semestinya disajikan, yang penting harus ditelan. Kondisi yang demikian cenderung akan berdampak pada pengembangan dogmatis yang monolitik, sehingga kepekaan masyarakat semakin berkurang dan kewaspadaanpun semakin hilang. Negatif indikator yang dapat dilihat pada modal sosial adalah suburnya pertumbuhan faham replikasi (copy-paste) dan uniformalitas. KEBAJIKAN SEBAGAI MODAL SOSIAL UTAMA Bicara mengenai pembangunan dan lingkungan hidup, tidak boleh lepas dari eksplorasi dan analisis dokumentasi modal sosial. Komunitas sosial bagaimanapun bentuk dan tujuannya, dapat dipastikan memiliki kebajikan. Bung Hatta dalam bukunya Membangun koperasi dan koperasi membangun yang sepaham dengan Don Cohen, mengungkap 7 kebajikan yang penting, yaitu : kejujuran; loyalitas; ketepatan yang cerdas; partisipasi yang adil; disiplin dan keteguhan terhadap ikatan perjanjian; kebulatan tekat untuk memacu mutual benefit; dan transparansi. Tujuh kebajikan tersebut seharusnya dapat menjadi bakuan ukuran empirik untuk sukses tidaknya pembangunan, sekaligus baik buruknya lingkungan hidup karena

18

dampak pembangunan. Pemahaman yang sampai sekarang berkembang adalah pembangunan harus mengorbankan lingkungan dan lingkungan hidup sebagai sarana pembangunan. Posisi sebagai sarana inilah yang menjadikan pembangunan adalah segalanya dan lingkungan hidup adalah kendaraan politiknya. Modal sosial dengan 7 kebajikan utamanya tidak berkembang baik. Banyak orang yang hanya bicara ada uang, ada barang dan yang sebaliknya. Jarang sekali yang bicara kekuatan modal sosial sebagai dasar utama pembangunan. Modal sosial harus digerakan dengan dasar proposal dan diarahkan dengan dasar kepentingan tertentu atas nama pembangunan. Hal inilah yang sekarang ini menjadi jamak, sehingga kurang menjadi bagian dari kepekaan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang notabene menjadi tiang penyangga kehidupan dan keberlanjutan bangsa. Mulai era reformasi di Indonesia, semua orang akan berang bila pembangunan dihentikan. Pembangunan harus diteruskan, namun dengan catatan : harus demokratis, harus adil, dan harus berkelanjutan. Untuk mewujudkannya memang amat susah, perlu perjuangan dan sekaligus pengorbanan, dalam arti perjuangan moral sehingga berani mengorbankan keinginan atau pamrih individu dan golongan. Bagaimanapun untuk melangkah ke depan dengan berbekal catatan diatas, kita harus bertekad untuk berpegang pada 7 kebajikan tersebut, sehingga modal sosial dapat berperan prima dalam mewujudkan keserasian pembangunan dan lingkungan hidup. KEBAJIKAN UNTUK KESERASIAN Improvisasi pola pikir dalam menerapkan modal sosial sebagai modal utama pembangunan yang demokratis, adil dan berkelanjutan, sangat diperlukan karena sangat kondisional dan situasional. Dengan demikian kebajikan sebagai tiang utama modal sosial harus disampaikan secara supel/luwes kepada publik. Pertama kali publik harus diberi ruang kesadaran bahwa modal sosial adalah kekuatan publik, tujuh kebajikan adalah milik publik dan untung rugi tergantung aktifitas dan partisipasi publik. Intervensi langsung harus dihindari, demikian halnya janji-janji. Kepercayaan publik untuk publik, bukan untuk fasilitator atau profokator. Banyak kejadian kerusakan lingkungan yang diawali dengan pendekatan interupsi yang menggoyang kepercayaan publik untuk publik. Agar hal ini tidak terjadi lagi, maka perlu ada perubahan yang lebih menitikberatkan pada moral untuk mengorbankan keinginan. Modal sosial perlu dibangunkan dari tidur yang panjang, agar mimpi tujuh kebajikan dapat diwujudkan untuk keserasian pembangunan dan lingkungan hidup, yang secara singkat dapat saya uraikan sebagai berikut : 1. Kejujuran. Pembangunan harus berbasis pada prinsip manfaat bagi kepentingan publik dan berkelanjutan.

19

Prinsip konservasi yang meliputi menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis regional, pengawetan keanekaragaman hayati asli dan pemanfaatan sumber daya alam (hayati) secara lestari, harus menjadi dasar utama pengelolaan lingkungan hidup. Keserasian antara prinsip manfaat terhadap hasil pembangunan dan prinsip konservasi alam tersebut hanya dapat diwujudkan atas kejujuran kita bersama. Ukuran kejujuran adalah keberhasilan kita untuk mengabdi kepada negara dan membangun kewaspadaan bersama.

2. Loyalitas. Mengutamakan pembangunan untuk kepentingan bersama. Memposisikan kesadaran lingkungan sebagai landasan untuk membangun. Loyalitas sebagai kebajikan adalah tanda keseriusan kita untuk menyerasikan pembangunan dengan lingkungan hidup. 3. Ketepatan yang cerdas. Pembangunan yang benar ditandai dengan penerapan prinsip tidak menantang alam, artinya dapat menyesuaikan dengan kondisi alam. Sebagai wujud apresiasi dari aspek lingkungan, pembangunan tersebut merupakan momentum yang tepat untuk manfaat jangka panjang. Membangun kebajikan ini diperlukan proses, antara lain melalui pendidikan lingkungan hidup. 4. Partisipasi yang adil. Pembangunan yang berlandaskan pada prinsip multiguna dan efisien dalam pengelolaan sumber daya dan ruang. Prinsip tersebut dapat mendukung proses simbiose mutualisme yang secara ekologis menjadi kunci keberhasilan peran dari fungsi eco-regional yang sehat. Kebajikan ini hanya dapat terwujud bila berhasil membangun kepercayaan publik untuk publik. 5. Disiplin dan keteguhan terhadap ikatan perjanjian. Hasil pembangunan perlu ada sharing yang jelas dari sistem pengelolaannya. Sharing tersebut perlu dilandasi wawasan yang luas, dalam aspek lingkungan antara lain wawasan ekologi-regional yang meliputi peran catchment area dan bio-prospecting yang lestari bagi kepentingan umat manusia (publik yang luas). Kebajikan ini, inti dari bakuan aturan yang diwujudkan melalui kesepakatan konservasi dan pengakuan atas hak-kewajiban. 6. Kebulatan tekad untuk memacu mutual benefit. Hasil pembangunan yang benar harus bermuatan prediksi nilai tambah dalam sistem pengelolaannya. Nilai tambah ini tidak hanya diwujudkan dalam bentuk modal uang, tetapi modal sosial juga, yang diwujudkan dengan progres kepedulian publik terhadap lingkungan.

20

Kebajikan ini perlu dikembangkan melalui dialog publik dan aplikasi nyata peran lingkungan terhadap hasil pembangunan yang bermanfaat bagi publik.

7. Transparan. Hasil pembangunan harus menjadi faktualitas yang dapat dilihat dan dinikmati publik. Aspek lingkungan hidup dapat semakin memberi makna aktualitas yang dapat diikuti dan disepakati publik. Kebajikan ini harus semakin diperkuat melalui pengorganisasian publik. REKOMENDASI Terkait dengan strategi pengembangan pendidikan lingkungan hidup di era otonomi pendidikan, kebajikan untuk keserasian pembangunan dan lingkungan hidup sangat diperlukan. Walaupun demikian, tidaklah pantas untuk diterapkan di lapangan bila otonomi pendidikan dipahami sebagai bagian dari otonomi daerah. Otonomi daerah yang selama ini dipahami oleh kalangan tertentu sebagai kebebasan suatu organisasi di daerah untuk menentukan kedaulatannya sendiri, ternyata dari aspek pendidikan lingkungan terlihat telah disalahgunakan untuk melayani keinginan publik minor tertentu, demi kepentingan dipenuhinya tuntutan agar tidak ada aplikasi sistem yang diskriminatif. Ternyata berdasar prediksi ekologis jangka panjang, pelayanan tersebut dapat mengorbankan kebutuhan publik mayor. Ternyata kepentingan tersebut sangat antagonistik terhadap aplikasi 7 kebajikan dari modal sosial yang sebenarnya anti replikasi dan uniformalitas. Otonomi pendidikan, khususnya di bidang lingkungan, bukanlah seperangkat dogma mati yang dipaksakan kepada publik demi tercapainya target kepentingan tertentu dan tercapainya perubahan yang diinginkan. Otonomi pendidikan di bidang lingkungan hidup adalah kebebasan untuk berimprovisasi dengan tujuan ada dialog kesetaraan yang dinamis, bukan untuk membodohi publik. Pembodohan kepada publik dengan target antara lain negara tanpa tanah adalah peluang besar untuk masuknya modal uang kapitalistik yang lambat laun akan membunuh kreatifitas publik dalam mengembangkan modal sosial melalui 7 kebajikan tersebut diatas. Agar 7 kebajikan dapat digunakan untuk memacu dan memberdayakan modal sosial, maka dalam rangka mengembangkan pendidikan lingkungan hidup dalam era otonomi pendidikan, saya rekomendasikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Perlu upaya pengembangan pemahaman publik terhadap kepemilikan lokal (local ownership) yang berbasis budaya dan kesejarahan, hak dan fungsi kewilayahan serta prediksi dampak socio-ecology yang akan timbul. 2. Perlu disampaikan kepada publik tentang keserasian pembangunan dan lingkungan hidup yang hanya dapat diwujudkan melalui pijakan yang sama (common ground) yaitu modal sosial.

21

3. Perlu dikembangkan pemahaman kemandirian kepada publik, sehingga melalui modal sosial akan berkembang pula sistem balas jasa atas keaktifan dan partisipasinya dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. 4. Perlu difasilitasi kepada publik tentang learning organization, sehingga dalam mengaplikasikan modal sosial dapat memecahkan sendiri masalah manajerialnya. Palu, 27 Oktober 2001.

22

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN BIO - PROSPEKTIF DI DALAM DAN SEKITAR TAMAN NASIONAL LORE LINDU
PRAKATA Berkaitan dengan pengembangan biodiversitas yang berpengaruh kepada reformasi kualitas dan reposisi pendekatan konservasi, maka makalah ini diharapkan dapat semakin memperkuat wacana konservasi sebagai bagian dari perilaku masyarakat. Sistem pendekatan persuasif perlu diprioritaskan, mengingat eforia otonomi dapat menjadi kendala berat bagi penerapan prinsip konservasi yang selama ini, menurut pengertian masyarakat, pendekatannya lebih didominasi pendekatan represif dan hanya terfokus kepada konservasi kawasan dan jenis flora fauna. Dengan demikian, alur pikir yang tersaji dalam makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada kebijakan pemerintah, sehingga pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan bio prospektif di Kawasan Konservasi tidak hanya didasari pengetahuan dan keterampilan aspek ekonomi semata, tetapi beberapa aspek lain yang erat kaitannya dengan ekologis dan antropologis. Adapun alur pikirnya adalah sebagai berikut: kondisi ekologis > kondisi antropologis > pemberdayaan -> kolaborasi dalam otonomi > obsesi bio-prospektif > rekomendasi. KONDISI EKOLOGIS Kawasan TNLL secara administratif termasuk ke Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah. TNLL diumumkan pertama kali pada Oktober 1982 pada waktu Konggres Taman Nasional se-Dunia di Denpasar Bali dan dikukuhkan oleh Menhutbun melalui SK Nomor :464/Kpts-II/99 tanggal 23 Juni 1999 seluas 217.991,18 Ha. Secara bio-geografis kawasan ini terletak pada Wallacean region yang dikenal sebagai zona transisi antara Benua Asia dan Australia, sehingga kaya akan flora dan fauna spesifik. Di kawasan ini terdapat 266 jenis flora dan 200 jenis fauna. Fauna endemik Sulawesi dan dilindungi terdapat 37 jenis, antara lain: anoa, babi rusa, musang coklat Sulawesi, monyet hitam, tarsius dan burung maleo. Secara topografis kawasan ini terletak di jantung Sulawesi Tengah, daerah pedalamannya pada ketinggian antara 100 2800 meter dpl, dari kontur sedang sampai berat yang sangat peka erosi karena jenis tanahnya, curah hujan yang tinggi serta letaknya di garis patahan bumi yang ditandai oleh banyaknya sumber air panas tektonis. Hasil foto satelit bulan September 1999 dan pengamatan dari udara pada awal Mei 2000 memperkirakan kondisi ekologis TNLL 95% masih utuh. Selanjutnya, melalui grant USAID yang dikerjakan di bawah koordinasi TNC Indonesia Program dalam CSIADCP yang didukung loan ADB, APBN, APBD dan sumber dana hibah yang lain, sekarang ini sedang berlangsung kegiatan kompilasi data ekologis dan habitat sebagai bahan penyusunan rencana zoning dan pengelolaan TNLL selama 25 tahun. Kompilasi tersebut berlangsung dari Agustus 1999 sampai dengan Juni 2001. Sedangkan CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project) di

23

bawah koordinasi BAPPEDA Sulawesi Tengah, banyak dilakukan di daerah penyangga (baik fisik maupun non-fisik) direncanakan berlangsung dari 1998 sampai dengan 2005. KONDISI ANTROPOLOGIS Melihat kondisi topografis kawasan TNLL dan sekitarnya, terdapat dua lembah besar di dalam TNLL yang berstatus enclave dan telah dihuni masyarakat sebelum TNLL diumumkan kepada publik, yaitu lembah Besoa dan lembah Danau Lindu. Adapun di sekitarnya terdapat empat lembah yang juga telah dihuni masyarakat, yaitu Lembah Palolo, Lembah Napu, Lembah Bada dan Lembah Kulawi. Keseluruhannya 60 desa yang berbatasan langsung dengan TNLL di bawah wilayah Kecamatan Palolo, Lore Utara, Lore Selatan, Kulawi dan Sigibiromaru. Jumlah penduduknya berdasar data kependudukan tahun 1998 lebih kurang 130 000 jiwa, meliputi berbagai etnis lokal dan pendatang karena proyek transmigrasi dan pemukiman kembali (resettlement). Tania Lie, seorang antropolog dari Kanada yang melakukan penelitian akses masyarakat pegunungan di Sulteng terhadap sumber daya alam, pada awal Juni 2000 telah memberikan masukan yang cukup penting sebagai referensi dalam pengelolaan TNLL. Masukan tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Di kawasan TNLL dan sekitarnya terdapat megalith ( patung batu besar prasejarah). Berdasar aspek antropologis megalith tersebut menjadi indikasi bahwa kawasan tersebut telah menjadi pilihan manusia untuk bermukim dan melangsungkan kehidupannya sejak pra-sejarah. Sehingga tepat apabila UNESCO telah menunjuk kawasan Lore Lindu sebagai Cagar Biosfeer sejak tahun 1977 yang mengakomondir pelestarian kebudayaan asli. 2. Di dalam dan sekitar TNLL terdapat beberapa etnis asli yang masih berpotensi untuk mengembangkan pengetahuan adatnya yang erat berkaitan dengan pemangkuan wilayah adat atas sumber daya alam di sekitarnya. 3. Potensi tersebut bila dikaji berdasar prinsip konservasi, ternyata ada kearifan lingkungan dan pelestarian pemanfaatan SDA. Sekarang ini kearifan tersebut telah banyak didegradasi oleh aturan yang sentralistik, represif dan memarginalkan posisi potensi tersebut sehingga tidak berkembang. 4. Marginalisasi tersebut dapat menjadi ancaman yang serius terhadap potensi dan eksistensi SDA di TNLL, baik langsung maupun tidak langsung. 5. Indikator ancaman tersebut, antara lain sebagai berikut : Dari bentuk dan kondisi wilayah desa:

Sebaran dan kepadatan hutan desa kurang atau sangat sedikit. Terdapat lahan garapan hak masyarakat yang dikapling oknum tertentu. Adanya pemberian keputusan sepihak dari pemerintah kepada pendatang atas penguasaan lahan/ruang. Pembukaan jalan baru yang didasari oleh prospektif ekonomi semata.

Dari sistem pengelolaan SDA oleh masyarakat setempat :

Otoritas Kepala Desa sangat dominan.

24

Timbul keresahan masyarakat atas ketidakpastian akses penggunaan lahan dan pengelolaan SDA. Lemahnya pengendalian Kepala Desa atas tingkah laku warganya, terutama yang berkaitan dengan akses pemanfaatan SDA.

Dari kondisi budaya :


Intervensi proyek yang berakses pada SDA di luar TNLL Pengaplingan dan jual tanah oleh masyarakat lokal kepada pendatang. Tingkat heterogenitas etnis sangat tinggi.

Dari kondisi sosial :


Banyak warga desa setempat yang tidak mempunyai lahan. Masyarakat tidak kompak dan mudah dipengaruhi pemodal/orang luar.

PEMBERDAYAAN Pemberdayaan akhir-akhir ini menjadi jargon nasional untuk mengatasi permasalahan sosial yang terpuruk karena penerapan aspek ekonomi yang ekstratif, monopolistik dan menutup peluang kreatifitas masyarakat, sehingga masyarakat sulit mandiri dan hanya akan tergantung pada akses yang monokultur. Mengenai pemberdayaan secara panjang lebar telah ditulis oleh Aileen Mitchell Stewart dalam bukunya yang berjudul Empowering People. Buku tersebut telah diterjemahkan dengan judul Pemberdayaan Sumber Daya Manusia oleh Agus M. Hardjana dan diterbitkan Penerbit Kanisius Yogyakarta untuk pertama kali tahun 1998. Pada prinsipnya pemberdayaan menurut Mitchell adalah membagi tanggung jawab yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Kekuasaan ini dari aspek manajemen yang meliputi kekuasaan peran, kekuasaan keahlian dan kekuasaan sumber daya. Pada hakikatnya kekuasaan ini merupakan kemampuan untuk mengusahakan agar sesuatu terjadi atau mencegah agar sesuatu tidak terjadi. Dengan demikian pemberdayaan tersebut sebenarnya sangat sulit diterapkan apabila orientasi kekuasaan masih sangat mendominasi sistem manajemen birokratif. Praktek Otonomi Daerah mulai per 1 Januari 2001, yang hanya didominasi oleh ekstrasi SDA melalui penerbitan ijin dan kewenangan otorisasi pengusaha untuk PAD telah menjadi wacana negatif bagi aspek pemberdayaan masyarakat. Hal ini menyebabkan indikator seperti yang diungkap Tania Lie akan tumbuh semakin subur. Perlu disadari bahwa hal tersebut kurang selaras dengan semakin rapatnya jaringan dan tingginya frequensi akses informasi yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Dampaknya adalah dapat terjadi penderitaan masyarakat perkepanjangan dan SDA semakin rusak. Sangat menarik untuk disimak pengalaman Dr. Frank van Steenbergen dalam studinya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat India dan Pakistan dalam manajemen hutan. Ahli dari Belanda ini telah mengungkap butir-butir pelajaran yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dihadapan Trainee on Systemic Approach in Participatory Forest Management yang diselenggarakan IBRAD di Calcutta West Bengal

25

India pada bulan Februari 2000. Menurut Dr van Steenbergen, pemberdayaan akan berjalan dan berhasil apabila pemerintah membuka peluang partisipasi dalam manajemen hutannya. Persyaratan partisipasi yang disarankan agar membagi tanggung jawab menjadi wacana kesadaran bersama adalah sebagai berikut : 1. Jangan ada peraturan yang mengarahkan sepenuhnya pada penyeragaman kreatifitas. 2. Peraturan tersebut akan mendapat dukungan masyarakat apabila dalam pelaksanaannya tidak banyak melibatkan para pihak dari luar secara langsung. 3. Terdapat institusi di tingkat desa atas inisiatif masyarakat desa tersebut, yang dilegitimasi masyarakat setempat berdasar kesepakatan, sebagai pengelola atau pengatur masyarakat atas akses dan aset SDA setempat. 4. Memposisikan masyarakat setempat sebagai partner bukan costumer. 5. Penerapan teknologi yang tepat guna, ramah lingkungan dan berkelanjutan. 6. Adanya semangat bersama bahwa menunda keputusan berarti frustasi tanpa akhir. KOLABORASI DALAM OTONOMI Diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, mulai tanggal 1 Januari 2001, berarti konservasi yang tercantum pada pasal 7 ayat (2) UU tersebut, disamping siap diperlakukan sebagai jargon nasional harus siap pula diberlakukan sebagai jembatan kolaborasi antara pusat dan daerah. Kolaborasi tersebut sangat penting, terlebih bagi kepentingan penerapan fungsi dan peran konservasi di daerah, mengingat aset-aset konservasi sebagai jawaban atas komitmen internasional berada di daerah. Bagaimana konservasi dapat menjadi alat pemersatu dan keberlangsungan bangsa dalam NKRI harus dipertaruhkan. Tentunya dalam suasana otonomi perlu tinjauan sekaligus revitalisasi peran konservasi, yang tidak hanya ditekankan pada konservasi kawasan atau jenis. Konservasi, selama ini secara undang-undang dan turunan aturan teknisnya selalu disosialisasikan tanpa mempedulikan dampak penerapannya kepada masyarakat, perlu ditekankan pada membangun peran konservasi sebagai bagian dari tingkah laku masyarakat. Kontribusi kepada kebijakan pemerintah sangat diharapkan untuk hal ini, sehingga pemberdayaan masyarakat adat/lokal melalui pendekatan bioprospektif tidak akan ragu lagi untuk melangkah ke depan, dengan membawa pesan perubahan yang lebih persuasif dan responsif dalam membangun kesepakatan. Kondisi ekologis dan antropologis TNLL adalah contoh suatu tantangan bagaimana konservasi menghadapi pra dan proses otonomi. Perang menghadapi kepentingan baik dari masyarakat maupun anggota masyarakat yang berbaju instansi dan sektor pemerintah yang lain, dijamin tidak akan berhenti, selama wacana aspek legal berdasar UU nomor 5 tahun 1990 tidak segera ditinjau ulang. Ada tiga kelemahan UU konservasi ini, yaitu : 1. Penerapan wacana yang tidak konsisten, untuk menjadikan komitmen global di Stockholm diterapkan menjadi aturan lokal. 2. Aplikasi pasal 37, yang meminta pemerintah menggerakkan dan mengarahkan masyarakat untuk sadar konservasi. Dalam pasal ini terdapat kesan represif

26

sehingga sangat sulit menjadi dasar pendekatan konservasi sebagai bagian dari perilaku. 3. Undang-undang tersebut rawan manipulasi dan lemah strategi, antara lain kegagalan konservasi kawasan masih dapat diatasi dengan konservasi jenis secara ex-situ. Kiat yang sampai sekarang masih cukup mujarab dan dapat diterima masyarakat lokal/ adat/asli adalah menerapkan prinsip konservasi, yaitu Tiga P yang meliputi Perlindungan Sistem Penyangga kehidupan, Pengawetan plasma nutfah dan Pemanfaatan yang lestari, yang ternyata merupakan warisan wacana dari nenek moyang mereka. Hanya sayangnya warisan ini perlu direvitalisasi karena telah banyak didegradasi oleh aktifitas yang muncul sebagai indikator ancaman seperti diungkap antropolog Tania Lie. Sehubungan dengan upaya pengembangan prinsip konservasi di daerah melalui kolaborasi, sehingga diharapkan ada keselarasan gerak pembangunan yang berwawasan lingkungan dan tata ruang wilayah antara pusat dan daerah, maka diperlukan langkahlangkah pendekatan sebagai berikut : 1. Konsultasi ke Pemda, baik ke Gubernur maupun Bupati/walikota agar dapat memposisikan kawasan konservasi/kawasan lindung, termasuk Taman Nasional sebagai inti plasma wilayah pembangunan yang berwawasan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pasal 10 dan 11 UU Nomor 22 tahun 1999 yang menetapkan agar Gubernur dan/atau Bupati bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan hidup di wilayahnya. 2. Secara pasti institusi konservasi pemerintah di daerah harus merubah sistem manajemennya, yaitu dari manajemen birokratif menjadi manajemen kolaboratif. 3. Bersama masyarakat lokal/adat/setempat membangun suatu gerakan partisipatif dan kolaboratif untuk menuju ke konservasi yang radikal, artinya menerapkan prinsip konservasi sebagai bagian dari perilaku masyarakat, di samping masih memperhatikan posisi kawasan konservasi, fungsi konservasi habitat dan potensi flora fauna asli. 4. Menggunakan wacana konservasi sebagai pemulihan kemandirian dan revitalisasi sifat pencerahan asli yang telah dimiliki masyarakat. OBSESI BIO-PROSPEKTIF Pengembangan konservasi sebagai bagian dari perilaku masyarakat adalah bagian dari upaya untuk menghadapi ancaman yang akan memporakporandakan fungsi kawasan TNLL. Ancaman dan kejadian seperti illegal logging dan konversi hutan alam secara ilegal menjadi kebun cacao misalnya, adalah masalah sehari-hari, sehingga menyita hampir 80% waktu dan volume manajemen TNLL. Akibatnya pendekatan persuasif BTNLL kepada masyarakat menjadi kurang intensif. Namun demikian dengan basis pengembangan manajemen kolaboratif melalui Forum Kemitraan TNLL (FKTNLL) yang didukung lebih dari 17 LSM lokal dan Internasional, lambat laun ada keinginan bersama antara lain untuk mewujudkan TNLL sebagai sumber pengembangan bio-prospektif, yang diharapkan dapat mengalihkan semangat masyarakat untuk merusak menjadi mengembangkan manfaat eksistensi dan potensi TNLL sesuai fungsinya.

27

Bio-prospektif masih menjadi obsesi, karena secara legal formal dan politis masih banyak yang menjadi pekerjaan pemerintah. Masyarakat lokal/adat yang turun temurun dan sehari-hari mengakses keanekaragaman sumber daya hayati yang seharusnya sebagai pemeran utama dan pemegang property right yang berkaitan dengan bioprospektif dan dilindungi konvensi ILO 169, pelibatannya masih perlu perjuangan. Sampai saat ini konvensi ILO 169 belum diratifikasi Indonesia. Bahkan telah ditemukan kendala baru pada Semiloka Nasional yang bertema Eksistensi TRIPs-WTO bagi proses pembangunan berkelanjutan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Indonesia di Bogor tanggal 16 19 Oktober 2000, yaitu Indonesia tanpa pengembangan wacana melalui konsultasi publik, telah meratifikasi kesepakatan WTO, yang antara lain berkaitan dengan intelectual right. Ini berarti Indonesia telah jatuh pada posisi pemasok bahan baku suatu produk industri manufaktur atau teknologi yang intelectual right dalam bentuk hak patent telah banyak dimiliki orang/badan di negara maju. Posisi Indonesia di dunia ketiga semakin terpuruk, sehingga dikuatirkan kualitas SDM yang menduduki ranking 109 di bawah Vietnam pada tahun 2000, tahun selanjutnya akan semakin merosot. Ada kesan bahwa ratifikasi Indonesia melalui UU nomor 5 tahun 1994 terhadap Konvensi Rio yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati tidak berarti lagi. Dengan demikian satu-satunya pendekatan yang dapat menggugah semangat pencerahan dan kemandirian masyarakat adat/lokal adalah gerakan moral, supaya tahu baik dan buruk. Diharapkan melalui gerakan moral ini, obsesi bio-prospektif dapat diwujudkan berdasar penguatan forum lokal untuk secara komunal melaksanakan pelajaran Dr. van Steenbergen. Beberapa langkah cukup positif dalam membuka gerakan moral menuju bio-prospektif, telah dimulai oleh tiga LSM lokal aktifis FKTNLL di TNLL dsknya, yaitu : 1. Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dalam pelayanan masyarakat adat di dalam dan sekitar TNLL untuk pemetaan partisipatif wilayah adat, membangun kesepakatan konservasi dan menyusun perencanaan partisipatif untuk kolaborasi manajemen dengan BTNLL dalam pengelolaan keanekaragaman SDA secara lestari. 2. Yayasan Jambata telah mengisi peluang studi awal potensi tanaman pangan varietas atau jenis lokal yang biasa dimanfaatkan masyarakat setempat. Studi awal ini telah mengumpulkan informasi dari 8 desa meliputi padi lokal 19 47 jenis/varietas asli; jagung 5 12 varietas asli; umbi-umbian 11 20 jenis; dan jenis-jenis tumbuhan untuk sayur termasuk jamur 24 60 jenis. 3. Lembaga Pecinta Alam Awam Green telah mengisi peluang partisipasi melalui program penelitian pengembangan dan pemanfaatan potensi tumbuhan obat tradisional masyarakat adat/lokal di sekitar TNLL. Penelitian yang dilaksanakan dari Mei- Oktober 2000 sampai saat ini telah mengumpulkan informasi 415 jenis material obat dari 287 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan yang digunakan umumnya adalah kelompok tumbuhan tahunan berupa terna 50%, umbi-umbian (rhizoid) 15%, rumput-rumputan 15%, perdu 6% dan bagian pohon 14%. Adapun bagian yang paling banyak digunakan adalah daun (60%).

28

REKOMENDASI Berkaitan dengan pengembangan biodiversitas menuju pemberdayaan masyarakat adat/lokal, sehingga mampu mengembangkan kesejahteraan secara mandiri dan sekaligus mengembangkan peran proaktifnya untuk melestarikan kawasan konservasi secara co-management dengan institusi konservasi di daerah, maka kami merekomendasikan agar segera dipenuhi kebutuhan masyarakat adat/lokal sebagai berikut : 1. Wacana yang berkaitan dengan sosio-ekologi. Diharapkan adanya wawasan publik untuk melakukan pendekatan persuasif terhadap masyarakat adat/lokal dalam rangka mengembangkan program pengamanan partisipatif terhadap potensi keanekaragaman hayati. 2. Program yang berkaitan dengan pendekatan antropologi-budaya. Diharapkan adanya wawasan untuk memposisikan masyarakat adat/lokal sebagai bagian dari ekosistem hutan dan bukan ancaman terhadap upaya pelestarian fungsi hutan yang bersangkutan. 3. Advokasi pasar yang berkaitan dengan bio-prospektif. Diharapkan adanya wawasan untuk kontribusi gerakan moral yang membangun masyarakat adat/lokal mandiri dan mengembangkan sifat pencerahannya melalui proses belajar mengelola biodiversitas di sekitarnya secara lestari. 4. Pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan eko-wisata. Diharapkan adanya wawasan untuk membuka peluang pasar wisata minat khusus yang tidak hanya dititikberatkan pada potensi alam saja, tetapi bersinergi dengan potensi sosial dan budaya. Promosi eko-wisata seyogyanya harus bernuansa gerakan moral, sehingga pada akhirnya akan mengangkat dampak dari upaya pengamanan partisipatif, pendekatan bio-prospektif dan antropologis. Palu, awal Juni 2001

29

KONSEP AKSES PEMANTAPAN DAN PENGEMBANGAN STASIUN PENELITIAN PERMANEN DI KAWASAN KONSERVASI.
Disajikan pertama kali sebagai makalah penunjang pada Ekspose dan lokakarya tentang Pengelolaan Keanekaragaman Hayati TN Gunung Halimun di Hotel Salak Bogor , pada tanggal 3 5 Oktober 2000.
LATAR BELAKANG Salah satu manfaat kawasan konservasi adalah sebagai media penelitian untuk menjawab segala janji dan tantangan yang bernuansa masa depan. Terkadang kita tidak sabar menunggu kapan masa depan tersebut tercapai. Kerahasiaan menjadi opsi runyam bila peneliti tidak sekaligus berperan sebagai sosiolog handal dalam proses penelitian dan rekomendasi tindak lanjutnya. Pelajaran dari aksi penjarahan yang tak mengenal masadepan, perlu kita fahami sebagai pengorbanan tertenggatnya database produk penelitian dalam catatan kusam yang semakin buram dan kabur di wacana pustaka dunia. Berikut ini kami coba sajikan konsepsi yang berkaitan dengan akses perlawanan untuk mengantisipasi dan sekaligus menata kembali fungsi penelitian sebagai satu-satunya batu penjuru pertumbuhan nilai budaya manusia yang erat kaitannya dengan IPTEK konservasi alam yang lebih bernuansa kedaerahan. PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI Tugas pokok dan fungsi pengelola kawasan konservasi selama ini ada kesan takut kehilangan power dan kurang proaktif dalam net working penelitian. Prosedur perijinan yang bertele-tele dengan produk rekomendasi dari berbagai pihak boleh jadi inefisiensi hanya untuk mempertahankan power. Hal tersebut sangat terasa bila pengertian ijin penelitian dikonotasikan sebagai kontrak karya konsesi eksplorasi ruang dan waktu yang terbatas, tanpa melihat substansi proses pendekatan manfaat penelitiannya. Pemilahan kewenangan yang meliputi Scientific Authority dan Management Authority menjadikan hasil penelitian sebagai komoditi yang termonopoli, sehingga aksi kesetaraan dan kejujuran terkaburkan di lapangan. Sharing pengalaman dan pengetahuan dikondisikan formatif dan negosiasi jadi simpul net working yang kaku. Eksplorasi flora kebun raya Purwodadi di TN Lore Lindu setahun yang lalu, sampai sekarang informasi hasilnya belum masuk dalam database promosi dan kebanggaan Balai TN Lore Lindu. Akibatnya antara lain adalah alasan Balai Taman Nasional untuk mencegah penjarahan melalui pendekatan persuasif kurang dimantapkan dengan buktibukti ilmiah yang prospektif dan dapat diterapkan bersama masyarakat lokal/setempat.

30

Dengan demikian, penyederhanaan Prosedur yang berakses pada pertumbuhan net working berbasis pada kesetaraan dan kejujuran perlu difasilitasi. Pelayanan pengelola kawasan konservasi bagi kegiatan penelitian seyogyanya dimantapkan dalam sistem co-management dengan pihak peneliti, sehingga hasilnya benar-benar menjadi komoditi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat sebagai kontribusi peningkatan kualitas SDM dan kesejahteraan. Pada tahun 2000 ini, Balai Taman Nasional Lore Lindu sedang berupaya memantapkan co-management penelitian dengan peneliti dari IPB- Gotingen-UNTAD. Melalui comanagement dengan tiga Universitas tersebut diharapkan prinsip Tridarma Perguruan Tinggi dan prinsip pelayanan konservasi sebagai bagian perilaku masyarakat dapat dipadukan dan ditumbuhkembangkan. Dalam rangka Otda ,Visi dan Misi co-management penelitian tersebut perlu disepakati sebagai karakteristik, sehingga network dengan lembaga penelitian atau perguruan tinggi lainnya yang protagonis terhadap pelestarian fungsi TN Lore Lindu dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya dapat dilayani secara efisien. TATA RUANG BIO-REGIONAL. Perilaku peneliti masih dikooptasi oleh nuansa sentralistik. Adanya Badan litbang di Dephutbun pada waktu itu, sangat kuat sekali sentralistiknya, sehingga peran Ditjen PKA sebagai Management Authority yang punya lebih banyak UPT-UPT di daerah, di mata LIPI diposisikan sentralistik untuk rekomendasi utama berlangsungnya gerakan penelitian di kawasan-kawasan konservasi, walaupun dis-kontinuitas masih begitu mudah diharapkan. Dampaknya, Badan Litbang Dephutbun kurang peduli untuk mengembangkan stasiun-stasiun penelitian permanen di kawasan konservasi, bahkan kurang produktif untuk hasil-hasil penelitian terapan yang bernuansa bio-regional. Apabila diselaraskan dengan program tata ruang yang top-down, produk penelitian di bidang konservasi masih bersifat spotting dengan penerapan global keseragaman. Hal ini sebenarnya sangat menegasikan bio-diversitas yang fakta potensi dan eksistensinya tergantung pada bio-regional. Kiranya perlu dilakukan pembenahan melalui alternatif sistem yang tidak harus selalu dipojokkan pada pembenahan kelembagaan, demi power sustainability. Otonomi daerah yang berpegang pada prinsip efisiensi di bidang pemerintahan, menjadi prinsip dasar pengembangan akses desentralisasi pelayanan pengembangan penelitian melalui comanagement. Kontribusi penelitian konservasi di daerah terhadap buttom up program pembangunan perlu transparan dan dipromosikan, sehingga posisi kawasan konservasi dalam tata ruang sebagai inti plasma wilayah pembangunan berbasis tata ruang bio-regional, semakin diperkuat dan tak mudah dilemahkan oleh opsi PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang dikuatirkan hanya memperhatikan profit finansial semata dari eksploitasi Sumber Daya Alam. TEKNOLOGI TEPAT GUNA. Komitmen Internasional yang mengharapkan dunia terhindar dari pemanasan global dan degradasi keanekaragaman hayati telah mulai digelar dari Rio de Janeiro pada awal

31

tahun 1990 an, sebagai pemantapan aplikasi strategi konservasi dunia yang lahir di Stokholm tahun 1972. Di lain pihak yang berkaitan dengan masalah kependudukan dan lapangan pekerjaan telah tertuang dalam konvensi ILO No.169. Ada kontradiktif di antara dua konvensi internasional tersebut yang berkaitan dengan kerakusan ekonomi global. Bahkan di Indonesia masih ada ketimpangan untuk menghadapi percepatan tumbuh aplikasi konvensi internasional tersebut. Ratifikasi konvensi Rio ditandatangani tahun 1994 (UU No.5 tahun 1994), ILO 169 sampai sekarang belum. Ketimpangan akan semakin parah, bila akses penelitian konservasi hanya di permukaan dan berkesan lips service belaka, demi Rio di mata dunia. Sedangkan nuansa antropologi dan hak-hak masyarakat adat/lokal yang bermukim turun temurun di dalam dan sekitar hutan dan dilindungi konvensi ILO 169 terutama property rightnya, secara yuridis formal masih diabaikan. Ini tantangan bagi peneliti untuk mencipta, bukan sekedar menerima dan menjalankan aturan. Akses penelitian untuk penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, kiranya perlu dibangun di tingkat lokal dalam kontinuitas proses belajar bersama masyarakat setempat menuju ke tengah kancah kesetaraan. Petuah Ki Hajar Dewantara tentang sekolah tanpa dinding yang menyatakan bahwa : setiap tempat adalah sekolahan dan setiap orang adalah guru, kiranya perlu diterapkan dalam sistem comanagement penelitian konservasi yang desentralistik dan berbasis demokrasi. PENDEKATAN KULTUR Banyak orang bilang bahwa hasil penelitian dapat dipesan untuk tercapainya tujuan politik. Keuntungan finansial yang sebesar-besarnya dalam jangka pendek tanpa memperdulikan kerusakan lingkungan alam dan sosial yang diakibatkan oleh eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, masih menjadi wacana aspek ekonomi yang bernuansa kekuasaan. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Martin Luther, seorang reformis Jerman yang hidup di awal abad XVI. Statementnya yang spektakuler yaitu : Kemakmuran

negara tidak ditentukan oleh duitnya yang banyak, gedung-gedungnya yang megah dan pertahanannya yang kuat, tetapi ditentukan oleh masyarakatnya yang berbudaya, berpendidikan , berwatak dan mampu mempertahankan sifat pencerahan .
Belajar tentang kondisi Indonesia dalam dekade terakhir ini yang belum jelas detik akhirnya, kiranya perlu proses pendekatan kultur sebagaimana diamanahkan Martin Luther. Peneliti di bidang konservasi punya tantangan berat untuk itu. Pengembangan jaringan komunikasi atas hasil-hasil penelitian yang berpihak pada penguatan dan pengkayaan sifat pencerahan masyarakat lokal /adat perlu dikondisikan, agar peluang pasar dan investasi sumber daya ekonomi teraplikasi melalui proses penelitian yang bernuansa buttom up system. Bendera dan tiangnya bukan turun dari atas, tetapi dibangun dari bawah. PRODUK UNGGULAN Kunjungan saya ke Jepang pada bulan September 1992, memberi hikmah yang patut ditularkan ke orang lain. Di Jepang sudah kurang lebih 30 tahun yang lalu mulai

32

dikembangkan slogan Catch USA ahead Europe. Aplikasinya adalah penciptaan produk unggulan berbasis pertanian di masing-masing distrik/kabupaten bahkan subdistrik/kecamatan dalam lingkup prefektur/propinsi. Penciptaan dan pengembangan produk unggulan yang menjadi trade mark dan property right kecamatan misalnya, tidak perlu bernuansa tradisional. Nuansa Internasionalpun dibolehkan asal mampu berdaya saing di pasar selera konsumen. Masyarakat Distrik Tokachi di Hokaido prefekture berhasil mengembangkan pemasaran minuman dari anggur (wine) khas produk pertanian unggulan di Tokachi sampai tembus ke Paris. Contoh lain, mungkin melalui perjanjian property right karena tidak ada komplain, buah kiwi Selandia Baru semakin mantap sebagai komoditi eksport Jepang yang berdaya saing dengan eksport negeri asalnya. Akses seperti itulah yang sebenarnya perlu dikembangkan untuk desentralisasi di Indonesia, yang sampai saat ini masih terasa nuansa keseragaman dan sentralistiknya. Taman Nasional Lore Lindu adalah salah satu korban penjarahan lahan karena booming cacao di masa krisis moneter yang lalu. Banyak keanekaragaman hayati yang terdegradasi hanya karena orang ingin ikut untung dari menanam cacao yang notabene exotis dan gampang jadi alat politik persaingan dagang internasional. Kiprah peneliti sangat diperlukan disini, agar keanekaragaman hayati Indonesia yang belum banyak disentuh melalui proses penelitian dan penerapan teknologi yang tepat, akhirnya mempunyai daya saing sebagai produk unggulan kharakteristik daerah. MASYARAKAT SEBAGAI PARTNER Selama ini banyak orang berpendapat bahwa peradaban tradisional yang marginal dan diawetkan masyarakat lokal/adat sulit untuk didekati melalui peradaban modern dengan cara persuasif dan preventif. Pendekatan represif malah dikondisikan oleh pemerintahan orde baru melalui mega proyek translok atau resettlement, dengan dalih pembangunan konservasi terpadu. Pelajaran yang saya peroleh dari West Bengal India pada pelatihan pengelolaan hutan melalui pendekatan sistemik partisipatif di bulan Februari 2000 yang lalu, memberikan hikmah yang berarti yaitu bagaimana penelitian punya peran prima dalam mengkondisikan masyarakat sebagai partner dan bukan sebagai custommer (pelanggan) dalam pengelolaan hutan partisipatif melalui co-management dengan masyarakat tepian hutan. Di India, khususnya West-Bengal, upaya tersebut terlihat sangat lemah akselerasinya karena alasan politis, antara lain : kemenangan partai komunis pada pemilu 1999 dan masih kentalnya faham castaism yang hidup dalam budaya masyarakat. Tugas peneliti sebelum menjurus ke penelitian pokoknya harus sadar akan tanggung jawab dan tanggung gugat atas hasil penelitiannya, terutama kepada masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan atau lokasi penelitiannya.

33

Landasan untuk penyadaran diri (self awareness) telah disiapkan oleh Koentjaraningrat yang dikutip oleh Antropolog Dr. Hans J. Daeng dalam bukunya Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan di halaman 51 52, antara lain yaitu : Berdasar pandangan hidup ,

peradaban tradisional di Indonesia pada umumnya dicirikan oleh manusia berbudaya agraris yang secara pasif menggantungkan hidupnya pada nasib atau kekuatankekuatan alam di sekitarnya. Ciri ini belum tentu negatif selama pengetahuan asalnya

masih mengakomondir kondisi isolasinya. Bila kondisi tersebut pecah oleh berjalannya waktu perubahan, maka pendekatan persuasif yang mewarnai langkah-langkah progres penelitian dan tindak lanjut hasilnya harus dapat mengakomodasikan pertumbuhan menuju beradaban modern dengan ciri pandangan hidup yang positip dan aktif serta kewajiban untuk menentukan nasib sendiri . Kawasan konservasi sebagai media penelitian harus dapat menjawab tantangan tersebut melalui penelitian yang berbasis fungsi kawasan, sehingga dapat mengaplikasikan konteks HAM dalam aspek politik yang tercantum dalam perumusan Rakernas Dephutbun 2000 yaitu : menempatkan manusia/masyarakat sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari ekosistem hutan dan kebun, bukannya sebagai ancaman terhadap sumber daya alam hutan dan kebun.

PROMOSI DAN SWADANA Hasil kunjungan kami ke Jepang untuk kedua kalinya pada September 1999, mendapat hikmah lagi bagaimana kontribusi kawasan konservasi sebagai arena penelitian mendapatkan komitment untuk kebijakan-kebijakan baru prinsip dasar co-management antara Dinas Kehutanan , Lembaga Peneliti Perguruan Tinggi dan Kelembagaan Konservasi yang tumbuh di masyarakat lokal. Pencermatan kami tentang Washabi dan Binchotan menjadi keyakinan kami bagaimana budaya tradisional asli dapat dipertahankan dan dikembangkan dalam modernitas properties bangsa Jepang. Washabi adalah ramuan tradisional sebagai satu-satunya produk Jepang untuk tradisi makan sashimi dan susi . Ramuan tersebut berasal dari jenis tumbuhan semak yang hanya dapat hidup liar di ekosistem hutan alam. Kontribusi penelitian memberikan masukan tentang cara panen dan pemeliharaan pasca panen yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di distrik Ayabe prefekture Kyoto. Pemerintah berinisiatif membuka peluang bisnis ekowisata yang menguntungkan masyarakat tradisional karena sajian susi dan sashiminya. Setiap tahun tak kurang dari 100.000 orang masyarakat dari kawasan industri Jepang berekowisata dan menikmati suasana tradisional nenek moyangnya di Ayabe. Rumah adat dan peralatan teknologi tepat guna ramah lingkungan yang berkesan kuno masih dapat dilihat dan dirasakan di Ayabe. Ini menyebabkan bangsa Jepang tidak banyak kehilangan kesejarahan budayanya. Termasuk penggunaan Binchotan , yaitu produk arang kayu sejenis Quercus spp yang sangat keras dan melenting bila jatuh ke ubin untuk tradisi makan shabu (Japanese grill tradition). Konon arang ini dapat jadi abu seluruhnya dalam durasi tiga hari penggunaan . Manfaat lain untuk arang binchotan ini adalah sebagai absorber biang segala penyakit yang berada pada air minum.

34

Melihat keberhasilan Jepang tersebut, kami mencoba praktek bersama masyarakat Katu yang tinggal di dalam kawasan TN Lore Lindu. Potensi ramuan obat tradisional KB untuk Pria yang masih mereka rahasiakan dan upaya mereka untuk mempertahankan etnobotanis yang berkaitan dengan kurang lebih 30 jenis padi asli di TN Lore Lindu, menjadi obsesi kami untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan resettlement masyarakat Katu melalui CSIACDP yang sebagian besar didanai ADB Loan No.165. Akses penelitian yang mendukung pendekatan antropologis dan etnobotanis, merupakan masukan yang sangat berarti bagi promosi dan pengembangan sistem pengelolaan Taman Nasional atau kawasan konservasi yang berbasis masyarakat lokal menuju ke kemandirian swadana pengelolaan melalui jaringan dan kesepakatan stakeholder termasuk masyarakat adat/lokal dalam pelayanan ekowisata dan prosesing kualitas maupun kemasan dan pemasaran produk asli unggulan lokal. REKOMENDASI Konsep akses untuk menuju pemantapan stasiun penelitian di kawasan konservasi ini , hanyalah penawaran yang masih perlu diuji penerapannya, karena spesifik lokal mungkin lebih banyak membutuhkan kebijakan nasional yang lentur sehingga membuka peluang kreatifitas melalui dialog yang responsif di tingkat lokal. Bagaimanapun juga posisi dan peran penelitian perlu dirubah dengan lebih banyak memperhatikan karakteristik dan manfaat daerah dalam memperkuat fungsi otda. Hal ini penting guna menghentikan akselerasi kehancuran sumber daya NKRI akibat eforia reformasi yang tak mengenal transformasi. Untuk itu secara ringkas dari uraian tersebut diatas, dalam rangka management research station direkomendasikan akses pendekatan sebagai berikut : Co- management. Tata ruang bioeco-regional yang memposisikan kawasan konservasi sebagai inti plasma pembangunan wilayah Penerapan Teknologi Tepat Guna yang ramah lingkungan dan diutamakan untuk dimanfaatkan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Sosio-Eco-Culture sebagai trilogi aspek dasar pengembangan ekonomi lokal melalui proses belajar buttom up system. Daya saing produk unggulan lokal di kancah pasar yang berbasis selera konsumen paham ecological products. Posisi dan peran masyarakat lokal sebagai partner pengembangan nilai tambah produk-produk hasil penelitian ( bukan sebagai pelanggan atau alat) Upaya promosi dan langkah kemandirian pengelolaan kawasan koservasi sebagai unit swadana yang diakui Pemda dan masyarakat lokal/adat setempat. Palu, akhir September 2000.

35

Anda mungkin juga menyukai