D
inamika sosial telah menciptakan peluang dan tantangan kehidupan masyarakat,
ada yang mampu beradaptasi, ada yang bertahan, ada yang menghindar, ada
yang melawan dan ada pula yang menyerah. Kondisi tersebut mendorong diskusi
maupun pemikiran sosiologis bergerak dinamis dalam “arena konsep dan praksis”. Terdapat
beberapa isu yang dianggap menonjol mempengaruhi “arena” tersebut, diantaranya isu
pengelolaan sumber daya alam, kewarganegaraan, perempuan, tindakan, dan konsumsi.
Isu-isu tersebut memberikan ilustrasi perdebatan pemahaman dan argumentasi teoritik
maupun terapan.
Jurnal Pemikiran Sosiologi (JPS) Volume 1 No.2 November 2012, merupakan edisi kedua
yang diharapkan menjadi titik singgung berbagai perspektif dalam mewacanakan dinamika
sosial saat ini. Dalam penyajiaannya para penulis mengangkat berbagai isu tersebut dalam
kasus Indonesia. Pertama, Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah, alih-alih
memikirkan kepentingan rakyat, pemerintah justru membiarkan pengelolaan sumber daya
alam kepada investor asing. Kontestasi politik terjadi tidak hanya antara negara dengan
korporasi tapi juga dengan warga lokal. Kedua, Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko
Surjo, konflik sosial, politik masih terjadi dibawah kepakan sayap Pancasila, masalah muncul
ketika Pancasila dipahami sebagai instrumen negara, tetapi belum menjadi paham negara.
Ini ditunjukkan dengan berbagai ritualitas Pancasila yang belum menyentuh keyakinan
berbangsa dan bernegara masyarakat Ketiga, Partini, representasi politisi perempuan
menampilkan paradoks antara ide kesetaraan dengan kenyataan praksisnya. Perempuan
diwacanakan agar dapat menempati posisi strategis dalam skema pembangunan namun
implementasinya belum maksimal. Keempat, Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani,
peran perempuan dengan disabilitas baru bisa mendorong adanya transformasi gerakan
perempuan dengan disabilitas. Perubahan tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi dimana
sebelum gempa terjadi, wacana perempuan dengan disabilitas hanya dilihat sebagai
tragedi personal dimana persoalan disabilitas dilihat sebagai masalah individu. Kelima,
Dewi Cahyani Puspitasari, perempuan mampu mendayagunakan sumber ekonomi melalui
pemanfaatan stok modal sosial yang dimilikinya berupa jejaring sosial dalam lingkungan
sosial untuk mempertahankan bahkan meningkatkan ekonomi keluarga. Keenam,
Mohammad Supraja, suatu tindakan secara independen dapat dianggap sebagai subjek
yang melakukan tindakan, namun demikian tindakan merupakan serangkaian pengalaman
yang terbentuk melalui kesadaran nyata dan kesadaran individual aktor. Ketujuh, Aditya
Permana, kapitalisme baru mereifikasi petanda-petanda (signifiers) komoditi dan
melipatnya dalam kebutuhan-kebutuhan palsu (pseudo-needs) yang dijadikan ‘norma sosial’
iii
baru yang berlandaskan pada konsumsi. Kedelapan, Derajad S. Widhyharto, mereview
buku yang berjudul Sociology Economic a Systematic Inquiry. Untuk tujuan akademis,
pelajaran metodologis yang dapat diambil dari buku tersebut adalah “de-embedding” dan
“re-embedding” pasar dan pelaku pasar.
Redaksi
iv
KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN
BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
Abstrak
“Konstitusi Indonesia menjelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai
oleh negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi
kenyataannya berbeda, pengelolaan kekayaan alam, khususnya barang tambang seperti
mineral dan batubara tidaklah semudah yang dibayangkan dalam konsep teoritis, banyak
kepentingan di belakangnya. Alih-alih memikirkan kepentingan rakyat, pemerintah
justru membiarkan pengelolaan itu kepada investor asing. Kontestasi politik terjadi tidak
hanya antara negara dengan korporasi tapi juga dengan warga lokal. Artikel ini mencoba
menjelaskan fenomena kontestasi dan marginalisasi yang terjadi di Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur”
Kata Kunci : kontestasi, kapitalisme, marginalisasi
Abstract
“ Indonesian constitution explain that earth, water and natural resources are belongs
to state and used for the prosperity of Indonesian people. But the fact is different, the
management of natural resources especially mining such as mineral and coal is not
as easy as what the theoretical concept told, lots of interest behind that. Rather than
thinking about people’s prosperity, government let the foreign corporations to controls
the mining. Political contestation happens not just between state and corporation but
also the local people. This article wants to explain the phenomena of contestation and
marginalization that happened in Kutai Kartanegara, East Kalimantan.”
Keywords: contestation, capitalism, marginalization.
1
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
2
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
enam isu strategis harus dipatuhi: luas bisa melalui dua pos, yakni pos penerimaan
wilayah kerja pertambangan, perpanjangan pajak dan pos penerimaan bukan pajak.
kontrak, penerimaan negras, kewajiban Penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
divestasi, kewajiban pengolahan dan terkait dengan pertambangan selama ini
perunian, kewajiban penggunaan barang menunjukkan kecenderungan meningkat.
dan jasa dalam negeri. Akan tetapi pada PNBP dari migas meningkat sekitar 15
kenyataannya dalam praktik banyak persen per tahun selama 2005 hingga
kejadian yang menyimpang dari amanat 2010. Sementara itu, pertumbuhan PNBP
undang-undang tersebut. sektor pertambangan, termasuk batubara,
meningkat rata-rata 41,5 persen per tahun.
Dalam kasus tambang batubara juga
tidak jauh berbeda, Indonesia memiliki Akan tetapi, maraknya sektor per
cadangan sekitar 28 miliar ton, tetapi tambangan dan semakin meningkatnya
anehnya membebaskan ekspor dan per pendapatan negara atas eksploitasi
izinan tambangnya yang sangat mudah barang tambang tersebut tidak diikuti
didapat dari pemimpin daerah tanpa kontrol oleh peningkatan kesejahteraan rakyat.
memadai dari pemerintah pusat. Akibatnya Meskipun prestasi ekspor barang tambang
eksportir batubara menjadi raja-raja baru terbilang baik dan bisa meningkatkan
yang sangat kaya raya, dan investor asing penerimaan negara, soal perhitungan
menjamur karena kemudahan perizinan. bagi hasil yang berkeadilan, manfaatnya
Jadi pengelolaan batubara tidak dilakukan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat
oleh pemerintah, tetapi lebih banyak dan kelestarian lingkungan masih jauh
diserahkan pada pihak swasta atau investor, dari harapan. Berbagai kasus di Kali
terutama pihak asing. Investasi asing terus mantan Timur misalnya, para elite
meningkat sebagaimana ditunjukan pada politik dan investor sangat menikmati
realisasi penanaman modal asing yang hasil penambangan batubara, tetapi
meningkat rata-rata 185 persen pertahun. rakyat pada umumnya masih sengsara.
Melalui kebijakan yang mengundang Belum lagi kerugian sosial budaya yang
investor asing itu berbagai mineral, ditimbulkannya. Pada kenyataannya ke
batubara, hingga minyak dan gas di perut hadiran para penambang batubara oleh
bumi negeri ini dikeruk serta sebagian perusahaan swasta menimbulkan dampak
besar dijual ke luar negeri. Batubara sosial budaya yang sangat serius. Hilangnya
misalnya, hanya 23 persen produksinya modal sosial seperti nilai gotong royong,
dikonsumsi domestik. Semua itu dilakukan solidaritas, toleransi, dan kebersamaan
karena pemerintah ingin mendapatkan di masyarakat sekitar pertambangan
pemasukan negara secara lebih mudah adalah sederet persoalan sosial budaya
dan cepat. Memang, dibandingkan dengan yang disebabkan oleh ekploitasi tambang
sektor lain, pemasukan devisa dari ekspor batubara.
mineral, batubara, dan migas adalah paling
Demikian pula yang terjadi di wilayah
besar. Seperempat hingga sepertiga total
Kalimantan Timur yang merupakan wilayah
penerimaan negara berasal dari usaha
dengan kandungan batubara terbesar di
pertambangan. Aliran uang ke kas negara
Indonesia. Dalam duabelas tahun terakhir
dari kegiatan pertambangan secara umum
eksploitasi batubara atau yang dikenal
3
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
pula dengan sebutan emas hitam ini ber CV Binamitra Sumberarta, CV Firman
langsung secara besar-besaran. Berbagai Bersaudara, Gerbang Petani Mandiri,
investor berdatangan ke wilayah ini baik Kaltim Batu Manunggal, Komunitas
dari dalam maupun luar negeri untuk Bangun Bersama, Mery Jaya, Perdana
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya Maju Utama, Permata Hitam Indah, Rindu
dari tambang batubara. Didukung oleh Alam, Sejahtera, Tahta Pokmas, Tunas
kebijakan pemerintah daerah, eksploitasi Jaya, Mega Prima Persada, dan PT Bukit
emas hitam semakin menjadi-jadi, se Berdiri Enterprice. Kapasitas produksi
hingga menimbulkan kerusakan ekologi dari perusahaan batubara tersebut men
cukup signifikan. Maraknya penambangan capai 3.158 990 355 ton. Dari sejumlah
batubara dapat dilihat dari banyaknya perusahaan tersebut, sekitar 60 persen
kapal-kapal pengangkut batubara atau yang merupakan perusahaan asing sehingga
populer disebut Tongkang. Berdasarkan terkait dengan kapitalisme global.
hasil pengamatan di lapangan, setiap hari
Kabupaten Kukar benar-benar menjadi
lebih dari 10 kapal tongkang lalulalang di
tempat hunian dan sekaligus arena
sungai Mahakam mengangkut batubara
pertarungan para aktor yang memburu
untuk diekspor. Satu kapal tongkang ber
‘emas hitam’. Atmosfir kota Tenggarong
kapasitas rata-rata 8 ribu ton batubara,
pada khususnya, dan Kalimantan Timur
dengan nilai antara 6-9 milyar rupiah.
pada umumnya penuh dengan wacana di
Jika pada dekade tujuhpuluhan hingga
seputar isu batubara. Barang milik alam ini
sembilanpuluhan, sungai Mahakam ramai
telah menjadi teks dan praktik kebudayaan
dengan kapal-kapal yang mengangkut kayu
yang sarat dengan nuansa politik. Batubara
dari hutan tropis Kalimantan, sekarang
tidak lagi bermakna sebagai benda mati
lebih banyak didominasi komoditas barang
yang berfungsi sebagai salah satu sumber
tambang, khususnya batubara. Memang
energi, tetapi telah berfungsi menjadi
masih ada perdangangan kayu, tetapi
penentu dalam memaknai hidup. Dengan
volumenya jauh menurun dibandingkan
batubara warga Kutai Kartanegara meng
era Orde Baru. Sekarang berganti batubara
konstruksi identitasnya secara dinamik
yang menjadi komoditas strategis dan
yang termanifestasi pada gaya hidupnya
menjadi faktor determinan terhadap denyut
sehari-hari.
perekonomian Kalimantan Timur. Dengan
deposit sekitar 8 milyar ton batubara, Akan tetapi tidak jauh berbeda dengan
maka tidak mengherankan jika daerah daerah lain, maraknya pertambangan
ini sekarang bergantung pada komoditas batubara di Kaltim tidak berbanding lurus
batubara. Oleh karena itu batubara berada dengan tingkat kesejahteraan penduduk
dalam posisi sentral dan menentukan setempat. Penduduk di sekitar lokasi
terhadap berbagai sektor lainnya, terutama pertambangan kurang menikmati hasil
sektor perdagangan dan industri. emas hitam tersebut, hasilnya lebih banyak
dinikmati oleh para investor dan jajaran
Kaum kapitalis di Kutai Kertanegara
pejabat daerah. Bahkan masyarakat di
telah memiliki perusahaan yang bergerak
sekitar pertambangan semakin termar
dalam pertambangan batubara antara lain
ginalisasikan baik secara sosial maupun
CV Arya Duta, CV Benua Bara Lestari,
kultural. Semangat kebersamaan yang
4
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
dahulu menjadi modal sosial bagi tatanan negara. Proses ini merupakan hasil dari
kehidupan warga secara harmonis, kini perkembangan teknologi informasi dan
semakin memudar karena terkikis oleh arus komunikasi yang revolusioner, liberalisasi
kapitalisasi yang kian deras. Oleh karena itu perdagangan, dan keuangan di negara-
studi ini akan melihat bagaimana kondisi negara besar (Young Rae Kim dkk., 2002).
warga di seputar lokasi pertambangan Suatu proses meningkatnya keterkaitan
dari perspektif kajian budaya. Sejumlah antar masyarakat sehingga satu peristiwa
pertanyaan diajukan dalam studi ini antara terjadi di wilayah tertentu semakin lama
lain: siapa aktor dalam berebut batubara akan kian berpengaruh terhadap manusia
dan bagaimana proses tarik-menarik ke dan masyarakat yang hidup di bagian lain
pentingannya?; bagaimana ideologi kapi di muka bumi (Baylis dan Smith, 1997).
talis global beroperasi dalam struktur
Sebuah teori globalisasi yang banyak
kesadaran lokal dan menghancurkan nilai
dibicarakan dalam forum akademik secara
lokal?; dan bagaimana perlawanan warga
meluas, antara lain teori sistem-dunia dari
di seputar lokasi pertambangan terhadap
Immanuel Wallerstein. Teori ini merupakan
maraknya pertambangan batubara?
teori tentang sejarah, dan sejarah yang
B. Kajian Teoretik diteorisasikannya adalah sejarah kapital
isme global. Karya besar Wallerstein
Sebagai usaha untuk menjelaskan ber
terdiri dari tiga volume berjudul The
bagai fenomena di seputar marginalisasi
Modern WorldSystem diawali abad awal
warga di sekitar lokasi pertambangan maka
keenambelas yang panjang, periode lepas
peneliti menggunakan teori globalisasi
landas ekonomi dunia kapitalis. Inti dari
neo-Marxian dan teori modernisasi mulai
sistem dunia pada periode awal kapitalis
dari Wallerstein hingga Anthony Giddens.
yang terjadi di Prancis dan sekitarnya
Sementara itu tidak menutup kemungkinan
yang membentang di tepian sungai Rhine,
akan menggunakan teori lain yang
Inggris, dan juga kota-kota Italia utara
dipandang relevan dengan isu marginalisasi
berubah ke arah industri manufaktur sambil
penduduk lokal.
terus mengandalkan pada daerah-daerah
1. Teori Globalisasi periferi untuk mendapatkan produk-produk
Holm dan Sorensen memahami globali pertanian dan bahan-bahan baku lainnya.
sasi sebagai semakin meningkatnya inten Didukung oleh kekuatan dan kekuasaan
sitas hubungan lintas batas negara baik negara-negara yang semakin mapan, kelas-
dalam bidang ekonomi, politik, sosial, kelas kapitalis di pusat (center) membentuk
dan budaya (Holton, 1998). Wallerstein suatu siklus superioritas ekonomi dan
memandang globalisasi tidak lebih dari militer yang saling mendukung. Indus
wujud kejayaan ekonomi kapitalis dunia trialisasi negara-negara inti pada abad
yang diterapkan oleh logika akumulasi kedelapanbelas dan abad kesembilanbelas
kapital (Holton, 1998). Jin-Young Chung meningkatkan keunggulan relatif negara-
mendefinisikan globalisasi sebagai ter negara pusat itu, yang melahirkan satu fase
integrasinya dunia melalui peningkatan kolonisasi intensif dalam sejarah dunia
arus kapital, hasil-hasil produksi, jasa, yang tampaknya membawa seluruh bumi
ide, dan manusia yang lintas batas ini ke dalam ekonomi dunia kapitalis di
5
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
6
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
yang pada intinya mengklaim perlunya bahwa terdapat ciri-ciri progresif dan
efisiensi dan serba praktis atas nama emansipatoris globalisasi dan bahwa
peningkatan kualtias hidup manusia yang orang harus berbicara tentang keduanya.
menggunakan logika positivistik. Dalam Faktor pemisah utama, sekali lagi dengan
pandangan positivistik, perkembangan perspektif dialektik adalah perbedaan
masyarakat bergerak secara linier, dimulai antara globalisasi yang dipaksakan dari
dari masyarakat primitif, tradisional, atas dengan yang tumbuh dari bawah. Yang
dan modern. Konsekuensi atas obsesi kedua ini adalah akibat dari kontestasi dan
berkembang menjadi masyarakat modern, rekonfigurasi hal-hal yang diterapkan pada
maka asumsi utamanya adalah bahwa tingkat masyarakat yang lebih rendah.
primitivitas dan tradisionalisme adalah Demokrasi bisa berasal dari bawah, dan
penghambat masyarakat modern. Karena pada taraf global hal ini bertentangan
itu jika pilihannya menjadi masyarakat dengan kekuatan otoriter dari atas (Kellner,
modern, maka harus diikuti oleh detra 2002, dalam Ritzer, 2004: 636).
disionalisasi.
Sementara itu Ulrich Beck membedakan
Menurut Anthony Giddens, globalisasi tiga konsep utama, yaitu globalisme,
sebagai sebuah proses sosial ditandai globalitas, dan globalisasi. Globalisme
dengan semakin intensifnya hubungan adalah pandangan bahwa dunia ini
sosial yang mengglobal. Kehidupan sosial didominasi oleh ekonomi dan bahwa kita
di satu wilayah akan berpengaruh pada tengah menyaksikan munculnya hegemoni
kehidupan manusia di wilayah lain. Pada pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal
kenyataannya, yang mengalami globalisasi yang mendukungnnya. Bagi Beck, hal itu
adalah nilai-nilai modernitas yang ber melibatkan pemikiran monokausal dan
ekspansi ke wilayah-wilayah tradisional, linier. Multidimensionalitas perkembangan
terutama ke daerah pedesaan dan pinggiran. global seperti ekologi, politik, kebudayaan,
Oleh karena itu modernitas sebagai sebuah dan masyarakat sipil secara tidak tepat
gerakan yang mengglobal terus melakukan direduksi menjadi satu dimensi ekonomi
tekanan pada tradisionalisme. tunggal. Kendati mengkritik globalisme,
Beck melihat adanya sejumlah nilai
Sementara itu, Douglas Kellner mem
lebih dalam gagasan globalitas, di mana
punyai perhatian terhadap fenomena
ruang-ruang tertutup, khususnya yang
globalisasi yang dilihatnya dari perspektif
diasosiasikan dengan bangsa, semakin
kritis dan neo-Marxian. Ia berargumen
menjadi ilusi. Mereka menjadi ilusi karena
bahwa kunci untuk memahami globalisasi
globalisasi, atau proses ketika negara-
adalah dengan meneorikannya sekaligus
negara bangsa yang berdaulat dikotak-
sebagai produk revolusi teknologi dan
kotakan dan digerogoti oleh aktor-aktor
restrukturisasi global atas kapitalisme.
transnasional dengan beragam prospek
Namun, perubahan itu terkait erat dengan
kekuasaan, orientasi, identitas, dan
faktor-faktor politik dan sosial, karena itu
jaringan. Proses transnasional itu bukan
ia menganjurkan agar melihat globalisasi
hanya bersifat ekonomis, tetapi juga
dari perspektif dialektik antara teknologi,
melibatkan masalah ekologi, kebudayaan,
ekonomi, politik, dan kebudayaan.
batas-batas negara, dan masyarakat sipil.
Perspektif dialektik juga menjelaskan
7
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
8
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
dan pencarian pasar baru yang didorong masa restrukturisasi kapitalisme pada tahun
oleh korporasi kapitalis menjadikan mereka 1980-an dan 1990-an. Memang, bagi Harvey
sensitif terhadap pertanyaan tentang lokasi dan Castells, reorganisasi kota adalah suatu
keuntungan relatif yang mereka peroleh. aspek dari restrukturisasi kapitalisme
Upah kerja yang lebih rendah, unionisasi pada skala global, mengilustrasikan bahwa
yang lebih lemah dan konsesi pajak meng tempat kehidupan perkotaan tengah berada
arahkan perusahaan untuk lebih memilih di atas jalan panjang ketergantungan dan
tempat-tempat tertentu ketimbang tempat eksploitasi yang membangun kapitalisme
lain sebagai lokasi perkebunan, pasar di seluruh penjuru dunia (Barker, 2000:
dan pembangunan. Mirip dengan itu, 316). Dengan penjelasan Harvey dan
kebutuhan untuk menemukan bentuk Castells tersebut kota Tenggarong tumbuh
investasi alternatif, dan kondisi khas pasar pesat karena kehadiran kaum kapitalis
dan intervensi negara, membantu sejumlah yang mengekplorasi dan mengeksploitasi
sektor ekonomi (dan beberapa tempat) sumber daya alam, khususnya batubara.
untuk mendapatkan preferensi (Barker, Para kapitalis mencari wilayah baru dan
2000:316). memperluas usahanya dengan melakukan
diversifikasi usaha, setelah menjadikan
Bagi Harvey, negara telah memainkan
bisnis batubara sebagai bisnis utama.
peran utama dalam reproduksi kapitalisme
Para pemburu batubara ini kemudian
dan pembentukan lingkungan perkotaan.
meramaikan dan bahkan menjadi faktor
Sebagai contoh, ekspansi pasca perang
penentu bagi berbagai sektor di Tenggarong.
warga suburban adalah akibat dari,
Berkelindan dengan kekuatan birokrasi
paling tidak sebagian, pembebasan pajak
dan politik lokal, maka perburuan batubara
yang diberikan kepada pemilik rumah
menjadikan Tenggarong benar-benar
dan perusahaan konstruksi, dijalankan
menjadi arena pertarungan dari berbagai
nya pengaturan pinjaman oleh bank/
kepentingan. Praktik kebudayaan kota pun
asosiasi pengembang, dan beroperasi
mengalami dinamika luar biasa, dan tentu
nya transportasi, telekomunikasi dan
saja dalam pertarungan itu ada pihak yang
infrastruktur kesejahteraan yang diper
dominan dan ada yang terpinggirkan.
lukan agar kawasan suburban bisa ber
kembang. Bagi Castells, rumah, sekolah, 4. Teori Marginalitas
jasa transportasi, fasilitas hiburan dan
Sementara itu untuk menjelaskan
pembagian kesejahteraan adalah suatu
fenomena marginalitas penduduk lokal
aspek dari ‘konsumsi kolektif’ yang melekat
dalam kaitannya dengan globalisasi
dalam kapitalisme dan penciptaan suatu
sebagai sebuah gerakan, bisa meminjam
lingkungan perkotaan yang kondusif bagi
penjelasan dari teori ketergantungan.
bisnis.
Dalam konteks global, hubungan pusat
Kota dikatakan sebagai tempat per dan pinggiran ada yang mencoba mengkaji
juangan kelas yang ditimbulkan oleh dari teori ketergantungan. Gunder Frank
kapitalisme dan ditandai oleh perseteruan (1957) mengenalkan teori ketergantungan
atas kontrol ruang dan distribusi sumber pada tahun 1967 dengan memanfaatkan
daya. Ini meliputi konflik atas pemotongan tesis Paul Baran yang menyatakan bahwa
pengeluaran untuk kesejahteraan selama eksploitasi Dunia Ketiga tidak hanya makin
9
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
10
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
11
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
oleh masyarakat Kaltim populer diplesetkan dengan pemerintah pusat, mereka ber
kepanjangan dari Batu Tuhan Bagi Rata. tarung untuk mendapatkan restribusi
batubara. Sementara kontestasinya dengan
Pemerintah melalui Kementerian ESDM,
para investor, dengan “senjata” Perda
mengklaim mempunyai kewenangan utama
Pembuangan Limbah, adalah cara untuk
dalam kepemilikan batubara, sehingga
mendapatkan bagian kue batubara dengan
siapa pun yang ingin mengelola batubara
menekan para investor.
harus berurusan dengan pemerintah pusat.
Oleh karena itu hasil tambang batubara Memang harus diakui bahwa niat awal
sebagian besar harus diambil pemerintah Pemkab Kukar menerbitkan berbagai
pusat. Sementara itu pemerintah daerah produk hukum, seperti Perda dan SK
baik Pemprov Kaltim dan Pemkab Kutai Bupati misalnya, untuk mengatur tata
Kartanegara juga menjadi kontestan kelola pertambangan batubara demi kepen
perebutan batubara. Dengan mengklaim tingan kesejahteraan rakyat, dan sekaligus
sebagai tanah wilayahnya, maka siapa pun peduli pada pelestarian lingkungan
yang ingin menambang batubara harus hidup. Perda Pembuangan Limbah ter
seiizin pemerintah daerah. Meskipun sama- sebut misalnya, jelas spirit utama pro
sama aktor dari kalangan pemerintah, di duk hukum ini adalah demi menjaga
antara mereka juga berkontestasi. Misalnya pelestarian lingkungan hidup. Munculnya
persoalan retribusi batubara, hingga peraturan ini pun merupakan respons
sekarang tarik-menarik kepentingan antara atas munculnya masalah ketidaktertiban
pemerintah pusat dan pemkab Kukar dan ketidakpedulian perusahaan batubara
masih terus terjadi. Pemkab Kukar merasa terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi
memiliki wilayah luas yang kaya kandungan Perda semacam itu jika dicermati secara
batubara, tetapi kurang memberikan teliti merupakan modus elite pemerintah
kontribusi signifikan terhadap APBD. untuk berebut rejeki batubara. Ada celah
Karena itu pernah Pemkab Kukar membuat yang digunakan untuk memeras para
Perda untuk memungut retribusi 50 cen US perusahaan sehingga menjadi pintu masuk
Dollar per tonnya, tetapi Perda ini ditolak untuk mengakses rejeki batura. Jadi
oleh pemerintah pusat. modusnya menjual pasal-pasal yang berisi
sangsi atau ancaman kepada para investor,
Merasa sulit memungut dari Perda
tetapi sekaligus membuka ruang untuk
retribusi, maka Pemkab Kukar membuat
“negosiasi”. Sudah menjadi rahasia umum
Perda lain yang berpotensi untuk men
jika makna negosiasi di sini adalah bersifat
dapatkan rejeki “emas hitam”. Perda
transaksional. Karena itu soal Amdal
No. 2 Tahun 2006 Tentang Izin Pem
misalnya, akan dengan mudah menjadi
buangan Limbah untuk Kegiatan Per
ajang permainan negosiasi yang ujung-
tambangan Batubara, adalah sebuah
ujungnya adalah uang dengan prinsip tahu
produk perundangan yang pada praktiknya
sama tahu.
sangat membuka peluang Pemkab untuk
menekan perusahaan penambangan batu Sudah menjadi rahasia umum pula
bara. Pembuatan peraturan oleh Perda jika kalangan birokrat pemerintahan jika
Pemkab Kukar juga merupakan cara untuk berelasi dengan kaum bisnis menjadikan
berebut kue batubara. Ketika berkontestasi segenap produk hukum sebagai komoditas
12
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
13
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
14
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
pejalan kaki, pengendara sepeda dan sepeda angkutan, sebesar Rp 25.000. Dari jumlah
motor, atau menyerempet hewan piaraan. itu Rp 22.000 sebagai jaminan jika terjadi
Bahkan ada kalanya terjadi “kecelakaan”, kecelakaan, sedangkan Rp 3.000 dibagikan
dalam arti kecelakaan artifisial yang ke warga melalui unit sosial RT. Tidak ada
dilakukan oleh warga dengan melempar dasar hukum apa yang digunakan oleh
sepeda motor ke kolong truk pengangkut Koperasi Oasis tersebut untuk mengutip
batubara yang sedang lewat. Kalau perlu jasa tersebut. Oleh karena itu jika dilihat
sepeda motor yang tadinya rusak ringan, dari aspek hukum formal, maka tindakan
oleh warga sengaja di remuk sendiri, agar koperasi itu merupakan ilegal dan
mendapat ganti rugi sepeda motor baru. merupakan bentuk pemalakan terorganisir.
Jika sudah terjadi kecelakaan, pihak
2. Negara Lemah
perusahaan penambang harus membayar
ganti rugi yang besarnya ditentukan secara Dalam situasi kontestatif seperti itu,
sepihak oleh warga yang terorganisir. ironisnya negara tidak tampil cukup kuat
Ada juga yang meminta ganti rugi atas dalam upaya menyeselesaikan konflik-
makam yang terkena lahan penambangan, konflik yang terjadi antara perusahaan
dengan harga yang mahal. Ada warga penambangan batubara dengan warga.
yang kebetulan makam leluhurnya Konflik yang terjadi di kawasan jalan
terkena penambangan batubara, minta negara, seharusnya kepolisian tampil
ganti rugi 1 milyar per makam. Modus- tegas menegakkan aturan dalam berlalu-
modus semacam itu sering terjadi, yang lintas. Tetapi ketika berhadapan dengan
motif utamanya adalah perolehan ganti ormas dan warga, seringkali justru bukan
rugi. Argumennya adalah imajinasi para polisi yang melerai tetapi ormas-ormas
warga, bahwa penambang batubara adalah tersebut dan di Kecamatan Samboja adalah
pengeruk kekayaan dan banyak uang dan Koperasi Oasis. Pemkab juga tidak berdaya
cara semacam itu adalah cara yang paling dalam menghadapi situasi kontestatif
mudah bagi warga untuk memperoleh dan konfliktual di seputar eksplorasi
bagian dari pengurasan kekayaan sumber batubara di Kukar. Bahkan Pemkab
daya alam bumi Kalimantan. seringkali tampil lemah ketika terjadi
konflik antarperusahaan akibat tumpang-
Situasi kontestasi secara vulgar tersebut
tindihnya perizinan. Sebagai ilustrasi,
kemudian mendorong salah satu kelompok
dalam proses perijinan tambang batubara
yang menawarkan gagasan koperasi untuk
yang diberikan oleh Bupati/Walikota masih
mengatasi konflik antara perusahaan
sering menimbulkan masalah, karena
dengan warga. Koperasi itu bernama
lokasi tambang yang sudah berijin oleh
Oasis yang menghimpun sejumlah armada
Pemkab/Pemkot diterbitkan ijin kembali
pengangkut batubara untuk bernegosiasi
oleh pemerintah setempat yang lokasinya
dengan warga setempat jika terjadi
sebagian atau keseluruhan sebenarnya
kecelakaan. Jumlah anggota Koperasi Oasis
sudah berijin. Masalah ini timbul biasanya
mencapai 700 truk yang pemiliknya adalah
lokasi penambangan batubara sudah berijin,
warga perseorangan juga. Melalui koperasi
tetapi belum ada aktivitas penambangan
ini disepakati adanya iuran rutin dari para
dan kemudian dijual kepada pihak lain.
pengangkut per unit truk satu kali tarikan
Jika sudah terjadi konflik antarpemilik
15
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
ijin seperti itu masing-masing perusahaan bara hingga ke zona “aman”. Akan tetapi
mengerahkan massa dan terjadi bentrokan. semua yang menggunakan simbol-simbol
negara, mengalami proses individualisasi
Lebih dari itu, lemahnya negara dalam
tepat ketika berada pada titik perolehan
situasi kontestatif berebut batubara di
imbalan uang. Artinya, ketika bernegosiasi
Kukar, karena negara juga menjadi bagian
menggunakan simbol-simbol negara atau
dari usaha penambangan. Warga Kukar
mengklaim menjadi bagian struktur negara,
sudah mengetahui jika pemilik perusahaan
tetapi begitu mendapat imbalan uang dari
penambangan batubara juga dari kalangan
perusahaan batubara tidak masuk kas
elite pemerintahan, petinggi kepolisian,
negara, namun dinikmati secara individual.
dan petinggi TNI. Dengan kata lain, di
Praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse
balik aktivitas eksplorasi batubara di bumi
of power) seperti itu sudah lazim dalam
Kalimantan adalah para elite yang memiliki
proses kontestasi berebut emas hitam di
modal kekuasaan dan modal ekonomi
bumi Kalimantan.
kuat. Di luar praktik politik perijinan dan
jual jasa keamanan terhadap perusahaan, Amdal pun juga tidak luput dari
para elite di Kukar juga sejak awal sudah permainan kontestasi yang bermotif
bermain dalam bisnis batubara. Bahkan ekonomi politik. Melalui penggunaaan
sejak proses mencari kekuasaan melalui legalitas aturan tentang lingkungan hidup
Pilkada misalnya, sudah ditengarahi untuk entah berupa UU atau Perda, aparat
mendapatkan konsesi batubara. Muncul birokrasi dan juga segenap ormas meng
tesis, terdapat hubungan signifikan antara hembuskan isu kerusakan lingkungan atas
peningkatan ijin penambangan batubara nama penegakkan Amdal. Perusahaan
dengan mendekatnya waktu menjelang sering dituduh tidak mempedulikan
Pilkada. Sudah menjadi pengetahuan masalah Amdal dan melanggar aturan.
umum, bahwa para tim sukses dari setiap Pada kenyataannya memang demikian,
calon bupati akan mendapatkan konsesi sejumlah kawasan penambangan batubara
perijinan penambangan batubara. meninggalkan bekas pengerukan sehingga
bumi Kalimantan tampak terkoyak. Jika
Sementara itu, aparat keamanan dan
dilihat dari udara, tampak jelas sebagian
pertahanan juga menjadi bagian dari
besar wilayah Kalimantan Timur bekas-
perebutan mengais rejeki batubara ini.
bekas eksplorasi penambangan sehingga
Mekanismenya tampak pada relasinya
bumi Kalimantan tampak bopeng-bopeng.
dengan perusahaan dan kekuatan ter
Logikanya, jika isu Amdal dijadikan
organisir warga baik ormas maupun LSM
argumen untuk menegur perusahaan,
dan organisasi adat. Di tengah situasi
kelestarian lingkungan tetap terjaga.
konfliktual itu, aparat kepolisian juga
Tetapi karena sejak awal isu itu memang
mendapatkan peluang untuk kebagian
untuk mendapatkan uang, maka meskipun
rejeki batubara. Sedangkan aparat
perusahaan sudah mengeluarkan ganti
TNI di darat juga ikut mengamankan
rugi pada penuntut penegakkan Amdal,
dan memberi garansi keamanan pada
tetapi bumi Kalimantan tetap rusak. Uang
perusahaan, termasuk keamanan hingga
ganti rugi itu tidak untuk memperbaiki
ke laut. Ada semacam jasa pengawalan
lingkungan tetapi masuk kantong individu
terhadap kapal-kapal pengangkut batu
16
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
aparat birokrasi, aparat keamanan, juga sebuah pencapaian luar biasa untuk ukuran
ormas, dan bahkan LSM. Jadi isu Amdal setingkat kabupaten. Tidak heran jika
juga mengalami proses komodifikasi oleh di Kukar berdiri bangunan perkantoran
sejumlah pencari rente. yang amat megah dan mewah, dan bahkan
stadion berhasil dibangun dengan kapasitas
3. Pemiskinan Warga
penonton 60 ribu. Infrastruktur jalan di
Pemerintah Provinsi Kaltim berniat perkotaan lebar dan mulus, sementara
membangun wilayahnya dengan sejumlah fasilitas publik lain pun juga dibangun
program jangka menengah dan jangka seperti fasilitas taman rekreasi yang berada
panjang. Tidak ada jalan lain untuk di tengah delta sungah Mahakam. Kukar
mewujudkan mimpinya, kecuali harus pun kemudian sering dipercaya untuk
mengundang perusahaan tambang menyelenggarakan event berskala nasional,
dengan harapan menciptakan lapangan seperti Pekan Olahraga Nasional, MTQ
kerja, mendongkrak PAD, meningkatkan Nasional, dan berbagai pertemuan tingkat
akselerasi pembangunan, dan kemudian tinggi. Semua itu karena daerah ini memiliki
berusaha memperbaiki kerusakan alam PAD yang sangat fantastis untuk ukuran
yang ditimbulkan penambangan. Akan kabupaten. Akan tetapi, di tengah gemerlap
tetapi sebagaimana di daerah lain, pada dan limpahan PAD itu, tingkat kemiskinan
kenyataannya niat baik itu justru menjadi penduduk Kukar cukup tinggi. Mereka ini
mimpi buruk, terutama bagi warga tampak di pemukiman di kawasan pinggir
penduduk sekitar tambang. Itu semua sungai Mahakam, pelabuhan, dan kawasan
karena sekitar 70 persen ekstrak batubara pedalaman yang kondisi perumahan
yang menghasilkan 12,5 milyar ton hingga dan fasilitas kesehatannya sangat
2008 diekspor ke beberapa negara. memprihatinkan. Di pelabuhan Samboja
Sementara penduduk sekitar pertambangan misalnya, tampak nyata perbedaannya.
tetap saja miskin, tidak jauh berbeda kita Sebuah rumah penambang batubara berdiri
belum ada eksplorasi batubara. Sebagai megah di tengah pemukiman kumuh para
ilustrasi, dari sekitar 1.410 desa di Kaltim, nelayan yang jauh lebih banyak jumlahnya.
ternyata baru 610 desa yang mendapatkan
Mengapa di tengah eksplorasi besar-
pasokan listrik, itu pun sering kali terjadi
besaran penambangan batubara, penduduk
pemadaman listrik, atau populer dengan
sekitar kurang mendapat akses meraih
listrik byar pet.
keuntungan? Salah satu faktor penyebabnya
Sebuah ironi di daerah kaya energi antara lain karakter tambang batubara
batubara, dan mereka ibarat ayam mati bersifat padat modal. Untuk menggali
di lumbung padi. Sudah tentu ironi itu batubara di area hutan diperlukan peralatan
bersumber dari persoalan salah kelola berat seperti esvakator, buldoser, dan alat
oleh pemerintahnya, terutama faktor transportasi berskala besar. Di samping
kultural yang hanya ingin cepat mencari memerlukan modal besar, karakter seperti
untung dengan hanya menjual sumber itu kurang menyerap tenaga kerja yang
daya alam. Memang Kabupaten Kukar berasal dari penduduk setempat. Untuk
terkenal sebagai daerah kaya, PAD-nya mengoperasikan sejumlah peralatan utama
pun pernah mencapai 7 trilyun lebih, pertambangan batubara diperlukan latar
17
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
18
Nurhadi Yuwana, Heru Nugroho, Irwan Abdullah: KONTESTASI ELITE DAN MARGINALISASI
PENDUDUK LOKAL DI LOKASI PERTAMBANGAN BATU BARA KUTAI KARTANEGARA
19
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
hukum karena determinisme keuntungan Lechner, F.J., Boli,J. (2005) World Culture:
ekonomi. Sejumlah petinggi kepolisian dan Origins and Consequences. Oxford:
TNI pun ikut berbisnis batubara. Oxford University Blackwell.
Maleong, Je. Lexy, 1991, Metode Penelitian
Di tengah hiruk-pikuk kontestasi
Kualitatif, Bandung: Remaja
perebutan penambangan batubara di bumi
Rosdakarya.
Kalimantan, denyut perekonomian Kukar
Ritzer, George and Douglas J. Goodman,
dan Kaltim pada umumnya memang terasa
2004, Sociological Theory, New
menguat. Akan tetapi ironisnya, di tengah
York: McGraw-Hill.
gelimang uang batubara, warga masyarakat
Robertson, R., 1992, Globalization, London
sekitar masih banyak yang miskin. Lebih dari
and Nesbury Park, CA:Sage.
itu, apa pun yang terjadai dalam aktivitas
Spivak, Gayatri. 1988. “Can the Subaltern
penambangan, tetapi satu hal yang jelas
Speak?” Marxism and the
bahwa kerusakan alam tak terhindarkan.
Interpretation of Culture: 271–313.
Bumi Kalimantan terkoyak, terkelupas, dan
Wallerstein, I. (1990) “Culture as the
merana di tengah ambisi dan mesin hasrat
Ideological Battleground of the
kapitalisme yang tak terpuaskan.
Modern World-System” Theory,
Culture Society 7:31-25.
Wallerstein, I. (2003) The Decline of
American Power. New York: New
Press.
Daftar Pustaka
Wallerstein, I. (2004) World-System
Analysis: An Introduction. Durham,
Beck, Ulrich, 2000, What Is Globalization?,
NC: Duke University Press.
Cambridge, England: Polity Press.
Boli, J., dan Lechner F.J. (2009) Teori
Globalisasi. Dalam Bryne S. Turner
(eds). The New Blacwell Companion
to Social Theory. Molden: Backwell
Publishing Ltd.
Bouman, P.J. 1982. Sosiologi Fundamental.
Bandung: Djambatan
Frank, Gunder. 1957. The Political Economy
of Growth. New York: Pinguins
Book.
Giddens, Anthony, 1991, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in
the Late Modern Age. Stanford
California: Stanford University
Press.
Kellner, Douglas, 2002, “Theorizing
Globalization”, Sociological Theory
20: 285-305.
20
WACANA PANCASILA DALAM ERA REFORMASI
(STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG
SURUT WACANA PANCASILA DALAM
KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
Abstrak
“ Pancasila sebagai dasar negara telah mendapat tempat di hati para pemimpin bangsa ini.
Sebaliknya, pancasila belum mendapat tempat dalam kehidupan bersosial dan berpolitik
bangsa ini. Konflik sosial, politik masih terjadi dibawah kepakan sayap Pancasila, masalah
muncul ketika Pancasila dipahami sebagai instrumen negara, tetapi belum menjadi paham
negara. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai ritualitas Pancasila yang belum menyentuh
keyakinan berbangsa dan bernegara masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan upaya meng
geser pemahaman Pancasila dari bentuk instrumental dengan sekadar menghafal sila
Pancasila, menuju bentuk kontestasi dengan terlibat dalam “arena” Pancasila.’
Kata Kunci : Pancasila, Ideologi, Kontestasi, Cultural Studies
Abstract
“Pancasila as the foundation of state and nation has a special position in the heart of
Indonesia’s leader. In contrast, Pancasila has not get a prestigious place in social and
political life. Social and political conflict still happens in the name of Pancasila. The
problem arises when people only understand Pancasila as a tool for the state. This is
shown in Pancasila’s rituality that has not touch the fundamental believe of the nation.
It is important to shift the meaning of Pancasila from instrumental into contestation in
the field of Pancasila.”
21
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
etnis, ras, dan kemudian orientasi politik aliran, secara berturut-turut adalah PNI,
yang penuh varian, membuat semakin sulit Partai Masyumi, NU, dan PKI.
merumuskan basis ideologis yang sekiranya
Berkait dengan pilihan ideologi mana
mampu mengikat sebagai sebuah bangsa.
yang akan menjadi pilihan utama untuk
Adalah Soekarno dan beberapa tokoh lain
panduan arah kehidupan bermasyarakat,
yang kemudian mencoba menawarkan
berbangsa, dan bernegara, pada era peme
sebuah ideologi yang dipandang mencakup
rintahan Soekarno hanya diwarnai oleh
dan sesuai dengan kondisi sosio-kultural
tarik-menarik antara kekuatan Islam politik
serta politik bangsa Indonesia, yaitu yang
dan nasionalis. Isu ini berkait dengan pilihan
dulu hingga sekarang dikenal dengan
ideologi apa yang akan menjadi dasar
Pancasila. Sejak saat itu wacana (discourse)
negara Indonesia. Pada kubu Islam politik
tentang Pancasila sebagai ideologi negara
menuntut agar Indonesia berdasarkan
mengalami pasang surut mengikuti
agama, yaitu Islam dengan pertimbangan
dinamika sistem politik yang berlaku di
mayoritas penduduk Indonesia beragama
Indonesia.
Islam. Sementara kubu nasionalis dengan
Ketika Soekarno berkuasa, dunia inter pertimbangan kondisi obyektif Indonesia
nasional diwarnai oleh tarik menarik ideologi yang plural, menawarkan Pancasila sebagai
yang sangat kuat, yaitu antara liberalisme- dasar negara. Sebegitu jauh, setelah melalui
kapitalisme di satu pihak, dan sosialisme- perdebatan panjang, terutama pada Sidang
komunisme di pihak lain. Situasi konfliktual Konstituante, akhirnya tawaran kubu
itu juga mewarnai pertarungan ideologis di nasionalis yang diterima, dan dengan
Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai demikian Pancasila “diterima” sebagai
era maraknya politik aliran. Secara politik dasar negara.
kekuatan politik di awal kemerdekaan
Akan tetapi, sebagai sebuah kesepakatan
terbagi ke dalam beberapa aliran ideologis,
politik, Pancasila belum dianggap selesai
yaitu golongan nasionalis, Islam politik,
dan terus membuka perdebatan di antara
sosialis, dan komunis. Varian ideologis ini
kedua kubu tersebut. Oleh karena itu, bangsa
kemudian mewujud dalam kekuatan politik
Indonesia terus mengalami disorientasi,
kepartaian, yaitu Partai Nasional Indonesia
karena belum ada kesepakatan final
(PNI) yang berbasis nasionalisme, Partai
tentang nilai dasar apa yang akan menjadi
Majelis Suro Indonesia (Masyumi) dan
arah dan pedoman dalam kehidupan sosial
Nahdlatul Ulama (NU) yang berbasis Islam,
politik dan kebudayaan. Kekuatan Islam
dan kemudian Partai Komunis Indonesia
politik terus menggelindingkan wacana
(PKI) serta Partai Sosialis Indonesia (PSI)
ideologi Islam sebagai dasar negara, dan
yang mengusung ideologi kiri. Melalui
spirit untuk mewujudkan cita-cita negara
partai politik itu kemudian berbagai aliran
Islam terus hidup laten. Meskipun dalam
ideologis tersebut berkontestasi merebut
perkembangan selanjutnya kekuatan Islam
kekuasaan melalui Pemilihan Umum pada
politik terpecah-pecah, tetapi tetap gerakan
tahun 1955 yang diikuti oleh puluhan partai
yang menggelindingan wacana ideologi
politik. Pemilu pertama kali itu kemudian
Islam terus berkembang sebagai wacana
menghasilkan empat kekuatan politik
alternatif ideologi Pancasila.
besar yang mencerminkan kekuatan politik
22
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
23
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
ideologi negara, dan demikian pula buku, nya dari fase pemerintahan sebelumnya.
leaflet, brosur, dan sejenis terus diproduksi Negara tidak tampil begitu perkasa seperti
berisi wacana Pancasila. pada era Orde Baru, tetapi mengalami
pelemahan terhadap berbagai kekuatan
Pancasila sebagai wacana dominan
yang berkembang dalam masyarakat.
mengalami puncak intensitas dan per
Dengan kata lain, negara tidak lagi memiliki
luasannya ketika pemerintah Orde Baru
otonomi relatif terhadap kekuatan di luar
mengharuskan semua organisasi kema
pemerintahan, termasuk media massa,
syarakatan dan organisasi politik kepar
sehingga kontrol negara sangat lemah
taian menggunakan Pancasila sebagai
dan bahkan tidak berdaya. Sebaliknya,
asasnya. Di sinilah kemudian ditetapkan
kekuatan masyarakat semakin menguat,
Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap
baik melalui organisasi maupun kekuatan
organisasi, tidak peduli apa yang menjadi
sporadis yang terekspresi dalam berbagai
paham dasar organisasi tersebut. Partai
bentuk aksi unjuk rasa. Tindakan anarkisme
politik yang berpaham Islam pun, yaitu
massa pun sering terjadi, dan konflik
Partai Persatuan Pembangunan, harus
antarsuku, antaragama, dan antargolongan
berasaskan Pancasila, dan bahkan ormas
terjadi secara susul-menyusul. Berbagai
keagamaan seperti Muhammadiyah dan
penjarahan terhadap aset negara seperti
NU juga diharuskan menerima Pancasila
hutan dan sektor pertambangan oleh
sebagai asas tunggal.
kekuatan sporadis massa sering terjadi.
Pancasila di masa Orde Baru merupakan Simbol-simbol negara seperti kantor
ideologi yang sengaja didesain menjadi pemerintahan, kantor kepolisian, dan
ideologi yang bersifat state-centered theory kantor legislatif sering menjadi sasaran
yang diterapkan dalam kerangka bagaimana amuk massa.
agar masyarakat patuh dan tunduk. Negara
Uraian di atas menunjukkan bahwa saat
dengan berbagai cara melakukan penaklukan
ini terjadi perubahan wacana dan paradigma
tersebut yang berdampak pada tingkat
mengenai keberadaan Pancasila. Pancasila
kepatuhan yang sangat tinggi melalui apa
telah dijadikan sebagai arena kontestasi
yang disebut state apparatus.Terlepas dari
di satu sisi, dan sebagai arena negosiasi
Pancasila sebagai instrumen politik Orde
di sisi lain. Bahkan, terdapat pula upaya
Baru, tetapi pada fase ini wacana Pancasila
yang dengan berbagai cara meminggirkan
benar-benar mendominasi atmosfir ke
Pancasila sehingga mengalami perubahan-
hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
perubahan yang mengancam keutuhan
bernegara. Fase ini wacana Pancasila
bangsa sehingga ia pun terus dibawa
mengalami pasang.
pada perdebatan-perdebatan baik politis
Ketika berakhirnya era Orde Baru, terjadi maupun akademis. Hal ini menjadikan
perubahan sistem politik dari otoritarian posisi Pancasila yang ditempatkan pada
ke sistem politik demokratik, Indonesia arena kontestasi dan negosiasi tidak hanya
memasuki apa yang dikenal sebagai era merupakan sebuah fenomena kebangsaan
reformasi. Fase ini terjadi perubahan yang harus direspons dengan bijak, tetapi
signifikan dalam penyelenggaraan pemerin juga merupakan persoalan akademik yang
tahan yang sangat jauh berbeda karakter membutuhkan kajian dan diskusi yang
24
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
mendalam untuk menemukan sebuah kelompok. Adalah Karl Marx, orang yang
jawaban terhadap persoalan tersebut. cukup gelisah terhadap makin kuatnya
pengaruh kapitalisme bagi proses produksi
Beberapa permasalahan dapat diajukan
yang dianggapnya dehumanistik. Karena
antara lain: bagaimana pasang-surut
itu ia mulai menganalisis tentang ideologi
wacana Pancasila dalam kontestasi di
dalam kaitannya dengan kapitalisme.
kalangan kekuatan sosial politik pada era
reformasi?; bagaimana dan terjadinya Perhatian Marx terhadap konsep
pewacanaan Pancasila sebagai ideologi ideologi berakar pada kegagalan revolusi
negara mengalami proses ironisasi dalam proletar dan ketidakmampuan materialisme
praksis kehidupan sosial politik dan historis dalam kaitannya dengan pertanyaan
kebudayaan pada era reformasi? Dan subjektivitas, makna dan politik kultural.
bagaimana ideologi keagamaan beroperasi Sederhananya, perhatian untuk membahas
meminggirkan wacana Pancasila sebagai ideologi dimulai sebagai suatu eskplorasi
ideologi negara? atas pertanyaan mengapa kapitalisme, yang
diyakini sebagai suatu sistem eksploitatif
B. Teorisasi Pancasila
dalam relasi sosial dan ekonomi, tidak
Sudah lama persoalan ideologi menjadi dapat diruntuhkan oleh revolusi kelas
perhatian utama dalam kajian ilmu pekerja. Apakah kegagalan revolusi proletar
sosial. Perhatian itu semakin besar ketika serta-merta menjadi kegagalan kaum
berbagai paham besar, seperti kapitalisme, proletar dalam memahami secara terpat
sosialisme, dan komunisme mendominasi dunia tempat mereka hidup? Apakah kelas
aktivitas dunia. Sejak munculnya era pekerja menderita “kesadaran palsu”, yang
pencerahan, yang merupakan respons kritis merupakan suatu pandangan-dunia berjuis
atas era sebelumnya, yaitu dominasi ideologi yang salah yang mengabdi kepada kelas
agama, peradaban manusia berkembang kapitalis? (Barker, 2000: 58).
sangat cepat dengan basis ilmu pengetahaun
Dalam kaitannya dengan materialisme,
dan teknologi. Berbagai temuan mendasar
Marx menggunakan istilah ideologi
saling susul menyusul, berkat perubahan
untuk merujuk kepada sistem-sistem
paradigma berpikir seperti positivisme
aturan ide-ide yang sekali lagi berusaha
dan empirisme. Mulai dari ditemukannya
menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi
bahwa bumi ternyata bulat, hukum
yang berada di pusat sistem kapitalis. Pada
grativasi bumi, energi uap, listrik, dan
kebanyakan kasus, mereka melakukan hal
kemudian relativisme, peradaban manusia
ini dengan salah satu dari tiga cara berikut:
berkembang semakin kompleks. Moda
(1) mereka menghadirkan suatu sistem
produksi pun kemudian berubah dari yang
ide,sistem agama, filsafat, literature, hukum
tadinya feodalisme sebagaimana ada dalam
yang menjadikan kontradiksi-kontradiksi
masyarakat agraris, kemudian berubah
tampak koheran; (2) mereka menjelaskan
menjadi kapitalisme menyusul munculnya
pengalaman-pengalaman tersebut yang
masyarakat industrial. Di sinilah kemudian
mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi,
ideologi menjadi penting dan terbukti
biasanya sebagai problem personal atau
menjadi daya gerak yang mengontrol
keanehan-keanehan individual; atau (3)
tindakan orang baik secara individu maupun
mereka menghadirkan kontradiksi kapitalis
25
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
sebagai yang benar-benar menjadi suatu pendidikan, gereja dan media massa,
kontradiksi pada hakikat manusia dan oleh sebagai ‘aparatus negara ideologis (ideo
karena itu satu hal yang tidak bisa dipenuhi logical state apparatuses) atau yang
oleh perusahaan sosial (Ritzer, 2004: 71). populer dengan singkatan ISAs. Kendati dia
memandang gereja sebagai ISA prakapitalis
Sementara itu Althusser, yang meru
yang dominan, dia berpendapat bahwa di
pakan seorang Marxis, mengartikan ideologi
dalam konteks kapitalisme, gereja telah
sebagai sistem (dengan logika dan kaidahnya
digantikan oleh sistem pendidikan, yang
sendiri) representasi (citra, mitos, gagasan
berimplikasi pada reproduksi ideologis
atau konsep) dipahami sebagai praktik
(dan fisik) tenaga kerja dan relasi produksi
yang dijalani dan mentransformasikan
secara sosial. ideologi, katanya, merupakan
dunia materi. Ada empat aspek dalam
sarana yang jauh lebih efeketif bagi peneguh
karya Althusser yang menjadi inti pan
kekuasaan kelas ketimbang kekuatan fisik
dangannya tentang ideologi: 1) ideologi
(dalam Barker, 2000: 63).
memiliki fungsi umum untuk membentuk
subyek; 2) ideologi sebagai pengalaman Pandangan Althusserian ini cukup
yang dijalani tidaklah palsu; 3) ideologi memiliki pengaruh dalam Cultural Studies,
sebagai pemahaman yang keliru tentang terutama dalam perdebatan soal ideologi.
kondisi nyata eksistensi adalah palsu; Lebih jauh, pemikiran Althusserian
dan 4) ideologi terlibat dalam reproduksi tentang formasi sosial sebagai suatu
formasi-formasi sosial dan relasi mereka struktur kompleks dari posisi-posisi yang
terhadap kekuasaan. Dalam esainya yang saling terkait namun relatif otonom dapat
berjudul Ideology and the Ideological State dilihat dalam karya Sturart Hall, Ernesto
Apparatuses, berpendapat bahwa ideologi Laclau, dan Chantal Mouffe. Akan tetapi,
memuji dan mempertanyakan individu Althusserian dalam Cultural Studies tetap
sebagai suyek konkret. Ideologi berfungsi dilihat secara kritis dan dalam beberapa hal
untuk membentuk individu konkret dianggap memiliki kekurangan, terutama
sebagai subyek. Argument ini adalah bagian menempatkan ISAs dalam posisi yang
dari antihumaniseme Althusser di mana begitu menentukan. Beroperasinya ISAs
subheik dilihat bukan sebagai agen yang dianggap terlalu fungsionalis, sehingga
membentuk dirinya sendiri, melainkan ideologi tampak berfungsi di belakang
sebagai ‘efek’ dari struktur. Dalam hal ini, punggung masyarakat atau mengontrol
hasil kerja ideologilah yang mewujudkan tindakan, tanpa memberi peluang adanya
sunyek karena tidak ada praktik melainkan agen.
oleh dan di dalam ideologi. Singkatnya,
Cara pandang Althusserian ini dapat
diskursus ideologi mengonstruksi posisi
digunakan untuk melihat bagaimana posisi
subyek atau tempat subyek berpijak ketika
Pancasila sebagai ideologi negara. Pada
dia memahami dunia (Barker, 2000: 60).
masa Orde Baru hingga sekarang pun,
Di mana letak ideologi itu? Menurut masih banyak wacana dalam perdebatan
Althusser ideologi ada dalam suatu dan pemahaman tentang Pancasila yang
apparatus dan praktik yang menyertainya; mengikuti formulasi ideologi Althusserian
walhasil, dia terus menjadikan seperangkat tersebut. Sebagai rumusan yang menem
institusi, terutama keluarga, sistem patkan Pancasila sebagai ideologi negara
26
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
yang harus menentukan dalam setiap depan. Kedua, setiap ideologi memuat
tindakan individu maupun kelompok. Dalam seperangkat nilai-nilai atau suatu preskripsi
bahasa Orde Baru Pancasila harus menjadi moral. Pancasila dengan jelas merupakan
faktor menentukan dalam berbagai bidang seperangkat nilai dan atas dasar nilai itu
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan masyarakat ingin ditata. Ideologi secara
bernegara. Proyek ideologisasi Pancasila implisit memuat penolakan terhadap sistem
oleh negara, seperti melalui P4 merupakan lainnya. Ketiga, ideologi memuat orientasi
contoh penting cara memahami ideologi pada tindakan, ideologi merupakan suatu
seperti pandangan Althusserian tersebut. pedoman kegiatan untuk mewujudkan
nilai-nilai yang termuat di dalamnya.
Pancasila sebagai ideologi di sini
Pemahaman terhadap kenyataan tidak
berperan sebagai referensi bagi pem
hanya bertujuan untuk memberi informasi
bentukan identitas baru sebagai warga
dan menjelaskan, tetapi agar sesuatu
negara. Sila pertama, Ketuhanan Yang
dikerjakan, yaitu mentransformasikan
Maha Esa merupakan kategori baru yang
dunia. Oleh karena itu dapat dikatakan
mengatasi batasan-batasan berdasarkan
ideologi memuat suatu interpretasi, etika
agama tertentu. Kemanusiaan menunjuk
dan retorika. Dikatakan ideologi sebagai
pada nilai universal. Kedua, prinsip ini
retorika, karena merupakan pernyataan
mencerminkan peralihan dari lingkup
tentang sesuatu kepada seseorang, sehingga
yang partikularistik kepada yang univer
ia tidak hanya berdiri dan diam saja, tetapi
salistik, sebagai gejala modernisasi.
“berbuat” sesuatu (Sastraprateja, 1991:
Prinsip persatuan Indonesia menunjuk
142).
kepada referensi kelompok yang baru dan
ikatan yang baru. Sedangkan kerakyatan Tampak jelas pada pemahaman seperti
dan keadilan sosial merupakan prinsip itu menempatkan bahwa ideologi adalah
yang dituntut dari status baru sebagai faktor menentukan. Bahkan gambaran
warganegara yang sama. sejarah masa depan sudah harus dikontrol
oleh seperangkat nilai yang diyakininya
Pengaruh Althusserian itu juga tam
benar, sehingga jika ada nilai baru atau
pak bagaimana memahami Pancasila
nilai lain yang muncul dalam perjalanan
sebagai ideologi. Dengan mengutip dari
perubahan sosial, tidak dimungkinkan
Thomson (1984), Sastrapratedja misal
adanya. Di sini, kemudian mengkondisikan
nya mendefinisikan ideologi sebagai sepe
adanya kekuatan daya gerak dari sebuah
rangkat gagasan atau pemikiran yang
ideologi, dan tentu memiliki penafsir yang
berorientasi pada tindakan yang diorganisir
berangkat dari prinsip universalistik.
menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam
Partikularistik adalah ancaman, karena
ideologi terkandung beberapa unsur,
itu tidak bisa dibiarkan tumbuh atas tafsir
pertama, adanya suatu penafsiran atau
lain yang berbeda dari tafsir pihak yang
pemahaman terhadap kenyataan. Pancasila
umumnya sedang berkuasa. Oleh karena
ditempatkan secara keseluruhan konteks
itu pula pada era Orde Baru Pancasila lebih
Pembukaan UUD 1945 menunjukkan
banyak tafsir dari kelompok penguasa,
adanya interpretasi terhadap sejarah bangsa
dan sebagai ideologi dalam bahasa Orde
Indonesia di masa lalu serta bagaimana
Baru harus dipahami secara utuh. Jadi
seharusnya sejarah itu terbentuk di masa
27
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
tafsir model ISAs terhadap Pancasila me tentang dunia yang adil dan alamiah
rupakan sumber utama wacana tentang (Gramsci, 1971: 349).
Pancasila yang tidak boleh ada perbedaan
Salah satu konsep kunci yang ditawarkan
tafsir. Karena itu, Pancasila dalam periode
Gramsci adalah apa yang populer sebagai
itu sesungguhnya menjadi ideologi yang
hegemoni. Gramsci mendefinisikan hege
tertutup.
moni sebagai proses berkelanjutan pem
1. Ideologi Gramscian versus Kontem bentukan dan penggulingan keseimbangan
porer yang tidak stabilantara kepentingan kelom
pok-kelompok dominan dan kepentingan
Satu pemahaman yang relevan terhadap
kelompok subordinat, keseimbangan di
ideologi dalam perspektif Cultural Studies,
mana kepentingan kelompok dominan
datang dari Gramsci. Dalam analisis
hadir, namun hanya pada batas-batas ter
Gramcian, ideologi dipahami sebagai
tentu (Gramsci, 1968: 182). Hegemoni
ide, makna, dan praktik yang, kendati
dapat dipahami dalam konteks strategi di
mengklaim sebagai kebenaran universal,
mana pandangan dunia dan kekuasaan
merupakan peta makna yang sebenarnya
kelompok sosial panutan (apakah mereka
menopang kekuasaan kelompok sosial
berupa kelas, seks, etnik atau nasionalitas)
tertentu. Di atas itu semua, ideologi tidak
dipelihara.
dapat dipisahkan dari aktivitas praktis
kehidupan, namun ia adalah fenomena Selanjutnya Gramsci mendefinisikan
material yang berakar pada kondisi hegemoni sebagai kepemimpinan budaya
sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa.
perilaku praktis dan tuntutan moral yang Ia mempertentangkan antara hegemoni
sepadan dengan agama yang secara sekuler dengan kursi yang dijalankan oleh kekuasaan
dipahami sebagai kesatuan keyakinan legislatif atau eksekutif atau juga polisi. Jadi
antara konsepsi dunia dan norma tindakan hegemoni lebih menunjukan pada proses
terkait (Gramsci, 1971: 349). penundukan terhadap kelompok secara
sistematis, sehingga yang menjadi sasaran
Suatu blok hegemonic tidak pernah
tersebut tidak sadar kalau dikuasai atau
terdiri dari kategori sosio-ekonomi tunggal,
dikontrol. Di sini yang menjadi sasaran
namun dibentuk melalui serangkaian
kontrol adalah kesadarannya, karena itu
aliansi di mana suatu kelompok berposisi
yang dipengaruhi oleh sebuah ideologi
sebagai pemimpin. Ideologi memainkan
misalnya, akan merayakan ketundukannya
peran krusial dalam membiarkan aliasi
itu.
kelomok ini (awalnya dikonsepsikan
dalam terminology kelas) menanggalkan Adapun teori hegemoni yang dicetuskan
kepentingan sempit usaha-ekonomi dan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup
mengutamakan kepentingan ‘nasionalis- dan cara berpikir yang dominan, yang di
populer’. Jadi satu kesatuan sosio-kultural’ dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan
diperoleh melalui aneka ragam kehendak, disebarluaskan dalam masyarakat baik
yang tujuan heterogennya secarabersama- secara institusional maupun perorangan;
sama dimasukkan ke dalam suatu tujuan (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa,
tunggal, sebagai basis suatu konsepsi kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan
28
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
29
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
30
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah warganegara dan dengan dimensi kedua,
berubah. Kita dapat meminjam istilah yaitu bahwa kekuasaan berasal dari rakyat
yang dipakai oleh L. Binder (1971), yaitu sendiri. Warganegara adalah manusia yang
perubahan sumber legitimasi politik dari otonom, yang secara ideal, merupakan
transendental kepada imanen, dari sumber manifestasi dari semangat kebebasan
yang sakral kepada konsensus. Kekuasaan dan persamaan seorang warga republik.
tidak lagi berasal dari “dunia sana”, tetapi Warganegara adalah seorang manusia yang
dari rakyat, ada di tangan rakyat. Inilah merdeka dan mempunyai harga diri, yang
yang dimaksud denan “imanen”. Kekuasaan mampu secara efektif mengorganisir dan
bersumber dan berdasar atas konstitusi. memprakarsai kebijakan politik.
Dengan lain perkataan prinsip demokrasi
Partisipasi adalah keterlibatan warga
mencerminkan perubahan tersebut. Seperti
negara dalam proses politik yang intinya
dikatakan Huntington (1968: 34) “pertama-
adalah proses pengambilan keputusan.
tama modenrisasi politik mencakup
Myron Weiner menyebut tiga aspek dari
rasionalitas otoritas, penggantian sebagian
partisipasi. Pertama, partisipasi adalah
besar otorisasi tradisional, keagamaan,
tindakan, termasuk tindakan verbal bukan
keluarga dan kesukuan. Perubahan ini
hanya sikap atau perasaan subyektif.
mengimplikasikan bahwa pemerintah
Aspek kedua, ialah kegiatan itu keluar
adalah hasil manusia, bukan hasil alamiah
dari kehendak warganegara. Tindakan-
atau Allah. Pancasila dan UUD 1945
tindakan yang diwajibkan atau dipaksakan
merupakan sistem legitimasi. Kekuatan
tidak digolongkan dalam partisipasi.
dari legitimasi ini tergantung pada dua
Ketiga, partisipasi mengandaikan adanya
hal, yaitu “performance capacity” dari
pilihan. Mobilisasi paksaan tidak dapat
pemerintah dan pemahaman serta perasaan
disebut partisipasi. Yang menjadi masalah
rakyat terhadap sistem legitimasi tersebut.
dalam setiap pembangunan politik ialah
Yang pertama menyangkut kemampuan
bagaimana menciptakan etos yang akan
mewujudkan prinsip dalam Pancasila dan
mendorong kemandirian individu dan
UUD 45. Tersebut dan kedua menyangkut
membantu warganegara melihat dirinya
proses sosialisasi dari Pancasila dan UUD
sebagai partisipan politik. Dua hal paling
45. Salah satu ciri kekuasaan tradisional
sedikit perlu ditempuh, yaitu peningkatan
ialah bahwa kekuasaan itu dipandang
kemampuan dan penciptaan kesempatan.
“given” dan tidak dipertanyakan. Sebaliknya
Yang pertama menyangkut pendidikan
dalam modernisasi segala sesuatu dapat
umum dan pendidikan politik yang
dipertanyakan dan harus diterangkan
harus dijalankan dengan cara partisipatif
secara rasional. Maka keterbukaan dan
juga. Cara pendidikan terbaik untuk
penjelasan yang rasional merupakan faktor
partisipasi adalah partisipasi itu sendiri .
yang ikut menentukan terbentuknya nilai-
yang kedua ialah penciptaan kesempatan
nilai Pancasila menjadi etos (Sastraprateja,
untuk berpartisipasi dengan menciptakan
1991: 150).
struktur-struktur yang membuka peluang.
Dimensi budaya ketiga dari politik Salah satu yang penting adalah akses
adalah partisipasi. Ini terkait erat dengan kepada informasi. Masyarakat tak mungkin
dimensi pertama ialah identitas baru sebagai berpartisipasi dalam politik kalau mereka
31
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
32
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
33
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
34
Arief Rachman, Irwan Abdullah, Djoko Surjo, WACANA PANCASILA DALAM ERA
REFORMASI (STUDI KEBUDAYAAN TERHADAP PASANG SURUT WACANA PANCASILA
DALAM KONTESTASI KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK)
siswa dan guru agama Islam pada Sekolah Reformasi misalnya, muncul wacana yang
Menengah Atas di Jakarta menunjukkan menempatkan Pancasila sebagai sesuatu
kecenderungan yang hampir sama di sudah final dan karena itu tidak terbuka
mana sebanyak 76% memilih syariah, 17 untuk pernafsiran baru. Selain itu muncul
% memilih fungky’s, dan sebanyak 7 % wacana lain (Ali, 2009: 52-56), Pancasila
memilih Pancasila. merupakan kontrak sosial, dan karena itu ia
tidak lagi dianggap sebagai ideologi negara
Hal yang berbeda terjadi di era Reformasi
seperti pendapat Onghokham, Armahedy
yaitu Pancasila mengalami pergeseran dari
Mahzar dan Garin Nugroho (Abdullah,
state-center menjadi people-center yang
2010: 23). Dengan kata lain, Pancasila
telah terjadinya banyak perubahan dan
disamakan kedudukannya dengan
pergeseran mengenai posisi dan peran
MagnaCharta di Inggris atau Bill of Rights
Pancasila itu sendiri. Lembaga-lembaga
di Amerika Serikat.
pada masa Orde Baru yang bertujuan
untuk menguatkan posisi dan peran Fakta lain memperlihatkan bahwa
Pancasila ditolak dan bahkan dibubarkan Pancasila mengalami penolakan khususnya
di era Reformasi. Pergeseran dari model dari kalangan yang menginginkan Islam
state-center menjadi people-center sebagai ideologi negara. Hal ini dapat
berdampak pada semakin menurunnya dilihat melalui upaya mempertentangkan
tingkat kepatuhan masyarakat terhadap agama (Islam) dan Pancasila; mengubah
Pancasila. Di sini pun terlihat bahwa telah NKRI sebagai Negara Islam Indonesia;
terjadi sebuah proses delegitimasi terhadap pemberlakuan kembali Piagam Jakarta
Pancasila yang sejalan dengan liberalisasi seperti yang diwacanakan oleh partai-
yang semakin mengental. (Kompas, 31 partai Islam menjelang pemilu 2009
Agustus 2010). lalu, pemberlakuan syariat Islam melalui
Peraturan Daerah, tuntutan beberapa
Demikian pula, globalisasi dengan
ormas non-politis terhadap penegakan
demokratisasi, HAM, pasar bebas dan
Khilafah Islamiyah menggantikan negara
lingkungan hidup serta dampak bawaannya
Pancasila.
(liberalisme, kapitalisme, sekularisme,
dan komunisme) mengambil peran dalam Adanya tuntutan dari kelompok
proses penolakkan Pancasila. Pancasila tertentu mengenai perubahan ideologi
melalui penjabaran sila-silanya yang agamis negara merupakan tanda dari adanya
banyak bertentangan dengan ideologi Barat persoalan yang mendasar. Tuntutan
yang cenderung memisahkan dan bahkan tersebut tidak muncul begitu saja karena
mengabaikan agama seperti komunisme. pada fakta sejarahnya terdapat indikasi
Hal ini oleh D.E. Smith (1970: 10) disebut yang mengarah kuat pada perwujudan
sebagai upaya memutus peran politik ide tersebut. Kembali ke Piagam Jakarta
agama (Islam) dan membuka ruang pada merupakan isu sentral yang diusung oleh
sekularisasi politik. beberapa kelompok seperti partai politik
Islam khususnya menjelang pemilu. Hal
Dalam perkembangannya, muncul
ini tidak terjadi secara terbuka di era Orde
berbagai wacana untuk ‘menghangatkan’
Baru yang dominasi partai politik beraliran
kembali debat mengenai Pancasila. Di era
nasionalis sangat kuat. Wujud nyata
35
yang diinginkan oleh aspirasi ini adalah fundamentalisme yang menciptakan ruang
perubahan negara Indonesia menjadi untuk saling menghancurkan (mem
negara Islam Indonesia melalui perubahan bandingkan Pancasila dengan agama).
dasar negara dari Pancasila menjadi Islam Sila kedua yang intinya menjunjung tinggi
sehingga Indonesia berwujud menjadi semangat kemanusiaan hampir tidak
sebuah khilafah. ada karena yang berlaku adalah ‘hukum
rimba’, siapa yang kuat ia berkuasa. Sila
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh
ketiga yang pada intinya menyerukan
adanya upaya-upaya tersebut di atas,
persatuan sangat bertolak belakang yang
terhadap Pancasila adalah munculnya
semua dipaksa menjadi, misalnya orang
ideologi baru dalam tatanan kehidupan
“Jawa”, Sumatera, atau yang lain sehingga
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
memecah persatuan atau negara kesatuan
di Indonesia. Artinya, Pancasila bukan
dibandingkan dengan disintegrasi. Sila
lagi sebagai sumber utama karena telah
keempat mengenai musyawarah-mufakat
lahir sumber atau pedoman baru. Jika
tidak tampak, justru yang kental adalah
demikian adanya maka identitas ke-
liberalisme atau pemilihan melalui voting
Indonesia-an bangsa akan hancur sehingga
(bukan demokrasi). Sila kelima yakni
neo-kolonialisme muncul dan bahkan
keadilan sosial sangat sulit terwujud yang
berkuasa yang pada akhirnya dalam
‘adil dan makmur’ dibalik menjadi ‘makmur
operasionalnya akan menyedot pula
dan adil’ artinya, makmur dulu baru adil
sumber kekayaan Indonesia khususnya
karena ekonomi yang mensejahterakan
sumber daya alam seperti minyak dan
hanya dimiliki dan dinikmati oleh segelintir
energi. Akhirnya, manusia Indonesia hanya
orang (Sukendro, 2012) atau keadilan
dijadikan sebagai pengguna/konsumen
dibandingkan dengan kapitalisme.
bukan produsen sehingga kemiskinan dan
ketimpangan akses akan terjadi di mana- Pengalaman ini menunjukkan bahwa
mana. Hal tersebut saat ini mengarah pada Pancasila mau tidak mau harus direvitalisasi
bangsa Indonesia, yang pengaruh kuat kembali sehingga nilai-nilainya tetap
asingnya sangat dominan sehingga terjadi relevan dengan situasi actual masyarakat.
penaklukan dan pemiskinan terstruktur Ketua Umum PBNU, Said Agil Siradj,
terhadap masyarakat. mengemukakan pentingnya mendudukkan
kembali Pancasila pada posisi yang tepat.
E. Penutup
Menurut dia Pancasila tidak lebih dipahami
Realitas sekarang ini tidak sejalan pada level instrumental semata yaitu
dengan Pancasila karena kemiskinan masih sebagai alat pemersatu bangsa (NU Online,
terjadi di mana-mana, rasa keadilan masih 03 Juni 2010). Oleh karena itu, pentingnya
rendah, konflik antar-kelompok semakin Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa
marak, bahkan simbol-simbol negara masih tidak hanya dipahami berdasarkan teks
sering dipakai untuk kepentingan politik dengan kelima silanya, melainkan juga
dan golongan tertentu (Ali, 2009: 81). Pada harus dipahami dari konteksnya sebagai
sila pertama misalnya yang mengusung sumber hukum tertinggi.
ide ketuhanan sangat bertentangan
karena yang muncul adalah semangat
36
Daftar Pustaka Hutington. P. Samuel. 1968. Political Order
in Changing Societies. New Haven:
Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila:
Yale University Press.
Jalan Kemaslahatan Berbangsa.
Jorgensen, Marianne. W dan Louise J.
Jakarta: LP3ES.
Phillips. 2007. Analisis Wacana:
Amstrong Karen. 2012. Sejarah Tuhan.
Teori dan Metode. Yogyakarta:
Mizan Pustaka. Bandung.
Pustaka Pelajar.
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana: Teori,
Karim Mulyawan. 2010. Rindu Pancasila.
Metode, dan Penerapannya pada
PT. Kompas Media Nusantara.
Wacana Media. Jakarta: Kencana.
Jakarta.
Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan
Kompas, Konsep dan Ide Desentralisasi di
Pancasila. Yogyakarta: Pustaka
Indonesia, 23 Juni 2012.
Pelajar.
Kompas, Pancasila dan Wawasan
Barker, Chris, 2000, Cultural Studies:
Kebangsaan, 31 Agustus 2010.
Theory and Practice, London: Sage
Kompas, Pemulihan Ekonomi Asia
Publications.
Diragukan, 10 Oktober 1998.
Buku Pintar Kompas 2011. 2012. Penerbit
Lubis Mochtar. 2012. Manusia Indoneisa.
Kompas. Jakarta.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Coleman. James. S. 1971. The Development
Jakarta.
Syndrome: Differentiation –
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio
Equality- Capacity, dalam L. Binder
Gramsci: Negara dan Hegemoni.
et al. Crisis and Sequences in
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Political Development. Princeton:
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman,
Princeton University Press.
2007, Teori Sosiolog: Dari Teori
Dzakirin Ahmad. Kebangkitan Pos
Klasik
Islamisme Analisis Strategi dan
Sampai Teori Sosial Postmodern,
Kebijakan AKP Turki memenangkan
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Pemilu.
Runsiman David. 2012. Politik Muka Dua.
Eagleton, Terry. 1991. Ideology: an
Jogyakarta.
Introduction. USA: Vesto.
Said Anwar Muhammad. Penerapan Syariat
Gramsci, A. 1968. Prison Notebooks.
Islam Dalam Undang-Undang,
London: Lawrence & Wishart.
Belajar dari Pengalaman Mesir.
________ 1971. Selections from the Prison
Santoso, Nur Sayyid Kristiva. Negara
Notebooks, eds Q. Hoare and G.
Marxis dan Revolusi Proletariat.
Nowell-Smith. London: Lawrence &
Sastrapratedja, M. 1992. Pancasila sebagai
Wishart.
Ideologi dalam Kehidupan Budaya.
Hikam, Mohammad AS. 1996. “Bahasa dan
Dalam Pancasila sebagai Ideologi,
Politik: Penghampiran Discurcive
disunting Oetojo Oesman dan
Practice”, dalam Yudi Latif dan
Alfian. Jakarta: BP-7 Pusat.
Ida Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa
dan Kekuasaan: Politik Wacana di Smith, D.E. 1970. Religion and Political
Panggung Orde Baru. Bandung: Development. Boston: Little,
Mizan. Brown and Company.
37
Sukendro, Greg Genep. 2012. Pancasila: MPR no. II/MPR/1978). Balai
Riwayatmu Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka.
Tifa. Darji Darmodiharjo. 1979. Menjadi Warga
Surya, Aji. 2012. Geliat Islam di Rusia. Buku Negara Pancasila. Balai Pustaka.
Kompas, Jakarta. Jakarta
Suwarno, P.J. 2009. Pancasila Budaya Faisal Ismail. 2010. Membongkar
Bangsa Indonesia: Penelitian Kerancuan Pemikiran Nurcholish
Pancasila dengan Pendekatan Madjid Seputar Isu Sekularisasi
Historis, Filosofis, dan Sosio-Yuridis dalam Islam.
Kenegaraan. Yogyakarta: Kanisius. Syafii Ma’arif. 2009. Islam Dalam Bingkai
Taniredja Tukiran, Afandi Muhammad, dan Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Miftah Faridli Efi. 2011. Paradigma Penerbit Mizan.
Baru Pendidikan Pancasila. Alfa
Beta. Bandung.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007.
Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thompson, J. B. 2004. Kritik Ideologi
Global Teori Sosial Kritis Tentang
Relasi Ideologi dan Komunikasi
Massa. Yogyakarta: IRCiSoD.
Wazis Kun 2012. Media Massa dan
Konstruksi Realitas. Aditya Media
Publishing. Jogyakarta.
Yuwono, Untung. 2008. “Ketika Perempuan
Lantang Menentang Poligami:
sebuah Analisis Wacana Kritis
tentang Wacana Anti-poligami”,
dalam Jurnal Wacana, Vol. 10,
Nomor 1 April. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Bacaan Pendukung:
Darji Darmodiharjo. 1978. Santiaji
Pancasila. Laboratorium Pancasila
IKIP Malang.
Darji Darmodiharjo, C. S. T. Kansil,
Kasmiran WuryoWarga. 1979.
Negara Pancasila. Balai Pustaka.
Darji Darmodiharjo. 1979. Pancasila:
suatu orientasi singkat : dilengkapi
dengan Pedoman penghayatan dan
pengamalan Pancasila (Ketetapan
38
POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS
Partini
Abstrak
“Tulisan ini menggambarkan dinamika perempuan di dunia politik. Representasi
Politisi perempuan menampilkan paradoksal antara ide kesetaraan dengan kenyataan
praksisnya. Perempuan diwacanakan agar dapat menempati posisi strategis dalam skema
pembangunan namun implementasinya belum maksimal. Dari segi kuota misalnya
sebagian besar parpol bisa memenuhi kuota 30%, namun teori The glass ceiling masih
berlaku dalam ranah politik. Pemerintah mencoba memperbaiki dengan penerapan sistem
zipper namun paradoks masih terus terjadi. Tulisan ini mencoba menguraikan dinamika
dan sekaligus tantangan yang muncul baik secara kultural maupun struktural”
Kata kunci : Representasi Politik, Politik Adil Gender
Abstract
“This article wants to show the dynamic of Woman’s role in Politics. The representation
of woman’s politicians seems dealing with paradox. The discourse support woman to be
in strategic position in development scheme but the implementations stil not maximum.
Even the political party can afford 30% of representation for womans in parlement but
still the glass theory is applied in the political field. Indonesian government tried to fix
this problem using zipper system, but it seems the paradoxs are still happens. Using
this problem as entry point, this article wants to explain the dynamics and threads that
showed culturally and structurally”
Keywords: political representation, politics of gender equality
39
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
40
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS
41
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
42
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS
43
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
44
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS
caleg perempuan selalu kalah bersaing (1999) bahwa dalam sebuah korporasi atau
dengan laki-laki, karena ada keengganan pemerintahan, banyak perempuan yang
perempuan sendiri untuk masuk ke dunia memiliki kemampuan untuk bersaing men
politik. Beberapa parpol pernah melakukan duduki posisi penting. Namun konstruksi
kaderisasi, sayangnya kaderisasi tersebut peran gender yang bias masih menjauhkan
tidak dilakukan secara berkesinambungan. perempuan dari peluang untuk menempati
Kaderisasi biasanya dilakukan hanya pada posisi pimpinan (top level) . Pendapat
saat menjelang Pemilu, itupun tidak semua Sitterly (1994) membuktikan hal itu, bahwa:
parpol melakukannya. Nevertheless, to reach the top, it seems
there are more obstacles for the women
Bagi parpol yang melakukan kaderisasi
than for the men. Women, especially Asian
hanya sebagai bentuk kegiatan rutin,
Women have much to contend with. And
sehingga tatkala ada persyaratan dari KPU,
in the pursuit of top positions they face
seringkali para kader hasil didikan parpol
a tougher resistence “the glass ceilling”,
”belum siap tempur”. Dalam kaitannya
a transparent barrier at the highest
dengan kuota 30%, parpol juga tidak siap
level. Kebiasaan ini hampir terjadi di ber
memilih kader perempuan, untuk caleg
bagai organisasi tanpa terkecuali partai
jadi, karena kaderisasi lebih sebagai sebuah
politik. Dalam partai politik sangat mudah
formalitas. Hal tersebut pernah dialami oleh
menemukan keanggotaan perempuan,
seorang pengurus parpol yang merasakan
namun jika merunut pada kepengurusan
sulitnya mencari caleg perempuan yang
partai masih sulit menemukan perempuan
berkualitas, meskipun telah menempatkan
pada jabatan-jabatan penting.
caleg perempuan dengan sistem zipper.
Sedikitnya perempuan yang bersedia Dalam pembahasan yang lebih dalam,
menjadi caleg dalam koridor memenuhi perempuan masih enggan untuk berpolitik
kualifikasi, seringkali membuat bingung secara strategis. Sikap ini terbentuk dalam
para fungsionaris parpol untuk menemukan proses panjang yakni melalui sistem norma
caleg perempuan. Perempuan sebenarnya dan nilai budaya, terinternalisasi di dalam
telah didorong agar mau menjadi caleg, dirinya dan menjadi sikap yang patuh
namun banyak perempuan yang tidak terhadap sistem nilai budaya yang berlaku.
bersedia, karena selama ini mereka tidak Meskipun demikian, manusia adalah
mempunyai pengalaman berpolitik, kecuali makhluk sosial, sehingga sikapnya juga
hanya sebagai pemilih saja. dilbentuk oleh lingkungan sosial dan bukan
hanya lingkungan keluarga. Oleh karena
Ketidaksediaan perempuan untuk ber
itulah, peran keluarga sangat besar di dalam
politik, karena adanya asumsi bahwa politik
proses pembentukan sikap seseorang. Fakta
itu kasar, kotor (penuh intrik) dan hanya
menunjukan bahwa selama ini perempuan
pantas dilakukan oleh laki-laki. Meskipun
yang terlatih menjadi politisi sebagian besar
itu partai politik besar, belum tentu dapat
di pengaruhi oleh lingkungan keluarganya.
dengan mudah menemukan caleg yang
Rata-rata politisi perempuan berasal dari
berkualitas dan mau melangkahkan kakinya
keluarga yang orangtuanya atau saudaranya
ke ranah ini. Kondisi inilah yang sering
sudah terlebih dahulu aktif di partai politik.
menjadi pemicu terjadinya fenomena glass
ceiling. Seperti yang menjadi rujukan Adair Pada sisi yang lain sejarah kultur
45
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
patriarkhi yang menempatkan perempuan satu aspek penting untuk melengkapi modal
pada posisi subordinat juga masih dililit oleh sosial dalam mengukukuhkan posisi sosial
persoalan struktural yang melemahkan. tertentu bagi setiap individu. Penelitian
Hal ini terjadi dalam tubuh internal partai tentang Perempuan dalam Birokrasi
yang memiliki kecenderungan untuk (Partini, 1999; 2011) menemukan bahwa
menempatkan perempuan sebagai anggota peluang perempuan untuk menduduki
pendukung, tapi tidak memiliki mekanisme jabatan tinggi dalam birokrasi sering gagal
posisi strategis, misalnya saja proses karena lemahnya kemampuan perempuan
penjaringan caleg. Pada proses ini setiap memperluas jaringannya. Kondisi ini
parpol memiliki sistem atau mekanisme disebabkan karena kesulitan perempuan
yang ‘khas’ sesuai dengan peraturan untuk berada dalam ruang-ruang publik
partainya. Proses yang terbelenggu oleh yang selama ini dibangun laki-laki sebagai
kultur patriarkhi ini yang akhirnya membuat ajang memperluas dan memperkuat
kepemilikan modalitas perempuan menjadi jaringan. Kebiasaan laki-laki mengobrol di
terbatas. Dalam konsep Bourdieu (1984), kedai kopi hingga larut malam misalnya,
keberadaan aktor atau individu sangat berdiskusi dan berkumpul di sebuah tempat
bergantung pada modalitas manusia yang sampai pagi merupakan hal yang lumrah
dimiliki (human capital). Secara umum bagi laki-laki. Perempuan sulit mengikuti
konsep human kapital merujuk pada kebiasaan tersebut, karena dipandang tidak
keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh pantas oleh lingkungan sosialnya, bahkan
manusia berkaitan dengan pengetahuan bisa dicitrakan sebagai perempuan ”nakal”
dan ketrampilan. Terkait dengan wacana serta dianggap tidak memiliki tanggung
politik, perempuan seringkali dikalahkan untuk menjaga nama baik keluarga.
dalam pertarungan modalitas, dalam Demikian juga halnya dengan realitas yang
perjalanannya, langkah perempuan sering terjadi di ranah politik, perempuan memiliki
dihadang oleh nilai-nilai patriarkhi ter keterbatasan dalam mengembangkan
sebut. Lingkaran politik yang cenderung jaringan sosial melalui cara-cara yang lebih
didominasi oleh laki-laki akan membentuk ramah terhadap kepentingan perempuan.
sebuah sistem jaringan sosial yang tidak
Dalam melaksanakan penjaringan dan
ramah bagi perempuan. Hubungan sosial
pencalonan caleg, setiap parpol mem
perempuan dengan sumber-sumber yang
berlakukan persyaratan sesuai dengan
dapat memenangkan pertarungan politik
ketentuan Pemilu, tetapi diimbangi dengan
nya tidak terjalin seperti halnya laki-laki.
syarat khusus. Bila mencermati UU Pemilu
Kenyataan yang timpang tersebut juga No.10 tahun 2008 terdapat pencalonan
menjadi budaya dalam tubuh parpol sendiri perempuan daftar bakal calon memuat
dan dalam konstentasi pemilu. Perempuan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan
seringkali dikalahkan oleh mekanisme yang (pasal 53). Selain itu di dalam daftar bakal
lebih mengunggulkan potensi laki-laki. calon dalam setiap 3 (tiga) orang bakal
Hal ini selain menjadi pemicu tergerusnya calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu)
human capital juga mengkerdilkan modal orang perempuan bakal calon (pasal 55 ayat
sosial yang lain seperti jejaring. Menurut 2). Hal ini memberi konsekuensi parpol
Bourdieu (1984) jejaring merupakan salah untuk memenuhi bukan hanya syarat
46
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS
47
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
dimana jejaring dapat dibangun dengan titas”. Ketika perempuan ’dipaksa’ untuk
mudah untuk meraih dukungan yang besar memenuhi kuota 30%, mereka tidak siap
dalam mendulang suara. Perempuan lagi- karena tidak memiliki modal pengetahuan
lagi tidak memiliki cukup kapasitas untuk yang proposional. Laki-laki yang lebih dulu
meraih modal sosialnya secara porposional. dikenalkan dengan dunia politik sulit untuk
Oleh karena itu seperti yang dijelaskan diimbangi oleh perempuan, perempuan
Bourdieu (1984) modal sosial memiliki masih perlu waktu untuk belajar mene
pengaruh terhadap status individu dalam mukan strategi serta cara bertahan yang
lingkungan tertentu. Kepemilikan modal baik. Akibatnya, perwujudan politik yang
sosial bagi caleg perempuan merupakan adil gender menjadi sulit dipenuhi baik
salah satu penentu keberadaannya sebagai secara ideologis maupun praksis, di sini
subjek atau objek; 2) Belum adanya munculnya paradoks antara cita-cita
target dari parpol baik dari aspek jumlah dengan realita.
maupun positioning bagi perempuan
Keterbatasan modal sosial ini berimbas
untuk menjadi ’caleg jadi’; 3) Adanya
pada ketidak berdayaannya merancang
potensi ’jual beli’ nomor urut atas misalnya
strategi yang berpengaruh pada tingkat
untuk mendapat nomor urut satu, caleg
popularitasnya. Dalam penempatan caleg
harus ’membayar’ sejumlah uang sesuai
di setiap dapel, membutuhkan pemikiran
tingkat pemilihannya (berkisar puluhan
strategis, karena warga masyarakat sebagai
hingga ratusan juta) hal ini memberi
pemilih cenderung mencoblos orang yang
dampak pada kurang demokratisnya
sudah dikenalnya. Hasil penelitian Partini
internal parpol. Dalam kondisi demikian
(2008) diperoleh gambaran bahwa, ada
ini konsep ”modal ekonomi” Bourdieu
beberapa strategi yang ditempuh parpol
terjadi; 4) Kurang memperhatikan aspek
dalam menempatkan calegnya. Pertama,
kualifikasi dalam pencalonan, khususnya
caleg yang ditempatkan di suatu daerah
pencalonan perempuan yang didukung
tertentu diambilkan dari dapel yang ada
oleh lemahnya kaderisasi, terutama kader
di wilayahnya dan harus dipertimbangkan
perempuan. Realitas tersebut menunjukkan
cermat, agar suara yang didulang dapat
bahwa, keterbatasan modalitas dalam
optimal. Penempatan caleg di dapel di
hal pengalaman serta ketrampilan ber
harapkan menumbuhkan kepercayaan
organiasasi merupakan penghalang yang
warga masyarakat pemilih karena caleg
cukup mendominasi langkah perempuan
telah memiliki popularitas. Kedua, penem
berkiprah dalam dunia politik.
patan caleg berhubungan dengan kondisi
Kultur yang mensosialisasikan peran- dari ‘basis massa’ parpol, sehingga dapat
peran dikotomis menjadi jebakan bagi menjadi calon dan sekaligus pemilih cerdas
perempuan, karena mereka dididik terhadap parpolnya.
untuk menempati posisi domestik yang
Paradoksal lain adalah perempuan yang
jauh dari akses pengetahuan politik,
terjun di ranah politik tidak diimbangi
sehingga memiliki cara pandang negatif
dengan kepemilikan modalitas yang
terhadap dunia politik. Dalam bahasa
memadahi, sehingga fenomena glass ceiling
Gayatri Spivak(2004), kondisi ini lebih
kembali muncul ke permukaan. Fenomena
menggambarkan terjadinya ”politik iden
glass ceiling merupakan invisible barrier
48
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS
dalam organisasi yang menghalangi kaum kuat memiliki komitmen tentang akses
perempuan meraih career advancement yang setara bagi perempuan baik sebagai
(Mondy & Noe, 2005 dalam Irianto 2010, fungsionaris partai, sebagai anggota
Partini, 1999; 2011). Kendala kultural parlemen maupun sebagai pejabat publik.
tersebut kembali menjadi legitimasi Keengganan perempuan ke ranah politik
struktural untuk tidak mempertimbangan menjadi agenda tersendiri bagi parpol yang
perempuan berada di level puncak. Hal ini bersangkutan.
tampak pada keputusan MK yang tiba-tiba
Adalah benar beberapa parpol mela
mengubah peraturan pemilu yang sangat
kukan kaderisasi, sayangnya hanya sebatas
merugikan perempuan. Perjuangan untuk
kegiatan rutin, sehingga kadernya tidak siap
politik adil gender yang seharusnya menjadi
dan parpol sendiri belum menempatkan
hak bagi perempuan belum dapat tercapai.
kadernya yang perempuan secara strategis.
Para fungsionaris parpol lebih sering
Kondisi ini menyebabkan beberapa parpol
mengeluhkan kesulitan untuk memenuhi
besar menempuh strategi melamar caleg
target kuota 30% daripada mengembangkan
perempuan yang telah memiliki reputasi dan
wacana politik adil gender. Wacana yang
menjadi public figure di mata masyarakat,
mengungkap kegagalan perempuan akibat
seperti artis, seniman atau musisi meskipun
rendahnya modalitas menjadi alasan kuat
yang bersangkutan tidak memahami politik
bagi pemangku kebijakan untuk merubah
dan belum punya pengalaman berpolitik.
UU. Tidak adanya sanksi bagi parpol yang
Dampaknya, muncul sindiran atau jargon
tidak dapat memenuhi kuota menjadi
”mendadak menjadi caleg”, dan perempuan
kendala lain dalam menyongsong politik
hanya sebagai pelengkap penderita. Hal ini
yang adil gender. Sistem zipper yang
berimplikasi ganda bagi parpol tersebut:
tadinya dipercaya mampu mendongkrak
Pertama, dapat menarik simpati warga
partisipasi perempuan juga diperdaya oleh
calon pemilih, tatkala kampanye dengan
Keputusan Mahkamah Konstitusi. Realitas
mengusung publik figure akan menjadi
harus diterima, perempuan kembali ke
daya tarik tersendiri dan kehadiran public
titik nadir dan perempuan tidak dapat
figure dapat mempengaruhi calon pemilih
merepresentasikan kemampuannya secara
untuk mencoblos partainya. Hal ini secara
maksimal di ranah politik
langsung mendongkrak popularitas parpol,
D. Kesimpulan sehingga kursi yang direbutnya semakin
banyak. Strategi ini dipandang tidak adil
Ranah perpolitikan di Indonesia masih
oleh caleg lain dari partai yang sama,
menyisakan agenda bagi berbagai kalangan
karena akan semakin menyisihkan dirinya
untuk terus berfikir agar perempuan
dari kursi yang diinginkannya, Kedua, bagi
mempunyai posisi tawar dalam perumusan
tokoh atau publik figur itu sendiri semakin
kebijakan publik. Kebijakan publik masih
terdongkrak popularitasnya, kondisi ini
terasa timpang dan bias laki-laki, kurang
memiliki ’efek karambol’ yaitu jika jadi
mengakomodasi isu-isu perempuan. Pada
anggota parlemen citranya semakin ter
sisi lain politik telah terlanjur dikonstruksi
angkat, tidak jadipun tidak serta merta
masyarakat menjadi domainnya laki-laki,
menurunkan citra dan popularitasnya
sehingga langit-langit gelas terasa masih
sulit dipecahkan Saat ini parpol kurang Akhirnya tulisan ini memiliki bebe
49
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
rapa catatan kritis yang patut untuk merubah mind-set politisi perempuan,
direnungkan: Pertama, Politik di Indonesia meski tetap masih membutuhkan kepe
masih lemah untuk ”politik adil gender”, dulian feminis laki-laki. Peningkatan
wacana yang memojokan posisi perempuan kapasitas dan modalitas perempuan harus
semakin menemui pembenaran, di dimaknai sebagai peluang untuk me
bawah kendali patriarkhi yang telah lama mecahkan problem ketimpangan gender
dikonstruksi. Tulisan ini belum dapat dalam berpolitik. Disinilah, pendidikan
menyediakan ruang artikulasi khusus bagi politik menjadi pilihan yang relevan
perempuan untuk menuangkan gagasan untuk mencerdaskan perempuan. Dengan
dan tawaran solusinya. Jika ingin konsisten kata lain, penguatan modalitas pada diri
pada perjuangan adil gender, perempuan perempuan tidak hanya kesadaran untuk
merupakan subjek yang memiliki maju di arena perpolitikan,tetapi juga harus
kebenaran strategis dalam menyuarakan mendorong perempuan pemilih untuk
masalah keperempuanannya. Hal ini akan kritis, dialogis dan pantang menyerah.
berkorelasi positif pada kemampuannya Dengan demikian proses elektoral dalam
menemukan cara untuk segera keluar dari sistem demokrasi tidak hanya menghasilkan
keterpurukan yang mengancam. Kedua, wacana keterwakilan, melainkan sebuah
Secara teoritis, konsep Pengarusutaman proses transformatif antara parpol dan
Gender (PUG) belum sepenuhnya dapat perempuan. Perempuan, dengan demikian
diimplementasikan pada ranah politik di perlu menjawab tantangan dalam arena
Indonesia. Strategi untuk mewujudkan kontestasi pada pemilu 2014 mendatang
politik adil gender perlu memperhatikan dan perempuan dapat merepresentasikan
pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kediriannya di ranah kebijakan publik.
permasalahan perempuan ke dalam peren Keempat, negara perlu memiliki kebijakan
canaan, pelaksanaan, pemantauan dan dan aturan main yang jelas dalam meng
evaluasi dari seluruh kebijakan dan program upayakan pemberdayaan perempuan di
pembangunan. Selain itu teori The glass bidang politik, sehingga parpol tidak hanya
ceiling tidak hanya berlaku di perusahan mengejar popularitas semata, namun juga
tetapi berlaku pula di ranah politik. Hal ini memuat konsep kesejahteraan berbasis
tergambar jelas pada beberapa platform adil gender baik secara kuantitas maupun
parpol yang masih belum memuat wacana kualitas.
kesetaraan. Ketiga, Undang-undang Pemilu
telah memberi arahan agar ada upaya dari
Parpol untuk meningkatkan kapasitas
dan akses perempuan dalam artikulasi Daftar Pustaka
politik. Landasan hukum yang dibuat Adair Carol K, 1999, Cracking The Glass
dalam perjalanannya dimentahkan lagi, Ceilling : Factors Influence Women’s
ketidakstabilan kebijakan tersebut menjadi Atainment of Senior Excecutive.
pembelajaran bagi pejuang perempuan di Disertation. USA
masa mendatang. Perlu ada peningkatan Asvi Warman Adam, 2007, Perempuan
modalitas agar perempuan menjadi lebih dalam Sejarah Lelaki, Jurnal
percaya diri (self concept), dalam rangka Perempuan-Edisi 52 Kami
50
Partini, POLITIK ADIL GENDER : SEBUAH PARADOKS
Punya Sejarah, Jakarta, Yayasan Jurnal Partini, 2004, Potret Keterlibatan Perem
Perempuan puan dalam Pelayanan Publik di
Blakasuta, 2004, Cermin Keberpihakan Era Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu
Pemkot Cirebon:Membaca Alokasi Sosial dan Ilmu Politik, Vol, 7, No 3,
Anggaran Kesehatan Untuk Perem Maret 2004, hal 315-334
puan dan Masyarakat Miskin, ---------, 2011, Perempuan dalam Birokrasi,
Blakasuta Edisi 05 Hasil Penelitian yang dilaksanakan
Bourdieu Pierre. 1984. Distinction; A Social di Propinsi Aceh dengan dana dari
Critique of The Judgement of Taste LOGICA II (USAID), sedang dalam
Massachusets.Harvard University proses terbit.
Press. Pradjarta dan Nico L Kana, 2006:
Beauvoir Simon de. 1993. Second Sex. .Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu
London. Daniel Campbell Publisher 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ltd Prihatmoko,Joko J.2003.Pemilu 2004 dan
Cholisin, 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Konsolidasi Demokrasi. Semarang:,
Yogyakarta. UNY Press. LP2I Press
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana : Sitterly, Connie, D, Ed, 1994: The Female
Pengantar Analisis Teks Media. Entrepreneur, The Crisp Small
Yogyakarta. LKis Business & Entrepreneurship Series
Fieske, John, 1987: Television Culture, Soetjipto, Ani Widya. 2005. Politik Perem
London and New York, Routledge puan Bukan Gerhana. Jakarta :
Hall, Stuart, 2000: Representation: Cultural Penerbit Kompas
Representation and Signifying Spivak, Gayatri, 2004. Representasi Gender
Practices, London, Sage Publication dengan Pendekatan Posmodernisme.
JJ Rizal, 2007, Jejak Perempuan dalam Jakarta. Pustaka Jaya
Histografi Indonesia, Jurnal Tumbu Saraswati, 2002, Agenda
Perempuan-Edisi 52 Kami Perjuangan Politik Perempuan
Punya Sejarah, Jakarta, Yayasan Jurnal Melalui Parlemen; Jurnal
Perempuan Perempuan edisi 35, HALO SENAYAN!,
Jusuf Irianto, 2010, Perempuan Dalam Yayasan Jurnal Perempuan : Jakarta
Praktek Manajemen Sumber Daya
Manusia, Surabaya,
Website
Tesis www.Jurnal Kespro.info
Lely Zaelany, 2007, Perempuan dan Politik,
www.Indoprogress.com
Latifah Iskandar, 2008, Peran Perempuan
Parlemen rubrik opini Media
Indonesia edisi 3 September 2008
Partini, 1999, Peluang Pegawai Wanita
Untuk Menduduki Jabatan
Struktural Studi Pada PNS DIY,
Disertasi, Yogyakarta, UGM
51
POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA
BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi awal mengenai politik pengakuan perempuan dengan
disabilitas pasca bencana gempa 2006 di Kabupaten Bantul dan Klaten, Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Dalam studi awal ini ditemukan adanya transformasi gerakan disabilitas
pasca bencana di kedua daerah tersebut. Penulis ingin menggarisbawahi bahwa peran
perempuan dengan disabilitas baru bisa mendorong adanya transformasi gerakan
perempuan dengan disabilitas. Perubahan tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi dimana
sebelum gempa terjadi, wacana perempuan dengan disabilitas hanya dilihat sebagai
tragedi personal dimana persoalan disabilitas dilihat sebagai masalah individu sehingga
pendekatan yang dipakai untuk menangani kelompok mereka hanya sebatas charity,
pemberian pelatihan-pelatihan yang sifatnya klinis dengan tujuan supaya mereka bisa
kembali seperti orang normal dan punya kemandirian hidup. Setelah gempa, muncul
banyak DPO (Disabled People Organization) dan perkumpulan yang menjadi organisasi
bagi para penyandang disabilitas tidak hanya mereka yang menjadi korban gempa, tetapi
juga penyandang disabilitas lama bukan karena gempa yang selama ini disembunyikan oleh
keluarganya dan terpinggirkan dalam pergaulan sosial. Mereka muncul untuk coming out
dan memberi pelajaran bagi masyarakat bahwa perbedaan merupakan hal yang biasa dan
proyek normalisasi merupakan sesuatu yang berhak untuk ditolak jika tidak diinginkan
oleh mereka. Bahkan mereka juga sudah mampu untuk mengkounter wacana gerakan
perempuan mainstream bahwa mereka juga berhak untuk diakomodasi kepentingannya,
dimana perempuan dengan disabilitas mempunyai hak yang sama dengan perempuan
lainnya secara universal. Studi preliminari yang dilakukan dengan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan etnografi ini merupakan studi preliminary yang masih
berproses dengan penelitian selanjutnya.
Kata kunci: perempuan dengan disabilitas, gempa bumi, politik pengakuan, DPO (Disabled
People Organization), model individual dan model sosial disabilitas
52
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
Abstract
This study is a preliminary study of the politics of recognition of women with disabilities
in th eaftermath of the 2006 earthquake in Bantul and Klaten, Yogyakarta and Central
Java. In this preliminary study, it is found that there is transformation in the disability
movement in both regions. The author would like to underline that the role of new women
with disabilities affected by earthquake can encourage the transformation of the women
with disabilities’ movement. These changes can be seen from all sides which before the
earthquake, the discourse of women with disabilities are seen as a personal tragedy
wher edisability issues are seen as an individual problem. The common approach used to
deal with them is a charity activities, training services that are clinically aimed to make
them as normal people and have independent lives. After the earthquake, there are a
lot of DPO(Disabled People Organization) and association sfor persons with disabilities
which accomodate not just those affected by the earthquake, but also all persons with
disabilities who had been hidden by their families and socially marginalized. They
appear to becoming out and giving a lesson to the people that the differences are common
and normalization project is a choice that they have rights to refuse if it is not desired by
them. In fact, they also have been able to counter the mainstream women’s movement
discourse that their interests are also entitled to be accommodated in universal women’s
discourse. This preliminary study which conducted by qualitative research methods with
an ethnographic approach is still very early and still continuing with further research.
Key words: women with disabilities, earthquake, politics of recognition, DPO (Disabled
People Organization), individual and social model of disabilities
A. Latar Belakang
rumah, fasilitas pendidikan, kesehatan
Bencana gempa yang terjadi pada bulan serta fasilitas pelayanan publik yang lain
Mei tahun 2006 sudah berlalu. Program- sudah dianggap cukup untuk melayani
program rekonstruksi dan intervensi juga penduduk di kantong bencana dan meng
sudah dilakukan. Mayoritas lembaga- gantikan bangunan yang lama dengan
lembaga non pemerintah baik itu nasional tingkat kerusakan infrastruktur yang
dan internasional yang pada masa tanggap parah. Tingkat kerusakan dan kerugian
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi saling infrastruktur tersebut diperkirakan se
bekerja sama membantu memulihkan jumlah 29, 129 milyar rupiah dan korban
keadaan di titik-titik bencana sudah me jiwa sekitar 5.716 orang dan korban luka
ninggalkan Yogyakarta dan Klaten, Jawa berat sebanyak 37.927 jiwa (Budisusila,
Tengah. Lembaga-lembaga tersebut meng 2007).
alihkan program intervensi mereka di
Pada saat dan setelah gempa terjadi,
daerah lain yang lebih membutuhkan
kelompok perempuan, anak-anak dan
prioritas bantuan.
lanjut usia menjadi kelompok yang paling
Bangunan infrastruktur yang baru, rentan dalam menerima resiko terburuk
53
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
akibat gempa. Dikarenakan tingkat keren mereka yang selamat, belum tentu hidup
tanan dan dinamika yang terjadi dalam menjadi mudah karena banyaknya bantuan
ketiga kelompok tersebut berbeda, penulis berdatangan. Mereka yang selamat tetapi
akan secara spesifik memfokuskan pada harus mengalami perubahan fungsi tubuh
kelompok perempuan rentan yaitu akibat tertimpa bangunan atau barang
kelompok perempuan dengan disabilitas1. berat akibat gempa harus menghadapi
Menurut Fatimah (2007), perempuan dampak akibat kondisi tubuhnya yang
banyak menjadi korban gempa baik itu cacat seumur hidup mereka. Kualitas hidup
meninggal dunia maupun korban dengan yang prima sebelum gempa menjadi turun
luka berat karena pada saat gempa terjadi, drastis karena kondisi kelumpuhan atau
mereka banyak yang sedang berada di kehilangan anggota tubuh menjadikan
dapur untuk menyiapkan makanan untuk kehidupan mereka sehari-hari lebih sulit
keluarga. Sementara itu, akses untuk dijalani. Perempuan dengan paraplegia2
menyelamatkan diri keluar rumah relatif sangat sulit untuk hidup tanpa bantuan
jauh karena dalam konstruksi rumah di orang lain karena kelumpuhan yang
masyarakat Jawa, letak dapur berada di mereka alami sementara akses dan peluang
bagian paling belakang dari struktur rumah. untuk bisa hidup mandiri di lingkungan
Lebih jauh lagi, kondisi bangunan dapur mereka sangat bias normal. Semua fasilitas
relatif lebih buruk dan lebih rentan untuk publik tidak memungkinkan mereka bisa
ambruk dibanding dengan bangunan lain di mengaksesnya, bahkan yang lebih buruk,
dalam rumah seperti kamar tidur dan ruang konstruksi rumah mereka sendiri juga
tamu sehingga perempuan menjadi korban tidak memungkinkan bagi mereka untuk
karena tidak sempatmenyelamatkan diri. bisa melakukan semuanya dengan mandiri.
Pun ketika sedang tidak berada di dapur, Dimulai dari pintu rumah yang tidak bisa
perempuan pasti sedang berusaha me diakses kursi roda, kamar mandi yang
nyelamatkan anak-anaknya sebelum berundak dan pintu yang sempit sehingga
menyelamatkan diri mereka sendiri juga tidak memungkinkan bagi penyandang
sehingga waktu yang diperlukan untuk bisa disabilitas untuk melakukan aktivitas paling
selamat dari bencana tersebut semakin pribadi sekalipun secara mandiri.
panjang sehingga banyak dari mereka dan
Perempuan dengan disabilitas meng
anak-anak menjadi korban.
alami penderitaan yang berlapis karena
Setelah gempa berlalu, mereka harus ketika mereka menjadi korban hidup,
menghadapi banyak tantangan karena mereka harus menghadapi banyak adaptasi
hidup harus terus berjalan meskipun mereka karena kemampuan tubuhnya yang tidak
tidak lagi hidup yang selengkap seperti lagi seperti dulu. Dengan menjadi pe
sebelumnya. Rumah yang belum selesai nyandang disabilitas mereka harus ber
dibangun, kesulitan untuk mendapatkan air hadapan dengan banyak stigma dan
bersih sementara makanan yang sehat dan pengalaman yang menyulitkan mereka
gizi yang baik untuk anak-anak yang harus untuk melanjutkan hidup. Banyak yang
selalu dicukupi, Sementara itu, perempuan menderita depresi dan trauma psikologis
juga tetap harus bekerja keras bersama yang sulit untuk dilupakan dari memori
suami untuk menghidupi keluarganya. Bagi bahkan kasus percobaan bunuh diri
54
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
menjadi kasus yang umum didengar dari beradaptasi sekaligus dengan tubuhnya,
penyandang disabilitas baru korban bencana dengan kenyataan baru sebagai orang tua
tersebut. Perempuan-perempuan tersebut tunggal dan sebagai tiang ekonomi bagi
juga harus rela ditinggalkan pasangannya keluarganya.
karena stigma ketidakmampuan mereka
Prakteknya, mereka harus berjuang
untuk melakukan aktivitas seksual begitu
setiap hari untuk bertahan dan berdaptasi
melekat. Hasil penelitian yang dilakukan
dengan kondisi tubuh mereka dan berjuang
oleh lembaga SAPDA (Sentra Advokasi
untuk bertahan hidup. Mereka dengan
Perempuan, Difabel dan Anak) sejak tahun
kehilangan kemampuan bekerjanya harus
2009 sampai dengan 2011 (Andriani,
menghadapi banyak hambatan karena
2011) menyebutkan bahwa hampir semua
kondisi tubuh mereka. Mereka harus terus
perempuan yang menikah dan menjadi
hidup tidak hanya untuk diri sendiri tetapi
penyandang disabilitas karena gempa
juga berpikir bagaimana harus menghidupi
ditinggalkan oleh pasangannya baik itu
anak-anak mereka serta berpikir setiap saat
secara resmi maupun dikembalikan ke
bagaimana mendapatkan kelangsungan
keluarganya tanpa kejelasan status. Mereka
medikalisasi bagi tubuh mereka serta
yang tidak ditinggalkan pasangannya kerap
asuransi kesehatan yang bisa digunakan
menerima kekerasan dalam rumah tangga
setiap waktu oleh mereka karena praktis
dan dieksploitasi secara ekonomi oleh
dengan menjadi penyandang disabilitas
suaminya karena mereka mendapatkan
mereka harus selalu menghadapi ma
bantuan sosial secara rutin dari pemerintah
salah kesehatan yang menuntut pada
dan dari lembaga sosial lainnya. Penelitian
pemenuhan jaminan kesehatan mereka
tersebut menyebutkan bahwa dari 7
secara jangka panjang. Disamping masalah
responden yang belum menikah ketika
dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar,
menjadi disabel baru, hanya 1 perempuan
mereka juga harus menghadapi masalah
yang tidak ditinggalkan oleh pasangannya
berkaitan dengan adaptasi mereka dengan
dan menikah pada tahun 2011. Perempuan
kondisi tubuh yang berbeda, bagaimana
disabel baru tersebut harus menghadapi
menggunakan alat-alat bantu untuk secara
kenyataan pahit barlapis bahwa mereka
mandiri, berinteraksi serta menggunakan
tidak lagi bisa beraktivitas secara mandiri,
fasilitas publik dan lain-lain.
ditinggalkan pasangan yang tidak mau
bertanggung jawab terhadap keluarga serta Pasca gempa, mereka menerima banyak
anak-anak yang harus ditopang hidupnya. bantuan dari pemerintah maupun dari LSM
Sementara bagi perempuan-perempuan lokal maupun internasional. Terkadang,
tersebut, bekerja di luar merupakan hal mereka juga mendapatkan bantuan
yang mustahil karena akan membutuhkan lainnya dari sumber dana yang lain seperti
banyak bantuan dari orang lain dan donatur, perkumpulan-perkumpulan yang
tentu saja biaya yang tidak sedikit agar peduli terhadap keberlangsungan dan
memungkinkan mereka untuk melakukan kesejahteraan hidup mereka yang menjadi
mobilitas seperti misalnya membeli sepeda penyandang disabilitas. Program-program
motor roda tiga, kursi roda yang ringan pemberdayaan dan intervensi juga banyak
dan alat bantu yang lainnya. Mereka harus dilakukan tidak hanya untuk disabel baru
tetapi juga untuk disabelbukan korban
55
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
56
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
57
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
kelompok mereka ditengah gerakan pe utama yang sama sekali menutup peluang-
rempuan mainstream di Yogyakarta. peluang untuk berdaya. Sebagai contoh,
dalam kehidupan keluraga, anak-anak
B. Absennya Isu Disabilitas dalam
perempuan akan cenderung mendapatkan
Gerakan Perempuan
pola pengasuhan domestik dengan harap
Diskusi mengenai gender dalam an dapat menjadi pendamping dan
konteks perempuan difabel tampaknya pengasuh yang berkarakter serupa dengan
memang belum menjadi wacana yang internalisasi nilai seperti kepatuhan
populer. Meskipun gender memposisikan dan kelemahan. Implikasi kongkritnya
dirinya sebagai kajian partikular sebagai adalah, perempuan tidak dianjurkan me
sebuah kontras atas mainstream-main miliki ambisi untuk bersekolah tinggi,
stream universal namun masyarakat akan berwawasan luas atau berkarakter keras
lebih mudah jika mencari kedalaman sebagai pemimpin. Sehingga pada periode
isu gender tentang peran sosial, politik, pertumbuhan jangka panjang, perempuan
ekonomi, seksualitas dibandingkan dengan akan semakin matang untuk menjadi
pembahasan yang lebih menukik tentang pengikut laki-laki-penguasa-pemilik ke
perempuan disabel. Padahal jika hendak putusan. Demikian halnya di ranah publik
merujuk pada teori peran West dan yang terkenal dengan feminisasi kerja
Zimmerman (1987), maka hampir dapat nya. Perempuan hanya seolah-olah telah
dikatakan bahwa tidak ada satu orang pun keluar dari kungkungan diskriminatif,
yang akan luput dari sosialisasi gender. namun sebetulnya masuk dalam perangkap
Sosialisasi gender yang terjadi melalui domestifikasi dalam ruang baru bernama
berbagai mekanisme berlapis, mulai publik.
dari keluarga, masyarakat hingga negara
Pada kondisi yang dikatakan ‘normatif’
akan senantiasa menghadirkan individu
untuk tidak melakukan dikotomi atas
sebagai subjeknya. Oleh karena itu pada
normal dan tidak normal, maka keberadaan
setiap pola interaksi dapat dipastikan akan
perempuan disabel menjadikan sebuah
muncul sebuah persoalan yang terkait
refleksi besar. Masih dalam konteks peran
dengan gender seperti dalam tarik menarik
sosial, Goffman (dalam Gerschick, 2000)
kekuasaan, hubungan berbasis kekerasan
menggarisbawahi bahwa disabilitas bukan
hingga komodifikasi tubuh. Menariknya, di
hanya persoalan fisik atau mental namun
berbagai bentuk dinamika interaksi gender
juga terkait dengan relasi sosial dan stigma.
tersebut, perempuan justru sering menjadi
Manusia dengan disabilitas cenderung akan
pihak yang akan teridentifikasi sebagai
mendapatkan sangkaan buruk dari orang
korban. Mengapa? Sebab konstruksi sosial
lain seperti cacat, abnormal, bahkan gila.
yang sampai saat ini semakin menimbulkan
Mereka didiskriminasi atas kondisi yang
kegamangan karena belum juga berakhir,
tidak serupa dengan kebanyakan orang
perempuan sering ditempatkan pada posisi
sehingga sering dikategorikan sebagai yang
minor atau subordinat.
lain atau tidak terdaftar sebagai subjek
Dalam struktur patriarkhis, kehadiran dalam keseharian. Demikian halnya dalam
perempuan hanya dijadikan sebagai pe peran gender, dimana labelitas terlekat
lengkap atau peyongkong setiap kegiatan pada proses interaksi sehari-hari, maka
58
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
legitimasi atas maskulin dan feminin sering itu dalam agenda perjuangan sebetulnya
lahir dari konstruksi yang diberikan oleh dua hal tersebut memiliki ruh dan spirit
orang lain seiring dengan stigma yang yang serupa dalam melihat, memahami
terjadi. dan menerjemahkan kelompok-kelompok
rentan. Namun ternyata, dalam prakteknya,
Dalam ranah keluarga, kepemilikan
kasus-kasus perempuan disabel tidak
seseorang atas gendernya juga menjadi
cukup hanya dapat dijelaskan dengan
bersarat dan sekali lagi sangat ditentukan
pendekatan-pendekatan disabilitas. Hal ini
oleh kekuasaan orang lain atau dalam hal ini
disebabkan oleh persoalan berlapis yang
orang tua. Gerschick (2000) mencontohkan
dimiliki oleh perempuan disabel dibanding
bahwa anak yang lahir dengan disabilitas
perempuan bukan disabel dan laki-laki
bawaan maka orang tua atau orang-orang
disabel. Gerschick (2000) menuliskan
yang ada di sekitarnya akan menetapkan
bahwa meskipun laki-laki dan perempuan
anak tersebut dalam kategori jenis
memiliki pengalaman yang serupa tentang
kelamin teretntu namun tidak memiliki
marginalisasi, isolasi dan diskriminasi
ekspektasi terhadap peran gendernya.
namun variasi atas jumlah ketidakbaikan
Berbeda dengan anak-anak yang yang
tersebut mengantarkan mereka pada porsi
memiliki kondisi disabilitas ringan seperti
analisis yang berbeda. Misalnya, perempuan
ketidakmampuan melihat (buta), maka
disabel menjadi lebih rentan untuk menjadi
para orang tua akan memiliki harapan
sasaran perkosaan atau pelecehan seksual.
yang besar untuk mensosialisasikan
Hal ini dikarenakan konstruksi berlapis
dan menginternalisasikan peran gender
yang dilekatkan. Perempuan dasarnya
tertentu terhadap anak tersebut. Anak-anak
dianggap lemah akan semakin disangka
dengan disabilitas cenderung sulit untuk
tidak memiliki arti apapun ketika didapati
mendapatkan peluang dalam memahami
kondisi tubuhnya dalam kategori disabel.
konstruksi maupun realitas peran gender
Secara ekstrim, perempuan dengan
bahkan memiih sendiri peran gendernya
disabilitas hanya akan dimaknai sebagai
karena persoalan stigma yang hampir
objek atau benda yang tidak bermanfaat
menjadi bagian kehidupannya menjadi
selain alat pemuas pihak lain yang lebih
penghalang tersendiri untuk keluar
berkuasa.
menjadi individu yang bebas. Meskipun
teori gender mengarahkan agar setiap Secara teoritis, pendekatan gender dan
orang memiliki peluang yang sama untuk fenimisme telah berupaya untuk mencapai
mempelajari, memahami dan merespon seluruh ranah yang menjadi bagian dari
tentang konstruksi peran gender yang interaksi gender. Chafetz (1999) misalnya,
disosialisaikan namun perlu digarisbawahi dalam Handbook of the Sociology of
bahwa derajat kesempatan bagi anak-anak Gender juga telah menurunkan beberapa
disabel jauh lebih terbatas dibandingkan pendekatan gender hampir ke dalam ritual
yang bukan disabel. keseharian masyarakat dalam berinteraksi.
Penjelasan teori yang paling mendekati
Studi tentang gender dan disabilitas
adalah yang disebutkan Kronenfeld (1999)
pada akhirnya sama-sama memberikan
tentang penyakit mental. Namun penjelasan
tekanan pada isu diskriminasi dan akses
tersebut hanya terbatas pada argumentasi
atas pemenuhan hak dasar. Oleh karena
59
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
60
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
konsepsi tubuh merupakan wilayah yang terbatas pada penyakit (illness), kesehatan
sangat politis dalam menerjemahkan (health), kecantikan, genetik, usia, dan
identitas manusia. Bagi Butler (1993), teknologi reproduksi. Lebih jauh, Feminist
tubuh merupakan sebuah hasil ciptaan Disability akan lebih menfokuskan pada
yang berulang-ulang dipertontonkan perempuan yang mengkaitkan konsep
untuk sampai pada asumsi tentang ke tubuh, politik, medikalisasi tubuh, multi
benaran. Proses ini dianggap tidak dapat kulturalisme, seksualitas, konstruksi sosial
menjelaskan tentang pangkal dari kelahiran atas identitas dan komitmen untuk integrasi
sebuah tubuh sebagai sebuah definisi yang (Thomson, 2002).
sebenarnya. Tubuh akan bertahan sebagai
C. Politik Pengakuan Perempuan
sebuah bagian dari kehidupan hanya jika
dengan Disabilitas: Transfor
memiliki label gender tertentu seperti laki-
masi Disabilitas Model Individu
laki atau perempuan dimana seseorang
ke Model Sosial
akhirnya kehilangan makna individunya
dalam menentukan pilihannya. Pendekatan Perempuan dengan disabilitas korban
tentang konsep tubuh ini sebetulnya gempa mampu mengartikulasikan ke
menarik untuk dijadikan landasan berfikir pentingan kelompok disabel secara
dalam menjelaskan perempuan dengan umum di Yogyakarta. Perempuan yang
disabilitas bahwa ternyata dimensi tubuh sejak kecil disosialisasikan untuk bisa
setiap perempuan itu tidak hanya berhenti bertahan dalam kondisi apapun ternyata
pada identitas perempuan yang dilekatkan membuktikan bahwa mereka tidak hanya
sebelumnya. Namun mereka mengalami bisa bertahan saja tetapi mampu merubah
akumulasi pengalaman yang akhirnya konstruksi sosial dalam masyarakat dalam
menempatkan mereka untuk menyandang memandang disabilitas, setidaknya di
status perempuan dengan disabilitas, lingkungan tempat tinggal mereka. Dengan
sama dengan perempuan yang lesbian hadir sebagai penyandang disabilitas baru,
atau perempuan yang waria. Namun, mereka memberikan perspektif baru dalam
lagi-lagi Butler juga tidak secara eksplisit masyarakat bahwa keberagaman merupakan
mengakomodir fenomena lain di luar keniscayaan termasuk keberagaman dalam
variasi identitas perempuan-perempuan hal fisik sehingga masyarakat tidak lagi
yang lesbian atau waria tersebut. Argumen terkotak dalam kriteria normalcy bahwa
tasinya berhenti pada perdebatan tentang yang memiliki kondisi fisik berbeda dengan
keberadaan perempuan dalam relasi yang umumnya dimiliki oleh anggota
heteroseksual dan homoseksual. masyarakat dianggap sebagai tidak normal.
Kriteria tersebut sejak lama menghegemoni
Oleh karena itu Thomson (2002)
masyarakat sehingga anggota masya
menggarisbawahi untuk perlunya meng
rakat dengan disabilitas cenderung disem
hadirkan kelengkapan studi feminis
bunyikan oleh keluarganya, seolah-olah
dengan mempertimbangkan keberadaan
dilindungi supaya tidak menjadi bahan
perempuan dengan disabilitas. Teori
ejekan di lingkungan sekitarnya dan tidak
yang dinamai dengan Feminist Disability
pantas untuk disejajarkan sama dengan
memiliki misi besar untuk melampaui topik-
anggota masyarakat lainnya. Kini, dalam
topik umum disabilitas yang cenderung
konteks perjuangan perempuan, tidak
61
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
hanya kesetaraan dengan laki-laki saja banyak tersebar di Bantul dan Yogyakarta.
yang diperjuangkan tetapi juga bagaimana Mereka mampu terus menjalankan
mengakui derajat dan martabat perempuan aktivitas dalam organisasi karena sudah
disabel tidak hanya dalam konteks kultur terbiasa melakukan multitasking meskipun
androsentris tetapi mengakui keberadaan mereka juga punya tanggung jawab bekerja
perempuan tersebut dalam konteks dan merawat keluarganya. Salah satu
pergaulan yang heterogen. (Lugones and informan yang juga salah satu Ketua DPO
Spelman 1983; Spelman 1988 dalam Baum, mengatakan:
2004).
“ Secara presentase ibu-ibu disabel
Dalam studinya, Henriatta Moore punya SDM lebih bagus dibanding
(dalam Baum, 2004) menyebutkan bahwa bapak-bapak disabel. Mereka
mengakui perbedaan tidak hanya sekedar rata-rata lulusan SMA, sementara
mendiamkan keberbedaan itu terjadi, tetapi bapak-bapak hanya lulusan SD.
realisasi dari pengakuan itu juga harus Melihat kemampuan mereka,
diwujudkan yaitu transformasi sosial dalam maka pantas kalau jadi ketua.
konteks dimana kelompok masyarakat Karena ibu-ibu punya lumayan
hidup. Dalam konteks perempuan korban banyak waktu, sedangkan bapak-
gempa, keberadaan mereka menjadi bapak kerja untuk kehidupan
pembelajaran bagi masyarakat di Bantul, ekonomi sehingga jarang bisa dan
Klaten dam Yogyakarta bahwa ada mau aktif dalam organisasi. Yang
perbedaan lain selain perbedaan budaya, jelas kalau ibu-ibu pendidikannya
agama, etnis, dan jenis kelamin. Sebelum tinggi sehingga bisa organisasi
gempa terjadi, masyarakat menganggap tetap bisa jalan sampai sekarang.”
mereka penyandang disabilitas adalah
Keterlibatan perempuan dalam or
anggota masyarakat yang terbelakang,
ganisasi disabilitas ternyata tidak hanya
tidak beruntung dan tidak menganggap
memberi pembelajaran bagi masyarakat
masalah disabilitas adalah masalah sosial.
akan keberbedaan, tetapi mampu merubah
Mereka menganggap masalah disabilitas
perspektif medikalisasi atau perspektif
adalah masalah individu disabel dan
individual model disabilitas menuju ke
keluarganya sehingga tidak layak untuk
perspektif sosial model disabilitas. Cara
dicampuri. Bahkan stigma yang berakar
pandang medical model yang juga disebut
kuat dalam masyarakat masih menganggap
sebagai individual model melihat disabilitas
bahwa menjadi atau terlahir sebagai disabel
dari sudut pandang medis (kesehatan).
merupakan hukuman dari Tuhan sehingga
Cara pandang ini mendefinisikan disabilitas
mereka dan keluarganya layak menjalani
sebagai sebuah kelemahan fisik dan mental
penderitaan tersebut di dunia. Cara
yang berakibat pada keterbatasan individu
pandang moral model tersebut kemudian
dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
bergeser setelah gempa terjadi. Perempuan
Medical atau individual model memahami
yang porsinya lebih banyak menjadi
disabilitas sebagai personal tragedy atau
penyandang disabilitas karena gempa
kecelakaan individu yang harus disem
mampu menggerakkan aktivitas dalam
buhkan seperti orang normal lainnya dalam
DPO (Disabled People Organization) yang
kacamata medis. Para dokter, perawat
62
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
kesehatan dan ahli terapi fisik adalah prioritasi terhadap sumber daya, soal
kelompok yang memiliki kekuasaan dalam kemiskinan, pengangguran, dan sistem
menentukan keputusan dan kebijakan atas pelayanan medik yang sudah dilakukan
kehidupan para penyandang disabilitas. oleh masyarakat sejak lama terhadap
Dari sini muncul ide pembangunan Pusat penyandang disabilitas. Masalah dasar
Rehabilitasi Medik yang tujuannya adalah yang dhadapi oleh penyandang disabilitas
menormalisasi tubuh pasien sehingga bisa dalam paradigma ini adalah rendahnya
mendekati normal. Akibatnya mereka pengakuan atau penerimaan masyarakat
justru tereksklusi dan frustasi karena terhadap keberadaan penyandang dis
proses penormalan yang menyakitkan dan abilitas sebagai bagian intergral dari
terjadi pengabaian hak mereka untuk tetap kehidupan masyarakat. Adapun bentuk
menjadi disabel. Seolah-olah yang tidak nyata dari permasalahan yang dihadapi
berusaha menjadi normal dianggap sebagai oleh panyandang disabilitas adalah tidak
disabel yang malas, tidak mau belajar dan meratanya distribusi atau akses teknologi,
putus asa. Padahal untuk kembali menjadi asistensi terhadap penyandang disabilitas
normal jelas tidak mungkin sehingga yang masih menggunakan paradigma
proses normalisasi hanya membuat medik, tidak adanya pencitraan yang baik di
frustasi berkepanjangan, rendah diri dan media massa dan penempatan penyandang
menjadikan kelompok disabel seperti objek disabilitas dalam pusat rehabilitasi. Lebih
yang bisa menjadi bahan intervensi dan jauh oleh Maduqi (2011) dijelaskan bahwa
percobaan dokter kapan saja. Salah seorang paradigma social model ini memandang
informan mengatakan bahwa: persoalan penyandang disabilitas secara
utuh dan menyeluruh sehingga pandangan
“Saya selalu diberi alat-alat dan
ini banyak dianut oleh para aktivis disabilitas
kursi roda baru dari lembaga baik
di seluruh dunia. Penempatan disabilitas
itu lokal dan internasional. Saya
sebagai persoalan kolektif masyarakat telah
selalu menerima bantuan-bantuan
merangsang berkembangnya gerakan sosial
tersebut tetapi kenyataannya
penyandang disabilitas di banyak negara
tidak saya pakai, karena kursi
tidak terkecuali di Indonesia. Sosial model
roda itu yang dikatakan lebih
tersebut oleh Oliver (1996) digambarkan
mempermudah kita untuk melaku
sebagai berikut:
kan mobilitas ternyata justru
membuat tubuh kita mudah lelah
dan menyulitkan saya untuk
melakukan aktivitas pribadi
dengan mandiri”
63
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
Disability Model
The Individual Model The Social Model
Sumber: Michale Oliver dalam Understanding Disability: From Theory to Practice, Palgrave (1996)
64
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
mudah dihilangkan dari benak masyarakat. dan meluruskan stigma yang selama
Dengan prestasi-prestasi kecil di tingkat ini melekat pada diri mereka. Dalam
desa, mereka mulai membangun citra positif wawancara dengan aktivis tersebut didapat
mengenai penyandang disabilitas dan ini informasi mengenai perjuangan mereka:
menguntungkan bagi kondisi penyandang
“Ya sedikit-sedikit mbak kita
disabel secara keseluruhan. Mereka yang
melakukan advokasi ke lembaga-
dulunya tersembunyi dalam ruang-ruang
lembaga advokadi perempuan
kotak di rumah mereka mulai berani coming
seperti Rifka Annisa supaya
out dan bergabung dalam aktivitas sosial
mereka juga mengerti bahwa
di DPO. Aktivitas-aktivitas yang beragam
ada eksklusi jika menganggap
dalam DPO yang banyak tersebar di Bantul,
semua perempuan kondisinya
Klaten dan Yogyakarta disabel juga mulai
sama. Harus ada pembahasan dan
diakui oleh pemerintah sehingga mereka
penanganan yang berbeda jika
bisa secara langsung mengkases dana dari
berbicara mengenai perempuan
pemerintah yang sebelumnya dimonopoli
dengan disabilitas”.
oleh YPCI (Yayasan Penyandang Cacat
Indonesia) Seorang aktivis salah satu LSM Selain itu, perjuangan bagi pengakuan
disabilitasyang bernama Nina mengakui kelompok perempuan dengan disabilitas
bahwa jalan panjang bagi kesetaraaan adalah perjuangan supaya mereka bisa
masih panjang tetapi ada optimisme bagi melakukan mobilitasfisik secara mandiri,
perjuangan gerakan perempuan disabel di coming out dan berpartisipasi dalam
daerah Yogyakarta dan sekitarnya karena kegiatan di masyarakat. Selain itu, akses
makin banyak perempuan yang terlibat terhadap jaminan kesehatan terhadap
dalam advokasi bagi disabel perempuan penyandang disabilitas merupakan prio
mengingat perempuan sangat rentan ritas utama dari gerakan ini. Anggota-
pelecahan, penindasan dan kekerasan. anggota dalam DPOselalu dimotivasi tetap
Dalam hal seksualitas mereka juga masih bertahan dalam aktivitas di DPO supaya
terpinggirkan artinya belum dibahas mereka tidak tersembunyi dalam pergaulan
dalam diskursus gender dan seksualitas. di masyarakat. Mereka tetap berupaya
Padahal banyak miskonsepsi mengenai supaya masyarakat umum terbiasa melihat
dinamika perempuan dengan disabilitas dan bergaul dengan disabel sehingga tidak
dan seksualitas. Pemahaman bahwa mere pernah luput dari pelibatan pengambilan
ka aseksual dan tidak produktif sama keputusan dan lain-lain. Mereka juga
sekali tidak benar. Banyak yang masih bisa berupaya mengatasi masalah hambatan
melakukan aktivitas seksual dan secara dalam hal akses ke lapangan pekerjaan
bilogis produktif tetapi wacana umum dan lain-lain. Meskipun sangat sedikit dari
menganggap mereka sebagai makhluk tidak mereka yang bekerja di ranah publik tetapi
utuh, aseksual dan tidak mempunyai gairah. beberapa yang berhasil masuk menjadi
Menurut aktivis tersebut, pendidikan me dalam industri service seperti menjadi
ngenai disabilitas dan seksualitas sangat operator telepon hotel berbintang, menjadi
diperlukan terutama untuk memberikan manajer proyek di LSM lokal maupun
kenyamanan bagi penyandang disabilitas internasional dan lain-lain. Pengakuan akan
hak sipil mereka juga dibuktikan dengan
65
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
diijinkannya secara resmi bagi penyandang hidup mereka pasca tahapan rekonstruksi
disabilitas untuk mengendarai sepeda dan rehabilitasi. Bagaimana dan sejauh
motor roda tiga dengan dikeluarkannya mana kesuksesan mereka dalam mencapai
SIM D untuk mereka. peningkatan taraf hidup mulai dari tahapan
being, belonging dan becoming masih
Perjuangan bagi pengakuan tersebut
memerlukan elaborasi lebih lanjut. Mulai
tidak hanya terhenti pada advokasidalam
dari Being bagaimana terpenuhi kebutuhan
mengakses asuransi kesehatan, bantuan
kesehatan fisik, psikologis dan spiritual
pemerintah, tetapi juga pengakuan dalam
menuju Belongingyaitu bagaimana mereka
kancah pergaulan secara umum, bagaimana
terpenuhi kebutuhan dalam mengakses
masyarakat menyadari keberadaan disabel
lingkungan fisiknya, pelayanan sosial,
sama eksisnya dengan mereka yang bukan
pekerjaan dan pendapatan serta yang
disabel. Saat ini, pengakuan yang sedang
paling penting adalah Becomingbagaimana
diperjuangkan oleh perempuan dengan
mereka bebas dan mandiri dalam melakukan
disabilitas secara khusus dan penyandang
aktivitas keseharian, mempunyai waktu
disabilitas secara umum adalah bagaimana
dan kondisi yang nyaman bagi peningkatan
mereka mengatasi masalah utama yaitu
pengetahuan dan ketrampilannya.
dalam mengakses fasilitas publik dan
mengkampanyekan bagi pembangunan Aktivitas perempuan disabel korban
infrastruktur yang ramah disabel. Di India, gempa dalam perjuangan bagi kesetaraan
dalam struktur patriarki yang begitu kuat perempuan dan disabel secara umum
dan dogma agama yang sangat kental, mencapai hal-hal yang sebelumnya tidak
kondisi disabel perempuan lebih buruk tersentuh oleh penyandang disabilitas mulai
kondisinya. Hak disabel hanya bisa diraih berkurangnya stigma terhadap penyandang
oleh mereka dari golongan elit saja, misalnya disabilitas secara umum, akses terhadap
mereka yang bisa mengakses perjalanan hak sipil, sosial dan politik serta pengakuan
udara, hotel berbintang dan parkir mobil dari masyarakat akan hadirnya mereka di
khusus disabel yang notabene hanya sedikit tengah pergaulan yang heterogen. Gerakan
dari populasi disabel di India yang bisa perempuan disabel pasca gempa mampu
mengaksesnya. Dari pengalaman tersebut, menginspirasi bagi perjuangan kelompok
sosialisasi dan solusi yang diperlukan bagi tertindas lainnya bahwa perjuangan
gerakan perempuan dan disabilitas tidak bagi kelompok tertindas harus mampu
hanya melokasi disabilitas hanya sebatas melampaui perspektif yang sudah mapan
persoalan tubuh saja tetapi melihat disabel dalam hal ini perspektif medis, individual
sebagai model sosial yang melihat kelompok dan material menuju ke perspektif yang
tersebut sebagai kelompok tertindas dalam objectif dan model sosial dimana terdapat
masyarakat dan menuntut bagi perubahan perjuangan terhadap hak sipil, politik dan
sosial (Ghai, 2002). sosial yang sifatnya kolektif. Discredited
social stigma menurut istilah Goffman
D. Penutup
(stigma yang tidak bisa disembunyikan) dan
Tulisan ini merupakan elaborasi awal coming outyang dilakukan oleh penyandang
mengenai aktivisme perempuan disabel disabilitas ternyata justru bisa pelan-pelan
korban gempa dan sejauh mana kualitas melepaskan mereka dari stigma negatif
66
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani, POLITIK PENGAKUAN PEREMPUAN
DENGAN DISABILITAS PASCA BENCANA GEMPA DI YOGYAKARTA
sebagai penyandang disabilitas. Dari situ New York: Palgrave Mac Millan
keadilan sosial, inklusivitas, partisipasi,
pengakuan dan legitimasi dengan sendirinya Budisusila, A. (2007). Bencana dan
juga akan berproses menuju level yang kehidupan berkelanjutan. Dalam
lebih maksimal. DPO sebagai bodysangat Widyanta. A.B (Ed.), Kisah kisruh di
bermanfaat sebagai alat untuk mengakses tanah gempa: catatan penanganan
hak sosial dari pemerintah seperti jaminan bencana gempa bumi Yogya-
kesehatan, dan mendapatkan kepastian Jateng 27 Mei 2006 (pp.215-238),
dalam mendapatkan hak sipil seperti Yogyakarta: Cindelaras Pustaka
pengurusan KTP, SIM dan hak memilih Rakyat Cerdas
dan mendapatkan akses dalam pemilihan Candace, W. & Zimmerman, Don, H. (1987).
umum. Nancy Fraser seorang tokoh Gender and Society. Dari http://
politik pengakuanmengatakan bahwa links.jstor.org/sici?sici. Diakses 8
dalam pengakuan yang penting tidak September 2010.
hanya promosi terhadap perbedaan tetapi Denise, B. D. (1999). Gender and Family
bagaimana redistribusi sumber daya itu Relation. Dalam Saltzman (Ed.),
juga berjalan sehingga ada kombinasi antara Handbook of the Sociology of
cultural politics of differencedengansocial Gender. University of Houston
politics of equality. Itu yang akan Texas. Springer.
selalu diperjuangkan oleh para pejuang Elizabeth, E. M. (1999). Gender and politics.
perempuan dimanapun berada. Dalam Saltzman (Ed.), Handbook of
the Sociology of Gender. University
of Houston Texas. Springer.
Fatimah, D. (2007). Yang sering terabaikan:
Daftar Pustaka gender dan anggaran dalam
Andriani, N.S (2011). Kesehatan reproduksi bencana. Dalam Widyanta. A.B
perempuan disabel baru: Sebuah (Ed.), Kisah kisruh di tanah gempa:
pengalaman pendampingan perem catatan penanganan bencana
puan korban gempa bumi. Dalam gempa bumi Yogya-Jateng 27 Mei
M. Hasbie (Ed.), Seksualitas dan 2006 (pp.433-450), Yogyakarta:
kesehatan reproduksi perempuan Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
dengan disabilitas (pp.89-99), Garland, T.R.(2002). Integrating
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Disability, Transforming Feminist
Baum, B. (2004). Feminist politics of Theory. Feminist Disability Studies
recognition. Signs, Vol 29, No.4 Vol 14 No 3. The John Hopkins
(Summer 2004), pp. 1073-1102. University Press. http://www.jstor.
Diakses tanggal 9 Januari, 2012. org/stable/4316922. Accessed
Dari http://www.jstor.org/ 26/09/2012.
stable/10.1086/382630 Ghai, A. (2002). Disabled women: an
Beckett, A.E. (2006). Citizenship and excluded agenda of Indian feminism.
vulnerability: disability issues of Hypatia, Vol 17, No.3 (Summer
social and political engagement. 2002), pp. 49-66. Diakses tanggal
67
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
16 Oktober, 2012. Dari http://jstor. tulisan ini konsep penyandang disabilitas bisa
dipertukarkan dengan konsep orang dengan
org/stable/3810795 disabilitas atau disabel. Konsep Orang dengan
Jacobs., K.J(1999). Gender and Health Disabilitas menjadi konsep baru setelah
Status: Handbook of the Sociology sebelumnya konsep penyandang cacat berubah
menjadi konsep difabel (different ability) yang
of Gender. University of Houston meskipun istilah tersebut lebih halus dari istilah
Texas. Springer. sebelumnya, namun masih mangandung stigma
yang melekat bagi penyandangnya.
Judith, B. (1993). Bodies That Matter. New
York. Routledge. 2 Paraplegia merupakan kondisi kecacatan bagi
seseorang yang mengalami kelumpuhan pada
Masduqi, B.F. (2011). Kecacatan: dari bagian bawah tubuh mereka akibat cedera pada
tragedi personal menuju gerakan sumsum tulang belakang. Cedera ini disebabkan
oleh berbagai hal semisal kecelakaan lalulintas,
sosial. Jurnal Perempuan, Vol 65, jatuh dari ketinggian, tertimpa benda berat atau
pp 17-29. karena suatu penyakit. Cedera pada sumsum
Meekosha, H. (2002). Virtual activist? tulang belakang yang mengenai sistem saraf
pusat tidak hanya menyebabkan kelumpuhan
Women and the making of identities pada ke2 tungkai saja,namun juga seluruh sistem
of disability. Hypatia, Vol 17, No.3 tubuh dibawah level cedera ikut terganggu. Pada
beberapa kasus, penderita paraplegia masih
(Summer 2002), pp. 67-88. Diakses
dapat berjalan meski tidak bisa dalam jangka
tanggal 9 Januari, 2012. waktu yang lama. Sebagian besar penderitanya
Oliver, M. (1996). Understanding disability bergantung pada kursi roda atau alat penunjang
lainnya. Impotensi dan ketidakmampuan
from theory to practice. New York: mengontrol buang air merupakan hal yang umum
Plagrave dialami oleh penderitanya (news-medical.net)
Philips, D. (2006). Quality of life. London 3 Pusat Rehabilitasi YAKKUM adalah sebuah
and New York: Routledge lembaga non pemerintah, organisasi sosial
Kristen yang merupakan bagian dari YAKKUM
Saltzman, C.J. (1999). Handbook of the (Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum).
Sociology of Gender of Sociology. Pusat Rehabilitasi YAKKUM memberikan
pelayanan kepada para penyandang disabilitas
University of Houston Texas.
(yakkum-rehabilitation.org)
Springer.
4 KARINAKAS (Karitas Indonesia Keuskupan
Thomas, J.G(2000). Theory of Disability Agung Semarang) adalah sebuah lembaga
and Gender. Feminisms at kemanusiaan di bawah naungan Keuskupan
Agung Semarang yang memberi perhatian lebih
Millennium Vol 25 No.4. University
pada difabel, pengurangan risiko bencana, dan
of Chicago Press. http://www. pemberdayaan ekonomi masyarakat tanpa
jstor.org/stable/3175525, accessed dibatasi sekat agama, suku, ras, dan kepentingan.
Sejak bencana gempa Yogyakarta 2006,
25/09/2012 KARINAKAS terus bergulat bersama masyarakat
di wilayah Jateng – DIY dalam pemberdayaan
difabel, pengurangan risiko bencana, dan
pengembangan ekonomi masyarakat lemah.
(Endnotes) 5 LSM yang bergerak dalam advokasi kebijakan
1 Istilah “orang dengan disabiltas” atau di tingkat daerah, pendidikan, epndampingan
“penyandang disabilitas” merupakan konsep dan pemberdayaan terhadap perempuan, difabel
baru yang muncul setelah disahkannya Undang- dan anak khususnya dalam sektor kesehatan dan
undang Hak Penyandang Disabilitas No 19 pendidikan di Daerah istimewa Yogyakarta.
tahun 2011 pada tanggal 18 Oktober 2011 yang
merupakan ratifikasi dari penandatanganan
Convention on the Right of Persons with
Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas) oleh Pemerintah RI
pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Dalam
68
MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM
PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA
Abstrak
Eksistensi perempuan memiliki peran penting baik pada ranah domestik (keluarga)
dan publik (masyarakat). Dalam perannya mengelola keuangan keluarga baik dari hasil
nafkah suami maupun kerja produktifnya menjadikan perempuan sadar akan posisinya
menjaga keberlangsungan ekonomi keluarga. Perempuan mampu mendayagunakan
sumber ekonomi melalui pemanfaatan stok modal sosial yang dimilikinya berupa jejaring
sosial dalam lingkungan sosial untuk mempertahankan bahkan meningkatkan ekonomi
keluarga. Dari pengalaman pendampingan ekonomi perempuan usaha mikro, penulis
mencoba mengkonseptualisasikan dalam kerangka fungsi dan peran modal sosial untuk
penguatan ekonomi keluarga. Dengan demikian, pilihan saluran penghidupan perempuan
dan keluarganya melalui pemanfaatan modal sosial menjadi peluang strategis dan
produktif untuk menjaga daya tahan ekonomi keluarga.
Kata Kunci: perempuan, modal sosial, ekonomi keluarga.
Abstract
“ The existence of female has an important role both on domestic (family) and public
(society). In that role manage family finance either revenue from her husband or her
productive work make women aware of hers position maintain sustainability of economic
family. Women are capable to leverage existing economic resources through utilization of
social capital stock owned, in the form of social network in social environment to maintain
even increasing economic family. From experiences assistance women micro entreprises,
writer try to conceptualize within framework of the function and role of social capital
for strengthening economic family. Thus, the choice of livelihood and family channels
through utilization of social capital into productive and strategic opportunities to keep
durability of economic family”
Keywords: woman,social capital, economic family.
69
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
munculkan kondisi berbeda yaitu masih mereka secara tidak langsung dan langsung
adanya data kemiskinan, pengangguran, menjadi pelaku pembangunan sesuai
kriminalitas serta masalah kesenjangan di minat dan kemampuannya sebagai faktor
berbagai daerah. Dengan kata lain, proses produksi. Sementara, fungsi reproduksi baik
pembangunan yang secara ideal diharapkan kodrati (melahirkan, menyusui) maupun
dapat membawa arah kemajuan bagi nonkodrati (mendidik dan mengasuh
perubahan dan peningkatan kesejahteraan anak) dapat dikategorikan sebagai aktivitas
masyarakat justru muncul dengan wajah mengurus rumah tangga atau dalam istilah
paradoks pembangunan. Indikasi dis BPS sebagai bukan angkatan kerja.
koneksitas antara capaian pembangunan
Dalam tulisan ini mengenai perempuan,
ekonomi makro dengan kualitas pemerataan
modal sosial dan pemberdayaan ekonomi
pembangunan di Indonesia inilah yang
keluarga adalah isu penting yang memotret
kemudian salah satunya berimplikasi pada
perempuan dari kelompok berpendapatan
kondisi ekonomi keluarga sebagai entitas
kecil dengan profesi usaha mikro mampu
terkecil masyarakat.
mengatasi kesulitan finansial keluarga.
Keluarga dalam pembangunan memiliki Perempuan ini mampu memanfaatkan
porsi dan kontribusi penting yaitu sebagai peluang berupa jejaring sosial di ling
institusi sosial primer yang memberikan kungan tempat tinggal mereka berupa
sosialisasi awal berupa pendidikan nilai ragam pertemuan sosial sampai pada
dan norma pada anggota keluarga. Selain bentuk organisasi dan kegiatan sosial
itu melalui keluarga inilah pondasi awal untuk kepentingan pemenuhan ekonomi
membentuk kualitas sumber daya manusia keluarga. Hal ini dibahas mengingat peran
dimana hal ini telah menjadi indikator ganda perempuan baik di ranah domestik
ketercapaian pembangunan yaitu Indeks (rumah tangga) dan publik (masyarakat)
Pembangunan Manusia (IPM). Dalam yang mampu diemban secara aktif dan
hal ekonomi, keluarga menjadi salah satu strategis untuk mengatasi keterbatasan
penyumbang tenaga kerja produktif yang ekonomi keluarga.
masuk ke dalam pasar kerja nasional. Karena
B. PEREMPUAN DAN PEMBER
itu, beberapa kebijakan pembangunan
DAYAAN EKONOMI KELUAR
nasional menjadikan keluarga sebagai
GA
sasaran pencapaian programnya yang
melibatkan unsur anggota keluarga. Salah Rendahnya status ekonomi perempuan
satu unsur keluarga yang berkontribusi di Indonesia salah satunya karena lemahnya
dalam hal ekonomi adalah perempuan. perempuan dalam mengakses sumber daya
Hal ini seperti yang diutarakan Endang di keluarga, masyarakat ataupun negara.
(2007) bahwa pada dasarnya, perempuan Upaya pengurangan kemiskinan dan ke
mempunyai fungsi utama yang sangat tidakadilan yang dialami perempuan
berkaitan dengan kedudukan dan perannya akan berimplikasi pada kesejahteraan
yakni fungsi produksi dan fungsi reproduksi. dan kelangsungan hidup keluarga dan
Fungsi produksi berkaitan dengan fungsi masyarakat. Histori ini dapat terlihat saat
ekonomis yaitu semakin tinggi tingkat Indonesia mengalami krisis ekonomi yang
pendidikan perempuan memungkinkan berdampak buruk pada pendapatan keluarga
70
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA
sehingga meningkatkan jumlah kemiskinan BBM seperti Raskin (beras untuk rakyat
dan pengangguran. Kondisi ini dipandang miskin), SLT (subsidi langsung tunai), BOS
Izza (2009:75) akan berpengaruh semakin (bantuan operasional sekolah), Jamkesmas
buruk bila para pembuat kebijakan dan (jaminan kesehatan masyarakat), PKH
program mengabaikan perbedaan kondisi (program keluarga harapan), PNPM
dan kemampuan dari berbagai elemen dan beragam bantuan sosial lainnya.
masyarakat termasuk di dalamnya laki-laki Ketercapaian program-program tersebut
dan perempuan. Selain itu menurut Izza menuai hasil atau output berbeda. Bila
(2009:74) bahwa perempuan mempunyai orientasi program tersebut pada aspek
persepsi yang lebih beragam dibandingkan pemberdayaan, menurut Alwi (dalam
laki-laki dalam kesejahteraan atau kemis Izza,2009:171) pemberdayaan harus diinte
kinan yaitu disamping aspek yang ber grasikan melalui dimensi proses yang benar
hubungan dengan akses pendapatan, ke yaitu dengan menempatkan masyarakat
pemilikan aset, kualitas kesehatan, pangan secara langsung didorong pada posisi
serta peluang, juga mencermati hal-hal ‘terlibat’. Bila pemberdayaan tidak berjalan
berkaitan dengan kehidupan keluarga dengan lancar maka akan menimbulkan
seperti keharmonisan keluarga, rasa aman, kesenjangan baik ekonomi maupun sosial.
ada tidaknya hubungan dengan rentenir,
Mencermati pemberdayaan perempuan
gaya hidup, kemampuan membantu
menurut Linda (dalam Herliawati,2009:13)
orang tua dan orang lain serta hubungan
yaitu: merupakan proses perubahan di
sosial dengan tetangga. Dari ragam
mana individu atau kelompok dengan
kondisi tersebut pada akhirnya direspon
sedikit atau tanpa kekuasaan memperoleh
oleh Pemerintah salah satunya melalui
kekuasaan dan kemampuan membuat
kebijakan pemberdayaan perempuan yang
pilihan yang dapat memengaruhi kehi
mengarah pada peningkatan ekonomi
dupan mereka. Struktur kekuasaan
keluarga termasuk keikutsertaan Indonesia
yang memilikinya, sumber daya apa dan
dalam menyukseskan Deklarasi Millenium
bagaimana memanfaatkannya secara
Development Goals (MDG).
langsung memengaruhi pilihan perem
Program pemberdayaan ekonomi puan untuk dapat memanfaatkannya
keluarga menjadi bagian dari skema dalam kehidupan mereka. Sementara
penanggulangan kemiskinan dan pening Gita Sen (dalam Herliawati,2009:13) me
katan kesejahteraan masyarakat. Program nyatakan pemberdayaan merupakan
tersebut ada yang bersifat bantuan upaya mengubah kekuasaan yang me
(karitatif) dan produktif. Beberapa program maksa pilihan perempuan, otonomi dan
(Izza,2009:126-132) yaitu sebelum krisis memengaruhi kesehatan serta kesejah
meliputi program IDT (Inpres Desa teraan. Dari kedua pendapat tersebut,
Tertinggal) serta Takesra-Kukesra, saat pemberdayaan perempuan bermuara
krisis berupa JPS (Jaring Pengaman dari konsep pengarusutamaan gender,
Sosial), PDM DKE (Pemberdayaan Masya kesetaraan gender dan keadilan. Pada
rakat Dalam Mengatasi Dampak Krisis), akhirnya, pola-pola pemberdayaan perem
Revitalisasi Posyandu melalui PKK dan puan memerlukan perubahan secara men
Kartu Sehat dan program kompensasi dasar agar tidak melemahkan posisi dan
71
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
otonomi perempuan. Oleh karena itu, per pelayanan dan pembelaan menuju ke
lu pendekatan strategis yang mampu men mandirian masyarakat. Dari proses ini
jamin dan mengarahkan kegiatan pem diharapkan tujuan pemberdayan ekonomi
berdayaan perempuan pada usaha agar berupa peningkatan pendapatan dan
perempuan tetap berada dalam dua ranah kesejahteraan bagi keluarga dilakukan
yaitu domestik (rumah tangga) dan publik dengan meningkatkan usaha yang ada
(masyarakat). maupun menciptakan kesempatan kerja
baru serta meningkatkan daya tawar
Pilihan strategi pemberdayaan masya
mereka melalui pendampingan partisipatif
rakat dalam penanggulangan kemiskin
dan berkelanjutan. Selain itu, menurut
an dengan sasaran perempuan dan ke
Endang (2007) bahwa pemberdayaan
luarga salah satunya adalah peningkatan
perempuan dapat mengacu pada fungsi
partisipasi dalam kegiatan ekonomi berbasis
SDM dari perempuan itu sendiri di dalam
potensi dan sumber daya lokal. Dalam hal
rumah tangga. Perempuan bisa sebagai
pencapaian keswadayaan dan kemandirian
anak, pasangan suami (istri), ibu dari anak-
ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi
anaknya, nenek dan manajer rumah tangga.
menurut Izza (2009:172) dapat diartikan
Sosok perempuan dalam rumah tangga
sebagai serangkaian kegiatan untuk me
selalu siap mengorbankan waktu, tenaga,
ningkatkan aset dan kemampuan masya
pikiran termasuk harta yang dimiliki
rakat miskin agar mau dan mampu meng
untuk kesejahteraan keluarga, sementara
akses berbagai sumber daya, permodalan,
perempuan di luar rumah dapat sebagai
teknologi dan pasar dengan pendekatan
sosok pekerja. Kondisi tersebut dapat
pendampingan, peningkatan kapasitas,
diilustrasikan sebagai berikut:
72
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA
SDM Perempuan
(15 tahun ke atas)
Mencari
Bekerja pekerjaan Kodrati Non Kodrati
l Haid l Mengurus RT
l Hamil l Mengasuh anak
l Melahirkan l Membimbing
l Menyusui
anak
l Mendidik anak&
diri sendiri
Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja
73
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
Padahal bila ditelisik lebih lanjut, potensi fenomena baru dan asing bagi masyarakat di
dan peluang stok modal sosial perempuan Indonesia karena hal tersebut telah berakar
usaha mampu menjadi alternatif strategi kuat dan terinstitusikan dalam kehidupan
yang produktif meningkatkan ekonomi sehari-hari masyarakat. Modal sosial me
keluarga. rupakan pilar yang mewujudkan spirit
kebersamaan dalam mencapai suatu tujuan
C. POTRET MODAL SOSIAL PE
(Dewi,2010). Perempuan usaha mikro di
REMPUAN: KASUS PEREMPU
wilayah Bantul yang menjadi pencermatan
AN USAHA MIKRO
penulis memiliki kapasitas berupa entitas
Dalam konteks perempuan sebagai spirit dengan daya tahan dan daya juangnya
modal sosial dapat mempertimbangkan dengan sifat dinamis dan kreatifnya mam
simpulan sementara bahwa elemen utama pu mengatasi beragam problem eko
modal sosial terdiri dari norms, reciprocity, nomi keluarga. Bila diidentifikasi, maka
trust, dan network maka sebenarnya hal komponen modal sosial perempuan usaha
tersebut secara historis bukan merupakan mikro dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Nilai,Budaya,Persepsi
Kepercayaan,Gotong Royong
Institusi : Mekanisme:
Komunitas, Jaringan dan Asosiasi Kerjasama, Sinergi melalui
Perempuan usaha Mikro forum pertemuan warga
Dari skema tersebut dapat ditunjukkan aktivitas sosial dari komunitas atau or
bahwa perempuan usaha mikro memiliki ganisasi sosial tersebut menjadi peluang
stok modal sosial berupa nilai budaya gotong yang awalnya tidak pernah dikalkulasi
royong atau saling membantu dengan motif secara ekonomi. Dengan kata lain, implikasi
percaya (trust), mekanisme yang terwujud ekonomi dari partisipasi aktif perempuan
melalui kerjasama dan sinergi dalam usaha mikro baru dirasakan dampaknya
beragam aktivitas forum pertemuan warga setelah relasi sosial yang semakin intensif
dan pada akhirnya dapat menjadi bentukan ditambah dengan kegiatan produktif. Hal
institusi dari entitas perempuan usaha ini seperti yang dilakukan dalam kegiatan
mikro berupa asosiasi usaha serta koperasi. pendampingan oleh salah satu LSM
perempuan usaha mikro di wilayah Bantul
Kesediaan perempuan usaha mikro
tanpa harus membentuk kelembagaan
untuk melibatkan diri dalam berbagai
74
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA
sosial baru tetapi masuk dalam forum semua orang membutuhkan untuk bertahan
pertemuan warga (perempuan usaha hidup/melangsungkan kehidupannya.
mikro). Kegiatan arisan yang awalnya Dalam berinteraksi bukan tanpa suatu
bersifat kumpul-kumpul (berkumpul) ber nilai dan norma dimana menurut Fuku
alih menjadi sarana ngangsu kawruh yama (dalam Dewi,2010) menjelaskan
(media belajar bersama yang disebut Temu bahwa”Social capital can be defined simply
Suruh). Introduksi dan edukasi pengelolaan as the existence of a certain set of informal
ekonomi keluarga termasuk pengelolaan values or norms shared among members
usaha menjadi muatan utamanya ditambah of a group that permit cooperation among
dengan aktivitas simpan pinjam dengan them. (Modal sosial adalah serangkaian
model tanggung renteng (pinjaman kelom nilai-nilai atau norma-norma informal
pok). Forum pertemuan tersebut menjadi yang dimiliki bersama di antara para
semakin dinamis dan produktif karena anggota suatu kelompok masyarakat yang
mampu menjawab kebutuhan perempuan memungkinkan terjalinnya kerjasama di
usaha mikro khususnya dalam pengelolaan antara mereka). Pendapat ini senada dengan
usaha yang berimplikasi pada ekonomi penjelasan Hasbullah (2006:14) bahwa
keluarga. Dengan demikian, perempuan nilai sebagai sesuatu ide yang telah turun
usaha mikro menjadikan ruang jejaring temurun dianggap benar dan penting oleh
sosial tersebut sebagai strategi bertahan anggota kelompok masyarakat. Karenanya,
ketika suatu saat usahanya sedang dilanda dominasi ide tertentu dalam masyarakat
masalah. Hal ini dikarenakan mekanisme akan membentuk dan mempengaruhi
tanggung renteng dengan basis saling aturan-aturan bertindak masyarakatnya
membantu saat ada anggota yang mem (the rules of conducts) dan aturan-aturan
butuhkan menjadi solusi tercepat atas bertingkah laku (the rules of behavour)
masalah yang dihadapi perempuan usaha yang bersama-sama membentuk pola-pola
mikro. kultural (cultural pattern).
Partisipasi aktif perempuan tersebut Dari penjelasan di atas dapat dikon
yang kemudian memberikan kontribusi tekskan dengan aktivitas pendam
bagi peningkatan ekonomi keluarga se pingan pada perempuan usaha mikro
kaligus penguatan kapasitas melalui ke yang mendasarkan pada nilai dan norma
giatan pendampingan. Hal ini bila di masyarakat sebagai bagian dari komponen
konseptualisasikan dengan modal sosial modal sosial. Pendampingan yang meng
dapat dijelaskan sebagai berikut: adaptasi model kelompok memuat
beberapa konsensus bersama atau disebut
1. Dimensi Nilai dan Kultur
Prinsip Anggota yaitu:
Masyarakat yang terdiri dari individu-
1. Bertekad meningkatkan kualitas
individu merupakan makhluk sosial dengan
hidup;
ciri saling membutuhkan satu sama lain
dalam kehidupannya. Oleh karenanya 2. Menjalankan usaha untuk ibadah;
terdapat kecenderungan untuk saling
3. Disiplin dan dapat dipercaya;
bekerja sama dan saling berinteraksi
termasuk pada saat kondisi bencana dimana 4. Bersungguh-sungguh dan cerdas da
lam bekerja dan
75
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
5. Saling membantu anggota bila mereka keinginan untuk mengambil resiko dalam
dalam kesulitan. hubungan sosialnya yang didasari oleh
perasaan yakin bahwa yang lain akan
Penjelasan tersebut memberi pe
melakukan sesuatu seperti yang diharapkan
mahaman bahwa basis nilai dan kultur
dan senantiasa bertindak dalam suatu
yang dibangun oleh perempuan usaha
pola tindakan saling mendukung. Inilah
mikro dalam kegiatan peningkatan eko
yang kemudian akan menjadi modal sosial
nomi keluarga merupakan implikasi
lanjutan untuk membangun suatu jaringan
dari kesediaan perempuan untuk meng
diantara kelompok atau komunitas
konsolidasikan diri dengan pihak di luar
untuk melakukan kerjasama yang saling
dirinya termasuk pendamping LSM. Selain
menguntungkan. Hal ini sesuai pendapat
itu, dimensi nilai dan kultur inilah yang
Fukuyama (dalam Dewi,2010) bahwa
kemudian menjadi ‘perekat’ interaksi sosial
jaringan sebagai modal sosial merupakan
diantara perempuan usaha mikro.
hubungan moral kepercayaan yaitu
2. Dimensi Trust, Reciprocity dan jaringan adalah sekelompok agen-agen
Partisipasi individual yang berbagi norma-norma atau
Pembahasan ini lebih melihat pada sisi nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai
mekanisme relasi yang terbentuk antar atau norma-norma yang penting untuk
aktor yaitu perempuan usaha mikro dengan transaksi-transaksi pasar biasa. Pada
pendamping LSM terkait dengan kegiatan pembahasan ini memberikan pemahaman
peningkatan ekonomi keluarga. Bila merujuk bahwa modal sosial tidak dibangun oleh
pemahaman mengenai modal sosial dari satu individu melainkan terletak pada
aspek reciprocity ini menurut Hasbullah kecenderungan yang tumbuh dalam suatu
(2006:10) modal sosial senantiasa diwarnai kelompok (komunitas).
oleh kecenderungan saling tukar kebaikan Penjelasan tersebut bila dikontekskan
antar individu dalam suatu kelompok dengan contoh peran perempuan usaha
atau antar kelompok itu sendiri. Pola mikro dalam kelompok dampingan Temu
pertukaran atau resiprositas ini bukanlah Suruh menunjukkan bahwa kekuatan pe
sesuatu yang dilakukan secara resiprokal rempuan usaha mikro ada pada aspek
seketika melainkan suatu kombinasi jangka saling percaya dan membutuhkan ter
pendek dan jangka panjang dalam nuansa hadap kapasitas yang dimiliki oleh
altruism yaitu semangat untuk membantu masing-masing perempuan. Dari sinilah
dan mementingkan kepentingan orang perempuan usaha mikro dapat saling
lain. Meski kemudian konsep reciprocity bertukar informasi untuk menguatkan
tidak akan dapat berjalan dalam relasi peran masing-masing dalam melakukan
antarindividu atau antarkelompok dalam akitivitas peningkatan ekonomi keluarga.
komunitas ketika tidak ada rasa percaya Pada akhirnya perempuan usaha mikro
(distrust). mampu berpartisipasi aktif di lingkungan
Selanjutnya, penjelasan mengenai di masyarakatnya yang diharapkan kondisi
mensi trust ini seperti pendapat Putnam ini secara jangka panjang dapat terpelihara
dalam Hasbullah (2006:11) yaitu rasa dengan baik.
percaya (trust) merupakan suatu bentuk Selanjutnya, potret modal sosial perem
76
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA
puan usaha mikro dapat dilihat dalam balik nilai kebudayaan yang dipercaya; (2)
bentukan model modal sosial yang berbeda Social bridging, berupa institusi maupun
dari aktivitas pemenuhan ekonomi keluarga. mekanisme yang merupakan ikatan sosial
Model modal sosial perempuan usaha yang timbul sebagai reaksi atas berbagai
mikro diadopsi dari pendapat Woolcock macam karakteristik kelompoknya; (3)
dalam Mefi (2003) yang membedakan 3 Social linking, berupa hubungan/jaringan
(tiga) tipe modal sosial yaitu : (1) Social sosial dengan adanya hubungan di antara
Bounding,berupa nilai,kultur, persepsi dan beberapa level dari kekuatan sosial maupun
tradisi (custom), yaitu modal sosial dengan status sosial yang ada dalam masyarakat.
karakteristik ikatan yang kuat dalam suatu Dengan demikian, relasi yang terjalin dalam
sistem kemasyarakatan dimana masih kegiatan program dan aktivitas perempuan
berlakunya sistem kekerabatan yang usaha mikro dapat diilustrasikan sebagai
mewujudkan rasa simpati, berkewajiban, berikut:
percaya resiprositas, dan pengakuan timbal
Bounding social
capital 1
Linking social
Bridging social
capital
capital
3
2
Sistem komunikasi
Relasi Kerjasama
dan jaringan usaha
dalam kelembagaan
perempuan usaha
lokal desa yang
mikro
didukung perempuan
usaha mikro
77
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
Dari gambar diatas menunjukkan relevan karena ujung tombak dari kese
bahwa ketiga level modal sosial di atas jahteraan masyarakat diawali dari kese
memberi pengertian bahwa modal sosial jahteraan keluarga.
dapat memberi kontribusi bagi terjadinya
Perempuan memiliki peran strategis
integrasi sosial sekaligus mengatasi pro
dan produktif dalam peningkatan ekonomi
blem seputar pengelolaan usaha maupun
keluarga. Keluwesan perempuan dalam
ekonomi keluarga perempuan usaha mikro.
membina relasi sosial dengan lingkungan
Dalam hal ini bila mencermati mekanisme
sosialnya menjadikan peluang terbukanya
relasi diantara aktor yang melibatkan
akses sumber daya ekonomi. Hanya saja,
perempuan usaha mikro dengan pihak
keterlibatan perempuan dalam kegiatan
pendamping (LSM) terkait program
ekonomi seringkali kurang dilengkapi
pendampingan melalui simpan pinjam
dengan pengetahuan dan keterampilan
jelas tergantung pada kapasitas yang ada
atau problem teknis usaha sehingga
dalam kelompok masyarakat. Kapasitas
membuat tidak mampu bersaing dalam
yang dimaksud adalah untuk membangun
kompetisi pasar. Selain itu problem
sejumlah asosiasi berikut jaringannya
struktural berupa kebijakan pemerintah
termasuk membangun basis nilai dan trust
yang berkaitan dengan pengembangan
untuk kemudian saling bekerjasama sebagai
usaha masih belum banyak berpihak pada
unsur resiprositas. Selain itu terletak pula
kepentingan perempuan. Kondisi ini yang
pada kemampuan perempuan usaha mikro
dialami perempuan usaha mikro sehingga
untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan
rentan bila berhadapan dengan realitas
hubungan sosial kemasyarakatan.
pasar kompetitif yang dapat berimplikasi
D. PENGUATAN PERAN MODAL pada ekonomi keluarganya.
SOSIAL PEREMPUAN DALAM
Intensifikasi pemanfaatan modal sosial
PENINGKATAN EKONOMI KE
yang dikoneksikan dengan pemberdayaan
LUARGA
ekonomi keluarga menjadi solusi untuk
Perkembangan pembangunan dengan memunculkan tindakan kolektif yang
memanfaatkan modal sosial telah ditun berorientasi pada pemunculan aktivitas
jukkan hasil studi di berbagai negara (Das ekonomi produktif. Modal sosial yang
gupta,2000) bahwa modal sosial yang kuat mewujud dalam bentuk kohesifitas sosial,
akan merangsang pertumbuhan berbagai semangat gotong royong, tolong menolong,
sektor ekonomi. Hal ini didukung adanya rasa dan semangat untuk saling memberi
tingkat rasa percaya (trust) yang tinggi (reciprocity), trust (rasa saling percaya) dan
dengan kerekatan hubungan sosial dan jaringan sosial (social networking) menjadi
kapasitas membangun jaringan yang luas energi penopang keberlanjutan usaha dan
tumbuh diantara sesama pelaku ekonomi. bertahannya ekonomi keluarga. Kondisi
Sebaran spektrum modal sosial inilah yang ini diamati dari aktivitas perempuan
kemudian mampu memberi pengaruh dan usaha mikro yang dapat dibedakan sebagai
menggerakkan perkembangan antar sektor berikut: (a) aktivitas bermotif ekonomi yaitu
ekonomi. Konteks makro pemanfaatan aktivitas terkait dengan upaya perempuan
modal sosial ini bila didekatkan dengan usaha mikro mendapatkan pendapatan
pemberdayaan ekonomi keluarga menjadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
78
Dewi Cahyani Puspitasari, MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERAN PENGUATAN EKONOMI KELUARGA
keluarga melalui simpan pinjam; dan (b) mengungkap realitas di masyarakat atas
aktivitas non-ekonomi yaitu aktivitas yang kejadian distrust, melemahnya kohesifitas
dilakukan dengan tujuan menguatkan dan solidaritas, indikasi kemiskinan, dan
ikatan solidaritas sesama perempuan usaha sebagainya karena terkait dengan kearifan
mikro, misal aktivitas religi maupun sosial lokal berupa nilai dan budaya masyarakat.
budaya (pengajian, arisan maupun budaya
E. PENUTUP
rewang). Terkadang hubungan di antara
kedua dimensi ini menjadi ‘kabur’ karena Dalam kaitannya upaya peningkatan
terjadi proses sosial yang saling bertukar, pembangunan dan kemandirian ekonomi
dimana sosiokultural yang ada memberi masyarakat ternyata menjadi keharusan
kontribusi pada usaha yang ada dan untuk ditangani secara holistik khususnya
sebaliknya logika bisnis dengan kalkulasi bagi pengambil kebijakan dengan meman
ekonomi yaitu efisiensi dan efektivitas faatkan segala potensi yang ada termasuk
dalam penggunaan sumber daya baik alam potensi modal sosial masyarakat. Hal ini
(SDA), tenaga (SDM), modal dan waktu. menjadi penting, mengingat aspek pem
berdayaan ekonomi keluarga menjadi
Pembahasan penguatan peran modal
sebuah entry point untuk memajukan
sosial dalam usaha atau peningkatan eko
kesejahteraan masyarakat. Implementasi
nomi keluarga tidak lepas dari adanya upaya
beragam kebijakan dan program yang
jalinan kerjasama di antara aktor yang
berorientasi pada pemberdayaan ekonomi
memiliki kesamaan kepentingan. Merunut
keluarga patut diapresiasi dalam perannya
asal muasal kerjasama berawal dari adanya
memberi peluang akses khususnya pe
hubungan kekerabatan yaitu rute utama
rempuan sehingga dapat meningkatkan
yang digunakan kepentingan-kepentingan
kualitas penghidupan keluarga. Dengan
individu menuju kerjasama sosial adalah
demikian, pemberdayaan masyarakat
seleksi kerabat (kin selection), hubungan
dengan melibatkan dimensi kultural
ketetanggaan dan resiprositas. Dimensi
dan mendayagunakan peran modal
nilai, kultur, dan persepsi dibangun sebagai
sosial yang ada di tengah masyarakat
pondasi awal untuk mengkolektifkan ke
dapat mengoptimalkan hasil dari proses
samaan kepentingan dalam wadah institusi
pemberdayaan.
berupa komunitas Temu Suruh dan ko
perasi melalui fasilitasi pendampingan Modal sosial perempuan memiliki
LSM lokal. Dengan demikian, peran komponen yang berisikan trust, nilai dan
modal sosial dalam peningkatan ekonomi norma sosial, resiprositas yang menjadi
keluarga adalah strategis dalam mengatasi pondasi dalam mekanisme dan membentuk
kompleksitas masalah yang ada. Solidaritas institusi kerjasama dapat dimanfaatkan
yang ada mampu memunculkan solusi yang untuk penguatan ekonomi keluarga.
bermanfaat secara kolektif. Selain itu, modal Keterbatasan finansial mampu disiasati
sosial dalam pemahaman untuk kajian oleh perempuan dengan memanfaatkan
pembangunan masyarakat menjadi penting peluang jejaring sosial berupa arisan,
maknanya sebagai acuan analisa untuk forum pengajian dan koperasi dengan basis
aplikasi atas program pembangunan. Hal kepercayaan satu sama lain. Kondisi ini
ini jelas karena dimensi modal sosial dapat menjadikan akses terhadap sumber daya
79
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
80
ALFRED SCHUTZ : REKONSTRUKSI
TEORI TINDAKAN MAX WEBER
Muhammad Supraja
Abstrak
“ Artikel ini mencoba menjelaskan mengenai rekonstruksi teori tindakan Weber yang
dilakukan oleh Alfred Schutz. Menurut Schutz, teori tindakan Weber cenderung tidak
jelas, kabur dan inkonsisten. Bagi Weber, tindakan adalah perilaku yang bermakna,
tindakan sosial adalah tindakan, yakni perilaku bermakna yang diarahkan pada orang
lain. Sedangkan Schutz merekonstruksi dengan mendefinisikan tindakan sebagai durasi
yang berlangsung di dalam perbuatan. Dengan kata lain, tindakan merupakan durasi
transenden dalam perbuatan. Suatu tindakan secara independen dapat dianggap sebagai
subjek yang melakukan tindakan, namun demikian tindakan merupakan serangkaian
pengalaman yang terbentuk melalui kesadaran nyata dan kesadaran individual aktor.
Dengan kata lain, tindakan menunjukkan adanya ikatan subjek. “
Kata Kunci : Tindakan, Rekonstruksi, Makna
Abstract
“ This article would like to explain about the reconstruction of Weber’s action theory that
is made by Alfred Schutz. According to Schutz, Weber’s action theory is unclear, blur and
unconsistent. For Weber, action was behavior that was meaningful, social action was
action, i.e., meaningful behaviour that was oriented toward others. While Schutz tried to
reconstruct by defining action as duration-immanentenactment. Act, on the other hand,
is duration-transcendent enactedness. An act, therefore, can be considered independently
of the acting subject, but the action is …a series of experiences being formed in the concrete
and individual consciousness of some actor. In a word, action is subject-bound.”
Keywords: Action Theory, Reconstruction, Meaning
81
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
Weber pada akhirnya tokoh ini berhasil circumstances --- what he wishes to do.
merumuskan perspektif fenomenologi It is true that in our sciences, personal-
value judgements have tended to
dalam sosiologi sebagaimana gagasan influence scientific arguments without
tersebut dituangkan dalam salah satu being explicitly admitted. They have
karya pentingnya:“The Phenomenology of brought about continual confusion and
the Social World” (Der sinnhafte Aufbau have caused various intepretations to
be placed on scientific arguments even
der sozialen Welt, 1932). Perbincangan in the sphere of the determination of
yang hendak ditampilkan dalam tulisan ini simple causal interconnections among
adalah analisa dan kritik Schutz atas konsep facts according to whether the result
tindakan sosial (social action) yang cukup increased or decreased the chances of
realizing one’s personal ideals, i.e., the
sentral dalam pemikiran sosiologi Weber possibility of desiring a certain thing.”
Schutz dikenal sebagai seorang filosof (Weber, 1949)
yang juga sekaligus seorang sosiolog, atau (suatu ilmu empiris tidak bisa
tokoh tersebut bisa juga disebut sebagai mengatakan kepada seseorang apa yang
harus dilakukan---tetapi agaknya dapat
sosiolog yang filosof. Sebutan yang melekat mengatakan apa yang dapat dilakukan
pada dirinya nampaknya bisa dibenarkan dibawah keadaan-keadaan tertentu ---
lewat berbagai minat dan kajian ilmiah yang juga apa yang ingin dilakukan. Adalah
telah ditelurkannya. Ia juga tidak sekedar benar bahwa di dalam ilmu pengetahuan
pertimbangan nilai yang bersifat personal
menyetujui, dan melegitimasi berbagai cenderung mempengaruhi argument
gagasan Weber, melainkan juga meneliti ilmiah tanpa pengakuan secara eksplisit.
lalu mengkritiknya, bahkan tidak segaan- Mereka akan membawa kebingungan
segan menyebut Weber inkonsisten. Oleh yang berkelanjutan dan menyebabkan
digunakannya berbagai intepretasi pada
sebab itu, kajian ini selain membawa kita argumen ilmiah sekalipun di wilayah
pada penelaahan konsep-konsep Weber, hubungan kausal yang sederhana di
pada saat yang sama menghantarkan kita antara berbagai fakta apakah hasilnya
untuk memahami fenomenologi Schutz sesuai untuk memperkuat atau
memperlemah peluang perealisasian
yang juga merupakan salah satu perspektif ideal-ideal personal, yakni kemungkinan
penting di dalam sosiologi, khususnya pemuasan sesuatu)
dalam mengulas berbagai ide menyangkut
Nampaknya pandangan-pandangan
tindakan sosial (social action).
Weber dan Schutz tidak mudah dimasukkan
Kajian dan pemahaman terhadap sepenuhnya dalam tradisi empirisisme,
pemikiran Schutz juga akan membantu karena ia berbicara tentang motiv, niat
kita memperluas wawasan ilmu sosial yang (intention), makna (meaning) di dalam
selama ini telah kita miliki, yang seolah teori tindakan sosial yang dibangunnya.
harus membenarkan bahwa sosiologi adalah Dua tokoh itu sama-sama memiliki
bagian dari ilmu empiris, yang terkadang minat yang besar atas teori tindakan
begitu membatasi kita dalam membuat sosial (social action) dan di situ pula titik
pemahaman sosiologi. Padahal kita sendiri pertemuan di antara mereka berdua.
belum pasti setuju dengan empirisisme: Tetapi perlu dicatat, meskipun memiliki
“an empirical science cannot tell titik persamaan, namun argumentasi
anyone what he should do—but rather di antara mereka saling berbeda. Tidak
what he can do – and under certain
jarang Schutz menunjukkan kepada kita
82
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber
betapa Weber sang raksasa sosiologi itu terms of his intention) without knowing
sering kali tidak bertanggung jawab, dalam why he is doing it”. (Warriner dalam
Truzzi, 1974)
arti mengenalkan sesuatu konsep namun
penjelasan yang dikemukakannya sama (motivasi adalah sesuatu yang terpisah
dari tindakan dan hanya dapat dipahami
sekali tidak memuaskan, atau bahkan tidak dalam suatu konteks situasional yang
ada. Demikian juga Schutz menuduh Weber lebih luas, sedangkan makna adalah
inkonsisten seraya memperlihatkan kepada sesuatu yang secara inhern terdapat pada
kita bahwa Weber di satu kesempatan tindakan itu sendiri, merupakan properti
tindakan dari pada sekedar sebagai
menggunakan konsep tertentu untuk penyebab atau tujuan. Oleh karena itu,
menjelaskan sesuatu, namun dibagian lain seseorang dapat memahami (menerima)
konsep yang sama diisi penjelasan yang apa yang sedang dilakukan orang lain
lain, atau berbeda sama sekali. Terkesan (dalam kaitan dengan niatnya) tanpa
suka-suka Weber saja, tetapi sikap ini mengetahui mengapa dia melakukannya)
jelas sangat “mengganggu”, sekaligus Dibagian lain Weber juga menjelaskan
“menjengkelkan”, dan terkesan tidak serius. apa itu motiv dengan argumen seperti ini:
Oleh sebab itu, diskusi ini akan mengulas ‘…a complex of meaning with seems to
teori tindakan sosial, dan berbagai konsep the actor himself or to the observer an
yang terkait, dengan cara menampilkan adequate (or meaningful) ground for the
dan mendiskusikan konsep yang dimaksud condact in question’.
dari masing-masing pemikir serta dinamika (…suatu kompleks makna yang nampak
oleh aktor itu sendiri atau pada pengamat
yang muncul pada pandangan-pandangan
sebagai sebuah dasar yang memadahi
tersebut. (bermakna/mengandung makna) bagi
B. Konsep Tindakan dan Beberapa prilaku yang dipersoalkan)
Aspek Terkait Mungkin tidak terlalu salah jika dalam
Seperti telah disinggung di bagian percakapan sehari-hari kita terbiasa
sebelumnya bahwa ketika membahas menggunakan kata motiv dalam arti
tindakan sosial, Weber menyinggung sebagai dasar penggerak bagi sesuatu
berbagai konsep, misalnya masalah motivasi, tindakan yang dilakukan seseorang. Misal
niat (intent), demikian juga tentang makna nya motivnya apa sehingga seseorang
perilaku (behaviour). Untuk lebih jelasnya melakukan sesuatu perbuatan seperti di
kita perlu menguraikan berbagai konsep tuduhkan atau dimaksud. Namun dalam
tersebut, di antaranya memulai dengan konteks penjelasan di atas pemahaman atas
apa itu motivasi. Meminjam suatu kutipan motivasi yang sering kali dirujuk dalam
dari Warinner, bahwa Weber menjelaskan percakapan sehari-hari berbeda, karena
motivasi seperti berikut: dalam perbincangan sehari-hari motiv
dan motivasi sering kali dianggap sama.
“Motivation (Zweck) is something
separete from the act and can only be Tetapi dalam pandangan Weber rupanya
understood in a broader situational keduanya berbeda. Pada definisi di atas kita
context, while meaning (Sinn) is juga disuguhi konsep makna yang memang
something inherent in the act itself, a dalam pengertian kita berbeda dengan
property of the act rather than a cause or
purpose. Therefore, one can understand konsep motiv dan motivasi.
(i.e., perceive) what a person is doing (in Dari definisi tentang makna di atas,
83
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
bahwa makna merupakan properti tindak seperti telah disinggung di atas, yakni
an, maka kita lalu bisa mengatakan bahwa sebagai “empunya” makna? Di lihat dari
seseorang dapat mengamati atau melihat berbagai penjelasan yang dikemukakan,
suatu tindakan yang dilakukan seseorang, Weber memberi penjelasan atas apa yang
namun bisa jadi tidak tahu makna yang dimaksud dengan tindakan.
terdapat pada tindakan tersebut, karena
Sebagaimana dikutip oleh Wariner,
hanya pelaku tindakan-lah yang paling
bahwa:
mengetahui makna tindakan yang di
“For Weber, action was behavior that
akukannya. Terlebih apabila tindakan itu was meaningful, social action was
hanya dilihat sebagai potongan-potongan action, i.e., meaningful behaviour that
peristiwa dalam suatu keseluruhan, se was oriented toward others”. (Warriner
hingga muncul keraguan atau tanya pada dalam Truzzi, 1974)
diri apakah hal yang sama juga berlaku jika (Menurut pendapat Weber, tindakan
pengamatan itu dilakukan secara intens adalah perilaku yang bermakna, tindakan
sosial adalah tindakan, yakni perilaku
atau dalam “keseluruhan” peristiwa. Tapi bermakna yang diarahkan pada orang
memang sangat mungkin benar, bahwa lain)
makna yang menjadi properti tindakan itu
sulit dipahami oleh orang lain, terlebih bila Seperti dikemukakan Weber bahwa
tindakan yang dimaksud bersifat sporadik, tindakan adalah perilaku yang bermakna.
tidak memiliki keterkaitan satu dengan Pandangan demikian tidak sepenuhnya
yang lainnya. kita sepakati, karena sepanjang banyak
diulas diberbagai buku teks keduanya
Pada penjelasan di atas disinggung, tidak sama, dan selalu dibedakan. Untuk
bahwa makna selain menjadi properti itu argumentasi ataupun penjelasan
tindakan, ia disebut-sebut bukan penyebab yang dimaksud Weber perlu dimengerti
atau tujuan tindakan. Jika makna itu agar bisa dipahami dengan baik. Banyak
merupakan property tindakan, dan bukan pandangan yang mengemukakan bahwa
tujuan maupun penyebab suatu tindakan, perilaku itu lebih melukiskan keadaan
maka dalam perspektif Weber tujuan dan yang nampak dibagian muka atau luar dari
sebab tindakan berarti tidak mungkin suatu perbuatan atau tindakan, sementara
menjadi penggerak suatu tindakan. Lalu di tindakan itu tidak demikian, atau lebih
dasarkan pada apa makna yang merupakan dalam dari sekedar prilaku.
properti dari suatu tindakan itu? Dalam
konteks ini diskusi elaboratif yang mendasar Apalagi tidak semua tindakan menjadi
diperlukan agar “jawaban” atas pertanyaan objek kajian raksasa sosiologi itu. Seperti
yang diajukan menjadi jelas, setidaknya telah dijelaskan oleh Schutz, bahwa Weber
tergambar lebih jelas. mengulas tindakan terutama dalam
kaitannya dengan tindakan sosial yang
Sebelum kita menjejakkan pikiran bermakna baik yang memiliki makna
kepembahasan yang lebih jauh dari subjektif maupun makna objektif, walaupun
berbagai persoalan konseptual yang telah untuk sampai kepada penjelasan tersebut
disinggung, ada baiknya kita mengetahui Schutz terlebih dahulu harus melakukan
lebih dahulu apa yang dimaksudkan berbagai “penjernihan” konseptual. Konsep
dengan tindakan (action) oleh Weber persis
84
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber
tentang tindakan ini perlu diperjelas terlebih acts; this is what distinguishes action
dahulu, karena bagi Weber tugas sosiologi from mere behavior. So far, there is no
necessary social reference. Every action
intepretatif sebagaimana dimaksudkannya directed toward an object is ipso facto
adalah memahami dan mengintepretasikan meaningful. When I dip my pen in the
tindakan sosial. Sementara tindakan sosial ink or turn on my study lamp, I am
(social action) menurut Weber adalah: acting meaningfully. We can now carry
over this initial concept of meaning to
“by virtue of the subjective meaning the social sphere and apply it to social
attached to it by the acting individual action, which as we have seen, is action
(or individuals), takes account of the based on the behavior of others”. (Schutz,
behavior of others, and is thereby 1972)
oriented in its course….In “action” is
included all human behavior when and (tindakan adalah bermakna bagi
in so far as the acting individual attaches orang yang melakukannya; hal ini
a subjective meaning to it. Action in yang membedakannya dengan sekedar
this sense may be either overt or purely perilaku. Dalam hal ini, referensi sosial
inward or subjective; it may consist of tidak dibutuhkan. Setiap tindakan
positive intervention in a situation, or yang diarahkan kepada objek adalah
of deliberately refraining from such ipso facto bermakna. Apabila saya
intervention, or passively acquiescing in mencelupkan pena kedalam tinta atau
the situation”. (Schutz, 1972) menghidupkan lampu baca, maka
tindakan saya bermakna. Kita dapat
(berdasarkan atas makna subjektif yang menanggalkan konsep makna yang
diberikan pada tindakan individu (atau terdapat dimuka menuju ke medan
individu-individu), memperhatikan sosial dan menggunakannya terhadap
perilaku orang lain, dengan demikian tindakan sosial, yang telah kita lihat, yang
diorientasikan pada masalahnya… didasarkan pada perilaku orang lain).
di dalam “tindakan” termasuk semua
perilaku manusia ketika dan sepanjang Atas berbagai pandangan Weber di
tindakan individu memberi suatu makna atas, Schutz membuat catatan yang perlu
subjektif terhadapnya. Tindakan dalam
diperhatikan menyangkut konsep tindakan
hal baik nyata, atau murni dalam batin
atau subjektif; tindakan dapat berupa sosial, terutama soal makna subjektif yang
intervensi positif dalam sebuah situasi, harus didasarkan pada perilaku orang
atau dengan sengaja menahan diri dari lain. Dalam hal tersebut kita berhadapan
intervensi semacam itu, atau secara pasif
dengan berbagai tingkat pemaknaan yang
mendukung tanpa bantahan).
tak terhitung dari setiap keterlibatan sosial
Begitu luas makna tindakan yang yang memungkinkan seorang individu
dinyatakan oleh Weber, termasuk yang mendapatkan kebermaknaannya. Namun
memberi makna subyektif bagi diri individu. demikian, momen yang dimasukinya
Demikian juga, tindakan baik yang laten dalam hubungan-hubungan sosial, yang
(murni dalam batin) maupun manifest membawa tindakan-tindakan tersebut pada
terhadap diriya, dll, semuanya masuk makna berikutnya. Tindakan-tindakan
dalam kategori klasifikasi tindakan sosial itu berfokus pada sesuatu yang lain, yakni
sebagimana dimaksudkan oleh Weber. sesuatu Engkau. Dalam tahapan seperti
Definisi dasar yang dikemukakan Weber ini tindakannya hanya dapat dipahami
nyatanya tidak bisa dengan mulus diterima sebagai persyaratan bagi keberadaan atas
Schutz, sebagaimana kritiknya: Engkau. Sayangnya di dalam pandangan
“Action is meaningful for him who Weber, amat tidak cukup bagi tindakan
85
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
untuk melakukan kontak dengan orang Penjelasan ini juga yang kemudian diulas
lain bersama orang lain agar dapat Weber ketika berbicara tentang yang lain
menetapkannya sebagai tindakan sosial. (The other) (Schutz, 1972) :
(Schutz, 1972) Untuk menegaskan apa yang “The others may be individual persons
dimaksud, maka Schutz menunjukkannya and may be known to the actor as
pada salah satu paragraf yang dikutipnya such, or may constitute an indefinite
plurality and may be entirely unknown
dari Weber:
as individuals. Thus “money” is a means
“Not every type of contact between of exchange which the actor accepts in
human beings has a social character; payment because he orients his action to
this is rather confined to cases where the the expectation that a large but unknown
actor’s behavior is meaningfully oriented number of individuals he is personally
to that of others. For example, a mere unacquainted with will be ready to
collision of two cyclists maybe compared accept it in exchange on some future
to a natural event. On the other hand, occasion”. (Schutz, 1972)
their attempts to avoid hitting each other,
(Yang lain mungkin pribadi individual
or whatever insult, blows, or friendly
dan dapat diketahui sebagai berikut,
discussion might follow the collision,
atau dapat membentuk suatu pluralitas
would constitute social “action”. (Schutz,
yang tidak terbatas dan mungkin dapat
1972)
sepenuhnya tidak diketahui secara
(Tidak setiap tipe kontak antar manusia keseluruhan sebagai suatu individu.
mempunyai suatu karakter sosial; hal Memang, uang adalah alat tukar
ini agak membatasi kasus-kasus dimana yang diterima oleh aktor sebagai alat
perilaku aktor yang penuh makna tukar dalam pembayaran karena dia
diarahkan terhadap yang lain. Contohnya, mengarahkan tindakannya terhadap
sekedar tubrukan dua pengendara ekspektasi banyak orang, namun jumlah
sepeda dapat dibandingkan dengan individu yang tidak terbatas yang secara
suatu peristiwa alam. Di bagian lain, personal mengenalnya yang akan siap
berbagai usaha untuk saling menghindar menerimanya peluang masa depan.
dari pukulan, atau apa saja yang
mengecewakan, atau diskusi yang hangat Dalam konteks proposisi di atas “seorang
yang mungkin dapat menimbulkan teman” bukanlah dikenal secara tematik
benturan, akan membentuk tindakan
namun diterima begitu saja oleh aktor
sosial).
atas dasar pengalaman sosialnya. Sebagai
Jadi menurut analisa Schutz, orang yang gantinya, makna yang berkembang secara
terlibat dalam tindakan sosial sepenuhnya tematik yang menjadi rujukan atas prilaku
menyadari dari pada sekedar keberadaan orang lain, yang dalam konteks itu terjadi
yang lain. Dia harus menyadari dan secara anonim. Schutz juga menunjukkan
mengintepretasi makna atas perilaku orang makna yang keempat yang ditambahkan
lain. Namun di sini kita mendapatkan level melalui postulat tindakan sosial yang
makna yang ke tiga. Adalah merupakan seharusnya diarahkan kepada perilaku
sesuatu hal untuk memiliki pengalaman orang lain. Apa makna dari konsep yang
“seorang teman” dan yang lainnya memiliki sangat tidak jelas dari “akibat diarahkan”
pengalaman “orang berprilaku dengan cara (being oriented). Semua struktur makna
tertentu, dan saya akan bertindak sesuai ini dipahami oleh aktor sosial, yang hanya
dengannya.” Dua pengalaman yang dimiliki bermakna bahwa seseorang mendasarkan
ini, dalam kenyataannya merupakan fakta tindakannya kepada pemahaman atas
atas dua realisme makna yang berbeda.
86
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber
prilaku orang lain. Sebaliknya, dalam makna yang memiliki tujuan subjektif (the
gagasan Weber, pada intepretasi atas subjectively intended meaning) terhadap
perilaku inilah yang menjadi tugas sosiologi. tindakan, makna yang secara objektif dapat
Kemampuan melakukan intepretasi atas diketahui. (Schutz, 1972)
orang lain inilah yang menjadi level makna
Bagi Schutz sebagai mana ditegaskan
keempat. (Schutz, 1972)
Thomason:
Weber tidak menjelaskan perbedaan “Action is’…duration-immanentenact
antara perilaku dan tindakan, bahkan dalam ment. Act, on the other hand, is durati
uraian sebagaimana telah disinggung oleh on-transcendent enactedness’. An act,
therefore, can be considered inde
Schutz di atas, ia cenderung menyamakan
pendently of the acting subject, but the
tindakan dengan perilaku, dia juga tidak action is …a series of experiences being
memberi penjelasan yang memuaskan formed in the concrete and individual
atas apa yang dimaksudnya dengan consciousness of some actor…’. In a
word, action is subject-bound. Another
“makna”. Tetapi yang sedikit lebih jelas
means of distinguishing between these
arahnya adalah bahwa tindakan yang two is provided by Shutz when he says
dikaji olehnya adalah tindakan sosial, that we have to’…differentiate between
berhubungan dengan perilaku orang lain, the action in progress (action) and the
already finished and constituted act
atau diorientasikan kepada perilaku orang
(actum) which has been produced by the
lain, dan memiliki makna subyektif bagi former’. On the basis of this distinction,
aktor yang melakukannya, meskipun kita Schutz proceeds to a discussion of what it
tidak bisa membayangkan bahwa tindakan means to ‘attach meaning to an act’ and
that topic in turn leads to his important
sosial itu selalu diimajinasikan sebagai
ideas about ‘projection’.(Thomason,
perbuatan aktif. Karena bagi Weber tidak 1982)
melakukan intervensi pada sesuatu keadaan (Tindakan adalah… durasi yang ber
sosial tertentu itu sudah dapat dianggap langsung di dalam perbuatan. Dengan
melakukan tindakan. kata lain, tindakan merupakan durasi
transenden dalam perbuatan’. Oleh
C. Rekonstruksi Konsep Tindakan sebab itu, suatu tindakan, secara inde
penden dapat dianggap sebagai subjek
Weber seperti dijelaskan oleh Schutz
yang melakukan tindakan, namun
tidak menjelaskan perbedaan antara demikian tindakan merupakan…serang
tindakan sebagai sesuatu yang tengah kaian pengalaman yang terbentuk
berlangsung, dan tindakan yang telah melalui kesadaran nyata dan kesadaran
individual aktor… dengan kata lain,
sempurna atau lengkap (completed act),
tindakan menunjukkan adanya ikatan
demikian juga dia tidak menjelaskan makna subjek. Cara lain untuk membedakan
pelaku (producer) atas suatu objek budaya dua masalah tersebut dikemukakan oleh
dan makna dari objek yang dihasilkan, juga Schutz ketika ia mengemukakan bahwa
kita seharusnya …membedakan antara
antara makna tindakan sendiri dengan
tindakan yang sedang berlangsung dan
makna tindakan orang lain, pengalaman tindakan yang telah selesai, juga tindakan
sendiri dan orang lain, antara pemahaman yang terbentuk (actum) sebagaimana
diri sendiri dan pemahaman diri sendiri dihasilkan oleh waktu yang telah lalu.
Dengan membedakannya seperti ini,
terhadap orang lain. Namun tidak
Schutz berhasil mendiskusikan suatu
dipungkiri bahwa Weber membedakan masalah tentang apa yang dimaksud
87
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
88
Muhammad Supraja, ALFRED SCHUTZ : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber
89
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
Daftar Pustaka
Schutz, A. 1972. The Phenomenology of
Social World, United States of
America: Northwestern University
press
Thomason, C Burke, 1982. Making Sense of
Reification, New Jersey: Humanity
Press
Truzzi, Marcello, 1974. Verstehen:
Subjective Understanding in The
Social Sciences, Phillippines:
Addison-Wesley Company, Inc
Weber, Max, 1949. The Methodology of
Social Sciences, New York: The Free
Press
90
GEJALA ALIENASI DALAM
MASYARAKAT KONSUMERISTIK
Aditya Permana
Abstrak
” Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang telah mengalami transformasi dari
mode of production yang mencirikan kapitalisme lama ala Marx ke mode of consumption
yang menandai era kapitalisme baru. Kapitalisme baru mengonstruksi masyarakat yang
mengartikulasikan diri dalam objek-objek konsumsi yang menjadikan individu sekedar
etalase tanda agar kemelimpahan produksi komoditi terus berjalan dan pemilik modal terus
menangguk untung. Kapitalisme baru mereifikasi petanda-petanda (signifiers) komoditi
dan melipatnya dalam kebutuhan-kebutuhan palsu (pseudo-needs) yang dijadikan ‘norma
sosial’ baru yang berlandaskan pada konsumsi. Berkat kemajuan teknologi dan sistem
konsumsi baru, kapitalisme baru menemukan solusi untuk mengatasi masalah alienasi
buruh dalam mode of production. Namun konsumerisme sebagai efek langsung mode of
consumption justru melahirkan alienasi yang jauh lebih luas dan tersamar. Tulisan ini
mengangkat topik tersebut melalui kacamata pemikir sosial-filsafat postmodern, Jean
Baudrillard”
Abstract
“The consumer society is name for a society that transformed from mode of production, as
the prominent feature of old capitalism criticized by Marx, to mode of consumption that
marks a new era of capitalism, or so-called late capitalism. This new capitalism constructs
a society which articulates itself into objects of consumption. Individuals in this system
become a mere storefront of signs and significations, manipulated by owners of the capital
in order to keep the commodification and capital’s flow in the determinate manners, via
method of reification of commodities. This method creates pseudo-needs which consumed
conspicuously by society and become a new “social norm”. New capitalism relies on
the technological upturn and the new system of consumption to solve the problem of
alienation grappled by workers in Marx’s mode of production. But, unfortunately, mode
of consumption operated by new capitalism brings forth consumptive behavior which,
in turn, set a new disguised problem of alienation. To discuss this problem, I will employ
Baudrillardian perspective”
91
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
92
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
di perkotaan yang telah mencapai tahap tertentu, yang hanya dapat diperoleh
belanja gaya hidup (lifestyle shopping) melalui kepemilikan atas objek-objek
(Piliang, 2003). Masyarakat konsumer atau produk-produk yang disebut di atas.
membeli sesuatu dan membelanjakan Inilah hebatnya, konsumerisme bukan
uang lebih berdasarkan kepada prestise hanya menjangkiti kelas menengah ke
dan kebanggaan simbolik, bukan pada atas, melainkan menerpa hampir seluruh
fungsi (nilai-guna). Inilah “ideologi” yang kelas yang mengalamatkan identitas diri
kini semakin transparan berlangsung pada rezim ekonomi simbolik. Berdasarkan
dalam aktivitas konsumsi masyarakat latar belakang tersebut, tulisan ini akan
kapitalistik dewasa ini. Nilai-tanda (sign- memfokuskan diri pada topik masyarakat
value) dan nilai-simbol (symbolic-value) konsumer dalam kaitannya dengan
telah menggantikan nilai-guna (use-value) permasalahan alienasi antar kelas sosial
dan nilai-tukar (exchange-value) Marxian. berdasarkan ukuran ekonomi yang tidak
Kapitalisme baru memerlukan bentuk- didasarkan pada nilai-guna, melainkan
bentuk konsentrasi ekonomi baru, teknik- ekonomi nilai-tanda dan nilai-simbol
teknik produksi baru, pengembangan melalui kacamata pemikir sosial Jean
teknologi baru, percepatan kapasitas Baudrillard.
produk-produk massal dan korporasi
B. Teori Konsumsi Baudillard
kapitalis, sehingga meningkatkan per
hatian terhadap pengaturan konsumsi Jean Baudrillard sering dianggap
dan menciptakan kebutuhan-kebutuhan sebagai pemikir garda depan yang mengkaji
baru atas dasar kuasa simbolik tanda. persoalan masyarakat konsumer secara
Baudrillard menyebutnya rezim nilai- cukup komprehensif karena tidak saja
tanda. (Baudrillard, 1981). mengkritik filsafat ekonomi politik Marx,
melainkan memasukkan problem ini dalam
Namun kesenjangan sosial belum
linguistik struktural rintisan Saussure
lenyap. Jika gaya hidup menjadi standar
dan semiologi Barthes. Baudrillard me
bagi relasi antar-manusia, maka orang
nyimpulkan bahwa konsumsi dewasa
yang tidak memiliki atau tidak mampu
ini bukanlah konsumsi atas objek-objek
menerapkan gaya hidup konsumtif dalam
material, melainkan konsumsi akan
masyarakat konsumer menjadi pihak
nilai-nilai; konsumsi atas tanda (signs).
yang tersingkir. Akibatnya perbedaan dan
Baudrillard memulai diskusi tentang
pembedaan “kelas-kelas” sosial makin
masyarakat konsumer dengan diagnosisnya
cair, namun secara ironik juga semakin
akan rezim nilai-tanda. Rezim nilai-tanda
tajam. Ketika konsumsi menjadi ukuran
adalah “ideologi” yang dihidupi oleh
diterimanya seseorang dalam kelas
masyarakat yang menjalankan logika sosial
tertentu, maka muncul masalah-masalah
konsumsi. Dalam rezim nilai-tanda, motif
sosial seperti totalitarianisme, hilangnya
terakhir tindakan konsumsi bukanlah
makna, anomie, penyakit jiwa, alienasi,
pelayanan dan nilai-guna suatu barang,
dan sebagainya.(Hardiman, 1993). Secara
melainkan produksi dan manipulasi
langsung maupun tidak langsung ini juga
penanda-penanda sosial. Konsumsi men
menyuburkan kriminalitas demi tujuan-
jadi motif utama dan penggerak realitas
tujuan banal: asosiasi kepada identitas
sosial, budaya, dan bahkan politik (Kellner,
93
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
1994). Rezim nilai-tanda ditandai oleh sistem pertukaran yang sepadan dengan
transformasi dari mode of production ke sistem bahasa. Kedua, sebagai proses
mode of consumption. Nilai-tanda (sign- klasifikasi dan diferensiasi sosial. Objek-
value) dan nilai-simbol (symbolic-value) objek dan tanda-tanda dipandang bukan
telah menggantikan nilai-guna (use-value) hanya sebagai perbedaan yang signifikan
dan nilai-tukar (exchange-value) Marxian. dalam satu kode, melainkan sebagai nilai
Konsumsi menjadikan seluruh aspek yang sesuai aturan dalam sebuah hierarki.
kehidupan tak lebih sebagai sekedar objek Konsumsi menentukan distribusi nilai yang
yang mengklasifikasi dan membentuk melebihi hubungannya dengan penanda
makna kehidupan masyarakat kapitalisme sosial yang lain, seperti pengetahuan,
lanjut. Baudrillard mengatakan bahwa kekuasaan, budaya, dan lain-lain. (Baudril
ketika sebuah produk dikonsumsi, yang lard, 1998)
dikonsumsi adalah makna-makna yang “Objek-objek konsumsi menciptakan
disebarluaskan melalui iklan (Baudrillard, pembedaan sebagai stratifikasi status:
2002). Melalui asumsi ini, Baudrillard apabila hal ini tidak lagi terisolasi,
hal ini terdiferensiasi; apabila hal
hendak menjelaskan tentang kemelimpahan
ini menentukan secara kolektif para
(profusion) tanda-tanda yang menyebar konsumen sebuah tempat dalam
luas. Relasi antara tanda dan konsumsi relasi kode, tanpa melebihi solidaritas
merupakan poin penting memahami relasi kolektif (justru berlawanan dengan itu.”
(Baudrillard, 1998)
baru antara subjek-objek dalam masyarakat
konsumer (Baudrillard, 2002). Baudrillard menjelaskan bagaimana
nilai-tanda dan nilai-simbol ini dapat
Baudrillard melihat bahwa dalam
menjadi basis relasi subjek-objek dan
masyarakat konsumer, objek-objek di
tatanan sosial yang baru dalam masyarakat
miliki, diatur, dikonsumsi, dan diinvestasi
post-feodal. Akan lebih mudah untuk
melalui makna oleh subjek yang kemudian
memahami transisi masyarakat konsumer
mengubah dan mendefinisikan ulang objek-
dengan membandingkan masyarakat feodal
objek tersebut. Baudrillard percaya bahwa
dan masyarakat kapitalis (Baudrillard,
konsumsi objek-objek menentukan tatanan
1981). Menurut Marx, masyarakat feodal
sosial masyarakat. Dengan mengadaptasi
memproduksi dan mengonsumsi objek
teori strukturalis, Baudrillard berargumen
menurut nilai-gunanya, yakni fungsi asli
adanya relasi timbal-balik antara individu
suatu objek berdasarkan eksistensinya.
dan sistem makna dalam masyarakat.
Barang-barang diproduksi atau diper
Sistem makna memaksakan kekuasaannya
tukarkan dengan alasan pemenuhan ke
terhadap individu dengan cara bahwa
butuhan. Namun memasuki zaman
melalui sistem makna tersebutlah indi
industrialisasi, perekonomian ditandai
vidualitas mendapat makna (William,
dengan lahirnya sistem baru yang disebut
2002). Logika sosial konsumsi memuat dua
kapitalisme. Dalam kapitalisme, muncul
aspek. Pertama, sebagai proses signifikansi
konsep mengenai nilai-tukar di samping
dan komunikasi yang didasarkan pada
nilai-guna yang telah dikenal sebelumnya.
peraturan (code) di mana praktik-praktik
Logika produksi yang mendominasi era
konsumsi masuk dan mengambil makna.
kapitalisme akhirnya memunculkan konsep
Konsumsi dalam konteks ini merupakan
komoditi. Komoditi adalah objek produksi
94
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
yang di dalamnya memuat dua nilai dasar, C. Alienasi dan Konsumsi dalam
yakni nilai-guna dan nilai-tukar. Masyarakat Kapitalistik Lama
(Old Capitalism)
Namun produksi komoditi menying
kirkan nilai-guna sebagai nilai dominan Pada era kapitalisme awal, masyarakat
yang menjadi prinsip interaksi sosial, ditandai oleh logika produksi yang ber
ekonomi, budaya dan politik dalam prinsip pada produksi komoditi yang
masyarakat feodal. Dalam masyarakat melimpah (mode of production). Produksi
kapitalis, pemenuhan kebutuhan bukan komoditi menegaskan kemenangan nilai-
merupakan motif utama produksi barang- tukar atas nilai-guna, atau fetisisme
barang. Produksi komoditi menekankan komoditi. Dalam fetisisme komoditi
pada nilai-tukar untuk mendapatkan selisih terjadi alienasi terhadap kaum buruh
keuntungan dari biaya yang dikeluarkan sebagai produsen. Kaum buruh teralienasi
untuk produksi. Dengan konsep komoditi, karena pertama, komoditi dipisahkan dari
barang yang memiliki manfaat berbeda, produsennya. Kaum buruh sebagai orang-
tidak mustahil memiliki nilai-tukar yang orang yang memproduksi komoditi tidak
sama (Lechte, 1994) Satu ton gabah memiliki kekuasaan untuk memiliki atau
misalnya, mungkin memiliki nilai-tukar menggunakan komoditi tersebut sesuai
yang sama dengan sebuah mobil, meskipun keinginan mereka karena komoditi menjadi
keduanya memiliki perbedaan nilai-guna. milik pemilik kapital yang kemudian
Konsep komodifikasi mengubah status dipertukarkan di pasar untuk mendapatkan
uang sebagai alat tukar. Marx menyatakan, keuntungan. Untuk memiliki barang yang
apabila dalam era kapitalisme awal diproduksinya sendiri, kaum buruh harus
uang hanyalah sarana tukar pemenuhan mengeluarkan uang untuk membeli barang
kebutuhan, maka dalam era kapitalisme tersebut. Kaum buruh menjadi konsumen
lanjut uang adalah tujuan akhir dengan atas produk yang mereka produksi sendiri;
komoditi sebagai sarananya (Kellner, 1994). teralienasi dari produk kerjanya. Yang
Sebuah komoditi tanpa nilai-guna berarti kedua, kaum buruh sebagai konsumen
tidak dapat dijual karena tidak memiliki juga teralienasi akibat hilangnya akses
nilai-tukar. Benda tersebut akan menjadi yang bermakna terhadap sarana-sarana
produksi tak berguna. Namun sebaliknya, produksi yang diperlukan untuk menggali
tidak setiap produk yang memiliki nilai- sepenuhnya potensi kebutuhan mereka
guna otomatis akan memiliki nilai-tukar. sebagai manusia (Lee, 2006).
Nilai fetish suatu komoditi akan muncul
Marx melihat sumber problem ini pada
ketika komoditi itu dipertukarkan dalam
proses reifikasi dalam komodifikasi benda-
sistem kapitalisme. Karakter fetish tersebut
benda produksi. Reifikasi menggambarkan
didefinisikan Marx sebagai relasi sosial
relasi sosial kaum buruh dalam kapitalisme
tertentu antara manusia yang tampak bagi
yang tumbuh di luar kontrol dan muncul
mereka, merupakan bentuk fantasi, dari
sebagai sesuatu yang digerakkan oleh
relasi antara benda (komoditi-komoditi)
hukum “natural” sehingga kaum buruh
(Marx, 1976)
seakan dikendalikan oleh logika dari luar
diri mereka (Lee, 2006) Hukum “natural”
ini tak lain adalah sistem kapitalisme.
95
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
Bagi kaum buruh, tak ada jalan lain guna; produsen memproduksi barang yang
selain menyesuaikan diri dengan sistem telah diabstraksi nilai-gunanya sehingga
kapitalisme, meskipun ini merepresi dan menjadi komoditi yang bernilai-tukar
mendistorsi kualitas esensial mereka murni secara melimpah dan dengan itu
sebagai manusia. Di lain pihak, bekerja atau menciptakan berbagai macam kebutuhan
menjadi buruh sesungguhnya merupakan palsu untuk dikonsumsi sebagai barang-
realisasi potensi mereka sebagai mahluk barang konsumsi par excellence. Dalam
yang bebas dan sadar. Barang yang komoditi, nilai-nilai, termasuk di dalam
mereka produksi tak lain adalah bentuk nya tenaga buruh, dipertukarkan dan
objektivikasi kualitas esensial manusiawi diabstraksi sehingga bernilai sama dengan
mereka. nilai tukar yang menentukan harga
komoditi. Sedangkan reifikasi dalam tempat
Maka, reifikasi tak lain adalah alienasi.
kerja yang mengalienasi kaum buruh terjadi
Gartman mengklaim reifikasi sebagai
manakala mereka kehilangan kontrol atas
proses alienasi dalam bentuk penghilangan
diri mereka karena telah “menyerahkan
kesadaran atau pembiusan terhadap nalar
hak” sebagai manusia yang bebas dan
kritis manusia yang bertujuan untuk
mampu merealisasikan natur esensialnya
pelupaan asal usul mode produksi yang
di bawah kontrol kapitalisme. Potensi kaum
memiliki sifat represif dan dehumanistis.
buruh diabstraksi tak lebih dari sekedar
Kaum buruh dipaksa menerima kondisi
nilai-lebih (surplus value), direduksi
mereka sebagai pekerja-pekerja yang
sampai taraf abstrak dan sederhana sebagai
bergantung kepada kapitalisme untuk
biaya energi (expenditure of energy)
menjamin mereka mendapat penghasilan
yang dapat dihitung dan dimanipulasi
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
secara kuantitatif oleh modal. Relasi antar
hari. Kaum buruh mau tidak mau harus
manusia tampak bukan sebagai sebuah
menerima represi tersebut sebagai suatu
alam komunal, melainkan relasi abstrak
keadaan tak terelakkan yang tetap harus
antara benda-benda yang diatur oleh
berlangsung untuk menjamin tersedianya
hukum kuantitatif yang oleh kapitalisme
penghasilan. Karena itulah sistem ka
berhasil ditransendensikan sebagai hukum
pitalisme justru harus terus berjalan dan
alam (Gartman, 1986)
dilanggengkan (Gartman, 1986)
Seturut perubahan zaman, melalui
Menurut Marx, reifikasi sebagai alienasi
modernisasi dan optimalisasi teknologi,
ini terjadi dalam dua aspek yang dihidupi
kaum buruh tidak lagi tersingkir. Produksi
kaum buruh yaitu dalam pasar dan dalam
komoditi yang melimpah menempatkan
tempat kerja. Reifikasi dalam pasar erat
baik kaum buruh maupun konsumen
kaitannya dengan fetisisme komoditi atau
sebagai kelas konsumen pasif karena
pengistimewaan nilai-tukar atas nilai-guna.
kemelimpahan komoditi berimbas pada
Dalam pasar, komoditi dipertemukan dan
murahnya harga barang. Ini adalah per
dipertukarkan berdasarkan kekuatan bawah
geseran kapitalisme dalam bentuknya
sadar yang mengatasi kontrol manusia atas
yang baru. Tidak ada lagi kelangkaan yang
pasar. Kekuatan ini merupakan kekuatan
mengharuskan setiap orang memproduksi
yang berada di balik relasi benda-benda
barang untuk memenuhi kebutuhan. Yang
sebagai hasil pengaburan (obscurity) nilai-
96
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
97
terputus dari operasi produksi. Debord mengekspresikan diferensi antara mereka,
menyamakan proses yang terjadi dalam melainkan manusia sekedar menjadi
“logika produksi” dengan apa yang terjadi ‘kendaraan’ untuk mengekspresikan
di “logika konsumsi”. Akibat pengidentikan perbedaan di antara objek-objek (Lury,
ini, massa menjadikan konsumsi yang 1998)
teralienasi (alienated-consumption) serupa
Ini terjadi akibat simulasi dalam
“tugas” massa sebagaimana alienasi yang
peristiwa atau produk-produk. Produk-
sama terjadi dalam produksi (Debord,
produk tersebut tidak memiliki makna yang
1967). Apabila produksi mengalienasi kaum
jelas dan tidak mengacu pada referensi
buruh, konsumsi mengalienasi konsumen
apaupun kecuali sekedar menunjukkan
dengan cara yang sama.
diferensi objek, namun tanpa memuat
Alienasi dalam masyarakat tontonan makna atau pesan apapun. Menyitir
terjadi karena citraan-citraan (images) McLuhan, medium telah menjadi pesan
direpresentasikan oleh komoditi mem itu sendiri. Makna atau pesan bukan hal
pengaruhi massa sebagai suatu kehidupan yang penting dalam mekanisme simulasi.
sosial. Proses ini terjadi secara bawah-sadar Justru histeria realitas-realitas semu yang
dan menjadi cerminan individu dalam muncul akibat proses simulasi tersebut
berperilaku. Semakin individu meng lah yang penting. Baudrillard menyatakan
kontemplasikan diri atau memproyeksi bahwa masyarakat telah memasuki dunia
diri dalam objek-objek yang merefleksikan hiperealitas. Dalam dunia hipereal, apabila
“kebutuhan”, semakin ia mengidentifikasi yang real itu diproduksi, yang hipereal itu
diri dengan imaji-imaji tersebut. Akibatnya direproduksi (Bertens, 1995) Simulasi juga
ia semakin jauh dari dirinya sendiri. merupakan bentuk masyarakat tontonan
Individu tidak mampu memahai hidup (Baudrillard, 2006) Secara hiperbolik
dan keinginannya sendiri. Tindakan Baudrillard mengatakan bahwa semua yang
dan perilaku (gesture) subjek tidak lagi nyata kini menjadi simulasi (Baudrillard,
merefleksikan dirinya sendiri, melainkan 1994).
gesture orang lain yang direpresentasikan
Simulakrum adalah dunia yang ter
melalui dirinya (Debord, 1967). Baudrillard
bentuk dari hubungan berbagai nilai, fakta,
menyimpulkan bahwa kapitalisme de
tanda dan kode secara acak, tanpa referensi
ngan logika konsumsinya berhasil men
relasional yang jelas, atau suatu duplikasi
ciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu
dari realitas dengan menggunakan re
yang kemudian ditindaklanjuti dengan
produksi ikonik realitas. Hubungan ini
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut
melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta
dalam dunia signifikansi. Akibatnya indi
melalui proses produksi, serta tanda
vidu kehilangan kontrol atas otonomi diri
semu (citra) yang tercipta melalui proses
dan ‘menyerah’ pada kode dan aturan-
reproduksi. Dalam dunia simulasi, kedua
aturan signifikansi. Bagi Baudrillard, inilah
jenis tanda tersebut saling tumpang tindih,
perwujudan aspek kedua dari logika sosial
melarut, dan bersengkarut membentuk
konsumsi yaitu sebagai proses klasifikasi
satu unitas. Mana yang asli, yang real,
dan diferensiasi sosial. Menurutnya, orang-
dan mana yang palsu, yang semu, sukar
orang tidak lagi menggunakan objek untuk
diidentifikasi. Semuanya menjadi bagian
98
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
99
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
menolak ide Derrida tentang proses dalam model produksi simulasi melalui
signifikasi yang selalu mengimplikasikan otomatisasi, komputerisasi, dan mikroisasi.
realitas konkret yang memuat “idealisme Namun itu hanya dapat dipahami jika
referensi” (Baudrillard, 2002) Dalam merujuk pada model produksi komoditi
simulasi tidak ada referensi. Arbitraritas klasik. Piliang tidak mengeksplorasi
tanda yang krusial dalam semiologi lebih jauh soal alienasi dalam masya
Sausurrean, Barthes, atau Derrida tidak lagi rakat konsumer, melainkan hanya meng
dapat dipertahankan. Konsep nilai-tanda ungkapkan soal fetisisme komoditi
Baudrillard mendasarkan diri pada reduksi yang sama sekali lain dengan fetisisme
dan penangkapan tanda dalam simulakrum. komoditi-nya Marx yang menjadikan
Konsekuensinya, tanda menjadi sesuatu alienasi tidak lain adalah alienasi terhadap
yang menyesatkan karena ia menjadikan nilai-tukar atau penanda dalam sistem
dirinya terlihat sebagai sebuah totalitas, rantai pertandaan. Dalam konteks rantai
menghapus jejak-jejak transendensi pertandaan, Baudrillard menilai fetisisme
abstraknya (genealoginya dari referensi atau komoditi Marx tak lain adalah fetisisme
realitas), dan merayakan diri sebagai prinsip petanda (nilai-guna). Nilai-guna dipisahkan
kesejatian dari makna (reality principle atau dialienasikan dari komoditi sehingga
of meaning) (Baudrillard, 2002) Semua komoditi tersebut hanya tampak sebagai
makna dispektakulerkan, digambarkan, objek sarat nilai yang sebenarnya palsu.
dirangsang, diolah, diaransemen dengan Yang ditampakkan adalah permainan
gambar-gambar, tanda-tanda, dengan tanda-tanda yang diinstitusionalisasi untuk
contoh-contoh yang bisa dikonsumsi menopengi kepentingan ideologis kapitalis
(Baudrillard, 1998). Tanda-tanda pengganti atas nilai-tukar.
realitas tersebut mengambil tempat dalam
Baudrillard menolak asumsi Marx
sistem objek yang diorganisasikan aturan-
dan mengatakan fetisisme komoditi, jika
aturan trend dan fungsi-fungsi imperatif
memang benar ada, tak lain adalah fetisisme
(memiliki kemampuan untuk memerintah
nilai-tukar atau penanda dari suatu objek.
atau mendorong) dan menjalankan prinsip
Fetisisme nilai-tukar memiliki makna
“integrasi ideologis”: subjek menjadi
terperangkapnya subjek dalam kode-kode
“seseorang” (person) melalui proses per
objek yang dikodifikasi secara sistematis
sonalisasi yang diatur dan diarahkan oleh
melalui sistem kapitalisme. Dengan kata
sistem tanda objek. Individu menemukan
lain, fetisisme komoditi berlaku pada objek
makna diri, identitas, dan “diri sejatinya”
tanda atau objek sebagai tanda akibat
ketika ia berhadapan vis-à-vis objek: imaji
pemutusan atau pemisahan nilai-guna
atau tanda (Pawlett, 2008) Singkatnya,
sebagai nilai substansial objek sehingga
manusia direduksi sebagai susunan tanda.
menjadi objek yang sepenuhnya berupa
Piliang (2003) berpendapat bahwa nilai-tanda (Piliang, 2003) Berdasarkan
Baudrillard sebenarnya menganggap argumen ini, Piliang dan Baudrillard sendiri
alienasi dan dehumanisasi barisan pekerja menyimpulkan bahwa diskusi soal alienasi
dalam proses produksi komoditi sudah tidak tidak lagi bermanfaat dalam debat tentang
lagi relevan. Ia juga menambahkan bahwa komoditi dalam masyarakat konsumer.
masalah alienasi tersebut telah teratasi Akan tetapi soal alienasi lebih bernilai
100
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
101
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
102
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
103
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
104
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
Tidak ada lagi proses petanda sebagai struktural signifikasi. Konsumsi objek
dasar legitimasi penanda atau sebaliknya. dikendalikan oleh logika simulasi, di mana
Akibatnya proses penandaan (signifikasi) objek tanda dikonsumsi secara banal.
menjadi suatu reifikasi. Petanda menjadi tidak penting. Konsep
“Signifikasi, merupakan juga reifikasi mental dari objek itu tidak penting.
– semua strategi represif dan reduktif Yang penting adalah banalitas penanda,
sudah hadir dalam logika internal yang justru diterima sebagai realitas itu
tanda, sebagaimana halnya nilai-tukar
sendiri. Orang mengkonsumsi iPhone 5,
dan ekonomi politik. Hanya revolusi
total, teoritis dan praktis, yang dapat Blackberry, komputer tablet, tas Prada,
mengembalikan yang simbolik dengan Birkin, Louis Vuitton, mobil Ferrari,
pematian tanda dan nilai. Bahkan Alphard, motor besar, dan seterusnya tanpa
tanda-tanda harus dimusnahkan.”
melihat barang-barang itu sebagai benda
(Baudrillard, 2002)
pakai. Orang mengkonsumsi produk atau
Sebagaimana reifikasi dalam konteks komoditi tersebut untuk menempatkan
mode produksi adalah sebagai proses dirinya dalam status sosial tertentu melalui
penghilangan kesadaran tentang asal-usul penanda-penanda atau makna-makna
komoditi (kaum buruh yang memproduksi semu yang ditanamkan dalam sepatu
dan nilai-guna komoditi) yang membuat tersebut. Mereka mengkonsumsi banalitas
objek muncul dan benar-benar diatur tanda yang disimulasi oleh komoditi
oleh sesuatu di luar kendali manusia, tersebut tanpa menyadari barisan buruh
dalam reifikasi petanda juga berlaku di China dan Meksiko yang memproduksi
logika demikian. Fetisisme penanda komoditi tersebut. Mereka tidak menyadari
menggeser status penanda tak ubahnya bahwa sebuah Blackberry yang mereka beli
sebagai petanda. Konsep mental objek harganya sama dengan upah satu bulan
yang diwakili petanda (atau dalam konteks buruh-buruh itu. Dalam kasus konsumsi
produksi adalah nilai-guna) mengalami komoditi tersebut, reifikasi (dalam
distorsi atau pemutusan ketika penanda pengertian produksi) terjadi dalam aspek
(konsep material) objek mengalami fetisasi. tidak disadarinya keberadaan kaum buruh
Fetisasi penanda menjadikan nilai-tukar yang memproduksi komoditi itu. Reifikasi
bergeser pada nilai-tanda murni. Fetisasi kedua terjadi dalam level penanda. Komoditi
komoditi memutuskan objek dari nilai- tersebut dikonsumsi bukan sebagai benda
guna sehingga nilai-tukar mendominasi pakai an sich, melainkan sebagai penanda
pertukaran. Baudrillard melangkah status sosial seseorang di masyarakat,
lebih jauh dari Marx, fetisasi penanda yang dengan itu subjek tidak menyadari
memutuskan nilai-tukar murni suatu objek bahwa ia dikendalikan oleh logika dalam
dan menggantikannya dengan nilai-tanda sistem-sistem objek yang menempatkan
murni sehingga akhirnya yang tersisa dari subjek pembeli produk-produk tersebut tak
objek konsumsi hanyalah tanda-tanda yang ubahnya sebagai etalase atau kendaraan
dikonsumsi sebagai sarana diferensi sosial. bagi penanda-penanda yang dilekatkan
G. Kesimpulan dalam produk-produk tersebut.
105
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
106
Aditya Permana, GEJALA ALIENASI DALAM MASYARAKAT KONSUMERISTIK
(Endnote)
1 Tanda, dalam perspektif strukturalisme Sausur
rean dimengerti sebagai kesatuan tak terpisah
antara penanda (signifier/le signifiant) dan
petanda (signified/le signifie). Penanda
adalah konsep material dari bahasa, yaitu apa
yang ditulis, dibaca, dikatakan, atau didengar.
Dalam bahasa Perancis, le signifiant berarti
bunyi atau coretan yang bermakna. Sedangkan
petanda adalah konsep material dari bahasa
yang mewakili konsep atau makna suatu tanda.
Dalam pemakaian bahasa sebagai sistem, antara
penanda dan petanda tidak mewakili suatu
hubungan yang natural, melainkan arbitrer
(manasuka). Tidak ada hubungan natural antara
huruf “a” dengan bunyi yang ditunjukkan huruf
itu.
107
REVIEW BUKU
108
Derajad S. Widhyharto, REVIEW BUKU
ekonomi informal, kantong etnis dan pengujian konsep yang jelas pada tingkat
kelompok menengah, serta komunitas menengah yang dapat diterapkan dalam
transnasional. Chapter akhir Portes kembali berbagai situasi di lapangan. Lalu
membicarakan analisis meta-asumsinya, dipilih untuk melacak asumsi kunci
penekanannya pada mengidentifikasi mas kembali sebelumnya diterbitkan, alasan
alah aktual dengan cara mereformulasi metodologis tersebut diharapkan tidak
dan mendefinisikan kembali meta-asumsi memberikan kesan sebagai kumpulan esai.
tersebut kedalam bentuk pengukuran, Portes mencoba untuk mengatasi kesan
investigasi yang diwujudkan dalam per tersebut dengan menunjukkan bagaimana
nyataan hipotetik. setiap konsep berhubungan dengan bidang
asumsi yang dipilih dan bagaimana, pada
Portes mengawali penjelasan teoritiknya
gilirannya, mereka dapat digunakan untuk
dengan meringkasnya menjadi tiga kategori,
menjelaskan dan memprediksi masalah di
dalam meta-prinsip teoritis, mekanisme ini
lokasi tertentu pula.
jelas berfungsi untuk melakukan investigasi
yang sistematis. Pertama komponen Portes kemudian berencana untuk
kognitif “lensa” dengan menentukan fokus- menguji asumsi dasar sosiologi ekonomi
pendekatan mana yang dianggap tepat ”meta-asumsi”, beberapa mekanisme kunci
untuk melihat realitas. Lensa ini tidak lebih dari penjelasan, dan penglihatan lokasi
kuat atau lebih lemah, konsep lensa tersebut penelitian strategis. Terdapat tiga asumsi
digunakan secara berbeda dalam melakukan umum - berorientasi aksi sosial ekonomi,
”zooming” di lokasi tertentu dari realitas konsekuensi tak terduga dari tindakan
empiris sebagai cara layak menyelidiki dan purposive dan kekuasaan. Jelas ada juga
langsung fokus pada tema/topik. Kategori merupakan mekanisme yang dipilih:
kedua mencakup ide-ide yang dapat modal sosial, kelas sosial, dan lembaga
direalisasikan, dalam rangka memahami, sosial. Ini akan diikuti dengan analisis dari
mengklarifikasi, dan bahkan memprediksi tiga lokasi penelitian: ekonomi informal,
peristiwa konkret. Hal tersebut dianggap kantong-kantong etnis dan kelompok
mewakili instrumentasi yang dipatuhi tengkulak, dan komunitas transnasional.
oleh perspektif disiplin ilmu tertentu yang Lokasi ini memiliki dua karakteristik.
digunakan untuk menjelaskan fungsinya. Pertama, terdapat perbedaan yang paling
Sedangkan, kategori ketiga terdiri dari sering dibahas dalam literatur, seperti
lokasi yang dipilih untuk penyelidikan perusahaan dan pasar. Kedua, sebagai tipe
ekspansif teoritis bidang tertentu. lokasi ideal, terdapat kesadaran atas mekanisme
ini tentu tidak dipilih secara acak, tetapi pasar. Jelas mekanisme dipilih bukan tanpa
mencerminkan panduan orientasi, lensa masalah mereka dan ini dibahas dalam bab-
melalui lapangan mana untuk melihat bab dari buku Portes tersebut.
realitas tadi.
Isu modal sosial digunakan untuk
Tujuan buku ini adalah untuk mengejar memainkan peran yang sangat berbeda dari
baris argumen dengan terlebih dahulu yang dimaksudkan oleh pendiri sosiologi,
mempertimbangkan prinsip-prinsip yang kelas sosial memiliki penurunan era dalam
mendasari asumsi kunci atau panduan ekonomi politik Marxis sebagai perspektif
lapangan dan kemudian dirangkaikan yang komprehensif; Sebaliknya, lembaga
109
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
110
Derajad S. Widhyharto, REVIEW BUKU
111
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
112
Derajad S. Widhyharto, REVIEW BUKU
Daftar Pustaka
Hann Crhis and Hart Keith (ed), 2009,
Market and Society: The Great
Tranformation Today, Cambrige
University Press, New York.
Granovetter, Mark, 1985, Economic Action
and Social Structure: The Problem
of Embededness, American Journal
of Sociology, Volume 91, issue 3
(November 1985), 481-510.
113
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 November 2012
Biodata Penulis
Aditya Permana: Menyelesaikan S1 Filsafat Universitas Gadjah Mada pada tahun 2009.
Sedang Menempuh S2 Filsafat di STF Driyakarya Jakarta. Penulis menaruh minat pada
kajian filsafat, teori sosial dan linguistik. Dapat dihubungi melalui email : Aditya.dwiloka@
gmail.com
Djoko Suryo: Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Dapat dihubungi melalui email: djoko98@yahoo.com
Fina Itriyati: Pengajar dan sekretaris prodi sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada.
Dapat dihubungi melalui: itriya_15@yahoo.com
Heru Nugroho: Guru Besar Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada. Ketua Prodi
Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM serta Ketua Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM.
Dapat dihubungi melalui: herunug@yahoo.com
Irwan Abdullah: Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Pengajar pada
Jurusan Antropologi, UGM. Dapat dihubungi melalui: iabdullah@ugm.ac.id
Partini: Pengajar di Jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada. Dapat dihubungi
melalui email : partinislg@yahoo.co.id
114
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 1 No.2 Mei 2012
FORMULIR BERLANGGANAN
Kepada:
Jurnal Pemikiran Sosiologi
Jurusan Sosiologi, FISIPOL, UGM
Jl. Sosio Yutisia, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281.
Nama : ____________________________________________
Alamat : ____________________________________________
Email : ___________________________________________
Volume : ____No:___Tahun:________
__________,___________,20____
____________________________
Nama :
Harga berlangganan Jurnal Pemikiran Sosiologi Rp 75.000, per tahun, termasuk ongkos
kirim, sedangkan harga per eksemplar Rp 35.000.
Pembayaran :
Transfer ke No. Rekening : 137-0006260810 a.n Heru Nugroho/Purwanto, Bank Mandiri Kantor
Cabang Magister UGM, Bulaksumur, Yogyakarta.
Bukti transfer dan formulir (bisa di scan/copy) dapat di email dan fax ke alamat redaksi dengan
mencantumkan Redaksi Jurnal Pemikiran Sosiologi
115