Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang Konsep otonomi daerah yang dianut di Indonesia, memberikan konsekuensi dilakukannya distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah dalam bentuk penyerahan kewenangan. Distribusi kekuasaan dilakukan melalui 3 (tiga) asas, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind). Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, dalam perkembangannya tidak saja membawa dampak terhadap distribusi kekuasaan, tetapi juga menimbulkan adanya bentuk-bentuk otonomi, dengan diberlakukannya otonomi khusus dan otonomi istimewa pada daerah-daerah tertentu. Hal ini sejalan dengan amanah konstitusi, khususnya Pasal 18B UUD 1945, dengan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Otonomi daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia, pada awal kemerdekaan dilakukan melalui 2 (dua) bentuk otonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu otonomi umum dan otonomi istimewa. Sejalan dengan bergulirnya era reformasi yang membawa dampak terhadap perkembangan pemerintahan di Indonesia, melalui amandemen UUD 1945 diatur 3 (tiga) bentuk otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu otonomi umum, otonomi istimewa dan otonomi khusus. Diberlakukannya bentuk-bentuk otonomi memberikan warna yang berbeda dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, dengan diberikannya kewenangankewenangan khusus atau kewenangan-kewenangan istimewa kepada suatu daerah tetapi tidak dimiliki oleh daerah yang lainnya, seperti halnya otonomi khusus Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan perpu No. 1 tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Pemberian Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.

Di Indonesia penyelenggaraan otonomi daerah melalui asas desentralisasi dilakukan melalui 3 (tiga) instrumen utama, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik akan memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society. Desentralisasi administratif akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara efektif, efesien dan ekonomis. Sedangkan desentralisasi fiskal akan memposisikan pemerintah daerah sebagai pendukung ketahanan dan kestabilan ekonomi bangsa, dimana ketahanan dan kestabilan ekonomi daerah akan berkontribusi terhadap ketahanan dan kestabilan ekonomi secara nasional. Dasar pemikiran kebijakan Otonomi Khusus merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi di wilayah timur Indonesia yang menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan wilayah. Daerah yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam (SDA) ternyata pada tataran riil menghadapi fakta yang bertolak belakang. Ketertinggalan perekonomian masyarakat, minimnya penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, jaringan infrastruktur yang masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan permasalahan mendasar di wilayah ini. Kontradiksi seperti ini lambat laun menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata justru membawa dampak negatif yang sangat besar, mulai dari kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat asli. Berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua telah lama disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak jarang berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan. Masyarakat asli Papua mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencari solusi berbagai persoalan mendasar di Papua. Terlebih lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat terkait dengan kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran masyarakat lokal yang berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka.

Konsep desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah Papua. Penyelenggaraan pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua. Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah pilihan kebijakan pemerintah pusat dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk langkah kompromistis antara kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua. Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi. Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012. Desentralisasi fiskal dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diakomodasikan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan diberikannya sumber-sumber keuangan kepada daerah berupa pendapatan daerah dan pembiayaan agar penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat berjalan secara efektif dan optimal. Pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Sedangkan sumber pembiayaan berasal dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman. Penyelenggaraan pemerintahan Papua dengan prinsip otonomi khususnya berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001, juga dilandasi adanya desentralisasi fiskal melalui pemberian kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan keuangan daerah dari sumbersumber pendapatan dan pembiayaan. Namun terdapat perbedaan sumber-sumber pendapatan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dengan diberikannya Tambahan Dana Bagi Hasil dari Pajak dan Sumber Daya Alam serta Dana Otonomi Khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua.

Penyelenggaraan otonomi khusus dan pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti guna mengetahui keberadaan otonomi khusus Provinsi Papua dalam sistem otonomi di Indonesia dan pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah keberadaan otonomi khusus Provinsi Papua dalam sistem otonomi di Indonesia?
2. Bagaimanakah pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di

Provinsi Papua?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Yang Digunakan 2.1.1 Teori Desentralisasi Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Dengan demikian, desentralisasi dapat diartikan sebagai melepaskan diri dari pusat. Dari sudut ketatanagaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut Webster: to desentralize means to devide and distribute, as governmental administration, to withdraw from the centre or of concentration (Desentralisasi berarti membagi dan mendisribusikan, misalnya administrasi pemerintah, mengeluarkan dari pusat sebagai tempat konsentrasi kekuasaan).9 Lain lagi yang dinyatakan Abdy Yuhana: Desentralisasi itu adalah proses dari tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan atau pejabat. Dalam kaitannya dengan pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran kekuasaan dibidang otonomi. Sehingga dengan demikian, desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan territorial maupun fungsional.10 Desentralisasi pada dasarnya mengandung 2 (dua) elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus bagian dari urusan pemerintahan tertentu. Pelaksanaan desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat, tetapi tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara yang dapat mendorong lahirnya negara

Shabir Cheema dan Rondineli menyampaikan 14 (empat belas) alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi, yaitu: 1. Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat daerah yang bekerja dilapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan desentralisasi, maka perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan di daerah yang bersifat heterogen. 2. Desentralisasi dapat mendorong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat. 3. Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan kebijaksanaan yang lebih realistik dari pemerintah. 4. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadi penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elit politik lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas. 5. Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah. 6. Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh Departemen yang ada di pusat. 7. Desentralisasi dapat meningkatkan efesiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan

energi mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan. 8. Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasikan secara efektif bersama pejabat daerah dan sejumlah NGO diberbagai daerah. Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah. 9. Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur seperti ini dapat merupakan wahana bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah, kemudian secara bersama-sama menyampaikannya kepada pemerintah. 10. Dengan menyediakan modal alternatif cara pembuatan kebijakan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elit lokal, yang sering kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan. 11. Desentralisasi dapat mengantarkan administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Pemerintah Daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi, serta bereksperimen dengan kebijaksanaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil maka dapat dijadikan contoh oleh daerah lain. 12. Desentralisasi perencanaan dan fungsi managemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah untuk menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di pusat. 13. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka dalam memelihara sistem politik.

14. Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan Pemerintah Pusat dan Daerah ketingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena itu tidak lagi menjadi beban Pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.12 Menurut kelaziman, desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu:
1. Dekonsentrasi (deconcentratie) yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan

negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya gunamelancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dan wewenang Menteri kepada Gubernur, dan dari Gubernur kepada Residen (sekarang Bupati/Walikota) dan seterusnya. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak dibawa-bawa. 2. Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaan perundang-undangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini, rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing.13 Lebih lanjut desentralisasi ketatanegaraan dapat dibagi lagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Desentralisasi

teritorial

(territoriale

decentralisatie)

yaitu,

pelimpahan

kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing.


b. Desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie) yaitu, pelimpahan

kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Didalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingankepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan sendiri.14 Hakikat otonomi daerah dalam Negara Kesatuan adalah merupakan refleksi dan peyerahan manajemen pemerintahan (a transfer of management) yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Penyerahan manajemen pemerintahan tersebut, diharapkan dapat membuka peluang kemandirian bagi daerah untuk mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Secara konseptual, kebijakan otonomi daerah merupakan sistem pemerintahan yang lebih menghargai partisipasi, kemandirian, kesejahteraan sosial, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Konsep desentralisasi ini sesungguhnya lebih menjamin penegakan prinsip demokrasi yang menunjang pluralis, transparansi, akuntabilitas dan berbasis kemampuan lokal. Menurut Bourjol & Bodrat: Pemerintahan Daerah adalah organisasi yang dikendalikan oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk dalam suatu wilayah. Ide dasar tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu pengelompokan alamiah dari penduduk yang tinggal pada suatu wilayah tertentu dengan kehidupan kolektif yang dekat dan memiliki minat dan perhatian yang bermacam-macam. Eksistensi otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan begitu urgen dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam negara yang menganut sistem negara kesatuan, seperti halnya negara Indonesia yang mempunyai wilayah yang sangat luas dengan heterogenitas masyarakatnya, baik ditinjau dari sudut etnis, agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya. Selain heterogenitas, disetiap wilayah (daerah) memiliki sumber-sumber daya alam yang beragam. Dengan heterogenitas dan sumber-sumber daya alam yang beragam tersebut, alangkah naifnya jika segala sesuatunya harus diatur oleh pusat. Oleh sebab itu, diperlukan penyerahan kewenangan kepada daerah yang dalam ilmu pemerintahan disebut desentralisasi dan dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi yang mengharuskan adanya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam suatu konsep yang utuh, terutama menyangkut urusan dan kewenangan pemerintahan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, serta cara menyusun dan menyelenggarakan organisasi pemerintahan daerah. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (1) dengan adanya pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atas daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi lagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Hal tersebut menunjukkan ataupun menggambarkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada desentralisasi territorial (territoriale decentralisatie) dengan pembagian kekuasaan (scheilding van machten) untuk mengatur dan mengurus

penyelenggaraan negara antara Pusat dengan satuan pemerintahan otonomi yang lebih rendah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota). Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dilakukan melalui 3 (tiga) instrument utama, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik akan memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di daerah dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society. Desentralisasi administratif akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara efektif, efesien dan ekonomis. Sedangkan desentralisasi fiskal akan memposisikan pemerintah daerah sebagai pendukung ketahanan dan kestabilan ekonomi nasional. Ketahanan dan kestabilan ekonomi di daerah-daerah akan berkontribusi terhadap ketahanan dan kestabilan ekonomi secara nasional. Gagasan dasar desentralisasi fiskal ialah penyerahan beban tugas pembangunan, penyediaan layanan publik dan sumber daya keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga tugas-tugas itu akan lebih dekat kepada masyarakat. Dengan begitu, kemampuan pemerintah akan dapat ditingkatkan dan pertanggungjawaban akan dapat lebih terjamin.20 Dibanyak negara, terutama yang memiliki beragam etnis dengan potensi sumber daya yang tidak merata, desentralisasi fiskal lebih banyak mengandung tujuan politis ketimbang efesiensi dan pemerataan. Daerah-daerah yang kaya sumber daya alam akan memilih memisahkan diri jika tidak diperbolehkan untuk menikmati penerimaan dari sumber daya alam di wilayahnya. Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal dapat dijadikan instrumen memelihara kesatuan wilayah dan mencegah ancaman disintegrasi bangsa. Pada umumnya desentralisasi fiskal dirumuskan sebagai penyerahan urusan fiskal ke bawah, dimana jenjang pemerintahan yang lebih tinggi menyerahkan sebagian kewenangannya mengenai anggaran dan keputusan-keputusan finansial kepada jenjang yang lebih rendah.22 Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan masalah kekurangan pendapatan, mengatasi eksternalitas dan melakukan redistribusi pendapatan nasional, serta menstabilkan ekonomi makro diseluruh daerah demi tercapainya penguatan dan stabilitas ekonomi secara nasional.

Menurut Ebel: Desentralisasi fiskal terkait dengan masalah pembagian peran dan tanggung jawab antar jenjang pemerintahan, transper antar jenjang pemerintahan, penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah, swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang menyangkut tanggung jawab pemerintahan daerah, dan penyediaan jaringan pengaman nasional).

2.1.2

Teori Pengelolaaan Keuangan

Negara merupakan suatu organisasi unik, yang memiliki otoritas bersifat memaksa diatas subyek hukum pribadi yang menjadi warga negaranya. Untuk melaksanakan tugasnya sebagai suatu organisasi yang teratur, negara harus memiliki harta kekayaan yang berasal dari penerimaan negara untuk dipergunakan membiayai segala proses pengurusan, pengelolaan dan penyelenggaraan negara tersebut. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan merupakan bagian dari anggaran keuangan yang harus dikelola dengan baik secara berimbang dan dinamis. Berimbang dalam arti jumlah keseluruhan pengeluaran yang dilakukan, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan selalu sama dengan jumlah keseluruhan penerimaan yang didapatkan. Dinamis berarti dalam hal penerimaan lebih rendah dari apa yang telah direncanakan, maka pengeluaran-pengeluaran harus disesuaikan agar tetap terjaga keseimbangannya. Gunawan Widjaja menyatakan: Tidak ada suatu bentuk pengurusan, pengelolaan, dan penyelenggaraan negara yang tidak memerlukan biaya, yang dapat diselenggarakan dengan percuma. Oleh karena itu untuk melakukan tugasnya tersebut, para pengurus ataupun penyelenggara negara harus mencari sumber pembiayaan, melakukan pengelolaan atas pendapatan tersebut, dan selanjutnya mendistribusikannya untuk kepentingan seluruh rakyat.25 Menurut DAudiffert: Pengelolaan keuangan negara sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu bangsa, karena suatu negara dapat menjadi negara yang kuat dan berkuasa serta mampu mengembangkan

kebesarannya atau menjadi tidak berdaya tergantung pada cara mengelola keuangannya. Seorang negarawan yang ulung tidak akan mencapai prestasi yang sempurna dalam mewujudkan buah pikirannya jika tidak dapat mengatur dan mengurus keuangan negara berdasarkan cara-cara yang sehat dan terutama ditujukan kearah melindungi dan mengembangkan kepentingan dan harta benda masyarakat atas dasar kecakapan dan pandangan yang bijaksana. Mengingat pentingnya pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, oleh pemerintah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana pengelolaan keuangan dilakukan dalam keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan. Untuk mensinergikan tata kelola keuangan Pusat dan Daerah, oleh Pemerintah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Keuangan negara/daerah, pada dasarnya harus dikelola secara tertib, taat peraturan perundangundangan, efektif, efesien, ekonomis, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat bagi masyarakat yang tersusun dalam suatu dokumen APBN/APBD agar setiap transaksi keuangan baik masuk maupun keluar dilakukan secara transparan dan akuntabel. Pengelolaan anggaran mempunyai tiga kegunaan pokok, yaitu sebagai pedoman kerja, sebagai alat pengkoordinasian kerja dan sebagai alat pengawasan kerja. Dengan melihat kegunaan pokok dari pengelolaan anggaran tersebut, maka pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah dapat berfungsi sebagai: 1. Fungsi perencanaan, dimana dalam perencanaan APBD adalah penentuan tujuan yang akan dicapai sesuai dengan kebijaksanaan yang telah disepakati misalnya target penerimaan yang akan dicapai, jumlah investasi yang akan ditambah, rencana pengeluaran yang akan dibiayai. 2. Fungsi koordinasi, dimana anggaran berfungsi sebagai alat mengkoordinasikan rencana dan tindakan berbagai unit atau segmen yang ada dalam organisasi, agar dapat bekerja secara selaras ke arah tercapainya tujuan yang diharapkan.
3. Fungsi komunikasi, jika yang dikehendaki dapat berfungsi secara efisien maka saluran

komunikasi terhadap berbagai unit dalam penyampaian informasi yang berhubungan

dengan tujuan, strategi, kebijaksanaan, pelaksanaan dan penyimpangan yang timbul dapat teratasi. 4. Fungsi motivasi, dimana anggaran berfungsi pula sebagai alat untuk memotivasi para pelaksana dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan untuk mencapai tujuan. 5. Fungsi pengendalian dan evaluasi, dimana anggaran dapat berfungsi sebagai alat pengendalian yang pada dasarnya dapat membandingkanantara rencana dengan pelaksanaan sehingga dapat ditentukan penyimpangan yang timbul, dan penyimpangan tersebut sebagai dasar evaluasi atau penilaian prestasi dan sekaligus merupakan umpan balik pada masa yang datang.

Arifin P.Soeria Atmadja mengemukakan: Anggaran negara sebagai obyek hubungan-hubungan hukum yang istimewa (bijzondere rechsbetrekking), yang dapat memungkinkan para pejabat (otorisator, ordonator, dan bendaharawan) berdasarkan wewenangnya mengadakan pengeluaran/penerimaan anggaran negara, menguji kebenaran, memerintahkan pembebanannya, serta menerima, menyimpan, membayar atau mengeluarkan anggaran negara dan mempertanggungjawabkannya. Bila ditinjau dari sudut pengelolaan keuangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dalam implementasinya kerap mengalami penyimpangan-penyimpangan. Terdapatnya berbagai penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah, merupakan kenyataan yang tidak boleh dibiarkan. Hukum sebagai landasan batas bertindak, mengemban misi suci menyelenggarakan tatanan keuangan yang mapan secara normatif maupun empiris. Dalam hubungan ini, sudah sepantasnya bahwa hukum semestinya didayagunakan sebagai sarana penciptaan ketertiban pengelolaan keuangan secara tersistem dan terarah. 2.2 Metode Penulisan Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh penulis untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumbersumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.

Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penulisan. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang penulis dapat memperoleh informasi tentang penulisan-penulisan sejenis atau yang ada kaitannya dengan penulisannya. Dan penulisanpenulisan yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, penulis dapat memanfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penulisannya. Masalah penulisan dapat ditemukan dari beberapa sumber, yaitu dari pengalaman sendiri, dari teori-teori yang perlu diuji kebenarannya dan dari bahanbahan pustaka. Setelah masalah penulisan ditemukan, seorang penulis perlu melakukan suatu kegiatan yang menyangkut pengkajian bahan-bahan tertulis yang merupakan sumber acuan untuk penulisannya. Kegiatan ini, yang juga disebut studi kepustakaan, merupakan suatu kegiatan penting yang harus dilakukan oleh seorang penulis baik sebelum maupun selama penulisan berlangsung. Dalam tulisan ini akan dibahas apa yang dimaksud dengan studi kepustakaan, tujuan, sumber-sumber, hambatan, dan bagaimana melakukan studi kepustakaan. Setelah menemukan masalah yang akan ditulis seorang penulis akan melakukan kegiatankegiatan yang berkaitan dengan penulisannya. Salah satu diantaranya adalah melakukan studi kepustakaan, yang mungkin sudah dirintisnya ketika masih ada dalam tahap mencari masalah penulisan. Penggunaan pustaka untuk ditinjau secara singkat pada dasarnya bermanfaat menunjukkan aspek ilmiah dalam penulisan yang akan disusun. Pustaka yang digunakan idealnya adalah pustaka inti yang berkaitan dengan topik penelitian. Pustaka juga menjadi rujukan konsep yang akan diteliti. Hampir semua penulisan memerlukan studi pustaka. Walaupun orang sering membedakan antara riset kepustakaan dan riset lapangan, keduanya tetap memerlukan penelusuran pustaka. Perbedaan utamanya hanyalah terletak pada fungsi, tujuan dan atau kedudukan studi pustaka dalam masing-masing riset tersebut. Dalam riset pustaka, penelusuran pustaka lebih daripada sekedar melayani fungsi- fungsi persiapan kerangka penelitian, mempertajam metodelogi atau memperdalam kajian teoretis. Riset pustaka dapat sekaligus memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya tanpa melakukan riset lapangan. Idealnya sebuah riset profesional menggunakan kombinasi riset pustaka dan lapangan dengan penekanan pada salah satu di antaranya. Namun ada kalanya mereka membatasi penu;isan pada studi pustaka saja. Paling tidak ada tiga alasan kenapa mereka melakukan hal ini. Pertama:

karena persoalan penulisan tersebut hanya bisa dijawab lewat penulisan pustaka dan mungkin tidak bisa mengharapkan datanya dari riset lapangan. Kedua: studi pustaka diperlukan sebagai satu tahap tersendiri yaitu studi pendahuluan untuk memahami gejala baru yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga: data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitiannya. Setidaknya ada empat ciri utama studi kepustakaan. Pertama: penulis berhadapan langsung dengan teks dan data angka dan bukannya dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian , orang atau benda-benda lain. Kedua, data pustaka bersifat siap pakai. Ketiga: data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan. Keempat: kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Banyak yang menganggap bahwa riset perpustakaan identik dengan buku-buku. Anggapan ini tidak salah namun selain buku-buku ada juga data yang berupa dokumen, naskah kuno dan bahan non cetak lainnya. Jadi, perpustakaan juga menyimpan karya non cetak seperti kaset,video, microfilm, mikrofis, disket, pita magnetik, kelongsong elektronik dan lainnya.

BAB III PEMBAHASAN 3.1 3.2 Pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua UU No. 21 Tahun 2001 mengamanatkan pemberian dana Otonomi Khusus oleh Pemerintah Pusat kepada tiga daerah, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nangroe Aceh Darussalam. Tujuan pemberian dana Otonomi khusus tersebut adalah untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat Papua. Secara khusus, dana Otonomi khusus diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan dan kesehatan rakyat Papua. Sepanjang 2002-2010 Pemerintah Pusat telah menggelontorkan dana Otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat senilai total Rp 28,84 triliun. Sayangnya, selama 10 tahun UU Otonomi khusus dilaksanakan masih terdapat banyak penyimpangan dalam penggunaan dana Otonomi khusus tersebut. Dari total Rp 19,12 triliun yang telah disalurkan sejak 2002 hingga 2010, Rp 28,94 miliar diselewengkan dalam bentuk proyek fiktif, Rp 218,29 miliar dalam bentuk kelebihan pembayaran atau pembayaran yang tidak sesuai ketentuan, dan Rp 17,22 miliar dalam bentuk proyek terlambat dan tidak didenda. Sepanjang peridoe yang sama pula dana Otonomi khusus senilai Rp 2,35 triliun oleh Pemprov Papua dan Pemprov Papua Barat justru didepositokan di Bank Mandiri dan Bank Papua. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigatif terkait dana otonomi khusus (otsus) di Papua dan Papua Barat. BPK menemukan sejumlah penyimpangan dalam penggunaan anggaran selama kurun waktu 2002-2010. Pemerintah pusat diketahui sudah mengucurkan dana hingga Rp28 triliun. Temuan dana otsus dilaporkan ke Presiden dan DPR, kata anggota BPK Rizal Djalil, Senin (18/4).

Berikut temuan penyimpangan penggunaan dana Otsus Papua yang ditemukan BPK: 1. Rp566 miliar pengeluaran dana Otsus tidak didukung bukti yang valid. Dalam pemeriksaan tahun 2010 dan 2011, ditemukan Rp211 miliar tidak didukung bukti termasuk realisasi belanja untuk PT TV mandiri Papua dari tahun 2006-2009 sebesar Rp54 miliar tidak sesuai ketentuan. Dan Rp1,1 miliar pertanggunganjawaban perjalan dinas menggunakan tiket palsu. Serta temuan sebelumnya belum sepenuhnya ditindaklanjuti Rp354 miliar. 2. Pengadaan barang dan jasa melalui dana Otsus senilai Rp326 miliar tidak sesuai aturan. Antara lain: Pertama, Rp5,3 miliar terjadi di Kota Jayapura tahun anggaran 2008 tidak melalui pelelangan umum. Kedua pengadaan dipecah Rp1.077.476.613 terjadi di Kabupaten Merauke tahun 2007 dan 2008. Ketiga, pengadaan tanpa adanya kontrak Rp10 miliar yang terjadi di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, tahun anggaran 2009. Di samping itu terdapat temuan tahun 2002-2009 yang belum ditindaklanjuti Rp309 miliar. 3. Rp29 miliar dana Otsus fiktif. Dalam tahun anggaran 2010 terdapat Rp22,8 miliar dana Otsus yang dicairkan tanpa ada kegiatan atau fiktif. Rincian kegiatan fiktif tersebut: detail engineering design PLTA Sungai Urumuka tahap tiga Rp9,6 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Kedua, detail engineering design PLTA Sungai Mambrano tahap dua Rp8,7 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Ketiga, studi potensi energi terbarukan di 11 kabupaten Rp3,1 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Keempat, fasilitas sosialisasi anggota MRP periode 2010-2015, Rp827,7 miliar pada Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat daerah tahun 2010. Sedangkan bagian tindak lanjut tahun sebelumnya Rp6 miliar. 3. Rp1,85 triliun dana Otsus periode 2008-2010, didepositokan. Dengan rincian Rp1,25 triliun pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379012 per 20 November 2008. Rp250 miliar pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379304 per 20 Mei 2009 dan Rp350 miliar pada Bank Papua dengan no seri A09610 per 4 Januari 2010. Penempatan dana Otsus dalam bentuk deposito bertentangan dengan pasal 73 ayat 1 dan 2 Permendagri 13 th 2006.

DAFTAR PUSTAKA
1. Analisis Yuridis Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.


2. STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA oleh Rusdianto S, S.H., M.H 3. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Papua
4. http://gaul.solopos.com/bpk-temukan-penyimpangan-dana-otsus-papua-145979.html

5.

Anda mungkin juga menyukai