Anda di halaman 1dari 34

Teknik Fisika- FTI- Institut Teknologi Sepuluh Nopember

MODUL PRAKTIKUM



JURUSAN TEKNIK FISIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2011

TEKNIK OPTIK SEMESTER GASAL
2011/2012



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan Modul Praktikum Teknik Optik
semester gasal 2011/2012. Beberapa pembaharuan dan perbaikan kami
lakukan dari modul praktikum sebelumnya seperti penggabungan dua
praktikum menjadi satu dan adanya praktikum lain seperti penggunaan
software OSLO dan lain sebagainya. Diharapkan dengan adanya modul
praktikum ini, mahasiswa mendapatkan panduan dalam menjalankan
praktikum Teknik Optik yang jumlahnya ada 4 praktikum yaitu
Karakterisasi Spektrum Sumber Cahaya (P1), Interferensi dan
interferometri (P2), Fotografi dan Pengolahan Citra Digital (P3) dan
Desain Divais Optik Geometri (P4)

Ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada beberapa
pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian modul ini,
yaitu :
Dr. Ir. Totok Soehartanto DEA selaku Ketua Jurusan Teknik
Fisika FTI ITS
Ir. Heru Setijono M.Sc selaku Kepala Laboratorium Rekayasa
Fotonika dan Dosen Mata Kuliah Teknik Optik
Agus M. Hatta ST, M.Si, Ph.D, Dr. Ir. Sekartedjo M.Sc dan Detak
Yan Pratama ST, M.Sc selaku Dosen Mata Kuliah Teknik Optik
Semua Dosen dan Karyawan Jurusan Teknik Fisika FTI ITS
Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan modul ini

Ilmu akan menjadi jalan bagi seseorang untuk menuju pada segala
kemuliaan. Akan tetapi satu hal yang tidak kalah penting adalah menjaga
agar ilmu tetap ada pada diri kita. Apa yang kami lakukan di sini adalah
membantu mahasiswa untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat buat
mereka. Satu pekerjaan besar yang harus mereka lakukan adalah
bagaimana agar ilmu tersebut tetap ada pada diri mereka, yang itu tidak
lain adalah dengan mengaplikasikan dan mengembangkannya.

Sekalipun modul ini telah selesai dengan proses yang cukup
panjang, akan tetapi masih tidak menutup adanya kekurangan padanya.
Segala masukan, kritik dan review sangat kami harapkan untuk semakin
menyempurnakannya pada kesempatan mendatang.



Surabaya, 2011

PENYUSUN




MODUL 1
KARAKTERISASI SPEKTRUM SUMBER CAHAYA

1.1 Pokok Bahasan
1. Karakterisasi spektrum sumber cahaya
2. Lebar spektrum sumber cahaya

1.2 Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa mampu :
1. Memahami dan menganalisa karakteristik spektrum sumber cahaya
2. Menentukan lebar spektrum sumber cahaya

1.3 Dasar Teori
1. Sumber Cahaya
Cahaya teremisi dari sebuah sistem atom yang tereksitasi ke level
energi tinggi kemudian jatuh ke level energi rendah dengan memancarkan
radiasi. Proses eksitasi ini dapat diperoleh dengan berbagai cara seperti
efek termal, absorbsi foton. Tumbukan dengan partikel-partikel subatomik
maupun rekasi kimia. Beberapa bentuk mekanisme kesitasi yang lain
seperti radioaktif dapat menghasilkan emisi dengan tingkat energi foton
sangat tinggi
[1]
.

Gambar 1.1 Spektrum Gelombang Elektromagnetik
[2]


Gambar 1.1 menunjukkan spektrum gelombang elektromagnetik
(EM). Gelombang EM memiliki spesifikasi dan mekanisme eksitasi yang
spesifik untuk tiap-tiap rentang panjang gelombang. Secara umum kata
cahaya (light) merujuk radiasi EM pada rentang UV hingga infrared
[3]
.
2. Cahaya Tampak
Cahaya tampak (visible lihgt) adalah rentang dari cahaya
elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh mata manusia. Komisi
Internasional menspesifikasikan frekuensi dari cahaya tampak adalah
antara 3.16 x 1014 hingga 8.33 x 1014 hz (rentang panjang gelombang
sekitar 830 hingga 360 nm). Banyak buku yang menyatakan rentang
cahaya tampak antaran 400nm(violet) hingga 750nm(merah), hal ini
didasarkan pada respon visual dari mata manusia. emisi cahaya
dihasilkan dari elektron terluar atom dan molekul. Energi foton sekitar 1-
3eV, energi ini cukup besar untuk deteksi foton tunggal
[4]
.
Cahaya tampak baik monokromatik maupun polikromatik memiliki
spektra yang berbeda beda. Berikut ini contoh spektrum emisi dari
lampu tungsten.

Gambar 1.2 (a) Lampu Tungsten (b) Spektrum emisi keluaran
[5]




1.4 Eksperimen 1 : Karakterisasi Spektrum LED

1. Peralatan Eksperimen
a. LED biru dan putih @ 1 buah
b. Adaptor DC 1 buah
c. Optical power meter Thorlabs PM100D 1 buah
d. Personal Computer/Notebook yang sudah terinstall program PMD100D
Utility


Gambar 1.3 Set up Eksperimen 1

2. Prosedur Eksperimen
a. Susun peralatan seperti gambar 1.3
b. Hubungkan optical power meter dengan laptop melalui kabel USB
c. Nyalakan optical power meter dan jalankan program PMD100D Utility.
Tunggu hingga optical power meter terhubung dengan laptop.
d. Nyalakan LED putih dengan jarak 3 cm dari detektor
e. Atur setting wavelength optical power meter pada = 400 nm.
f. Amati dan catat nilai daya optik yang terbaca di display optical power
meter. Pengambilan data sebanyak 5 kali berdasarkan sampling yang
dilakukan PMD100D Utility. Hasil dirata-rata untuk mendapatkan nilai
daya optik terukur.
g. Lakukan lagi langkah f untuk range = 400 - 700 nm dengan
increment 25 nm
h. Ulangi langkah d hingga langkah g untuk LED biru
i. Geser posisi LED biru menjadi berjarak 6 cm dari detektor.
Selanjutnya ulangi langkah e hingga langkah g
j. Buat grafik daya optik sebagai fungsi panjang gelombang untuk
semua sumber cahaya
k. Tentukan lebar spektral tiap sumber cahaya


1.5 Eksperimen 2 : Karakterisasi Spektrum Lampu Halogen dan TL

1. Peralatan Eksperimen
a. Lampu halogen 1 buah
b. Lampu TL 1 buah
c. Monokromator 1 buah
d. Digital lux meter Lutron LX-101A 1 buah
e. Optical power meter Thorlabs PM100D 1 buah
f. Laptop yang sudah terinstall program PMD100D Utility



Gambar 1.4 Set up Eksperimen 2

3. Prosedur Eksperimen
a. Susun peralatan seperti gambar 1.4
b. Hubungkan optical power meter dengan laptop melalui kabel USB
c. Nyalakan optical power meter dan jalankan program PMD100D Utility.
Tunggu hingga optical power meter terhubung dengan laptop.
d. Nyalakan lampu halogen. Jaga agar lampu tidak berpindah posisi
selama eksperimen
e. Atur setting wavelength optical power meter dan monokromator pada
= 400 nm.
f. Amati dan catat nilai daya optik yang terbaca di display optical power
meter. Pengambilan data sebanyak 5 kali berdasarkan sampling yang
dilakukan PMD100D Utility. Hasilnya dirata-rata untuk mendapatkan
nilai daya optik terukur.
g. Lakukan lagi langkah f untuk range = 400 - 700 nm dengan
increment 25 nm
h. Ulangi langkah d hingga g untuk lampu TL
i. Buat grafik daya optik sebagai fungsi panjang gelombang untuk
semua sumber cahaya
j. Tentukan lebar spektral tiap sumber cahaya


Referensi
[1] Yoshizawa, Toru. Handbook of Optical Metrology Chapter 1. USA :
CRC Press. 2009
[2] Luxon, James & Parker, David. Industrial Lasers and Their Application.
- Chapter 1. USA : Prentice Hall. 1985.
[3] Warren, Smith. Modern Optical Engineering - Chapter 1. USA : SPIE
Press. 2008
[4] Yoshizawa, Toru. Handbook of Optical Metrology Chapter 5. USA :
CRC Press. 2009
[5] Anonim. An Introduction to the Use of Visible and Ultraviolet Light
for Analytical Measurements. Oxford University Press. 2005

























MODUL 2
INTERFERENSI DAN INTERFEROMETRI

2.1 Pokok Bahasan
1. Prinsip-prinsip interferensi cahaya
2. Interferometri untuk mengukur konsentrasi larutan

2.2 Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan untuk :
1. Memahami prinsip-prinsip interferensi cahaya
2. Memahami komponen-komponen yang diperlukan untuk merancang
sebuah interferometer Michelson
3. Memahami bagaimana cara merancang sebuah interferometer
Michelson
4. Memahami prinsip kerja interferometer Michelson dan aplikasinya

2.3 Dasar Teori
1. Interferensi
Interferensi merujuk pada suatu keadaan di mana dua gelombang
atau lebih saling tumpang tindih pada waktu dan ruang yang sama.
Jumlah total fungsi gelombangnya merupakan penjumlahan dari fungsi
gelombang masing-masing gelombang yang saling overlap. Hal ini
merupakan prinsip dasar superposisi. Namun demikian intensitas optik
totalnya bukan merupakan penjumlahan intensitas tiap-tiap gelombang.
Sebab superposisi intensitasnya bergantung pada beda fasa antar
gelombang
[1]
.


Gambar 2.1 Interferensi Celah Ganda
[2]


Interferensi pada sumber cahaya yang memiliki nilai panjang
gelombang yang sama (monokromatis) akan menghasilkan pola
interferensi yang stabil. Bila gelombang yang berinterferensi merupakan
cahaya polikromatis, maka interferensi akan terjadi pada tiap-tiap
panjang gelombang yang sama.
Gambar 2.1 merupakan interferensi yang terjadi pada celah ganda.
S
1
dan S
2
adalah celah sempit yang dilalui cahaya dengan nilai panjang
gelombang . S
1
dan S
2
berasal dari S
0
dan memiliki fasa yang sama
karena jaraknya dengan S
0
pun sama. Maka S
1
dan S
2
merupakan sumber
cahay yang koheren. Karena nilai R >> d (R dalam orde meter,
sedangkan d dalam orde milimeter), maka gambar 2.1 (b) dapat
dianggap seperti gambar 2.1 (c). Beda lintasan antara S
1
dan S
2
:

2

= sin (2.1)
sin = tan
2

(2.2)

Interferensi konstruktif membentuk pola terang terjadi saat beda lintasan
m sedangkan interferensi destruktif yang membentuk pola gelap terjadi
saat beda lintasan (m + )
[2]
. dengan = 0, 1, 2, 3

Interferensi konstruktif m =

(2.3)
Interferensi destruktif m +
1
2
=

(2.4)

2. Interferometri
Interferometri memanfaatkan prinsip interferensi sehingga
menghasilkan suatu pola yang dapat dianalisis. Teknik ini dapat
digunakan untuk melakukan pengukuran secara akurat. Interferometri
dapat melakukan pengukuran pergeseran maupun geometri hingga orde
nanometer. Hal ini dipengaruhi cahaya sebagai tools dalam interferometri
berada pada orde tersebut. Selain cahaya visibel, sinar IR dan UV
merupakan sumber cahaya yang umum digunakan dalam berbagai
aplikasi interferometri
[3]
.

3. Interferometer Michelson
Salah satu alat yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi pola
interferensi tersebut adalah interferometer. Alat ini dapat dipegunakan
untuk mengukur panjang gelombang atau perubahan panjang gelombang
dengan ketelitian sangat tinggi berdasarkan penentuan garis-garis
interferensi. Walaupun pada awal mula dibuatnya alat ini dipergunakan
untuk membuktikan ada tidaknya eter
[4]
.
Interferometer Michelson merupakan seperangkat peralatan yang
memanfaatkan gejala interferensi. Prinsip interferensi adalah kenyataan
bahwa beda lintasan optik (d) akan membentuk suatu frinji. Gambar
dibawah merupakan diagram skematik interferometer Michelson. Oleh
permukaan beam splitter (pembagi berkas) cahaya laser, sebagian
dipantulkan ke kanan dan sisanya ditransmisikan ke atas. Bagian yang
dipantulkan ke kanan oleh suatu cermin. Adapun bagian yang
ditransmisikan ke atas oleh cermin datar (cermin 2) juga akan
dipantulkan kembali ke beam splitter, kemudian bersatu dengan cahaya
dari cermin 1 menuju layar, sehingga kedua sinar akan berinterferensi
yang ditunjukkan dengan adanya pola-pola cincin gelap-terang (frinji)
[5]
.

Gambar 2.2 Interferometer Michelson
[1]


Dengan menggunakan persamaan hubungan antara perubahan
lintasan optik, frinji yang terbentuk dan panjang gelombang yaitu
2
N
d
A
= A



Gambar 2.3 Hubungan Antara Intensitas Dengan Perubahan Lintasan
Optik Pada Fenomena Interferensi

Interferometer juga dapat digunakan untuk menentukan nilai indeks
bias suatu medium tertentu. Nilai indeks bias pada suatu benda dapat
dihubungkan dengan sifat-sifat pada pola interferensi gelombang cahaya
monokromatik yang terbentuk. Pola interferensi tersebut terakumulatif
dalam pola frinji yang terbentuk dengan menggunakan bantuan
interferometer. Sehingga nilai indeks bias dapat diketahui dengan
menghubungkan antara nilai panjang gelombang monokromatik yang
masuk, ketebalan medium kedua, dan perubahan sudut yang terjadi
dengan pola-pola frinji yang terbentuk yang secara mudah dapat
diketahui dari kuantitas frinji yang bersangkutan
[6]
.
Dalam persamaan yang diturunkan oleh Prof. Ernest Henninger dari
DePauw University yang diambil dari buku Light : Principles and
Measurements, oleh Monk, McGraw-Hill, 1937 dijelaskan dimana N
merupakan jumlah frinji yang terbentuk, ialah panjang gelombang
sumber cahaya, t merupakan ketebalan bahan gelas,
u
ialah sudut rotasi
bahan.
Selanjutnya, dengan memanfaatkan perubahan indeks bias yang
terjadi ketika medium gelas dibiarkan kosong dibandingkan dengan pola
interferensi yang terbentuk ketika medium diisi dengan larutan sampel
maka selanjutnya akan dapat diketahui konsentrasi dari larutan tersebut
dengan membuat grafik perbandingan antara indeks bias dan konsentrasi
larutan dengan rumus berikut:

N i t
i N t
n


=
) cos 1 ( 2
) cos 1 )( 2 (
..............(2.5)

2.4 Eksperimen 1 Interferometer Young
1. Peralatan Eksperimen
a. Laser He-Ne
b. Slit tunggal dengan lebar slit 0,3 mm
c. Slit Ganda dengan lebar slit 0,4 mm
d. Mistar
e. Layar sebagai penangkap sinar

2. Prosedur Eksperimen
a. Siapkan semua peralatan
b. Pasang slit tunggal di depan laser He-Ne dengan jarak 5 cm
c. Pasang layar pada jarak 50 cm di belakang slit tunggal
d. Nyalakan laser He-Ne
e. Amati pola interferensi yang terjadi
f. Tentukan nilai y
1
, y
2
dan y
3
(titik terang pertama, kedua dan ketiga)
pada pola interferensi yang terjadi
g. Ulangi langkah d hingga langkah f dengan variasi jarak layar 100 cm,
150 cm, 200 cm dan 250 cm


2.5 Eksperimen 2 Interferometer Michelson
1. Peralatan Eksperimen
a. Meja Optik
b. Sumber cahaya (Laser He-Ne)
c. Detektor cahaya (Thorlabs Optical Power Meter PM100D dan S100C)
d. Beam Splitter 50:50
e. Movable mirror (M2)
f. Fixed mirror (M1)
g. Kaca preparat berbagai variasi
h. Layar pengamatan
i. Convex lens
j. Microdisplacement

2. Prosedur Eksperimen
a. Susun peralatan seperti gambar 2.2
b. Nyalakan laser He-Ne
c. Amati frinji yang terbentuk pada layar pengamatan. Gunakan convex
lens untuk mengamati frinji lebih jelas.
d. Jika frinji yang terbentuk tidak bergerak maka sistem telah stabil.
Amati nilai intensitas yang nampak pada detektor
e. Geser movable mirror dan amati perubahan bentuk frinji


Referensi
[1] Saleh, Bahaa E.A. & Teich, Malvin Carl. Fundamentals of Photonics -
Chapter 2. USA : John & Wiley Sons, Inc. 1991.
[2] Young, Hugh D and Freedman, Roger A. University Physics 12t
h

edition - Chapter 35. USA : Pearson Education Inc. 2008
[3] Yoshizawa, Toru. Handbook of Optical Metrology Chapter 6. USA :
CRC Press. 2009
[4] Halliday, Resnick.1986. Fisika jilid 2 edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
[5] Soedojo, P. 1992. Azas-azas Ilmu Fisika Jilid 3 Optika. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
[6] Hariharan, P. 2007. Basic Of Interferometry. Sydney: Academic
Press






























MODUL 3
FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

3.1 Pokok Bahasan
1. Dasar-dasar teknik fotografi digital
2. Aplikasi digital image processing

3.2 Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Memahami cara kerja dan prinsip dasar dari parameter-parameter
kamera digital (image resolution, ISO, aperture, shutter speed, focal
length).
2. Melakukan dan menjelaskan dasar-dasar pengolahan citra digital
seperti cropping, konversi citra RGB ke citra grayscale serta
menampilkan histogram citra grayscale.

3.3 Dasar Teori
1. Fotografi Digital
Fotografi digital adalah salah satu cabang fotografi yang menggunakan
sensor cahaya untuk menangkap citra yang difokuskan oleh lensa. Citra
yang ditangkap kemudian disimpan dalam bentuk file digital kemudian
diproses melalui pengolahan citra (color correction, sizing, cropping, dan
lain-lain), preview, atau dicetak. Sebelum ditemukannya teknologi citra
digital, citra fotografi ditangkap menggunakan film fotografi dan diproses
secara kimia. Dengan fotografi digital, citra dapat ditampilkan, dicetak,
disimpan, dan dimanipulasi menggunakan komputer tanpa proses kimia.
Salah satu instrumen yang paling banyak dipakai untuk merekam citra
digital adalah kamera digital. Pada dasarnya, kamera digital adalah divais
fotografi yang terdiri dari lightproof boxdengan lensa di ujungnya, dan
sensor citra digital. Terdapat dua tipe dasar kamera digital : (1) digital
single-lens reflex (DSLR) dan (2) digital rangefinder
[1]
.

Gambar 3.1 Proses Pengambilan citra pada kamera DSLR



2. Focal length
Parameter penting dari sebuah lensa, disamping kualitasnya adalah
focal length. Secara teknis focal length didefinisikan sebagai jarak dari
bagian jalur optik dimana cahaya merambat menuju lensa dan difokuskan
ke sensor. Jarak focal lenght dinyatakan dalam satuan milimeter. Dari
sudut pandang praktis, focal length merupakan nilai dari perbesaran
lensa. Semakin panjang focal lenght, maka semakin besar perbesaran
objeknya. Selain perbesaran, focal length menentukan perspektif dari
objek
[2]
.

Gambar 3.2 Prinsip kerja focal length

3. Shutter speed
Shutter speed merupakan waktu yang dibutuhkan oleh shutter
kamera untuk membuka dan menutup kembali dalam mengambil gambar
objek. Expossure citra ditentukan dari kombinasi shutter speed dan
bukaan apperture. Pada user interface kamera, shutter speed ditampilkan
dalam fraksi satu detik. yaitu: 1 ; 2 ; 4 ; 8 ; 15 ; 30 ; 60 ; 125 ; 250 ;
500 ; 1000 ; 2000 ; dan B. .Angka 1 berarti shutter membuka dengan
kecepatan 1/1 detik. Angka 2000 berarti shutter membuka dengan
kecepatan 1/2000 detik, dan seterusnya. B (Bulb) berarti kecepatan tanpa
batas waktu (shutter membuka selama shutter release ditekan).
Fotografer menggunakan shutter speed untuk menangkap objek
bergerak. Misalnya objek mobil yang difoto akan menghasilkan citra blur
ketika menggunakan shutter speed rendah misalnya 1/8. Di sisi lain,
shutter speed yang besar (misalnya 1/1000) mampu menangkap citra
baling-baling helikopter yang berputar dengan jelas
[3]
.

4. Apperture
Apperture adalah bukaan lensa yang diatur dengan melakukan
setingan iris atau diafragma yang memungkinkan pengaturan jumlah
cahaya masuk ke dalam sensor. Semakin besar apperture, maka semakin
banyak cahaya yang masuk ke dalam lensa. Ukuran apperture dinyatakan
dalam satuan f-stops. Angka-angka ini tertera pada lensa : 1,4 ; 2 ; 2,8 ;
4 ; 5,6 ; 8 ; 11 ; 16 ; 22 ; dan seterusnya. Angka-angka tersebut
menunjukkan besar kecilnya bukaan diafragma pada lensa. Aperture
digunakan untuk menentukan intensitas cahaya yang masuk. Semakin
besar f-stops, semakin kecil bukaan aperture, sehingga cahaya yang
masuk semakin sedikit. Sebaliknya, semakin kecil f/angka semakin lebar
bukaan diafragmanya sehingga cahaya yang masuk semakin banyak
[4]
.

5. ISO
ISO (International Standarts Organization) pada kamera merupakan
benchmark rating yang menunjukkan nilai kuantitatif sensitivitas dari film
kamera. Semakin tinggi rating ISO, semakin sensitif film terhadap
cahaya, sehingga semakin sedikit cahaya yang diperlukan untuk
mengambil objek. Hampir semua kamera DSLR memiliki setting ISO dari
100 sampai 3200. Pada setting ISO 400 keatas, beberapa kamera
mengalami kesulitan untuk mempertahankan konsistensi expossure tiap
satuan piksel pada citra. Untuk meningkatkan sensitivitas sensor pada
kondisi tersebut, kamera meningkatkan tegangan input dari tiap elemen
sensor sebelum dikonversi menjadi sinyal digital. Pada saat sinyal elektrik
dari tiap elemen diamplifikasi, terjadi anomali pada piksel dengan warna
gelap. Hasil dari piksel sporadis dengan nilai kecerahan yang tidak sesuai
disebut sebagai digital noise
[5]
.

6. Representasi Citra Warna
Citra warna tersusun dari kombinasi 256 intensitas warna dasar (red,
green, blue). Setiap piksel adalah gabungan ketiga warna tersebut,
sehingga masing-masing piksel memiliki tiga komposisi warna dasar, dan
diperlukan memori penyimpanan tiga kali lipat
[6]
. Untuk representasi citra
warna, dapat dinyatakan dalam persamaan dibawah ini:

(3.1)

(3.2)

f x y , 1 , ( )
f 1 1 , ( )
f 2 1 , ( )
f 3 1 , ( )
......
f m 1 , ( )
f 1 2 , ( )
f 2 2 , ( )
f 3 2 , ( )
.......
f m 2 , ( )
f 1 3 , ( )
f 2 3 , ( )
f 3 3 , ( )
.......
f m 3 , ( )
......
......
......
.......
........
f 1 n , ( )
f 2 n , ( )
f 3 n , ( )
.......
f m n , ( )
|

\
|
|
|
|
|
|
|
|
|
.
f x y , 2 , ( )
f 1 1 , ( )
f 2 1 , ( )
f 3 1 , ( )
......
f m 1 , ( )
f 1 2 , ( )
f 2 2 , ( )
f 3 2 , ( )
.......
f m 2 , ( )
f 1 3 , ( )
f 2 3 , ( )
f 3 3 , ( )
.......
f m 3 , ( )
......
......
......
.......
........
f 1 n , ( )
f 2 n , ( )
f 3 n , ( )
.......
f m n , ( )
|

\
|
|
|
|
|
|
|
|
|
.
R G B
1 Pixel
256 256 256
Tingkat Kombinasi Warna
(3.3)

Masing-masing f(x,y,1), f(x,y,2) dan f(x,y,3) mewakili R, G dan B.
Dari persamaan (3.1), (3.2) dan (3.3) menunjukkan bahwa penyimpanan
citra warna diperlukan space 3 kali citra grayscale, representasi dapat
dilihat pada gambar 3.3









Gambar 3.3 Komposisi kombinasi warna tiap pixel
[6]


7. Thresholding Citra
Thresholding (pengambangan) artinya adalah nilai piksel pada citra
yang memenuhi syarat nilai ambang yang kita tentukan dirubah kenilai
tertentu yang dikehendaki. Secara matematis ditulis pada persamaan 3.4
berikut ini:
(3.4)

Dengan f
i
(x,y) adalah citra asli (input), f
o
(x,y) adalah piksel citra baru
(hasil/output), I
n
adalah nilai ambang yang ditentukan. Nilai piksel pada
(x,y) citra output akan sama dengan I
1
jika nilai piksel (x,y) citra input
tersebut <I
1
. Nilai piksel (x,y) citra input akan sama dengan I
2
jika I
1
<
f
i
(x,y)< I
2
, dan seterusnya.
Sebagai contoh citra greyscale 8 bit akan dipetakan menjadi peta
biner (hitam dan putih saja) dengan nilai ambang tunggal = 128 maka
persamaan matematisnya

f x y , 3 , ( )
f 1 1 , ( )
f 2 1 , ( )
f 3 1 , ( )
......
f m 1 , ( )
f 1 2 , ( )
f 2 2 , ( )
f 3 2 , ( )
.......
f m 2 , ( )
f 1 3 , ( )
f 2 3 , ( )
f 3 3 , ( )
.......
f m 3 , ( )
......
......
......
.......
........
f 1 n , ( )
f 2 n , ( )
f 3 n , ( )
.......
f m n , ( )
|

\
|
|
|
|
|
|
|
|
|
.
f
o
x y , ( ) I
1
f
i
x y , ( ) I
1
s ,
I
2
I
1
f
i
x y , ( ) < I
2
s ,
......
I
n
I
n 1 f
i
x y , ( ) < I
n
s
,
(3.5)

Ini berarti piksel yang nilai intensitasnya dibawah 128 akan diubah
menjadi hitam (nilai intensitas = 0), sedangkan piksel yang nilai
intensitasnya diatas 128 akan menjadi putih (nilai intensitas = 255)
[7]
.




3.4 Contoh citra hasil thresholding

8. Mengubah Citra Warna Menjadi Citra Gray-Scale
Proses awal yang banyak dilakukan dalam image processing adalah
mengubah citra berwarna menjadi citra gray-scale, hal ini digunakan
untuk menyederhanakan model citra. Seperti telah dijelaskan di depan,
citra berwarna terdiri dari 3 layer matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-
layer. Sehingga untuk melakukan proses-proses selanjutnya tetap
diperhatikan tiga layer di atas. Bila setiap proses perhitungan dilakukan
menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.
Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1
layer matrik gray-scale dan hasilnya adalah citra gray-scale. Dalam citra
ini tidak ada lagi warna, yang ada adalah derajat keabuan.
[8]
Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik
masing-masing R, G dan B menjadi citra grayscale dengan nilai S, maka
konversi dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai R, G dan
B sehingga dapat dituliskan menjadi:
(3.6)
9. Histogram
Histogram citra merupakan tool yang digunakan untuk mengetahui
sebaran tingkat keabuan suatu citra. Informasi sebaran tingkat keabuan
tersebut sangat bermanfaat untuk memisahkan objek dengan latar
belakang dari suatu citra
[9]
. Misalnya suatu citra dengan ukuran matrik 8
x 8, dengan tingkat keabuan antara 0 sampai dengan 7.
f
o
x y , ( ) 0 f
i
x y , ( ) 128 < if
255 f
i
x y , ( ) 128 > if
S
R G + B +
3





Gambar 3.5 Distribusi Tingkat Keabuan

10. Listing Program

a. Program 1 : Cropping

function cropping(CitraInput,I1)
In = (I1*2);
In(In<1)=255;
In(In<3)=0;

Ro = double(CitraInput(:,:,1));
Go = double(CitraInput(:,:,2));
Bo = double(CitraInput(:,:,3));

Rn= Ro - In;
Gn= Go - In;
Bn= Bo - In;

Rn(Rn<0)=0;
Gn(Gn<0)=0;
Bn(Bn<0)=0;

R = uint8(Rn);
G = uint8(Gn);
H
1
3
2
3
4
1
6
7
2
4
5
1
7
7
1
7
4
1
6
4
1
2
7
1
6
1
4
2
2
3
7
4
7
2
5
0
7
1
0
0
3
3
0
3
2
0
0
2
0
0
2
4
6
1
0
0
1
5
7
6
5
4
3
1
|

\
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
.
B = uint8(Bn);

Crop(:,:,1)=R;
Crop(:,:,2)=G;
Crop(:,:,3)=B;

figure;
imwrite(Crop,'data1.bmp');
imshow(Crop)

clc
Ib = In;
Ib(Ib<1)=1;
Ib(Ib>1)=0;
LuasRegion =(sum(sum(Ib)))


b. Program 2 Konversi RGB to Gray

function RGB2GRAY(CitraInput)

Rc = double(CitraInput(:,:,1));
Gc = double(CitraInput(:,:,2));
Bc = double(CitraInput(:,:,3));

Gray = (Rc + Gc + Bc)/3;

Gray=uint8(Gray);

Grayscale(:,:,1)=Gray;
Grayscale(:,:,2)=Gray;
Grayscale(:,:,3)=Gray;

imwrite(Grayscale,'datagray1.bmp');
figure;
imshow(Grayscale);



c. Program 3 histogram

function histogram(CitraInput,LuasRegion,A,B)

[baris, kolom] = size(CitraInput);
Keabuan(1,1:256)=0;
for m = 1 : baris
for n = 1 : kolom
NilaiGray = CitraInput(m,n);
Keabuan(NilaiGray+1) = Keabuan(NilaiGray+1)+1;
end
end

Keabuan(2,1:256)=[0:255];
figure;
bar(Keabuan(2,A+1:B+1),(Keabuan(1,A+1:B+1))/LuasRegion);
grid;
axis([A B 0 max((Keabuan(1,A+1:B+1))/LuasRegion)]);
title('Frekuensi Distribusi Tingkat Keabuan');
xlabel('Nilai Tingkat Keabuan');
ylabel('Frekuensi Tingkat Keabuan (x 100%)');

3.4 Eksperimen
1. Peralatan Eksperimen
a. Kamera Digital SLR
b. PC/notebook yang terinstal software Matlab
c. Gelas
d. Larutan
e. Pengaduk

2. Prosedur Praktikum
a. Persiapkan kamera digital dan software MATLAB yang telah berisi
listing program dasar pengolahan citra digital (cropping, RGB2GRAY,
histogram).
b. Sediakan gelas bening berisi air dengan konsentrasi larutan berbeda-
beda (minimal 5 larutan).
c. Ambillah salah satu gelas bening yang berisi larutan sebagai objek
gambar dengan ISO, shutter speed dan aperture berbeda-beda,
tetapi resolusi dan focal length dikondisikan sama. (minimal 5 kali
pengambilan gambar, setiap pengambilan gambar dicatat ISO,
shutter speed dan aperture-nya)
d. Berdasarkan pengambilan gambar no.3, pilihlah diantara gambar-
gambar tersebut yang merupakan gambar terbaik kemudian gunakan
parameter ISO dan aperture-nya sebagai acuan untuk pengambilan
gambar selanjutnya.
e. Ambillah gelas bening yang berisi larutan dengan konsentrai
berbeda-beda sebagai objek gambar dengan ISO dan aperture yang
telah ditentukan pada no.4. (masing-masing larutan cukup1 kali
pengambilan gambar).
f. Lakukan proses cropping untuk memisahkan objek larutan dengan
background disekelilingnya. Citra yang telah dicropping dikonversi ke
citra grayscale kemudian tampilkan histrogram citra grayscale
tersebut.




LANGKAH-LANGKAH CROPPING

data1 = imread('aqua.jpg'); % definisikan matrik citra
larutan
imshow(data1) % menampilkan citra data1



Gambar 3.6 imshow(data1)

region=roipoly; % memilih dan mendefinisikan matrik
wilayah cropping



Gambar 3.7 region=roipoly;

cropping(data1,region) % mencropping data1 dengan
"region" sebagai daerah cropping, maka akan tampil hasil
cropping dengan nama yang didefinisikan pada program 1
data1.bmp serta muncul nilai luasan daerah yang
dicropping (catat luas daerah tersebut).


Gambar 3.8 Hasil cropping (tersimpan otomatis dengan nama data1.bmp)

LuasRegion =

13501

LANGKAH-LANGKAH KONVERSI RGB TO GRAY

Datakonversi1 = imread('data1.bmp'); %definisikan citra
gray yang akan dikonversi
RGB2GRAY(Datakonversi1) % menkonversi RGB ke Gray



Gambar 3.9 Hasil konversi RGB to Grayscale (tersimpan otomatis
dengan nama datagray1.bmp)



LANGKAH-LANGKAH MENAMPILKAN HISTOGRAM

histo1=imread('datagray1.bmp'); %definisikan citra gray
yang akan ditampilkan histogramnya

histogram2(histo1,13501,1,255) % menampilkan histogram
pada objek "histo1", dengan luasan region 13501,
dengan batas bawah keabuan 1 dan batas atas 255



Gambar 3.10 histogram citragray yang telah dicropping

histogram(histo1,13501,110,120) % batas bawah keabuan 110
dan batas atas 120



Gambar 3.11 histogram citragray bata bawah 110 dan batas
atas 120

Kemudian catat frekuensi tingkat keabuan tertinggi pada
nilai tingkat keabuan. Serta catat pula nilai frekuensi
pada nilai tingkat keabuan 2 kekanan dan 2 kekiri dari
puncak frekuensi tingkat keabuan tertinggi
Contoh
Data1 untuk konsentrasi xxx
113 4.2%
114 4%
115 5%
116 4%
117 3.25%

g. Lakukan pula langkah f untuk citra-citra yang lain.
h. Berdasarkan langkah f dan g, pilihlah 5 derajat keabuan yang
tertinggi diantara semua citra pada berdasarkan tampilan histogram
citra grayscale-nya. Kemudian dicatat nilai prosentase frekuensi
tingkat keabuan pada masing-masing derajat keabuan yang telah
ditentukan.
i. Plot dalam excel berdasar data dari langkah h dengan konsentrasi
larutan sebagai sumbu-x dan prosentase frekuensi tingkat kebuan
sebagai sumbu y. Kemudian analisa hasil grafik tersebut.


REFERENSI
[1] Apple. Aperture Digital Photography Fundamentals. Apple Computer
Inc. 2005 : 7-12
[2] Imaging Source. Calculating the Focal Length-The Parameter You
Need. The Imaging Source Technology based on Standarts. Germany.
2006 : 5
[3] Moloney Kevin. Shutter Speed. University of Colorado. 2008 [pdf]
(URL http://www.colorado.edu/Journalism/photojournalism/tech.pdf
accessed on October 27 2011)
[4] W Piston David. Choosing Objective Lenses:The Importance of
Numerical Aperture and Magnification in Digital Optical Microscopy.
Department of Physiology and Biophysics. Vandrbilt University. 1998
:2-3
[5] SLR Digital Photography. What is ISO setting on your digital SLR
(DSLR) camera and how do you use it?. 2011 (html)
(http://www.slrphotographyguide.com/camera/settings/iso.shtml
accessed on October 27 2011)
[6] Purnomo Mauridhi Hery dan Arif Muntasa. 2010. Konsep Pengolahan
Citra Digital dan Ekstraksi Fitur. Graha Ilmu. Halaman 29-31 (citra
warna) dan 148 161 (deteksi tepi)
[7] http://sonoku.com/delphi/thresholding-citra-menggunakan-delphi/
[8] Ramadijanti Nana, Achmad Basuki dan Riyanto Sigit. 2008. Modul
Ajar D4 Teknologi Informasi Praktikum Pengolahan Citra. PENS-ITS.
Halaman 35-36.
[9] Dwayne Phillips, (2000), Image Processing In, C R & D Publications,
Second Edition.


MODUL 4
DESAIN DIVAIS OPTIK GEOMETRI

4.1 Pokok Bahasan
1. Desain divais optik berbasis optika geometri
2. Optimasi untuk menurunkan aberasi pada piranti
4.2 Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan bisa :
1. Mendesain divais optik berbasis optika geometri
2. Melakukan optimasi desain untuk menurunkan aberasi

4.3 Dasar Teori
1. Parameter Dasar Sistem Optik Geometri

Gambar 4.1 Contoh Sistem Optika Geometri
[1]


Gambar 4.1 merupakan sistem optika geometri dengan 6
permukaan. Bila diikuti kembali penjalaran sinar-sinar solid yang telah
direfraksikan oleh semua permukaan dan dipotongkan dengan garis lurus
dari titik pembentukan image, jarak perpotongan dengan titik
pembentukan image merupakan panjang fokus. Dalam sistem lensa yang
terdiri atas lebih dari 1 lensa, fokusnya disebut sebagai effective focal
length (EFL). Sementara F number merupakan hubungan antara EFL
dengan lebar berkas cahaya
[1]
.

2. Kualitas Sistem Optik
Kualitas sistem optik ditentukan oleh desainnya yang memiliki
aberasi minimal. Bila efek difraksi diabaikan, maka sistem optik tanpa
aberasi akan menghasilkan bayangan pada satu titik fokus. Untuk
mendesain suatu sistem optik yang sempurna, harus dilakukan
perhitungan besar aberasi dan pengaruhnya ke pembentukan bayangan.
Berikut adalah jenis-jenis aberasi
[1]
:



a. Aberasi Spheris
Aberasi spheris terjadi sinar-sinar paraksial yang masuk pada
ketinggian sistem optik yang berbeda menuju fokus ternyata jatuh
pada titik yang berbeda
[1]
.
b. Coma
Coma merupakan variasi perbesaran sebagai fungsi aperture. Coma
terjadi untuk sinar-sinar non-perpendicular terhadap sistem lensa.
Bayangan oleh sinar-sinar yang melewati pinggir lensa akan memiliki
tinggi yang berbeda dibanding sinar-sinar melalui pusat lensa
[2]
.
c. Astigmata
Aberasi yang terjadi saat sinar-sinar pada bidang tangensial
(meridional) dan bidang sagittal (radial) tidak difokuskan pada jarak
yang sama dari
[3]
.
d. Curvature of Field
Aberasi jenis ini akan menyebabkan image yang tidak tepat pada
fokus akan blur
[1]
.
e. Distorsi
Distorsi tidak menghasilkan efek aberasi seperti biasanya. Distorsi
berpengaruh terhadap perbesaran image, bukan terhadap ketajaman
image. Suatu objek berbetuk persegi akan menghasilkan image
dengan sudut-sudutnya melengkung sebagai akibat efek distorsi
[1]
.
f. Aberasi Kromatis
Aberasi akibat sistem optik yang digunakan memiliki indeks bias
sebagai fungsi panjang gelombang sinar-sinar. Akibatnya sinar
dengan panjang gelombang berbeda akan memiliki fokus yang
berbeda pula
[1]
.
g. Lateral Color
Aberasi yang disebabkan perbesaran image merupakan fungsi
panjang gelombang. Contoh simpel dari lateral color misalnya
terbentuknya warna pelangi di pinggir lensa yang memiliki lateral
color besar
[1]
.

3. Optical Software for Layout and Optimization
Optical Software for Layout and Optimization (OSLO) merupakan
sebuah perangkat lunak yang berfungsi dalam mendesain sistem optik.
OSLO menyediakan lingkungan komputasi untuk desain optik. Selain
fungsi pada umumnya yaitu memberikan optimasi dan evaluasi sistem
optik, OSLO memiliki fitur antarmuka jendela khusus yang memungkinkan
kita untuk bekerja interaktif guna menyelidiki detail dari sistem optik kita
selama proses pendesainan. OSLO menerima masukan berupa simbolik
maupun numerik dengan menggunakan menu, toolbar maupun perintah;
fungsi slider untuk analisis real-time, dan kotak dialog otomatis serta
menu untuk peningkatan program custom.
OSLO bekerja mirip dengan program windows lain. Jika kita sudah
familiar dengan perangkat lunak windows lain, maka kita akan dapat
menggunakan OSLO tanpa kesulitan. Namun, antarmuka pengguna OSLO
memang mengandung beberapa fitur unik yang membuat sebuah
program desain yang efisien dan mudah digunakan optik, dan kita dapat
meningkatkan produktivitas kita dengan membaca bab ini.
Screenshot di bawah ini menunjukkan sebuah konfigurasi khas OSLO.
Umumnya, kita memasukkan data baik dalam spreadsheet atau pada
command line. Kita dapat memasukkan perintah secara langsung pada
command line atau dengan meng-klik menu atau tombol toolbar. Perintah
dan menu yang benar-benar terintegrasi, tidak ada komando terpisah dan
mode masukan grafis. Keluaran dari OSLO biasanya muncul dalam teks
atau jendela grafis, sesuai dengan jenis Keluaran yang akan ditampilkan.
Sebagian besar OSLO ditulis dalam CCL, bahasa byte-code modern
yang mirip dengan Java. Tambahan compiler dan linker yang yang mulus
diintegrasikan dengan program untuk menyediakan code byte efisiensi
dengan kemudahan penggunaan bahasa interaktif.

Gambar 4.2 Worksheet pada Software OSLO

4.4 Eksperimen
1. Peralatan Eksperimen
a. PC/Notebook yang sudah terinstal software OSLO

2. Prosedur Eksperimen
Berikut ini merupakan tutorial membuat desain landscape lens di
software OSLO.

a. Lens Entry
Langkah awal untuk membuat desain lensa pada OSLO adalah
memasukkan spesifikasi dari lensa. Langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut :

1) Pilih File<<New Lens dari menu OSLO


2) Isikan nama Landscape1 pada kotak New File name. Pilih Custom
lens pada File type dan isikan 3 pada Number of Surfaces untu
jumlah permukaan lensa. Klik OK.

3) Selanjutnya akan muncul sheet baru

Isikan data sebagai berikut:
Lens : Landscape1
Ent beam radius : 5
Field angle : 20
4) Selanjutnya mengisi data dibawahnya:
a) Masukkan BK7 di kolom GLASSS pada permukaan pertama (baris
kedua, setelah OBJ). Maka material yang digunakan antara
permukaan 1 dan 2 adalah material BK7
b) Klik kanan permukaan kedua pada kolom APARTURE RADIUS, dan
pilih Aparture Stop. Maka SRF pada permukaan 2 akan menjadi
AST
c) Pada permukaan pertama isikan data berikut:
- RADIUS = 50
-THICKNESS=4
d) Pada permukaan kedua, isikan data berikut:
-THICKNESS= 10

5) Pada permukaan ketiga, ketebalan dapat dicari langsung. Klik kanan
kolom pada THICKNESS dan akan muncul pop up menu. Klik Solves
(S)>> Axial ray. Enter 0 pada Enter Solve Value. Ini menunjukkan
bahwa pada permukaan ketiga membuat ketinggian axial ray=0 pada
permukaan keempat.


6) Klik tombol pada kolom SPECIAL di permukaan ketiga
a) Pilih Surface Control (F)>> General
b) Muncul Pop up menu dan klik kanan pada tombol Automatic. Pilih
Drawn
c) Klik tanda centang hijau pada pop up menu untuk
menghilangkannya
d) Akan muncul huruf F pada kolom SPECIAL di permukaaan 3


7) Ulangi langkah nomer 6 untuk permukaan 4
Bila dilakukan dengan benar, maka sheet akan menjadi seperti berikut:


8) Cek semua data termasuk Efl (Effective Focal Legth). S pada kolom
THICKNESS berarti nilai tersebut hasil solve. S pada kolom
APARTURE RADIUS juga sama artinya, yaitu nilai hasil dari solve.

9) Klik tanda centang hijau untuk menutup sheet dan menyimpannya
dengan memilih File>>Save Lens dari menu OSLO. Maka file kalian
akan tersimpan dengan nama Landscape1.len.
10) Jika ingin membuka kembali klik File>>Open Lens dari menu OSLO.
Pilih Private dan Open Lens File Dialog. Klik OK.

b. Menggambar Lensa
Bagian ini akan menjelaskan bagaimana menggambar lensa dan
detail bagian dari sketsa lensa dalam OSLO.
1) Klik Draw Off pada lembar Surface Data. Jendela baru berlabel
Autodraw akan muncul secara otomatis setelah mengkliknya.


2) Pada menu toolbar pilih Lens<<Lens Drawing Conditions. Maka
spreadsheet dibawah ini muncul mentupi spreadsheet lensa.


3) Paramater yang diganti adalah Image space rays. Ganti Final dist
dengan cara kanan tombol tersebut menjadi Draw rays to image
surface

4) Setelah itu klik tanpa centang berwarna hijau dan jendela Autodraw
akan mengubah gambar secara otomatis


c. Optimasi
Bagian selanjutnya adalah melakukan optimasi agar didapatkan focal
length tepat pada 100mm dan menghilangkan koma Seidel.
1) Pilih pada menu toolbar Optimize>>Generate Error
Function>>Aberration Operands. Fungsi eror baru saja terbentuk
dan OSLO mngoptimasinya.


2) Drag dan klik baris 11-20 dan tekan tombol delete

3) Lalu klik baris 1-9 dan tekan delete


4) CMA3 merupakan bilangan pangkat tiga dari aberasi koma. EFL
merupakan Effective Focal Length. Semua operand dalam OSLO
diisikan dengan nol, namun tujuan dari optimasi ini tidak
menginginkan EFL nol tetapi 100

5) Memodifikasi operand kedua menjadi OCM21-100.0 sekaligus
mengganti namanya menjadi EFL_ERR


6) Klik tanda centang hijau. Lalu klik OPEN pada text window. Maka
akan muncul jendela operand beserta fungsi eror


7) Pada Lens spreadsheet,klik kanan kolom RADIUS pada baris
permukaan pertama. Pilih Variable(V)


8) Ulangi langkah 21 untuk THICKNESS pada permukaan kedua


9) Cek symbol V yang berarti Variable pada Radius permukaan pertama
dan Thickness permukaan kedua.
10) Klik tanda centang hijau dan buka kembali untuk mempercepat
buffer dan menyimpan sementara.

11) Untuk mengoptimasi, klik Ite di text window. Disini akan terlihat
fungsi diiterasikan sampai hasil erornya mencapai 0pabila terdapat
kesalahan, tanda silang merah dapat digunakan atau membuka
kembali file yang telah disimpan.



12) Cek lens spreadsheet dan terlihat Efl tepat 100. Hal ini menunjukkan
operand telah dikoreksi.



13) Klik Abr di text window untuk melihat semua aberasi pada lensa.
Aberasi Koma Seidel CMA3 akan mendekati nol


14) Klik centang hijau untuk menyimpan hasil pekerjaan.

d. Slider-Wheel Design
Bagian ini akan menjelaskan bagaimana menganalisa lensa
menggunakan Slider Wheel untuk menemukan bentuk optimal. Efek dari
permukaaan melengkung lensa juga akan terlihat disini.
1) Tetap dengan pekerjaan sebelumnya yaitu lensa landscape, buka
Optimize>>Slider Wheel Design dari menu OSLO.

2) Mengatur Slider Wheel Setup seperti dibawah ini:
a. Klik Spot diagram
b. Set Graphic scale menjadi 1.0
c. Pilih All points
d. Klik 2 dan 4 di kolom Surf . Pilih mode Curvature(CV) pada
kedua baris.



3) Tutup spreadsheet dengan mengklik tanda centang hijau
4) Selanjutnya akan muncul sheet baru yaitu GW31 dan GW32 berupa
grafis


5) Modifikasi gambar grafis dengan cara memperbesar atau
mengecilkannya.




Referensi
[1] Fischer, Robert & Tadic, Bijana. Optical System Design Chapter 1.
USA : Mc-Graw Hill. 2004
[2] Fischer, Robert & Tadic, Bijana. Optical System Design Chapter 5.
USA : Mc-Graw Hill. 2004
[3] Rutten & van Venrooij. Telescope Optics : A Comphrehensive Manual
for Amateur Astronomers Chapter 4. USA : Wilmann - Bell.
1999
[4] Warren, Smith. Modern Optical Engineering - Chapter 1. USA : SPIE
Press. 2008

Anda mungkin juga menyukai