Anda di halaman 1dari 119

DAFTAR ISI

JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI


Volume 1, No.2, November 2012
ISSN: 2252-570X

Pengantar Redaksi iii

Kontestasi Elite Dan Marginalisasi Penduduk Lokal Di Lokasi 1


Pertambangan Batu Bara Kutai Kartanegara
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah u

Wacana Pancasila Dalam Era Reformasi (Studi Kebudayaan Terhadap 21


Pasang Surut Wacana Pancasila Dalam Kontestasi Kehidupan Sosial Dan
Politik)
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo u

Politik Adil Gender : Sebuah Paradoks 39


Partini u

Politik Pengakuan Perempuan Dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa 53


Di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani u

Modal Sosial Perempuan Dalam Peran Penguatan Ekonomi Keluarga 69


Dewi Cahyani Puspitasari u

Alfred Schutz : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber 81


Muhammad Supraja u

Gejala Alienasi Dalam Masyarakat Konsumeristik 91


Aditya Permana u

Review Buku 108


Derajad S. Widhyhartou

Biodata Penulis 114


Formulir Berlangganan 115
PENGANTAR REDAKSI

D
inamika sosial telah menciptakan peluang dan tantangan kehidupan masyarakat,
ada yang mampu beradaptasi, ada yang bertahan, ada yang menghindar, ada
yang melawan dan ada pula yang menyerah. Kondisi tersebut mendorong diskusi
maupun pemikiran sosiologis bergerak dinamis dalam “arena konsep dan praksis”. Terdapat
beberapa isu yang dianggap menonjol mempengaruhi “arena” tersebut, diantaranya isu
pengelolaan sumber daya alam, kewarganegaraan, perempuan, tindakan, dan konsumsi.
Isu-isu tersebut memberikan ilustrasi perdebatan pemahaman dan argumentasi teoritik
maupun terapan.
Jurnal Pemikiran Sosiologi (JPS) Volume 1 No.2 November 2012, merupakan edisi kedua
yang diharapkan menjadi titik singgung berbagai perspektif dalam mewacanakan dinamika
sosial saat ini. Dalam penyajiaannya para penulis mengangkat berbagai isu tersebut dalam
kasus Indonesia. Pertama, Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah, alih-alih
memikirkan kepentingan rakyat, pemerintah justru membiarkan pengelolaan sumber daya
alam kepada investor asing. Kontestasi politik terjadi tidak hanya antara negara dengan
korporasi tapi juga dengan warga lokal. Kedua, Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko
Surjo, konflik sosial, politik masih terjadi dibawah kepakan sayap Pancasila, masalah muncul
ketika Pancasila dipahami sebagai instrumen negara, tetapi belum menjadi paham negara.
Ini ditunjukkan dengan berbagai ritualitas Pancasila yang belum menyentuh keyakinan
berbangsa dan bernegara masyarakat Ketiga, Partini, representasi politisi perempuan
menampilkan paradoks antara ide kesetaraan dengan kenyataan praksisnya. Perempuan
diwacanakan agar dapat menempati posisi strategis dalam skema pembangunan namun
implementasinya belum maksimal. Keempat, Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani,
peran perempuan dengan disabilitas baru bisa mendorong adanya transformasi gerakan
perempuan dengan disabilitas. Perubahan tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi dimana
sebelum gempa terjadi, wacana perempuan dengan disabilitas hanya dilihat sebagai
tragedi personal dimana persoalan disabilitas dilihat sebagai masalah individu. Kelima,
Dewi Cahyani Puspitasari, perempuan mampu mendayagunakan sumber ekonomi melalui
pemanfaatan stok modal sosial yang dimilikinya berupa jejaring sosial dalam lingkungan
sosial untuk mempertahankan bahkan meningkatkan ekonomi keluarga. Keenam,
Mohammad Supraja, suatu tindakan secara independen dapat dianggap sebagai subjek
yang melakukan tindakan, namun demikian tindakan merupakan serangkaian pengalaman
yang terbentuk melalui kesadaran nyata dan kesadaran individual aktor. Ketujuh, Aditya
Permana, kapitalisme baru mereifikasi petanda-petanda (signifiers) komoditi dan
melipatnya dalam kebutuhan-kebutuhan palsu (pseudo-needs) yang dijadikan ‘norma sosial’

iii
baru yang berlandaskan pada konsumsi. Kedelapan, Derajad S. Widhyharto, mereview
buku yang berjudul Sociology Economic a Systematic Inquiry. Untuk tujuan akademis,
pelajaran metodologis yang dapat diambil dari buku tersebut adalah “de-embedding” dan
“re-embedding” pasar dan pelaku pasar.

Redaksi

iv
KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN
BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah

Abstrak
“Konstitusi Indonesia menjelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai
oleh negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi
kenyataannya berbeda, pengelolaan kekayaan alam, khususnya barang tambang seperti
mineral dan batubara tidaklah semudah yang dibayangkan dalam konsep teoritis, banyak
kepentingan di belakangnya. Alih-alih memikirkan kepentingan rakyat, pemerintah
justru membiarkan pengelolaan itu kepada investor asing. Kontestasi politik terjadi tidak
hanya antara negara dengan korporasi tapi juga dengan warga lokal. Artikel ini mencoba
menjelaskan fenomena kontestasi dan marginalisasi yang terjadi di Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur”
Kata Kunci : kontestasi, kapitalisme, marginalisasi

Abstract
“ Indonesian constitution explain that earth, water and natural resources are belongs
to state and used for the prosperity of Indonesian people. But the fact is different, the
management of natural resources especially mining such as mineral and coal is not
as easy as what the theoretical concept told, lots of interest behind that. Rather than
thinking about people’s prosperity, government let the foreign corporations to controls
the mining. Political contestation happens not just between state and corporation but
also the local people. This article wants to explain the phenomena of contestation and
marginalization that happened in Kutai Kartanegara, East Kalimantan.”
Keywords: contestation, capitalism, marginalization.

A. Latar Belakang negara dalam pengelolaan kekayaan alam,


tetapi harus untuk kepentingan rakyat. Oleh
Konstitusi mengamanatkan bahwa bumi,
karena itu setiap kebijakan pemerintah
air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara
yang berkaitan dengan kekayaan alam
dan sebesar-besarnya digunakan untuk
harus bersifat populis dengan tekanan pada
kemakmuran rakyat. Amanat konstitusi itu
distribusi hasil tambang bagi pemegang
sesuai dengan prinsip sosialisme demokrasi
kedaulatan, yaitu rakyat. Akan tetapi pada
yang membuka peluang bagi intervensi

1
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

kenyataannya, pengelolaan kekayaan Kehadiran pihak ekternal, yaitu kaum


alam, khususnya barang tambang seperti kapitalisme global mau tidak mau harus
mi­neral dan batubara tidaklah semudah berurusan dengan negara yang memegang
yang dibayangkan, karena banyak ke­ kewenangan pengelolaan sumber daya
pentingan bermain di belakangnya. Alih- alam. Oleh karena itu negara melalui
alih memikirkan kepentingan rakyat, pemerintah mengatur pemanfaatan dan
peme­­rintah justru membiarkan penge­ pengelolaan sumber daya alam ini demi
lolaan itu kepada investor asing dengan sebesar-besarnya untuk kepentingan rak­
per­­timbangan lebih cepat menambah pene­ yat banyak. Akan tetapi dalam praksis
rimaan negara. Akibatnya dalam banyak tidak semudah yang diformulasikan seperti
kasus, justru di daerah di mana me­miliki yang tercantum dalam berbagai peraturan
potensi pertambangan yang besar, tetapi legalistik. Di samping itu, sejumlah produk
rakyat di sekitarnya tetap saja miskin. Lebih perundangan, prosesnya juga diwarnai
jauh lagi, ketika pengelolaan diserahkan oleh hubungan yang dominatif, karena
pada pihak asing, maka meskipun eks­ bagaimanapun peraturan adalah produk
ploitasi sumber daya alam meningkat politik sehingga tidak lepas dari konteks
pesat namun tetap diikuti pertumbuhan politik kelahirannya. Sebagai ilustrasi
manufaktur yang rendah. misalnya, ketika rezim Orde Baru berkuasa
maka melahirkan sejumlah regulasi
Pemerintah sendiri sebenarnya sejak
yang nuansa­nya sangat menguntungkan
dulu telah menyadari potensi kekayaan
kekuatan kapitalisme global, karena dalam
sumber daya alam di Indonesia, terutama
prosesnya memang mendapat tekanan dari
dari sektor pertambangan. Melimpahnya
kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat.
kekayaan sumber daya alam juga sekaligus
PP No 20/1994 tentang penananman modal
menyadarkan bahwa akan menjadi sumber
asing, isinya mempersilahkan investor asing
konflik baik secara internal maupun eks­
dengan leluasa mengeksplorasi dan bahkan
ternal. Dimanapun kekayaan sumber
mengeksploitasi sektor pertambangan.
daya alam di muka bumi ini akan menjadi
Demikian pula pada era reformasi, seperti
pusat perhatian dan mengundang para
UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal
kapitalisme global. Bahkan kepentingan
yang menggelar karpet merah buat investasi
untuk mengeksplorasi sumber-sumber
asing karena tidak lagi pembedaan dengan
kekayaan alam inilah yang terbukti men­
investasi dalam negeri, bagaikan komprador
jadi faktor determinan dinamika eko­
asing yang kian membabat nasionalisme
nomi, politik dan pertahanan. Berbagai
ekonomi yang sebenarnya ditopang dalam
perang yang melibatkan secara masif dari
UUD 1945.
berbagai bangsa di dunia selama ini, juga
tidak lepas dari perebutan sumber daya Khusus dalam peraturan sektor Mineral
alam. Konflik internasional kontemporer, dan Batubara, telah diundangkan UU
terutama juga dipicu oleh perebutan energi No 4/2009 yang mengamanatkan agar
minyak sehingga kawasan Timur Tengah pengelolaan pertambangan Mineral dan
misalnya, akan senantiasa terus menjadi Batubara harus berasaskan manfaat,
daerah konflik yang berkepanjangan seiring keadilan, dan keseimbangan serta berpihak
dengan tingginya nilai energi minyak. pada kepentingan bangsa. Paling tidak ada

2
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

enam isu strategis harus dipatuhi: luas bisa melalui dua pos, yakni pos penerimaan
wilayah kerja pertambangan, perpanjangan pajak dan pos penerimaan bukan pajak.
kontrak, penerimaan negras, kewajiban Penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
divestasi, kewajiban pengolahan dan terkait dengan pertambangan selama ini
perunian, kewajiban penggunaan barang menunjukkan kecenderungan meningkat.
dan jasa dalam negeri. Akan tetapi pada PNBP dari migas meningkat sekitar 15
kenyataannya dalam praktik banyak persen per tahun selama 2005 hingga
kejadian yang menyimpang dari amanat 2010. Sementara itu, pertumbuhan PNBP
undang-undang tersebut. sektor pertambangan, termasuk batubara,
meningkat rata-rata 41,5 persen per tahun.
Dalam kasus tambang batubara juga
tidak jauh berbeda, Indonesia memiliki Akan tetapi, maraknya sektor per­
cadangan sekitar 28 miliar ton, tetapi tambangan dan semakin meningkatnya
anehnya membebaskan ekspor dan per­ pendapatan negara atas eksploitasi
izinan tambangnya yang sangat mudah barang tambang tersebut tidak diikuti
didapat dari pemimpin daerah tanpa kontrol oleh peningkatan kesejahteraan rakyat.
memadai dari pemerintah pusat. Akibatnya Meskipun prestasi ekspor barang tambang
eksportir batubara menjadi raja-raja baru terbilang baik dan bisa meningkatkan
yang sangat kaya raya, dan investor asing pene­rimaan negara, soal perhitungan
menjamur karena kemudahan perizinan. bagi hasil yang berkeadilan, manfaatnya
Jadi pengelolaan batubara tidak dilakukan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat
oleh pemerintah, tetapi lebih banyak dan kelestarian lingkungan masih jauh
diserahkan pada pihak swasta atau investor, dari harapan. Berbagai kasus di Kali­
terutama pihak asing. Investasi asing terus mantan Timur misalnya, para elite
meningkat sebagaimana ditunjukan pada politik dan investor sangat menikmati
realisasi penanaman modal asing yang hasil penambangan batubara, tetapi
meningkat rata-rata 185 persen pertahun. rakyat pada umumnya masih sengsara.
Melalui kebijakan yang mengundang Belum lagi kerugian sosial budaya yang
investor asing itu berbagai mineral, ditimbulkannya. Pada kenyataannya ke­
batubara, hingga minyak dan gas di perut hadir­an para penambang batubara oleh
bumi negeri ini dikeruk serta sebagian perusahaan swasta menimbulkan dampak
besar dijual ke luar negeri. Batubara sosial budaya yang sangat serius. Hilangnya
misalnya, hanya 23 persen produksinya modal sosial seperti nilai gotong royong,
dikonsumsi domestik. Semua itu dilakukan solidaritas, toleransi, dan kebersamaan
karena pemerintah ingin mendapatkan di masyarakat sekitar pertambangan
pemasukan negara secara lebih mudah adalah sederet persoalan sosial budaya
dan cepat. Memang, dibandingkan dengan yang disebabkan oleh ekploitasi tambang
sektor lain, pemasukan devisa dari ekspor batubara.
mineral, batubara, dan migas adalah paling
Demikian pula yang terjadi di wilayah
besar. Seperempat hingga sepertiga total
Kalimantan Timur yang merupakan wilayah
penerimaan negara berasal dari usaha
dengan kandungan batubara terbesar di
pertambangan. Aliran uang ke kas negara
Indonesia. Dalam duabelas tahun terakhir
dari kegiatan pertambangan secara umum
eksploitasi batubara atau yang dikenal

3
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

pula dengan sebutan emas hitam ini ber­ CV Binamitra Sumberarta, CV Firman
langsung secara besar-besaran. Berbagai Bersaudara, Gerbang Petani Mandiri,
investor berdatangan ke wilayah ini baik Kaltim Batu Manunggal, Komunitas
dari dalam maupun luar negeri untuk Bangun Bersama, Mery Jaya, Perdana
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya Maju Utama, Permata Hitam Indah, Rindu
dari tambang batubara. Didukung oleh Alam, Sejahtera, Tahta Pokmas, Tunas
kebijakan pemerintah daerah, eksploitasi Jaya, Mega Prima Persada, dan PT Bukit
emas hitam semakin menjadi-jadi, se­ Berdiri Enterprice. Kapasitas produksi
hingga menimbulkan kerusakan ekologi dari perusahaan batubara tersebut men­
cukup signifikan. Maraknya penambangan capai 3.158 990 355 ton. Dari sejumlah
batubara dapat dilihat dari banyaknya perusahaan tersebut, sekitar 60 persen
kapal-kapal pengangkut batubara atau yang merupakan perusahaan asing sehingga
populer disebut Tongkang. Berdasarkan terkait dengan kapitalisme global.
hasil pengamatan di lapangan, setiap hari
Kabupaten Kukar benar-benar menjadi
lebih dari 10 kapal tongkang lalulalang di
tempat hunian dan sekaligus arena
sungai Mahakam mengangkut batubara
pertarungan para aktor yang memburu
untuk diekspor. Satu kapal tongkang ber­
‘emas hitam’. Atmosfir kota Tenggarong
kapasitas rata-rata 8 ribu ton batubara,
pada khususnya, dan Kalimantan Timur
dengan nilai antara 6-9 milyar rupiah.
pada umumnya penuh dengan wacana di
Jika pada dekade tujuhpuluhan hingga
seputar isu batubara. Barang milik alam ini
sembilanpuluhan, sungai Mahakam ramai
telah menjadi teks dan praktik kebudayaan
dengan kapal-kapal yang mengangkut kayu
yang sarat dengan nuansa politik. Batubara
dari hutan tropis Kalimantan, sekarang
tidak lagi bermakna sebagai benda mati
lebih banyak didominasi komoditas barang
yang berfungsi sebagai salah satu sumber
tambang, khususnya batubara. Memang
energi, tetapi telah berfungsi menjadi
masih ada perdangangan kayu, tetapi
penentu dalam memaknai hidup. Dengan
volumenya jauh menurun dibandingkan
batubara warga Kutai Kartanegara meng­
era Orde Baru. Sekarang berganti batubara
konstruksi identitasnya secara dinamik
yang menjadi komoditas strategis dan
yang termanifestasi pada gaya hidupnya
menjadi faktor determinan terhadap denyut
sehari-hari.
perekonomian Kalimantan Timur. Dengan
deposit sekitar 8 milyar ton batubara, Akan tetapi tidak jauh berbeda dengan
maka tidak mengherankan jika daerah daerah lain, maraknya pertambangan
ini sekarang bergantung pada komoditas batubara di Kaltim tidak berbanding lurus
batubara. Oleh karena itu batubara berada dengan tingkat kesejahteraan penduduk
dalam posisi sentral dan menentukan setempat. Penduduk di sekitar lokasi
terhadap berbagai sektor lainnya, terutama pertambangan kurang menikmati hasil
sektor perdagangan dan industri. emas hitam tersebut, hasilnya lebih banyak
dinikmati oleh para investor dan jajaran
Kaum kapitalis di Kutai Kertanegara
pejabat daerah. Bahkan masyarakat di
telah memiliki perusahaan yang bergerak
sekitar pertambangan semakin termar­
dalam pertambangan batubara antara lain
ginalisasikan baik secara sosial maupun
CV Arya Duta, CV Benua Bara Lestari,
kultural. Semangat kebersamaan yang

4
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

dahulu menjadi modal sosial bagi tatanan negara. Proses ini merupakan hasil dari
kehidupan warga secara harmonis, kini perkembangan teknologi informasi dan
semakin memudar karena terkikis oleh arus komunikasi yang revolusioner, liberalisasi
kapitalisasi yang kian deras. Oleh karena itu perdagangan, dan keuangan di negara-
studi ini akan melihat bagaimana kondisi negara besar (Young Rae Kim dkk., 2002).
warga di seputar lokasi pertambangan Suatu proses meningkatnya keterkaitan
dari perspektif kajian budaya. Sejumlah antar masyarakat sehingga satu peristiwa
pertanyaan diajukan dalam studi ini antara terjadi di wilayah tertentu semakin lama
lain: siapa aktor dalam berebut batubara akan kian berpengaruh terhadap manusia
dan bagaimana proses tarik-menarik ke­ dan masyarakat yang hidup di bagian lain
pentingannya?; bagaimana ideologi kapi­ di muka bumi (Baylis dan Smith, 1997).
talis global beroperasi dalam struktur
Sebuah teori globalisasi yang banyak
kesadaran lokal dan menghancurkan nilai
dibicarakan dalam forum akademik secara
lokal?; dan bagaimana perlawanan warga
meluas, antara lain teori sistem-dunia dari
di seputar lokasi pertambangan terhadap
Immanuel Wallerstein. Teori ini merupakan
maraknya pertambangan batubara?
teori tentang sejarah, dan sejarah yang
B. Kajian Teoretik diteorisasikannya adalah sejarah kapital­
isme global. Karya besar Wallerstein
Sebagai usaha untuk menjelaskan ber­
terdiri dari tiga volume berjudul The
bagai fenomena di seputar marginalisasi
Modern WorldSystem diawali abad awal
warga di sekitar lokasi pertambangan maka
keenambelas yang panjang, periode lepas
peneliti menggunakan teori globalisasi
landas ekonomi dunia kapitalis. Inti dari
neo-Marxian dan teori modernisasi mulai
sistem dunia pada periode awal kapitalis
dari Wallerstein hingga Anthony Giddens.
yang terjadi di Prancis dan sekitarnya
Sementara itu tidak menutup kemungkinan
yang membentang di tepian sungai Rhine,
akan menggunakan teori lain yang
Inggris, dan juga kota-kota Italia utara
dipandang relevan dengan isu marginalisasi
berubah ke arah industri manufaktur sambil
penduduk lokal.
terus mengandalkan pada daerah-daerah
1. Teori Globalisasi periferi untuk mendapatkan produk-produk
Holm dan Sorensen memahami globali­ pertanian dan bahan-bahan baku lainnya.
sasi sebagai semakin meningkatnya inten­ Didukung oleh kekuatan dan kekuasaan
sitas hubungan lintas batas negara baik negara-negara yang semakin mapan, kelas-
dalam bidang ekonomi, politik, sosial, kelas kapitalis di pusat (center) membentuk
dan budaya (Holton, 1998). Wallerstein suatu siklus superioritas ekonomi dan
memandang globalisasi tidak lebih dari militer yang saling mendukung. Indus­
wujud kejayaan ekonomi kapitalis dunia trialisasi negara-negara inti pada abad
yang diterapkan oleh logika akumulasi kedelapanbelas dan abad kesembilanbelas
kapital (Holton, 1998). Jin-Young Chung meningkatkan keunggulan relatif negara-
mendefinisikan globalisasi sebagai ter­ negara pusat itu, yang melahirkan satu fase
integrasinya dunia melalui peningkatan kolonisasi intensif dalam sejarah dunia
arus kapital, hasil-hasil produksi, jasa, yang tampaknya membawa seluruh bumi
ide, dan manusia yang lintas batas ini ke dalam ekonomi dunia kapitalis di

5
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

bawah kepemimpinan imperium-imperium Marxian dan penekannya pada ekonomi,


yang kekuasaannya membentang hingga teori sistem-dunia mengedepankan dua
ke berbagai belahan bumi dan berpusat di isu yang saling berkaitan: eksploitasi dan
tangan keuatan-kekuatan inti yang saling ketidaksetaraan. Inti mengeksploitasi yang
bersaing (Boli dan Lechner, 2009: 558). bukan negara inti, kapital mengeksploitasi
tenaga buruh. Eksploitasi meningkatkan
Jadi, dalam pegertian yang lebih
akumulasi kapital di negara-negara
abstrak, teori sistem-dunia memahami
inti, tetapi menghambatnya di periferi
ekonomi dunia ini sebagai terdiri dari
sehingga melanggengkan struktur sistem
tiga zona: inti (core), periferi, dan semi-
dunia yang paling mendasar. Munculah
periferi. Inti adalah zona yang memimpin,
ketidakadilan atau ketidaksetaraan yang
yang bercirikan pasar-pasar yang relatif
sangat menganakemaskan negara inti
bebas untuk memperdagangkan tenaga
dan menganaktirikan yang bukan inti,
kerja, tanah, dan kapital; teknologi
menguntungkan pemilik kapital dan
maju, tenaga kerja terampil dan dengan
merugikan buruh, menganakemaskan-
demikian, produktivitas tenaga kerja yang
elite dan nasional dan menganaktirikan
tinggi; kapital dalam jumlah yang besar
kelas menengah dan kelas bawah. Ketidak­
dan akumulasi kapital berlangsung terus-
setaraan atau ketidakadilan tidak terlalu
menerus; keunggulan-keunggulan yang
parah di negara-negara inti di mana buruh
meng­ikutinya dalam bentuk sumber-
terorganisir dengan baik (seperti di negarta-
sumber daya dan kekuatan koersif yang
negara kesejahteraan di Eropa Barat dan
memungkinkannya mendominasi ekonomi
Utara) tetapi sangat parah di tempat-
dunia. Periferi, sangat tunduk kepada dan
tempat lain. Negara-negara tertentu boleh
dieksploitasi oleh negara-negara inti, pada
saja berdiri, berjaya, atau runtuh, tetapi
awalnya bercirikan bentuk-bentuk tenaga
struktur stratifikasi pasar umumnya tetap
kerja paksa (penghambatan, perbudakan,
kukuh, dan tendensi inheren ekonomi
status kontrak, dan semacamnya), pasar-
dunia kapitalis adalah meningkatkan
pasar tanah dan kapital yang serba
ketidakadilan.
terbatas, rendahnya tingkat teknologi
dan keterampilan buruh, rendahnya pro­ 2 . Globalisasi dan Tekno­kapital­isme
duktivitas dan terbatasnya akumulasi
Menurut Anthony Giddens, globalisasi
kapital. Negara-negara semi-periferi men­
sebagai sebuah proses sosial yang ditandai
duduki satu zona “antara” dengan tingkat
dengan semakin intensifnya hubungan
perkembangan yang sedang, dieksploitasi
sosial yang mengglobal. Kehidupan sosial
oleh negara-negara inti atau pusat tetapi
di satu wilayah akan berpengaruh pada
mengeksploitasi bagian-bagian tertentu
kehiduapan manusia di wilayah lain, dan
wilayah periferi. Dengan demikian semi-
begitu sebaliknya. Jika sepakat dengan
periferi memediasi ketegangan-ketegangan
Anthony Giddens ketika ia bicara dalam
antara inti dan periferi, berkonstribusi
bukunya Modernity and Self Identity (1991),
bagi stabilitas keseluruhan sistem dunia
modernitas melakukan de-tradisionalisasi
sekaligus merupakan satu ancaman
yang diciptakan oleh globalisasi. Mengikuti
tersendiri bagi negara-negara inti.
pandangan Giddens, modernitas adalah se­
Mengingat teori ini berlandaskan buah gerakan perubahan di segala bidang

6
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

yang pada intinya mengklaim perlunya bahwa terdapat ciri-ciri progresif dan
efisiensi dan serba praktis atas nama emansipatoris globalisasi dan bahwa
peningkatan kualtias hidup manusia yang orang harus berbicara tentang keduanya.
menggunakan logika positivistik. Dalam Faktor pemisah utama, sekali lagi dengan
pandangan positivistik, perkembangan perspektif dialektik adalah perbedaan
masyarakat bergerak secara linier, dimulai antara globalisasi yang dipaksakan dari
dari masyarakat primitif, tradisional, atas dengan yang tumbuh dari bawah. Yang
dan modern. Konsekuensi atas obsesi kedua ini adalah akibat dari kontestasi dan
berkembang menjadi masyarakat modern, rekonfigurasi hal-hal yang diterapkan pada
maka asumsi utamanya adalah bahwa tingkat masyarakat yang lebih rendah.
primitivitas dan tradisionalisme adalah Demokrasi bisa berasal dari bawah, dan
penghambat masyarakat modern. Karena pada taraf global hal ini bertentangan
itu jika pilihannya menjadi masyarakat dengan kekuatan otoriter dari atas (Kellner,
modern, maka harus diikuti oleh detra­ 2002, dalam Ritzer, 2004: 636).
disionalisasi.
Sementara itu Ulrich Beck membedakan
Menurut Anthony Giddens, globalisasi tiga konsep utama, yaitu globalisme,
sebagai sebuah proses sosial ditandai globalitas, dan globalisasi. Globalisme
dengan semakin intensifnya hubungan adalah pandangan bahwa dunia ini
sosial yang mengglobal. Kehidupan sosial didominasi oleh ekonomi dan bahwa kita
di satu wilayah akan berpengaruh pada tengah menyaksikan munculnya hegemoni
kehidupan manusia di wilayah lain. Pada pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal
kenyataannya, yang mengalami globalisasi yang mendukungnnya. Bagi Beck, hal itu
adalah nilai-nilai modernitas yang ber­ melibatkan pemikiran monokausal dan
ekspansi ke wilayah-wilayah tradisional, linier. Multidimensionalitas perkembangan
terutama ke daerah pedesaan dan pinggiran. global seperti ekologi, politik, kebudayaan,
Oleh karena itu modernitas sebagai sebuah dan masyarakat sipil secara tidak tepat
gerakan yang mengglobal terus melakukan direduksi menjadi satu dimensi ekonomi
tekanan pada tradisionalisme. tunggal. Kendati mengkritik globalisme,
Beck melihat adanya sejumlah nilai
Sementara itu, Douglas Kellner mem­
lebih dalam gagasan globalitas, di mana
punyai perhatian terhadap fenomena
ruang-ruang tertutup, khususnya yang
globalisasi yang dilihatnya dari perspektif
diasosiasikan dengan bangsa, semakin
kritis dan neo-Marxian. Ia berargumen
menjadi ilusi. Mereka menjadi ilusi karena
bahwa kunci untuk memahami globalisasi
globalisasi, atau proses ketika negara-
adalah dengan meneorikannya sekaligus
negara bangsa yang berdaulat dikotak-
sebagai produk revolusi teknologi dan
kotakan dan digerogoti oleh aktor-aktor
restrukturisasi global atas kapitalisme.
transnasional dengan beragam prospek
Namun, perubahan itu terkait erat dengan
kekuasaan, orientasi, identitas, dan
faktor-faktor politik dan sosial, karena itu
jaringan. Proses transnasional itu bukan
ia menganjurkan agar melihat globalisasi
hanya bersifat ekonomis, tetapi juga
dari perspektif dialektik antara teknologi,
melibatkan masalah ekologi, kebudayaan,
ekonomi, politik, dan kebudayaan.
batas-batas negara, dan masyarakat sipil.
Pers­­pektif dialektik juga menjelaskan

7
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Proses transnasional itu melewati batas- Selanjutnya Giddens (1984) mengguna­


batas bangsa, mendorongnya untuk terus kan konsep Goffman (1969) tentang
meluber, kalaupun tidak menjadi sesuatu wilayah ‘depan’ dan ‘belakang’ untuk meng­
yang tak relevan. Globalitas berarti bahwa ilustrasikan suatu divergensi mendasar
mulai dari sekarang, tidak ada lagi kejadian- aktivitas sosial-spasial. Ruang depan
kejadian di atas planet bumi ini yang akan adalah tempat di mana kita memasukkan
jadi kejadian lokal semata (Beck, 2000: 11). ke dalam pertunjukkan ‘di atas panggung’
publik segala aktivitas yang dibuat-buat,
3. Teori Ruang
formal dan dapat diterima secara sosial.
Sejak era 1970-an, telah muncul banyak Wilayah belakang adalah ruang di mana
minat dalam teori sosial dan teori kultural kita berada ‘di belakang layar’, menyiapkan
sehubungan dengan persoalan ruang dan pertunjukkan bagi publik atau tempat di
tempat. Sebelumnya, teori modern lebih mana kita bisa santai atau tampil dengan
tertarik kepada waktu, dengan melihatnya peirlaku dan tuturan tidak terlalu formal.
sebagai lapangan dinamis perubahan Pembagian ruang secara sosial ke dalam
sosial, sedangkan tempat dipandang se­ kawasan depan dan belakang atau ke dalam
bagai sesuatu yang mati, mapan dan tidak pemakaian dapur, kamar tidur dan parlour
ber­gerak, yang dilalui oleh gerak sejarah. secara benar tentu saja bersifat kultural.
Sebagaimana kata Foucault, ‘seluruh se­ Kebudayaan yang berbeda mendesain
jarah tetap tertulis ke dalam ruang-ruang rumah dengan cara yang berbeda, meng­
–yang pada saat yang sama akan menjadi alokasikan pertentangan makna atau cara
sejarah kekuasaan-keduanya bersifat berperilaku yang sesuai.
plural-mulai dari strategi-strategi besar
Dalam konteks dengan masalah studi
geopolitik sampai taktik sederhana suatu
ini, teori ruang yang juga sering dipakai
habitat’ (Foucault, dikutip oleh Soja, 1995b:
dalam tradisi Cultural Studies, adalah yang
14, dalam Barker, 2000: 307).Sebagaimana
berkaitan dengan ruang perkotaan. Dengan
dikatakan Giddens (1984), pemahaman
mengambil lokasi di kota Tenggarong yang
tentang bagaimana aktivitas manusia di­
digerakan oleh komoditas batubara, maka
distribusikan dalam ruang adalah satu
akan dilihat bagaimana ruang perkotaan
hal mendasar dalam analisis kehidupan
menjadi arena dan tempat bagi kontestasi di
sosial. interaksi manusia terjadi pada ruang
antara para aktor yang terlibat dalam berebut
tertentu yang mengandung berbagai makna
‘emas hitam’ atau batubara. Oleh karena itu
sosial. sebagai contoh, ‘rumah’ dibagi ke
akan digunakan karya Harvey (1973, 1985)
dalam ruang-ruang hunian-ruang depan,
dan Castells (1977, 1983) yang menekankan
dapur, ruang makan, kamar tidur, dll-yang
kepada strukturasi dan restrukturisasi
digunakan dengan berbagai cara dan tempat
ruang sebagai suatu lingkungan yang
di mana kita melakukan berbagai aktivitas
diciptakan melalui perluasan kapitalisme
dengan makna sosial yang berbeda. Menurut
industri. Mereka berpendapat bahwa
argumen ini, kamar tidur adalah ruang
geografi kota bukan merupakan akibat dari
intim di mana kita jarang mengundang
‘kekuatan alamiah’ melainkan kekuasaan
orang asing, sementara ruang depan atau
kapitalisme dalam menciptakan pasar dan
parlour dipandang sebagai tempat yang
mengendalikan tenaga kerja. Komodifikasi
cocok bagi pertemuan semacam itu.

8
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

dan pencarian pasar baru yang didorong masa restrukturisasi kapitalisme pada tahun
oleh korporasi kapitalis menjadikan mereka 1980-an dan 1990-an. Memang, bagi Harvey
sensitif terhadap pertanyaan tentang lokasi dan Castells, reorganisasi kota adalah suatu
keuntungan relatif yang mereka peroleh. aspek dari restrukturisasi kapitalisme
Upah kerja yang lebih rendah, unionisasi pada skala global, mengilustrasikan bahwa
yang lebih lemah dan konsesi pajak meng­ tempat kehidupan perkotaan tengah berada
arahkan perusahaan untuk lebih memilih di atas jalan panjang ketergantungan dan
tempat-tempat tertentu ketimbang tempat eksploitasi yang membangun kapitalisme
lain sebagai lokasi perkebunan, pasar di seluruh penjuru dunia (Barker, 2000:
dan pembangunan. Mirip dengan itu, 316). Dengan penjelasan Harvey dan
ke­butuhan untuk menemukan bentuk Castells tersebut kota Tenggarong tumbuh
investasi alternatif, dan kondisi khas pasar pesat karena kehadiran kaum kapitalis
dan intervensi negara, membantu sejumlah yang mengekplorasi dan mengeksploitasi
sektor ekonomi (dan beberapa tempat) sumber daya alam, khususnya batubara.
untuk mendapatkan preferensi (Barker, Para kapitalis mencari wilayah baru dan
2000:316). memperluas usahanya dengan melakukan
diversifikasi usaha, setelah menjadikan
Bagi Harvey, negara telah memainkan
bisnis batubara sebagai bisnis utama.
peran utama dalam reproduksi kapitalisme
Para pemburu batubara ini kemudian
dan pembentukan lingkungan perkotaan.
meramaikan dan bahkan menjadi faktor
Sebagai contoh, ekspansi pasca perang
penentu bagi berbagai sektor di Tenggarong.
warga suburban adalah akibat dari,
Berkelindan dengan kekuatan birokrasi
paling tidak sebagian, pembebasan pajak
dan politik lokal, maka perburuan batubara
yang diberikan kepada pemilik rumah
menjadikan Tenggarong benar-benar
dan perusahaan konstruksi, dijalan­kan­
menjadi arena pertarungan dari berbagai
nya pengaturan pinjaman oleh bank/
kepentingan. Praktik kebudayaan kota pun
asosiasi pengembang, dan ber­operasi­
mengalami dinamika luar biasa, dan tentu
nya transportasi, telekomunikasi dan
saja dalam pertarungan itu ada pihak yang
infra­struktur kesejahteraan yang di­per­
dominan dan ada yang terpinggirkan.
lukan agar kawasan suburban bisa ber­
kembang. Bagi Castells, rumah, sekolah, 4. Teori Marginalitas
jasa transportasi, fasilitas hiburan dan
Sementara itu untuk menjelaskan
pembagian kesejahteraan adalah suatu
fenomena marginalitas penduduk lokal
aspek dari ‘konsumsi kolektif’ yang melekat
dalam kaitannya dengan globalisasi
dalam kapitalisme dan penciptaan suatu
sebagai sebuah gerakan, bisa meminjam
lingkungan perkotaan yang kondusif bagi
penjelasan dari teori ketergantungan.
bisnis.
Dalam konteks global, hubungan pusat
Kota dikatakan sebagai tempat per­ dan pinggiran ada yang mencoba mengkaji
juangan kelas yang ditimbulkan oleh dari teori ketergantungan. Gunder Frank
kapitalisme dan ditandai oleh perseteruan (1957) mengenalkan teori ketergantungan
atas kontrol ruang dan distribusi sumber pada tahun 1967 dengan memanfaatkan
daya. Ini meliputi konflik atas pemotongan tesis Paul Baran yang menyatakan bahwa
pengeluaran untuk kesejahteraan selama eksploitasi Dunia Ketiga tidak hanya makin

9
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

meluas setelah berakhirnya era kolonial, an marjinalitas paling kontemporer me­


tetapi juga menjadi makin “efektif.” Keter­­ lahirkan ide baru untuk menggabungkan
belakangan merupakan akibat dari peng­ gagasan kekuatan dominasi dengan spasial
hisapan ekonomi dari daerah tertinggal dengan membangun metafora “menjadi
oleh kapitalisme metropolitan yang maju. marjinal terkadang lebih dipilih untuk
Frank memberikan frase menarik untuk memiliki lebih sedikit daya dan menjadi
proses ini dengan istilah “pembangunan agak jauh dari pusat kekuasaan”.
keterbelakangan”. Menurutnya, pem­ba­
C. Metode Penelitian
ngun­an dan keterbelakangan bukan ha­nya
relatif dan kuantitatif, tetapi juga “relasional Penelitian ini merupakan penelitian
dan kualitatif” karena “ber­beda secara lapangan dengan pendekatan kualitatif,
struktural.” Mekanisme ka­pitalis yang sama yaitu dengan observasi langsung ke lokasi
akan menghasilkan perkembangan atau yang menjadi subyek utama penelitian, yaitu
kemajuan di pusat dan keterbelakangan di masyarakat lokal di seputar pertambangan
pinggiran (Frank, 1957). Konsep marjinal Batubara Kutai Kartanegara. Dalam usaha
dalam konteks ini merujuk ke individu mengembangkan teori berdasarkan data
atau kelompok yang “terisolasi’’ atau tidak lapangan, metode observasi partisipasi juga
sesuai dengan masyarakat atau budaya yang di lakukan. Studi lapangan ini terutama
dominan dan dianggap sebagai pinggiran digunakan untuk mengidentifikasi situasi
dalam masyarakat atau unit sosial, ter­ dan kondisi obyektif dinamika masyarakat
masuk kelompok minoritas dengan im­ lokal di seputar lokasi pertambangan. Di
plikasi yang merugikan. Di sisi lain, samping itu penelitian ini juga merupakan
marjinal dari sudut pandang administrasi studi dokumentasi sehingga membimbing
dianggap penting karena di luar arus utama penelitian ini pada pengumpulan data
yang dekat dengan kekuasaan dan pusat sekunder berupa dokumen-dokumen dari
kendali dibutuhkan dukungan kekuatan segenap teks, yang berkaitan dengan proses
yang merujuk pada daerah pinggiran atau marginalisasi penduduk lokal di sekitar
perbatasan. pertambangan Batubara. Dengan kata lain,
studi ini merupakan perpaduan antara
Dalam beberapa dekade terakhir, ke­
kerja lapangan (field work) dan kerja
lompok politik kehilangan haknya untuk
pustaka dengan penggalian data skunder
mengekspresikan perasaan mereka tentang
melalui pelacakan dari dokumen otentik.
tempat mereka dalam demokrasi, atau
Kerja lapangan dimaksudkan untuk dapat
bahkan di ekonomi global. Beberapa in­
mengeksplorasi dan memperoleh data
dividu dan kelompok menggunakan ide
primer (first hand informations) dan kerja
marjinalitas untuk menggambarkan ke­
pustaka dimaksudkan untuk mengkaji data
lom­pok yang dianggap berada di luar
sekunder (second hand informations).
arus utama. Para ahli ilmu politik telah
Penggunaan perpaduan antara data
mengembangkan ide marjinalitas ini, dan
primer dan sekunder diharapkan akan
konsep yang menyertainya tentang “pusat’’
dapat menghasilkan akurasi analisis dan
dan “pinggiran”, untuk menciptakan cara-
kedalaman interpretasi atas masalah
cara baru dalam mengerti atau memahami
tersebut.
bahasa dan kekuasaan. Penggunaan gagas­

10
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

D. Pembahasan mengundang para investor asing itu dengan


sikap “pasrah”, dalam arti menyerahkan
Tenggarong adalah sebuah panggung
sepenuhnya pada investor untuk melakukan
kontestasi perebutan batubara. Berbagai
sekehendak hatinya dalam menambang
aktivitas politik dan ekonomi bahkan
batubara. Tidak ada negosiasi kritis,
kultural adalah sebuah manifestasi kon­
apalagi semacam pengawasan terhadap
testasi untuk meraih rejeki batubara.
ber­operasinya para investor dalam me­
Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan
nambang batubara, tidak peduli bahwa
daerah yang kaya akan sumber daya alam
itu semua akan merusak lingkungan alam,
terutama minyak bumi dan gas alam (migas)
termasuk dampak sosial-budayanya.
serta batubara sehingga perekonomian
Kutai Kartanegara masih didominasi oleh Cara berpikir yang berorientasi pada
sektor pertambangan dan penggalian yang pertumbuhan merasuk pada jajaran
mencapai lebih dari 77%. Sektor pertanian birokrasi, sehingga pendapatan dari sektor
dan kehutanan hanya memberikan pertambangan, khususnya batubara, harus
konstribusi sekitar 11%, sedangkan sisanya dilipatgandakan. Batubara harus dijadikan
disumbangkan dari sektor perdagangan sebagai sumber utama dalam pendapatan
dan hotel, yakni kurang lebih 3%, industri daerah, setelah kayu glondongan sudah
pengolahan sekitar 2,5%, bangunan 3%, habis dibabat. Akibat dari orientasi
keuangan 1% dan sektor lainnya sekitar 2%. pertumbuhan, yang berarti terobsesi
pelipat­gandaan pendapatan, maka se­
Tidak ada pembicaraan yang begitu
jumlah aturan diproduksi agar eksplorasi
antusias bagi warga masyarakat Tenggarong
besar-besaran terhadap batubara semakin
kecuali batubara. Hampir setiap orang,
terbuka dan lancar. Karena itu, kebijakan
terlepas dari posisi sosialnya, semuanya
pemerintah Tenggarong sangat membuka
berbicara soal batubara menurut tafsir,
terhadap hadirnya investor asing agar
pemaknaan, dan kepentingan masing-
mengeksplorasi batubara. Maka sejumlah
masing. Di kalangan elite Tenggarong,
perusahaan asing berdatangan ikut me­
batubara adalah komoditas tambang yang
nambang batubara dalam skala besar.
bagaimanapun harus dieksplorasi untuk
meningkatkan pendapatan daerah. Para 1. Aktor Kontestasi
petinggi di jajaran birokrasi, menempatkan
Setidaknya terdapat beberapa aktor yang
batubara sebagai barang strategis yang
berhasil diidentifikasi dalam kontestasi
bernilai ekonomi tinggi oleh karena itu
memperebutkan batubara. Pertama adalah
harus dikelola dan dikuasai. Segenap
pemerintah baik pusat maupun kabupaten;
peraturan harus dibuat agar batubara dapat
investor baik asing maupun nasional;
dieksplorasi, ditambang, dan dijual. Tidak
politisi dan Parpol, aparat keamanan,
penting bahwa apakah di masa mendatang
tokoh masyarakat, ormas, LSM, dan warga
akan membawa dampak atau risiko negatif
masya­rakat pada umumnya. Semuanya
bagi kehidupan bersama, yang penting
ber­usaha menunjukkan eksistensinya
adalah bagaimana agar batubara dikuasai
mana­­kala berurusan dengan batubara,
dan digali secara besar-besaran untuk
dan tentu saja di antara mereka saling ber­
kemudian dijual. Lebih dari itu, Pemkab
kontestasi berebut rejeki batubara, yang
Tenggarong memang secara sengaja

11
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

oleh masyarakat Kaltim populer diplesetkan dengan pemerintah pusat, mereka ber­
kepanjangan dari Batu Tuhan Bagi Rata. tarung untuk mendapatkan restribusi
batubara. Sementara kontestasinya dengan
Pemerintah melalui Kementerian ESDM,
para investor, dengan “senjata” Perda
mengklaim mempunyai kewenangan utama
Pembuangan Limbah, adalah cara untuk
dalam kepemilikan batubara, sehingga
mendapatkan bagian kue batubara dengan
siapa pun yang ingin mengelola batubara
menekan para investor.
harus berurusan dengan pemerintah pusat.
Oleh karena itu hasil tambang batubara Memang harus diakui bahwa niat awal
sebagian besar harus diambil pemerintah Pemkab Kukar menerbitkan berbagai
pusat. Sementara itu pemerintah daerah produk hukum, seperti Perda dan SK
baik Pemprov Kaltim dan Pemkab Kutai Bupati misalnya, untuk mengatur tata
Kartanegara juga menjadi kontestan kelola pertambangan batubara demi kepen­
perebutan batubara. Dengan mengklaim tingan kesejahteraan rakyat, dan sekaligus
sebagai tanah wilayahnya, maka siapa pun peduli pada pelestarian lingkungan
yang ingin menambang batubara harus hidup. Perda Pembuangan Limbah ter­
seiizin pemerintah daerah. Meskipun sama- sebut misalnya, jelas spirit utama pro­
sama aktor dari kalangan pemerintah, di duk hukum ini adalah demi menjaga
antara mereka juga berkontestasi. Misalnya pelestarian lingkungan hidup. Munculnya
persoalan retribusi batubara, hingga peraturan ini pun merupakan respons
sekarang tarik-menarik kepentingan antara atas munculnya masalah ketidaktertiban
pemerintah pusat dan pemkab Kukar dan ketidakpedulian perusahaan batubara
masih terus terjadi. Pemkab Kukar merasa terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi
memiliki wilayah luas yang kaya kandungan Perda semacam itu jika dicermati secara
batubara, tetapi kurang memberikan teliti merupakan modus elite pemerintah
kontribusi signifikan terhadap APBD. untuk berebut rejeki batubara. Ada celah
Karena itu pernah Pemkab Kukar membuat yang digunakan untuk memeras para
Perda untuk memungut retribusi 50 cen US perusahaan sehingga menjadi pintu masuk
Dollar per tonnya, tetapi Perda ini ditolak untuk mengakses rejeki batura. Jadi
oleh pemerintah pusat. modusnya menjual pasal-pasal yang berisi
sangsi atau ancaman kepada para investor,
Merasa sulit memungut dari Perda
tetapi sekaligus membuka ruang untuk
retribusi, maka Pemkab Kukar membuat
“negosiasi”. Sudah menjadi rahasia umum
Perda lain yang berpotensi untuk men­
jika makna negosiasi di sini adalah bersifat
dapatkan rejeki “emas hitam”. Perda
transaksional. Karena itu soal Amdal
No. 2 Tahun 2006 Tentang Izin Pem­
misalnya, akan dengan mudah menjadi
buangan Limbah untuk Kegiatan Per­
ajang permainan negosiasi yang ujung-
tambangan Batubara, adalah sebuah
ujungnya adalah uang dengan prinsip tahu
produk perundangan yang pada praktiknya
sama tahu.
sangat membuka peluang Pemkab untuk
menekan perusahaan penambangan batu­ Sudah menjadi rahasia umum pula
bara. Pembuatan peraturan oleh Perda jika kalangan birokrat pemerintahan jika
Pemkab Kukar juga merupakan cara untuk berelasi dengan kaum bisnis menjadikan
berebut kue batubara. Ketika berkontestasi segenap produk hukum sebagai komoditas

12
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

untuk memperoleh keuntungan. Teks penambangan batubara.


per­aturan adalah memiliki kandungan
Aktor lain adalah para investor baik
kekuasaan, yaitu ketentutan sah untuk
asing maupun dalam negeri yang sejak lama
memaksa para pihak yang dikenai peraturan.
berkepentingan mengeksplorasi batubara
Celah ini akan dimanfaatkan oleh segenap
di Kalimantan. Para investor asing,
birokrat yang memiliki kekuasaan untuk
umumnya datang dari RRC, Malaysia,
menutup perusahaan atau ijin dicabut,
Jepang, dan Korea Selatan. Setidaknya
atau juga setidaknya tidak diperpanjang,
hingga tahun 2010, pemerintah Kalimantan
jika melanggar aturan yang sejak awal sulit
Timur telah memberi izin kepada 33
dipenuhi. Jadi posisi perusahaan berada
perusahaan asing dan nasional berskala
dalam posisi dependen ketika berhadapan
besar mengeruk batubara. Pemerintah
dengan para birokrat. Di balik teks Perda
juga memberi 1.212 izin untuk Konsensi
itulah, para birokrat memainkan kekuasaan
Pertambangan atau yang populer dengan
dengan motif laba.
singkatan KP bagi perusahaan tambang
Tidak pernah menyadari bahwa teks berskala kecil. Sepanjang tahun 2007-
Perda adalah amanat rakyat, karena 2008, Pemprov Kaltim telah mengeluarkan
prosesnya melalui perdebatan di lembaga 247 izin penambangan. Setahun kemudian
perwakilan rakyat. Jadi di sini mandat terdapat 687 izin KP yang dikeluarkan di
rakyat diselewengkan demi kepentingan salah satu distrik di Kaltim. Mereka itu
bisnis. Yang mendapat untung adalah para saling bersaing menguasai 22,1 persen luas
penguasa, dan bukan rakyat biasa yang Provinsi Kaltim. Pada tahun berikutnya izin
merupakan pemilik sah kekayaan alam. tambang di Kaltim membengkak menjadi
Ketika masih dalam proses pembuatan 1.271 pengelola yang beroperasi di lahan
aturan, para penguasa mengatasnamakan seluas 4,4 juta hektar tambang. Izin seperti
rakyat dengan menerapkan politik re­ itu bertebaran di wilayah Kabupaten Kutai
presentasi, tetapi setelah menjadi produk Kartanegara (Majalah Loka, 24 Agustus,
resmi, dimanfaatkan menjadi komoditas. 2012).
Perda adalah sebuah teks yang syarat
Di wilayah Kecamatan Samboja saja
dengan muatan kekuasaan, dan sekaligus
misalnya, terdapat beberapa perusahaan
berpotensi menjadi sumber meraih
yang beroperasi dengan kapasitas penuh.
keuntungan ekonomi. Karena itu Perda
Antara lain adalah PT Lembuswana
dalam konteks perebutan batubara, dengan
Perkasa Kutai Kartanegara; PT Mitra
mudah tergelincir pada proses komodifikasi
Alam Persada Kaltim; PT Berkat Borneo
produk hukum. Dengan kewenangan
Coal; PT Internusa Samarinda; PT Energi
memberikan ijin, maka Pemkab akan
Batu Hitam Muara Lawa Kaltim; PT Cipta
dengan cerdik memanfaatkannya untuk
Anugerah Sakti; PT Bara Kumala Sakti
menekan perusahaan. Tidak heran jika
Group Samarinda; dan masih banyak lagi
dalam proses membuat produk hukum
yang lainnya. Sejumlah perusahaan itu satu
memang sengaja membuat pasal yang
sama lain berkontestasi dalam berbagai
keras dengan memberi sangsi berat,
bentuk, dan adakalanya mengalami gesekan
tetapi pada implementasinya kemudian
kepentingan. Akan tetapi yang lebih sering
dilunakkan untuk memperoleh keuntungan
tarik-menarik kepentingan adalah antara

13
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

sejumlah perusahaan dengan segenap lain.


elemen masyarakat yang juga merupakan
Sejumlah aktor lain pun kemudian
aktor kontestasi perebutan batubara.
bermunculan mengikuti pergeseran hu­
Dengan kata lain, perusahaan batubara
bungan kultural menjadi hubungan
di Kukar terus bertarung dan berhadapan
transaksional tersebut. Tiba-tiba saja
dengan sejumlah elemen masyarakat
sejumlah organisasi massa, organisasi
selama mereka berproduksi. Jadi eksistensi
kepemudaan, dan organisasi adat pun
perusahaan penambang batubara itu
bermunculan mengakumulasikan daya
sendiri sejak awal merupakan eksistensi
tawar lokal, yaitu klaim warga “asli” dan
kontestatif. Ia di mana pun, kapan pun, dan
“jumlah anggota banyak”. Sebagai ilustrasi,
pada saat apa pun harus terus berkontestasi
Gerakan Pemuda Asli Kalimantan Timur
dengan sejumlah aktor lain yang ingin
(GEPAK) misalnya, ormas kepemudaan
mengais rejeki penambangan batubara.
ini tiba-tiba keberadaannya menjadi
Ketika berhadapan dengan warga “menguat” ketika berelasi dengan
misalnya, perusahaan harus siap dengan perusahaan penambangan. Di Samboja
sejumlah tuntutan warga yang semuanya terpampang papan nama besar di “kantor
bersifat transaksional. Sejak maraknya sekretariat”, yang meskipun kantor itu
penambangan batubara denyut lalu-lintas sendiri tidak ada aktivitas organisasional,
di jalan menuju ke arah pelabuhan sangat dan bahkan gedungnya tidak ada kecuali
padat dengan hilir-mudik truk dalam bangunan kecil milik salah satu warga.
frekuensi tinggi. Sebagai ilustrasi misalnya Situasi itu juga dilakukan oleh sejumlah
di Kecamatan Samboja Kukar, sehari-hari ormas lain sehingga perusahaan penambang
dilewati ribuan truk pengangkut batubara harus memperhitungkannya. Karena
menuju ke pelabuhan. Dampaknya warga sudah dapat diduga, munculnya kekuatan
merasa terganggu kebisingan dan tebaran dan keberadaan laten menjadi manifes
debu yang berakibat pada kesehatan, dari sejumlah ormas tersebut adalah
sehingga masalah ini menimbulkan kemunculan “dalam rangka”. Artinya,
konflik antara pihak perusahaan dengan meru­pakan usaha penguatan eksistensi
warga masyarakat. Menariknya adalah untuk meningkatkan daya tawar terhadap
bahwa solusi yang ditawarkan bukan lagi segenap perusahaan penambang batubara,
menggunakan mekanisme kultural dengan yang pada akhirnya akan mendapatkan
mengedepankan musyawarah, tetapi bagian rejeki batubara dalam bentuk “uang
berubah pada hubungan transaksional. solusi”. Daripada terus mendapat gangguan
Bersamaan dengan munculnya masalah dari sejumlah ormas, solusi paling mudah
yang ditimbulkan oleh perusahaan penam­ adalah uang, dan inilah pergeseran cepat ke
bangan batubara, berkembang peningkatan arah hubungan serba transaksional.
kesadaran ekonomi warga yang mengarah
Gangguan warga masyarakat sekitar pun
pada hubungan transaksional. Oleh karena
sering terjadi dan kontestasi pun semakin
itu warga pun “menjual” masalah gangguan
sengit. Sebagai ilustrasi, pada saat sedang
yang ditimbulkan oleh perusahaan penam­
proses pengangkutan, sering kali truk
bangan, sehingga muncul istilah “uang
mendapat kecelakaan di sekitar pemukiman
debu”, “uang bising”, dan uang-uang yang
warga. Bentuknya mulai dari menyerempet

14
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

pejalan kaki, pengendara sepeda dan sepeda angkutan, sebesar Rp 25.000. Dari jumlah
motor, atau menyerempet hewan piaraan. itu Rp 22.000 sebagai jaminan jika terjadi
Bahkan ada kalanya terjadi “kecelakaan”, kecelakaan, sedangkan Rp 3.000 dibagikan
dalam arti kecelakaan artifisial yang ke warga melalui unit sosial RT. Tidak ada
dilakukan oleh warga dengan melempar dasar hukum apa yang digunakan oleh
sepeda motor ke kolong truk pengangkut Koperasi Oasis tersebut untuk mengutip
batubara yang sedang lewat. Kalau perlu jasa tersebut. Oleh karena itu jika dilihat
sepeda motor yang tadinya rusak ringan, dari aspek hukum formal, maka tindakan
oleh warga sengaja di remuk sendiri, agar koperasi itu merupakan ilegal dan
mendapat ganti rugi sepeda motor baru. merupakan bentuk pemalakan terorganisir.
Jika sudah terjadi kecelakaan, pihak
2. Negara Lemah
perusahaan penambang harus membayar
ganti rugi yang besarnya ditentukan secara Dalam situasi kontestatif seperti itu,
sepihak oleh warga yang terorganisir. ironisnya negara tidak tampil cukup kuat
Ada juga yang meminta ganti rugi atas dalam upaya menyeselesaikan konflik-
makam yang terkena lahan penambangan, konflik yang terjadi antara perusahaan
dengan harga yang mahal. Ada warga penambangan batubara dengan warga.
yang kebetulan makam leluhurnya Konflik yang terjadi di kawasan jalan
terkena penambangan batubara, minta negara, seharusnya kepolisian tampil
ganti rugi 1 milyar per makam. Modus- tegas menegakkan aturan dalam berlalu-
modus semacam itu sering terjadi, yang lintas. Tetapi ketika berhadapan dengan
motif utamanya adalah perolehan ganti ormas dan warga, seringkali justru bukan
rugi. Argumennya adalah imajinasi para polisi yang melerai tetapi ormas-ormas
warga, bahwa penambang batubara adalah tersebut dan di Kecamatan Samboja adalah
pengeruk kekayaan dan banyak uang dan Koperasi Oasis. Pemkab juga tidak berdaya
cara semacam itu adalah cara yang paling dalam menghadapi situasi kontestatif
mudah bagi warga untuk memperoleh dan konfliktual di seputar eksplorasi
bagian dari pengurasan kekayaan sumber batubara di Kukar. Bahkan Pemkab
daya alam bumi Kalimantan. seringkali tampil lemah ketika terjadi
konflik antarperusahaan akibat tumpang-
Situasi kontestasi secara vulgar tersebut
tindihnya perizinan. Sebagai ilustrasi,
kemudian mendorong salah satu kelompok
dalam proses perijinan tambang batubara
yang menawarkan gagasan koperasi untuk
yang diberikan oleh Bupati/Walikota masih
mengatasi konflik antara perusahaan
sering menimbulkan masalah, karena
dengan warga. Koperasi itu bernama
lokasi tambang yang sudah berijin oleh
Oasis yang menghimpun sejumlah armada
Pemkab/Pemkot diterbitkan ijin kembali
pengangkut batubara untuk bernegosiasi
oleh pemerintah setempat yang lokasinya
dengan warga setempat jika terjadi
sebagian atau keseluruhan sebenarnya
kecelakaan. Jumlah anggota Koperasi Oasis
sudah berijin. Masalah ini timbul biasanya
mencapai 700 truk yang pemiliknya adalah
lokasi penambangan batubara sudah berijin,
warga perseorangan juga. Melalui koperasi
tetapi belum ada aktivitas penambangan
ini disepakati adanya iuran rutin dari para
dan kemudian dijual kepada pihak lain.
pengangkut per unit truk satu kali tarikan
Jika sudah terjadi konflik antarpemilik

15
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

ijin seperti itu masing-masing perusahaan bara hingga ke zona “aman”. Akan tetapi
mengerahkan massa dan terjadi bentrokan. semua yang menggunakan simbol-simbol
negara, mengalami proses individualisasi
Lebih dari itu, lemahnya negara dalam
tepat ketika berada pada titik perolehan
situasi kontestatif berebut batubara di
imbalan uang. Artinya, ketika bernegosiasi
Kukar, karena negara juga menjadi bagian
menggunakan simbol-simbol negara atau
dari usaha penambangan. Warga Kukar
mengklaim menjadi bagian struktur negara,
sudah mengetahui jika pemilik perusahaan
tetapi begitu mendapat imbalan uang dari
penambangan batubara juga dari kalangan
perusahaan batubara tidak masuk kas
elite pemerintahan, petinggi kepolisian,
negara, namun dinikmati secara individual.
dan petinggi TNI. Dengan kata lain, di
Praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse
balik aktivitas eksplorasi batubara di bumi
of power) seperti itu sudah lazim dalam
Kalimantan adalah para elite yang memiliki
proses kontestasi berebut emas hitam di
modal kekuasaan dan modal ekonomi
bumi Kalimantan.
kuat. Di luar praktik politik perijinan dan
jual jasa keamanan terhadap perusahaan, Amdal pun juga tidak luput dari
para elite di Kukar juga sejak awal sudah permainan kontestasi yang bermotif
bermain dalam bisnis batubara. Bahkan ekonomi politik. Melalui penggunaaan
sejak proses mencari kekuasaan melalui legalitas aturan tentang lingkungan hidup
Pilkada misalnya, sudah ditengarahi untuk entah berupa UU atau Perda, aparat
mendapatkan konsesi batubara. Muncul birokrasi dan juga segenap ormas meng­
tesis, terdapat hubungan signifikan antara hembuskan isu kerusakan lingkungan atas
peningkatan ijin penambangan batubara nama penegakkan Amdal. Perusahaan
dengan mendekatnya waktu menjelang sering dituduh tidak mempedulikan
Pilkada. Sudah menjadi pengetahuan masalah Amdal dan melanggar aturan.
umum, bahwa para tim sukses dari setiap Pada kenyataannya memang demikian,
calon bupati akan mendapatkan konsesi sejumlah kawasan penambangan batubara
perijinan penambangan batubara. meninggalkan bekas pengerukan sehingga
bumi Kalimantan tampak terkoyak. Jika
Sementara itu, aparat keamanan dan
dilihat dari udara, tampak jelas sebagian
pertahanan juga menjadi bagian dari
besar wilayah Kalimantan Timur bekas-
perebutan mengais rejeki batubara ini.
bekas eksplorasi penambangan sehingga
Mekanismenya tampak pada relasinya
bumi Kalimantan tampak bopeng-bopeng.
dengan perusahaan dan kekuatan ter­
Logikanya, jika isu Amdal dijadikan
organisir warga baik ormas maupun LSM
argumen untuk menegur perusahaan,
dan organisasi adat. Di tengah situasi
kelestarian lingkungan tetap terjaga.
konfliktual itu, aparat kepolisian juga
Tetapi karena sejak awal isu itu memang
mendapatkan peluang untuk kebagian
untuk mendapatkan uang, maka meskipun
rejeki batubara. Sedangkan aparat
perusahaan sudah mengeluarkan ganti
TNI di darat juga ikut mengamankan
rugi pada penuntut penegakkan Amdal,
dan memberi garansi keamanan pada
tetapi bumi Kalimantan tetap rusak. Uang
perusahaan, termasuk keamanan hingga
ganti rugi itu tidak untuk memperbaiki
ke laut. Ada semacam jasa pengawalan
lingkungan tetapi masuk kantong individu
terhadap kapal-kapal pengangkut batu

16
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

aparat birokrasi, aparat keamanan, juga sebuah pencapaian luar biasa untuk ukuran
ormas, dan bahkan LSM. Jadi isu Amdal setingkat kabupaten. Tidak heran jika
juga mengalami proses komodifikasi oleh di Kukar berdiri bangunan perkantoran
sejumlah pencari rente. yang amat megah dan mewah, dan bahkan
stadion berhasil dibangun dengan kapasitas
3. Pemiskinan Warga
penonton 60 ribu. Infrastruktur jalan di
Pemerintah Provinsi Kaltim berniat perkotaan lebar dan mulus, sementara
membangun wilayahnya dengan sejumlah fasilitas publik lain pun juga dibangun
program jangka menengah dan jangka seperti fasilitas taman rekreasi yang berada
panjang. Tidak ada jalan lain untuk di tengah delta sungah Mahakam. Kukar
mewujudkan mimpinya, kecuali harus pun kemudian sering dipercaya untuk
mengundang perusahaan tambang menyelenggarakan event berskala nasional,
dengan harapan menciptakan lapangan seperti Pekan Olahraga Nasional, MTQ
kerja, mendongkrak PAD, meningkatkan Nasional, dan berbagai pertemuan tingkat
akselerasi pembangunan, dan kemudian tinggi. Semua itu karena daerah ini memiliki
berusaha memperbaiki kerusakan alam PAD yang sangat fantastis untuk ukuran
yang ditimbulkan penambangan. Akan kabupaten. Akan tetapi, di tengah gemerlap
tetapi sebagaimana di daerah lain, pada dan limpahan PAD itu, tingkat kemiskinan
kenyataannya niat baik itu justru menjadi penduduk Kukar cukup tinggi. Mereka ini
mimpi buruk, terutama bagi warga tampak di pemukiman di kawasan pinggir
penduduk sekitar tambang. Itu semua sungai Mahakam, pelabuhan, dan kawasan
karena sekitar 70 persen ekstrak batubara pedalaman yang kondisi perumahan
yang menghasilkan 12,5 milyar ton hingga dan fasilitas kesehatannya sangat
2008 diekspor ke beberapa negara. memprihatinkan. Di pelabuhan Samboja
Sementara penduduk sekitar pertambangan misalnya, tampak nyata perbedaannya.
tetap saja miskin, tidak jauh berbeda kita Sebuah rumah penambang batubara berdiri
belum ada eksplorasi batubara. Sebagai megah di tengah pemukiman kumuh para
ilustrasi, dari sekitar 1.410 desa di Kaltim, nelayan yang jauh lebih banyak jumlahnya.
ternyata baru 610 desa yang mendapatkan
Mengapa di tengah eksplorasi besar-
pasokan listrik, itu pun sering kali terjadi
besaran penambangan batubara, penduduk
pemadaman listrik, atau populer dengan
sekitar kurang mendapat akses meraih
listrik byar pet.
keuntungan? Salah satu faktor penyebabnya
Sebuah ironi di daerah kaya energi antara lain karakter tambang batubara
batubara, dan mereka ibarat ayam mati bersifat padat modal. Untuk menggali
di lumbung padi. Sudah tentu ironi itu batubara di area hutan diperlukan peralatan
bersumber dari persoalan salah kelola berat seperti esvakator, buldoser, dan alat
oleh pemerintahnya, terutama faktor transportasi berskala besar. Di samping
kultural yang hanya ingin cepat mencari memerlukan modal besar, karakter seperti
untung dengan hanya menjual sumber itu kurang menyerap tenaga kerja yang
daya alam. Memang Kabupaten Kukar berasal dari penduduk setempat. Untuk
terkenal sebagai daerah kaya, PAD-nya mengoperasikan sejumlah peralatan utama
pun pernah mencapai 7 trilyun lebih, pertambangan batubara diperlukan latar

17
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

belakang pendidikan memadai, dan skill perebutan batubara. Sementara para


tinggi. Oleh karena penduduk sekitar warga kebanyakan kurang mendapatkan
kurang memiliki sumber daya manusia peluang untuk meraup rejeki batubara,
memadai, maka sulit terserap pada sektor akibat keterbatasan SDM dan batas-
pertambangan batubara kecuali beberapa batas struktural buatan para elite yang
jenis pekerjaan yang mengandalkan otot, berkolaborasi dengan kekuatan kapital.
seperti buruh angkut dan tenaga keamanan Respons atas keadaan seperti itu, meskipun
yang daya serapnya sedikit. Akibatnya dalam bentuknya yang vulgar mendapat
penduduk sekitar kurang terangkat perlawanan atau resistensi dari para
kesejahteraannya, dan tetap berada dalam warga. Bentuk resistensi itu antara lain
kondisi miskin. melakukan penghadangan pada sejumlah
truk yang mengangkut batubara, protes
Situasi semacam itu membuat penduduk
atas pencemaran lingkungan, adanya
sekitar praktis hanya menjadi penonton
banjir, dan kebisingan. Sejumlah warga
di tengah hiruk-pikuk pengurasan energi
pernah melakukan blokade jalan karena
batubara. Mereka berada dalam deru mesin
penambangan dianggap menyebabkan
alat berat dan lalu-lalang angkutan mulai
banjir yang merusak pemukiman. Protes
dari truk hingga kapal besar yang membawa
itu menuntut ganti rugi kerusakan, dan
batubara bernilai milyaran dan bahkan
setelah melalui negosiasi, akhirnya pihak
trilyunan rupiah. Mereka begitu akrab
perusahaan mengganti masing kepala
dengan situasi gairah dan semaraknya
keluarga Rp 2.000.000.
penambangan batubara, tetapi secara
struktural terhalang pembatas yang tidak Ada juga bentuk resistensi berupa
memungkinkan mengakses rejeki batubara penolakan terhadap penambangan, dan
secara lebih beradab. Hanya mengandalkan harus dihentikan karena tidak membawa
rasa memiliki wilayah dan kemudian kesejahteraan warga sekitar. Protes
menggertak perusahaan secara kolektif semacam ini biasanya dilakukan warga atas
dalam bentuk unjuk rasa pada momen pendampingan LSM. Akan tetapi sebegitu
tertentu yang merugikan warga. Hanya dari jauh protes keras ini tidak mendapat
aktivitas itulah mereka dapat mendapatkan tanggapan serius dari perusahaan, karena
rejeki batubara, dan bukan melalui cara- kaum kapitalis mendapat dukungan dari
cara yang lebih beradab seperti bekerja di kalangan birokrat dan aparat keamanan.
sektor pertambangan yang mengandalkan Lebih dari itu, perekonomian Kaltim, dan
skill dan pengetahuan memadai. khususnya Kukar sudah sangat tergantung
pada sektor pertambangan. Oleh karena
4. Resistensi Warga
itu sejumlah protes warga terhadap
Di tengah antusiasme mengeksplorasi penambangan batubara sering mengalami
batubara yang aktor utamanya adalah kegagalan, dan sebagai kompensasinya
para pengusaha, pemerintah, dan aparat adalah membayar dalam bentuk uang.
keamanan, terjadi proses peminggiran Ironisnya cara semacam itu berjalan efektif,
dan bahkan pemiskinan warga sekitar. dan perlawanan warga semakin lemah
Hanya para aktor yang potensial yang gaungnya.Akan tetapi dalam pengertian
dapat mendapatkan rejeki dalam kontestasi sesungguhnya, perlawanan warga di

18
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA

sekitar penambangan, terutama penduduk kekayaan alam batubara yang depositnya


asli, praktis tidak ada karena memang milyaran ton, akan tetapi di Kukar masih
kurang memiliki kesadaran bahwa mereka banyak warga yang berada di bawah garis
terpinggirkan oleh kehadiran aktivitas kemiskinan. Karena itu batubara pun dari
penambangan batubara. Sejumlah LSM sudut pandang kritis, sebenarnya lebih
berusaha menyadarkan mereka akan merupakan akronim Batu Tuan tak Dibagi
keterpinggirannya, namun kurang berhasil, Rata, yang lebih menikmati adalah kaum
dan bahkan beberapa LSM melakukan kapitalis dan segenap kompradornya.
politik representasi. Artinya, tidak sedikit
Akan tetapi di tengah kenyataan seperti
yang melakukan advokasi atas nama
itu, negara tampil lemah, tidak mampu
warga penduduk sekitar, akan tetapi pada
menjadikan batubara menjadi sebesar-
akhirnya hanya demi kepentingan mereka
besarnya untuk kemakmuran rakyat
sendiri, dan bahkan demi ikut meraih rejeki
sebagaimana amanat Undang Undang Dasar
batubara. Sementara itu Pemkab Kukar
1945. Salah satu sebabnya adalah karena
juga sering melakukan politik representasi
negara menjadi bagian dari kontestasi
dengan membuat sejumlah peraturan
memperebutkan rejeki batubara. Negara,
seperti SK Bupati atau Perda. Dalam setiap
dalam hal ini Pemkab Kukar mengalami
konsideran dan tujuan produk hukum itu
individualisasi dan personalisasi, sehingga
senantiasa melindungi dan demi upaya
sejumlah produk negara dalam bentuk
kesejahteraan warga sekitar penambangan,
Perda atau pun ketentuan resmi digunakan
namun pada praksisnya tidak demikian.
sebagai instrumen efektif dalam meraih
Bahkan produk hukum itu sendiri
keuntungan pribadi. Perda pun mengalami
digunakan sebagai instrumen birokrat
komodifikasi ketika birokrasi berelasi
untuk mengais rejeki batubara.
dengan kalangan kapitalis batubara.
E. Penutup Birokrasi tidak berupaya mengefektifkan
tata kelola eksplorasi batubara dengan
Begitulah, serba-serbi dan dinamika
prinsip demi kepentingan publik, tetapi
kontestasi perebutan batubara di Kabu­
mengubahnya demi kepentingan segelintir
paten Kutai Kartanegara. Sejumlah aktor
elite birokrat, politisi, aparat keamanan,
bermain dalam panggung kontestasi
melalui pemeliharaan hubungan tran­
yang semuanya bermuara pada usaha
saksional. Bersamaan dengan itu aparat
bagaimana memperoleh bagian rejeki emas
keamanan pun ikut bermain dalam
hitam tersebut. Batubara pun diplesetkan
panggung kontestasi perebutan rejeki
menjadi Barang Tuhan Bagi Rata, dan siapa
batubara dengan “menjual” jasa keamanan.
pun tergerak untuk ramai-ramai berebut
Namun ironisnya, ketika muncul kekuatan
hasil penambangan batubara. Meskipun
milisi dari sejumlah warga yang juga
demikian, jika dicermati distribusi rejeki
menjual jasa keamanan, aparat keamanan
batubara, baik langsung maupun tidak
negara juga tidak berdaya, karena juga
langsung, tidak merata. Terutama bagi
menjadi bagian dari mekanisme itu melalui
warga sekitar penambangan, kurang
prinsip tahu sama tahu atau populer
mendapatkan akses hasil batubara akibat
dengan singkatan TST. Akibatnya aparat
kendala struktural maupun kultural. Situasi
keamanan negara tidak mampu menegakan
ini menimbulkan ironi di tengah gelimang

19
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

hukum karena determinisme keuntungan Lechner, F.J., Boli,J. (2005) World Culture:
ekonomi. Sejumlah petinggi kepolisian dan Origins and Consequences. Oxford:
TNI pun ikut berbisnis batubara. Oxford University Blackwell.
Maleong, Je. Lexy, 1991, Metode Penelitian
Di tengah hiruk-pikuk kontestasi
Kualitatif, Bandung: Remaja
perebutan penambangan batubara di bumi
Rosdakarya.
Kalimantan, denyut perekonomian Kukar
Ritzer, George and Douglas J. Goodman,
dan Kaltim pada umumnya memang terasa
2004, Sociological Theory, New
menguat. Akan tetapi ironisnya, di tengah
York: McGraw-Hill.
gelimang uang batubara, warga masyarakat
Robertson, R., 1992, Globalization, London
sekitar masih banyak yang miskin. Lebih dari
and Nesbury Park, CA:Sage.
itu, apa pun yang terjadai dalam aktivitas
Spivak, Gayatri. 1988. “Can the Subaltern
penambangan, tetapi satu hal yang jelas
Speak?” Marxism and the
bahwa kerusakan alam tak terhindarkan.
Interpretation of Culture: 271–313.
Bumi Kalimantan terkoyak, terkelupas, dan
Wallerstein, I. (1990) “Culture as the
merana di tengah ambisi dan mesin hasrat
Ideological Battleground of the
kapitalisme yang tak terpuaskan.
Modern World-System” Theory,
Culture Society 7:31-25.
Wallerstein, I. (2003) The Decline of
American Power. New York: New
Press.
Daftar Pustaka
Wallerstein, I. (2004) World-System
Analysis: An Introduction. Durham,
Beck, Ulrich, 2000, What Is Globalization?,
NC: Duke University Press.
Cambridge, England: Polity Press.
Boli, J., dan Lechner F.J. (2009) Teori
Globalisasi. Dalam Bryne S. Turner
(eds). The New Blacwell Companion
to Social Theory. Molden: Backwell
Publishing Ltd.
Bouman, P.J. 1982. Sosiologi Fundamental.
Bandung: Djambatan
Frank, Gunder. 1957. The Political Economy
of Growth. New York: Pinguins
Book.
Giddens, Anthony, 1991, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in
the Late Modern Age. Stanford
California: Stanford University
Press.
Kellner, Douglas, 2002, “Theorizing
Globalization”, Sociological Theory
20: 285-305.

20
WACANA PANCASILA DALAM ERA REFORMASI
(STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG
SURUT WACANA PANCASILA DALAM
KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo

Abstrak
“ Pancasila sebagai dasar negara telah mendapat tempat di hati para pemimpin bangsa ini.
Sebaliknya, pancasila belum mendapat tempat dalam kehidupan bersosial dan berpolitik
bangsa ini. Konflik sosial, politik masih terjadi dibawah kepakan sayap Pancasila, masalah
muncul ketika Pancasila dipahami sebagai instrumen negara, tetapi belum menjadi paham
negara. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai ritualitas Pancasila yang belum menyentuh
keyakinan berbangsa dan bernegara masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan upaya meng­
geser pemahaman Pancasila dari bentuk instrumental dengan sekadar menghafal sila
Pancasila, menuju bentuk kontestasi dengan terlibat dalam “arena” Pancasila.’
Kata Kunci : Pancasila, Ideologi, Kontestasi, Cultural Studies

Abstract
“Pancasila as the foundation of state and nation has a special position in the heart of
Indonesia’s leader. In contrast, Pancasila has not get a prestigious place in social and
political life. Social and political conflict still happens in the name of Pancasila. The
problem arises when people only understand Pancasila as a tool for the state. This is
shown in Pancasila’s rituality that has not touch the fundamental believe of the nation.
It is important to shift the meaning of Pancasila from instrumental into contestation in
the field of Pancasila.”

Keywords: Pancasila, ideology, contestation, cultural studies.

A. Pendahuluan ini. Pada saat itu obsesi sebagai bangsa


merdeka telah terwujud, kemudian para
Pada awal kemerdekaan, wacana ideo­
pendiri bangsa terus berusaha mencari
logi atau orientasi nilai dasar apa yang
nilai-nilai fondasional apa yang sekiranya
akan menjadi pilihan sebagai pedoman
berpotensi menjadi pengikat identitas
arah perjalanan berbangsa, terus mewarnai
sebuah bangsa. Kondisi obyektif Indonesia
perdebatan di kalangan elite politik negeri
yang plural ditilik dari faktor keyakinan,

21
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

etnis, ras, dan kemudian orientasi politik aliran, secara berturut-turut adalah PNI,
yang penuh varian, membuat semakin sulit Partai Masyumi, NU, dan PKI.
merumuskan basis ideologis yang sekiranya
Berkait dengan pilihan ideologi mana
mampu mengikat sebagai sebuah bangsa.
yang akan menjadi pilihan utama untuk
Adalah Soekarno dan beberapa tokoh lain
panduan arah kehidupan bermasyarakat,
yang kemudian mencoba menawarkan
berbangsa, dan bernegara, pada era peme­
sebuah ideologi yang dipandang mencakup
rintahan Soekarno hanya diwarnai oleh
dan sesuai dengan kondisi sosio-kultural
tarik-menarik antara kekuatan Islam politik
serta politik bangsa Indonesia, yaitu yang
dan nasionalis. Isu ini berkait dengan pilihan
dulu hingga sekarang dikenal dengan
ideologi apa yang akan menjadi dasar
Pancasila. Sejak saat itu wacana (discourse)
negara Indonesia. Pada kubu Islam politik
tentang Pancasila sebagai ideologi negara
menuntut agar Indonesia berdasarkan
meng­alami pasang surut mengikuti
agama, yaitu Islam dengan pertimbangan
dinamika sistem politik yang berlaku di
mayoritas penduduk Indonesia beragama
Indonesia.
Islam. Sementara kubu nasionalis dengan
Ketika Soekarno berkuasa, dunia inter­ pertimbangan kondisi obyektif Indonesia
nasional diwarnai oleh tarik menarik ideologi yang plural, menawarkan Pancasila sebagai
yang sangat kuat, yaitu antara liberalisme- dasar negara. Sebegitu jauh, setelah melalui
kapitalisme di satu pihak, dan sosialisme- perdebatan panjang, terutama pada Sidang
komunisme di pihak lain. Situasi konfliktual Konstituante, akhirnya tawaran kubu
itu juga mewarnai pertarungan ideologis di nasionalis yang diterima, dan dengan
Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai demikian Pancasila “diterima” sebagai
era maraknya politik aliran. Secara politik dasar negara.
kekuatan politik di awal kemerdekaan
Akan tetapi, sebagai sebuah kesepakatan
terbagi ke dalam beberapa aliran ideologis,
politik, Pancasila belum dianggap selesai
yaitu golongan nasionalis, Islam politik,
dan terus membuka perdebatan di antara
sosialis, dan komunis. Varian ideologis ini
kedua kubu tersebut. Oleh karena itu, bangsa
kemudian mewujud dalam kekuatan politik
Indonesia terus mengalami disorientasi,
kepartaian, yaitu Partai Nasional Indonesia
karena belum ada kesepakatan final
(PNI) yang berbasis nasionalisme, Partai
tentang nilai dasar apa yang akan menjadi
Majelis Suro Indonesia (Masyumi) dan
arah dan pedoman dalam kehidupan sosial
Nahdlatul Ulama (NU) yang berbasis Islam,
politik dan kebudayaan. Kekuatan Islam
dan kemudian Partai Komunis Indonesia
politik terus menggelindingkan wacana
(PKI) serta Partai Sosialis Indonesia (PSI)
ideologi Islam sebagai dasar negara, dan
yang mengusung ideologi kiri. Melalui
spirit untuk mewujudkan cita-cita negara
partai politik itu kemudian berbagai aliran
Islam terus hidup laten. Meskipun dalam
ideologis tersebut berkontestasi merebut
perkembangan selanjutnya kekuatan Islam
kekuasaan melalui Pemilihan Umum pada
politik terpecah-pecah, tetapi tetap gerakan
tahun 1955 yang diikuti oleh puluhan partai
yang menggelindingan wacana ideologi
politik. Pemilu pertama kali itu kemudian
Islam terus berkembang sebagai wacana
menghasilkan empat kekuatan politik
alternatif ideologi Pancasila.
besar yang mencerminkan kekuatan politik

22
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

Dalam situasi seperti itu, perpolitikan sebagai ideologi sangat mendominasi


Indonesia memasuki babak baru yang dalam berbagai arena baik pada institusi
kemudian dikenal sebagai era Orde pendidikan, birokrasi, organisasi profesi,
Baru, menyusul jatuhnya pemerintahan organisasi keormasan, organisasi kepe­mu­
Soekarno. Melalui pergolakan politik yang daan, dan bahkan organisasi keagamaan.
dramatik dan membawa korban jiwa jutaan Melalui lembaga bentukan pemerintah
orang, terutama dari kubu pendukung yang kemudian populer dengan sebutan
ideologi komunis, lahirlah kemudian sistem BP7, wacana Pancasila terus menggelinding
politik yang sentralistik di bawah pimpinan secara intensif dan masif ke berbagai
Soeharto. Dengan dukungan Amerika bidang kehidupan. Penataran Pedoman,
Serikat, Soeharto tampil sebagai pemimpin Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
kuat dan membawa Indonesia dalam situasi atau populer dengan sebutan P4 terus
politik stabil, sehingga pembangunan diselenggarakan sebagai proyek ideologi
ekonomi yang lebih kapitalistik semakin pemerintah yang mengharuskan seluruh
terasa signifikan. Berbagai krisis ekonomi organisasi politik kemasyarakatan, biro­
dan keuangan pasca pemerintahan krasi, dan lembaga pendidikan meng­
Soekarno pelan tapi pasti berhasil diatasi ikutinya. Pada periode ini, wacana Pancasila
oleh Soeharto dengan dukungan kekuatan benar-benar mendominasi kehidupan
kapitalisme internasional. Melalui kebijakan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
yang membuka bagi kekuatan kapitalisme sehingga Pancasila begitu populer di semua
internasional, maka aliran modal asing dari kalangan.
negara-negara industri Barat dan pro Barat
Bersamaan dengan itu, wacana politik
semakin deras. Pertumbuhan ekonomi
keagamaan sebagai sebuah alternatif me­
dan berbagai pembangunan infrastruktur
ngelola kehidupan berbangsa dan bernegara
berhasil dipacu dan berlangsung dengan
praktis surut di tengah pasangnya wacana
cepat.
ideologi Pancasila. Bahkan melalui pe­
Obsesi untuk terus mempertahankan nye­baran wacana ekstrim kanan oleh
momentum pembangunan dengan titik pemerintah, sebuah sebutan bagi kelompok
berat sektor ekonomi, terus mendorong Islam politik yang ingin mendirikan negara
pemerintah Orde Baru menerapkan Islam di Indonesia, menyebabkan wacana
kebijakan politik yang tujuan utamanya ke­agamaan dalam politik kenegaraan benar-
adalah stabilitas nasional. Untuk itu benar berada pada titik terendah. Kekuatan
pemerintah Orde Baru menjadikan politik Islam praktis mengalami ketidak­
Pancasila sebagai ideologi negara, dan berdayaan, dan bahkan terus terpinggirkan
sekaligus menjadi instrumen kunci bagi dalam gegap-gempita politik pembangunan
jaminan stabilitas nasional, yang pada yang dikontrol oleh kekuatan militer.
saat itu menjadi legitimasi demi ter­ Semua forum komunikasi, termasuk forum
ciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. komunikasi tradisional di perdesaan,
Tafsir paham negara integralistik dan digunakan secara efektif oleh pemerintah
paradigma konsensus sangat populer untuk menyebar-luaskan wacana Pancasila.
terhadap kandungan nilai Pancasila. Berbagai media massa juga “diharuskan”
Bersamaan dengan itu, wacana Pancasila mengangkat wacana Pancasila sebagai

23
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

ideologi negara, dan demikian pula buku, nya dari fase pemerintahan sebelumnya.
leaflet, brosur, dan sejenis terus diproduksi Negara tidak tampil begitu perkasa seperti
berisi wacana Pancasila. pada era Orde Baru, tetapi mengalami
pelemahan terhadap berbagai kekuatan
Pancasila sebagai wacana dominan
yang berkembang dalam masyarakat.
mengalami puncak intensitas dan per­
Dengan kata lain, negara tidak lagi memiliki
luasannya ketika pemerintah Orde Baru
otonomi relatif terhadap kekuatan di luar
mengharuskan semua organisasi ke­ma­
pemerintahan, termasuk media massa,
syarakatan dan organisasi politik ke­par­
sehingga kontrol negara sangat lemah
taian menggunakan Pancasila sebagai
dan bahkan tidak berdaya. Sebaliknya,
asasnya. Di sinilah kemudian ditetapkan
kekuatan masyarakat semakin menguat,
Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap
baik melalui organisasi maupun kekuatan
organisasi, tidak peduli apa yang menjadi
sporadis yang terekspresi dalam berbagai
paham dasar organisasi tersebut. Partai
bentuk aksi unjuk rasa. Tindakan anarkisme
politik yang berpaham Islam pun, yaitu
massa pun sering terjadi, dan konflik
Partai Persatuan Pembangunan, harus
antarsuku, antaragama, dan antargolongan
berasaskan Pancasila, dan bahkan ormas
terjadi secara susul-menyusul. Berbagai
keagamaan seperti Muhammadiyah dan
penjarahan terhadap aset negara seperti
NU juga diharuskan menerima Pancasila
hutan dan sektor pertambangan oleh
sebagai asas tunggal.
kekuatan sporadis massa sering terjadi.
Pancasila di masa Orde Baru merupakan Simbol-simbol negara seperti kantor
ideologi yang sengaja didesain menjadi pemerintahan, kantor kepolisian, dan
ideologi yang bersifat state-centered theory kantor legislatif sering menjadi sasaran
yang diterapkan dalam kerangka bagaimana amuk massa.
agar masyarakat patuh dan tunduk. Negara
Uraian di atas menunjukkan bahwa saat
dengan berbagai cara melakukan penaklukan
ini terjadi perubahan wacana dan paradigma
tersebut yang berdampak pada tingkat
mengenai keberadaan Pancasila. Pancasila
kepatuhan yang sangat tinggi melalui apa
telah dijadikan sebagai arena kontestasi
yang disebut state apparatus.Terlepas dari
di satu sisi, dan sebagai arena negosiasi
Pancasila sebagai instrumen politik Orde
di sisi lain. Bahkan, terdapat pula upaya
Baru, tetapi pada fase ini wacana Pancasila
yang dengan berbagai cara meminggirkan
benar-benar mendominasi atmosfir ke­
Pancasila sehingga mengalami perubahan-
hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
perubahan yang mengancam keutuhan
bernegara. Fase ini wacana Pancasila
bangsa sehingga ia pun terus dibawa
mengalami pasang.
pada perdebatan-perdebatan baik politis
Ketika berakhirnya era Orde Baru, terjadi maupun akademis. Hal ini menjadikan
perubahan sistem politik dari otoritarian posisi Pancasila yang ditempatkan pada
ke sistem politik demokratik, Indonesia arena kontestasi dan negosiasi tidak hanya
memasuki apa yang dikenal sebagai era merupakan sebuah fenomena kebangsaan
reformasi. Fase ini terjadi perubahan yang harus direspons dengan bijak, tetapi
signifikan dalam penyelenggaraan peme­rin­ juga merupakan persoalan akademik yang
tahan yang sangat jauh berbeda karakter­ membutuhkan kajian dan diskusi yang

24
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

mendalam untuk menemukan sebuah kelompok. Adalah Karl Marx, orang yang
jawab­an terhadap persoalan tersebut. cukup gelisah terhadap makin kuatnya
pengaruh kapitalisme bagi proses produksi
Beberapa permasalahan dapat diajukan
yang dianggapnya dehumanistik. Karena
antara lain: bagaimana pasang-surut
itu ia mulai menganalisis tentang ideologi
wacana Pancasila dalam kontestasi di
dalam kaitannya dengan kapitalisme.
kalangan kekuatan sosial politik pada era
reformasi?; bagaimana dan terjadinya Perhatian Marx terhadap konsep
pewacanaan Pancasila sebagai ideologi ideologi berakar pada kegagalan revolusi
negara mengalami proses ironisasi dalam proletar dan ketidakmampuan materialisme
praksis kehidupan sosial politik dan historis dalam kaitannya dengan pertanyaan
kebudayaan pada era reformasi? Dan subjektivitas, makna dan politik kultural.
bagaimana ideologi keagamaan beroperasi Sederhananya, perhatian untuk membahas
meminggirkan wacana Pancasila sebagai ideologi dimulai sebagai suatu eskplorasi
ideologi negara? atas pertanyaan mengapa kapitalisme, yang
diyakini sebagai suatu sistem eksploitatif
B. Teorisasi Pancasila
dalam relasi sosial dan ekonomi, tidak
Sudah lama persoalan ideologi menjadi dapat diruntuhkan oleh revolusi kelas
perhatian utama dalam kajian ilmu pekerja. Apakah kegagalan revolusi proletar
sosial. Perhatian itu semakin besar ketika serta-merta menjadi kegagalan kaum
berbagai paham besar, seperti kapitalisme, proletar dalam memahami secara terpat
sosialisme, dan komunisme mendominasi dunia tempat mereka hidup? Apakah kelas
aktivitas dunia. Sejak munculnya era pekerja menderita “kesadaran palsu”, yang
pencerahan, yang merupakan respons kritis merupakan suatu pandangan-dunia berjuis
atas era sebelumnya, yaitu dominasi ideologi yang salah yang mengabdi kepada kelas
agama, peradaban manusia berkembang kapitalis? (Barker, 2000: 58).
sangat cepat dengan basis ilmu pengetahaun
Dalam kaitannya dengan materialisme,
dan teknologi. Berbagai temuan mendasar
Marx menggunakan istilah ideologi
saling susul menyusul, berkat perubahan
untuk merujuk kepada sistem-sistem
paradigma berpikir seperti positivisme
aturan ide-ide yang sekali lagi berusaha
dan empirisme. Mulai dari ditemukannya
menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi
bahwa bumi ternyata bulat, hukum
yang berada di pusat sistem kapitalis. Pada
grativasi bumi, energi uap, listrik, dan
kebanyakan kasus, mereka melakukan hal
kemudian relativisme, peradaban manusia
ini dengan salah satu dari tiga cara berikut:
berkembang semakin kompleks. Moda
(1) mereka menghadirkan suatu sistem
produksi pun kemudian berubah dari yang
ide,sistem agama, filsafat, literature, hukum
tadinya feodalisme sebagaimana ada dalam
yang menjadikan kontradiksi-kontradiksi
masyarakat agraris, kemudian berubah
tampak koheran; (2) mereka menjelaskan
menjadi kapitalisme menyusul munculnya
pengalaman-pengalaman tersebut yang
masyarakat industrial. Di sinilah kemudian
mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi,
ideologi menjadi penting dan terbukti
biasanya sebagai problem personal atau
menjadi daya gerak yang mengontrol
keanehan-keanehan individual; atau (3)
tindakan orang baik secara individu maupun
mereka menghadirkan kontradiksi kapitalis

25
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

sebagai yang benar-benar menjadi suatu pendidikan, gereja dan media massa,
kontradiksi pada hakikat manusia dan oleh sebagai ‘aparatus negara ideologis (ideo­
karena itu satu hal yang tidak bisa dipenuhi logical state apparatuses) atau yang
oleh perusahaan sosial (Ritzer, 2004: 71). populer dengan singkatan ISAs. Kendati dia
memandang gereja sebagai ISA prakapitalis
Sementara itu Althusser, yang meru­
yang dominan, dia berpendapat bahwa di
pakan seorang Marxis, mengartikan ideologi
dalam konteks kapitalisme, gereja telah
sebagai sistem (dengan logika dan kaidahnya
digantikan oleh sistem pendidikan, yang
sendiri) representasi (citra, mitos, gagasan
berimplikasi pada reproduksi ideologis
atau konsep) dipahami sebagai praktik
(dan fisik) tenaga kerja dan relasi produksi
yang dijalani dan mentransformasikan
secara sosial. ideologi, katanya, merupakan
dunia materi. Ada empat aspek dalam
sarana yang jauh lebih efeketif bagi peneguh
karya Althusser yang menjadi inti pan­
kekuasaan kelas ketimbang kekuatan fisik
dangannya tentang ideologi: 1) ideologi
(dalam Barker, 2000: 63).
memiliki fungsi umum untuk membentuk
subyek; 2) ideologi sebagai pengalaman Pandangan Althusserian ini cukup
yang dijalani tidaklah palsu; 3) ideologi memiliki pengaruh dalam Cultural Studies,
sebagai pemahaman yang keliru tentang terutama dalam perdebatan soal ideologi.
kondisi nyata eksistensi adalah palsu; Lebih jauh, pemikiran Althusserian
dan 4) ideologi terlibat dalam reproduksi tentang formasi sosial sebagai suatu
formasi-formasi sosial dan relasi mereka struktur kompleks dari posisi-posisi yang
terhadap kekuasaan. Dalam esainya yang saling terkait namun relatif otonom dapat
berjudul Ideology and the Ideological State dilihat dalam karya Sturart Hall, Ernesto
Apparatuses, berpendapat bahwa ideologi Laclau, dan Chantal Mouffe. Akan tetapi,
memuji dan mempertanyakan individu Althusserian dalam Cultural Studies tetap
sebagai suyek konkret. Ideologi berfungsi dilihat secara kritis dan dalam beberapa hal
untuk membentuk individu konkret dianggap memiliki kekurangan, terutama
sebagai subyek. Argument ini adalah bagian menempatkan ISAs dalam posisi yang
dari antihumaniseme Althusser di mana begitu menentukan. Beroperasinya ISAs
subheik dilihat bukan sebagai agen yang dianggap terlalu fungsionalis, sehingga
membentuk dirinya sendiri, melainkan ideologi tampak berfungsi di belakang
sebagai ‘efek’ dari struktur. Dalam hal ini, punggung masyarakat atau mengontrol
hasil kerja ideologilah yang mewujudkan tindakan, tanpa memberi peluang adanya
sunyek karena tidak ada praktik melainkan agen.
oleh dan di dalam ideologi. Singkatnya,
Cara pandang Althusserian ini dapat
diskursus ideologi mengonstruksi posisi
digunakan untuk melihat bagaimana posisi
subyek atau tempat subyek berpijak ketika
Pancasila sebagai ideologi negara. Pada
dia memahami dunia (Barker, 2000: 60).
masa Orde Baru hingga sekarang pun,
Di mana letak ideologi itu? Menurut masih banyak wacana dalam perdebatan
Althusser ideologi ada dalam suatu dan pemahaman tentang Pancasila yang
apparatus dan praktik yang menyertainya; mengikuti formulasi ideologi Althusserian
walhasil, dia terus menjadikan seperangkat tersebut. Sebagai rumusan yang menem­
institusi, terutama keluarga, sistem patkan Pancasila sebagai ideologi negara

26
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

yang harus menentukan dalam setiap depan. Kedua, setiap ideologi memuat
tindakan individu maupun kelompok. Dalam seperangkat nilai-nilai atau suatu preskripsi
bahasa Orde Baru Pancasila harus menjadi moral. Pancasila dengan jelas merupakan
faktor menentukan dalam berbagai bidang seperangkat nilai dan atas dasar nilai itu
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan masyarakat ingin ditata. Ideologi secara
bernegara. Proyek ideologisasi Pancasila implisit memuat penolakan terhadap sistem
oleh negara, seperti melalui P4 merupakan lainnya. Ketiga, ideologi memuat orientasi
contoh penting cara memahami ideologi pada tindakan, ideologi merupakan suatu
seperti pandangan Althusserian tersebut. pedoman kegiatan untuk mewujudkan
nilai-nilai yang termuat di dalamnya.
Pancasila sebagai ideologi di sini
Pemahaman terhadap kenyataan tidak
berperan sebagai referensi bagi pem­
hanya bertujuan untuk memberi informasi
bentukan identitas baru sebagai warga­
dan menjelaskan, tetapi agar sesuatu
negara. Sila pertama, Ketuhanan Yang
dikerjakan, yaitu mentransformasikan
Maha Esa merupakan kategori baru yang
dunia. Oleh karena itu dapat dikatakan
mengatasi batasan-batasan berdasarkan
ideologi memuat suatu interpretasi, etika
agama tertentu. Kemanusiaan menunjuk
dan retorika. Dikatakan ideologi sebagai
pada nilai universal. Kedua, prinsip ini
retorika, karena merupakan pernyataan
mencerminkan peralihan dari lingkup
tentang sesuatu kepada seseorang, sehingga
yang partikularistik kepada yang univer­
ia tidak hanya berdiri dan diam saja, tetapi
salistik, sebagai gejala modernisasi.
“berbuat” sesuatu (Sastraprateja, 1991:
Prinsip persatuan Indonesia menunjuk
142).
kepada referensi kelompok yang baru dan
ikatan yang baru. Sedangkan kerakyatan Tampak jelas pada pemahaman seperti
dan keadilan sosial merupakan prinsip itu menempatkan bahwa ideologi adalah
yang dituntut dari status baru sebagai faktor menentukan. Bahkan gambaran
warganegara yang sama. sejarah masa depan sudah harus dikontrol
oleh seperangkat nilai yang diyakininya
Pengaruh Althusserian itu juga tam­
benar, sehingga jika ada nilai baru atau
pak bagaimana memahami Pancasila
nilai lain yang muncul dalam perjalanan
sebagai ideologi. Dengan mengutip dari
perubahan sosial, tidak dimungkinkan
Thomson (1984), Sastrapratedja misal­
adanya. Di sini, kemudian mengkondisikan
nya mendefinisikan ideologi sebagai sepe­
adanya kekuatan daya gerak dari sebuah
rangkat gagasan atau pemikiran yang
ideologi, dan tentu memiliki penafsir yang
berorientasi pada tindakan yang diorganisir
berangkat dari prinsip universalistik.
menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam
Partikularistik adalah ancaman, karena
ideologi terkandung beberapa unsur,
itu tidak bisa dibiarkan tumbuh atas tafsir
per­tama, adanya suatu penafsiran atau
lain yang berbeda dari tafsir pihak yang
pemahaman terhadap kenyataan. Pancasila
umumnya sedang berkuasa. Oleh karena
ditempatkan secara keseluruhan konteks
itu pula pada era Orde Baru Pancasila lebih
Pembukaan UUD 1945 menunjukkan
banyak tafsir dari kelompok penguasa,
adanya interpretasi terhadap sejarah bangsa
dan sebagai ideologi dalam bahasa Orde
Indonesia di masa lalu serta bagaimana
Baru harus dipahami secara utuh. Jadi
seharusnya sejarah itu terbentuk di masa

27
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

tafsir model ISAs terhadap Pancasila me­ tentang dunia yang adil dan alamiah
rupakan sumber utama wacana tentang (Gramsci, 1971: 349).
Pancasila yang tidak boleh ada perbedaan
Salah satu konsep kunci yang ditawarkan
tafsir. Karena itu, Pancasila dalam periode
Gramsci adalah apa yang populer sebagai
itu sesungguhnya menjadi ideologi yang
hegemoni. Gramsci mendefinisikan hege­
tertutup.
moni sebagai proses berkelanjutan pem­
1. Ideologi Gramscian versus Kontem­ bentukan dan penggulingan keseimbangan
porer yang tidak stabilantara kepentingan kelom­
pok-kelompok dominan dan kepentingan
Satu pemahaman yang relevan terhadap
kelompok subordinat, keseimbangan di
ideologi dalam perspektif Cultural Studies,
mana kepentingan kelompok dominan
datang dari Gramsci. Dalam analisis
hadir, namun hanya pada batas-batas ter­
Gramcian, ideologi dipahami sebagai
tentu (Gramsci, 1968: 182). Hegemoni
ide, makna, dan praktik yang, kendati
dapat dipahami dalam konteks strategi di
mengklaim sebagai kebenaran universal,
mana pandangan dunia dan kekuasaan
merupakan peta makna yang sebenarnya
kelompok sosial panutan (apakah mereka
menopang kekuasaan kelompok sosial
berupa kelas, seks, etnik atau nasionalitas)
tertentu. Di atas itu semua, ideologi tidak
dipelihara.
dapat dipisahkan dari aktivitas praktis
kehidupan, namun ia adalah fenomena Selanjutnya Gramsci mendefinisikan
material yang berakar pada kondisi hegemoni sebagai kepemimpinan budaya
sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa.
perilaku praktis dan tuntutan moral yang Ia mempertentangkan antara hegemoni
sepadan dengan agama yang secara sekuler dengan kursi yang dijalankan oleh kekuasaan
dipahami sebagai kesatuan keyakinan legislatif atau eksekutif atau juga polisi. Jadi
antara konsepsi dunia dan norma tindakan hegemoni lebih menunjukan pada proses
terkait (Gramsci, 1971: 349). penundukan terhadap kelompok secara
sistematis, sehingga yang menjadi sasaran
Suatu blok hegemonic tidak pernah
tersebut tidak sadar kalau dikuasai atau
terdiri dari kategori sosio-ekonomi tunggal,
dikontrol. Di sini yang menjadi sasaran
namun dibentuk melalui serangkaian
kontrol adalah kesadarannya, karena itu
aliansi di mana suatu kelompok berposisi
yang dipengaruhi oleh sebuah ideologi
sebagai pemimpin. Ideologi memainkan
misalnya, akan merayakan ketundukannya
peran krusial dalam membiarkan aliasi
itu.
kelomok ini (awalnya dikonsepsikan
dalam terminology kelas) menanggalkan Adapun teori hegemoni yang dicetuskan
kepentingan sempit usaha-ekonomi dan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup
mengutamakan kepentingan ‘nasionalis- dan cara berpikir yang dominan, yang di
populer’. Jadi satu kesatuan sosio-kultural’ dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan
diperoleh melalui aneka ragam kehendak, disebarluaskan dalam masyarakat baik
yang tujuan heterogennya secarabersama- secara institusional maupun perorangan;
sama dimasukkan ke dalam suatu tujuan (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa,
tunggal, sebagai basis suatu konsepsi kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan

28
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

politik, serta seluruh hubungan-hubungan Begitulah, versi Marxis ideologi mem­­


sosial, khususnya dalam makna intelektual batasi pemakaiannya pada ide-ide yang
dan moral. Ber­dasar­kan pemikiran Gramsci diasosasikan dengan, dan guna me­
tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni langgengkan kekuasaan, kelas dominan.
merupa­kan suatu kekuasaan atau dominasi Belakangan, versi yang diperluas dari
atas nilai-nilai kehidupan, norma, mau­ konsep ini menambahkan pertanyaan
pun kebudayaan sekelompok masyarakat tentang gender, etnistas, umur, dan lain-
yang akhirnya berubah men­jadi doktrin lain ke dalam kelas. Argument Giddens
terhadap kelompok masyarakat lainnya bahwa ideologi harus dipahami dalam hal
sampai kelompok yang didominasi tersebut bagaimana struktur signifikasi dimobilisasi
secara sadar mengikutinya. Kelompok yang untuk mengesahkan kepentingan sepihak
didominasi oleh kelompok lain (penguasa) kelompok hegemonic (Giddens, 1979: 6)
tidak merasa ditindas dan merasa itu adalah definisi kontemporer ideologi yang
sebagai hal yang seharusnya terjadi. mengikuti pandangan ini. Dengan kata lain,
Dengan demikian mekanisme penguasaan ideologi mengacu pada bagaimana makna
masyarakat dominan. Kelas dominan digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan
melakukan penguasaan kepada kelas kelompok berkuasa yang mencakup banyak
bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas, juga kelompok sosial yang didasarkan
kelas dominan merekayasa kesadaran atas ras, gender, umur, dan lain-lain.
masyarakat kelas bawah sehingga tanpa
Jadi, kalau versi Althusser dan
disadari, mereka rela dan mendukung
Gramscian serta lainnya melihat ideologi
kekuasaan kelas dominan.
sebagai suatu yang menjustifikasi tindakan
Pengaruh Gramscian ini cukup me­ kelompok dominan, maka versi Giddens
warnai dalam Cultural Studies, terutama tetap mengacu pada ide yang berkuasa,
ketika menjelaskan tema-tema dan topik tetapi sesuatu yang menjustifikasi pada
keterpinggiran sebuah entitas budaya. semua kelompok masyarakat. Dengan kata
Namun demikian konsepsi tentang ideologi lain, kelompok pinggiran dan kelompok
Marxian cukup mendapat kritik dari ber­ subordinat pun memiliki ideologi dalam hal
bagai pihak yang melihat bahwa dominasi pengorganisasian dan justifikasi ide tentang
kebudayaan tidaklah mutlak. Artinya, jika diri mereka sendiri dan dunianya. Jadi
kaum Gramsian atau neomarxian lainnya di sini, mengandaikan adanya agen yang
memandang bahwa kebudayaan memiliki meskipun tidak berdaya, tetap memiliki
pusat dominan baik dalam produksi maupun potensi untuk bersikap aktif terhadap
pemaknaannya, maka muncul kritik atas beroperasinya ideologi arus utama. Sebuah
itu yang berpandangan sebaliknya. Collins negosiasi, atau perlawanan tetap hidup
(1989) misalnya, menolak istilah hegemoni laten pada setiap kelompok, sekalipun
yang senantiasa mengandaikan adanya subordinat.
kelompok dominan, tetapi ia menekankan
Berbagai rumusan tentang ideologi
bahwa kebudayaan pada prinsipnya juga
yang lebih dinamis itu misalnya tergambar
bersifat heterogen baik dari segi jenis
dari perumusan yang lebih kontemporer.
teks yang dihasilkan maupun makna yang
Misalnya James Lull mengatakan,
bersaing di dalam teks.
dalam pengertiannya yang lebih umum,

29
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

ideologi adalah pikiran yang terorganisir, 2. Pancasila sebagai Ideologi


kelengkapan nilai-nilai, orientasi, dan
Pancasila sebagai ideologi di sini ber­
kecenderungan yang membentuk pers­
peran sebagai referensi bagi pemben­
pektif ideasional yang diungkapkan
tukan identitas baru sebagai warganegara.
melalui teknologi media dan komunikasi
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
interpersonal. Ideologi kadang mungkin
merupakan kategori baru yang mengatasi
kadang tidak didasarkan pada sejarah
batasan-batasan berdasarkan agama ter­
atau secara empirik merupakan fakta yang
tentu. Kemanusiaan menunjuk pada nilai
teruji. Mereka bisa menjadi terorganisir
universal. Kedua, prinsip ini mencerminkan
secara ketat tapi bisa juga bersifat longgar.
peralihan dari lingkup yang partikularistik
Satu ideologi adakalanya kompleks dan
kepada yang universalistik, sebagai gejala
terintegrasi dengan baik; tetapi yang lain
modernisasi. Prinsip persatuan Indonesia
ada juga yang bersifat fragmentatif. Suatu
menunjuk kepada referensi kelompok yang
ideologi kadang ada yang berumur pendek,
baru dan ikatan yang baru. Sedangkan
tetapi ada juga yang berlaku terus-menerus.
kerakyatan dan keadilan sosial merupakan
Ada juga ideologi begitu diberlakukan
prinsip yang dituntut dari status baru
langsung ditolak oleh khalayak, tetapi ada
sebagai warganegara yang sama.
juga yang begitu sukses dianut dan dibela
oleh penganutnya. Kewarganegaraan (citizenship) me­
ngan­dung kesamaan manusia yang berasal
Ideologi adalah ungkapan yang pas
dari keanggotaannya dalam komunitas
untuk menggambarkan nilai-nilai dan
politik nasional dan diwujudkan dalam
agenda publik dari suatu bangsa, kelompok
hak-hak yang sama yang dimiliki oleh
agama, calon politisi dan gerakan-gerakan
semua warganegara. Warganegara ber­
sosial politik, organisasi bisnis, sekolah,
peran dalam masukan (partisipasi)
kesatuan buruh, bahkan tim olahraga
dan keluaran (distribusi) fungsi-fungsi
profesional dan group band musik rok.
peme­rintahan. Pengutamaan dari yang
Tetapi istilah ideologi lebih sering merujuk
universalistik terhadap yang partikularistik
pada hubungan antara informasi dan
dalam hubungan pemerintahan dengan
kekuatan sosial dalam skala besar, yang
warga negara sangat penting bagi per­
berkaitan dengan konteks ekonomi-politik.
wujudan hak-hak warganegara tersebut.
Raymond Williams menyebut ideologi
Secara yuridis ini dirumuskan sebagai
sebagai seperangkat ide yang berasal dari
kesamaan warganegara di hadapan hukum
seperangkat kepentingan material, atau
(equality before the law). Demikian juga
lebih luas, dari kelompok atau kelas tertentu.
pengutamaan alokasi peranan politik dan
Sedangkan Stuart Hall berpendapat
birokrasi atas dasar prestasi dan bukan
bahwa ideologi tidak hanya merupakan
atas dasar norma-norma tradisional yang
otoritas ekonomi, tetapi membentuk dan
diwariskan (ascriptive) mendukung proses
mempertahankan pembagian kelas sosial di
kesamaan (Coleman, 1971: 77-78).
Kerajaan Inggris dan masyarakat kapitalis
lainnya. Dimensi budaya kedua dari politik adalah
legitimasi politik. sumber dari otoritas dan
legitimitas politik dengan pembentukan

30
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

Negara Kesatuan Republik Indonesia telah warganegara dan dengan dimensi kedua,
berubah. Kita dapat meminjam istilah yaitu bahwa kekuasaan berasal dari rakyat
yang dipakai oleh L. Binder (1971), yaitu sendiri. Warganegara adalah manusia yang
perubahan sumber legitimasi politik dari otonom, yang secara ideal, merupakan
transendental kepada imanen, dari sumber manifestasi dari semangat kebebasan
yang sakral kepada konsensus. Kekuasaan dan persamaan seorang warga republik.
tidak lagi berasal dari “dunia sana”, tetapi Warganegara adalah seorang manusia yang
dari rakyat, ada di tangan rakyat. Inilah merdeka dan mempunyai harga diri, yang
yang dimaksud denan “imanen”. Kekuasaan mampu secara efektif mengorganisir dan
bersumber dan berdasar atas konstitusi. memprakarsai kebijakan politik.
Dengan lain perkataan prinsip demokrasi
Partisipasi adalah keterlibatan warga­
mencerminkan perubahan tersebut. Seperti
negara dalam proses politik yang intinya
dikatakan Huntington (1968: 34) “pertama-
adalah proses pengambilan keputusan.
tama modenrisasi politik mencakup
Myron Weiner menyebut tiga aspek dari
rasionalitas otoritas, penggantian sebagian
partisipasi. Pertama, partisipasi adalah
besar otorisasi tradisional, keagamaan,
tindakan, termasuk tindakan verbal bukan
keluarga dan kesukuan. Perubahan ini
hanya sikap atau perasaan subyektif.
mengimplikasikan bahwa pemerintah
Aspek kedua, ialah kegiatan itu keluar
adalah hasil manusia, bukan hasil alamiah
dari kehendak warganegara. Tindakan-
atau Allah. Pancasila dan UUD 1945
tindakan yang diwajibkan atau dipaksakan
merupakan sistem legitimasi. Kekuatan
tidak digolongkan dalam partisipasi.
dari legitimasi ini tergantung pada dua
Ketiga, partisipasi mengandaikan adanya
hal, yaitu “performance capacity” dari
pilihan. Mobilisasi paksaan tidak dapat
pemerintah dan pemahaman serta perasaan
disebut partisipasi. Yang menjadi masalah
rakyat terhadap sistem legitimasi tersebut.
dalam setiap pembangunan politik ialah
Yang pertama menyangkut kemampuan
bagaimana menciptakan etos yang akan
mewujudkan prinsip dalam Pancasila dan
mendorong kemandirian individu dan
UUD 45. Tersebut dan kedua menyangkut
membantu warganegara melihat dirinya
proses sosialisasi dari Pancasila dan UUD
sebagai partisipan politik. Dua hal paling
45. Salah satu ciri kekuasaan tradisional
sedikit perlu ditempuh, yaitu peningkatan
ialah bahwa kekuasaan itu dipandang
kemampuan dan penciptaan kesempatan.
“given” dan tidak dipertanyakan. Sebaliknya
Yang pertama menyangkut pendidikan
dalam modernisasi segala sesuatu dapat
umum dan pendidikan politik yang
dipertanyakan dan harus diterangkan
harus dijalankan dengan cara partisipatif
secara rasional. Maka keterbukaan dan
juga. Cara pendidikan terbaik untuk
penjelasan yang rasional merupakan faktor
partisipasi adalah partisipasi itu sendiri .
yang ikut menentukan terbentuknya nilai-
yang kedua ialah penciptaan kesempatan
nilai Pancasila menjadi etos (Sastraprateja,
untuk berpartisipasi dengan menciptakan
1991: 150).
struktur-struktur yang membuka peluang.
Dimensi budaya ketiga dari politik Salah satu yang penting adalah akses
adalah partisipasi. Ini terkait erat dengan kepada informasi. Masyarakat tak mungkin
dimensi pertama ialah identitas baru sebagai berpartisipasi dalam politik kalau mereka

31
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

tidak memperoleh informasi. Dengan cara dekonstruksi Derridean;


itu masyarakat dimungkinkan untuk ikut
- Beberapa studi resepsi (reception
serta mencari pemecahan berbagai masalah
studies), yang akar teoritisnya bersifat
yang dihadapi bangsa. “Partisipasi sejati,
eklektis (Barker, 2000: 27).
yang meningkatkan kesadaran partisipan
akan nilai, masalah dan kemungkinan Peneliti menyakini bahwa etnografi
untuk mengadakan pilihan-pilihan, yang sebagai sebuah pendekatan dalam upaya
mempengaruhi isi dan pembangunan, mengungkap dan menjelaskan berbagai
yang melahirkan cara baru untuk bekerja, fakta dan makna kultural yang berkaitan
dan juga yang menjamin hak partisipan dengan isu ideologi Pancasila dalam
akan bagian yang adil dalam hasil-hasil dinamika politik pada era reformasi.
pembangunan, merupakan aspirasi yang Etnografi adalah pendekatan empiris dan
elusive. Tetapi perubahan aspirasi ini teretis yang diwarisi dari antroplogi yang
menjadi kenyataan pada akhirnya akan berusaha membuat deskripsi terinci dan
terbukti sebagai prasyarat utama bagi suatu analisis kebudayaan yang didasarkan pada
gaya pembangunan yang memungkinkan kerja lapangan yang intensif. Dalam konsep
masyarakat menciptakan kesejahteraan klasik, seorang Etnograf berpartisipasi
dalam jangka panjang (Wolfe, 1980: 17). dalam kehiduapan masyarakat selama kurun
waktu yang relatif lama, memerhatikan
C. Kebudayaan dan Etnografi
apa yang terjadi, mendengarkan apa yang
Penelitian ini merupakan penelitian dikatakan dan mengajukan pertanyaan”
yang menggunakan pendekatan kualitatif, (Hammersley dan Atikinson, 1983: 2).
dengan memposisikan informan dan atau Tujuannya adalah menghasilkan apa
responden sebagai pihak yang aktif dalam yang dalam istilah Geertz (1973) dikenal
menafsirkan dunia sekitarnya. Secara lebih sebagai “deskripsi-mendalam” dari
spesifik pendekatan kualitatif ini akan “multiplisitas struktur konseptual yang
memilih etnografi sebagai pilihan metode. kompleks”, termasuk berbagai asumsi
Metode ini meskipun lazim dipakai dalam yang dituturkan dan diterima apa adanya
antropologi, tetapi juga sering dipakai tentang kehiduapan kultural. Etnografi
dalam penelitian kajian budaya. berkonsentrasi pada detail kehidupan
lokal dan pada saat yang sama mengaitkan
Secara keseluruhan, Cultural Studies
mereka dengan proses-proses sosial yang
lebih memilih metode kualitatif dengan
lebih luas (Barker, 2000: 28).
fokus makna kultrual. Karya-karya dalam
Cultural Studies terpusat pada tiga macam D. Mewacanakan Pancasila
pendekatan:
Ideologi Pancasila merupakan kese­
- Etnografi, yang sering kali dikaitkan pakatan politik, kultural, dan moral bangsa
dengan pendekatan kulturalis dan Indonesia yang plural penuh keberagaman.
lebih menekankan “pengalaman Dalam sejarahnya hingga mencapai kese­
nyata”. pakatan itu harus melalui pergulatan
panjang mengikuti dinamika politik, dan
- Beberapa macam pendekatan tekstual,
bahkan diwarnai konflik yang memakan
yang cenderung memanfaatkan se­
korban jiwa. Di antara kelompok-kelompok
mio­­tika, pascastrukturalisme dan

32
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

politik yang berkontestasi dalam panggung produksi wacana yang disebarluaskan


politik Indonesia kon­temporer, terus oleh media massa. Tokoh lintas agama
memproduksi wacana yang mempersoalkan mengingatkan pentingnya Pancasila sebagai
ideologi bangsa. Meskipun nuansa itu tidak pemandu kehidupan berbangsa. Pluralisme
selalu manifest, tetapi secara kontinyu dan multikulturalisme adalah paham yang
terus hidup laten mengiringi perjalanan imperatif, dan kesadaran akan pentingnya
bangsa mencari identitas. Karena itu saling berkomunikasi dan menghargai
wacana ideologi negara terus mengalami adalah penting. Wacana Pancasila yang
pasang-surut mengikuti isu dan dinamika sarat nilai pluralisme dan multikulturalisme
permasalahan dalam berbangsa. menguat dalam media massa maupun
dalam praksis bermasyarakat.
Pada era reformasi situasi pasang-
surut wacana Pancasila sebagai ideologi Sementara itu jika terjadi konflik-
negara juga terus mewarnai dinamika konflik antaretnis juga berbanding lurus
tarik-menarik kekuatan politik dalam dengan peningkatan produksi wacana
menghadapi permasalahan yang timbul. Pancasila. Ketika terjadi konflik antaretnis
Setidaknya ada dua faktor penting yang di beberapa titik konflik di Kalimantan pada
membuat wacana Pancasila pada era awal milinium 2000, antara suku Dayak
reformasi mengalami pasang-surut, yaitu dan Madura, wacana yang diproduksi
pertama munculnya peristiwa intoleransi oleh segenap tokoh juga meningkat. Isu
baik berbasis perbedaan agama maupun persatuan dan kesatuan sebagai bangsa
etnis, dan kedua menguatnya gaya hidup Indonesia terangkat kembali, dan diskusi
modern yang dieksploitasi konsumsi. tentang NKRI pun menyebar di berbagai
forum dan pemberitaan media massa.
Ketika kehidupan berbangsa sedang
Negara yang terasa lemah, dan kurang
dihadapkan pada munculnya berbagai
berdaya menghadapi permasalahan konflik
tindak intoleransi yang bersumber
etnis pun diingatkan agar menggunakan
pada keyakinan agama, maka wacana
Pancasila sebagai instrumen pemersatu.
Pancasila menguat. Pada saat terjadi
Pada situasi semacam itu, wacana Pancasila
konflik antaragama di Ambon Maluku, dan
menguat, dan orang pun ingat bahwa
kemudian meluas hingga Poso Sulawesi,
bangsa Indonesia memiliki Pancasila
produksi wacana Pancasila sebagai dasar
yang menekankan pentingnya persatuan
kehidupan kerukunan umat beragama
sebagaimana tercantum pada sila tiga yaitu
mengalami pasang. Berbagai pemberitaan
Persatuan Indonesia.
yang bersumber dari kegiatan akademik
maupun kegiatan nyata bermunculan Namun demikian, ketika Indonesia
di media massa. Para nara sumber meng­hadapi persoalan di seputar isu
menyebarkan wacana tentang pentingnya kesejahteraan, tidak diikuti oleh menguatkan
Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan produksi wacana Pancasila. Ketika
sehari-hari. Segenap tokoh masyarakat dihadapkan pada masalah kemiskinan
pun ikut memproduksi wacana Pancasila misalnya, tidak mengaitkannya dengan nilai
agar tetap menjadi rujukan untuk saling keadilan sosial sebagaimana tercantum
menghormati. Para tokoh lintas agama dalam sila kedua Kemanusiaan yang Adil
melakukan pertemuan sebagai bagian dari dan Beradab dan sila kelima Keadilan Sosial

33
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berbagai wacana keagamaan semakin menguat


wacana yang berkaitan dengan masalah dan bahkan cenderung mendominasi. Di
kemiskinan lebih banyak menyalahkan kalangan instansi pemerintah pun discourse
pemerintah, dan merujuk pada penjelasan tentang Pancasila suara dan getarannya
yang bersumber dari teori-teori sosial sangat lemah. Tidak ada lagi forum-forum
yang konteksnya masyarakat Barat. Jarang diskusi yang mengangkat tema-tema dan
sekali wacana penanggulangan kemiskinan topik-topik Pancasila sebagai ideologi
yang menawarkan konsep yang bersumber negara. Bahkan tidak sedikit aparat
dari nilai-nilai Pancasila. Konsep ekonomi birokrasi, terutama di kalangan muda,
Pancasila sebagaimana yang digagas oleh yang tidak hapal Pancasila. Beberapa
Mubyarto misalnya, tidak menjadi wacana produk perundangan yang menjadi payung
dominan dalam pembahasan konseptual. hukum program pembangunan daerah
seperti Perda misalnya, jarang sekali yang
Ketika terjadi ekspoloatasi atas buruh
menjadikan Pancasila sebagai konsideran.
dalam masyarakat industri, atau ketika
Popularitas Pancasila dalam jajaran instansi
menghadapi masalah perjuangan buruh,
pemerintah justru mengalami penurunan
juga tidak mengangkat wacana hubungan
secara signifikan. Ini sebuah ironi dalam
produksi Pancasila sebagaimana yang
negara berdasarkan Pancasila.
digagas oleh pemikir era Orde Baru, yang
dikenal dengan hubungan industrial Situasi yang sama juga terjadi dalam
Pancasila. Perdebatannya lebih mengarah lembaga pendidikan yang antara lain
pada lemahnya negara yang kurang berfungsi sebagai sosialisasi nilai. Sejak era
peduli terhadap nasib buruh. Atau hanya reformasi, pelajaran Pancasila dihapus dan
berkisar pada perdebatan bagaimana hanya masuk dalam sub pokok bahasan
meningkatkan upah buruh, tidak pernah pelajaran Pendidikan Kewargaan. Bahkan
mencari akar persoalannya pada ranah Undang-undang Sistem Pendidikan
sistem ketatanegaraan yang berideologi Nasional, tidak menyebut sama sekali
Pancasila. Terasa ironis, justru suatu Pancasila. Akibatnya, popularitas Pancasila
negara yang memiliki Pancasila yang sarat di kalangan murid dan mahasiswa menjadi
dengan nilai keadilan, dan menjadikannya hilang kalah dengan wacana keagamaan.
sebagai ideologi negara, tetapi tidak Survey Gerakan Nasionalis 2006/GMPI
pernah menempatkannya sebagai rujukan (Kompas 4 Maret 2008) tentang way of life
utama dalam penyelesaian kesejahteraan Mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di
buruh. Jadi di sini, wacana Pancasila Indonesia (UI, IPB, UNPAD, UGM, UNAIR,
kurang berkembang ketika menghadapi UNIBRAW, ITB, UNHAS, UNAND, UNSRI,
permasalahan kesejahteraan, kemiskinan, dan UNSIAH) ditunjukkan kecenderungan
dan eksploitasi buruh. Sebuah ironi di mahasiswa menjadikan syariah sebagai
negara yang berdasarkan Pancasila yang way of life mereka. Data yang diperoleh
sarat dengan nilai-nilai populis. menunjukkan, 80% memilih syariah, 15 %
nasionalis, dan hanya 5 % memilih Pancasila
Wacana Pancasila dan Agama
sebagai way of life mereka. Sedangkan,
Pada era reformasi, wacana Pancasila menurut Survey Pusat Kajian Islam dan
benar-benar mengalami surut, sementara Perdamaian yang dilakukan terhadap

34
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)

siswa dan guru agama Islam pada Sekolah Reformasi misalnya, muncul wacana yang
Menengah Atas di Jakarta menunjukkan menempatkan Pancasila sebagai sesuatu
kecenderungan yang hampir sama di sudah final dan karena itu tidak terbuka
mana sebanyak 76% memilih syariah, 17 untuk pernafsiran baru. Selain itu muncul
% memilih fungky’s, dan sebanyak 7 % wacana lain (Ali, 2009: 52-56), Pancasila
memilih Pancasila. merupakan kontrak sosial, dan karena itu ia
tidak lagi dianggap sebagai ideologi negara
Hal yang berbeda terjadi di era Reformasi
seperti pendapat Onghokham, Armahedy
yaitu Pancasila mengalami pergeseran dari
Mahzar dan Garin Nugroho (Abdullah,
state-center menjadi people-center yang
2010: 23). Dengan kata lain, Pancasila
telah terjadinya banyak perubahan dan
disamakan kedudukannya dengan
pergeseran mengenai posisi dan peran
MagnaCharta di Inggris atau Bill of Rights
Pancasila itu sendiri. Lembaga-lembaga
di Amerika Serikat.
pada masa Orde Baru yang bertujuan
untuk menguatkan posisi dan peran Fakta lain memperlihatkan bahwa
Pancasila ditolak dan bahkan dibubarkan Pancasila mengalami penolakan khususnya
di era Reformasi. Pergeseran dari model dari kalangan yang menginginkan Islam
state-center menjadi people-center sebagai ideologi negara. Hal ini dapat
berdampak pada semakin menurunnya dilihat melalui upaya mempertentangkan
tingkat kepatuhan masyarakat terhadap agama (Islam) dan Pancasila; mengubah
Pancasila. Di sini pun terlihat bahwa telah NKRI sebagai Negara Islam Indonesia;
terjadi sebuah proses delegitimasi terhadap pemberlakuan kembali Piagam Jakarta
Pancasila yang sejalan dengan liberalisasi seperti yang diwacanakan oleh partai-
yang semakin mengental. (Kompas, 31 partai Islam menjelang pemilu 2009
Agustus 2010). lalu, pemberlakuan syariat Islam melalui
Peraturan Daerah, tuntutan beberapa
Demikian pula, globalisasi dengan
ormas non-politis terhadap penegakan
demo­kratisasi, HAM, pasar bebas dan
Khilafah Islamiyah meng­gantikan negara
lingkungan hidup serta dampak bawaannya
Pancasila.
(liberalisme, kapitalisme, sekularisme,
dan komunisme) mengambil peran dalam Adanya tuntutan dari kelompok
proses penolakkan Pancasila. Pancasila tertentu mengenai perubahan ideologi
melalui penjabaran sila-silanya yang agamis negara merupakan tanda dari adanya
banyak bertentangan dengan ideologi Barat persoalan yang mendasar. Tuntutan
yang cenderung memisahkan dan bahkan tersebut tidak muncul begitu saja karena
mengabaikan agama seperti komunisme. pada fakta sejarahnya terdapat indikasi
Hal ini oleh D.E. Smith (1970: 10) disebut yang mengarah kuat pada perwujudan
sebagai upaya memutus peran politik ide tersebut. Kembali ke Piagam Jakarta
agama (Islam) dan membuka ruang pada merupakan isu sentral yang diusung oleh
sekularisasi politik. beberapa kelompok seperti partai politik
Islam khususnya menjelang pemilu. Hal
Dalam perkembangannya, muncul
ini tidak terjadi secara terbuka di era Orde
ber­bagai wacana untuk ‘meng­hangatkan’
Baru yang dominasi partai politik beraliran
kembali debat mengenai Pancasila. Di era
nasionalis sangat kuat. Wujud nyata

35
yang diinginkan oleh aspirasi ini adalah fundamentalisme yang menciptakan ruang
perubahan negara Indonesia menjadi untuk saling menghancurkan (mem­
negara Islam Indonesia melalui perubahan bandingkan Pancasila dengan agama).
dasar negara dari Pancasila menjadi Islam Sila kedua yang intinya menjunjung tinggi
sehingga Indonesia berwujud menjadi semangat kemanusiaan hampir tidak
sebuah khilafah. ada karena yang berlaku adalah ‘hukum
rimba’, siapa yang kuat ia berkuasa. Sila
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh
ketiga yang pada intinya menyerukan
adanya upaya-upaya tersebut di atas,
persatuan sangat bertolak belakang yang
terhadap Pancasila adalah munculnya
semua dipaksa menjadi, misalnya orang
ideologi baru dalam tatanan kehidupan
“Jawa”, Sumatera, atau yang lain sehingga
ber­masyarakat, berbangsa, dan bernegara
memecah persatuan atau negara kesatuan
di Indonesia. Artinya, Pancasila bukan
dibandingkan dengan disintegrasi. Sila
lagi sebagai sumber utama karena telah
keempat mengenai musyawarah-mufakat
lahir sumber atau pedoman baru. Jika
tidak tampak, justru yang kental adalah
demikian adanya maka identitas ke-
liberalisme atau pemilihan melalui voting
Indonesia-an bangsa akan hancur sehingga
(bukan demokrasi). Sila kelima yakni
neo-kolonialisme muncul dan bahkan
keadilan sosial sangat sulit terwujud yang
berkuasa yang pada akhirnya dalam
‘adil dan makmur’ dibalik menjadi ‘makmur
operasionalnya akan menyedot pula
dan adil’ artinya, makmur dulu baru adil
sumber kekayaan Indonesia khususnya
karena ekonomi yang mensejahterakan
sumber daya alam seperti minyak dan
hanya dimiliki dan dinikmati oleh segelintir
energi. Akhirnya, manusia Indonesia hanya
orang (Sukendro, 2012) atau keadilan
dijadikan sebagai pengguna/konsumen
dibandingkan dengan kapitalisme.
bukan produsen sehingga kemiskinan dan
ketimpangan akses akan terjadi di mana- Pengalaman ini menunjukkan bahwa
mana. Hal tersebut saat ini mengarah pada Pancasila mau tidak mau harus direvitalisasi
bangsa Indonesia, yang pengaruh kuat kembali sehingga nilai-nilainya tetap
asingnya sangat dominan sehingga terjadi relevan dengan situasi actual masyarakat.
penaklukan dan pemiskinan terstruktur Ketua Umum PBNU, Said Agil Siradj,
terhadap masyarakat. mengemukakan pentingnya mendudukkan
kembali Pancasila pada posisi yang tepat.
E. Penutup
Menurut dia Pancasila tidak lebih dipahami
Realitas sekarang ini tidak sejalan pada level instrumental semata yaitu
dengan Pancasila karena kemiskinan masih sebagai alat pemersatu bangsa (NU Online,
terjadi di mana-mana, rasa keadilan masih 03 Juni 2010). Oleh karena itu, pentingnya
rendah, konflik antar-kelompok semakin Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa
marak, bahkan simbol-simbol negara masih tidak hanya dipahami berdasarkan teks
sering dipakai untuk kepentingan politik dengan kelima silanya, melainkan juga
dan golongan tertentu (Ali, 2009: 81). Pada harus dipahami dari konteksnya sebagai
sila pertama misalnya yang mengusung sumber hukum tertinggi.
ide ketuhanan sangat bertentangan
karena yang muncul adalah semangat

36
Daftar Pustaka Hutington. P. Samuel. 1968. Political Order
in Changing Societies. New Haven:
Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila:
Yale University Press.
Jalan Kemaslahatan Berbangsa.
Jorgensen, Marianne. W dan Louise J.
Jakarta: LP3ES.
Phillips. 2007. Analisis Wacana:
Amstrong Karen. 2012. Sejarah Tuhan.
Teori dan Metode. Yogyakarta:
Mizan Pustaka. Bandung.
Pustaka Pelajar.
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana: Teori,
Karim Mulyawan. 2010. Rindu Pancasila.
Metode, dan Penerapannya pada
PT. Kompas Media Nusantara.
Wacana Media. Jakarta: Kencana.
Jakarta.
Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan
Kompas, Konsep dan Ide Desentralisasi di
Pancasila. Yogyakarta: Pustaka
Indonesia, 23 Juni 2012.
Pelajar.
Kompas, Pancasila dan Wawasan
Barker, Chris, 2000, Cultural Studies:
Kebangsaan, 31 Agustus 2010.
Theory and Practice, London: Sage
Kompas, Pemulihan Ekonomi Asia
Publications.
Diragukan, 10 Oktober 1998.
Buku Pintar Kompas 2011. 2012. Penerbit
Lubis Mochtar. 2012. Manusia Indoneisa.
Kompas. Jakarta.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Coleman. James. S. 1971. The Development
Jakarta.
Syndrome: Differentiation –
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio
Equality- Capacity, dalam L. Binder
Gramsci: Negara dan Hegemoni.
et al. Crisis and Sequences in
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Political Development. Princeton:
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman,
Princeton University Press.
2007, Teori Sosiolog: Dari Teori
Dzakirin Ahmad. Kebangkitan Pos
Klasik
Islamisme Analisis Strategi dan
Sampai Teori Sosial Postmodern,
Kebijakan AKP Turki memenangkan
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Pemilu.
Runsiman David. 2012. Politik Muka Dua.
Eagleton, Terry. 1991. Ideology: an
Jogyakarta.
Introduction. USA: Vesto.
Said Anwar Muhammad. Penerapan Syariat
Gramsci, A. 1968. Prison Notebooks.
Islam Dalam Undang-Undang,
London: Lawrence & Wishart.
Belajar dari Pengalaman Mesir.
________ 1971. Selections from the Prison
Santoso, Nur Sayyid Kristiva. Negara
Notebooks, eds Q. Hoare and G.
Marxis dan Revolusi Proletariat.
Nowell-Smith. London: Lawrence &
Sastrapratedja, M. 1992. Pancasila sebagai
Wishart.
Ideologi dalam Kehidupan Budaya.
Hikam, Mohammad AS. 1996. “Bahasa dan
Dalam Pancasila sebagai Ideologi,
Politik: Penghampiran Discurcive
disunting Oetojo Oesman dan
Practice”, dalam Yudi Latif dan
Alfian. Jakarta: BP-7 Pusat.
Ida Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa
dan Kekuasaan: Politik Wacana di Smith, D.E. 1970. Religion and Political
Panggung Orde Baru. Bandung: Development. Boston: Little,
Mizan. Brown and Company.

37
Sukendro, Greg Genep. 2012. Pancasila: MPR no. II/MPR/1978). Balai
Riwayatmu Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka.
Tifa. Darji Darmodiharjo. 1979. Menjadi Warga
Surya, Aji. 2012. Geliat Islam di Rusia. Buku Negara Pancasila. Balai Pustaka.
Kompas, Jakarta. Jakarta
Suwarno, P.J. 2009. Pancasila Budaya Faisal Ismail. 2010. Membongkar
Bangsa Indonesia: Penelitian Kerancuan Pemikiran Nurcholish
Pancasila dengan Pendekatan Madjid Seputar Isu Sekularisasi
Historis, Filosofis, dan Sosio-Yuridis dalam Islam.
Kenegaraan. Yogyakarta: Kanisius. Syafii Ma’arif. 2009. Islam Dalam Bingkai
Taniredja Tukiran, Afandi Muhammad, dan Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Miftah Faridli Efi. 2011. Paradigma Penerbit Mizan.
Baru Pendidikan Pancasila. Alfa
Beta. Bandung.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007.
Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thompson, J. B. 2004. Kritik Ideologi
Global Teori Sosial Kritis Tentang
Relasi Ideologi dan Komunikasi
Massa. Yogyakarta: IRCiSoD.
Wazis Kun 2012. Media Massa dan
Konstruksi Realitas. Aditya Media
Publishing. Jogyakarta.
Yuwono, Untung. 2008. “Ketika Perempuan
Lantang Menentang Poligami:
sebuah Analisis Wacana Kritis
tentang Wacana Anti-poligami”,
dalam Jurnal Wacana, Vol. 10,
Nomor 1 April. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Bacaan Pendukung:
Darji Darmodiharjo. 1978. Santiaji
Pancasila. Laboratorium Pancasila
IKIP Malang.
Darji Darmodiharjo, C. S. T. Kansil,
Kasmiran WuryoWarga. 1979.
Negara Pancasila. Balai Pustaka.
Darji Darmodiharjo. 1979. Pancasila:
suatu orientasi singkat : dilengkapi
dengan Pedoman penghayatan dan
pengamalan Pancasila (Ketetapan

38
POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS

Partini

Abstrak
“Tulisan ini menggambarkan dinamika perempuan di dunia politik. Representasi
Politisi perempuan menampilkan paradoksal antara ide kesetaraan dengan kenyataan
praksisnya. Perempuan diwacanakan agar dapat menempati posisi strategis dalam skema
pembangunan namun implementasinya belum maksimal. Dari segi kuota misalnya
sebagian besar parpol bisa memenuhi kuota 30%, namun teori The glass ceiling masih
berlaku dalam ranah politik. Pemerintah mencoba memperbaiki dengan penerapan sistem
zipper namun paradoks masih terus terjadi. Tulisan ini mencoba menguraikan dinamika
dan sekaligus tantangan yang muncul baik secara kultural maupun struktural”
Kata kunci : Representasi Politik, Politik Adil Gender
Abstract
“This article wants to show the dynamic of Woman’s role in Politics. The representation
of woman’s politicians seems dealing with paradox. The discourse support woman to be
in strategic position in development scheme but the implementations stil not maximum.
Even the political party can afford 30% of representation for womans in parlement but
still the glass theory is applied in the political field. Indonesian government tried to fix
this problem using zipper system, but it seems the paradoxs are still happens. Using
this problem as entry point, this article wants to explain the dynamics and threads that
showed culturally and structurally”
Keywords: political representation, politics of gender equality

A. Pendahuluan setiap orang yang akhirnya membentuk


sebuah konstruksi sosial dengan relasi yang
Sebagian terbesar warga masyarakat
timpang dan berdampak dalam mengambil
dibesarkan sebagai generasi yang menganut
keputusan baik di ranah keluarga, di
paham patriarkhi, dimana keyakinan
masyarakat dan di tataran negara. Bergaris
terhadap nilai-nilai yang menempatkan
lurus dengan ungkapan Lely Zaelani (2007),
laki-laki pada derajat dan kesempatan yang
bahwa politik dipahami sebagai sesuatu
lebih tinggi masih cukup menancap. Ideologi
yang negative (politiking), afiliasi suatu
yang tertanam kuat dalam masyarakat
partai politik dan hubungannya dengan
ini menjadi dasar berfikir dan bertindak
kekuasaan, laki-laki yang mendominasinya.

39
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Sebagaimana ditemukan di banyak negara, Gagasan WAD bergulir 10 tahun kemudian


bahwa politik perempuan adalah politik yang menyatakan bahwa keterpurukan
keseharian. perempuan merupakan akibat dari struktur
negara yang tidak adil. Oleh karenanya
Dalam pandangan yang minor, ketidak­
perempuan harus ikut menjadi bagian dari
adilan struktural dalam jerat ideologi
tantanan universal untuk berjuang melawan
patriarkhi tersebut tidak memihak pada
ketiadakadilan tersebut. Namun hal ini
realitas yang dihadapi perempuan. Gejala
menjadikan struktur patriakrhi diabaikan
kemiskinan misalnya yang lebih banyak
dalam melacak problem ketidakadilan yang
dialami oleh perempuan, praktis membatasi
dialami perempuan. Oleh karena itu untuk
ruang artikulasi bagi perempuan dalam
mengupayakan kesetaraan gender dalam
berpendapat, berpendidikan tinggi dan
konteks yang lebih utuh GAD dianggap
berpenghasilan besar. Hal ini berlanjut
sebagai perangkat yang melihat semua
pada stigma bahwa perempuan tidak
aspek kehidupan perempuan baik dari
cukup memiliki potensi untuk berlaga di
ranah produktif, reproduktif, privat dan
arena publik. Demikian juga halnya dalam
publik (Moose 2007:205-209).
konstelasi politik. Kebanyakan partai
politik hanya menganggap perempuan Sementara di Indonesia, untuk me­
sebagai pelengkap yang mendongkrak realisasikan gerakan GAD tersebut mun­
suara parpol. Partai politik masih   belum cul strategi Pengarusutamaan Gender
melihat perempuan sebagai patner setara (PUG). Strategi PUG ini dilakukan guna
yang bisa berkontribusi positif  untuk menjamin jalannya seluruh proses
membawa Indonesia yang lebih baik dan pembangunan, mulai dari perencanaan,
lebih demokratis. pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari
sisi kebijakan pembangunan, perempuan
Padahal jika merunut jejak perjuangan
adalah subjek yang setara dalam akses
perempuan mencapai kesetaraan secara
partisipasi juga kontrol atas pembangunan
struktural, negara telah melakukan se­
dan dalam memanfaatkan hasil-hasilnya
rangkaian program yang menuntut adanya
(Blakasuta:2004).Strategi ini menjelaskan
keterlibatan perempuan. Dalam konteks
bahwa partisipasi perempuan yang
pembangunan, ada gagasan WID hingga
berkaitan pada unsur pembangunan
PUG. WID sebagai awal merupakan bentuk
mutlak harus dilakukan, demikian juga
respon dari modernisasi yang lebih banyak
halnya dalam ranah politik. Sebagai
membawa arus pengembangan teknologi.
pemangku kebijakan, perempuan memiliki
Pemikiran Boserup (1970) disebut-sebut
kepentingan agar dapat lebih berdaya
sebagai stimulan yang paling kuat dalam
dalam mengakses fasiltas-fasilitas yang ada
bergulirnya konsep WID bahwa penempatan
hingga menikmati hasil-hasilnya. Dalam
perempuan di sektor publik harus menjadi
konteks ini Perempuan ditantang untuk
fokus utama pembangunanan. Melalui
menempati posisi-posisi strategis sebagai
konsep ini negara bergegas melakukan
calon legislatif dan eksekutif yang terlibat
berbagai upaya, salah satunya adalah
langsung dalam perumusan kebijakan
revolusi pendidikan bagi perempuan
publik (Partini, 2004) . Hal ini akhirnya
untuk meningkatkan daya saing dan
menjadi salah satu agenda besar bagi partai
produktivitas perempuan di ranah kerja.

40
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS

politik untuk membuktikan peran dan menunjukkan pentingnya keberadaan


fungsinya sebagai penyalur aspirasi dan partai politik. Hal ini berkaitan dengan
kepentingan rakyat. Oleh karena itulah, fokus pembahasan yaitu memberikan
penting kiranya memasukan pengalaman kesempatan bagi perempuan untuk belajar
pemilu yang lalu untuk mengkaji lebih berpolitik praktis dengan bertanggung
dalam dinamika partai politik dalam jawab di posisi-posisi yang strategis. Posisi
mengimplementiasikan regulasi yang yang strategis tidak hanya administrasi
bermuatan adil gender. Dinamika ini dan keuangan yang merupakan keandalan
menjadi menarik sebagai inisiasi untuk dan ketrampilan perempuan, tetapi juga
menelusuri jejak partai politik dalam dilibatkan dalam proses perumusan
menempatkan perempuan sebagai agen kebijakan agar perempuan memiliki ke­
perubahan (agent of change) yang adil sempatan dan kontribusi yang signifikan
gender baik secara ideologi maupun praksis seperti halnya laki-laki.
Dalam setting kehidupan berbangsa dan Keterwakilan perempuan di bidang
bernegara, aspek politik begitu kompleks politik, menurut Latifah Iskandar (2008),
dan dinamis, yang kadang sulit diterka terdapat 2 (dua) jenis keterwakilan yaitu
dan dipahami arah kecenderungannya. : (a) Keterwakilan Ide/Gagasan yang
Bahasan mengenai politik tentu tidak lepas dimaksud adalah bisa diwakilkan kepada
dari pemahaman mengenai demokratisasi. selain perempuan karena ide/gagasan
Relevansi pengertian masyarakat dalam yang berhubungan dengan perempuan
kerangka demokratisasi sebagai suatu bisa disampaikan oleh selain perempuan;
arena yang secara khusus mengatur (b) Keterwakilan Keberadaan (Eksistensi)
warganya dalam konstelasi politik guna meliputi 2 (dua) aspek yaitu: (i) Tidak
memperoleh kontrol atas kekuasaan aparat bisa diwakilkan kepada selain perempuan,
negara salah satunya adalah melalui partai sehingga komposisi keterwakilan perem­
politik. Ramlan Surbakti (dalam Cholisin puan sama dengan perempuan yang
2007) mendefinisikan partai politik adalah diwakili; dan (ii) Perempuan harus diwakili
sebuah kelompok yang teroragnisasi secara oleh perempuan juga, karena yang lebih
rapi dan stabil yang dipersatukan dan mengetahui tentang kebutuhan perempuan
dimotivasi dengan ideologi tertentu, yang adalah perempuan sendiri. Contoh kasus:
berusaha mencari dan mempertahankan Perdagangan perempuan dan perkosaan,
kekuasaan melalui pemilihan umum pelecehan seksual, dalam hal-hal tersebut,
guna melaksanakan alternatif kebijakan perempuan lebih bisa memiliki rasa empati
yang mereka susun. Dari pengertian ini kepada kondisi kaumnya sendiri karena
bahwa fungsi partai politik adalah untuk: sama-sama perempuan.
(1) Melakukan Sosialisasi Politik; (2)
B. Representasi dan Dinamika
Rekrutmen Politik; (3) Partisipasi Politik;
Politik Perempuan di Indonesia
(3) Artikulasi Kepentingan; (4) Pemadu
Kepentingan; (5) Komunikasi Politik; (6) Representasi menunjuk pada bagaimana
Pengendalian Konflik; (7) Kontrol Politik; seseorang, sebuah kelompok, gagasan,
(8) Persuasi; (9) Represi; (10) Pembuatan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam
Kebijakan. Berbagai fungsi di atas dapat pemberitaan (Eriyanto, 2001). Norman

41
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Fairclough melihat representasi adalah sekaligus sebagai sebuah respon Soekarno


bagaimana peristiwa, orang, kelompok, atas Kongres Perempuan pertama sejak
situasi, tindakan, keadaan atau apapun Indonesia merdeka yang diadakan di
yang ditampilkan dan digambarkan, bahwa Klaten, Desember 1945 dan terbentuknya
kita bisa direpresentasikan oleh wakil ketika Kowani (JJ Rizal:2007). Dalam gagasan
kita secara fisik tidak ada. Secara historis Fiske (1987) persoalan utama representasi
berbagai kajian membutktikan bahwa adalah bagaimana realitas tersebut
representasi perempuan dalam ranah ditampilkan. Dalam kaitannya dengan
politik telah lama terjadi, bahkan pernah perempuan di ranah politik bagaimana
memiliki pengalaman kepemimpinan. realitas perpolitikan menunjukkan adanya
Meminjam kutipan JJ Rizal (2007) ten­ sebuah dinamika.
tang temuan Lombard dan Reid bahwa
Representasi perempuan tersebut ada
keterlibatan perempuan pada ranah politik
sejak lama, namun dalam waktu yang
sudah dimulai sejak kepemimpinan raja-
hampir bersamaan representasi perempuan
raja perempuan Indonesia seperti yang
Indonesia juga dikebiri dan sengaja
terjadi di zaman Majapahit misalnya
dihilangkan. Dalam realitas yang lebih luas,
Rajapatni, Ratu Tribuwana Tunggadewi
perempuan tetap menyandang gelar ‘the
yang memegang peran sangat penting
second class’ (Simone De Beauvoir, 1993)
dalam kehidupan politik di zamannya.
yang lekat dengan tindak pengabaian.
Keberadaan para raja perempuan ter­
Kuntowijoyo menegaskan bawah peta
sebut sampai membuat Hayam Wuruk
sejarah politik dan militer di Indonesia
mengabadikan nama mereka dalam sebuah
cenderung didominasi oleh wacana tentang
penghormatan melalui upacara besar yang
kekuasaan dan keperkasaan, dua hal yang
dilukiskan dengan sangat terperinci dalam
mengukuhkan pencitraan laki-laki. Oleh
Negakertagama.
karena itu sejarah Indonesia lebih bersifat
Representasi perempuan dalam ranah andorcentric, berpusat pada kegiatan kaum
politik terus terjadi pada era selanjutnya. laki-laki saja di mana perempuan semakin
Pada masa pergerakan nasional, militeristik menjadi terperosok kedalam ‘second sex’
Jepang, kemerdekaan dan revolusi nya (Adam:2007).
nasional, parlementer dan demokrasi ter­
Kekuatan patriarkhal yang meming­
pimpin, studi sejarah membuktikan bahwa
girkan perempuan dalam sejarah semakin
gerakan perempuan Indonesia telah ada
menguat pada era Orde-Baru. Pada masa itu
sejak awal abad 20 ketika muncul politik
perempuan ditempatkan dalam ruang yang
etis dan gerakan kebangsaan. Hal ini
membatasi gerak pikir dan pilihan mereka,
berlanjut pada masa gerakan bawah tanah
perempuan dicitrakan konco wingking yang
melawan fasisme Jepang dan akhirnya
dilegalkan dalam berbagai institusi, mulai
Revolusi 1945. Pada tahun 1947 Soekarno
dari legalitas UU Perkawinan 1974 yang
bahkan menerbtikan buku Sarinah untuk
jelas mendikotomikan peran. Keberdaan
menggambarkan berbagai pemikiran
Dharma Wanita hingga PKK, seolah-
serta posisi perempuan dalam masyarakat
olah perempuan memiliki tempat untuk
sebagai bentuk apresiasinya terhadap ke­
berkumpul, berinteraksi dan berpendapat.,
bebasan sosial politik perempuan. Buku ini
namun jika dimaknai secara lebih mendalam

42
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS

sesungguhnya mereka sedang dilumpuhkan dan kewajiban di berbagai bidang kehi­


potensi publiknya. Melalui kontrol negara, dupan, termasuk bidang hukum dan
kegiatan-kegiatan organisasi perempuan pemerintahan. Bahkan, pada saat pem­
tersebut selalu diarahkan pada hal-hal yang bentukan draft amandemen UUD 1945,
bersifat domestik seperti memasak, tata organisasi perempuan juga dilibatkan
busana, merangkai bunga serta kegiatan- di bawah koordinasi Komite Perempuan
kegiatan lain yang berhubungan dengan untuk Perdamaian dan Demokrasi. Hal ini
upaya-upaya pelayanan terhadap suami (JJ diperkuat dengan UU RI Nomor 39 Tahun
Rizal:2007). 1999, Pasal 46, tentang Hak Asasi Manusia
yang menjamin keterwakilan perempuan,
Seiring dengan runtuhnya Orde Baru,
baik di legislatif, eksekutif, maupun
eksistensi perempuan juga mengalami
yudikatif. Kondisi ini jelas merupakan
perubahan yang berarti. Keberadaan
ruang politik representasi bagi perempuan
organisasi perempuan kembali mendapat
untuk berkiprah sebagai aktor politik yang
tempat seiring dengan runtuhnya rezim
dekat dengan aspek kebijakan. Dalam
Orde Baru. Perjuangan aktivis perempuan
pemikiran Stuart Hall (2000), representasi
yang selama ini dipasung oleh pemerintah
dipahami sebagai alat politik yang bergerak
atas nama kepentingan Negara kini
dengan cara meletakkan efek melalui pesan
semakin terbuka lebar (Partini, 2004).
untuk mempengaruhi opini dan aksi.
Organisasi perempuan terus bermunculan
dalam berbagai bentuk, tidak hanya C. Paradoksal Politik Adil Gender
dalam bentuk Ormas, Yayasan, dan LSM,
Pengalaman pemilu yang lalu me­
melainkan juga dalam bentuk women crisis
nunjukkan bahwa peluang perempuan
center dan hotline. Tidak hanya itu, partai
untuk meraih posisi strategis sangat kecil,
politik pun tidak ketinggalan memasukkan
karena budaya politik belum kondusif
unsur perempuan ke dalam bidang
(Saraswati 2002) Berdasarkan data KPU,
organisasinya maupun sayap organisasi
hasil perolehan caleg perempuan yang
yang dipimpin langsung oleh perempuan.
terpilih, menunjukkan kenaikan yang tidak
Misalnya, Partai Golkar memiliki Kesatuan
signifikan. Dari 16 (enam belas) partai
Perempuan Partai Golkar (KPPG), Partai
politik yang memperoleh kursi di DPR
Persatuan Pembangunan (PPP) memikili
hanya 9 (sembilan) partai yang memiliki
Wanita Persatuan, Partai Kebangkitan
wakil perempuan di parlemen. Menurut
Bangsa (PKB) memiliki Perempuan Kebang­
Eri Seda (2009, dalam jurnal Kesrepro)
kitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia
hal itu dikarenakan sistem patriarkat yang
Perjuangan (PDIP) memiliki Departemen
memunculkan dikotomi antara perempuan
Urusan Pemberdayaan Perempuan (DUPP),
dan laki-laki, memberi kesempatan yang
Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki
sama terhadap perempuan masih dianggap
Perempuan Amanat Nasional, dan masih
sebagai sebuah persaingan, dan sistem
banyak lagi.
pemilihan yang belum berpandangan
Keberpihakan terhadap kaum perem­ gender. Hal ini memberikan konsekuensi,
puan juga ditunjukkan dengan amandemen masalah kesetaraan gender (gender parity)
UUD 1945 dan memuat unsur kesetaraan terutama kedudukan dan peran perempuan
gender dalam bentuk persamaan hak dalam politik menjadi minimal. Dampak

43
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

yang muncul adalah aspirasi perempuan Keterwakilan perempuan dalam politik,


menjadi tidak tersalurkan dengan baik terutama di lembaga legislatif punya alasan
melalui partai politik yang sedianya menjadi yang mendasar. Menurut Adinda Tenriangke
mediator penyampai aspirasi masyarakat Muchtar (dalam Iskandar 2008) ada
termasuk aspirasi perempuan. beberapa hal yang membuat pemenuhan
kuota 30% bagi keterwakilan perempuan
Mencermati keterwakilan perempuan
dalam politik adalah sangat penting.
di ranah politik tidak lepas dari UU
Beberapa di antaranya adalah tanggung
Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum
jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
publik, terutama yang terkait dengan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
perempuan dan anak, serta lingkungan,
Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta
moral yang baik, kemampuan perempuan
UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik.
melakukan pekerjaan multitasking dan
Berbagai macam Undang-Undang tersebut
mengelola waktu. Perempuan juga telah
Partai Politik telah memberikan mandat
menjalankan tugas sebagai pemimpin
kepada parpol untuk memenuhi kuota 30%
dalam kelompok-kelompok sosial dan
bagi perempuan dalam politik, terutama
kegiatan kemasyarakatan, seperti misalnya
di lembaga perwakilan rakyat. Pasal 8
di posyandu, kelompok pemberdayaan
butir d UU Nomor 10/2008, misalnya,
perempuan, komite sekolah, dan kelompok
menyebutkan penyertaan sekurang-ku­
pengajian. Argumen tersebut menunjukkan
rang­nya 30% keterwakilan perempuan
bahwa posisi dan peran perempuan di
pada kepengurusan parpol di tingkat pusat
organisasi masyarakat menjadi modal dasar
adalah sebagai respon terhadap salah satu
kepemimpinan dan pengalaman dalam
persyaratan parpol untuk dapat menjadi
kehidupan sosial. Hal ini menunjukkan
peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU
bahwa perempuan sangat relevan untuk
Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan
memiliki wakil dengan jumlah yang
daftar bakal calon untuk memuat paling
signifikan untuk memperjuangkan isu-isu
sedikit 30% keterwakilan perempuan. Lebih
kebijakan publik
jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008
juga menyebutkan KPU pusat, KPU provinsi, Namun peluang bagi perempuan ter­
dan KPU kabupaten/kota mengumumkan sebut tidak serta merta sebagai sesuatu yang
pre­sen­tase keterwakilan perempuan tanpa kendala. Keberadaan perempuan
dalam daftar calon tetap parpol pada dalam lingkungan budaya patriarkhi terus
media massa cetak harian dan elektronik menjadi bayang-bayang yang kembali
nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU menjadi jebakan. Perdebatan penempatan
Parpol disebutkan bahwa pendirian dan caleg untuk menjadi caleg jadi merupakan
pembentukan parpol harus menyertakan dinamika di masing-masing parpol. Jika
30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, parpol mentaati aturan permainan yang
di Pasal 20 pada Undang-Undang yang sama telah dituangkan di dalam berbagai UU
tentang kepengurusan parpol disebutkan dan aturan, seharusnya penempatan ’caleg
juga tentang penyusunannya yang harus jadi’ tidak perlu dibedakan berdasarkan
memperhatikan keterwakilan perempuan jenis kelamin, tetapi atas dasar popularitas
paling rendah 30% (Iskandar 2008). dan kualifikasi calegnya. Realitasnya,

44
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS

caleg perempuan selalu kalah bersaing (1999) bahwa dalam sebuah korporasi atau
dengan laki-laki, karena ada keengganan pemerintahan, banyak perempuan yang
perempuan sendiri untuk masuk ke dunia memiliki kemampuan untuk bersaing men­
politik. Beberapa parpol pernah melakukan duduki posisi penting. Namun konstruksi
kaderisasi, sayangnya kaderisasi tersebut peran gender yang bias masih menjauhkan
tidak dilakukan secara berkesinambungan. perempuan dari peluang untuk menempati
Kaderisasi biasanya dilakukan hanya pada posisi pimpinan (top level) . Pendapat
saat menjelang Pemilu, itupun tidak semua Sitterly (1994) membuktikan hal itu, bahwa:
parpol melakukannya. Nevertheless, to reach the top, it seems
there are more obstacles for the women
Bagi parpol yang melakukan kaderisasi
than for the men. Women, especially Asian
hanya sebagai bentuk kegiatan rutin,
Women have much to contend with. And
sehingga tatkala ada persyaratan dari KPU,
in the pursuit of top positions they face
seringkali para kader hasil didikan parpol
a tougher resistence “the glass ceilling”,
”belum siap tempur”. Dalam kaitannya
a transparent barrier at the highest
dengan kuota 30%, parpol juga tidak siap
level. Kebiasaan ini hampir terjadi di ber­
memilih kader perempuan, untuk caleg
bagai organisasi tanpa terkecuali partai
jadi, karena kaderisasi lebih sebagai sebuah
politik. Dalam partai politik sangat mudah
formalitas. Hal tersebut pernah dialami oleh
menemukan keanggotaan perempuan,
seorang pengurus parpol yang merasakan
namun jika merunut pada kepengurusan
sulitnya mencari caleg perempuan yang
partai masih sulit menemukan perempuan
berkualitas, meskipun telah menempatkan
pada jabatan-jabatan penting.
caleg perempuan dengan sistem zipper.
Sedikitnya perempuan yang bersedia Dalam pembahasan yang lebih dalam,
menjadi caleg dalam koridor memenuhi perempuan masih enggan untuk berpolitik
kualifikasi, seringkali membuat bingung secara strategis. Sikap ini terbentuk dalam
para fungsionaris parpol untuk menemukan proses panjang yakni melalui sistem norma
caleg perempuan. Perempuan sebenarnya dan nilai budaya, terinternalisasi di dalam
telah didorong agar mau menjadi caleg, dirinya dan menjadi sikap yang patuh
namun banyak perempuan yang tidak terhadap sistem nilai budaya yang berlaku.
bersedia, karena selama ini mereka tidak Meskipun demikian, manusia adalah
mempunyai pengalaman berpolitik, kecuali makhluk sosial, sehingga sikapnya juga
hanya sebagai pemilih saja. dilbentuk oleh lingkungan sosial dan bukan
hanya lingkungan keluarga. Oleh karena
Ketidaksediaan perempuan untuk ber­
itulah, peran keluarga sangat besar di dalam
politik, karena adanya asumsi bahwa politik
proses pembentukan sikap seseorang. Fakta
itu kasar, kotor (penuh intrik) dan hanya
menunjukan bahwa selama ini perempuan
pantas dilakukan oleh laki-laki. Meskipun
yang terlatih menjadi politisi sebagian besar
itu partai politik besar, belum tentu dapat
di pengaruhi oleh lingkungan keluarganya.
dengan mudah mene­mukan caleg yang
Rata-rata politisi perempuan berasal dari
berkualitas dan mau melangkahkan kakinya
keluarga yang orangtuanya atau saudaranya
ke ranah ini. Kondisi inilah yang sering
sudah terlebih dahulu aktif di partai politik.
menjadi pemicu terjadinya fenomena glass
ceiling. Seperti yang menjadi rujukan Adair Pada sisi yang lain sejarah kultur

45
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

patriarkhi yang menempatkan perempuan satu aspek penting untuk melengkapi modal
pada posisi subordinat juga masih dililit oleh sosial dalam mengukukuhkan posisi sosial
persoalan struktural yang melemahkan. tertentu bagi setiap individu. Penelitian
Hal ini terjadi dalam tubuh internal partai tentang Perempuan dalam Birokrasi
yang memiliki kecenderungan untuk (Partini, 1999; 2011) menemukan bahwa
menempatkan perempuan sebagai anggota peluang perempuan untuk menduduki
pendukung, tapi tidak memiliki mekanisme jabatan tinggi dalam birokrasi sering gagal
posisi strategis, misalnya saja proses karena lemahnya kemampuan perempuan
penjaringan caleg. Pada proses ini setiap memperluas jaringannya. Kondisi ini
parpol memiliki sistem atau mekanisme disebabkan karena kesulitan perempuan
yang ‘khas’ sesuai dengan peraturan untuk berada dalam ruang-ruang publik
partainya. Proses yang terbelenggu oleh yang selama ini dibangun laki-laki sebagai
kultur patriarkhi ini yang akhirnya membuat ajang memperluas dan memperkuat
kepemilikan modalitas perempuan menjadi jaringan. Kebiasaan laki-laki mengobrol di
terbatas. Dalam konsep Bourdieu (1984), kedai kopi hingga larut malam misalnya,
keberadaan aktor atau individu sangat berdiskusi dan berkumpul di sebuah tempat
bergantung pada modalitas manusia yang sampai pagi merupakan hal yang lumrah
dimiliki (human capital). Secara umum bagi laki-laki. Perempuan sulit mengikuti
konsep human kapital merujuk pada kebiasaan tersebut, karena dipandang tidak
keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh pantas oleh lingkungan sosialnya, bahkan
manusia berkaitan dengan pengetahuan bisa dicitrakan sebagai perempuan ”nakal”
dan ketrampilan. Terkait dengan wacana serta dianggap tidak memiliki tanggung
politik, perempuan seringkali dikalahkan untuk menjaga nama baik keluarga.
dalam pertarungan modalitas, dalam Demikian juga halnya dengan realitas yang
perjalanannya, langkah perempuan sering terjadi di ranah politik, perempuan memiliki
dihadang oleh nilai-nilai patriarkhi ter­ keterbatasan dalam mengembangkan
sebut. Lingkaran politik yang cenderung jaringan sosial melalui cara-cara yang lebih
didominasi oleh laki-laki akan membentuk ramah terhadap kepentingan perempuan.
sebuah sistem jaringan sosial yang tidak
Dalam melaksanakan penjaringan dan
ramah bagi perempuan. Hubungan sosial
pencalonan caleg, setiap parpol mem­
perempuan dengan sumber-sumber yang
berlakukan persyaratan sesuai dengan
dapat memenangkan pertarungan politik­
ketentuan Pemilu, tetapi diimbangi dengan
nya tidak terjalin seperti halnya laki-laki.
syarat khusus. Bila mencermati UU Pemilu
Kenyataan yang timpang tersebut juga No.10 tahun 2008 terdapat pencalonan
menjadi budaya dalam tubuh parpol sendiri perempuan daftar bakal calon memuat
dan dalam konstentasi pemilu. Perempuan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan
seringkali dikalahkan oleh mekanisme yang (pasal 53). Selain itu di dalam daftar bakal
lebih mengunggulkan potensi laki-laki. calon dalam setiap 3 (tiga) orang bakal
Hal ini selain menjadi pemicu tergerusnya calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu)
human capital juga mengkerdilkan modal orang perempuan bakal calon (pasal 55 ayat
sosial yang lain seperti jejaring. Menurut 2). Hal ini memberi konsekuensi parpol
Bourdieu (1984) jejaring merupakan salah untuk memenuhi bukan hanya syarat

46
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS

administratif tetapi juga memunculkan pemutusan kebijakan dan meminimalisir


’caleg jadi’ bagi parpolnya. Pada sisi adanya subjektifitas personal antara caleg
lain pedoman penilaian yang dilakukan dengan pimpinan partai.
parpol lebih bersifat kualitatif yang lebih
Sementara itu parpol memiliki sistem
berkonotasi subyektif, antara lain (1)
pengkaderan sebagai hal penting untuk
Senioritas (lama bergabung dan jabatan
menjaga keberlangsungan partai. Guna
struktural di parpol; (2). Kemampuan,
menyokong dan memenuhi kebutuhan
kapasitas, loyalitas di partai; (3). Ketaatan
kaderisasi internal partai, menjalin kerja­
struktural; dan (4).Hubungan, artinya ada
sama dengan instansi lain misalnya LSM
dukungan anggota/dukungan parpol
untuk melakukan pendidikan politik. Dalam
Dalam partai politik, keberadaan pim­ zipper system yang pernah diberlakukan
pinan partai merupakan bagian sentral oleh parpol ada kemungkinan keterwakilan
dalam penentuan kebijakan termasuk perempuan dengan urutan zig zag yaitu
dalam rangka pemenangan Pemilu. dalam 3 orang wakil terdapat 1 perempuan
Dalam kondisi yang demikian muncul sebagai kombinasi untuk memenuhi kuota
berbagai kendala baik yang bersifat 30%. Dalam rangka tersebut setiap parpol
kultural maupun struktural. Kendala memiliki mekanisme internal, partai
struk­tural diproduksi oleh partai politik demokrat misalnya, membentuk tim
karena ada pemikiran bahwa caleg jadi pertimbangan. Tim ini betugas menyeleksi
memerlukan kriteria-kriteria struktural. dan menentukan nomer urut calegnya, tim
Menjadi pimpinan partai bisa melalui ini diharapkan bekerja secara maksimal
berbagai jalur, ada yang karena kaderisasi, dan profesional. Untuk menempatkan
kerena latar belakang pendidikannya, latar caleg jadi, suara yang diperoleh harus yang
belakang orang tuanya, dukungan para terbanyak. Meskipun dia berada di urutan
anggotanya sampai surat rekomendasi 1 belum tentu dialah yang diusulkan oleh
dari pimpinan sebelumnya. Hal ini juga parpolnya. Ini artinya caleg lain, akan
diterapkan pada saat rekruitmen caleg, menyumbangkan perolehan suaranya
selain mengikuti aturan UU Pemilu 2008, kepada caleg yang berada di nomor urut 1.
masing-masing parpol punya persyaratan
Kondisi di atas ditengarai oleh beberapa
khusus untuk merekrut caleg. Dalam hal
hal yaitu: 1) Mekanisme internal partai
ini, pimpinan partai memiliki kewenangan
khususnya dalam kriteria pencalonan
untuk menentukan,memantau, dan me­
tidak transparan karena rendahnya
mutuskan caleg parpol secara umum
sosialisasi di kalangan internal parpol.
dengan mekanisme Rapat Pleno Pengurus/
Implikasinya, pada penetapan calon jadi,
Pimpinan. Meski demikian, ada parpol yang
selain faktor kapasitas, status dan posisi di
sepenuhnya menyerahkan kewenangan
kepengurusan, kedekatan dengan elit partai
pada tim khusus, sementara pimpinan
masih mewarnai proses pencalonan. Modal
partai hanya mengetahui dan memberi
ini lebih banyak dimiliki oleh laki-laki, sebab
masukan bila diminta oleh tim khusus
mereka lebih lama menjalin kedekatan serta
tersebut. Hal ini dilakukan untuk menjaga
lebih sering mengikuti kegiatan bersama
proses demokrasi dengan partisipasi
partai. Dengan kata lain, laki-laki lebih
anggota internal parpol untuk terlibat dalam
mampu untuk menciptakan ruang praktik

47
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

dimana jejaring dapat dibangun dengan titas”. Ketika perempuan ’dipaksa’ untuk
mudah untuk meraih dukungan yang besar memenuhi kuota 30%, mereka tidak siap
dalam mendulang suara. Perempuan lagi- karena tidak memiliki modal pengetahuan
lagi tidak memiliki cukup kapasitas untuk yang proposional. Laki-laki yang lebih dulu
meraih modal sosialnya secara porposional. dikenalkan dengan dunia politik sulit untuk
Oleh karena itu seperti yang dijelaskan diimbangi oleh perempuan, perempuan
Bourdieu (1984) modal sosial memiliki masih perlu waktu untuk belajar mene­
pengaruh terhadap status individu dalam mukan strategi serta cara bertahan yang
lingkungan tertentu. Kepemilikan modal baik. Akibatnya, perwujudan politik yang
sosial bagi caleg perempuan merupakan adil gender menjadi sulit dipenuhi baik
salah satu penentu keberadaannya sebagai secara ideologis maupun praksis, di sini
subjek atau objek; 2) Belum adanya munculnya paradoks antara cita-cita
target dari parpol baik dari aspek jumlah dengan realita.
maupun positioning bagi perempuan
Keterbatasan modal sosial ini berimbas
untuk menjadi ’caleg jadi’; 3) Adanya
pada ketidak berdayaannya merancang
potensi ’jual beli’ nomor urut atas misalnya
strategi yang berpengaruh pada tingkat
untuk mendapat nomor urut satu, caleg
popularitasnya. Dalam penempatan caleg
harus ’membayar’ sejumlah uang sesuai
di setiap dapel, membutuhkan pemikiran
tingkat pemilihannya (berkisar puluhan
strategis, karena warga masyarakat sebagai
hingga ratusan juta) hal ini memberi
pemilih cenderung mencoblos orang yang
dampak pada kurang demokratisnya
sudah dikenalnya. Hasil penelitian Partini
internal parpol. Dalam kondisi demikian
(2008) diperoleh gambaran bahwa, ada
ini konsep ”modal ekonomi” Bourdieu
beberapa strategi yang ditempuh parpol
terjadi; 4) Kurang memperhatikan aspek
dalam menempatkan calegnya. Pertama,
kualifikasi dalam pencalonan, khususnya
caleg yang ditempatkan di suatu daerah
pencalonan perempuan yang didukung
tertentu diambilkan dari dapel yang ada
oleh lemahnya kaderisasi, terutama kader
di wilayahnya dan harus dipertimbangkan
perempuan. Realitas tersebut menunjukkan
cermat, agar suara yang didulang dapat
bahwa, keterbatasan modalitas dalam
optimal. Penempatan caleg di dapel di­
hal pengalaman serta ketrampilan ber­
harapkan menumbuhkan kepercayaan
organiasasi merupakan penghalang yang
warga masyarakat pemilih karena caleg
cukup mendominasi langkah perempuan
telah memiliki popularitas. Kedua, penem­
berkiprah dalam dunia politik.
patan caleg berhubungan dengan kondisi
Kultur yang mensosialisasikan peran- dari ‘basis massa’ parpol, sehingga dapat
peran dikotomis menjadi jebakan bagi menjadi calon dan sekaligus pemilih cerdas
perempuan, karena mereka dididik terhadap parpolnya.
untuk menempati posisi domestik yang
Paradoksal lain adalah perempuan yang
jauh dari akses pengetahuan politik,
terjun di ranah politik tidak diimbangi
sehingga memiliki cara pandang negatif
dengan kepemilikan modalitas yang
terhadap dunia politik. Dalam bahasa
memadahi, sehingga fenomena glass ceiling
Gayatri Spivak(2004), kondisi ini lebih
kembali muncul ke permukaan. Fenomena
menggambarkan terjadinya ”politik iden­
glass ceiling merupakan invisible barrier

48
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS

dalam organisasi yang menghalangi kaum kuat memiliki komitmen tentang akses
perempuan meraih career advancement yang setara bagi perempuan baik sebagai
(Mondy & Noe, 2005 dalam Irianto 2010, fungsionaris partai, sebagai anggota
Partini, 1999; 2011). Kendala kultural parlemen maupun sebagai pejabat publik.
tersebut kembali menjadi legitimasi Keengganan perempuan ke ranah politik
struktural untuk tidak mempertimbangan menjadi agenda tersendiri bagi parpol yang
perempuan berada di level puncak. Hal ini bersangkutan.
tampak pada keputusan MK yang tiba-tiba
Adalah benar beberapa parpol mela­
mengubah peraturan pemilu yang sangat
kukan kaderisasi, sayangnya hanya sebatas
merugikan perempuan. Perjuangan untuk
kegiatan rutin, sehingga kadernya tidak siap
politik adil gender yang seharusnya menjadi
dan parpol sendiri belum menempatkan
hak bagi perempuan belum dapat tercapai.
kadernya yang perempuan secara strategis.
Para fungsionaris parpol lebih sering
Kondisi ini menyebabkan beberapa parpol
mengeluhkan kesulitan untuk memenuhi
besar menempuh strategi melamar caleg
target kuota 30% daripada mengembangkan
perempuan yang telah memiliki reputasi dan
wacana politik adil gender. Wacana yang
menjadi public figure di mata masyarakat,
mengungkap kegagalan perempuan akibat
seperti artis, seniman atau musisi meskipun
rendahnya modalitas menjadi alasan kuat
yang bersangkutan tidak memahami politik
bagi pemangku kebijakan untuk merubah
dan belum punya pengalaman berpolitik.
UU. Tidak adanya sanksi bagi parpol yang
Dampaknya, muncul sindiran atau jargon
tidak dapat memenuhi kuota menjadi
”mendadak menjadi caleg”, dan perempuan
kendala lain dalam menyongsong politik
hanya sebagai pelengkap penderita. Hal ini
yang adil gender. Sistem zipper yang
berimplikasi ganda bagi parpol tersebut:
tadinya dipercaya mampu mendongkrak
Pertama, dapat menarik simpati warga
partisipasi perempuan juga diperdaya oleh
calon pemilih, tatkala kampanye dengan
Keputusan Mahkamah Konstitusi. Realitas
mengusung publik figure akan menjadi
harus diterima, perempuan kembali ke
daya tarik tersendiri dan kehadiran public
titik nadir dan perempuan tidak dapat
figure dapat mempengaruhi calon pemilih
merepresentasikan kemampuannya secara
untuk mencoblos partainya. Hal ini secara
maksimal di ranah politik
langsung mendongkrak popularitas parpol,
D. Kesimpulan sehingga kursi yang direbutnya semakin
banyak. Strategi ini dipandang tidak adil
Ranah perpolitikan di Indonesia masih
oleh caleg lain dari partai yang sama,
menyisakan agenda bagi berbagai kalangan
karena akan semakin menyisihkan dirinya
untuk terus berfikir agar perempuan
dari kursi yang diinginkannya, Kedua, bagi
mempunyai posisi tawar dalam perumusan
tokoh atau publik figur itu sendiri semakin
kebijakan publik. Kebijakan publik masih
terdongkrak popularitasnya, kondisi ini
terasa timpang dan bias laki-laki, kurang
memiliki ’efek karambol’ yaitu jika jadi
mengakomodasi isu-isu perempuan. Pada
anggota parlemen citranya semakin ter­
sisi lain politik telah terlanjur dikonstruksi
angkat, tidak jadipun tidak serta merta
masyarakat menjadi domainnya laki-laki,
menurunkan citra dan popularitasnya
sehingga langit-langit gelas terasa masih
sulit dipecahkan Saat ini parpol kurang Akhirnya tulisan ini memiliki bebe­

49
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

rapa catatan kritis yang patut untuk merubah mind-set politisi perempuan,
direnungkan: Pertama, Politik di Indonesia meski tetap masih membutuhkan kepe­
masih lemah untuk ”politik adil gender”, dulian feminis laki-laki. Peningkatan
wacana yang memojokan posisi perempuan kapasitas dan modalitas perempuan harus
semakin menemui pembenaran, di dimaknai sebagai peluang untuk me­
bawah kendali patriarkhi yang telah lama mecahkan problem ketimpangan gender
dikonstruksi. Tulisan ini belum dapat dalam berpolitik. Disinilah, pendidikan
menyediakan ruang artikulasi khusus bagi politik menjadi pilihan yang relevan
perempuan untuk menuangkan gagasan untuk mencerdaskan perempuan. Dengan
dan tawaran solusinya. Jika ingin konsisten kata lain, penguatan modalitas pada diri
pada perjuangan adil gender, perempuan perempuan tidak hanya kesadaran untuk
merupakan subjek yang memiliki maju di arena perpolitikan,tetapi juga harus
kebenaran strategis dalam menyuarakan mendorong perempuan pemilih untuk
masalah keperempuanannya. Hal ini akan kritis, dialogis dan pantang menyerah.
berkorelasi positif pada kemampuannya Dengan demikian proses elektoral dalam
menemukan cara untuk segera keluar dari sistem demokrasi tidak hanya menghasilkan
keterpurukan yang mengancam. Kedua, wacana keterwakilan, melainkan sebuah
Secara teoritis, konsep Pengarusutaman proses transformatif antara parpol dan
Gender (PUG) belum sepenuhnya dapat perempuan. Perempuan, dengan demikian
diimplementasikan pada ranah politik di perlu menjawab tantangan dalam arena
Indonesia. Strategi untuk mewujudkan kontestasi pada pemilu 2014 mendatang
politik adil gender perlu memperhatikan dan perempuan dapat merepresentasikan
pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kediriannya di ranah kebijakan publik.
permasalahan perempuan ke dalam peren­ Keempat, negara perlu memiliki kebijakan
canaan, pelaksanaan, pemantauan dan dan aturan main yang jelas dalam meng­
evaluasi dari seluruh kebijakan dan program upayakan pemberdayaan perempuan di
pembangunan. Selain itu teori The glass bidang politik, sehingga parpol tidak hanya
ceiling tidak hanya berlaku di perusahan mengejar popularitas semata, namun juga
tetapi berlaku pula di ranah politik. Hal ini memuat konsep kesejahteraan berbasis
tergambar jelas pada beberapa platform adil gender baik secara kuantitas maupun
parpol yang masih belum memuat wacana kualitas.
kesetaraan. Ketiga, Undang-undang Pemilu
telah memberi arahan agar ada upaya dari
Parpol untuk meningkatkan kapasitas
dan akses perempuan dalam artikulasi Daftar Pustaka
politik. Landasan hukum yang dibuat Adair Carol K, 1999, Cracking The Glass
dalam perjalanannya dimentahkan lagi, Ceilling : Factors Influence Women’s
ketidakstabilan kebijakan tersebut menjadi Atainment of Senior Excecutive.
pembelajaran bagi pejuang perempuan di Disertation. USA
masa mendatang. Perlu ada peningkatan Asvi Warman Adam, 2007, Perempuan
modalitas agar perempuan menjadi lebih dalam Sejarah Lelaki, Jurnal
percaya diri (self concept), dalam rangka Perempuan-Edisi 52 Kami

50
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS

Punya Sejarah, Jakarta, Yayasan Jurnal Partini, 2004, Potret Keterlibatan Perem­
Perempuan puan dalam Pelayanan Publik di
Blakasuta, 2004, Cermin Keberpihakan Era Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu
Pemkot Cirebon:Membaca Alokasi Sosial dan Ilmu Politik, Vol, 7, No 3,
Anggaran Kesehatan Untuk Perem­ Maret 2004, hal 315-334
puan dan Masyarakat Miskin, ---------, 2011, Perempuan dalam Birokrasi,
Blakasuta Edisi 05 Hasil Penelitian yang dilaksanakan
Bourdieu Pierre. 1984. Distinction; A Social di Propinsi Aceh dengan dana dari
Critique of The Judgement of Taste LOGICA II (USAID), sedang dalam
Massachusets.Harvard University proses terbit.
Press. Pradjarta dan Nico L Kana, 2006:
Beauvoir Simon de. 1993. Second Sex. .Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu
London. Daniel Campbell Publisher 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ltd Prihatmoko,Joko J.2003.Pemilu 2004 dan
Cholisin, 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Konsolidasi Demokrasi. Semarang:,
Yogyakarta. UNY Press. LP2I Press
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana : Sitterly, Connie, D, Ed, 1994: The Female
Pengantar Analisis Teks Media. Entrepreneur, The Crisp Small
Yogyakarta. LKis Business & Entrepreneurship Series
Fieske, John, 1987: Television Culture, Soetjipto, Ani Widya. 2005. Politik Perem­
London and New York, Routledge puan Bukan Gerhana. Jakarta :
Hall, Stuart, 2000: Representation: Cultural Penerbit Kompas
Representation and Signifying Spivak, Gayatri, 2004. Representasi Gender
Practices, London, Sage Publication dengan Pendekatan Posmodernisme.
JJ Rizal, 2007, Jejak Perempuan dalam Jakarta. Pustaka Jaya
Histografi Indonesia, Jurnal Tumbu Saraswati, 2002, Agenda
Perempuan-Edisi 52 Kami Perjuangan Politik Perempuan
Punya Sejarah, Jakarta, Yayasan Jurnal Melalui Parlemen; Jurnal
Perempuan Perempuan edisi 35, HALO SENAYAN!,
Jusuf Irianto, 2010, Perempuan Dalam Yayasan Jurnal Perempuan : Jakarta
Praktek Manajemen Sumber Daya
Manusia, Surabaya,
Website
Tesis www.Jurnal Kespro.info
Lely Zaelany, 2007, Perempuan dan Politik,
www.Indoprogress.com
Latifah Iskandar, 2008, Peran Perempuan
Parlemen rubrik opini Media
Indonesia edisi 3 September 2008
Partini, 1999, Peluang Pegawai Wanita
Untuk Menduduki Jabatan
Struktural Studi Pada PNS DIY,
Disertasi, Yogyakarta, UGM

51
POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA
BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

Abstrak
Penelitian ini merupakan studi awal mengenai politik pengakuan perempuan dengan
disabilitas pasca bencana gempa 2006 di Kabupaten Bantul dan Klaten, Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Dalam studi awal ini ditemukan adanya transformasi gerakan disabilitas
pasca bencana di kedua daerah tersebut. Penulis ingin menggarisbawahi bahwa peran
perempuan dengan disabilitas baru bisa mendorong adanya transformasi gerakan
perempuan dengan disabilitas. Perubahan tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi dimana
sebelum gempa terjadi, wacana perempuan dengan disabilitas hanya dilihat sebagai
tragedi personal dimana persoalan disabilitas dilihat sebagai masalah individu sehingga
pendekatan yang dipakai untuk menangani kelompok mereka hanya sebatas charity,
pemberian pelatihan-pelatihan yang sifatnya klinis dengan tujuan supaya mereka bisa
kembali seperti orang normal dan punya kemandirian hidup. Setelah gempa, muncul
banyak DPO (Disabled People Organization) dan perkumpulan yang menjadi organisasi
bagi para penyandang disabilitas tidak hanya mereka yang menjadi korban gempa, tetapi
juga penyandang disabilitas lama bukan karena gempa yang selama ini disembunyikan oleh
keluarganya dan terpinggirkan dalam pergaulan sosial. Mereka muncul untuk coming out
dan memberi pelajaran bagi masyarakat bahwa perbedaan merupakan hal yang biasa dan
proyek normalisasi merupakan sesuatu yang berhak untuk ditolak jika tidak diinginkan
oleh mereka. Bahkan mereka juga sudah mampu untuk mengkounter wacana gerakan
perempuan mainstream bahwa mereka juga berhak untuk diakomodasi kepentingannya,
dimana perempuan dengan disabilitas mempunyai hak yang sama dengan perempuan
lainnya secara universal. Studi preliminari yang dilakukan dengan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan etnografi ini merupakan studi preliminary yang masih
berproses dengan penelitian selanjutnya.

Kata kunci: perempuan dengan disabilitas, gempa bumi, politik pengakuan, DPO (Disabled
People Organization), model individual dan model sosial disabilitas

52
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

Abstract
This study is a preliminary study of the politics of recognition of women with disabilities
in th eaftermath of the 2006 earthquake in Bantul and Klaten, Yogyakarta and Central
Java. In this preliminary study, it is found that there is transformation in the disability
movement in both regions. The author would like to underline that the role of new women
with disabilities affected by earthquake can encourage the transformation of the women
with disabilities’ movement. These changes can be seen from all sides which before the
earthquake, the discourse of women with disabilities are seen as a personal tragedy
wher edisability issues are seen as an individual problem. The common approach used to
deal with them is a charity activities, training services that are clinically aimed to make
them as normal people and have independent lives. After the earthquake, there are a
lot of DPO(Disabled People Organization) and association sfor persons with disabilities
which accomodate not just those affected by the earthquake, but also all persons with
disabilities who had been hidden by their families and socially marginalized. They
appear to becoming out and giving a lesson to the people that the differences are common
and normalization project is a choice that they have rights to refuse if it is not desired by
them. In fact, they also have been able to counter the mainstream women’s movement
discourse that their interests are also entitled to be accommodated in universal women’s
discourse. This preliminary study which conducted by qualitative research methods with
an ethnographic approach is still very early and still continuing with further research.
Key words: women with disabilities, earthquake, politics of recognition, DPO (Disabled
People Organization), individual and social model of disabilities

A. Latar Belakang
rumah, fasilitas pendidikan, kesehatan
Bencana gempa yang terjadi pada bulan serta fasilitas pelayanan publik yang lain
Mei tahun 2006 sudah berlalu. Program- sudah dianggap cukup untuk melayani
program rekonstruksi dan intervensi juga penduduk di kantong bencana dan meng­
sudah dilakukan. Mayoritas lembaga- gantikan bangunan yang lama dengan
lembaga non pemerintah baik itu nasional tingkat kerusakan infrastruktur yang
dan internasional yang pada masa tanggap parah. Tingkat kerusakan dan kerugian
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi saling infrastruktur tersebut diperkirakan se­
bekerja sama membantu memulihkan jumlah 29, 129 milyar rupiah dan korban
keadaan di titik-titik bencana sudah me­ jiwa sekitar 5.716 orang dan korban luka
ning­galkan Yogyakarta dan Klaten, Jawa berat sebanyak 37.927 jiwa (Budisusila,
Tengah. Lembaga-lembaga tersebut meng­ 2007).
alihkan program intervensi mereka di
Pada saat dan setelah gempa terjadi,
daerah lain yang lebih membutuhkan
kelompok perempuan, anak-anak dan
prioritas bantuan.
lanjut usia menjadi kelompok yang paling
Bangunan infrastruktur yang baru, rentan dalam menerima resiko terburuk

53
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

akibat gempa. Dikarenakan tingkat keren­ mereka yang selamat, belum tentu hidup
tanan dan dinamika yang terjadi dalam menjadi mudah karena banyaknya bantuan
ketiga kelompok tersebut berbeda, penulis berdatangan. Mereka yang selamat tetapi
akan secara spesifik memfokuskan pada harus mengalami perubahan fungsi tubuh
kelompok perempuan rentan yaitu akibat tertimpa bangunan atau barang
kelompok perempuan dengan disabilitas1. berat akibat gempa harus menghadapi
Menurut Fatimah (2007), perempuan dampak akibat kondisi tubuhnya yang
banyak menjadi korban gempa baik itu cacat seumur hidup mereka. Kualitas hidup
meninggal dunia maupun korban dengan yang prima sebelum gempa menjadi turun
luka berat karena pada saat gempa terjadi, drastis karena kondisi kelumpuhan atau
mereka banyak yang sedang berada di kehilangan anggota tubuh menjadikan
dapur untuk menyiapkan makanan untuk kehidupan mereka sehari-hari lebih sulit
keluarga. Sementara itu, akses untuk dijalani. Perempuan dengan paraplegia2
menyelamatkan diri keluar rumah relatif sangat sulit untuk hidup tanpa bantuan
jauh karena dalam konstruksi rumah di orang lain karena kelumpuhan yang
masyarakat Jawa, letak dapur berada di mereka alami sementara akses dan peluang
bagian paling belakang dari struktur rumah. untuk bisa hidup mandiri di lingkungan
Lebih jauh lagi, kondisi bangunan dapur mereka sangat bias normal. Semua fasilitas
relatif lebih buruk dan lebih rentan untuk publik tidak memungkinkan mereka bisa
ambruk dibanding dengan bangunan lain di mengaksesnya, bahkan yang lebih buruk,
dalam rumah seperti kamar tidur dan ruang konstruksi rumah mereka sendiri juga
tamu sehingga perempuan menjadi korban tidak memungkinkan bagi mereka untuk
karena tidak sempatmenyelamatkan diri. bisa melakukan semuanya dengan mandiri.
Pun ketika sedang tidak berada di dapur, Dimulai dari pintu rumah yang tidak bisa
perempuan pasti sedang berusaha me­ diakses kursi roda, kamar mandi yang
nyelamatkan anak-anaknya sebelum berundak dan pintu yang sempit sehingga
menye­lamatkan diri mereka sendiri juga tidak memungkinkan bagi penyandang
sehingga waktu yang diperlukan untuk bisa disabilitas untuk melakukan aktivitas paling
selamat dari bencana tersebut semakin pribadi sekalipun secara mandiri.
panjang sehingga banyak dari mereka dan
Perempuan dengan disabilitas meng­
anak-anak menjadi korban.
alami penderitaan yang berlapis karena
Setelah gempa berlalu, mereka harus ketika mereka menjadi korban hidup,
menghadapi banyak tantangan karena mereka harus menghadapi banyak adaptasi
hidup harus terus berjalan meskipun mereka karena kemampuan tubuhnya yang tidak
tidak lagi hidup yang selengkap seperti lagi seperti dulu. Dengan menjadi pe­
sebelumnya. Rumah yang belum selesai nyandang disabilitas mereka harus ber­
dibangun, kesulitan untuk mendapatkan air hadapan dengan banyak stigma dan
bersih sementara makanan yang sehat dan pengalaman yang menyulitkan mereka
gizi yang baik untuk anak-anak yang harus untuk melanjutkan hidup. Banyak yang
selalu dicukupi, Sementara itu, perempuan menderita depresi dan trauma psikologis
juga tetap harus bekerja keras bersama yang sulit untuk dilupakan dari memori
suami untuk menghidupi keluarganya. Bagi bahkan kasus percobaan bunuh diri

54
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

menjadi kasus yang umum didengar dari beradaptasi sekaligus dengan tubuhnya,
penyandang disabilitas baru korban bencana dengan kenyataan baru sebagai orang tua
tersebut. Perempuan-perempuan tersebut tunggal dan sebagai tiang ekonomi bagi
juga harus rela ditinggalkan pasangannya keluarganya.
karena stigma ketidakmampuan mereka
Prakteknya, mereka harus berjuang
untuk melakukan aktivitas seksual begitu
setiap hari untuk bertahan dan berdaptasi
melekat. Hasil penelitian yang dilakukan
dengan kondisi tubuh mereka dan berjuang
oleh lembaga SAPDA (Sentra Advokasi
untuk bertahan hidup. Mereka dengan
Perempuan, Difabel dan Anak) sejak tahun
kehilangan kemampuan bekerjanya harus
2009 sampai dengan 2011 (Andriani,
menghadapi banyak hambatan karena
2011) menyebutkan bahwa hampir semua
kondisi tubuh mereka. Mereka harus terus
perempuan yang menikah dan menjadi
hidup tidak hanya untuk diri sendiri tetapi
penyandang disabilitas karena gempa
juga berpikir bagaimana harus menghidupi
ditinggalkan oleh pasangannya baik itu
anak-anak mereka serta berpikir setiap saat
secara resmi maupun dikembalikan ke
bagaimana mendapatkan kelangsungan
keluarganya tanpa kejelasan status. Mereka
medikalisasi bagi tubuh mereka serta
yang tidak ditinggalkan pasangannya kerap
asuransi kesehatan yang bisa digunakan
menerima kekerasan dalam rumah tangga
setiap waktu oleh mereka karena praktis
dan dieksploitasi secara ekonomi oleh
dengan menjadi penyandang disabilitas
suaminya karena mereka mendapatkan
mereka harus selalu menghadapi ma­
bantuan sosial secara rutin dari pemerintah
salah kesehatan yang menuntut pada
dan dari lembaga sosial lainnya. Penelitian
pemenuhan jaminan kesehatan mereka
tersebut menyebutkan bahwa dari 7
secara jangka panjang. Disamping masalah
responden yang belum menikah ketika
dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar,
menjadi disabel baru, hanya 1 perempuan
mereka juga harus menghadapi masalah
yang tidak ditinggalkan oleh pasangannya
berkaitan dengan adaptasi mereka dengan
dan menikah pada tahun 2011. Perempuan
kondisi tubuh yang berbeda, bagaimana
disabel baru tersebut harus menghadapi
menggunakan alat-alat bantu untuk secara
kenyataan pahit barlapis bahwa mereka
mandiri, berinteraksi serta menggunakan
tidak lagi bisa beraktivitas secara mandiri,
fasilitas publik dan lain-lain.
ditinggalkan pasangan yang tidak mau
bertanggung jawab terhadap keluarga serta Pasca gempa, mereka menerima banyak
anak-anak yang harus ditopang hidupnya. bantuan dari pemerintah maupun dari LSM
Sementara bagi perempuan-perempuan lokal maupun internasional. Terkadang,
tersebut, bekerja di luar merupakan hal mereka juga mendapatkan bantuan
yang mustahil karena akan membutuhkan lainnya dari sumber dana yang lain seperti
banyak bantuan dari orang lain dan donatur, perkumpulan-perkumpulan yang
tentu saja biaya yang tidak sedikit agar peduli terhadap keberlangsungan dan
memungkinkan mereka untuk melakukan kesejahteraan hidup mereka yang menjadi
mobilitas seperti misalnya membeli sepeda penyandang disabilitas. Program-program
motor roda tiga, kursi roda yang ringan pemberdayaan dan intervensi juga banyak
dan alat bantu yang lainnya. Mereka harus dilakukan tidak hanya untuk disabel baru
tetapi juga untuk disabelbukan korban

55
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

gempa. Namun, setelah program-program Kelompok orang dengan disabilitas


pemberdayaan dan intervensi tersebut merupakan bagian dari kelompok masya­
selesai, bagaimana dengan bagaimana rakat yang tertindas dan terstigma seperti
kualitas dan kelangsungan hidup mereka yang dikatakan oleh Bishop (dalam Mullaly,
belum banyak diteliti lebih jauh. 2002) bahwa kelompok tertindas selalu
dilekatkan paling tidak satu mitos seksual
Sebagian besar perempuan penyandang
negatif seperti tidak bisa mengontrol
disabilitas sangat tergantung dengan
nafsu seksualnya, tidak bermoral atau
keluarga besar mereka. Ketika pasangan
ter­belakang. Lebih spesifik lagi bagi
meninggalkan mereka, mereka bergantung
penyandang disabilitas, mereka dipandang
kepada simpati keluarga besar agar
sebagai kelompok yang pasif , tidak produktif
bisa bertahan hidup. Meskipun mereka
dan digolongkan sebagai kelompok orang
mendapatkan bantuan berupa pelatihan-
tanpa seksualitas. Penyandang disabilitas
pelatihan dan alat kerja baik itu dari
juga direpresentasikan sebagai kelompok
pemerintah maupun dari LSM lokal dan
tanpa gender, makhluk aseksual, aneh dan
internasional, namun kenyataannya
tidak normal(Meekosha, 2004). Mayoritas
modal dan bisnis yang dijalankan tidak
orang dalam masyarakat juga masih
dapat bertahan lama. Kebanyakan yang
memandang disabilitas sebagai penyakit
mendapatkan alat kerja berupa komputer
sehingga sangat umum terjadi ketika
tidak lagi mendapatkan pelanggannya
mereka melihat orang dengan disabilitas
karena sebagian besar masyarakat sudah
selalu diasosiasikan sebagai kelompok
menggunakan komputer jinjing karena
dengan sebutan-sebutan negatif yang selalu
harganya yang terjangkau. Mereka yang
bergantung dan membutuhkan pertolongan
mendapatkan alat menjahit dan ketram­
orang lain (Edwards, 2004). Perempuan
pilannya juga tidak dapat bertahan karena
dengan disabilitas mengalami penindasan
masyarakat sekarang lebih suka membeli
dan diskriminasi berlapis karena mereka
pakaian jadi yang lebih murah dan jika
disabel, karena mereka perempuan
mendapatkan order, mereka dibayar
sehingga ketika tidak produktif dianggap
dengan sangat murah dan kebanyakan juga
tidak normal, dan karena mereka berasal
tidak sanggup untuk memenuhi pesanan
dari kelompok masyarakat miskin. Dalam
partai besar. Sementara itu, kebutuhan
konteks perempuan dengan disabilitas
hidup menuntut untuk terus dipenuhi,
sebagai korban bencana gempa, mereka
termasuk membayar sekolah anak-anak,
harus menghadapi banyak peristiwa
membeli peralatan sekolah serta kebutuhan
yang mengguncang hidup mereka seperti
membeli obat-obatan untuk perawatan
kehilangan keluarga dekat, anak-anak
rutin kesehatan mereka. Bagi mereka
sampai kehilangan anggota tubuh mereka
yang berasal dari keluarga menengah ke
yang menyebabkan mereka kehilangan
atas tidak mengalami masalah seperti
kemampuan bekerja.
diatas, sementara bagi keluarga miskin,
karena mereka tidak dapat terus menerus Namun, dibalik semua bencana yang
bergantung pada keluarga besarnya mereka terjadi, ternyata kelompok perempuan
lalu menempuh jalan dengan menjual apa dengan disabilitas akibat korban gempa
saja untuk bisa bertahan hidup. bisa memberi warna bagi gerakan disabel

56
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

secara umum di Yogyakarta. Penyandang anggotanya yang merupakan penyandang


disabilitas akibat gempa di Bantul dan disabilitas. Selain Yakkum, LSM lainnya
Klaten membentuk banyak organisasi seperti KarinaKas4 dan SAPDA5 juga mem­
dan perkumpulan yang tujuannya mem­ punyai kegiatan yang serupa yang memberi
bantu anggota kelompoknya mulai dari perhatian terhadap penyandang disabilitas.
strategi dalam pemenuhan ekonomi, mem­ Setelah program pemberdayaan dan
bantu memecahkan masalah domestik, intervensi tersebut selesai, organisasi dan
serta problem lainnya termasuk bagai­ paguyuban tersebut menjadi organisasi
mana mendapatkan perhatian publik independen yang mengusahakan kegiatan
mengenai disabilitasserta melakukan dan pendanaannya sendiri tanpa supervisi
pengarusutamaan disabilitas dalam masya­ dari lembaga payung. Mereka berjuang
rakat lebih luas. Organisasi-organisasi demi hak-hak mereka sebagai warga
tersebut mayoritas diketuai oleh perempuan yang utuh, memberikan pelayanan untuk
dan itu memberi dampak yang signifikan teman sesama penyandang disabilitas,
bagi perubahan sosial dibandingkan dengan memberikan kredit atau bantuan keuangan,
situasi sebelum bencana terjadi. Sebelum mengusahakan asuransi kesehatan bagi
bencana terjadi, organisasi penyandang kelompok mereka serta ikut membantu
disabilitas tersentral dalam Yayasan menyelesaikan persoalan yang dihadapi
Persatuan Penyandang Cacat Indonesia penyandang disabilitas seperti persoalan
(PPCI) dan semua distribusi bantuan dari rumah tangga, mengusahakan alat
pemerintah serta kegiatannya terpusat pada bantu untuk mempermudah mobiltas
yayasan tersebut. Setelah gempa, banyak maupun dalam berkegiatan sehari-hari.
organisasi dan perkumpulan penyandang Sebagai kelompok disabel baru, ternyata
disabilitas bermunculan dan menjadi kegiatan mereka bisa memberi warna
wadah bagi disabel untuk menyuarakan dalam mengadvokasikepentingan seluruh
kepentingannya.Tidak hanya penyandang penyandang disabilitas di Yogyakarta.
disabilitas baru yang bergabung dalam Jaringan mereka juga mampu memberikan
organisasi dan perkumpulan-perkumpulan kekuatan sebagai kelompok yang diakui
tersebut, tetapi disabel lama bukan eksistensinya dan mampu memperjuangkan
korban gempa juga merasa tersuarakan anggotanya dalam mengakses haknya ke
aspirasinya yang selama ini terbungkam pemerintah dan mengadvokasi kepentingan
karena diskriminasi dan marginalisasi mereka termasuk dalam melakukan
yang dilakukan oleh keluarga dan masya­ pengarusutamaan disabilitas dalam gerak­
rakat. Perempuan disabel merasa an perempuan di Yogyakarta. Tulisan
mengalami kondisi yang lebih baik sejak ini akan melihat sejauh mana praktek
bergabung dalam DPO (Disabled People politik pengakuan perempuan dengan
Organization). Saat ini, ada 8 DPO dan 2 disabilitas pasca gempa terutama setelah
koperasi yang dibentuk oleh Yakkum3 dan tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi
masih berlangsung kegiatannya. Sementara selesai dilakukan. Tulisan ini juga hendak
itu, masih banyak paguyuban penyandang mengkaitkan bagaimanapola gerakan pe­
disabilitas lainnya yang mempunyai rempuan dengan disabilitas ini dalam
kegiatan inti memberdayakan anggota- mengkounter marginalisasi terhadap

57
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

kelompok mereka ditengah gerakan pe­ utama yang sama sekali menutup peluang-
rempuan mainstream di Yogyakarta. peluang untuk berdaya. Sebagai contoh,
dalam kehidupan keluraga, anak-anak
B. Absennya Isu Disabilitas dalam
perempuan akan cenderung mendapatkan
Gerakan Perempuan
pola pengasuhan domestik dengan harap­
Diskusi mengenai gender dalam an dapat menjadi pendamping dan
konteks perempuan difabel tampaknya pengasuh yang berkarakter serupa dengan
memang belum menjadi wacana yang inter­­nalisasi nilai seperti kepatuhan
populer. Meskipun gender memposisikan dan kelemahan. Implikasi kongkritnya
dirinya sebagai kajian partikular sebagai adalah, perempuan tidak dianjurkan me­
sebuah kontras atas mainstream-main­ miliki ambisi untuk bersekolah tinggi,
stream universal namun masyarakat akan berwawasan luas atau berkarakter keras
lebih mudah jika mencari kedalaman sebagai pemimpin. Sehingga pada periode
isu gender tentang peran sosial, politik, pertumbuhan jangka panjang, perempuan
ekonomi, seksualitas dibandingkan dengan akan semakin matang untuk menjadi
pembahasan yang lebih menukik tentang pengikut laki-laki-penguasa-pemilik ke­
perempuan disabel. Padahal jika hendak putus­an. Demikian halnya di ranah publik
merujuk pada teori peran West dan yang terkenal dengan feminisasi kerja­
Zimmerman (1987), maka hampir dapat nya. Perempuan hanya seolah-olah telah
dikatakan bahwa tidak ada satu orang pun keluar dari kungkungan diskriminatif,
yang akan luput dari sosialisasi gender. namun sebetulnya masuk dalam perangkap
Sosialisasi gender yang terjadi melalui domestifikasi dalam ruang baru bernama
berbagai mekanisme berlapis, mulai publik.
dari keluarga, masyarakat hingga negara
Pada kondisi yang dikatakan ‘normatif’
akan senantiasa menghadirkan individu
untuk tidak melakukan dikotomi atas
sebagai subjeknya. Oleh karena itu pada
normal dan tidak normal, maka keberadaan
setiap pola interaksi dapat dipastikan akan
perempuan disabel menjadikan sebuah
muncul sebuah persoalan yang terkait
refleksi besar. Masih dalam konteks peran
dengan gender seperti dalam tarik menarik
sosial, Goffman (dalam Gerschick, 2000)
kekuasaan, hubungan berbasis kekerasan
menggarisbawahi bahwa disabilitas bukan
hingga komodifikasi tubuh. Menariknya, di
hanya persoalan fisik atau mental namun
berbagai bentuk dinamika interaksi gender
juga terkait dengan relasi sosial dan stigma.
tersebut, perempuan justru sering menjadi
Manusia dengan disabilitas cenderung akan
pihak yang akan teridentifikasi sebagai
mendapatkan sangkaan buruk dari orang
korban. Mengapa? Sebab konstruksi sosial
lain seperti cacat, abnormal, bahkan gila.
yang sampai saat ini semakin menimbulkan
Mereka didiskriminasi atas kondisi yang
kegamangan karena belum juga berakhir,
tidak serupa dengan kebanyakan orang
perempuan sering ditempatkan pada posisi
sehingga sering dikategorikan sebagai yang
minor atau subordinat.
lain atau tidak terdaftar sebagai subjek
Dalam struktur patriarkhis, kehadiran dalam keseharian. Demikian halnya dalam
perempuan hanya dijadikan sebagai pe­ peran gender, dimana labelitas terlekat
lengkap atau peyongkong setiap kegiatan pada proses interaksi sehari-hari, maka

58
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

legitimasi atas maskulin dan feminin sering itu dalam agenda perjuangan sebetulnya
lahir dari konstruksi yang diberikan oleh dua hal tersebut memiliki ruh dan spirit
orang lain seiring dengan stigma yang yang serupa dalam melihat, memahami
terjadi. dan menerjemahkan kelompok-kelompok
rentan. Namun ternyata, dalam prakteknya,
Dalam ranah keluarga, kepemilikan
kasus-kasus perempuan disabel tidak
seseorang atas gendernya juga menjadi
cukup hanya dapat dijelaskan dengan
bersarat dan sekali lagi sangat ditentukan
pendekatan-pendekatan disabilitas. Hal ini
oleh kekuasaan orang lain atau dalam hal ini
disebabkan oleh persoalan berlapis yang
orang tua. Gerschick (2000) mencontohkan
dimiliki oleh perempuan disabel dibanding
bahwa anak yang lahir dengan disabilitas
perempuan bukan disabel dan laki-laki
bawaan maka orang tua atau orang-orang
disabel. Gerschick (2000) menuliskan
yang ada di sekitarnya akan menetapkan
bahwa meskipun laki-laki dan perempuan
anak tersebut dalam kategori jenis
memiliki pengalaman yang serupa tentang
kelamin teretntu namun tidak memiliki
marginalisasi, isolasi dan diskriminasi
ekspektasi terhadap peran gendernya.
namun variasi atas jumlah ketidakbaikan
Berbeda dengan anak-anak yang yang
tersebut mengantarkan mereka pada porsi
memiliki kondisi disabilitas ringan seperti
analisis yang berbeda. Misalnya, perempuan
ketidakmampuan melihat (buta), maka
disabel menjadi lebih rentan untuk menjadi
para orang tua akan memiliki harapan
sasaran perkosaan atau pelecehan seksual.
yang besar untuk mensosialisasikan
Hal ini dikarenakan konstruksi berlapis
dan menginternalisasikan peran gender
yang dilekatkan. Perempuan dasarnya
tertentu terhadap anak tersebut. Anak-anak
dianggap lemah akan semakin disangka
dengan disabilitas cenderung sulit untuk
tidak memiliki arti apapun ketika didapati
mendapatkan peluang dalam memahami
kondisi tubuhnya dalam kategori disabel.
konstruksi maupun realitas peran gender
Secara ekstrim, perempuan dengan
bahkan memiih sendiri peran gendernya
disabilitas hanya akan dimaknai sebagai
karena persoalan stigma yang hampir
objek atau benda yang tidak bermanfaat
menjadi bagian kehidupannya menjadi
selain alat pemuas pihak lain yang lebih
penghalang tersendiri untuk keluar
berkuasa.
menjadi individu yang bebas. Meskipun
teori gender mengarahkan agar setiap Secara teoritis, pendekatan gender dan
orang memiliki peluang yang sama untuk fenimisme telah berupaya untuk mencapai
mempelajari, memahami dan merespon seluruh ranah yang menjadi bagian dari
tentang konstruksi peran gender yang interaksi gender. Chafetz (1999) misalnya,
disosialisaikan namun perlu digarisbawahi dalam Handbook of the Sociology of
bahwa derajat kesempatan bagi anak-anak Gender juga telah menurunkan beberapa
disabel jauh lebih terbatas dibandingkan pendekatan gender hampir ke dalam ritual
yang bukan disabel. keseharian masyarakat dalam berinteraksi.
Penjelasan teori yang paling mendekati
Studi tentang gender dan disabilitas
adalah yang disebutkan Kronenfeld (1999)
pada akhirnya sama-sama memberikan
tentang penyakit mental. Namun penjelasan
tekanan pada isu diskriminasi dan akses
tersebut hanya terbatas pada argumentasi
atas pemenuhan hak dasar. Oleh karena

59
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

tentang perbedaan status penyakit mental Esterchild (1999) berargumentasi bahwa


antara perempuan dan laki-laki. Disebutkan absennya perempuan dalam percaturan
bahwa jumlah pengidap penyakit mental politik sudah jelas bahwa memang
antara laki-laki dan perempuan lebih ada konstruksi yang dimainkan secara
disebabkan oleh perbedaan beban peran sosial dan budaya untuk mengukuhkan
gender yang dibebankan oleh struktur anggapan bahwa perempuan tidak layak
masyarakat. Akan tetapi hal tersebut belum untuk dipasangkan dengan laki-laki dalam
cukup memberikan sumbangsih teori pada kemampuan berpolitiknya. Perempuan
dinamika perempuan disabel. Selain ada terlalu sulit untuk beradaptasi karena
istilah yang juga masih diskriminatif yakni kewajiban-kewajiban domestik yang di­
‘penyakit (illness)”, berbagai masalah- lekat­kan. Adanya wacana bias tersebut
masalah yang mungkin menjadi bagian dari yang menjadi dasar kuat untuk mendobrak
perempuan dengan disabilitas sama sekali berbagai batasan agar perempuan mulai
belum nampak. dapat diperhitungkan. Di Indonesia,
gagasan ini direspon kuat dengan wacana
Dalam unit terkecil keluarga, melalui
kuota 30% perempuan di jajaran legislatif.
catatan Bielby (1999) dijelaskan tentang
Alasannya, adalah untuk menjamin
pola perubahan yang terjadi dalam relasi
perempuan sebagai kelompok rentan yang
rumah tangga antara terkait dengan
memiliki kepentingan berbeda seperti
kehadiran pola ekonomi modern dimana
kesehatan reproduksi dan seksual. Namun
kemudian sebuah keseimbangan hubungan
sepertinya gerakan-gerakan ini juga
diterjemahkan melalui pembagian kerja
kembali menarik paham universal dalam
antara laki-laki dan perempuan. Sayangnya,
kelompok perempuan itu sendiri. Gerakan-
dikotomi ini justru membatasi perempuan
gerakan perempuan sedikit mengabaikan
dalam mengartikulasikan pilihan-pilihan­
bahwa perempuan juga terdiferensiasi lagi
nya sebagai manusia. Namun lebih jauh
ke dalam beberapa jenis seperti perempuan
menjelaskan tentang relasi yang terjadi
dengan disabilitas. Dalam beberapa hal
pada perempuan dengan disabilitas juga
atau pada konteks kesehatan reproduksi
masih belum nampak. Padahal unit keluarga
misalnya, seluruh perempuan memang
merupakan sebuah organisasi kecil dalam
dapat dikatakan memiliki kebutuhan
lingkungan masyarakat yang memiliki porsi
yang berbeda dengan laki-laki. Namun
dominan dalam membentuk nilai serta pola
ternyata porsi atau besaran kebutuhan
perilaku setiap individu.
setiap perempuan berbeda dan inilah yang
Demikian halnya ketika masuk pada penting untuk menjadi perhatian serius
ruang politik yang dianggap sebagai arena agenda perjuangan perempuan yang belum
yang lebih menjanjikan bagi setiap individu final tersebut.
untuk menegosiasikan kepentingan atas
Butler sebetulnya dapat menjadi
keberadaanya sebagai agency. Tanpa
harapan untuk mendekatkan pendekatan-
terkecuali perempuan, area politik ini
pendekatan feminisme untuk membedah
menjadi sasaran penting yang harus
tentang kehidupan perempuan dan
diagendakan agar perempuan tidak lagi
disabilitas. Dalam bukunya Bodies That
diabaikan dari proses perumus kebijakan
Matter, berbagai macam penjelasan bahwa
hingga eksekusi pengambilan keputusan.

60
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

konsepsi tubuh merupakan wilayah yang terbatas pada penyakit (illness), kesehatan
sangat politis dalam menerjemahkan (health), kecantikan, genetik, usia, dan
identitas manusia. Bagi Butler (1993), teknologi reproduksi. Lebih jauh, Feminist
tubuh merupakan sebuah hasil ciptaan Disability akan lebih menfokuskan pada
yang berulang-ulang dipertontonkan perempuan yang mengkaitkan konsep
untuk sampai pada asumsi tentang ke­ tubuh, politik, medikalisasi tubuh, multi­
benaran. Proses ini dianggap tidak dapat kulturalisme, seksualitas, konstruksi sosial
menjelaskan tentang pangkal dari kelahiran atas identitas dan komitmen untuk integrasi
sebuah tubuh sebagai sebuah definisi yang (Thomson, 2002).
sebenarnya. Tubuh akan bertahan sebagai
C. Politik Pengakuan Perempuan
sebuah bagian dari kehidupan hanya jika
dengan Disabilitas: Transfor­
memiliki label gender tertentu seperti laki-
masi Dis­abilitas Model Individu
laki atau perempuan dimana seseorang
ke Model Sosial
akhirnya kehilangan makna individunya
dalam menentukan pilihannya. Pendekatan Perempuan dengan disabilitas korban
tentang konsep tubuh ini sebetulnya gempa mampu mengartikulasikan ke­
menarik untuk dijadikan landasan berfikir pen­ting­an kelompok disabel secara
dalam menjelaskan perempuan dengan umum di Yogyakarta. Perempuan yang
disabilitas bahwa ternyata dimensi tubuh sejak kecil disosialisasikan untuk bisa
setiap perempuan itu tidak hanya berhenti bertahan dalam kondisi apapun ternyata
pada identitas perempuan yang dilekatkan membuktikan bahwa mereka tidak hanya
sebelumnya. Namun mereka mengalami bisa bertahan saja tetapi mampu merubah
akumulasi pengalaman yang akhirnya konstruksi sosial dalam masyarakat dalam
menempatkan mereka untuk menyandang memandang disabilitas, setidaknya di
status perempuan dengan disabilitas, lingkungan tempat tinggal mereka. Dengan
sama dengan perempuan yang lesbian hadir sebagai penyandang disabilitas baru,
atau perempuan yang waria. Namun, mereka memberikan perspektif baru dalam
lagi-lagi Butler juga tidak secara eksplisit masyarakat bahwa keberagaman merupakan
mengakomodir fenomena lain di luar keniscayaan termasuk keberagaman dalam
variasi identitas perempuan-perempuan hal fisik sehingga masyarakat tidak lagi
yang lesbian atau waria tersebut. Argumen­ terkotak dalam kriteria normalcy bahwa
tasinya berhenti pada perdebatan tentang yang memiliki kondisi fisik berbeda dengan
keberadaan perempuan dalam relasi yang umumnya dimiliki oleh anggota
heteroseksual dan homoseksual. masyarakat dianggap sebagai tidak normal.
Kriteria tersebut sejak lama menghegemoni
Oleh karena itu Thomson (2002)
masyarakat sehingga anggota masya­
menggarisbawahi untuk perlunya meng­
rakat dengan disabilitas cenderung disem­
hadirkan kelengkapan studi feminis
bunyikan oleh keluarganya, seolah-olah
dengan mempertimbangkan keberadaan
dilindungi supaya tidak menjadi bahan
perempuan dengan disabilitas. Teori
ejekan di lingkungan sekitarnya dan tidak
yang dinamai dengan Feminist Disability
pantas untuk disejajarkan sama dengan
memiliki misi besar untuk melampaui topik-
anggota masyarakat lainnya. Kini, dalam
topik umum disabilitas yang cenderung
konteks perjuangan perempuan, tidak

61
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

hanya kesetaraan dengan laki-laki saja banyak tersebar di Bantul dan Yogyakarta.
yang diperjuangkan tetapi juga bagaimana Mereka mampu terus menjalankan
mengakui derajat dan martabat perempuan aktivitas dalam organisasi karena sudah
disabel tidak hanya dalam konteks kultur terbiasa melakukan multitasking meskipun
androsentris tetapi mengakui keberadaan mereka juga punya tanggung jawab bekerja
perempuan tersebut dalam konteks dan merawat keluarganya. Salah satu
pergaulan yang heterogen. (Lugones and informan yang juga salah satu Ketua DPO
Spelman 1983; Spelman 1988 dalam Baum, mengatakan:
2004).
“ Secara presentase ibu-ibu disabel
Dalam studinya, Henriatta Moore punya SDM lebih bagus dibanding
(dalam Baum, 2004) menyebutkan bahwa bapak-bapak disabel. Mereka
mengakui perbedaan tidak hanya sekedar rata-rata lulusan SMA, sementara
mendiamkan keberbedaan itu terjadi, tetapi bapak-bapak hanya lulusan SD.
realisasi dari pengakuan itu juga harus Melihat kemampuan mereka,
diwujudkan yaitu transformasi sosial dalam maka pantas kalau jadi ketua.
konteks dimana kelompok masyarakat Karena ibu-ibu punya lumayan
hidup. Dalam konteks perempuan korban banyak waktu, sedangkan bapak-
gempa, keberadaan mereka menjadi bapak kerja untuk kehidupan
pembelajaran bagi masyarakat di Bantul, ekonomi sehingga jarang bisa dan
Klaten dam Yogyakarta bahwa ada mau aktif dalam organisasi. Yang
perbedaan lain selain perbedaan budaya, jelas kalau ibu-ibu pendidikannya
agama, etnis, dan jenis kelamin. Sebelum tinggi sehingga bisa organisasi
gempa terjadi, masyarakat menganggap tetap bisa jalan sampai sekarang.”
mereka penyandang disabilitas adalah
Keterlibatan perempuan dalam or­
anggota masyarakat yang terbelakang,
ganisasi disabilitas ternyata tidak hanya
tidak beruntung dan tidak menganggap
memberi pembelajaran bagi masyarakat
masalah disabilitas adalah masalah sosial.
akan keberbedaan, tetapi mampu merubah
Mereka menganggap masalah disabilitas
perspektif medikalisasi atau perspektif
adalah masalah individu disabel dan
individual model disabilitas menuju ke
keluarganya sehingga tidak layak untuk
perspektif sosial model disabilitas. Cara
dicampuri. Bahkan stigma yang berakar
pandang medical model yang juga disebut
kuat dalam masyarakat masih menganggap
sebagai individual model melihat disabilitas
bahwa menjadi atau terlahir sebagai disabel
dari sudut pandang medis (kesehatan).
merupakan hukuman dari Tuhan sehingga
Cara pandang ini mendefinisikan disabilitas
mereka dan keluarganya layak menjalani
sebagai sebuah kelemahan fisik dan mental
penderitaan tersebut di dunia. Cara
yang berakibat pada keterbatasan individu
pandang moral model tersebut kemudian
dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
bergeser setelah gempa terjadi. Perempuan
Medical atau individual model memahami
yang porsinya lebih banyak menjadi
disabilitas sebagai personal tragedy atau
penyandang disabilitas karena gempa
kecelakaan individu yang harus disem­
mampu menggerakkan aktivitas dalam
buhkan seperti orang normal lainnya dalam
DPO (Disabled People Organization) yang
kacamata medis. Para dokter, perawat

62
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

kesehatan dan ahli terapi fisik adalah prioritasi terhadap sumber daya, soal
kelompok yang memiliki kekuasaan dalam kemiskinan, pengangguran, dan sistem
menentukan keputusan dan kebijakan atas pelayanan medik yang sudah dilakukan
kehidupan para penyandang disabilitas. oleh masyarakat sejak lama terhadap
Dari sini muncul ide pembangunan Pusat penyandang disabilitas. Masalah dasar
Rehabilitasi Medik yang tujuannya adalah yang dhadapi oleh penyandang disabilitas
menormalisasi tubuh pasien sehingga bisa dalam paradigma ini adalah rendahnya
mendekati normal. Akibatnya mereka pengakuan atau penerimaan masyarakat
justru tereksklusi dan frustasi karena terhadap keberadaan penyandang dis­
proses penormalan yang menyakitkan dan abilitas sebagai bagian intergral dari
terjadi pengabaian hak mereka untuk tetap kehidupan masyarakat. Adapun bentuk
menjadi disabel. Seolah-olah yang tidak nyata dari permasalahan yang dihadapi
berusaha menjadi normal dianggap sebagai oleh panyandang disabilitas adalah tidak
disabel yang malas, tidak mau belajar dan meratanya distribusi atau akses teknologi,
putus asa. Padahal untuk kembali menjadi asistensi terhadap penyandang disabilitas
normal jelas tidak mungkin sehingga yang masih menggunakan paradigma
proses normalisasi hanya membuat medik, tidak adanya pencitraan yang baik di
frustasi berkepanjangan, rendah diri dan media massa dan penempatan penyandang
menjadikan kelompok disabel seperti objek disabilitas dalam pusat rehabilitasi. Lebih
yang bisa menjadi bahan intervensi dan jauh oleh Maduqi (2011) dijelaskan bahwa
percobaan dokter kapan saja. Salah seorang paradigma social model ini memandang
informan mengatakan bahwa: persoalan penyandang disabilitas secara
utuh dan menyeluruh sehingga pandangan
“Saya selalu diberi alat-alat dan
ini banyak dianut oleh para aktivis disabilitas
kursi roda baru dari lembaga baik
di seluruh dunia. Penempatan disabilitas
itu lokal dan internasional. Saya
sebagai persoalan kolektif masyarakat telah
selalu menerima bantuan-bantuan
merangsang berkembangnya gerakan sosial
tersebut tetapi kenyataannya
penyandang disabilitas di banyak negara
tidak saya pakai, karena kursi
tidak terkecuali di Indonesia. Sosial model
roda itu yang dikatakan lebih
tersebut oleh Oliver (1996) digambarkan
mempermudah kita untuk melaku­
sebagai berikut:
kan mobilitas ternyata justru
membuat tubuh kita mudah lelah
dan menyulitkan saya untuk
melakukan aktivitas pribadi
dengan mandiri”

Cara pandang medis dam individual


ini oleh Michael Oliver (1996) kemudian
dibantah dan membuat paradigman baru
dalam melihat disabilitas yaitu paradigma
social model dimana disabilitas dilihat
sebagai persoalan sosial yang menyangkut
masalah sistem ekonomi, kebijakan,

63
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Disability Model
The Individual Model The Social Model

Personal tragedy theory Social oppression theory


Personal problem Social problem
Individual treatment Social action
Medicalisation Self help
Professional dominance Individual and collective responsibilities
Expertise Experience
Adjustment Affirmation
Individual identity Collective identity
Prejudice Discrimination
Attitudes Behaviour
Care Rights
Control Choice
Policy Politics
Individual adaptation Social change

Sumber: Michale Oliver dalam Understanding Disability: From Theory to Practice, Palgrave (1996)

Bagaimana kualitas hidup penyandang Barakah ketuanya Mbak Purwanti


disabilitas terutama kaum perempuan beliau pinter sekali. Beliau pernah
setelah 6 tahun gempa dan bagaimana mengadakan pertemuan antar
aktivitas mereka dalam mengadvokasi DPO dengan Pemerintah Desa,
perempuan disabel lainnya membawa Pemerintah Kecamatan dan de­
keuntungan bagi gerakan penyandang ngan Pemerintah Kabupaten
disabilitas secara umum daerah Bantul, Bantul yaitu Dinas Sosial. Dalam
Klaten dan Yogyakarta. Jika melihat pertemuan tersebut dicapai kese­
perjuangan meningkatkan kualitas hidup pakatan bahwa kegiatan DPO
mereka masih sebatas pada pemenuhn dima­sukkan kedalam agenda
kebutuhan dasar, tetapi mereka mulai Musrenbangdes. Alhamdulillah
bertransformasi dengan mengekspresikan sudah gol sehingga kemarin 6
kepentingan dan hak-hak individual desa di Pleret dana stimulan untuk
mereka secara kolektif. Pengusahaan DPO Barokah. Harapan saya
akan terpenuhinya hak-hak sosial dan bisa ditindaklanjuti kelompok-
sipil tersebut merupakan tindakan yang kelompok lain karena yang nama­
membawa perubahan yang sangat berarti nya mengurusi orang cacat bukan
bagi disabel lain secara keseluruhan. tugas kita semata”
Berikut komentar salah satu informan: Perjuangan gerakan mereka tentu saja
“Kalau di Pleret semuanya relatif tidak semudah membalikkan telapak ta­
lebih mudah bagi disabel. Disini ngan karena stigma negatif yang kuat
kan ada kelompok DPO namanya terhadap penyandang disabilitas tidak

64
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

mudah dihilangkan dari benak masyarakat. dan meluruskan stigma yang selama
Dengan prestasi-prestasi kecil di tingkat ini melekat pada diri mereka. Dalam
desa, mereka mulai membangun citra positif wawancara dengan aktivis tersebut didapat
mengenai penyandang disabilitas dan ini informasi mengenai perjuangan mereka:
menguntungkan bagi kondisi penyandang
“Ya sedikit-sedikit mbak kita
disabel secara keseluruhan. Mereka yang
melakukan advokasi ke lembaga-
dulunya tersembunyi dalam ruang-ruang
lembaga advokadi perempuan
kotak di rumah mereka mulai berani coming
se­perti Rifka Annisa supaya
out dan bergabung dalam aktivitas sosial
mereka juga mengerti bahwa
di DPO. Aktivitas-aktivitas yang beragam
ada eksklusi jika menganggap
dalam DPO yang banyak tersebar di Bantul,
semua perempuan kondisinya
Klaten dan Yogyakarta disabel juga mulai
sama. Harus ada pembahasan dan
diakui oleh pemerintah sehingga mereka
penanganan yang berbeda jika
bisa secara langsung mengkases dana dari
berbicara mengenai perempuan
pemerintah yang sebelumnya dimonopoli
dengan disabilitas”.
oleh YPCI (Yayasan Penyandang Cacat
Indonesia) Seorang aktivis salah satu LSM Selain itu, perjuangan bagi pengakuan
disabilitasyang bernama Nina mengakui kelompok perempuan dengan disabilitas
bahwa jalan panjang bagi kesetaraaan adalah perjuangan supaya mereka bisa
masih panjang tetapi ada optimisme bagi melakukan mobilitasfisik secara mandiri,
perjuangan gerakan perempuan disabel di coming out dan berpartisipasi dalam
daerah Yogyakarta dan sekitarnya karena kegiatan di masyarakat. Selain itu, akses
makin banyak perempuan yang terlibat terhadap jaminan kesehatan terhadap
dalam advokasi bagi disabel perempuan penyan­dang disabilitas merupakan prio­
mengingat perempuan sangat rentan ritas utama dari gerakan ini. Anggota-
pelecahan, penindasan dan kekerasan. anggota dalam DPOselalu dimotivasi tetap
Dalam hal seksualitas mereka juga masih bertahan dalam aktivitas di DPO supaya
terpinggirkan artinya belum dibahas mereka tidak tersembunyi dalam pergaulan
dalam diskursus gender dan seksualitas. di masyarakat. Mereka tetap berupaya
Padahal banyak miskonsepsi mengenai supaya masyarakat umum terbiasa melihat
dinamika perempuan dengan disabilitas dan bergaul dengan disabel sehingga tidak
dan seksualitas. Pemahaman bahwa mere­ pernah luput dari pelibatan pengambilan
ka aseksual dan tidak produktif sama keputusan dan lain-lain. Mereka juga
sekali tidak benar. Banyak yang masih bisa berupaya mengatasi masalah hambatan
melakukan aktivitas seksual dan secara dalam hal akses ke lapangan pekerjaan
bilogis produktif tetapi wacana umum dan lain-lain. Meskipun sangat sedikit dari
meng­anggap mereka sebagai makhluk tidak mereka yang bekerja di ranah publik tetapi
utuh, aseksual dan tidak mempunyai gairah. beberapa yang berhasil masuk menjadi
Menurut aktivis tersebut, pendidikan me­ dalam industri service seperti menjadi
ngenai disabilitas dan seksualitas sangat operator telepon hotel berbintang, menjadi
diperlukan terutama untuk memberikan manajer proyek di LSM lokal maupun
kenyamanan bagi penyandang disabilitas internasional dan lain-lain. Pengakuan akan
hak sipil mereka juga dibuktikan dengan

65
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

diijinkannya secara resmi bagi penyandang hidup mereka pasca tahapan rekonstruksi
disabilitas untuk mengendarai sepeda dan rehabilitasi. Bagaimana dan sejauh
motor roda tiga dengan dikeluarkannya mana kesuksesan mereka dalam mencapai
SIM D untuk mereka. peningkatan taraf hidup mulai dari tahapan
being, belonging dan becoming masih
Perjuangan bagi pengakuan tersebut
memerlukan elaborasi lebih lanjut. Mulai
tidak hanya terhenti pada advokasidalam
dari Being bagaimana terpenuhi kebutuhan
mengakses asuransi kesehatan, bantuan
kesehatan fisik, psikologis dan spiritual
pemerintah, tetapi juga pengakuan dalam
menuju Belongingyaitu bagaimana mereka
kancah pergaulan secara umum, bagaimana
terpenuhi kebutuhan dalam mengakses
masyarakat menyadari keberadaan disabel
lingkungan fisiknya, pelayanan sosial,
sama eksisnya dengan mereka yang bukan
pekerjaan dan pendapatan serta yang
disabel. Saat ini, pengakuan yang sedang
paling penting adalah Becomingbagaimana
diperjuangkan oleh perempuan dengan
mereka bebas dan mandiri dalam melakukan
disabilitas secara khusus dan penyandang
aktivitas keseharian, mempunyai waktu
disabilitas secara umum adalah bagaimana
dan kondisi yang nyaman bagi peningkatan
mereka mengatasi masalah utama yaitu
pengetahuan dan ketrampilannya.
dalam mengakses fasilitas publik dan
mengkampanyekan bagi pembangunan Aktivitas perempuan disabel korban
infrastruktur yang ramah disabel. Di India, gempa dalam perjuangan bagi kesetaraan
dalam struktur patriarki yang begitu kuat perempuan dan disabel secara umum
dan dogma agama yang sangat kental, mencapai hal-hal yang sebelumnya tidak
kondisi disabel perempuan lebih buruk tersentuh oleh penyandang disabilitas mulai
kondisinya. Hak disabel hanya bisa diraih berkurangnya stigma terhadap penyandang
oleh mereka dari golongan elit saja, misalnya disabilitas secara umum, akses terhadap
mereka yang bisa mengakses perjalanan hak sipil, sosial dan politik serta pengakuan
udara, hotel berbintang dan parkir mobil dari masyarakat akan hadirnya mereka di
khusus disabel yang notabene hanya sedikit tengah pergaulan yang heterogen. Gerakan
dari populasi disabel di India yang bisa perempuan disabel pasca gempa mampu
mengaksesnya. Dari pengalaman tersebut, menginspirasi bagi perjuangan kelompok
sosialisasi dan solusi yang diperlukan bagi tertindas lainnya bahwa perjuangan
gerakan perempuan dan disabilitas tidak bagi kelompok tertindas harus mampu
hanya melokasi disabilitas hanya sebatas melampaui perspektif yang sudah mapan
persoalan tubuh saja tetapi melihat disabel dalam hal ini perspektif medis, individual
sebagai model sosial yang melihat kelompok dan material menuju ke perspektif yang
tersebut sebagai kelompok tertindas dalam objectif dan model sosial dimana terdapat
masyarakat dan menuntut bagi perubahan perjuangan terhadap hak sipil, politik dan
sosial (Ghai, 2002). sosial yang sifatnya kolektif. Discredited
social stigma menurut istilah Goffman
D. Penutup
(stigma yang tidak bisa disembunyikan) dan
Tulisan ini merupakan elaborasi awal coming outyang dilakukan oleh penyandang
mengenai aktivisme perempuan disabel disabilitas ternyata justru bisa pelan-pelan
korban gempa dan sejauh mana kualitas melepaskan mereka dari stigma negatif

66
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA

sebagai penyandang disabilitas. Dari situ New York: Palgrave Mac Millan
keadilan sosial, inklusivitas, partisipasi,
pengakuan dan legitimasi dengan sendirinya Budisusila, A. (2007). Bencana dan
juga akan berproses menuju level yang kehidupan berkelanjutan. Dalam
lebih maksimal. DPO sebagai bodysangat Widyanta. A.B (Ed.), Kisah kisruh di
bermanfaat sebagai alat untuk mengakses tanah gempa: catatan penanganan
hak sosial dari pemerintah seperti jaminan bencana gempa bumi Yogya-
kesehatan, dan mendapatkan kepastian Jateng 27 Mei 2006 (pp.215-238),
dalam mendapatkan hak sipil seperti Yogyakarta: Cindelaras Pustaka
pengurusan KTP, SIM dan hak memilih Rakyat Cerdas
dan mendapatkan akses dalam pemilihan Candace, W. & Zimmerman, Don, H. (1987).
umum. Nancy Fraser seorang tokoh Gender and Society. Dari http://
politik pengakuanmengatakan bahwa links.jstor.org/sici?sici. Diakses 8
dalam pengakuan yang penting tidak September 2010.
hanya promosi terhadap perbedaan tetapi Denise, B. D. (1999). Gender and Family
bagaimana redistribusi sumber daya itu Relation. Dalam Saltzman (Ed.),
juga berjalan sehingga ada kombinasi antara Handbook of the Sociology of
cultural politics of differencedengansocial Gender. University of Houston
politics of equality. Itu yang akan Texas. Springer.
selalu diperjuangkan oleh para pejuang Elizabeth, E. M. (1999). Gender and politics.
perempuan dimanapun berada. Dalam Saltzman (Ed.), Handbook of
the Sociology of Gender. University
of Houston Texas. Springer.
Fatimah, D. (2007). Yang sering terabaikan:
Daftar Pustaka gender dan anggaran dalam
Andriani, N.S (2011). Kesehatan reproduksi bencana. Dalam Widyanta. A.B
perempuan disabel baru: Sebuah (Ed.), Kisah kisruh di tanah gempa:
pengalaman pendampingan perem­ catatan penanganan bencana
puan korban gempa bumi. Dalam gempa bumi Yogya-Jateng 27 Mei
M. Hasbie (Ed.), Seksualitas dan 2006 (pp.433-450), Yogyakarta:
kesehatan reproduksi perempuan Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
dengan disabilitas (pp.89-99), Garland, T.R.(2002). Integrating
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Disability, Transforming Feminist
Baum, B. (2004). Feminist politics of Theory. Feminist Disability Studies
recognition. Signs, Vol 29, No.4 Vol 14 No 3. The John Hopkins
(Summer 2004), pp. 1073-1102. University Press. http://www.jstor.
Diakses tanggal 9 Januari, 2012. org/stable/4316922. Accessed
Dari http://www.jstor.org/ 26/09/2012.
stable/10.1086/382630 Ghai, A. (2002). Disabled women: an
Beckett, A.E. (2006). Citizenship and excluded agenda of Indian feminism.
vulnerability: disability issues of Hypatia, Vol 17, No.3 (Summer
social and political engagement. 2002), pp. 49-66. Diakses tanggal

67
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

16 Oktober, 2012. Dari http://jstor. tulisan ini konsep penyandang disabilitas bisa
dipertukarkan dengan konsep orang dengan
org/stable/3810795 disabilitas atau disabel. Konsep Orang dengan
Jacobs., K.J(1999). Gender and Health Disabilitas menjadi konsep baru setelah
Status: Handbook of the Sociology sebelumnya konsep penyandang cacat berubah
menjadi konsep difabel (different ability) yang
of Gender. University of Houston meskipun istilah tersebut lebih halus dari istilah
Texas. Springer. sebelumnya, namun masih mangandung stigma
yang melekat bagi penyandangnya.
Judith, B. (1993). Bodies That Matter. New
York. Routledge. 2 Paraplegia merupakan kondisi kecacatan bagi
seseorang yang mengalami kelumpuhan pada
Masduqi, B.F. (2011). Kecacatan: dari bagian bawah tubuh mereka akibat cedera pada
tragedi personal menuju gerakan sumsum tulang belakang. Cedera ini disebabkan
oleh berbagai hal semisal kecelakaan lalulintas,
sosial. Jurnal Perempuan, Vol 65, jatuh dari ketinggian, tertimpa benda berat atau
pp 17-29. karena suatu penyakit. Cedera pada sumsum
Meekosha, H. (2002). Virtual activist? tulang belakang yang mengenai sistem saraf
pusat tidak hanya menyebabkan kelumpuhan
Women and the making of identities pada ke2 tungkai saja,namun juga seluruh sistem
of disability. Hypatia, Vol 17, No.3 tubuh dibawah level cedera ikut terganggu. Pada
beberapa kasus, penderita paraplegia masih
(Summer 2002), pp. 67-88. Diakses
dapat berjalan meski tidak bisa dalam jangka
tanggal 9 Januari, 2012. waktu yang lama. Sebagian besar penderitanya
Oliver, M. (1996). Understanding disability bergantung pada kursi roda atau alat penunjang
lainnya. Impotensi dan ketidakmampuan
from theory to practice. New York: mengontrol buang air merupakan hal yang umum
Plagrave dialami oleh penderitanya (news-medical.net)
Philips, D. (2006). Quality of life. London 3 Pusat Rehabilitasi YAKKUM adalah sebuah
and New York: Routledge lembaga non pemerintah, organisasi sosial
Kristen yang merupakan bagian dari YAKKUM
Saltzman, C.J. (1999). Handbook of the (Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum).
Sociology of Gender of Sociology. Pusat Rehabilitasi YAKKUM memberikan
pelayanan kepada para  penyandang disabilitas
University of Houston Texas.
(yakkum-rehabilitation.org)
Springer.
4 KARINAKAS (Karitas Indonesia Keuskupan
Thomas, J.G(2000). Theory of Disability Agung Semarang) adalah sebuah lembaga
and Gender. Feminisms at kemanusiaan di bawah naungan Keuskupan
Agung Semarang yang memberi perhatian lebih
Millennium Vol 25 No.4. University
pada difabel, pengurangan risiko bencana, dan
of Chicago Press. http://www. pemberdayaan ekonomi masyarakat tanpa
jstor.org/stable/3175525, accessed dibatasi sekat agama, suku, ras, dan kepentingan.
Sejak bencana gempa Yogyakarta 2006,
25/09/2012 KARINAKAS terus bergulat bersama masyarakat
di wilayah Jateng – DIY dalam pemberdayaan
difabel, pengurangan risiko bencana, dan
pengembangan ekonomi masyarakat lemah.
(Endnotes) 5 LSM yang bergerak dalam advokasi kebijakan
1 Istilah “orang dengan disabiltas” atau di tingkat daerah, pendidikan, epndampingan
“penyandang disabilitas” merupakan konsep dan pemberdayaan terhadap perempuan, difabel
baru yang muncul setelah disahkannya Undang- dan anak khususnya dalam sektor kesehatan dan
undang Hak Penyandang Disabilitas No 19 pendidikan di Daerah istimewa Yogyakarta.
tahun 2011 pada tanggal 18 Oktober 2011 yang
merupakan ratifikasi dari penandatanganan
Convention on the Right of Persons with
Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas) oleh Pemerintah RI
pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Dalam

68
MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM
PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA

Dewi Cahyani Puspitasari

Abstrak
Eksistensi perempuan memiliki peran penting baik pada ranah domestik (keluarga)
dan publik (masyarakat). Dalam perannya mengelola keuangan keluarga baik dari hasil
nafkah suami maupun kerja produktifnya menjadikan perempuan sadar akan posisinya
menjaga keberlangsungan ekonomi keluarga. Perempuan mampu mendayagunakan
sumber ekonomi melalui pemanfaatan stok modal sosial yang dimilikinya berupa jejaring
sosial dalam lingkungan sosial untuk mempertahankan bahkan meningkatkan ekonomi
keluarga. Dari pengalaman pendampingan ekonomi perempuan usaha mikro, penulis
mencoba mengkonseptualisasikan dalam kerangka fungsi dan peran modal sosial untuk
penguatan ekonomi keluarga. Dengan demikian, pilihan saluran penghidupan perempuan
dan keluarganya melalui pemanfaatan modal sosial menjadi peluang strategis dan
produktif untuk menjaga daya tahan ekonomi keluarga.
Kata Kunci: perempuan, modal sosial, ekonomi keluarga.
Abstract
“ The existence of female has an important role both on domestic (family) and public
(society). In that role manage family finance either revenue from her husband or her
productive work make women aware of hers position maintain sustainability of economic
family. Women are capable to leverage existing economic resources through utilization of
social capital stock owned, in the form of social network in social environment to maintain
even increasing economic family. From experiences assistance women micro entreprises,
writer try to conceptualize within framework of the function and role of social capital
for strengthening economic family. Thus, the choice of livelihood and family channels
through utilization of social capital into productive and strategic opportunities to keep
durability of economic family”
Keywords: woman,social capital, economic family.

A. PENDAHULUAN Bila ditinjau dari indikator ekonomi makro,


berbagai laporan dan studi menunjukkan
Pembangunan nasional dalam dinamika
prospek dan kinerja pembangunan eko­
wacana dan implementasinya menuai
nomi Indonesia. Faktanya justru me­
beragam pendapat dan hasil di masyarakat.

69
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

mun­culkan kondisi berbeda yaitu masih mereka secara tidak langsung dan langsung
adanya data kemiskinan, pengangguran, menjadi pelaku pembangunan sesuai
kriminalitas serta masalah kesenjangan di minat dan kemampuannya sebagai faktor
berbagai daerah. Dengan kata lain, proses produksi. Sementara, fungsi reproduksi baik
pembangunan yang secara ideal diharapkan kodrati (melahirkan, menyusui) maupun
dapat membawa arah kemajuan bagi nonkodrati (mendidik dan mengasuh
perubahan dan peningkatan kesejahteraan anak) dapat dikategorikan sebagai aktivitas
masyarakat justru muncul dengan wajah mengurus rumah tangga atau dalam istilah
paradoks pembangunan. Indikasi dis­ BPS sebagai bukan angkatan kerja.
koneksitas antara capaian pembangunan
Dalam tulisan ini mengenai perempuan,
ekonomi makro dengan kualitas pemerataan
modal sosial dan pemberdayaan ekonomi
pembangunan di Indonesia inilah yang
keluarga adalah isu penting yang memotret
kemudian salah satunya berimplikasi pada
perempuan dari kelompok berpendapatan
kondisi ekonomi keluarga sebagai entitas
kecil dengan profesi usaha mikro mampu
terkecil masyarakat.
mengatasi kesulitan finansial keluarga.
Keluarga dalam pembangunan memiliki Perempuan ini mampu memanfaatkan
porsi dan kontribusi penting yaitu sebagai peluang berupa jejaring sosial di ling­
institusi sosial primer yang memberikan kungan tempat tinggal mereka berupa
sosialisasi awal berupa pendidikan nilai ragam pertemuan sosial sampai pada
dan norma pada anggota keluarga. Selain bentuk organisasi dan kegiatan sosial
itu melalui keluarga inilah pondasi awal untuk kepentingan pemenuhan ekonomi
membentuk kualitas sumber daya manusia keluarga. Hal ini dibahas mengingat peran
dimana hal ini telah menjadi indikator ganda perempuan baik di ranah domestik
ketercapaian pembangunan yaitu Indeks (rumah tangga) dan publik (masyarakat)
Pembangunan Manusia (IPM). Dalam yang mampu diemban secara aktif dan
hal ekonomi, keluarga menjadi salah satu strategis untuk mengatasi keterbatasan
penyumbang tenaga kerja produktif yang ekonomi keluarga.
masuk ke dalam pasar kerja nasional. Karena
B. PEREMPUAN DAN PEMBER­
itu, beberapa kebijakan pembangunan
DAYAAN EKONOMI KELUAR­
nasional menjadikan keluarga sebagai
GA
sasaran pencapaian programnya yang
melibatkan unsur anggota keluarga. Salah Rendahnya status ekonomi perempuan
satu unsur keluarga yang berkontribusi di Indonesia salah satunya karena lemahnya
dalam hal ekonomi adalah perempuan. perempuan dalam mengakses sumber daya
Hal ini seperti yang diutarakan Endang di keluarga, masyarakat ataupun negara.
(2007) bahwa pada dasarnya, perempuan Upaya pengurangan kemiskinan dan ke­
mempunyai fungsi utama yang sangat tidak­adilan yang dialami perempuan
berkaitan dengan kedudukan dan perannya akan berimplikasi pada kesejahteraan
yakni fungsi produksi dan fungsi reproduksi. dan kelangsungan hidup keluarga dan
Fungsi produksi berkaitan dengan fungsi masyarakat. Histori ini dapat terlihat saat
ekonomis yaitu semakin tinggi tingkat Indonesia mengalami krisis ekonomi yang
pendidikan perempuan memungkinkan berdampak buruk pada pendapatan keluarga

70
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA

sehingga meningkatkan jumlah kemiskinan BBM seperti Raskin (beras untuk rakyat
dan pengangguran. Kondisi ini dipandang miskin), SLT (subsidi langsung tunai), BOS
Izza (2009:75) akan berpengaruh semakin (bantuan operasional sekolah), Jamkesmas
buruk bila para pembuat kebijakan dan (jaminan kesehatan masyarakat), PKH
program mengabaikan perbedaan kondisi (program keluarga harapan), PNPM
dan kemampuan dari berbagai elemen dan beragam bantuan sosial lainnya.
masyarakat termasuk di dalamnya laki-laki Ketercapaian program-program tersebut
dan perempuan. Selain itu menurut Izza menuai hasil atau output berbeda. Bila
(2009:74) bahwa perempuan mempunyai orientasi program tersebut pada aspek
persepsi yang lebih beragam dibandingkan pemberdayaan, menurut Alwi (dalam
laki-laki dalam kesejahteraan atau kemis­ Izza,2009:171) pemberdayaan harus diinte­
kinan yaitu disamping aspek yang ber­ grasikan melalui dimensi proses yang benar
hubungan dengan akses pendapatan, ke­ yaitu dengan menempatkan masyarakat
pemilikan aset, kualitas kesehatan, pangan secara langsung didorong pada posisi
serta peluang, juga mencermati hal-hal ‘terlibat’. Bila pemberdayaan tidak berjalan
berkaitan dengan kehidupan keluarga dengan lancar maka akan menimbulkan
seperti keharmonisan keluarga, rasa aman, kesenjangan baik ekonomi maupun sosial.
ada tidaknya hubungan dengan rentenir,
Mencermati pemberdayaan perempuan
gaya hidup, kemampuan membantu
menurut Linda (dalam Herliawati,2009:13)
orang tua dan orang lain serta hubungan
yaitu: merupakan proses perubahan di
sosial dengan tetangga. Dari ragam
mana individu atau kelompok dengan
kondisi tersebut pada akhirnya direspon
sedikit atau tanpa kekuasaan memperoleh
oleh Pemerintah salah satunya melalui
kekuasaan dan kemampuan membuat
kebijakan pemberdayaan perempuan yang
pilih­an yang dapat memengaruhi kehi­
mengarah pada peningkatan ekonomi
dupan mereka. Struktur kekuasaan
keluarga termasuk keikutsertaan Indonesia
yang memilikinya, sumber daya apa dan
dalam menyukseskan Deklarasi Millenium
bagaimana memanfaatkannya seca­ra
Development Goals (MDG).
lang­sung memengaruhi pilihan perem­
Program pemberdayaan ekonomi puan untuk dapat memanfaatkannya
ke­­­luarga menjadi bagian dari skema dalam kehidupan mereka. Sementara
penanggulangan kemiskinan dan pening­ Gita Sen (dalam Herliawati,2009:13) me­
katan kesejahteraan masyarakat. Program nyatakan pemberdayaan merupakan
tersebut ada yang bersifat bantuan upaya mengubah kekuasaan yang me­
(karitatif) dan produktif. Beberapa program maksa pilihan perempuan, otonomi dan
(Izza,2009:126-132) yaitu sebelum krisis memengaruhi kesehatan serta kesejah­
meli­puti program IDT (Inpres Desa teraan. Dari kedua pendapat tersebut,
Tertinggal) serta Takesra-Kukesra, saat pemberdayaan perempuan bermuara
krisis berupa JPS (Jaring Pengaman dari konsep pengarusutamaan gender,
Sosial), PDM DKE (Pemberdayaan Masya­ kese­­tara­an gender dan keadilan. Pada
rakat Dalam Mengatasi Dampak Krisis), akhirnya, pola-pola pemberdayaan perem­
Revitalisasi Posyandu melalui PKK dan puan memerlukan perubahan secara men­
Kartu Sehat dan program kompensasi dasar agar tidak melemahkan posisi dan

71
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

otonomi perempuan. Oleh karena itu, per­ pelayanan dan pembelaan menuju ke­
lu pendekatan strategis yang mampu men­­ man­dirian masyarakat. Dari proses ini
jamin dan mengarahkan kegiatan pem­ diharapkan tujuan pemberdayan ekonomi
berdayaan perempuan pada usaha agar berupa peningkatan pendapatan dan
perempuan tetap berada dalam dua ranah kesejah­teraan bagi keluarga dilakukan
yaitu domestik (rumah tangga) dan publik dengan meningkatkan usaha yang ada
(masyarakat). maupun menciptakan kesempatan kerja
baru serta meningkatkan daya tawar
Pilihan strategi pemberdayaan masya­
mereka melalui pendampingan partisipatif
rakat dalam penanggulangan kemiskin­
dan berkelanjutan. Selain itu, menurut
an dengan sasaran perempuan dan ke­
Endang (2007) bahwa pemberdayaan
luarga salah satunya adalah peningkatan
perempuan dapat mengacu pada fungsi
partisipasi dalam kegiatan ekonomi berbasis
SDM dari perempuan itu sendiri di dalam
potensi dan sumber daya lokal. Dalam hal
rumah tangga. Perempuan bisa sebagai
pencapaian keswadayaan dan kemandirian
anak, pasangan suami (istri), ibu dari anak-
ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi
anaknya, nenek dan manajer rumah tangga.
menurut Izza (2009:172) dapat diartikan
Sosok perempuan dalam rumah tangga
sebagai serangkaian kegiatan untuk me­
selalu siap mengorbankan waktu, tenaga,
ningkatkan aset dan kemampuan masya­
pikiran termasuk harta yang dimiliki
rakat miskin agar mau dan mampu meng­
untuk kesejahteraan keluarga, sementara
akses berbagai sumber daya, permodalan,
perempuan di luar rumah dapat sebagai
teknologi dan pasar dengan pendekatan
sosok pekerja. Kondisi tersebut dapat
pendampingan, peningkatan kapasitas,
diilustrasikan sebagai berikut:

72
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA

Gambar 1. Fungsi SDM Perempuan

SDM Perempuan
(15 tahun ke atas)

Fungsi Produksi Fungsi Reproduksi

Mencari
Bekerja pekerjaan Kodrati Non Kodrati

l Haid l Mengurus RT
l Hamil l Mengasuh anak
l Melahirkan l Membimbing
l Menyusui
anak
l Mendidik anak&
diri sendiri

Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja

Sumber: Endang (2007:150)

Mengacu pembahasan tersebut, peng­ edukasi perempuan usaha mikro dalam


alaman pendampingan pada perempuan pengelolaan keuangan keluarga. Karenanya
usaha mikro yang dilakukan penulis menjadi lazim bagi perempuan usaha mikro
berafiliasi dengan salah satu LSM yang mengandalkan kegiatan simpan pinjam
konsen pada pemberdayaan perempuan melalui pertemuan arisan, bergabung dalam
usaha mikro di wilayah Bantul menjadi koperasi sampai ada yang masih kontak
contoh kasus implementasi strategi pem­ dengan rentenir. Kondisi ini ditambah
berdayaan ekonomi keluarga melalui fakta geografis dimana domisili perempuan
peningkatan peran perempuan usaha usaha mikro mayoritas di wilayah pedesaan
mikro. Kendala yang dihadapi oleh perem­ dengan ketersediaan kendaraan pribadi
puan usaha mikro ada pada tataran akses yang minimal menjadikan mobilitas
permodalan, hambatan pengembangan perempuan dalam menjalankan usahanya
jaringan usaha selain juga minimnya masih berada sekitar wilayah lokal setempat.

73
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Padahal bila ditelisik lebih lanjut, potensi fenomena baru dan asing bagi masyarakat di
dan peluang stok modal sosial perempuan Indonesia karena hal tersebut telah berakar
usaha mampu menjadi alternatif strategi kuat dan terinstitusikan dalam kehidupan
yang produktif meningkatkan ekonomi sehari-hari masyarakat. Modal sosial me­
keluarga. rupakan pilar yang mewujudkan spirit
kebersamaan dalam mencapai suatu tujuan
C. POTRET MODAL SOSIAL PE­
(Dewi,2010). Perempuan usaha mikro di
REM­­PUAN: KASUS PEREM­PU­
wilayah Bantul yang menjadi pencermatan
AN USAHA MIKRO
penulis memiliki kapasitas berupa entitas
Dalam konteks perempuan sebagai spirit dengan daya tahan dan daya juangnya
mo­dal sosial dapat mempertimbangkan dengan sifat dinamis dan kreatifnya mam­
simpulan sementara bahwa elemen utama pu mengatasi beragam problem eko­
modal sosial terdiri dari norms, reciprocity, nomi keluarga. Bila diidentifikasi, maka
trust, dan network maka sebenarnya hal komponen modal sosial perempuan usaha
tersebut secara historis bukan merupakan mikro dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 2. Komponen Modal Sosial Perempuan Usaha Mikro

Nilai,Budaya,Persepsi
Kepercayaan,Gotong Royong

Institusi : Mekanisme:
Komunitas, Jaringan dan Asosiasi Kerjasama, Sinergi melalui
Perempuan usaha Mikro forum pertemuan warga

Sumber : Adaptasi Mefi Hermawanti dan Hesti Rinandari (2003:8).

Dari skema tersebut dapat ditunjukkan aktivitas sosial dari komunitas atau or­
bahwa perempuan usaha mikro memiliki ganisasi sosial tersebut menjadi peluang
stok modal sosial berupa nilai budaya gotong yang awalnya tidak pernah dikalkulasi
royong atau saling membantu dengan motif secara ekonomi. Dengan kata lain, implikasi
percaya (trust), mekanisme yang terwujud ekonomi dari partisipasi aktif perempuan
melalui kerjasama dan sinergi dalam usaha mikro baru dirasakan dampaknya
beragam aktivitas forum pertemuan warga setelah relasi sosial yang semakin intensif
dan pada akhirnya dapat menjadi bentukan ditambah dengan kegiatan produktif. Hal
institusi dari entitas perempuan usaha ini seperti yang dilakukan dalam kegiatan
mikro berupa asosiasi usaha serta koperasi. pendampingan oleh salah satu LSM
perempuan usaha mikro di wilayah Bantul
Kesediaan perempuan usaha mikro
tanpa harus membentuk kelembagaan
un­tuk me­libatkan diri dalam berbagai

74
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA

sosial baru tetapi masuk dalam forum semua orang membutuhkan untuk bertahan
pertemuan warga (perempuan usaha hidup/melangsungkan kehidupannya.
mikro). Kegiatan arisan yang awalnya Dalam berinteraksi bukan tanpa suatu
bersifat kumpul-kumpul (berkumpul) ber­ nilai dan norma dimana menurut Fuku­
alih menjadi sarana ngangsu kawruh yama (dalam Dewi,2010) menjelaskan
(media belajar bersama yang disebut Temu bahwa”Social capital can be defined simply
Suruh). Introduksi dan edukasi pengelolaan as the existence of a certain set of informal
ekonomi keluarga termasuk pengelolaan values or norms shared among members
usaha menjadi muatan utamanya ditambah of a group that permit cooperation among
dengan aktivitas simpan pinjam dengan them. (Modal sosial adalah serangkaian
model tanggung renteng (pinjaman kelom­ nilai-nilai atau norma-norma informal
pok). Forum pertemuan tersebut menjadi yang dimiliki bersama di antara para
semakin dinamis dan produktif karena anggota suatu kelompok masyarakat yang
mampu menjawab kebutuhan perempuan memungkinkan terjalinnya kerjasama di
usaha mikro khususnya dalam pengelolaan antara mereka). Pendapat ini senada dengan
usaha yang berimplikasi pada ekonomi penjelasan Hasbullah (2006:14) bahwa
keluarga. Dengan demikian, perempuan nilai sebagai sesuatu ide yang telah turun
usaha mikro menjadikan ruang jejaring temurun dianggap benar dan penting oleh
sosial tersebut sebagai strategi bertahan anggota kelompok masyarakat. Karenanya,
ketika suatu saat usahanya sedang dilanda dominasi ide tertentu dalam masyarakat
masalah. Hal ini dikarenakan mekanisme akan membentuk dan mempengaruhi
tanggung renteng dengan basis saling aturan-aturan bertindak masyarakatnya
membantu saat ada anggota yang mem­ (the rules of conducts) dan aturan-aturan
butuhkan menjadi solusi tercepat atas bertingkah laku (the rules of behavour)
masalah yang dihadapi perempuan usaha yang bersama-sama membentuk pola-pola
mikro. kultural (cultural pattern).
Partisipasi aktif perempuan tersebut Dari penjelasan di atas dapat dikon­
yang kemudian memberikan kontribusi tekskan dengan aktivitas pendam­
bagi peningkatan ekonomi keluarga se­ pingan pada perempuan usaha mikro
kaligus penguatan kapasitas melalui ke­ yang mendasarkan pada nilai dan norma
giatan pendampingan. Hal ini bila di­ masyarakat sebagai bagian dari komponen
konseptualisasikan dengan modal sosial modal sosial. Pendampingan yang meng­
dapat dijelaskan sebagai berikut: adaptasi model kelompok memuat
beberapa konsensus bersama atau disebut
1. Dimensi Nilai dan Kultur
Prinsip Anggota yaitu:
Masyarakat yang terdiri dari individu-
1. Bertekad meningkatkan kualitas
individu merupakan makhluk sosial dengan
hidup;
ciri saling membutuhkan satu sama lain
dalam kehidupannya. Oleh karenanya 2. Menjalankan usaha untuk ibadah;
terdapat kecenderungan untuk saling
3. Disiplin dan dapat dipercaya;
bekerja sama dan saling berinteraksi
termasuk pada saat kondisi bencana dimana 4. Bersungguh-sungguh dan cerdas da­
lam bekerja dan

75
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

5. Saling membantu anggota bila mereka keinginan untuk mengambil resiko dalam
dalam kesulitan. hubungan sosialnya yang didasari oleh
perasaan yakin bahwa yang lain akan
Penjelasan tersebut memberi pe­
melakukan sesuatu seperti yang diharapkan
ma­­ham­an bahwa basis nilai dan kultur
dan senantiasa bertindak dalam suatu
yang dibangun oleh perempuan usaha
pola tindakan saling mendukung. Inilah
mikro dalam kegiatan peningkatan eko­
yang kemudian akan menjadi modal sosial
nomi keluarga merupakan implikasi
lanjutan untuk membangun suatu jaringan
dari kesediaan perempuan untuk meng­
diantara kelompok atau komunitas
konsolidasikan diri dengan pihak di luar
untuk melakukan kerjasama yang saling
dirinya termasuk pendamping LSM. Selain
menguntungkan. Hal ini sesuai pendapat
itu, dimensi nilai dan kultur inilah yang
Fukuyama (dalam Dewi,2010) bahwa
kemudian menjadi ‘perekat’ interaksi sosial
jaringan sebagai modal sosial merupakan
diantara perempuan usaha mikro.
hubungan moral kepercayaan yaitu
2. Dimensi Trust, Reciprocity dan jaringan adalah sekelompok agen-agen
Partisipasi individual yang berbagi norma-norma atau
Pembahasan ini lebih melihat pada sisi nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai
mekanisme relasi yang terbentuk antar atau norma-norma yang penting untuk
aktor yaitu perempuan usaha mikro dengan transaksi-transaksi pasar biasa. Pada
pendamping LSM terkait dengan kegiatan pembahasan ini memberikan pemahaman
peningkatan ekonomi keluarga. Bila merujuk bahwa modal sosial tidak dibangun oleh
pemahaman mengenai modal sosial dari satu individu melainkan terletak pada
aspek reciprocity ini menurut Hasbullah kecenderungan yang tumbuh dalam suatu
(2006:10) modal sosial senantiasa diwarnai kelompok (komunitas).
oleh kecenderungan saling tukar kebaikan Penjelasan tersebut bila dikontekskan
antar individu dalam suatu kelompok dengan contoh peran perempuan usaha
atau antar kelompok itu sendiri. Pola mikro dalam kelompok dampingan Temu
pertukaran atau resiprositas ini bukanlah Suruh menunjukkan bahwa kekuatan pe­
sesuatu yang dilakukan secara resiprokal rem­puan usaha mikro ada pada aspek
seketika melainkan suatu kombinasi jangka saling percaya dan membutuhkan ter­
pendek dan jangka panjang dalam nuansa hadap kapasitas yang dimiliki oleh
altruism yaitu semangat untuk membantu masing-masing perempuan. Dari sinilah
dan mementingkan kepentingan orang perempuan usaha mikro dapat saling
lain. Meski kemudian konsep reciprocity bertukar informasi untuk menguatkan
tidak akan dapat berjalan dalam relasi peran masing-masing dalam melakukan
antarindividu atau antarkelompok dalam akitivitas peningkatan ekonomi keluarga.
komunitas ketika tidak ada rasa percaya Pada akhirnya perempuan usaha mikro
(distrust). mampu berpartisipasi aktif di lingkungan
Selanjutnya, penjelasan mengenai di­ masyarakatnya yang diharapkan kondisi
men­si trust ini seperti pendapat Putnam ini secara jangka panjang dapat terpelihara
dalam Hasbullah (2006:11) yaitu rasa dengan baik.
percaya (trust) merupakan suatu bentuk Selanjutnya, potret modal sosial perem­

76
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA

puan usaha mikro dapat dilihat dalam balik nilai kebudayaan yang dipercaya; (2)
bentukan model modal sosial yang berbeda Social bridging, berupa institusi maupun
dari aktivitas pemenuhan ekonomi keluarga. mekanisme yang merupakan ikatan sosial
Model modal sosial perempuan usaha yang timbul sebagai reaksi atas berbagai
mikro diadopsi dari pendapat Woolcock macam karakteristik kelompoknya; (3)
dalam Mefi (2003) yang membedakan 3 Social linking, berupa hubungan/jaringan
(tiga) tipe modal sosial yaitu : (1) Social sosial dengan adanya hubungan di antara
Bounding,berupa nilai,kultur, persepsi dan beberapa level dari kekuatan sosial maupun
tradisi (custom), yaitu modal sosial dengan status sosial yang ada dalam masyarakat.
karakteristik ikatan yang kuat dalam suatu Dengan demikian, relasi yang terjalin dalam
sistem kemasyarakatan dimana masih kegiatan program dan aktivitas perempuan
ber­lakunya sistem kekerabatan yang usaha mikro dapat diilustrasikan sebagai
mewujudkan rasa simpati, berkewajiban, berikut:
percaya resiprositas, dan pengakuan timbal

Gambar 3. Model Modal Sosial Perempuan Usaha Mikro

Bounding social
capital 1

Nilai, Kultur dan


Pengetahuan sebagai
basis transaksi sosial
perempuan usaha
mikro

Linking social
Bridging social
capital
capital

3
2

Sistem komunikasi
Relasi Kerjasama
dan jaringan usaha
dalam kelembagaan
perempuan usaha
lokal desa yang
mikro
didukung perempuan
usaha mikro

Sumber: Adaptasi dari Dewi,2010.

77
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Dari gambar diatas menunjukkan relevan karena ujung tombak dari kese­
bahwa ketiga level modal sosial di atas jahteraan masyarakat diawali dari kese­
memberi pengertian bahwa modal sosial jahteraan keluarga.
dapat memberi kontribusi bagi terjadinya
Perempuan memiliki peran strategis
integrasi sosial sekaligus mengatasi pro­
dan produktif dalam peningkatan ekonomi
blem seputar pengelolaan usaha mau­pun
keluarga. Keluwesan perempuan dalam
ekonomi keluarga perempuan usaha mikro.
membina relasi sosial dengan lingkungan
Dalam hal ini bila mencermati mekanisme
sosialnya menjadikan peluang terbukanya
relasi diantara aktor yang melibatkan
akses sumber daya ekonomi. Hanya saja,
perempuan usaha mikro dengan pihak
keterlibatan perempuan dalam kegiatan
pendamping (LSM) terkait program
ekonomi seringkali kurang dilengkapi
pendampingan melalui simpan pinjam
dengan pengetahuan dan keterampilan
jelas tergantung pada kapasitas yang ada
atau problem teknis usaha sehingga
dalam kelompok masyarakat. Kapasitas
mem­buat tidak mampu bersaing dalam
yang dimaksud adalah untuk membangun
kompetisi pasar. Selain itu problem
sejumlah asosiasi berikut jaringannya
struktural berupa kebijakan pemerintah
termasuk membangun basis nilai dan trust
yang berkaitan dengan pengembangan
untuk kemudian saling bekerjasama sebagai
usaha masih belum banyak berpihak pada
unsur resiprositas. Selain itu terletak pula
kepentingan perempuan. Kondisi ini yang
pada kemampuan perempuan usaha mikro
dialami perempuan usaha mikro sehingga
untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan
rentan bila berhadapan dengan realitas
hubungan sosial kemasyarakatan.
pasar kompetitif yang dapat berimplikasi
D. PENGUATAN PERAN MODAL pada ekonomi keluarganya.
SOSIAL PEREMPUAN DALAM
Intensifikasi pemanfaatan modal sosial
PENINGKATAN EKONOMI KE­
yang dikoneksikan dengan pemberdayaan
LUAR­GA
ekonomi keluarga menjadi solusi untuk
Perkembangan pembangunan dengan memunculkan tindakan kolektif yang
memanfaatkan modal sosial telah ditun­ berorientasi pada pemunculan aktivitas
jukkan hasil studi di berbagai negara (Das­ ekonomi produktif. Modal sosial yang
gupta,2000) bahwa modal sosial yang kuat mewujud dalam bentuk kohesifitas sosial,
akan merangsang pertumbuhan berbagai semangat gotong royong, tolong menolong,
sektor ekonomi. Hal ini didukung adanya rasa dan semangat untuk saling memberi
tingkat rasa percaya (trust) yang tinggi (reciprocity), trust (rasa saling percaya) dan
dengan kerekatan hubungan sosial dan jaringan sosial (social networking) menjadi
kapasitas membangun jaringan yang luas energi penopang keberlanjutan usaha dan
tumbuh diantara sesama pelaku ekonomi. bertahannya ekonomi keluarga. Kondisi
Sebaran spektrum modal sosial inilah yang ini diamati dari aktivitas perempuan
kemudian mampu memberi pengaruh dan usaha mikro yang dapat dibedakan sebagai
menggerakkan perkembangan antar sektor berikut: (a) aktivitas bermotif ekonomi yaitu
ekonomi. Konteks makro pemanfaatan aktivitas terkait dengan upaya perempuan
modal sosial ini bila didekatkan dengan usaha mikro mendapatkan pendapatan
pemberdayaan ekonomi keluarga menjadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

78
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA

keluarga melalui simpan pinjam; dan (b) mengungkap realitas di masyarakat atas
aktivitas non-ekonomi yaitu aktivitas yang kejadian distrust, melemahnya kohesifitas
dilakukan dengan tujuan menguatkan dan solidaritas, indikasi kemiskinan, dan
ikatan solidaritas sesama perempuan usaha sebagainya karena terkait dengan kearifan
mikro, misal aktivitas religi maupun sosial lokal berupa nilai dan budaya masyarakat.
budaya (pengajian, arisan maupun budaya
E. PENUTUP
rewang). Terkadang hubungan di antara
kedua dimensi ini menjadi ‘kabur’ karena Dalam kaitannya upaya peningkatan
terjadi proses sosial yang saling bertukar, pembangunan dan kemandirian ekonomi
dimana sosiokultural yang ada memberi masyarakat ternyata menjadi keharusan
kontribusi pada usaha yang ada dan untuk ditangani secara holistik khususnya
sebaliknya logika bisnis dengan kalkulasi bagi pengambil kebijakan dengan meman­
ekonomi yaitu efisiensi dan efektivitas faatkan segala potensi yang ada termasuk
dalam penggunaan sumber daya baik alam potensi modal sosial masyarakat. Hal ini
(SDA), tenaga (SDM), modal dan waktu. menjadi penting, mengingat aspek pem­
berdayaan ekonomi keluarga menjadi
Pembahasan penguatan peran modal
sebuah entry point untuk memajukan
sosial dalam usaha atau peningkatan eko­
kese­jahteraan masyarakat. Implementasi
nomi keluarga tidak lepas dari adanya upaya
beragam kebijakan dan program yang
jalinan kerjasama di antara aktor yang
berorientasi pada pemberdayaan ekonomi
memiliki kesamaan kepentingan. Merunut
keluarga patut diapresiasi dalam perannya
asal muasal kerjasama berawal dari adanya
memberi peluang akses khususnya pe­
hubungan kekerabatan yaitu rute utama
rempuan sehingga dapat meningkatkan
yang digunakan kepentingan-kepentingan
kualitas penghidupan keluarga. Dengan
individu menuju kerjasama sosial adalah
demi­kian, pemberdayaan masyarakat
seleksi kerabat (kin selection), hubungan
de­ngan melibatkan dimensi kultural
ketetanggaan dan resiprositas. Dimensi
dan mendayagunakan peran modal
nilai, kultur, dan persepsi dibangun sebagai
sosial yang ada di tengah masyarakat
pondasi awal untuk mengkolektifkan ke­
dapat mengoptimalkan hasil dari proses
samaan kepentingan dalam wadah institusi
pemberdayaan.
berupa komunitas Temu Suruh dan ko­
perasi melalui fasilitasi pendampingan Modal sosial perempuan memiliki
LSM lokal. Dengan demikian, peran komponen yang berisikan trust, nilai dan
modal sosial dalam peningkatan ekonomi norma sosial, resiprositas yang menjadi
keluarga adalah strategis dalam mengatasi pondasi dalam mekanisme dan membentuk
kompleksitas masalah yang ada. Solidaritas institusi kerjasama dapat dimanfaatkan
yang ada mampu memunculkan solusi yang untuk penguatan ekonomi keluarga.
bermanfaat secara kolektif. Selain itu, modal Keter­batasan finansial mampu disiasati
sosial dalam pemahaman untuk kajian oleh perempuan dengan memanfaatkan
pembangunan masyarakat menjadi penting peluang jejaring sosial berupa arisan,
maknanya sebagai acuan analisa untuk forum pengajian dan koperasi dengan basis
aplikasi atas program pembangunan. Hal kepercayaan satu sama lain. Kondisi ini
ini jelas karena dimensi modal sosial dapat menjadikan akses terhadap sumber daya

79
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

ekonomi bagi perempuan semakin terbuka Ekonomi Perempuan dan Pengem­


yang sepenuhnya mengandalkan hubungan bangan Modal Sosial.Jakarta:
baik sehingga ekonomi keluarganya mampu FISIP UI.
bertahan (survive) dan ada yang mengalami Puspitasari, Dewi Cahyani, dkk.2009.Modul
peningkatan. Dengan demikian, posisi Pembelajaran Untuk Perempuan
pe­rem­puan sebagai pengelola keuangan Usaha Mikro: Refleksi Pengalaman
keluarga ditegaskan dari serangkaian usaha Pendampingan Kelompok Temu
produktifnya yang secara strategis meman­ Suruh Daya Annisa.Yogyakarta:
faatkan potensi modal sosial di lingkungan Daya Annisa dan Central Java
sosial-kemasyarakatan. Community Assistance Program An
Australian Government Initiative.
Puspitasari, Dewi Cahyani.2010. Paper
berjudul : Konfigurasi Modal Sosial
Daftar Pustaka Pasca Bencana di Yogyakarta : Studi
Kasus Program Pemulihan Bencana
Dasgupta, Partha dan Ismail Seralgedin.
Dompet Dhuafa Republika, dalam
2000. Social Capital-A Multifaceted
ICSBE (International Conference on
Perspective, Washington, DC:World
Sustainable Built Environment).
Bank
Prasetyantoko,dkk (ed). 2012. Pem­
Fukuyama Francis.2002.The Great Dis­
bangunan Inklusif: Prospek dan
ruption: Hakikat Manusia dan
Tantangan Indonesia. Jakarta:
Rekonstitusi Tatanan Sosial. Yogya­
LP3ES dan PRAKARSA.
karta:CV Qalam.
Hermawanti, Mefi dan Hesti Rinandari.
2003. Local Empowerment Module
in Indonesia.Yogyakarta: IRE dan
European Initiative For Democracy
and Human Right.
Ihromi,TO (ed). 2004. Bunga Rampai
Sosiologi Keluarga. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Hasbullah, Jousairi.2006.Modal Sosial
(Menuju Kebudayaan Indonesia),
Jakarta: MR-United Press.
Mustar Ediastuti, Endang. 2007. Sumber
Daya Manusia Perempuan
Indonesia. Yogyakarta: Jurnal
Populasi volume 18 nomor 2 tahun
2007.
Mafruhah, Izza. 2009. Multidimensi
Kemiskinan. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Agus, Herliawati. 2009. Pemberdayaan

80
ALFRED SCHUTZ : REKONSTRUKSI
TEORI TINDAKAN MAX WEBER

Muhammad Supraja

Abstrak
“ Artikel ini mencoba menjelaskan mengenai rekonstruksi teori tindakan Weber yang
dilakukan oleh Alfred Schutz. Menurut Schutz, teori tindakan Weber cenderung tidak
jelas, kabur dan inkonsisten. Bagi Weber, tindakan adalah perilaku yang bermakna,
tindakan sosial adalah tindakan, yakni perilaku bermakna yang diarahkan pada orang
lain. Sedangkan Schutz merekonstruksi dengan mendefinisikan tindakan sebagai durasi
yang berlangsung di dalam perbuatan. Dengan kata lain, tindakan merupakan durasi
transenden dalam perbuatan. Suatu tindakan secara independen dapat dianggap sebagai
subjek yang melakukan tindakan, namun demikian tindakan merupakan serangkaian
pengalaman yang terbentuk melalui kesadaran nyata dan kesadaran individual aktor.
Dengan kata lain, tindakan menunjukkan adanya ikatan subjek. “
Kata Kunci : Tindakan, Rekonstruksi, Makna
Abstract
“ This article would like to explain about the reconstruction of Weber’s action theory that
is made by Alfred Schutz. According to Schutz, Weber’s action theory is unclear, blur and
unconsistent. For Weber, action was behavior that was meaningful, social action was
action, i.e., meaningful behaviour that was oriented toward others. While Schutz tried to
reconstruct by defining action as duration-immanentenactment. Act, on the other hand,
is duration-transcendent enactedness. An act, therefore, can be considered independently
of the acting subject, but the action is …a series of experiences being formed in the concrete
and individual consciousness of some actor. In a word, action is subject-bound.”
Keywords: Action Theory, Reconstruction, Meaning

A. Pendahuluan gagasan-gagasan Weber itu adalah Alfred


Schutz. Menurutnya gagasan-gagasan pe­
Kendati dikenal sebagai salah seseorang
mikiran Weber yang selama ini dipakai
raksasa dalam disiplin sosiologi, berbagai
sebagai acuan pemikiran sosial banyak tidak
konsep dan gagasan besarnya tidak selalu
jelasnya, kabur, dan inkonsisten. Namun
mudah untuk dimengerti, ditangkap oleh
demikian, dengan hujatan dan kritik
pikiran. Satu dari sekian banyak pemikir
yang dilontarkan Schutz atas pemikiran
yang mencoba menelaah, dan mengkritisi

81
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Weber pada akhirnya tokoh ini berhasil circumstances --- what he wishes to do.
merumuskan perspektif fenomenologi It is true that in our sciences, personal-
value judgements have tended to
dalam sosiologi sebagaimana gagasan influence scientific arguments without
tersebut dituangkan dalam salah satu being explicitly admitted. They have
karya pentingnya:“The Phenomenology of brought about continual confusion and
the Social World” (Der sinnhafte Aufbau have caused various intepretations to
be placed on scientific arguments even
der sozialen Welt, 1932). Perbincangan in the sphere of the determination of
yang hendak ditampilkan dalam tulisan ini simple causal interconnections among
adalah analisa dan kritik Schutz atas konsep facts according to whether the result
tindakan sosial (social action) yang cukup increased or decreased the chances of
realizing one’s personal ideals, i.e., the
sentral dalam pemikiran sosiologi Weber possibility of desiring a certain thing.”
Schutz dikenal sebagai seorang filosof (Weber, 1949)
yang juga sekaligus seorang sosiolog, atau (suatu ilmu empiris tidak bisa
tokoh tersebut bisa juga disebut sebagai mengatakan kepada seseorang apa yang
harus dilakukan---tetapi agaknya dapat
sosiolog yang filosof. Sebutan yang melekat mengatakan apa yang dapat dilakukan
pada dirinya nampaknya bisa dibenarkan dibawah keadaan-keadaan tertentu ---
lewat berbagai minat dan kajian ilmiah yang juga apa yang ingin dilakukan. Adalah
telah ditelurkannya. Ia juga tidak sekedar benar bahwa di dalam ilmu pengetahuan
pertimbangan nilai yang bersifat personal
menyetujui, dan melegitimasi berbagai cenderung mempengaruhi argument
gagasan Weber, melainkan juga meneliti ilmiah tanpa pengakuan secara eksplisit.
lalu mengkritiknya, bahkan tidak segaan- Mereka akan membawa kebingungan
segan menyebut Weber inkonsisten. Oleh yang berkelanjutan dan menyebabkan
digunakannya berbagai intepretasi pada
sebab itu, kajian ini selain membawa kita argumen ilmiah sekalipun di wilayah
pada penelaahan konsep-konsep Weber, hubungan kausal yang sederhana di
pada saat yang sama menghantarkan kita antara berbagai fakta apakah hasilnya
untuk memahami fenomenologi Schutz sesuai untuk memperkuat atau
memperlemah peluang perealisasian
yang juga merupakan salah satu perspektif ideal-ideal personal, yakni kemungkinan
penting di dalam sosiologi, khususnya pemuasan sesuatu)
dalam mengulas berbagai ide menyangkut
Nampaknya pandangan-pandangan
tindakan sosial (social action).
Web­er dan Schutz tidak mudah dimasukkan
Kajian dan pemahaman terhadap se­penuhnya dalam tradisi empirisisme,
pemikiran Schutz juga akan membantu karena ia berbicara tentang motiv, niat
kita memperluas wawasan ilmu sosial yang (intention), makna (meaning) di dalam
selama ini telah kita miliki, yang seolah teori tindakan sosial yang dibangunnya.
harus membenarkan bahwa sosiologi adalah Dua tokoh itu sama-sama memiliki
bagian dari ilmu empiris, yang terkadang minat yang besar atas teori tindakan
begitu membatasi kita dalam membuat sosial (social action) dan di situ pula titik
pemahaman sosiologi. Padahal kita sendiri pertemuan di antara mereka berdua.
belum pasti setuju dengan empirisisme: Tetapi perlu dicatat, meskipun memiliki
“an empirical science cannot tell titik persamaan, namun argumentasi
anyone what he should do—but rather di antara mereka saling berbeda. Tidak
what he can do – and under certain
jarang Schutz menunjukkan kepada kita

82
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber

betapa Weber sang raksasa sosiologi itu terms of his intention) without knowing
sering kali tidak bertanggung jawab, dalam why he is doing it”. (Warriner dalam
Truzzi, 1974)
arti mengenalkan sesuatu konsep namun
penjelasan yang dikemukakannya sama (motivasi adalah sesuatu yang terpisah
dari tindakan dan hanya dapat dipahami
sekali tidak memuaskan, atau bahkan tidak dalam suatu konteks situasional yang
ada. Demikian juga Schutz menuduh Weber lebih luas, sedangkan makna adalah
inkonsisten seraya memperlihatkan kepada sesuatu yang secara inhern terdapat pada
kita bahwa Weber di satu kesempatan tindakan itu sendiri, merupakan properti
tindakan dari pada sekedar sebagai
menggunakan konsep tertentu untuk penyebab atau tujuan. Oleh karena itu,
menjelaskan sesuatu, namun dibagian lain seseorang dapat memahami (menerima)
konsep yang sama diisi penjelasan yang apa yang sedang dilakukan orang lain
lain, atau berbeda sama sekali. Terkesan (dalam kaitan dengan niatnya) tanpa
suka-suka Weber saja, tetapi sikap ini mengetahui mengapa dia melakukannya)
jelas sangat “mengganggu”, sekaligus Dibagian lain Weber juga menjelaskan
“menjengkelkan”, dan terkesan tidak serius. apa itu motiv dengan argumen seperti ini:
Oleh sebab itu, diskusi ini akan mengulas ‘…a complex of meaning with seems to
teori tindakan sosial, dan berbagai konsep the actor himself or to the observer an
yang terkait, dengan cara menampilkan adequate (or meaningful) ground for the
dan mendiskusikan konsep yang dimaksud condact in question’.
dari masing-masing pemikir serta dinamika (…suatu kompleks makna yang nampak
oleh aktor itu sendiri atau pada pengamat
yang muncul pada pandangan-pandangan
sebagai sebuah dasar yang memadahi
tersebut. (bermakna/mengandung makna) bagi
B. Konsep Tindakan dan Beberapa prilaku yang dipersoalkan)
Aspek Terkait Mungkin tidak terlalu salah jika dalam
Seperti telah disinggung di bagian percakapan sehari-hari kita terbiasa
sebelumnya bahwa ketika membahas menggunakan kata motiv dalam arti
tindakan sosial, Weber menyinggung sebagai dasar penggerak bagi sesuatu
berbagai konsep, misalnya masalah motivasi, tindakan yang dilakukan seseorang. Misal­
niat (intent), demikian juga tentang makna nya motivnya apa sehingga seseorang
perilaku (behaviour). Untuk lebih jelasnya melakukan sesuatu perbuatan seperti di­
kita perlu menguraikan berbagai konsep tuduhkan atau dimaksud. Namun dalam
tersebut, di antaranya memulai dengan konteks penjelasan di atas pemahaman atas
apa itu motivasi. Meminjam suatu kutipan motivasi yang sering kali dirujuk dalam
dari Warinner, bahwa Weber menjelaskan percakapan sehari-hari berbeda, karena
motivasi seperti berikut: dalam perbincangan sehari-hari motiv
dan motivasi sering kali dianggap sama.
“Motivation (Zweck) is something
separete from the act and can only be Tetapi dalam pandangan Weber rupanya
understood in a broader situational keduanya berbeda. Pada definisi di atas kita
context, while meaning (Sinn) is juga disuguhi konsep makna yang memang
something inherent in the act itself, a dalam pengertian kita berbeda dengan
property of the act rather than a cause or
purpose. Therefore, one can understand konsep motiv dan motivasi.
(i.e., perceive) what a person is doing (in Dari definisi tentang makna di atas,

83
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

bahwa makna merupakan properti tindak­ seperti telah disinggung di atas, yakni
an, maka kita lalu bisa mengatakan bahwa sebagai “empunya” makna? Di lihat dari
seseorang dapat mengamati atau melihat berbagai penjelasan yang dikemukakan,
suatu tindakan yang dilakukan seseorang, Weber memberi penjelasan atas apa yang
namun bisa jadi tidak tahu makna yang dimaksud dengan tindakan.
terdapat pada tindakan tersebut, karena
Sebagaimana dikutip oleh Wariner,
hanya pelaku tindakan-lah yang paling
bahwa:
mengetahui makna tindakan yang di­
“For Weber, action was behavior that
akukannya. Terlebih apabila tindakan itu was meaningful, social action was
hanya dilihat sebagai potongan-potongan action, i.e., meaningful behaviour that
peristiwa dalam suatu keseluruhan, se­ was oriented toward others”. (Warriner
hingga muncul keraguan atau tanya pada dalam Truzzi, 1974)
diri apakah hal yang sama juga berlaku jika (Menurut pendapat Weber, tindakan
pengamatan itu dilakukan secara intens adalah perilaku yang bermakna, tindakan
sosial adalah tindakan, yakni perilaku
atau dalam “keseluruhan” peristiwa. Tapi bermakna yang diarahkan pada orang
memang sangat mungkin benar, bahwa lain)
makna yang menjadi properti tindakan itu
sulit dipahami oleh orang lain, terlebih bila Seperti dikemukakan Weber bahwa
tindakan yang dimaksud bersifat sporadik, tindakan adalah perilaku yang bermakna.
tidak memiliki keterkaitan satu dengan Pandangan demikian tidak sepenuhnya
yang lainnya. kita sepakati, karena sepanjang banyak
diulas diberbagai buku teks keduanya
Pada penjelasan di atas disinggung, tidak sama, dan selalu dibedakan. Untuk
bahwa makna selain menjadi properti itu argumentasi ataupun penjelasan
tindakan, ia disebut-sebut bukan penyebab yang dimaksud Weber perlu dimengerti
atau tujuan tindakan. Jika makna itu agar bisa dipahami dengan baik. Banyak
merupakan property tindakan, dan bukan pandangan yang mengemukakan bahwa
tujuan maupun penyebab suatu tindakan, perilaku itu lebih melukiskan keadaan
maka dalam perspektif Weber tujuan dan yang nampak dibagian muka atau luar dari
sebab tindakan berarti tidak mungkin suatu perbuatan atau tindakan, sementara
menjadi penggerak suatu tindakan. Lalu di tindakan itu tidak demikian, atau lebih
dasarkan pada apa makna yang merupakan dalam dari sekedar prilaku.
properti dari suatu tindakan itu? Dalam
konteks ini diskusi elaboratif yang mendasar Apalagi tidak semua tindakan menjadi
diperlukan agar “jawaban” atas pertanyaan objek kajian raksasa sosiologi itu. Seperti
yang diajukan menjadi jelas, setidaknya telah dijelaskan oleh Schutz, bahwa Weber
tergambar lebih jelas. mengulas tindakan terutama dalam
kaitannya dengan tindakan sosial yang
Sebelum kita menjejakkan pikiran bermakna baik yang memiliki makna
kepembahasan yang lebih jauh dari subjektif maupun makna objektif, walaupun
berbagai persoalan konseptual yang telah untuk sampai kepada penjelasan tersebut
disinggung, ada baiknya kita mengetahui Schutz terlebih dahulu harus melakukan
lebih dahulu apa yang dimaksudkan berbagai “penjernihan” konseptual. Konsep
dengan tindakan (action) oleh Weber persis

84
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber

tentang tindakan ini perlu diperjelas terlebih acts; this is what distinguishes action
dahulu, karena bagi Weber tugas sosiologi from mere behavior. So far, there is no
necessary social reference. Every action
intepretatif sebagaimana dimaksudkannya directed toward an object is ipso facto
adalah memahami dan mengintepretasikan meaningful. When I dip my pen in the
tindakan sosial. Sementara tindakan sosial ink or turn on my study lamp, I am
(social action) menurut Weber adalah: acting meaningfully. We can now carry
over this initial concept of meaning to
“by virtue of the subjective meaning the social sphere and apply it to social
attached to it by the acting individual action, which as we have seen, is action
(or individuals), takes account of the based on the behavior of others”. (Schutz,
behavior of others, and is thereby 1972)
oriented in its course….In “action” is
included all human behavior when and (tindakan adalah bermakna bagi
in so far as the acting individual attaches orang yang melakukannya; hal ini
a subjective meaning to it. Action in yang membedakannya dengan sekedar
this sense may be either overt or purely perilaku. Dalam hal ini, referensi sosial
inward or subjective; it may consist of tidak dibutuhkan. Setiap tindakan
positive intervention in a situation, or yang diarahkan kepada objek adalah
of deliberately refraining from such ipso facto bermakna. Apabila saya
intervention, or passively acquiescing in mencelupkan pena kedalam tinta atau
the situation”. (Schutz, 1972) menghidupkan lampu baca, maka
tindakan saya bermakna. Kita dapat
(berdasarkan atas makna subjektif yang menanggalkan konsep makna yang
diberikan pada tindakan individu (atau terdapat dimuka menuju ke medan
individu-individu), memperhatikan sosial dan menggunakannya terhadap
peri­laku orang lain, dengan demikian tindakan sosial, yang telah kita lihat, yang
di­orientasikan pada masalahnya… didasarkan pada perilaku orang lain).
di dalam “tindakan” termasuk semua
perilaku manusia ketika dan sepanjang Atas berbagai pandangan Weber di
tindakan individu memberi suatu makna atas, Schutz membuat catatan yang perlu
subjektif terhadapnya. Tindakan dalam
diperhatikan menyangkut konsep tindakan
hal baik nyata, atau murni dalam batin
atau subjektif; tindakan dapat berupa sosial, terutama soal makna subjektif yang
intervensi positif dalam sebuah situasi, harus didasarkan pada perilaku orang
atau dengan sengaja menahan diri dari lain. Dalam hal tersebut kita berhadapan
intervensi semacam itu, atau secara pasif
dengan berbagai tingkat pemaknaan yang
mendukung tanpa bantahan).
tak terhitung dari setiap keterlibatan sosial
Begitu luas makna tindakan yang yang memungkinkan seorang individu
dinyatakan oleh Weber, termasuk yang mendapatkan kebermaknaannya. Namun
memberi makna subyektif bagi diri individu. demikian, momen yang dimasukinya
Demikian juga, tindakan baik yang laten dalam hubungan-hubungan sosial, yang
(murni dalam batin) maupun manifest membawa tindakan-tindakan tersebut pada
terhadap diriya, dll, semuanya masuk makna berikutnya. Tindakan-tindakan
dalam kategori klasifikasi tindakan sosial itu berfokus pada sesuatu yang lain, yakni
sebagimana dimaksudkan oleh Weber. sesuatu Engkau. Dalam tahapan seperti
Definisi dasar yang dikemukakan Weber ini tindakannya hanya dapat dipahami
nyatanya tidak bisa dengan mulus diterima sebagai persyaratan bagi keberadaan atas
Schutz, sebagaimana kritiknya: Engkau. Sayangnya di dalam pandangan
“Action is meaningful for him who Weber, amat tidak cukup bagi tindakan

85
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

untuk melakukan kontak dengan orang Penjelasan ini juga yang kemudian diulas
lain bersama orang lain agar dapat Weber ketika berbicara tentang yang lain
menetapkannya sebagai tindakan sosial. (The other) (Schutz, 1972) :
(Schutz, 1972) Untuk menegaskan apa yang “The others may be individual persons
dimaksud, maka Schutz menunjukkannya and may be known to the actor as
pada salah satu paragraf yang dikutipnya such, or may constitute an indefinite
plurality and may be entirely unknown
dari Weber:
as individuals. Thus “money” is a means
“Not every type of contact between of exchange which the actor accepts in
human beings has a social character; payment because he orients his action to
this is rather confined to cases where the the expectation that a large but unknown
actor’s behavior is meaningfully oriented number of individuals he is personally
to that of others. For example, a mere unacquainted with will be ready to
collision of two cyclists maybe compared accept it in exchange on some future
to a natural event. On the other hand, occasion”. (Schutz, 1972)
their attempts to avoid hitting each other,
(Yang lain mungkin pribadi individual
or whatever insult, blows, or friendly
dan dapat diketahui sebagai berikut,
discussion might follow the collision,
atau dapat membentuk suatu pluralitas
would constitute social “action”. (Schutz,
yang tidak terbatas dan mungkin dapat
1972)
sepenuhnya tidak diketahui secara
(Tidak setiap tipe kontak antar manusia keseluruhan sebagai suatu individu.
mempunyai suatu karakter sosial; hal Memang, uang adalah alat tukar
ini agak membatasi kasus-kasus dimana yang diterima oleh aktor sebagai alat
perilaku aktor yang penuh makna tukar dalam pembayaran karena dia
diarahkan terhadap yang lain. Contohnya, mengarahkan tindakannya terhadap
sekedar tubrukan dua pengendara ekspektasi banyak orang, namun jumlah
sepeda dapat dibandingkan dengan individu yang tidak terbatas yang secara
suatu peristiwa alam. Di bagian lain, personal mengenalnya yang akan siap
berbagai usaha untuk saling menghindar menerimanya peluang masa depan.
dari pukulan, atau apa saja yang
mengecewakan, atau diskusi yang hangat Dalam konteks proposisi di atas “seorang
yang mungkin dapat menimbulkan teman” bukanlah dikenal secara tematik
benturan, akan membentuk tindakan
namun diterima begitu saja oleh aktor
sosial).
atas dasar pengalaman sosialnya. Sebagai
Jadi menurut analisa Schutz, orang yang gantinya, makna yang berkembang secara
terlibat dalam tindakan sosial sepenuhnya tematik yang menjadi rujukan atas prilaku
menyadari dari pada sekedar keberadaan orang lain, yang dalam konteks itu terjadi
yang lain. Dia harus menyadari dan secara anonim. Schutz juga menunjukkan
mengintepretasi makna atas perilaku orang makna yang keempat yang ditambahkan
lain. Namun di sini kita mendapatkan level melalui postulat tindakan sosial yang
makna yang ke tiga. Adalah merupakan seharusnya diarahkan kepada perilaku
sesuatu hal untuk memiliki pengalaman orang lain. Apa makna dari konsep yang
“seorang teman” dan yang lainnya memiliki sangat tidak jelas dari “akibat diarahkan”
pengalaman “orang berprilaku dengan cara (being oriented). Semua struktur makna
tertentu, dan saya akan bertindak sesuai ini dipahami oleh aktor sosial, yang hanya
dengannya.” Dua pengalaman yang dimiliki bermakna bahwa seseorang mendasarkan
ini, dalam kenyataannya merupakan fakta tindakannya kepada pemahaman atas
atas dua realisme makna yang berbeda.

86
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber

prilaku orang lain. Sebaliknya, dalam makna yang memiliki tujuan subjektif (the
gagasan Weber, pada intepretasi atas subjectively intended meaning) terhadap
perilaku inilah yang menjadi tugas sosiologi. tindakan, makna yang secara objektif dapat
Kemampuan melakukan intepretasi atas diketahui. (Schutz, 1972)
orang lain inilah yang menjadi level makna
Bagi Schutz sebagai mana ditegaskan
keempat. (Schutz, 1972)
Thomason:
Weber tidak menjelaskan perbedaan “Action is’…duration-immanentenact­
antara perilaku dan tindakan, bahkan dalam ment. Act, on the other hand, is durati­
uraian sebagaimana telah disinggung oleh on-transcendent enactedness’. An act,
therefore, can be considered inde­
Schutz di atas, ia cenderung menyamakan
pendently of the acting subject, but the
tindakan dengan perilaku, dia juga tidak action is …a series of experiences being
memberi penjelasan yang memuaskan formed in the concrete and individual
atas apa yang dimaksudnya dengan consciousness of some actor…’. In a
word, action is subject-bound. Another
“makna”. Tetapi yang sedikit lebih jelas
means of distinguishing between these
arahnya adalah bahwa tindakan yang two is provided by Shutz when he says
dikaji olehnya adalah tindakan sosial, that we have to’…differentiate between
berhubungan dengan perilaku orang lain, the action in progress (action) and the
already finished and constituted act
atau diorientasikan kepada perilaku orang
(actum) which has been produced by the
lain, dan memiliki makna subyektif bagi former’. On the basis of this distinction,
aktor yang melakukannya, meskipun kita Schutz proceeds to a discussion of what it
tidak bisa membayangkan bahwa tindakan means to ‘attach meaning to an act’ and
that topic in turn leads to his important
sosial itu selalu diimajinasikan sebagai
ideas about ‘projection’.(Thomason,
perbuatan aktif. Karena bagi Weber tidak 1982)
melakukan intervensi pada sesuatu keadaan (Tindakan adalah… durasi yang ber­
sosial tertentu itu sudah dapat dianggap langsung di dalam perbuatan. Dengan
melakukan tindakan. kata lain, tindakan merupakan durasi
transenden dalam perbuatan’. Oleh
C. Rekonstruksi Konsep Tindakan sebab itu, suatu tindakan, secara inde­
penden dapat dianggap sebagai subjek
Weber seperti dijelaskan oleh Schutz
yang melakukan tindakan, namun
tidak menjelaskan perbedaan antara demikian tindakan merupakan…serang­
tindakan sebagai sesuatu yang tengah kaian pengalaman yang terbentuk
berlangsung, dan tindakan yang telah melalui kesadaran nyata dan kesadaran
individual aktor… dengan kata lain,
sempurna atau lengkap (completed act),
tindakan menunjukkan adanya ikatan
demikian juga dia tidak menjelaskan makna subjek. Cara lain untuk membedakan
pelaku (producer) atas suatu objek budaya dua masalah tersebut dikemukakan oleh
dan makna dari objek yang dihasilkan, juga Schutz ketika ia mengemukakan bahwa
kita seharusnya …membedakan antara
antara makna tindakan sendiri dengan
tindakan yang sedang berlangsung dan
makna tindakan orang lain, pengalaman tindakan yang telah selesai, juga tindakan
sendiri dan orang lain, antara pemahaman yang terbentuk (actum) sebagaimana
diri sendiri dan pemahaman diri sendiri dihasilkan oleh waktu yang telah lalu.
Dengan membedakannya seperti ini,
terhadap orang lain. Namun tidak
Schutz berhasil mendiskusikan suatu
dipungkiri bahwa Weber membedakan masalah tentang apa yang dimaksud

87
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

dengan ‘jarak makna dengan suatu perbuatan yang terproyeksi (a projected


tindakan’ dan sebaliknya topik ini act). Jadi makna tindakan selalu terkait
menjadi ide utamanya tentang ‘proyeksi).
dengan suatu tindakan yang terproyeksi.
Di bagian lain Thomason (1982) juga Konsep ini pula yang dikatakannya sebagai
mengatakan bahwa Schutz menurutnya jalan keluar atas ambiguitas Weber yang
memiliki keyakinan yang begitu kuat bahwa terdapat dalam skema pemikirannya.
tindakan (action) dan perbuatan (act)
Untuk memperkuat gagasannya Schutz
setidaknya melibatkan adanya keterkaitan
mengutip pemikiran Husserl yang berbunyi
dengan makna (attachment of meaning).
sebagai berikut:
Sebagaimana telah diulas oleh Thomason
“in every action we know the goal in
bahwa makna merupakan hasil dari
advance in the form of an anticipation
suatu perbuatan (Act) reflektif pada suatu that is ‘empty’, in the sense of vague,
kesadaran dimana pengalaman tertentu and lacking its proper ‘filling-in’, which
yang membawa (lifted out) arus kesadaran will come with fulfillment. Nevertheless
we strive toward such a goal and seek
dan menyebabkan seseorang melihat objek
by our action to bring it step by step to
secara intensional. Dengan demikian concrete realization”. (Schutz, 1972)
perbedaan yang perlu dikemukakan
(Dalam setiap tindakan kita mengetahui
antara tindakan (Act) yang merupakan tujuan dengan sangat baik yang dalam
ego spontan yang mengalami perubahan bentuk antisipasi dia ‘kosong’, dalam
arah (Zuwendung) atas pengalamannya kesamarannya, dan kurang ‘mengisi’,
yang muncul bersamaan dengan
sendiri. Dan tindakan (act) yang
pemenuhan. Namun demikian kita
merupakan tujuan atau hasil dari tindakan berusaha mewujudkannya melalui
itu sendiri. Ketika semua tindakan (act) tindakan kita tahap demi tahap hingga
memiliki makna, maka sudah seharusnya terealisasi dalam kenyataan)
tindakan tersebut melibatkan perbuatan Dengan demikian menurut pandangan
(Act). Namun perilaku (behavior) Schutz, ‘…selalu terdapat “karakter atas
dianggap sebagai aktivitas dimana ego suatu proyek” (Entwurfscharakter)’. Lebih
tidak berefleksi, yang harus dibedakan menarik lagi, proyeksi suatu tindakan
dengan tindakan (action). Dalam konteks seharusnya, mempunyai dua sisi karakter;
ini Schutz menolak istilah perilaku yang yaitu sesuatu masa lalu dan sesuatu yang
disamakan dengan tindakan, dan sebagai bersifat masa depan: masa lalu karena
gantinya ia membatasi perhatiannya pada semua sifat makna adalah menunjukkan
perbuatan (Conduct) yang didefiniskannya atau penggambaran, sedangkan masa
dengan “…pengalaman subjektif yang depan karena apa yang dilibatkan adalah
bermakna yang muncul sebagai pancaran perkiraan, prediksi, atau antisipasi. (Schutz,
dari kehidupan yang spontan”. Dengan 1972)
demikian tidak semua perbuatan (conduct)
D. Kesimpulan
dapat dikualifikasikan sebagai tindakan
(action). Dengan argumentasi tersebut The Dari diskusi yang telah ditampilkan
Phenomenology of Social World dari Schutz di atas maka dapat kita garis bawahi
membedakan antara tindakan (action) dan bahwa konsep tindakan yang digagas
perilaku (behavior). Baginya tindakan oleh Max Weber nampaknya memang
(action) merupakan suatu eksekusi atas meninggalkan banyak persoalan kepada

88
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber

pada para ilmuwan sosial, di antaranya dengan pemahaman motivasional. Kedua


adalah bahwa ia tidak memberi penjelasan cara yang diusulkannya ini memang tidak
yang tuntas menyangkut perbedaan antara mudah untuk dipraktekkan, terlebih yang
konsep tindakan dan perilaku, kedua hal ini kedua, dimana menurut Schutz seorang
nampaknya dianggap sama, sebagaimana peneliti membutuhkan pengetahuan
terbukti dari dipergunakannya konsep itu tentang masa lalu dan masa depan aktor.
dalam berbagai kesempatan dan konteks,
Terhadap yang pertama, fenomena
pada hal selama ini dua konsep tersebut
tersebut ditujukan kepada tindakan
dianggap memiliki definisi yang berbeda
yang dapat dilihat dari pergerakan
satu dengan yang lainnya. Weber dalam
tubuh, misalnya seorang yang membawa
berbagai pembahasan terkait hal tersebut
sebuah kampak, maka perbuatan yang
hanya menekankan bahwa tindakan yang
dilakukannya adalah untuk memotong
dimaksudkannya adalah tindakan sosial
kayu, demikian juga seorang yang tengah
yang memiliki makna subyektif bagi
meneteskan air mata maka berarti ia tengah
pelakunya (aktor), namun pada saat yang
mengalami kesedihan, demikian juga orang
sama Weber juga tidak memberi eksplanasi
yang sedang mengepalkan tangan kepada
yang cukup apakah makna subjektif tindakan
seseorang, maka hal itu menunjukkan
aktor bisa diketahui oleh orang lain atau
bahwa dirinya sedang marah, atau tidak
tidak. Apakah makna subjektif seseorang
suka terhadap orang lain yang disasarnya.
atas tindakan bermakna yang dilakukannya
Oleh sebab itu, observasi langsung atas
terhadap orang lain selalu memiliki
hal-hal di atas amat mungkin dilakukan,
makna yang sama? Mungkinkah seorang
meskipun kemungkinan lain atas tindakan
peneliti dapat mengetahuinya? Untuk
yang dilakukan seseorang sangat mungkin.
masalah yang terakhir ini Weber memang
Misalnya seseorang yang tengah menangis,
memberikan jawaban tentang bagaimana
tidak selalu tengah menderita kesedihan
cara mengetahui atau mengenal tindakan
atau kesusahan, bisa juga menaangis
aktor sehingga “apa yang dikehendaki”
menjadi symbol kebahagiaan.
aktor dan apa mankna tindakan tersebut
bagi aktor dapat diketahui. Penjelasan atas masalah yang kedua
adalah lebih rumit, karena mengandaikan
Untuk menjawab persoalan yang
bahwa makna tindakan yang dilakukan
menyangkut makna bertujuan (intended
seseorang harus dilihat juga pada aspek
meaning) di atas Weber sebagaimana
masa lalu dan masa depan aktor (konteks),
dikemukakan Schutz (1972) mengemukakan
sementara di titik ini persoalaannya adalah
dua konsep berbeda. Pertama, merujuk
apakah sesuatu yang dianggap penting
pada makna subjektif yang menunjukkan
oleh aktor bisa dianggap penting juga oleh
adanya tindakan aktor, menurut Weber
peneliti? Selain itu dalam konteks ini Schutz
makna semacam ini dapat dipahami
juga menganjurkan untuk melihat makna
dengan cara observasional, yaitu dengan
dalam dua kerangka; makna yang dilakukan
observasi langsung. Kedua, Weber merujuk
karena, dan makna yang dilakukan agar
kepada kerangka pemahaman makna yang
supaya. Tidak mudah memang tugas
lebih luas atas tindakan yang dilakukan
peneliti untuk merekostruksi makna, dan
seseorang yang kemudian disebutnya
memastikan kapan ia berarti agar supaya

89
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

dan kapan pula berarti karena. Oleh sebab


itu, pendapat Husserl yang menyatakan
bahwa “pemberian makna (meaning
endowment) merupakan tindakan yang
berlangsung dalam pengalaman murni
(hyletic data) dan berlangsung secara
dinamis (animated) layak untuk dicamkan
bagi para peneliti.
Namun dalam dalam teknis penelitian
lapangan yang biasa dilakukan peneliti saat
melakukan penelitian untuk mendapatkan
alasan tindakan yang dilakukan aktor yang
tengah ditelitinya adalah bahwa seorang
peneliti biasanya melakukan observasi
terlibat, berada di lapangan dengan waktu
yang lebih lama (biasanya satu tahun),
meski lama tidaknya waktu ia ukur juga atas
dasar kompleksitas masalah yang dihadapi
saat penelitian berlangsung, bahkan
sejumlah peneliti ada yang melakukan
aksi going native supaya mendapatkan
pengetahuan yang tepat atas makna
tindakan yang dilaakukan sang aktor yang
tengah ditelitinya.

Daftar Pustaka
Schutz, A. 1972. The Phenomenology of
Social World, United States of
America: Northwestern University
press
Thomason, C Burke, 1982. Making Sense of
Reification, New Jersey: Humanity
Press
Truzzi, Marcello, 1974. Verstehen:
Subjective Understanding in The
Social Sciences, Phillippines:
Addison-Wesley Company, Inc
Weber, Max, 1949. The Methodology of
Social Sciences, New York: The Free
Press

90
GEJALA ALIENASI DALAM
MASYARAKAT KONSUMERISTIK

Aditya Permana

Abstrak
” Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang telah mengalami transformasi dari
mode of production yang mencirikan kapitalisme lama ala Marx ke mode of consumption
yang menandai era kapitalisme baru. Kapitalisme baru mengonstruksi masyarakat yang
mengartikulasikan diri dalam objek-objek konsumsi yang menjadikan individu sekedar
etalase tanda agar kemelimpahan produksi komoditi terus berjalan dan pemilik modal terus
menangguk untung. Kapitalisme baru mereifikasi petanda-petanda (signifiers) komoditi
dan melipatnya dalam kebutuhan-kebutuhan palsu (pseudo-needs) yang dijadikan ‘norma
sosial’ baru yang berlandaskan pada konsumsi. Berkat kemajuan teknologi dan sistem
konsumsi baru, kapitalisme baru menemukan solusi untuk mengatasi masalah alienasi
buruh dalam mode of production. Namun konsumerisme sebagai efek langsung mode of
consumption justru melahirkan alienasi yang jauh lebih luas dan tersamar. Tulisan ini
mengangkat topik tersebut melalui kacamata pemikir sosial-filsafat postmodern, Jean
Baudrillard”

Kata kunci: konsumsi, masyarakat konsumer, konsumerisme, reifikasi, alienasi.

Abstract
“The consumer society is name for a society that transformed from mode of production, as
the prominent feature of old capitalism criticized by Marx, to mode of consumption that
marks a new era of capitalism, or so-called late capitalism. This new capitalism constructs
a society which articulates itself into objects of consumption. Individuals in this system
become a mere storefront of signs and significations, manipulated by owners of the capital
in order to keep the commodification and capital’s flow in the determinate manners, via
method of reification of commodities. This method creates pseudo-needs which consumed
conspicuously by society and become a new “social norm”. New capitalism relies on
the technological upturn and the new system of consumption to solve the problem of
alienation grappled by workers in Marx’s mode of production. But, unfortunately, mode
of consumption operated by new capitalism brings forth consumptive behavior which,
in turn, set a new disguised problem of alienation. To discuss this problem, I will employ
Baudrillardian perspective”

Keywords: consumption, consumer society, consumerism, reification, alienation.

91
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

A. Pendahuluan media. Sebuah perangkat komputer tablet


atau smartphone tersebut dibeli bukan
Begitu Apple meluncurkan iPhone 5
karena gadgets tersebut memiliki fungsi
September lalu, ratusan penggila produk ini
sebagai alat yang memudahkan pekerjaan,
rela antri berjam-jam untuk memperoleh
melainkan karena tablet itu menjadi
gadget idaman mereka. Di kalangan anak
penanda sosial, penanda kelas, pembeda
muda, memiliki Blackberry seakan menjadi
kelas, yang ditandai oleh difungsikannya
suatu syarat diterimanya seorang individu
alat tersebut sebagai piranti “bergaul” dan
dalam peer group-nya. Komputer tablet
mengekspresikan identitas.
menjadi penanda status dan identitas. Di
luar gadgets, kita juga dibuat terpukau Masyarakat menjadi apa yang disebut
pada kalangan sosialita yang kerap Jean Baudrillard (1929-2007) sebagai
berganti-ganti tas bermerk yang sangat “masyarakat konsumer”. Menurut Baudril­
mahal, senilai sebuah mobil niaga, hanya lard, manusia telah mengalami pe­rubahan
untuk alasan eksis dalam pergaulan. Terlalu fundamental mengenai cara pandang
banyak contoh untuk ini. Fakta sosial ini, mereka terhadap orang lain. Manusia
konsumerisme, sudah menjadi hal yang tidak dilihat sebagai manusia sebagaimana
sangat umum. Menurut Prof. Franz Magnis- adanya, melainkan direduksi menjadi
Suseno, bangsa kita menghadapi ancaman kumpulan objek:
dari dua sudut, yakni konsumerisme yang “Kini, kita dikepung oleh konsumsi dan
latah mengikuti segala macam globalisasi. kemakmuran yang sangat menyolok
Tantangan yang kedua adalah ekstrimisme di mana-mana, yang terbentuk oleh
pelipat-gandaan objek, jasa, dan
dan kepicikan agamis, demikian kata Romo
benda-benda material. Hal-hal ini kini
Magnis dalam Dialog Budaya Nusantara membentuk mutasi fundamental dalam
yang digelar Gerakan Fajar Nusantara di ekologi spesies manusia. Kasarnya,
Jakarta, Kamis 12 Januari 2012 (Suseno, orang-orang makmur tidak lagi
dikelilingi oleh manusia-manusia lain,
2012)
sebagaimana mereka dilihat di masa
Konsumerisme di Indonesia dipicu lalu, melainkan (dikelilingi) oleh objek-
objek.” (Baudrillard, 1998)
oleh peningkatan taraf perekonomian dan
imbas globalisasi. Globalisasi menjadikan Tatanan masyarakat menjadi sistem
konsumerisme sebagai suatu aktivitas objek-objek (system of objects). Dalam
sosial yang tidak lagi sekadar melibatkan, masyarakat konsumer, fungsi objek kon­
meminjam bahasa Marx, nilai-guna suatu sumsi menjadi semakin kompleks. Jenis
barang (objek). Objek dikonsumsi bukan dan tata nilai yang ditawarkan pun semakin
semata-mata karena kemampuannya me­ beragam. Selain itu siklus serta tempo
me­nuhi kebutuhan dasar. Kebanyakan pergantian komoditi semakin pendek dan
pemilik gadgets ini selain kelas eksekutif cepat. Siklus tersebut dipengaruhi oleh
atau pegawai kantor yang membutuhkan trend, kemelimpahruahan, kebosanan,
gadget yang andal dan portabel tanpa serta keborosan. Paling tidak hal tersebut
menghilangkan konektivitas mereka dengan tampak jelas pada kelas masyarakat yang
kolega, gadgets tersebut juga dimiliki anak- mempunyai budaya konsumsi berlebihan
anak muda yang memanfaatkan gadgets (conspicuous consumption) seperti selebriti,
tersebut sebagai peranti mengakses social kaum jetset, remaja kelas menengah ke atas

92
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

di perkotaan yang telah mencapai tahap tertentu, yang hanya dapat diperoleh
belanja gaya hidup (lifestyle shopping) melalui kepemilikan atas objek-objek
(Piliang, 2003). Masyarakat konsumer atau produk-produk yang disebut di atas.
membeli sesuatu dan membelanjakan Inilah hebatnya, konsumerisme bukan
uang lebih berdasarkan kepada prestise hanya menjangkiti kelas menengah ke
dan kebanggaan simbolik, bukan pada atas, melainkan menerpa hampir seluruh
fungsi (nilai-guna). Inilah “ideologi” yang kelas yang mengalamatkan identitas diri
kini semakin transparan berlangsung pada rezim ekonomi simbolik. Berdasarkan
dalam aktivitas konsumsi masyarakat latar belakang tersebut, tulisan ini akan
kapitalistik dewasa ini. Nilai-tanda (sign- memfokuskan diri pada topik masyarakat
value) dan nilai-simbol (symbolic-value) konsumer dalam kaitannya dengan
telah menggantikan nilai-guna (use-value) permasalahan alienasi antar kelas sosial
dan nilai-tukar (exchange-value) Marxian. berdasarkan ukuran ekonomi yang tidak
Kapitalisme baru memerlukan bentuk- didasarkan pada nilai-guna, melainkan
bentuk konsentrasi ekonomi baru, teknik- ekonomi nilai-tanda dan nilai-simbol
teknik produksi baru, pengembangan melalui kacamata pemikir sosial Jean
teknologi baru, percepatan kapasitas Baudrillard.
produk-produk massal dan korporasi
B. Teori Konsumsi Baudillard
kapitalis, sehingga meningkatkan per­
hatian terhadap pengaturan konsumsi Jean Baudrillard sering dianggap
dan menciptakan kebutuhan-kebutuhan sebagai pemikir garda depan yang mengkaji
baru atas dasar kuasa simbolik tanda. persoalan masyarakat konsumer secara
Baudrillard menyebutnya rezim nilai- cukup komprehensif karena tidak saja
tanda. (Baudrillard, 1981). mengkritik filsafat ekonomi politik Marx,
melainkan memasukkan problem ini dalam
Namun kesenjangan sosial belum
linguistik struktural rintisan Saussure
lenyap. Jika gaya hidup menjadi standar
dan semiologi Barthes. Baudrillard me­
bagi relasi antar-manusia, maka orang
nyimpulkan bahwa konsumsi dewasa
yang tidak memiliki atau tidak mampu
ini bukanlah konsumsi atas objek-objek
menerapkan gaya hidup konsumtif dalam
material, melainkan konsumsi akan
masyarakat konsumer menjadi pihak
nilai-nilai; konsumsi atas tanda (signs).
yang tersingkir. Akibatnya perbedaan dan
Baudrillard memulai diskusi tentang
pembedaan “kelas-kelas” sosial makin
masyarakat konsumer dengan diagnosisnya
cair, namun secara ironik juga semakin
akan rezim nilai-tanda. Rezim nilai-tanda
tajam. Ketika konsumsi menjadi ukuran
adalah “ideologi” yang dihidupi oleh
diterimanya seseorang dalam kelas
masyarakat yang menjalankan logika sosial
tertentu, maka muncul masalah-masalah
konsumsi. Dalam rezim nilai-tanda, motif
sosial seperti totalitarianisme, hilangnya
terakhir tindakan konsumsi bukanlah
makna, anomie, penyakit jiwa, alienasi,
pelayanan dan nilai-guna suatu barang,
dan sebagainya.(Hardiman, 1993). Secara
melainkan produksi dan manipulasi
langsung maupun tidak langsung ini juga
penanda-penanda sosial. Konsumsi men­
menyuburkan kriminalitas demi tujuan-
jadi motif utama dan penggerak realitas
tujuan banal: asosiasi kepada identitas
sosial, budaya, dan bahkan politik (Kellner,

93
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

1994). Rezim nilai-tanda ditandai oleh sistem pertukaran yang sepadan dengan
transformasi dari mode of production ke sistem bahasa. Kedua, sebagai proses
mode of consumption. Nilai-tanda (sign- klasifikasi dan diferensiasi sosial. Objek-
value) dan nilai-simbol (symbolic-value) objek dan tanda-tanda dipandang bukan
telah menggantikan nilai-guna (use-value) hanya sebagai perbedaan yang signifikan
dan nilai-tukar (exchange-value) Marxian. dalam satu kode, melainkan sebagai nilai
Konsumsi menjadikan seluruh aspek yang sesuai aturan dalam sebuah hierarki.
kehidupan tak lebih sebagai sekedar objek Konsumsi menentukan distribusi nilai yang
yang mengklasifikasi dan membentuk melebihi hubungannya dengan penanda
makna kehidupan masyarakat kapitalisme sosial yang lain, seperti pengetahuan,
lanjut. Baudrillard mengatakan bahwa kekuasaan, budaya, dan lain-lain. (Baudril­
ketika sebuah produk dikonsumsi, yang lard, 1998)
dikonsumsi adalah makna-makna yang “Objek-objek konsumsi menciptakan
disebarluaskan melalui iklan (Baudrillard, pembedaan sebagai stratifikasi status:
2002). Melalui asumsi ini, Baudrillard apabila hal ini tidak lagi terisolasi,
hal ini terdiferensiasi; apabila hal
hendak menjelaskan tentang kemelimpahan
ini menentukan secara kolektif para
(profusion) tanda-tanda yang menyebar konsumen sebuah tempat dalam
luas. Relasi antara tanda dan konsumsi relasi kode, tanpa melebihi solidaritas
merupakan poin penting memahami relasi kolektif (justru berlawanan dengan itu.”
(Baudrillard, 1998)
baru antara subjek-objek dalam masyarakat
konsumer (Baudrillard, 2002). Baudrillard menjelaskan bagaimana
nilai-tanda dan nilai-simbol ini dapat
Baudrillard melihat bahwa dalam
menjadi basis relasi subjek-objek dan
masya­rakat konsumer, objek-objek di­
tatanan sosial yang baru dalam masyarakat
miliki, diatur, dikonsumsi, dan diinvestasi
post-feodal. Akan lebih mudah untuk
melalui makna oleh subjek yang kemudian
memahami transisi masyarakat konsumer
mengubah dan mendefinisikan ulang objek-
dengan membandingkan masyarakat feodal
objek tersebut. Baudrillard percaya bahwa
dan masyarakat kapitalis (Baudrillard,
konsumsi objek-objek menentukan tatanan
1981). Menurut Marx, masyarakat feodal
sosial masyarakat. Dengan mengadaptasi
memproduksi dan mengonsumsi objek
teori strukturalis, Baudrillard berargumen
menurut nilai-gunanya, yakni fungsi asli
adanya relasi timbal-balik antara individu
suatu objek berdasarkan eksistensinya.
dan sistem makna dalam masyarakat.
Barang-barang diproduksi atau diper­
Sistem makna memaksakan kekuasaannya
tukarkan dengan alasan pemenuhan ke­
terhadap individu dengan cara bahwa
butuh­an. Namun memasuki zaman
melalui sistem makna tersebutlah indi­
industrialisasi, perekonomian ditandai
vidualitas mendapat makna (William,
dengan lahirnya sistem baru yang disebut
2002). Logika sosial konsumsi memuat dua
kapitalisme. Dalam kapitalisme, muncul
aspek. Pertama, sebagai proses signifikansi
konsep mengenai nilai-tukar di samping
dan komunikasi yang didasarkan pada
nilai-guna yang telah dikenal sebelumnya.
peraturan (code) di mana praktik-praktik
Logika produksi yang mendominasi era
konsumsi masuk dan mengambil makna.
kapitalisme akhirnya memunculkan konsep
Konsumsi dalam konteks ini merupakan
komoditi. Komoditi adalah objek produksi

94
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

yang di dalamnya memuat dua nilai dasar, C. Alienasi dan Konsumsi dalam
yakni nilai-guna dan nilai-tukar. Masyarakat Kapitalistik Lama
(Old Capitalism)
Namun produksi komoditi menying­
kirkan nilai-guna sebagai nilai dominan Pada era kapitalisme awal, masyarakat
yang menjadi prinsip interaksi sosial, ditandai oleh logika produksi yang ber­
ekonomi, budaya dan politik dalam prinsip pada produksi komoditi yang
masyarakat feodal. Dalam masyarakat melimpah (mode of production). Produksi
kapitalis, pemenuhan kebutuhan bukan komoditi menegaskan kemenangan nilai-
merupakan motif utama produksi barang- tukar atas nilai-guna, atau fetisisme
barang. Produksi komoditi menekankan komoditi. Dalam fetisisme komoditi
pada nilai-tukar untuk mendapatkan selisih terjadi alienasi terhadap kaum buruh
keuntungan dari biaya yang dikeluarkan sebagai produsen. Kaum buruh teralienasi
untuk produksi. Dengan konsep komoditi, karena pertama, komoditi dipisahkan dari
barang yang memiliki manfaat berbeda, produsennya. Kaum buruh sebagai orang-
tidak mustahil memiliki nilai-tukar yang orang yang memproduksi komoditi tidak
sama (Lechte, 1994) Satu ton gabah memiliki kekuasaan untuk memiliki atau
misalnya, mungkin memiliki nilai-tukar menggunakan komoditi tersebut sesuai
yang sama dengan sebuah mobil, meskipun keinginan mereka karena komoditi menjadi
keduanya memiliki perbedaan nilai-guna. milik pemilik kapital yang kemudian
Konsep komodifikasi mengubah status dipertukarkan di pasar untuk mendapatkan
uang sebagai alat tukar. Marx menyatakan, keuntungan. Untuk memiliki barang yang
apabila dalam era kapitalisme awal diproduksinya sendiri, kaum buruh harus
uang hanyalah sarana tukar pemenuhan mengeluarkan uang untuk membeli barang
kebutuhan, maka dalam era kapitalisme tersebut. Kaum buruh menjadi konsumen
lanjut uang adalah tujuan akhir dengan atas produk yang mereka produksi sendiri;
komoditi sebagai sarananya (Kellner, 1994). teralienasi dari produk kerjanya. Yang
Sebuah komoditi tanpa nilai-guna berarti kedua, kaum buruh sebagai konsumen
tidak dapat dijual karena tidak memiliki juga teralienasi akibat hilangnya akses
nilai-tukar. Benda tersebut akan menjadi yang bermakna terhadap sarana-sarana
produksi tak berguna. Namun sebaliknya, produksi yang diperlukan untuk menggali
tidak setiap produk yang memiliki nilai- sepenuhnya potensi kebutuhan mereka
guna otomatis akan memiliki nilai-tukar. sebagai manusia (Lee, 2006).
Nilai fetish suatu komoditi akan muncul
Marx melihat sumber problem ini pada
ketika komoditi itu dipertukarkan dalam
proses reifikasi dalam komodifikasi benda-
sistem kapitalisme. Karakter fetish tersebut
benda produksi. Reifikasi menggambarkan
didefinisikan Marx sebagai relasi sosial
relasi sosial kaum buruh dalam kapitalisme
tertentu antara manusia yang tampak bagi
yang tumbuh di luar kontrol dan muncul
mereka, merupakan bentuk fantasi, dari
sebagai sesuatu yang digerakkan oleh
relasi antara benda (komoditi-komoditi)
hukum “natural” sehingga kaum buruh
(Marx, 1976)
seakan dikendalikan oleh logika dari luar
diri mereka (Lee, 2006) Hukum “natural”
ini tak lain adalah sistem kapitalisme.

95
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Bagi kaum buruh, tak ada jalan lain guna; produsen memproduksi barang yang
selain menyesuaikan diri dengan sistem telah diabstraksi nilai-gunanya sehingga
kapitalisme, meskipun ini merepresi dan menjadi komoditi yang bernilai-tukar
mendistorsi kualitas esensial mereka murni secara melimpah dan dengan itu
sebagai manusia. Di lain pihak, bekerja atau menciptakan berbagai macam kebutuhan
menjadi buruh sesungguhnya merupakan palsu untuk dikonsumsi sebagai barang-
realisasi potensi mereka sebagai mahluk barang konsumsi par excellence. Dalam
yang bebas dan sadar. Barang yang komoditi, nilai-nilai, termasuk di dalam­
mereka produksi tak lain adalah bentuk nya tenaga buruh, dipertukarkan dan
objektivikasi kualitas esensial manusiawi diabstraksi sehingga bernilai sama dengan
mereka. nilai tukar yang menentukan harga
komoditi. Sedangkan reifikasi dalam tempat
Maka, reifikasi tak lain adalah alienasi.
kerja yang mengalienasi kaum buruh terjadi
Gartman mengklaim reifikasi sebagai
manakala mereka kehilangan kontrol atas
proses alienasi dalam bentuk penghilangan
diri mereka karena telah “menyerahkan
kesadaran atau pembiusan terhadap nalar
hak” sebagai manusia yang bebas dan
kritis manusia yang bertujuan untuk
mampu merealisasikan natur esensialnya
pelupaan asal usul mode produksi yang
di bawah kontrol kapitalisme. Potensi kaum
memiliki sifat represif dan dehumanistis.
buruh diabstraksi tak lebih dari sekedar
Kaum buruh dipaksa menerima kondisi
nilai-lebih (surplus value), direduksi
mereka sebagai pekerja-pekerja yang
sampai taraf abstrak dan sederhana sebagai
bergantung kepada kapitalisme untuk
biaya energi (expenditure of energy)
menjamin mereka mendapat penghasilan
yang dapat dihitung dan dimanipulasi
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
secara kuantitatif oleh modal. Relasi antar
hari. Kaum buruh mau tidak mau harus
manusia tampak bukan sebagai sebuah
menerima represi tersebut sebagai suatu
alam komunal, melainkan relasi abstrak
keadaan tak terelakkan yang tetap harus
antara benda-benda yang diatur oleh
berlangsung untuk menjamin tersedianya
hukum kuantitatif yang oleh kapitalisme
penghasilan. Karena itulah sistem ka­
berhasil ditransendensikan sebagai hukum
pitalisme justru harus terus berjalan dan
alam (Gartman, 1986)
dilanggengkan (Gartman, 1986)
Seturut perubahan zaman, melalui
Menurut Marx, reifikasi sebagai alienasi
modernisasi dan optimalisasi teknologi,
ini terjadi dalam dua aspek yang dihidupi
kaum buruh tidak lagi tersingkir. Produksi
kaum buruh yaitu dalam pasar dan dalam
komoditi yang melimpah menempatkan
tempat kerja. Reifikasi dalam pasar erat
baik kaum buruh maupun konsumen
kaitannya dengan fetisisme komoditi atau
sebagai kelas konsumen pasif karena
pengistimewaan nilai-tukar atas nilai-guna.
kemelimpahan komoditi berimbas pada
Dalam pasar, komoditi dipertemukan dan
murahnya harga barang. Ini adalah per­
dipertukarkan berdasarkan kekuatan bawah
geseran kapitalisme dalam bentuknya
sadar yang mengatasi kontrol manusia atas
yang baru. Tidak ada lagi kelangkaan yang
pasar. Kekuatan ini merupakan kekuatan
mengharuskan setiap orang memproduksi
yang berada di balik relasi benda-benda
barang untuk memenuhi kebutuhan. Yang
sebagai hasil pengaburan (obscurity) nilai-

96
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

ada justru kebutuhan-kebutuhan palsu mana praktik-praktik konsumsi masuk


(pseudo-needs) yang sengaja dimunculkan dan mengambil makna terpenuhi dalam
untuk menjamin tetap berputarnya pengertian ini. Kebutuhan-kebutuhan
mekanisme produksi. Kebutuhan-ke­ palsu menandakan sosialitas masyarakat
butuhan palsu muncul sebagai akibat konsumer yang tidak lagi membutuhkan
kemenangan konsep nilai-tukar di atas nilai- partisipasi universal dalam produksi.
guna. Konsep nilai-tukar telah merelatifkan Namun logika ini hanya mensyaratkan
distingsi antara kebutuhan ‘nyata’ dan setiap orang untuk memainkan peran
‘palsu’. Baudrillard yakin bahwa seluruh signifikansi (Lury, 1998).
kebutuhan sesungguhnya selalu diciptakan
D. Situasi Masyarakat Kapitalisme
secara sosial. Dalam teori fetisisme
Baru atau Masyarakat Kon­
komoditi, komoditi diproduksi bukan
sumer
semata-mata untuk pemenuhan nilai-guna
suatu objek. Lebih dari itu, komoditi diberi Baudrillard banyak mengambil ide
nilai-nilai baru yang seringkali jauh dari Debord tentang “masyarakat tontonan”
nilai-gunanya. (society of spectacle) untuk menjelaskan
kemenangan logika komoditi. Komoditi
Karena itu Baudrillard mengatakan
adalah suatu bentuk tontonan (spectacle),
bahwa distingsi konsep nilai-guna dan
dengan mengganti yang real dengan citaan-
nilai-tukar sudah tidak memadai lagi untuk
citraan. Fetisisme komoditi mencapai
menjelaskan teori kebutuhan-kebutuhan
pemenuhan puncaknya dalam tontonan, di
palsu dalam kerangka masyarakat yang
mana dunia real digantikan oleh citraan-
telah beranjak meninggalkan logika
citraan yang dipilih yang direproduksi di
produksi menuju logika sosial konsumsi,
atasnya, yang secara simultan berhasil
atau acap disebut sebagai masyarakat
membuat dirinya menjadi epitomi
kapitalisme lanjut (late capitalism).
(ringkasan/padatan) realitas. Apa yang
Masyarakat telah bergeser dari fase
disaksikan dan yang ada adalah dunia
perkembangan kapitalisme di mana
komoditi yang mendominasi seluruh
bentuk-komoditas bersifat dominan ke fase
pengalaman hidup. Debord sepakat dengan
kelaziman-kelaziman bentuk-tanda (Lury,
Marx bahwa fetisisme komoditi merupakan
1998). Konsumsi, dipahami bukan dalam
suatu bentuk pengasingan (estrangement)
kerangka nilai-guna sebagai guna material,
manusia satu sama lain dan dari benda-
melainkan dengan nilai-tanda sebagai
benda yang mereka produksi (Debord,
signifikansi. Komoditi mendapat makna
1967) Menurut Debord, tontonan adalah
dari operasi kode-kode simbolis. Makna
suatu panggung ketika komoditi berhasil
komoditi tercipta atau tepatnya, diciptakan,
mengkolonialisasi kehidupan sosial
melalui merk (brand) tetapi tidak dipahami
secara menyeluruh. Komodifikasi tidak
dalam kaitannya dengan sifat intrinsik
sekedar tampak, namun justru kita tidak
(nilai-guna) suatu barang, melainkan
dapat melihat apapun karena apa yang
dalam pengertian ekonomi. Aspek pertama
kita lihat sesungguhnya adalah dunia
dari logika sosial konsumsi, yaitu sebagai
komoditi. Ruang sosial diselimuti lapisan-
proses signifikansi dan komunikasi yang
lapisan komoditi yang mengelompokkan
didasarkan pada peraturan (code) di
massa dalam fragmen-fragmen yang

97
terputus dari operasi produksi. Debord mengekspresikan diferensi antara mereka,
menyamakan proses yang terjadi dalam melainkan manusia sekedar menjadi
“logika produksi” dengan apa yang terjadi ‘kendaraan’ untuk mengekspresikan
di “logika konsumsi”. Akibat pengidentikan perbedaan di antara objek-objek (Lury,
ini, massa menjadikan konsumsi yang 1998)
teralienasi (alienated-consumption) serupa
Ini terjadi akibat simulasi dalam
“tugas” massa sebagaimana alienasi yang
peristiwa atau produk-produk. Produk-
sama terjadi dalam produksi (Debord,
produk tersebut tidak memiliki makna yang
1967). Apabila produksi mengalienasi kaum
jelas dan tidak mengacu pada referensi
buruh, konsumsi mengalienasi konsumen
apaupun kecuali sekedar menunjukkan
dengan cara yang sama.
diferensi objek, namun tanpa memuat
Alienasi dalam masyarakat tontonan makna atau pesan apapun. Menyitir
terjadi karena citraan-citraan (images) McLuhan, medium telah menjadi pesan
direpresentasikan oleh komoditi mem­ itu sendiri. Makna atau pesan bukan hal
pengaruhi massa sebagai suatu kehidupan yang penting dalam mekanisme simulasi.
sosial. Proses ini terjadi secara bawah-sadar Justru histeria realitas-realitas semu yang
dan menjadi cerminan individu dalam muncul akibat proses simulasi tersebut
berperilaku. Semakin individu meng­ lah yang penting. Baudrillard menyatakan
kontemplasikan diri atau memproyeksi bahwa masyarakat telah memasuki dunia
diri dalam objek-objek yang merefleksikan hiperealitas. Dalam dunia hipereal, apabila
“kebutuhan”, semakin ia mengidentifikasi yang real itu diproduksi, yang hipereal itu
diri dengan imaji-imaji tersebut. Akibatnya direproduksi (Bertens, 1995) Simulasi juga
ia semakin jauh dari dirinya sendiri. merupakan bentuk masyarakat tontonan
Individu tidak mampu memahai hidup (Baudrillard, 2006) Secara hiperbolik
dan keinginannya sendiri. Tindakan Baudrillard mengatakan bahwa semua yang
dan perilaku (gesture) subjek tidak lagi nyata kini menjadi simulasi (Baudrillard,
merefleksikan dirinya sendiri, melainkan 1994).
gesture orang lain yang direpresentasikan
Simulakrum adalah dunia yang ter­
melalui dirinya (Debord, 1967). Baudrillard
bentuk dari hubungan berbagai nilai, fakta,
menyimpulkan bahwa kapitalisme de­
tanda dan kode secara acak, tanpa referensi
ngan logika konsumsinya berhasil men­
relasional yang jelas, atau suatu duplikasi
cip­takan kebutuhan-kebutuhan palsu
dari realitas dengan menggunakan re­
yang kemudian ditindaklanjuti dengan
produksi ikonik realitas. Hubungan ini
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut
melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta
dalam dunia signifikansi. Akibatnya indi­
melalui proses produksi, serta tanda
vidu kehilangan kontrol atas otonomi diri
semu (citra) yang tercipta melalui proses
dan ‘menyerah’ pada kode dan aturan-
reproduksi. Dalam dunia simulasi, kedua
aturan signifikansi. Bagi Baudrillard, inilah
jenis tanda tersebut saling tumpang tindih,
perwujudan aspek kedua dari logika sosial
melarut, dan bersengkarut membentuk
konsumsi yaitu sebagai proses klasifikasi
satu unitas. Mana yang asli, yang real,
dan diferensiasi sosial. Menurutnya, orang-
dan mana yang palsu, yang semu, sukar
orang tidak lagi menggunakan objek untuk
diidentifikasi. Semuanya menjadi bagian

98
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

realitas yang dijalani dan dihidupi. pemenuhan-dirinya dalam arus tanda-


Realitas tidak lagi memiliki referensi, tanda dan simulakrum. Sebagai konsumer,
kecuali simulakrum itu sendiri (sebagai manusia menjadi soliter, seluler (terpencar
referennya) (Baudrillard, 1994). Realitas seperti sel-sel), dan senang berkerumun
kini dapat dibuat, direkayasa. Realitas (gregarious), misalnya menyaksikan
dapat disimulasi. Dalam simulasi, seluruh televisi bersama keluarga, menyaksikan
referensi dihilangkan, dibuat persamaan pertandingan olahraga di stadion, konser
dalam model oposisi biner dan kombinasi musik, kafe, atau bioskop (Baudrillard,
aljabar dalam teknologi informasi. Akan 2002).
tetapi yang dihasilkan dari proses itu bukan
Baudrillard menyetarakan proses alien­
imitasi, reduplikasi, atau parodi, melainkan
asi yang terjadi dalam masyarakat kon­
suatu penggantian realitas dengan tanda-
sumer dengan proses alienasi dalam mode
realitas. Baudrillard mengalegorikannya
produksi yang bermuara pada proses re­
dengan “metafora simulasi”: “citraan tidak
ifikasi dan fetisisme komoditi (Baudrillard,
dapat lagi merepresentasikan realitas,
2002) Kapitalisme dituduh melakukan
karena ia sendiri real. Mimpi pun tidak
penghancuran referensi atau tujuan
ada lagi, karena ia adalah realitas virtual
manusia dengan cara menghancurkan
(virtual reality). Citraan berubah menjadi
distingsi ideal antara benar-salah maupun
realitas virtual karena telah kehilangan
baik-buruk, dengan tujuan membangun
kekuatan untuk merepresentasikan realitas”
hukum radikal persamaan dan pertukaran.
(Baudrillard, 1993) Citraan menjadi sesuatu
Dengan ini realitas semu disuntikkan di
yang lebih nyata dari yang nyata, lebih dari
mana-mana untuk meyakinkan masyarakat
real dari yang real: hipereal (hyperreal).
tentang realitas sosial, ekonomi, dan
Konsumsi luar biasa atas tanda ini finalitas produksi (Baudrillard, 2002)
menandakan kerterpisahan manusia dari Dengan kata lain realitas dan referensi
refleksi atau perpektif tentang dirinya perlu direkayasa, dimanipulasi, atau bah­
sendiri. Manusia dalam masyarakat kon­ kan dihancurkan agar rezim konsumsi
sumer tidak lagi dihadapkan pada citranya tetap berdiri. Dengan cara ini, masyarakat
demi yang terbaik atau terburuk. Yang berusaha merestorasi/memulihkan “yang
ada hanya sekedar “etalase”, tempat real” untuk melarikan diri dari “histeria”
geometris konsumsi, di mana individu produksi dan reproduksi realitas yang
tidak merenungkan dirinya sendiri, menggantikan realitas sesungguhnya. Ma­
melainkan terserap dalam kontemplasi sya­rakat mencari solusinya dari produksi
objek-objek atau tanda-tanda yang berlipat dan reproduksi. Namun kekuasaan kapital
ganda; terserap dalam tatanan penanda hanya menyediakan material-material
status sosial dan lain-lain. Individu tidak produksi yang berifat hipereal. Tidak ada
lagi memikirkan dirinya sendiri. Ia telah yang diproduksi selain tanda (Baudrillard,
terserap dan terhapus melalui dan dalam 2002).
permainan tanda dan lembaga kode.
Baudrillard menegaskan bahwa proses
Baudrillard menegaskan, subjek konsumsi
signifikasi (penandaan) tak lebih dari suatu
adalah susunan tanda-tanda (Baudrillard,
model raksasa simulasi makna (gigantic
1998) Masyarakat konsumer menemukan
simulation model of meaning). Baudrillard

99
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

menolak ide Derrida tentang proses dalam model produksi simulasi melalui
signifikasi yang selalu mengimplikasikan otomatisasi, komputerisasi, dan mikroisasi.
realitas konkret yang memuat “idealisme Namun itu hanya dapat dipahami jika
referensi” (Baudrillard, 2002) Dalam merujuk pada model produksi komoditi
simulasi tidak ada referensi. Arbitraritas klasik. Piliang tidak mengeksplorasi
tanda yang krusial dalam semiologi lebih jauh soal alienasi dalam masya­
Sausurrean, Barthes, atau Derrida tidak lagi rakat konsumer, melainkan hanya meng­
dapat dipertahankan. Konsep nilai-tanda ungkapkan soal fetisisme komoditi
Baudrillard mendasarkan diri pada reduksi yang sama sekali lain dengan fetisisme
dan penangkapan tanda dalam simulakrum. komoditi-nya Marx yang menjadikan
Konsekuensinya, tanda menjadi sesuatu alienasi tidak lain adalah alienasi terhadap
yang menyesatkan karena ia menjadikan nilai-tukar atau penanda dalam sistem
dirinya terlihat sebagai sebuah totalitas, rantai pertandaan. Dalam konteks rantai
menghapus jejak-jejak transendensi pertandaan, Baudrillard menilai fetisisme
abstrak­nya (genealoginya dari referensi atau komoditi Marx tak lain adalah fetisisme
realitas), dan merayakan diri sebagai prinsip petanda (nilai-guna). Nilai-guna dipisahkan
kesejatian dari makna (reality principle atau dialienasikan dari komoditi sehingga
of meaning) (Baudrillard, 2002) Semua komoditi tersebut hanya tampak sebagai
makna dispektakulerkan, digambarkan, objek sarat nilai yang sebenarnya palsu.
dirangsang, diolah, diaransemen dengan Yang ditampakkan adalah permainan
gambar-gambar, tanda-tanda, dengan tanda-tanda yang diinstitusionalisasi untuk
contoh-contoh yang bisa dikonsumsi menopengi kepentingan ideologis kapitalis
(Baudrillard, 1998). Tanda-tanda pengganti atas nilai-tukar.
realitas tersebut mengambil tempat dalam
Baudrillard menolak asumsi Marx
sistem objek yang diorganisasikan aturan-
dan mengatakan fetisisme komoditi, jika
aturan trend dan fungsi-fungsi imperatif
memang benar ada, tak lain adalah fetisisme
(memiliki kemampuan untuk memerintah
nilai-tukar atau penanda dari suatu objek.
atau mendorong) dan menjalankan prinsip
Fetisisme nilai-tukar memiliki makna
“integrasi ideologis”: subjek menjadi
terperangkapnya subjek dalam kode-kode
“seseorang” (person) melalui proses per­
objek yang dikodifikasi secara sistematis
sonalisasi yang diatur dan diarahkan oleh
melalui sistem kapitalisme. Dengan kata
sistem tanda objek. Individu menemukan
lain, fetisisme komoditi berlaku pada objek
makna diri, identitas, dan “diri sejatinya”
tanda atau objek sebagai tanda akibat
ketika ia berhadapan vis-à-vis objek: imaji
pemutusan atau pemisahan nilai-guna
atau tanda (Pawlett, 2008) Singkatnya,
sebagai nilai substansial objek sehingga
manusia direduksi sebagai susunan tanda.
menjadi objek yang sepenuhnya berupa
Piliang (2003) berpendapat bahwa nilai-tanda (Piliang, 2003) Berdasarkan
Baudrillard sebenarnya menganggap argumen ini, Piliang dan Baudrillard sendiri
alienasi dan dehumanisasi barisan pekerja menyimpulkan bahwa diskusi soal alienasi
dalam proses produksi komoditi sudah tidak tidak lagi bermanfaat dalam debat tentang
lagi relevan. Ia juga menambahkan bahwa komoditi dalam masyarakat konsumer.
masalah alienasi tersebut telah teratasi Akan tetapi soal alienasi lebih bernilai

100
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

krusial apabila menyangkut “manusia” perempuan majikannya, jika seorang


dalam proses alienasi dari komoditi atau kulit hitam memiliki mobil Cadillac, jika
mereka semua membaca koran yang
fetisisme komoditi tersebut. Piliang memang sama, maka asimilasi ini tidak hanya
menyebutkan alienasi sebagai pemutusan mengindikasikan sirnanya kelas, namun
barisan pekerja dari komoditi yang mereka sejauh ini kebutuhan dan pemenuhan
produksi, namun Piliang menerima begitu yang menjaga mapannya tatanan
ini dimiliki bersama oleh seluruh
saja bahwa alienasi kaum buruh sudah
masyarakat.” (Marcuse, 1964).
berakhir dengan berlangsungnya model
produksi simulasi. Dalam sistem tanda, alienasi berpangkal
pada teori reifikasi. Fetisisme komoditi,
E. Otopsi Konsep Alienasi dalam
sebagai dasar reifikasi menyelubungi asal-
Pemikiran Baudrillard
usul (origin) komoditi yang dikonsumsi
Dalam teori fetisisme komoditi, alienasi masyarakat. Nilai-guna dan barisan pekerja
menimpa kaum buruh yang dipisahkan dari yang memproduksi komoditi disamarkan
komoditi yang mereka produksi. Dan oleh dan disembunyikan dalam kemewahan
karena cara kerja mode produksi itu sendiri, komoditi. Proses reifikasi merupakan
kaum buruh teralienasi juga dari sesama proses pelupaan (oblivion) atas asal-usul
kaum buruh. Schacht menambahkan bahwa komoditi. Konsep ini diambil Baudrillard
dengan ini kaum buruh juga teralienasi dari dan ia kombinasikan dengan semiologi
dirinya sendiri. Sebagai homo laborans, Barthesian. Fetisisme komoditi adalah
pekerjaan merupakan hidup seseorang, suatu proses fetisasi terhadap penanda
sedangkan komoditi adalah hidup yang (signifier) serta reifikasi terhadap petanda
terobjektivikasi dalam bentuk material. (signified).1 Komoditi menekankan aspek
Ketika seseorang dialienasi pekerjaan dan nilai-tanda sebagai topeng dari objek
produk, maka ia juga akan teralienasi dari faktual (penanda) dengan permainan
dirinya sendiri (Schaht, 1970) Namun petanda yang jauh dari nilai-guna objek
dalam masyarakat konsumer, masalah ini tersebut (referensi/referent).
dianggap selesai. Pergeseran dari mode
Pandangan Baudrillard tentang ideo­
produksi ke mode konsumsi membuat
logi merupakan kritik terhadap konsep
alienasi dalam produksi komoditi menjadi
ideologi sebagai “representasi palsu” yang
tidak relevan. Kaum buruh, melalui
diungkapkan Marx. Representasi palsu,
konsumsi, dapat memiliki komoditi dengan
menurut Marx, adalah representasi yang
cara konsumsi. Dengan modernisasi dan
di dalamnya terjadi penyembunyian keter­
optimalisasi teknologi, kapitalis menan­
putusan (estrangement) subjek dari objek
capkan kontrolnya lebih kuat terhadap
yang ia produksi, serta keterputusan nilai-
semua lapisan sosial. Kaum buruh telah
guna dari nilai-tukar. Nilai-guna teralienasi
menjadi kelas baru yang makmur. Marcuse
karena dipandang tak lebih sebagai petanda
mengindikasikan hal ini sebagai adanya
yang dilekatkan pada objek komoditi sebagai
masyarakat tanpa kelas.
nilai-tukar komoditi tersebut. Namun
“Jika pekerja dan atasannya menikmati
bagi Baudrillard, ideologi sudah ada pada
program televisi yang sama dan pergi
ke tempat tamasya yang sama pula, jika tingkat denotasi, yaitu substansi materi dari
juru ketik merias diri semenarik anak penanda. Ideologi sudah ada pada setiap

101
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

tingkat proses signifikasi (penandaan); Frankfurt di satu pihak, dan pemikir


pada tingkat penanda sekaligus petanda. semiologi-Marxis di pihak lain. Elaborasi
Pada dasarnya, ideologi adalah proses dari Adorno, Horkheimer, dan Marcuse
reduksi dan abstraksi material simbolis relatif berhasil menjelaskan bahwa reifikasi
kepada suatu bentuk. Proses ini disebabkan yang berlaku dalam mode konsumsi dapat
oleh dua hal: pertama, logika komoditi dan dijabarkan dengan logika yang sama
ekonomi politik merupakan jantung dari sebagaimana mode produksi. Abstraksi,
tanda yang terdapat dalam kesejajaran kuantifikasi, dan manipulasi yang menjadi
petanda dan penanda, dalam perbedaan ciri mode produksi dapat diterapkan pula
kombinasi tanda-tanda, yang di dalamnya pada mode konsumsi. Akan tetapi ketiganya
tanda berfungsi sebagai nilai-tukar dan tidak bisa menunjukkan dengan terang
nilai-guna. Kedua, struktur tanda adalah bagaimana atau mengapa reproduksi atas
jantung dari bentuk komoditi, bahwa logika produksi dapat berlaku juga dalam
komoditi dengan segera menangkap efek mode konsumsi. Di lain pihak, Barthes dan
pertandaan (signifikasi); namun bukan Baudrillard mencoba mengisi celah yang
oleh ekses yang ditimbulkannya sebagai ditinggalkan Marx dengan memanfaatkan
pesan atau konotasi, tetapi disebabkan metode semiologi.
bentuknya sendiri menjadikannya suatu
Baik Barthes maupun Baudrillard me­
media total, suatu sistem komunikasi
mandang bahwa dalam strukturalisme,
yang mengatur semua pertukaran sosial
tatanan simbolis tidak hanya berfungsi
(social exchange). Seperti halnya bentuk
sebagai media ekspresi yang netral bagi
tanda, komoditi adalah sebuah kode yang
makna yang telah terbentuk dan menunggu
mengatur pertukaran nilai-nilai. Tak ada
untuk dimaterialkan dalam bahasa dan
perbedaan apakah yang terlibat dalam
kebudayaan. Melalui teori mitologinya,
rantai signifikasi atau kandungan imaterial
Barthes memperluas analisis reifikasi pada
dari penandaan tersebut diikutkan,
benda-benda material. Menurut Barthes,
adalah kode sebagai determinannya:
mitos merupakan suatu bentuk karakteristik
aturan permainan petanda dan nilai-tukar
penandaan (signification) kaum borjuis.
(Baudrillard, 1981). Dengan hal tersebut
Tanda-tanda dari sistem semiologis me­
Baudrillard memproklamasikan bahwa
masuki sistem lainnya yang melepaskan
konsep alienasi tidak lagi relevan dalam
kaum borjuis dari makna orisinal tanda.
analisis ideologi masyarakat konsumer.
Bentuk mengalienasi isi dan dikembangkan
Namun alienasi tetap dapat terjadi di level
untuk tujuan tertentu sehingga terjadi
esensi manusia itu sendiri. Hal ini tampak
pembalikan, bukan makna tanda sebagai
dalam karya-karya Baudrillard pada
hasil proses sosial dan sejarah, melainkan
periode simulasinya.
sebaliknya. Barthes menanggapi asumsi
F. Alienasi sebagai Reifikasi atas Marx bahwa produsen bertindak dan
Petanda (Signifier) membuat sejarah mereka sendiri dengan
cara menyusun atau mengkonstitusi
Konsep reifikasi Marx dipandang sudah
penandaan atas tanda sesuai kepentingan
tidak memadai untuk menganalisis struktur
mereka sendiri. Akan tetapi dalam mitos,
budaya masyarakat konsumer. Elaborasi
relasi tanda dengan kaum buruh digantikan
teori Marxis telah dilakukan Mazhab

102
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

dan dikaburkan maknanya dengan citraan- sistem signifikasi (Piliang, 2003)


citraan alam (image of nature). Barthes
Ideologi seharusnya merupakan pondasi
menyatakan:
dari sistem signifikasi. Akan tetapi dalam
“Apa yang disediakan oleh dunia untuk kultur masyarakat konsumer, ideologi
mitos adalah realitas historis, kendatipun
sudah tidak bersifat eksplisit (denotatif).
ini berjalan mundur sementara waktu,
dengan cara di mana manusia telah Makna denotatif berarti penyajian kode
memproduksi atau menggunakannya; yang makna tandanya segera tampak ke
dan apa yang mitos berikan sebagai permukaan berdasarkan relasi penanda dan
pengembalian adalah citraan natural
petandanya. Dalam aspek politik ekonomi
realitas ini…mitos disusun berdasarkan
lepasnya kualitas historis benda-benda: kapitalis, makna ini sudah bergeser ke
di dalamnya, benda-benda kehilangan tingkat konotatif. Makna konotatif kode-
memori yang pernah mereka buat.” kode dihadirkan secara implisit dan
(Barthes, 1972)
memuat makna-makna tersembunyi.
Barthes mengembangkan dua tingkat Makna-makna tersembunyi inilah yang
sistem signifikasi, yakni sistem denotasi merupakan kawasan mitologi atau ideologi.
sebagai sistem signifikasi tingkat pertama Dalam ideologi, pergeseran status objek ke
dan sistem konotasi sebagai signifikansi nilai-tanda murni berarti menempatkan
tingkat kedua. Sistem denotasi terdiri ideologi dalam rantai kedua sistem
atas rantai penanda dan petanda, yakni signifikasi. Makna sosial yang dilekatkan
hubungan konsep material dan mental di pada suatu objek oleh sebagian kecil borjuis
balik suatu tanda. Sedangkan dalam sistem tersebut menggeser makna denotasi ke
konotasi, rantai penanda dan petanda dalam makna konotasi. Ideologi berubah seiring
sistem denotasi bergeser menjadi penanda. berubahnya penanda dan tidak dapat lagi
Dan hal ini terus berantai sampai berkaitan menjadi pondasi proses signifikasi.
dengan petanda lain pada rantai signifikasi
Barthes setuju dengan George Lukacs
yang lebih tinggi. Barthes kemudian
bahwa kultur borjuis dirembesi oleh
menganalisis sistem-sistem makna yang
bentuk-bentuk reifikasi; relasi manusia
merefleksikan kode kultural masyarakat
dilihat sebagai sistem benda yang diatur
kapitalis. Objek-objek yang telah diasingkan
dan dijalankan oleh hukum-hukum yang
nilai-gunanya dimasuki makna-makna
berada di luar kontrol manusia. Barthes
sosial. Akan tetapi makna-makna sosial
mencontohkan fenomena reifikasi dalam
ini bukan diinjeksikan oleh masyarakat
level semantis ini dengan mobil Citroen
atau pengguna objek tersebut, melainkan
D.S. 1955; sebuah mobil manis yang
justru dilakukan oleh sebagian kecil kaum
aerodinamis, sebuah objek “magis”.
borjuis (desainer, insinyur, sosialita) yang
Mobil ini dikonsumsi bukan karena nilai-
menciptakan makna-makna tertentu
gunanya, melainkan citra yang dilekatkan
suatu objek konsumsi. Barthes menyebut
padanya. Inisial D.S. sebagai tipe mobil
ini sebagai ideologi. Ideologi merupakan
ini kependekan dari “Deesse” – Kesaksian
sistem gagasan, ide, atau kepercayaan
Dewi, untuk menggambarkan secara
yang menjadi konvensi dan mapan dalam
superlatif desainnya yang seolah-olah
suatu masyarakat, yang mengartikulasikan
berasal dari surga. Dengan ini Citroen
dirinya pada sistem representasi, atau
D.S. bagaikan benda persembahan dari

103
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

surga yang diantarkan oleh Dewi-dewi. objek. Sedangkan nilai-guna ekivalen


Faktanya, “surga” tempat diproduksinya dengan petanda (signified) yang berupa
mobil tersebut sebenarnya adalah pabrik makna artifisial yang dilekatkan pada
di mana kaum buruh membentuk karakter objek. Konsumsi adalah muara di mana
manis dan aerodinamis sang Citroen. komoditi diproduksi sebagai tanda-
Pendeknya, Citroen D.S. 1955 adalah suatu tanda. Dalam struktur sosial masyarakat
objek yang direifikasi, mengaburkan dan konsumer, konsumsi ini menentukan status
menyembunyikan fakta kaum buruh yang sosial seseorang. Yang dikonsumsi adalah
memproduksinya. Hal ini juga berlaku bagi tanda; konsumsi adalah konsumsi tanda.
komoditi-komoditi lain (Gartman, 1986) Objek hanya sekedar memiliki arti sebagai
penanda atau medium relasi tersebut.
Baudrillard melihat keterkaitan antara
Proses ideologisasi ini atau dalam bahasa
tanda-tanda dan sistem politik ekonomi
Baudrillard naturalisasi (naturalization),
kapitalis dalam masyarakat konsumer
sudah tidak dapat dimengerti sebagi
beserta ideologi yang melandasinya. Ia
relasi infrastruktur-superstruktur antara
mengatakan bahwa makna ideologis dan
produksi material (sistem dan relasi
konotasi sudah ada pada tingkat penanda
produksi) dan produksi tanda (kebudayaan,
dari komoditi. Ia menyebut fenomena ini
gaya hidup) yang mengekspresikan dan
sebagai fetisisme tanda. fetisisme tanda
menopengi kontradiksi dasarnya.
tidak memuja makna ideologis petanda
(yang seharusnya denotatif dan eksplisit), Seperti telah dibahas, produksi
melainkan diferensi tanda-tanda yang komoditi menekankan aspek nilai-tanda
disebabkan oleh pergantian dari satu sebagai wujud topeng dari objek faktual
penanda (bentuk, gaya) ke penanda- (penanda) dengan permainan petanda
penanda lainnya (Piliang, 2003) Fetisasi ini yang jauh dari nilai-guna objek tersebut
menyembunyikan makna asli suatu objek (referensi/referent). Dorongan terhadap
dan menampakkan karakternya sebagai objek fetish dalam masyarakat konsumer
objek pemujaan (fetish) di level petanda. bukan berasal pada objek-objek itu sendiri,
Komoditi dikonsumsi sebagai tanda-tanda melainkan pada the passion for the code
di mana penanda telah diabstraksikan (hasrat akan kode). The passion for the code
dari petanda atau isinya. Dengan kata lain, merupakan artikulasi fundamental dari
terjadi fetisasi terhadap penanda (signifier) proses ideologis atas generalisasi seluruh
serta reifikasi terhadap petanda (signified). level kode struktural., bukan proyeksi dari
Analogi ini digunakan Baudrillard yang alienated consciousness (kesadaran yang
mengklaim bahwa teori fetisisme komoditi teralienasi). Baudrillard menambahkan
Marx memiliki kekurangan pada struktur bahwa ideologi bukanlah “penipuan
semiologis. kesadaran” secara misterius melainkan
suatu logika sosial yang digantikan dengan
Kapitalisme memproduksi makna dan
yang lain (kode-kode signifikasi), kemudian
difference (pembedaan makna-makna
mengubah definisi nilai (Baudrillard, 2001)
objek) yang telah dimanipulasi. Apabila
Ini membawa sistem nilai-tanda dalam arus
dibandingkan dengan teori komoditi Marx,
semiosis tak terbatas yang berlangsung
nilai tukar ekonomis (harga) ekivalen
tanpa referensi objek dalam konsumsi.
dengan penanda (signifier) atau bentuk

104
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

Tidak ada lagi proses petanda sebagai struktural signifikasi. Konsumsi objek
dasar legitimasi penanda atau sebaliknya. dikendalikan oleh logika simulasi, di mana
Akibatnya proses penandaan (signifikasi) objek tanda dikonsumsi secara banal.
menjadi suatu reifikasi. Petanda menjadi tidak penting. Konsep
“Signifikasi, merupakan juga reifikasi mental dari objek itu tidak penting.
– semua strategi represif dan reduktif Yang penting adalah banalitas penanda,
sudah hadir dalam logika internal yang justru diterima sebagai realitas itu
tanda, sebagaimana halnya nilai-tukar
sendiri. Orang mengkonsumsi iPhone 5,
dan ekonomi politik. Hanya revolusi
total, teoritis dan praktis, yang dapat Blackberry, komputer tablet, tas Prada,
mengembalikan yang simbolik dengan Birkin, Louis Vuitton, mobil Ferrari,
pematian tanda dan nilai. Bahkan Alphard, motor besar, dan seterusnya tanpa
tanda-tanda harus dimusnahkan.”
melihat barang-barang itu sebagai benda
(Baudrillard, 2002)
pakai. Orang mengkonsumsi produk atau
Sebagaimana reifikasi dalam konteks komoditi tersebut untuk menempatkan
mode produksi adalah sebagai proses dirinya dalam status sosial tertentu melalui
penghilangan kesadaran tentang asal-usul penanda-penanda atau makna-makna
komoditi (kaum buruh yang memproduksi semu yang ditanamkan dalam sepatu
dan nilai-guna komoditi) yang membuat tersebut. Mereka mengkonsumsi banalitas
objek muncul dan benar-benar diatur tanda yang disimulasi oleh komoditi
oleh sesuatu di luar kendali manusia, tersebut tanpa menyadari barisan buruh
dalam reifikasi petanda juga berlaku di China dan Meksiko yang memproduksi
logika demikian. Fetisisme penanda komoditi tersebut. Mereka tidak menyadari
menggeser status penanda tak ubahnya bahwa sebuah Blackberry yang mereka beli
sebagai petanda. Konsep mental objek harganya sama dengan upah satu bulan
yang diwakili petanda (atau dalam konteks buruh-buruh itu. Dalam kasus konsumsi
produksi adalah nilai-guna) mengalami komoditi tersebut, reifikasi (dalam
distorsi atau pemutusan ketika penanda pengertian produksi) terjadi dalam aspek
(konsep material) objek mengalami fetisasi. tidak disadarinya keberadaan kaum buruh
Fetisasi penanda menjadikan nilai-tukar yang memproduksi komoditi itu. Reifikasi
bergeser pada nilai-tanda murni. Fetisasi kedua terjadi dalam level penanda. Komoditi
komoditi memutuskan objek dari nilai- tersebut dikonsumsi bukan sebagai benda
guna sehingga nilai-tukar mendominasi pakai an sich, melainkan sebagai penanda
pertukaran. Baudrillard melangkah status sosial seseorang di masyarakat,
lebih jauh dari Marx, fetisasi penanda yang dengan itu subjek tidak menyadari
memutuskan nilai-tukar murni suatu objek bahwa ia dikendalikan oleh logika dalam
dan menggantikannya dengan nilai-tanda sistem-sistem objek yang menempatkan
murni sehingga akhirnya yang tersisa dari subjek pembeli produk-produk tersebut tak
objek konsumsi hanyalah tanda-tanda yang ubahnya sebagai etalase atau kendaraan
dikonsumsi sebagai sarana diferensi sosial. bagi penanda-penanda yang dilekatkan
G. Kesimpulan dalam produk-produk tersebut.

Proses reifikasi petanda menyebabkan


individu diatur oleh logika di luar logika

105
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Daftar Pustaka Terlahir Kembali, Arah Baru


Modernitas dalam Kajian Modal
Baudrillard, Jean 1981. For a Critique
Konsumsi dan Kebudayaan
of the Political Economy of the Sign,
(diterjemahan oleh Nurhadi),
St. Louis, Mo: Telos Press Ltd.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
---------------------- 1993. Symbolic
Lury, Celia, 1998. Budaya Konsumen
Exchange and Death, London:
(Terjemahan Hasti T. Champion),
SAGE Publications.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
---------------------- 1994. Simulacra and
Magnis-Suseno, Franz, dalam Magnis
Simulation, Michigan: University of
Suseno: Konsumerisme dan
Michigan Press.
Ekstrimisme Ancam Masa
---------------------- 1998. The Consumer
Depan Kebangsaan Indonesia,
Society: Myths and Structures,
http://www.rimanews.com/
London-Thousand Oaks-New Delhi:
read/20120113/51459/magnis-
SAGE Publications
suseno-konsumerisme-dan-
---------------------- 2006. Ekstasi
ekstrimisme-ancam-masa-depan-
Komunikasi (diterjemahkan oleh
kebangsaan-indonesia
Jimmy Firdaus), Jogjakarta: Kreasi
Marcuse, Herbert 1964. One-Dimensional
Wacana
Man, Studies in the Ideology of
Barthes, Roland, 1972. Mythologies,
Advanced Industrial Society,
New York: The Noonday Press,
London-New York: Routledge.
Farrar, Straus & Giroux
Marx, Karl. 1976. Capital, Vol. I,
Bertens, Hans, 1995. The Idea of
London: Penguin Books.
Postmodern, A History, London and
Pawlett, William. 2008. Against
New York: Routledge
Banality – The Object System, the
Debord, Guy, 1967. The Society of
Sign System and the Consumption
Spectacle, New York: Zone Books
System, International Journal of
Gartman, David, 1986. Reification
Baudrillard Studies, Volume 5,
of Consumer Product: A General
Number 1 January. http://www.
History Illustrated By The Case
ubishops.ca/BaudrillardStudies/
of the American Automobile,
vol5_1/v5-1-article13-Pawlett.html
Sociological Theory, Vol. 4, No. 2,
Schacht, Richard 1970. Alienation,
(Autumn, 1986), pp. 167-185.
New York: Anchor Books.
Hardiman,F.Budi. 1993. Kritik Ideologi:
Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius
Kellner, Douglas. 1994. Baudrillard
Reader, Cambridge, Blackwell.
Lechte, John. 1994. Fifty Key
Contemporary Thinkers, From
Structuralism to Postmodernism,
London: Routledge.
Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen

106
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK

(Endnote)
1 Tanda, dalam perspektif strukturalisme Sausur­
rean dimengerti sebagai kesatuan tak terpisah
antara penanda (signifier/le signifiant) dan
petanda (signified/le signifie). Penanda
adalah konsep material dari bahasa, yaitu apa
yang ditulis, dibaca, dikatakan, atau didengar.
Dalam bahasa Perancis, le signifiant berarti
bunyi atau coretan yang bermakna. Sedangkan
petanda adalah konsep material dari bahasa
yang mewakili konsep atau makna suatu tanda.
Dalam pemakaian bahasa sebagai sistem, antara
penanda dan petanda tidak mewakili suatu
hubungan yang natural, melainkan arbitrer
(manasuka). Tidak ada hubungan natural antara
huruf “a” dengan bunyi yang ditunjukkan huruf
itu.

107
REVIEW BUKU

Judul: The Sociology Economy a Systematic Inquiry


Penulis: Alejandro Portes
Penerbit: Princeton University Press
Tahun : 2010
ISBN: 978-0-691-14223-4
Tebal: ix + 307

Membaca bukunya Portes akan di­ menyatakan kelahiran kembali sosiologi


ingatkan kembali pada berbagai per­debatan ekonomi. Kelahiran tersebut telah dicatat
teoritik sosiologi ekonomi lama dan baru dan dirayakan di sejumlah publikasi dan
yang mengusung kontribusi besar terhadap mencapai puncaknya dengan munculnya
ide-ide jaringan sosial, teori organisasi, dua edisi beruntun dari buku besar, yang
atau kebudayaan sosiologi, dan dua konsep diedit oleh Neil J. Smelser dan Richard
teori utamanya adalah “embeddedness” Swedberg. Hal tersebut merupakan prestasi
dan “konstruksi sosial dari institusi eko­ sekaligus menambahkan pengaruh yang
nomi”. Di sisi lain, pembaca juga akan telah dicapai oleh artikel Granovetter
dipertemukan dengan berbagai investigasi tentang “embeddedness” dalam tindakan
sistematik dari praktik-praktik terkini di sosial ekonomi, hal ini merupakan sinyal
berbagai negara. bahwa argumentasi sosiologi ekonomi
mulai dapat diterima dengan baik.
Buku Portes memiliki sepuluh chapter,
chapter awal berisi tentang dua pernyataan Empat chapter berikutnya berisi ten­
Portes tentang manifesto dan diskusi tentang tang mekanisme bekerjanya; modal sosial,
meta-asumsi, bahwa tindakan ekonomi kelas sosial, dan institusi sosial. Chapter
berorientasi secara sosial, tindakan rasional selanjutnya, mengilustrasikan inves­
konsekuensinya tidak bisa diantisipasi, dan ti­gasi dan pemilihan strategi di lokasi
tentang kekuasaan. Kemudian Portes juga riset, misalnya dengan menggambarkan

108
Derajad S. Widhyharto, REVIEW BUKU

ekonomi informal, kantong etnis dan pengujian konsep yang jelas pada tingkat
kelompok menengah, serta komunitas menengah yang dapat diterapkan dalam
transnasional. Chapter akhir Portes kembali berbagai situasi di lapangan. Lalu
membicarakan analisis meta-asumsinya, dipilih untuk melacak asumsi kunci
penekanannya pada mengidentifikasi mas­ kembali sebelumnya diterbitkan, alasan
alah aktual dengan cara mereformulasi metodologis tersebut diharapkan tidak
dan mendefinisikan kembali meta-asumsi memberikan kesan sebagai kumpulan esai.
tersebut kedalam bentuk pengukuran, Portes mencoba untuk mengatasi kesan
investigasi yang diwujudkan dalam per­ tersebut dengan menunjukkan bagaimana
nyataan hipotetik. setiap konsep berhubungan dengan bidang
asumsi yang dipilih dan bagaimana, pada
Portes mengawali penjelasan teoritiknya
gilirannya, mereka dapat digunakan untuk
dengan meringkasnya menjadi tiga kategori,
menjelaskan dan memprediksi masalah di
dalam meta-prinsip teoritis, mekanisme ini
lokasi tertentu pula.
jelas berfungsi untuk melakukan investigasi
yang sistematis. Pertama komponen Portes kemudian berencana untuk
kognitif “lensa” dengan menentukan fokus- menguji asumsi dasar sosiologi ekonomi
pendekatan mana yang dianggap tepat ”meta-asumsi”, beberapa mekanisme kunci
untuk melihat realitas. Lensa ini tidak lebih dari penjelasan, dan penglihatan  lokasi
kuat atau lebih lemah, konsep lensa tersebut penelitian strategis. Terdapat tiga asumsi
digunakan secara berbeda dalam melakukan umum - berorientasi aksi sosial ekonomi,
”zooming” di lokasi tertentu dari realitas konsekuensi tak terduga dari tindakan
empiris sebagai cara layak menyelidiki dan purposive dan kekuasaan. Jelas ada juga
langsung fokus pada tema/topik. Kategori merupakan mekanisme yang dipilih:
kedua mencakup ide-ide yang dapat modal sosial, kelas sosial, dan lembaga
direalisasikan, dalam rangka memahami, sosial. Ini akan diikuti dengan analisis dari
mengklarifikasi, dan bahkan memprediksi tiga lokasi penelitian: ekonomi informal,
peristiwa konkret. Hal tersebut dianggap kantong-kantong etnis dan kelompok
mewakili instrumentasi yang dipatuhi tengkulak, dan komunitas transnasional.
oleh  perspektif disiplin ilmu tertentu yang Lokasi ini memiliki dua karakteristik.
digunakan untuk menjelaskan fungsinya. Pertama, terdapat perbedaan yang paling
Sedangkan, kategori ketiga terdiri dari sering dibahas dalam literatur, seperti
lokasi yang dipilih untuk penyelidikan perusahaan dan pasar. Kedua, sebagai tipe
ekspansif teoritis bidang tertentu. lokasi ideal, terdapat kesadaran atas mekanisme
ini tentu tidak dipilih secara acak, tetapi pasar. Jelas mekanisme dipilih bukan tanpa
mencerminkan panduan orientasi, lensa masalah mereka dan ini dibahas dalam bab-
melalui lapangan mana untuk melihat bab dari buku Portes tersebut.
realitas tadi.
Isu modal sosial digunakan untuk
Tujuan buku ini adalah untuk mengejar memainkan peran yang sangat berbeda dari
baris argumen dengan terlebih dahulu yang dimaksudkan oleh pendiri sosiologi,
mempertimbangkan prinsip-prinsip yang kelas sosial memiliki penurunan era dalam
mendasari asumsi kunci atau panduan ekonomi politik Marxis sebagai perspektif
lapangan dan kemudian dirangkaikan yang komprehensif; Sebaliknya, lembaga

109
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

sosial telah mengalami kenaikan mendadak  Asumsi dan Praktik di Lapangan


dalam popularitas, namun definisi telah
PERTAMA, fungsi ekonomi informal
menjadi begitu samar dan beragam seperti
di Republik Soviet Georgia Yahudi
mengancam nilai heuristik-nya. Akhirnya,
difokuskan pada produksi ilegal dan
mungkin tidak segera jelas mengapa meta-
distribusi barang konsumen. Produksi
ketiga dikutip - sehingga dengan asumsi,
terjadi di pabrik-pabrik yang dimiliki dan
yaitu, mengapa mereka ditahan untuk
dengan bahan baku dipasok oleh negara.
menjadi dasar lengkap dari bidang mereka
hukuman penjara menunggu mereka yang
atau mengapa mereka ditempatkan pada
tertangkap. Meskipun dibayangi ancaman
tingkat yang berbeda abstraksi dari yang
hukuman penjara, sistem berkembang
lain disebutkan? Untuk sementara, semua
dan berfungsi lancar selama bertahun-
yang diminta pembaca dengan persetujuan
tahun. Butuh target keamanan dalam
awal terdapat 2 poin: (a) tidak semua
produksi rendah dan alokasi resmi limbah
yang meliputi teori umum itu diperlukan
untuk menampung produksi yang lebih
untuk mengembangkan sosiologi ekonomi
tinggi ilegal. Akuntansi selalu diubah. lini
ke depannya; (b) untuk melakukannya,
produksi, misalnya, dinyatakan ”dalam
namun, perbedaan yang diperlukan di
layanan” pada saat puncak produksi tidak
antara konsep yang berbeda yang dapat
resmi. input dan standar yang lebih rendah
mengisi suatu ruang, dengan fungsinya
digunakan untuk melengkapi kuota resmi
masing-masing dan tingkat relativitas
untuk meningkatkan penyediaan suku
keabstraksiannya.
cadang, barang memasuki illegal.
Sejak ditemukannya teori-teori oleh
KEDUA, di desa-desa adat di sekitar
Weber, Joseph Schumpeter, Thorstein
kota Otavalo di Andes Ekuador, pemilik
Veblen dan lainnya, sosiologi ekonomi telah
toko pakaian laki-laki dan kerajinan dari
memberikan suatu hasil yang besar kepada
kulit lebih banyak penganut Protestan
penemunya dan juga sebagai koreksi atas
(penginjil, seperti yang disebut lokal)
tradisi marginal ortodoks. Bagaimanapun
daripada Katolik. Alasannya adalah
janji itu hampir cukup terpenuhi sebagai
bahwa etika Protestan mendorong mereka
kontekstual dalam bidang masa lalu,
untuk pencapaian yang lebih besar dari
sekarang dan yang akan datang, untuk
enterpreneurial, atau mereka menemukan
gagasan pendiri, dan sebagai peningkatan
doktrin evangelikal untuk menjadi lebih
jumlah pembelajaran empiris memanggil
kompatibel dengan keyakinan mereka
mereka sebagai mantra, tetapi tanpa
sendiri. Dengan memindahkan kesetiaan
diakumulasikan kepada kemajuan yang
agama, para pengusaha ini menghapus
teoritis. Untuk melangkah kedepan, kita
sejumlah kewajiban sosial bagi laki-laki
harus memiliki bukti empiris yang menyatu
kepala keluarga yang terkait dengan Gereja
di sekitar rangkaian konsep yang berlainan
Katolik dan organisasi lokal.
membuat mereka mengeluarkan nilai-nilai
yang heuristik. Konsep (tipe ideal) adalah KETIGA, Italia yang terkenal sentra
apa yang kita tahu dan mudah diingat industri di wilayah pusat Emilia-Romagna
sebagai pengalaman di berbagai penelitian. kecil, mempunyai perusahaan yang
sangat dinamis, banyak yang memulai

110
Derajad S. Widhyharto, REVIEW BUKU

sebagai perusahaan informal dan terus tengah sistem ekonomi kapitalistik.


menggunakan input yang diproduksi Contoh-contoh yang berbeda tampaknya
oleh pekerja informal. Vittorio Capecchi, hanya mengilustrasikan keragaman, serta
yang mempelajari sistem, hubungan cara pandang dari titik yang berbeda pula
keterlibatan dari eksploitasi murni atau mengenai trend dalam peristiwa ekonomi.
persaingan mencirikan tindakan harian Sudut pandang terhadap contoh masing-
antara pengusaha dan pekerja dan di antara masing telah mendorong caranya sendiri
pemilik perusahaan. Perusahaan kecil dalam membentuk lima orientasi sosiologi
dalam industri tekstil, keramik, metalurgi, ekonomi:
dan lain-lain merespon dengan cepat
1. Kemunculan tindakan skeptis ter­
permintaan pasar, yang mengkhususkan
hadap peristiwa ekonomi ter­masuk
diri di pasar tertentu, bekerja sama dengan
kegiatan ekonomi riil yang menilai
satu sama lain dalam merespon lonjakan
“pertukaran” diasumsikan secara
permintaan, dan melawan manipulasi
hukum dan pasar negara.
untuk memotong harga.
2. Tindakan skeptis terhadap peristiwa
KEEMPAT, Chile telah dipuji dalam
ekonomi merujuk pada kepentingan
beberapa tahun terakhir sebagai negara
diri yang tak terkendali bersifat
dengan ekonomi paling sukses di Amerika
tunggal, atau motivasi utamanya
Latin dan sebagai contoh dari apa yang
semata-mata tindakan ekonomi.
disebut ”pembebasan pasar” dan mencapai
sebutan negara dunia ketiga. Kondisi 3. Terdapat pengakuan umum bahwa
tersebut banyak mendapat pujian dan transaksi ekonomi tidak terjadi
keberhasilan karena sebuah proses trial- dalam “ruang vakum” atau hampa
and-error yang melihat ekonom muda udara melainkan dimasukkan ke
yang terinspirasi oleh doktrin-doktrin dalam sistem budaya dan jaringan
neoliberal dari Chicago Milton Friedman, interaksi masyarakat.
seorang profesor yang memperkenalkan 4. Upaya mengapresiasi kenyataan
reformasi radikal untuk pasar terbuka dengan menyatakan rasionalitas
dan merangsang investasi asing untuk diarah­kan menuju tujuan eksplisit
menghindari kegagalan memproduksi sering berakhir menghasilkan
stagnasi ekonomi serta pengangguran konsekuensi yang berbeda atau
besar-besaran. Hanya karena ”kebebasan” berlawanan dengan tujuan awalnya.
kebijakan yang diperkenalkan di bawah
5. Terjadi penolakan keseluruhan dari
dictatorship Pinochet tetap dipertahankan
peristiwa ekonomi pada tingkat
oleh rezim militer.
lapangan dan penekanannya pada
Dinamika lapangan di berbagai negara peran kekuasaan.
tersebut memperkaya kajian sosiologi
Dua poin pertama (No.1 dan 2)
ekonomi “baru” yang berkembang pesat
mem­bedakan orientasi analitik titik
dalam beberapa tahun terakhir, kemunculan
keberangkatan sosiologi ekonomi dari
analisis kelas, etnis, informal ekonomi, dan
ekonomi yang tepat, terutama dalam
komunitas transnasional telah memberikan
argumen neo-classical. Sedangkan tiga poin
nuansa eksotisme dan unik di tengah-

111
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

terakhir (No.3, 4 dan 5) mendefinisikan relevan dengan banyak situasi karena


meta-asumsi kunci dari studi sosiologi dianggap dapat mendorong ketegangan
ekonomi yang merujuk pada embeddedness abadi antara negara dan pasar dalam
sosial-ekonomi, konsekuensinya tak ter­ masyarakat yang makin kapitalistik.
duga dan memungkinkan terjadi selisih
Lalu bagaimana dengan sosiologi
antara tujuan dan tindakan tersebut,
ekonomi di Indonesia yang menghadapi
kondisi tersebut berpengaruh terhadap
beragam karakter masyarakat mulai
kekuasaan.
tradisional, sampai dengan post-modern?
Dalam sisa penjelasannya, Portes meng­ Merespon keragaman tersebut embeded­
anggap asumsi tersebut sebagai upaya ness muncul dalam berbagai argumentasi,
“mereka” (contoh di atas), menetapkan dan perbedaan tingkat. Pada masya­
kerangka kerja bagi munculnya mekanisme rakat tradisional embededness muncul
penjelasan lebih spesifik dan identifikasi dalam wujud pengorbanan terhadap
argumentasi sosiologi ekonomi yang budaya dan kebudayaan, masyarakat rela
relevan untuk riset-riset lebih lanjut. berkorban untuk tradisi atau “ritual sosial”.
Pilihan meta-asumsi berbeda dari yang Sementara, pada masyarakat post-modern
konvensional disajikan dalam teks pada muncul argumen stratifikasi, simbol
sosiologi ekonomi “baru” yang hanya dan peran sosial. Kritik muncul ketika
mengidentifikasi dua poin pertama sebagai embededness di Indonesia lebih dimaknai
titik pijakan. Meskipun embeddedness untuk mengeneralisasi ragam variasi dan
inipun juga penting dikaji, hal itu tidak kondisi riil masyarakat, sehingga sifat
serta merta mengabaikan semua yang ada embededness-nya dinilai tidak cukup
dalam orientasi teoritik sosiologi ekonomi. kritis melihat perbedaan. Asumsi tersebut
Sebagaimana terlihat dalam tiga orientasi mendorong pengkonstruksian peristiwa
terakhir. “Mereka” bukan hipotesis yang ekonomi secara seragam. Pada level ini buku
akan diuji, namun ”lensa” di mana realitas Portes dapat memberikan pencerahan.
dipahami dan dieksplorasi. Sebaliknya, sosiologi ekonomi tidak banyak
mengalami perkembangan di Indonesia
Hasil akhir dari proses di atas adalah
karena para akademisi tidak menjadikan
telah muncul bentuk baru dari kapitalisme
Indonesia sebagai laboratorium (tolak ukur
yang diatur untuk menghasilkan kemiripan
empris) dan belum banyak melakukan
dengan ekonomi maju Eropa Barat yang
pengujian metode-metodologi sosiologi
lebih dekat dibandingkan dengan praktek
ekonomi, hal tersebut disayangkan meng­
spontan golongan elit Amerika Latin
ingat variasi kejadian dan peristiwa eko­
pada masa lalu. Untuk tujuan akademis,
nomi yang muncul banyak.
pelajaran metodologis yang dapat diambil
dari pengalaman ini adalah “de-embedding” Mendiskusikan praktik sosiologi eko­
dan “re-embedding” pasar dan pelaku nomi di Indonesia dalam pandangan barat
pasar Polanyi dapat diperiksa, diukur, dan akan menemui jalan buntu ketika negara
dimasukkan ke dalam proporsi yang jelas di bukan sebagai penengah (wasit), melainkan
mana versi sosiologi ekonomi Granovetter terlibat sebagai pemain dalam pasar.
belum menyebutkan dengan jelas. Sebagai Sebagai contoh, praktik CSR (Corporate
konsep middle range, embeddedness Social Responsibility) di Indonesia bisa

112
Derajad S. Widhyharto, REVIEW BUKU

dikatakan menghamba pada konsep


“embeded­ness” yang hanya berpijak pada
asumsi kuat dan lemah, asumsi tersebut
makin mempertegas keterkaitannya dengan
kekuasaan. Indikasinya ketika negara
terlibat mengumpulkan uang CSR, sehingga
negara tidak berdaya menyelesaikan
berbagai pertikaian kegiatan CSR karena
negara menjadi bagian dari pertikaian
tersebut. Alhasil, perusahaan mengeluarkan
uangnya sendiri, menyewa konsultan
sendiri dan mengeksekusi sendiri kegiatan
CSR. Jelas kondisi ini akan mendorong
subyektifitas kepentingan sepihak daripada
obyektifitas kepentingan umum. Jadi
pelaksanaan CSR sebenarnya bukan katub
penyelamat, melainkan melahirkan arena
baru dengan pemain baru dan tentunya
masalah baru.

Daftar Pustaka
Hann Crhis and Hart Keith (ed), 2009,
Market and Society: The Great
Tranformation Today, Cambrige
University Press, New York.
Granovetter, Mark, 1985, Economic Action
and Social Structure: The Problem
of Embededness, American Journal
of Sociology, Volume 91, issue 3
(November 1985), 481-510.

113
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012

Biodata Penulis

Aditya Permana: Menyelesaikan S1 Filsafat Universitas Gadjah Mada pada tahun 2009.
Sedang Menempuh S2 Filsafat di STF Driyakarya Jakarta. Penulis menaruh minat pada
kajian filsafat, teori sosial dan linguistik. Dapat dihubungi melalui email : Aditya.dwiloka@
gmail.com

Arief Rachman: Mahasiswa S3 di Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana


Universitas Gadjah Mada. Dapat dihubungi melalui email : ar06081957@yahoo.com

Derajad S. Widhyharto: Pengajar di Jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah


Mada. Mendalami kajian Sosiologi Ekonomi. Dapat dihubungi melalui email: derajad@
ugm.ac.id

Desintha Dwi Asriani: Menyelesaikan S2 Sosiologi di Universitas Gadjah Mada. Staff


pengajar di Jurusan sosiologi Fisipol UGM. Dapat dihubungi melalui : decint4@yahoo.
com

Dewi Cahyani Puspitasari: Menyelesaikan S2 Sosiologi di Universitas Gadjah Mada.


Staff pengajar di Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Dapat dihubungi melalui : cahyani_
puspita@yahoo.co.id

Djoko Suryo: Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Dapat dihubungi melalui email: djoko98@yahoo.com

Fina Itriyati: Pengajar dan sekretaris prodi sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada.
Dapat dihubungi melalui: itriya_15@yahoo.com

Heru Nugroho: Guru Besar Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada. Ketua Prodi
Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM serta Ketua Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM.
Dapat dihubungi melalui: herunug@yahoo.com

Irwan Abdullah: Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Pengajar pada
Jurusan Antropologi, UGM. Dapat dihubungi melalui: iabdullah@ugm.ac.id

Muhammad Supraja: Pengajar di Jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada.


Dapat dihubungi melalui: lostparadise3@yahoo.com

Nurhadi Yuwana: Mahasiswa S3 di Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana


Universitas Gadjah Mada. Dapat dihubungi melalui email : r.nurhadiyuwono@yahoo.com

Partini: Pengajar di Jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada. Dapat dihubungi
melalui email : partinislg@yahoo.co.id

114
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 Mei 2012

FORMULIR BERLANGGANAN
Kepada:
Jurnal Pemikiran Sosiologi
Jurusan Sosiologi, FISIPOL, UGM
Jl. Sosio Yutisia, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281.

Nama : ____________________________________________

Alamat : ____________________________________________

________________________Kode Pos :___________

Telepon : _______________________Fax :_________________

Email : ___________________________________________

Berlangganan Jurnal Pemikiran Sosiologi untuk,

Volume : ____No:___Tahun:________

__________,___________,20____

____________________________
Nama :

Harga berlangganan Jurnal Pemikiran Sosiologi Rp 75.000, per tahun, termasuk ongkos
kirim, sedangkan harga per eksemplar Rp 35.000.

Pembayaran :
 Transfer ke No. Rekening : 137-0006260810 a.n Heru Nugroho/Purwanto, Bank Mandiri Kantor
Cabang Magister UGM, Bulaksumur, Yogyakarta.
 Bukti transfer dan formulir (bisa di scan/copy) dapat di email dan fax ke alamat redaksi dengan
mencantumkan Redaksi Jurnal Pemikiran Sosiologi

115

Anda mungkin juga menyukai