Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Hutan hujan tropis adalah hutan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi, atau hutan dengan pohon-pohon yang tinggi, iklim yang lembab, dan curah hujan yang tinggi (Zaenuddin, 2008). Patandianan (1996) mengatakan bahwa sifat tanah hutan hujan tropis adalah miskin hara sehingga tidak mampu mendukung produktivitas tumbuhan yang sangat tinggi. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) produktivitas yang sangat tinggi pada kawasan ini terjadi karena ekosistem hutan hujan tropis memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung cepat. Pada hutan hujan tropis di wilayah Situ Lembang, terutama dalam kanopi pohon, terdapat berbagai kehidupan hewan serangga yang jumlahnya tak terhitung dan kadang-kadang memiliki warna yang indah sekali. Selain itu banyak juga terdapat katak pohon, kadal, ular, burung, tupai, monyet, dsb. Sebagian besar hidup hewan-hewan tersebut di atas pohon dan sangat jarang turun untuk menyentuh tanah selama hidupnya. Tumbuhan penyusun dari hutan hujan ini dapat berganti daundaunya setiap tahunnya secara individual. Namun demikian tidak terdapat perubahan musiman yang teratur dan tidak juga berpengaruh terhadap seluruh vegetasi yang ada. Sepanjang tahun terjadi pembungaan dan pembentukkan buah, meskipun ada kecenderungan setiap tumbuhannya memiliki musim pembuahan pada waktu-waktu tertentu dan tidak sama untuk masing-masing jenis tumbuhan. Proses demikian disebut dengan gejala cauliflory (berbunga dan berbuah pada batang atau dahan-dahan yang telah tua dan tidak berdaun lagi). Proses dan siklus yang demikian itu merupakan gejala yang sangat umum dalam wilayah hutan hujan tropis (Ardiananda, 2008) BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Hutan Hujan Tropis.

Secara geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak di antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu suatu wilayah yang terletak di antara 23027 LU dan 23027 LS (Weidelt, 1995). Menurut Ewusie (1980) wilayah hutan hujan tropis mencakup 30 % dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia. Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinngi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun (Walter, 1981).
2.2

Ciri-ciri Umum Hutan Hujan Tropis

1. Lokasi: hutan hujan berada di daerah tropis 2. Curah hujan: hutan hujan memperoleh curah hujan sebesar paling tidak 80 inci setiap tahunnya 3. Kanopi: hutan hujan memiliki kanopi, yaitu lapisan-lapisan cabang pohon beserta daunnya yang terbentuk oleh rapatnya pohon-pohon hutan hujan 4. Keanekaragaman biota: hutan hujan memiliki tingkan keragaman biota yang tinggi (biodiversity). Biodiversity adalah sebutan untuk seluruh benda hidup --

seperti tumbuhan, hewan, dan jamur -- yang ditemukan di suatu ekosistem. Para peneliti percaya bahwa sekitar separuh dari tumbuhan dan hewan yang ditemukan di muka bumi hidup di hutan hujan 5. Hubungan simbiotik antar spesies: spesies di hutan hujan seringkali bekerja bersama. Hubungan simbiotik adalah hubungan dimana dua spesies berbeda saling menguntungkan dengan saling membantu. Contohnya, beberapa tumbuhan membuat struktur tempat tinggal kecil dan gula untuk semut. Sebagai balasannya, semut menjaga tumbuhan dari serangga-serangga lain yang mungkin ingin memakan daun dari tumbuhan tersebut 6. Ciri-ciri : Iklim selalu basah. curah hujan tinggi. dan merata, tanah kering sampai lembab dan bermacam-macam jenis tanah. Mayoritas hidup tumbuhan berkayu (perpohonan. liana). tumbuhan berbatang kurus (tidak banyak cabang. kulit tipis). Terdapat di pedalaman. pada tanah rendah sampai berbukit (1000 mdpl) sampai pada dataran tinggi (s/d 4000 mdpi). Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya : Hutan Hujan Bawah (2 - 1000 mdpl). Hutan Hujan Tengah (1000 - 3000 mdpl), Hutan Hujan Atas (3000 - 4000 mdpl). Terdapat terutama di Sumatera. Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian. 2.3 Jenis tumbuhan yang hidup di daeran hutan hujan tropis antara lain :

Pohon jelutung dapat disadap sepanjang tahun, produksi getah per pohon tergantung pada ukuran pohon dan cara penyadapannya. Sedangkan mutu getah jelutung tergantung pada jenis pohon jelutung yang disadap serta perlakuan dan teknik penanganan pascapanen yang diterapkan. Mutu getah jelutung terbaik dihasilkan dari

Dyera costulata (Jelutung oukit). Getah jelutung bermutu tinggi bila memiliki kandungan karet (perca) yang tinggi dan resin (harsa) yang rendah. Dyera Costulata menghasilkan getah sekitar 2,5 kg lebih banyak dari Dyera laxiflora yang hanya menghasilkan 0,5 kg getah. Di Kalimantan dari satu pohon pantung rata-rata dapat menghasilkan pantung seberat pikul atau rata-rata produksi getah jelutung sebanyak 50 kg/pohon/tahun. Kayu jelutung bersifat lunak dan berwarna putih dengan tekstur permukaan agak rata, halus dan licin sehingga bisa digunakan sebagai bahan pola sepatu, sebagai bahan baku pembuatan batang pensil dan sebagai bahan pembuatan papan dan peti. Vinir kayu jelutung mudah dibuat dan mudah direkat. Kayu jelutung mudah digergaji dalam keadaan kering dan mudah dikerjakan seperti diserut, dibor, dipaku, disekrup dan diberi finishing seperti cat, divernis dan dipelitur. Semua bagian kayu segar sangat rentan terhadap serangan jamur blue-stain, pengupasan kulit tanpa dibarengi pembubuhan fungisida akan mempermudah serangan blue-stain. Karena pohon jelutung termasuk jenis pohon dwiguna, maka sangat baik untuk dikembangkan di kawasan penyangga (buffer zone) sebagai tanaman konservasi dan sumber penambah penghasilan bagi masyarakat setempat. Upaya pengembangan tanaman jelutung di kawasan penyangga perlu dibarengi dengan penyuluhan tentang teknik penyadapan, pengolahan dan standar mutu komoditi jelutung, sehingga masyarakat setempat dapat menikmati nilai tambah dari pengolahan getah jelutung. Secara umum strangler dikatakan sebagai tanaman hemi-epifit atau semi-epifit. Jenis tumbuh-tumbuhan ini hidup dengan jalan mengandalkan tumbuhan lain untuk mencari makanannya. Awalnya epifit tersebut mengecambahkan bijinya tinggi di atas tanah pada cabang pohon besar. Kecambah tersebut mempunyai dua macam akar yang melilit cabang. Akar yang berjuntai mirip kabel dan tumbuh terus mencapai tanah merupakan alat untuk bertahan di tempat. Sebelum akar sampai tanah, pohon pencekik tumbuh seperti epifit lain yang memperoleh air dan hara dari kotoran di celah-celah pohon. Setelah akar mencapai tanah, sumber hara dan air mencukupi kebutuhan hidup pohon tersebut, sehingga akar semakin banyak berjuntaian munuju tanah dan pohon penopangnya terkurung dalam jaring jaring akar tersebut dan tercekik. Inang tersebut

membusuk dan akhirnya tanaman tersebut hidup bebas dengan bagian tengahnya berlubang (gerowong). 2.4 Tumbuhan Penyusun Hutan Hujan Tropis. Tumbuhan utama penyusun hutan hujan tropis yang basah (lembab), biasanya terdiri atas tujuh kelompok utama, yaitu : Pohon-pohon Hutan Pohon-pohon ini merupakan komponen struktural utama, kadang-kadang untuk mudahnya dinamakan atap atau tajuk (canopy). Kanopi ini terdiri dari tiga tingkatan, dan masing-masing tingkatan ditandai dengan jenis pohon yang berbeda. Tingkatan A merupakan tingakatan tumbuhan yang menjulang tinggi, dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Pohon-pohonnya dicirikan dengan jarak antar pohon yang agak berjauhan dan jarang merupakan suatu lapisan kanopi yang bersambung. Tingkatan B merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 15-30 meter. Kanopi pada tingkatan ini merupakan tajuk-tajuk pohon yang bersifat kontinu (bersambung) dan membentuk sebuah massa yang dapat disebut sebagai sebuah atap (kanopi). Sedangkan tingkatan C merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan ini dicirikan dengan bentuk pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk yang sempit meruncing. Tingkatan-tingkatan kanopi hutan hujan tropis sebenarnya sukar sekali dtentukan secara pasti. Hal ini disebabkan oleh ketinggian pohon yang tidak seragam seperti telah disebutkan dalam pembagian tingkatan di atas. Pengamatan tingkatan kanopi di atas hanyalah bersifat causal saja. Daun-daun pohon biasanya berukuran sedang, memiliki luas antara 2.000-18.000 mm2. Daun-daun itu biasanya tunggal dan kaku seperti belulang, berwarna hijau tua dengan permukaan yang mengkilap. Jadi daun-daun itu tergolong dalam daun Laurus atau tipe sklerofil besar. Kebanyakan daun-daun itu terbentang memanjang, bangun lanset sampai bangun jorong, kadang-kadang dengan ujung memanjang seperti ekor yang disebut ujung penetes. Kebanyakan hutan hujan tropis memiliki perdaunan meluas dan kontinu mulai dari terna di tanah sampai ke puncak pohon-pohon yang

paling dominan. Perdaunan ini bahkan dapat menutup batang-batang pohon dominan yang besar, hingga tertutup sama sekali. Pemandangan lainnya adalah tajuk pohon yang sedemikian rapatnya, menyebabkan sinar matahari sukar tembus hingga ke dasar tanah. Dampaknya adalah hanya sedikit saja perkembangan vegetasi bawah (undergrowth) dan tumbuhan penutup tanah, sehingga batang-batang pokok pohon-pohon tampak menonjol dalam keremangan cahaya sebagai tiang-tiang raksasa. Terna Pada bagian hutan yang kanopinya tidak begitu rapat, memungkinkan sinar matahari dapat tembus hingga ke lantai hutan. Pada bagian ini banyak tumbuh dan berkembang vegetasi tanah yang berwarna hijau yang tidak bergantung pada bantuan dari luar. Tumbuhan yang demikian hidup dalah iklim yang lembab dan cenderung bersifat terna seperti paku-pakuan dan paku lumut (Selagenella spp.) dengan bagian dindingnya sebagian besar terdiri dari tumbuhan berkayu. Terna dapat membentuk lapisan tersendiri, yaitu lapisan semak-semak (D), terdiri dari tumbuhan berkayu agak tinggi. Lapisan kedua yaitu semai-semai pohon (E) yang dapat mencapai ketinggian 2 meter. Lapisan semak-semak sering mencakup beberapa terna besar seperti Scitamineae (pisang, jahe, dll.) yang tingginya dapat melebihi 5 meter. Meskipun kondisi iklim mikronya panas dan lembab, namun perkembangan terna dalam wilayah hutan hujan tropis kurang baik. Hal ini disebabkan kurangnya pencahayaan matahari untuk membantu proses fotosintesisnya. Persebaran terna yang baik terdapat pada wilayah terbuka dengan air yang cukup melimpah atau pada tebing-tebing terjal, dimana sinar matahari leluasa mencapai lantai hutan. Tumbuhan Pemanjat Tumbuhan ini bergantung dan menunjang pada tumbuhan utama dan memberikan hiasan utama pada hutan hujan tropis. Tumbuhan pemanjat ini lebih dikenal dengan sebutan Liana. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik, besar dan banyak,

sehingga mampu memberikan salah satu sifat yang paling mengesankan dari hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat berbentuk tipis seperti kawat atau berbentuk besar sebesar paha orang dewasa. Tumbuhan ini seperti menghilang di dalam kerimbunan dedaunan atau bergantungan dalam bentuk simpul-simpul tali raksasa (ingat dalam film Tarzan, the Adventure). Sering pula tumbuhan ini tumbuh di percabangan pohon-pohon besar. Beberapa diantaranya dapat mencapai panjang sampai 200 meter. Epifita Tumbuhan ini tumbuh melekat pada batang, cabang atau pada daun-daun pohon, semak, dan liana. Tumbuhan ini hidup diakibatkan oleh kebutuhan akan cahaya matahari yang cukup tinggi. Beberapa dari tipe ini hidup di atas tanah pada pohonpohon yang telah mati. Tumbuhan ini pada umumnya tidak menimbulkan pengaruh buruk terhadap inang yang menunjangnya. Tumbuhan ini pun hanya memainkan peran yang kurang berarti dalam ekonomi hutan. Namun demikian, epfita memainkan peranan penting dalam ekosistem sebagai habitat bagi hewan. Epifit pun memainkan peranan penting dan sangat menarik untuk menunjukkan adaptasi struktural terhadap habitatnya. Jumlah jenisnya lebih beraneka ragam, biasanya melibatkan kekayaan jenis-jenis tumbuhan spora, baik dari golongan yang rendah maupun paku-pakuan dan tumbuhan berbunga termasuk diantaranya semak-semak. Kehadiran epifit dalam ukuran yang luas lagi digunakan untuk membedakan antara hutan hujan tropis dengan komunitas hutan di daerah iklim sedang. Epifit hidup dengan mengumpulkan pengganti tanah berupa sisa tumbuhan yang telah mati. Sisa-sisa tumbuhan yang telah mati itu biasanya dikumpulkan oleh semut yang menghuni sistem perakaran tumbuhan dan berfungsi sebagai pot bunga bagi epifit. Kebutuhan air bagi epfit dikumpulkan dari udara hutan hujan tropis yang sangat lembab dengan sistem perakaran berbentuk jaringan velamen yang bersifat sepon. Epifit juga harus mampu menyimpan air yang telah diperolehnya. Sebagai konsekuensinya, epifit sering bersifat xeromorfik atau memiliki tempat penyimpanan air yang khusus atau jaringan-jaringan penyimpan air.

Epifit dalam hutan hujan tropis dapat dibedakan dalam tiga tipe utama sesuai dengan mikrohabitatnya yang berbeda-beda. Tipe pertama adalah epifit yang bersifat ekstrim xerofil. Epifit ini hidup pada bagian paling ujung cabang-cabang dan rantingranting pohon yang besar sebagai inangnya, misalnya pada suku Bromeliaceae dan juga dari jenis Cactus. Tipe yang kedua adalah epfita matahari. Epifit ini biasanya bersifat xeromorfik dan terutama terdapat pada pagian tengah tajuk inangnya. Epifit ini pun hidup di sepanjang dahan-dahan pohon besar penyusun tiga tingkat teratas. Epifit ini biasanya merupakan epifit terkaya diantara sinusia eofitik baik dari segi jenis maupun populasinya. Tipe yang ketiga adalah tipe epift naungan. Epifit ini dapat ditemui pada batang dan dahan-dahan pohon lapisan C, atau pada batang liana yang besar. Sinusia epifit naungan terutama terdiri dari tumbuhan paku yang tidak menunjukkan tandatanda xeromorfik. Pola pemencaran dan regenerasi epifita dapat dengan spora yang diterbangkan oleh angin, biji, dan buah. Pemencaran biji dan buah epifita ini biasanya dilakukan oleh hewan. Contoh yang menarik dari jenis epifita yang banyak dikembangkan oleh manusia adalah dari epifita anggrek. Pencekik Pohon Tumbuhan pencekik memulai kehidupannya sebagai epifita, tetapi kemudian akar-akarnya menancap ke tanah dan tidak menggantung lagi pada inangnya. Tumbuhan ini sering membunuh pohon yang semula membantu menjadi inangnya. Tumbuhan pencekik yang paling banyak dikenal dan melimpah jumlahnya, baik dari segi jenis ataupun populasinya, adalah Fircus spp. yang memainkan peranan penting baik dalam ekonomi maupun fisiognomi hutan hujan tropis. Biji-biji dari tumbuhan pencekik ini berkecambah diantara dahan-dahan pohon besar yang tinggi atau semak yang merupakan inangnya. Pada stadium ini tumbuhan pencekik masih berupa epifit, namun akar-akarnya bercabang-cabang dan menujam ke bawah melalui batang-batang inangnya hingga mencapai tanah. Kemudian batang-batang pohon itu tertutup dan terjalin oleh akar-akar tumbuhan pencekik dengan sangat kuat. Setelah beberapa waktu tertentu inang pohon pun akan mati dan membusuk meninggalkan pencekiknya. Sementara itu tajuk tumbuhan pencekik menjadi besar dan lebat.

Saprofita Tipe tumbuhan ini mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang telah mati

bersama-sama dengan parasit-parasit. Tumbuhan ini merupakan komponen heterotrof yang tidak berwarna hijau di hutan hujan tropis. Jenis tumbuhan ini terdiri atas cendawan atau jamur (fungi), dan bakteri. Tumbuhan ini dapat membantu terjadinya penguraian organik, terutama yang hidup di dekat permukaan lantai hutan. Namun beberapa jenis anggrek tertentu, suku Burmanniaceae dan Gentianaceae, jenis-jenis Triuridaceae dan Balanophoraceae yang sedikit mengandung klorofil dapat hidup dengan cara saprofit yang sama. Tumbuhan ini banyak ditemukan pada lantai hutan yang memiliki rontokkan daun-daun yang cukup tebal dan terjadi pembusukkan yang nyata. Tumpukan dedaunan tersebut dapat dijumpai pada rongga-rongga atau sudut-sudut diantara akar-akar banir pohon-pohon. Parasit Jenis tumbuhan ini biasanya mengambil unsur hara dari pohon inangnya untuk kelangsungan hidupnya. Tumbuhan ini hidupnya hanya untuk merugikan tumbuhan inangnya. Tumbuhan ini dapat berupa cendawan dan bakteria yang digolongkan dalam 2 sinusia penting. Pertama adalah parasit akar yang tumbuh di atas tanah dan yang kedua adalah setengah parasit (hemiparasit) yang tumbuh seperti epifita di atas pohon. Parasit akar jumlahnya sangat sedikit dan tidak seberapa penting artinya, namun bila dikaji secara mendalam akan sangat menarik sekali. Hemiparasit yang bersifat seperti epifit jenisnya sangat banyak sekali dan jumlahnyanya pun melimpah ruah serta banyak dijumpai di seluruh hutan hujan tropis. Kebanyakan hemiparasit adalah dari suku benalu (Loranthaceae). 2.5 Produktivitas Ekosistem Dunia dan Kaitannya dengan Hutan Hujan Tropis.

Jumlah total energi yang terbentuk melalui proses fotosintesis perunit area perunit waktu di sebut produktivitas primer kotor, namun demikian tidak semua energi yang dihasilkan melalui fotosintesis ini diubah menjadi biomassa, tetapi sebagian dibebaskan lagi melalui proses respirasi. Produktivitas primer bersih dengan demikian adalah hasil fotosintesis dikurangi dengan respirasi (Barbour et al., 1987). Jika Tabel 1 diperhatikan dengan seksama maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain produktivitas primer bersih hutan hujan tropis adalah yang tertinggi di banding wilayah lain, yang mencapai 1000-3500 g/m2/tahun, disusul oleh hutan musim tropis yang mencapai 1000-2500 g/m2/tahun. Daerah daratan yang memiliki produktivitas terendah adalah gurun dan semak-gurun yang hanya berkisar 10-250 g/m2/tahun. Tabel 1. Produktivitas Primer Biosfer Tipe Ekosistem Hutan Hutan Tropis Hutan Musim Tropis Hutan Iklim Sedang: Selalu Hijau Luruh Hutan Boreal Savana Padang Rumput Iklim Sedang Tundra dan Alpin Gurun dan Semak Gurun 2.6 Produktivitas merupakan parameter Produktivitas Primer Bersih (Bahan Kering) Kisaran Normal (g/m2/tahun) 1000-3500 1000-2500 600-2500 600-2500 400-2000 200-2000 200-1500 10-400 10-250 ekologi yang sangat penting.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan Hujan Tropis.

Produktivitas ekosistem adalah suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil,

tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985). Produktivitas khususnya di wilayah tropis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah: a. Suhu dan Cahaya Matahari

Suhu udara di daerah dataran rendah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai pada titik beku. Sebagian besar suhu pada wilayah ini berkisar antara 20-28 0 C (Walter, 1981). Radiasi global bervariasi berdasarkan keadaan atmosfer, lintang, dan ketinggian (Whittaker, 1973). Suhu Udara di daerah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai sampai mencapai titik beku (00 C) namun pada daerah yang sangat tinggi dimana kadang-kadang tapi sangat jarang suhu turun hampir mencapai titk beku (Warsito, 1999). Suhu rata-rata pada sebagian besar daerah adalah 270C, dan kisaran suhu bulanan berkisar 24-280C, yang dengan demikian kisaran suhu musiman ini jauh lebih kecil dibanding kisaran suhu siang dan malam (diurnal) yang dapat mencapai 100. Suhu maksimum jarang mencapai 380C juga jarang jatuh sampai di bawah 200C (Mabberly,1983).Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutup ke wilayah ekuator (Barbour et al, 1987), namun untuk daerah hutan hujan tropis suhu bukanlah faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh (Walter, 1981). Wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah iklim sedang. Hal ini disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi menyebabkan wilayah tropika

menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada atmosfer luarnya dibanding dengan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar matahari pada atmosfer yang lebih tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di daerah tropika), mengurangi jumlah sinaran yang diserap oleh atmosfer. Di wilayah hutan hujan tropis, 56% sampai dengan 59 % sinar matahari pada batas atmosfer dapat sampai di permukaan tanah. (3) Masa tumbuh, yang terbatas oleh keadaan suhu adalah lebih panjang di daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat tinggi) (Sanches, 1992). Jordan (1995) menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Berdasarkan sinar matahari dan lamanya masa tumbuh De Witt dalam Sanches (1992) menaksir hasil tanaman pangan yang mungkin, berdasarkan jalur lintang. Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah hutan hujan tropis berkemungkinan memberikan hasil lebih besar per tahun dibanding daerah iklim sedang, dengan mengandaikan tidaknya faktor pembatas. Pada daerah lintang tropika kemampuan panen tahunan rata-rata adalah sebesar 60 ton/ha hasil kering keseluruhan. Kira-kira setengah dari jumlah itu dianggap sebagai hasil panen yang menguntungkan dari segi ekonomi. b. Curah Hujan Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara 1600 sampai dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12 bulan basah (Sanches, 1992). Kondisi ini menjadi wilayah ini memiliki curah hujan yang merata hampir sepanjang tahun yang akan sangat mendukung produktivitas yang tinggi. Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber hara. Whitmore (1986) mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke

dalam ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam Whitmore (1986) adalah K, Ca, dan Mg. Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut Resosoedarmo et al., (1986) curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al, (1987) mengatakan bahwa sebagai salah satu faktor siklus hara dalam sistem, pencucian adalah penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah Ca dan K. c. Interaksi Antara Suhu dan Curah Hujan. Produktivitas yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan berlangsung jika hanya didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di dunia yang memiliki suhu yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan hujan tropis, tetapi memiliki produktivitas yang rendah (Woodweell, 1967). Interaksi antara suhu yang tinggi dan curah hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembapan yang sangat ideal bagi vegetasi hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas. Warsito (1999) menjelaskan bahwa kelembapan atmosfer merupakan fungsi dari lamanya hari hujan, terdapatnya air yang tergenag, dan suhu. Sumber utama air dalam atmosfer adalah hasil dari penguapan dari sungai, air laut, dan genangan air tanah lainnya serta transpirasi dari tumbuhan. Menurut Jordan (1995) tingginya kelembapan pada gilirannya akan meningkatkan laju aktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi oleh proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat. Pelapukan terjadi ketika hidrogen dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral-mineral dalam tanah atau lapisan batuan, yang mengakibatkan terlepas unsur-unsur hara . Hara-hara ini ada yang dapat dengan segera diserap oleh tumbuhan. d. Produktivitas Serasah

Produktivitas serasah di hutan hujan tropis adalah juga yang tertinggi di banding dengan wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terlihat pada Table 2. Oleh karena produktivitas serasah yang tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak. Tabel 2. Laju Produktivitas Serasah Di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia Produktivitas Serasah (g/m/tahun) 2322 1200 290 350 250-300 440

Ekosistem Hutan hujan tropis Hutan iklim sedang Savana kering Hutan oak Taiga Hutan musim tropis Herba perennial Prairi

Lokasi Thailand Di beberapa lokasi Rusia Rusia Rusia Pantai Gading

Jepang 1484 Amerika Serikat 520 Sumber: Dikompilasi dari Jordan (1971)

Produktivitas serasah yang tinggi ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Hutan hujan tropis yang selalu hijau (Bray dan Gorham, 1964), dan (2) Iklim, sebagai mana yang diperlihatkan oleh oleh Ewusie (1990) yang membandingkan produktivitas tahunan serasah di 4 zone iklim yang berbeda dan menemukan pada hutan hujan tropis, hutan iklim sedang yang hangat, hutan iklim sedang yang sejuk, dan hutan alphin produktivitasnya berturut-turut adalah: 10,2 t/ha/tahun; 5,6 t/ha/tahun; 3,1 ton/ha/tahun; dan 1,1 t/ha/tahun. Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya sebagaimana yang terlihat pada Tabel 3. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh

ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah.
e.

Tanah. Tanah adalah faktor di daerah tropis yang tidak mendukung tingginya

produktivitas yang tinggi. Tanah di hutan hujan tropis adalah tanah yang berumur sangat tua, kecuali tanah vulkanik. Periode Pleistocene tidak berpengaruh sama sekali pada tanah disini, dan kemungkinan besar tanah disini berasal dari periode Tertiary (Walter, 1981). Pencucian terjadi menurut Brady (1974) karena beberapa hara tersimpan di permukaan tanah liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K+, Ca++, dan NH4+ akan bergabung dengan permukaan yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada permukaan liat maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)nya. Tanah yang memiliki kandungan liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini, terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah. Mineral liat yang mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah (Sanchez, 1992). Ion hara yang bermuatan positif pada permukaan liat dapat digantikan oleh ion hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai bersama dengan respirasi oleh akar disebut respirasi tanah.

Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah. Karakteristik dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan tercuci dari horizon tanah. Kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan, walaupun secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air (Johnson et al. dalam Jordan, 1985). Sumber hidrogen lainnya berasal dari transformasi Nitrogen. Selama masa penguraian bahan organik, nitrogen yang terikat secara organik pada bahan tersebut di konversi menjadi ammonium (NH4) yang kemudian akan diserap oleh tumbuhan atau dikonversi menjadi Nitrat (NO3) melalui proses nitrifikasi. Hidrogen yang dibebaskan dari proses ini dapat menggantikan kation hara yang dapat dipertukarkan pada permukaan tanah, dan ion nitrat yang tersedia kemudain akan bereaksi dengan kation hara tersebut. Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini. Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985). Laju pelapukan yang tinggi juga berpotensi tinggi untuk terjadi di kawasan hutan hujan tropis yang juga dipicu oleh kelembapan dan panas yang tinggi yang berlangsung sepanjang tahun. Pelapukan terjadi ketika hidrogen di dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral di dalam tanah atau lapisan bebatuan, sehingga

unsur-unsur hara dapat tersingkirkan. Hal ini misalnya dapat terlihat pada feldspar yang terdapat dalam aluminosilikat (senyawa aluminium dan silikat) yang mengandung hara-hara seperti Na, K, dan Ca. Jika feldspar terhidrolisasi , maka hara-hara tersebut akan di keluarkan dari aluminosilikat. Hara yang terlarut ini kemudian dapat diadsorpsi oleh koloida tanah, dan kemudian digunakan oleh tumbuhan, atau hilang dari ekosistem lewat pencucian (Jenny, dalam Jordan, 1985). Karakteristik dari tanah seperti tekstur, hara, dan kedalaman telah banyak dibahas sebagai komponen yang penting dalam menentukan hubungan kompetisi dan laju pertumbuhan dari tumbuhan di berbagai kondisi lingkungan. Namun menurut Pastor dan Bockheim dalam Barbour at al., (1987) merupakan hal yang sulit untuk mentranslasikan pengaruh edafik pada studi-studi produktivitas. Hal ini disebabkan karena tidak semua spesies memiliki kebutuhan hara yang sama untuk memproduksi sejumlah biomassa dengan ukuran yang sama. Pengaruh edafik mungkin akan tertutupi jika spesies yang tumbuh pada lingkungan miskin hara memiliki efisisensi pemanfaatan hara yang tinggi. Pada lingkungan yang demikian ini, baik komposisi spesies maupun produktivitas dapat dipengaruhi dengan modifikasi rezim hara.
f.

Herbivora Herbivora adalah faktor biotik yang mempengaruhi produktivitas vegetasi.

Sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat (Barbour at al., 1987). Oleh karena produktivitas yang tinggi, maka dapat di antisipasi adanya potensi yang tinggi untuk terjadi serangan insekta. Namun, sedikit bukti yang ada, sekurangkurangnya di hutan yang tumbuh secara alami, adanya serangan insekta pada areal berskala luas (Lugo et al., dalam Jordan, 1985). Walau pun demikian defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi (Jordan, 1985). Menurut penulis yang sama hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap

herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora. g. Sistem Konservasi Hara Curah hujan yang sangat tinggi seperti dikemukakan di atas selain memberi dampak positif juga berdampak negatif karena mudahnya hara hilang dari ekosistem akibat pencucian. Tanpa mekanisme konservasi hara yang tepat, ekosistem hutan hujan tropis tidak dapat mempertahankan produktivitasnya yang tinggi. Rupanya mekanisme tersebut telah terdapat pada komponen-komponen yang menyusun ekosistem hutan hujan tropis. Salah satu bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di hutan hujan tropis yang memiliki tanah yang miskin hara adalah dengan menghasilkan biomassa akar yang relatif besar dibanding bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan konsentrasi dari akar tersebut sebagian besar di atas permukaan tanah. Nye dan Thinker (1977) dalam Jordan (1985) meneliti pentingnya pergerakan hara di dalam tanah, dan mereka menemukan bahwa tumbuhan yang tumbuh di tanah yang miskin hara memiliki konsentrasi akar yang sangat besar di atas permukaan tanah. Keuntungan dari adaptasi ini adalah akar dapat menyerap hara lebih banyak. Konsentrasi akar di atas permukaan tanah juga memungkinkan akar bercampur dengan serasah, berbagai organisme yang telah mati, dan organisme pengurai. Hal ini memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih banyak menyerap berbagai hasil penguraian yang dilakukan organisme pengurai di sekelilingnya. Selanjutnya kondisi ini juga akan membuat hara terserap ke dalam pohon daripada ke organisme lain atau tercuci keluar dari sistem. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa di daerah hutan hujan tropis, hara jarang sekali tersimpan lama di tanah, namun langsung diserap oleh tumbuhan atau oleh mikroorganisme. Pergerakan hara yang demikian ini juga ditunjang oleh keberadaan berbagai organisme yang hidup maupun mati seperti bryophyta, lichens, lumut, bromelia, paku-pakuan, anggrek, dan epifit lainnya yang sangat banyak terdapat pada tajuk pohon. Organisme-organisme ini mampu menyerap haranya

sendiri dari lingkungan sekitarnya, terutama dari atmosfer tanpa merusak tumbuhan inangnya. Pada saat organisme penghuni tajuk ini mati, maka hara yang dikandungnya juga akan terurai dan langsung diserap oleh akar-akar udara yang sangat banyak terdapat di hutan hujan tropis. Kemampuan ini ditunjang oleh morfologi akar udara yang memiliki banyak sekali akar-akar halus di permukaannya, juga banyak dari akar ini dapat berasosiasi dengan jamur membentuk endomikoriza, dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi nitrogen. Kehadiran mikoriza juga sangat membantu tumbuhan memperoleh hara pada tanah yang miskin. Kimmins (1987) menjelaskan bahwa mikoriza adalah asosiasi antara jamur dan akar tumbuhan tinggi. Jamur-jamur ini menyelimuti akar tumbuhan dengan akar yang disebut hyphae. Hyphae kemudian berhubungan dengan sel-sel akar dan hasil metabolosme pun ditransfer di antara keduanya. Akar tumbuhan secara pasif akan terus-menerus mengeluarkan senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh jamur seperti asam amino yang kemudian diserap oleh jamur. Jamur, sebaliknya menyuplai tumbuhan dengan berbagai hara yang diperlukan. Jamur-jamur ini memperoleh hara-hara tersebut dari penguraian maupun melalui fiksasi. 2.7 Fungsi Hutan Hujan Tropis menyediakan rumah bagi banyak tumbuhan dan hewan; membantu menstabilkan iklim dunia; melindungi dari banjir, kekeringan, dan erosi; adalah sumber dari obat-obatan dan makanan; menyokong kehidupan manusia suku pedalaman; dan adalah tempat menarik untuk dikunjungi Hutan hujan menyediakan rumah bagi tumbuhan dan hewan liar. Hutan hujan merupakan rumah bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan di dunia, termasuk diantaranya spesies yang terancam punah. Saat hutan

ditebangi, banyak spesies yang harus menghadapi kepunahan. Beberapa spesies di hutan hujan hanya dapat bertahan hidup di habitat asli mereka. Kebun binatang tidak dapat menyelamatkan seluruh hewan. Hutan hujan membantu menstabilkan iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Pembuangan karbon dioksida ke atmosfer dipercaya memberikan pengaruh bagi perubahan iklim melalui pemanasan global. Karenanya hutan hujan mempunyai peran yang penting dalam mengatasi pemanasan global. Hutan hujan juga mempengaruhi kondisi cuaca lokal dengan membuat hujan dan mengatur suhu. 2.8 Permasalahan Hutan Hujan Tropis Manusia adalah penyebab utama hilangnya hutan. Manusia menebangi hutan hujan dengan banyak alasan, termasuk: kayu untuk bangunan dan kayu untuk membuat api; agrikultur untuk pertanian kecil maupun besar; tanah untuk petani miskin yang tidak punya tempat lain untuk tinggal; tanah berumput untuk memberi makan ternak; pembangunan jalan Salah satu sebab utama perusakan hutan hujan adalah penebangan hutan. Banyak tipe kayu yang digunakanuntuk perabotan, lantai, dan konstruksi diambil dari hutan tropis di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Dengan membeli produk kayu tertentu, orang-orang di daerah seperti Amerika Serikat secara langsung membantuperusakan hutan hujan. Walau penebangan hutan dapat dilakukan dalam aturan tertentu yang mengurangi kerusakan lingkungan, kebanyakan penebangan hutan di hutan hujan sangat merusak. Pohon-pohon besar ditebangi dan diseret sepanjang hutan, sementara jalan akses yang terbuka membuat para petani miskin mengubah hutan menjadi lahan pertanian. Di Afrika para pekerja penebang hutan menggantungkan diri pada hewan-hewan sekitar untuk mendapatkan protein. Mereka memburu hewan-hewan liar seperti gorila, kijang,

dan simpanse untuk dimakan.Penelitian telah menemukan bahwa jumlah spesies yang ditemukan di hutan hujan yang telah ditebang jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah yang ditemukan di hutan hujan utama yang belum tersentuh. Banyak hewan di hutan hujan tidak dapat bertahan hidup dengan berubahnya lingkungan sekitar. 2.9 Usaha pelestarian keanekaragaman Hayati di indonesia Hutan hujan menghilang dengan sangat cepat. Berita baiknya adalah banyak orang yang ingin menyelamatkan hutan hujan. Berita buruknya adalah menyelamatkan hutan hujan tidak akan mudah. Ini akan membutuhkan usaha banyak orang yang bekerja bersama dalam rangka menjaga hutan hujan dan kehidupan alam liarnya dapat bertahan agar anak-anak kita dapat menghargai dan menikmatinya. Beberapa langkah untuk menyelamatkan hutan hujan dan, dalam skala yang lebih luas, ekosistem di seluruh dunia adalah fokus pada "TREES":

Teach others about the importance of the environment and how they can help save rainforests. (Ajarkan orang lain tentang pentingnya lingkungan dan bagaimana mereka bisa membantu menyelamatkan hutan hujan) Restore damaged ecosystems by planting trees on land where forests have been cut down. (Memperbaiki ekosistem yang rusak dengan menanam pepohonan di wilayah dimana hutan telah ditebangi.) Encourage people to live in a way that doesn't hurt the environment (Anjurkan orang-orang untuk hidup dengan cara yang tidak merusak lingkungan) Establish parks to protect rainforests and wildlife (Dirikan taman-taman yang dapat melindungi hutan hujan dan alam liarnya) Support companies that operate in ways that minimize damage to the environment (Dukung perusahaanperusahaan yang bekerja dalam aturan yang meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan)

DAFTAR PUSTAKA Ardiananda. 2008. Forest Ecology. Gadjah Mada: Jogjakarta. http://ahmad-zaenudin.blogspot.com/2008/03/hutan-hujan-tropis-di-indonesiausaha.html http://geocorida.blogspot.com/2008/01/hutan-hujan-tropis.html Patandianan, A. T. 1996. Studi Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal HPH PT. Bina Wana Sejahtera, Propinsi Sulawesi Utara. Tesis. PPS Univ. Gadjah Mada, Jogjakarta. Zaenuddin. 2008. Pengantar Ekolologi. Penerbit Remadja Karya CV, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai