Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SPEKTROFOTOMETER IR / FTIR

Disusun oleh:

FAUZIA IRFANI

1311821008

MAGISTER PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Dasar Spektrofotometer IR ............................................................... 3
2.2 Prinsip Dasar dan Prinsip Kerja Spektrofotometer IR ............................... 5
2.3 Komponen alat Spektrofotometer IR dan fungsinya .................................. 6
2.4 Aplikasi Spektrofotometer IR dalam riser ................................................... 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ........................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 18
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Spektrofotometer IR/FTIR” ini dengan lancar dan tepat pada waktunya.

Makalah Spektrofotometer Infrared ini disusun untuk menyelesaikan tugas


mata kuliah kimia instrumen. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen
Pengajar kimia instrumen yang telah memberikan arahan tentang penyusunan
makalah ini. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak lain
yang ikut membantu dalam pengerjaan makalah Spektrofotometer Infrared ini.

Saya menyadari bahwa penyusunan makalah Spektrofotometer Infrared ini


masih belum sempurna, baik dari segi fisik maupun isi yang terkandung di
dalamnya. Oleh karena itu, saya mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca sebagai masukan untuk kesempurnaan makalah
Spektrofotometer Infrared ini. Kami berharap semoga makalah Spektrofotometer
Infrared ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama dalam dunia kebahasaan.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat- Nya kepada kita semua.

Jakarta, 10 Maret 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari materi dan atributnya
berdasarkan cahaya, suara atau partikel yang dipancarkan, diserap atau dipantulkan
oleh materi tersebut. Spektrofotometri juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari interaksi antara cahaya dan materi. Dalam catatan sejarah,
spektrofotometri mengacu kepada cabang ilmu dimana "cahaya tampak" digunakan
dalam teori-teori struktur materi serta analisa kualitatif dan kuantitatif. Dalam masa
modern, definisi spektrofotometri berkembang seiring teknik-teknik baru yang
dikembangkan untuk memanfaatkan tidak hanya cahaya tampak, tetapi juga bentuk
lain dari radiasi elektromagnetik dan non-elektromagnetik seperti gelombang mikro,
gelombang radio, elektron, fonon, gelombang suara, sinar x dan lain sebagainya.
Spektrofotometri umumnya digunakan dalam kimia fisik dan kimia analisis
untuk mengidentifikasi suatu substansi melalui spektrum yang dipancarkan atau
yang diserap. Alat untuk merekam spektrum disebut spektrometer. Spektrofotometri
juga digunakan secara intensif dalam astronomi dan penginderaan jarak jauh.
Kebanyakan teleskop-teleskop besar mempunyai spektrograf yang digunakan untuk
mengukur komposisi kimia dan atribut fisik lainnya dari suatu objek astronomi atau
untuk mengukur kecepatan objekastronomi berdasarkan pergeseran Doppler garis-
garis spektral. Salah satu jenis spektrofotometri adalah spektrofotometri inframerah
(IR), spektrofotometri ini didasarkanpada vibrasi suatu molekul.
Inframerah adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang lebih
panjang dari cahaya tampak, tetapi lebih pendek dari radiasi gelombang radio.
Namanya berarti "bawah merah" (dari bahasa Latin infra, "bawah"), merah
merupakan warna dari cahaya tampak dengan gelombang terpanjang. Radiasi
inframerah memiliki jangkauan tiga "order" dan memiliki panjang gelombang
antara 700 nm dan 1 mm.
Inframerah ditemukan secara tidak sengaja oleh Sir William Herschell,
astronom kerajaan Inggris ketika ia sedang mengadakan penelitian mencari bahan
penyaring optik yang akan digunakan untuk mengurangi kecerahan gambar matahari
dalam tata surya teleskop.
Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah merupakan suatu metode yang
mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada
daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau pada Bilangan Gelombang 13.000
– 10 cm-1. Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark
Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang
elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang
keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan.
Aplikasi spektroskopi infra merah sangat luas baik untuk analisis kualitatif
maupunkuantitatif. Penggunaan yang paling banyak adalah pada daerah pertengahan
dengan kisaranbilangan gelombang 4000 sampai 670 cm-1 atau dengan panjang
gelombang 2,5 sampai 15 m. Kegunaan yang paling penting adalah untuk
identifikasi senyawa organik karenaspektrumnya yang sangat kompleks terdiri dari
banyak puncak- puncak. Dan juga spektruminfra merah dari senyawa organik
mempunyai sifat fisik yang karakteristik artinyakemungkinan dua senyawa
mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali.

1.2 Rumusan Masalah


1. Teori Dasar Spektrofotometer IR/FTIR
2. Prinsip Dasar dan Prinsip Kerja Spektrofotometer IR/FTIR
3. Komponen Alat Spektrofotometer IR/FTIR
4. Aplikasi Spektrofotometer IR dalam riset

1.3 Tujuan
a. Mengetahui apa yang di maksud Spektrofotometri IR/FTIR

b. Mengetahui komponen-komponen spektrofotometri IR/FTIR


c. Mengetahui prinsip kerja spektrofotometri IR/FTIR
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Dasar Spektrofotometer IR


Spektrofotometri inframerah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi
molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75
– 1,00 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 – 10 cm-1.
Metode Spektrofotometri inframerah merupakan suatu metode yang meliputi teknik
serapan (absorption), teknik emisi (emission), tekhnik fluoresensi (fluorescence).
Komponen medan listrik yang banyak berperan dalam spektroskopi umumnya hanya
komponen medan listrik seperti dalam fenomena transmisi, pementulan, pembiasan, dan
penyerapan.
Penemuan inframerah pertama ditemukan pertama kali oleh William Herschel pada
tahun 1800. Penelitian selanjutnya diteruskan oleh Young, Beer, Lambert, dan Julius
melakukan berbagai penelitian dengan menggunakan spektroskopi inframerah. Pada tahun
1892 Julius menemukan dan membuktikan adanya hubungan antara struktur molekul
degan inframerah, dengan ditemukannya gugus metil dalam suatu molekul akan
memberikan serapan karakteristik yang tidak dipengaruhi oleh susunan molekulnya.
Penyerapan gelombang elektromagnetik dapat menyebabkan terjadinya eksitasi
tingkat-tingkat energi dalam molekul. Dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi, atau rotasi.
Berdasarkan pembagian daerah panjang gelombang sinar infra merah dibagi atas tiga
daerah, yaitu:
Daerah Spektrum Infra Merah
Daerah Panjang gelombang (m) Bilangan (cm-1) Frekuensi (Hz)

Dekat 0,78 – 2,5 12800 – 4000 3,8x1014 – 1,2x1014


Tengah 2,5 – 50 4000 – 200 1,2x1014 – 6,0x1014
Jauh 50 – 1000 200 – 10 6,0x1014 – 3,0x1014

a. Daerah Infra Merah Dekat


Merupakan suatu teknik spektofotometri yang menggunakan wilayah panjang
gelombang inframerah pada spectrum elektromagnetik (sekitar 0,75 – 2,5 µm).
Dikatakan “ Infra merah dekat” (IMD) karena wilayah ini berada di dekat wilayah
gelombang merah yang tampak. Aplikasi infra merah dekat digunakan :
• Analisis air dalam Gliserol
• Diagnostik medis (pengukuran kadar oksigen daerah)
• Ilmu pangan dan agrokimia (terutama yang terkait dengan pengujian kualitas).
b. Daerah Infra Merah pertengahan
Merupakan suatu teknik spktrofotometri yang menggunakan wilayah panjang
gelombang inframerah pada spectrum elekromagnetik(sekitar 2,5 – 50 µm) atau pada
bilangan gelombang 4.000 – 200 cm-1.Dan merupakan daerah spectrum radiasi yang
paling sering digunakan.
c. Daerah infra merah jauh
Merupakan suatu teknik spektrofotometri yang menggunakan wilayah panjang
gelombang inframerah pada spectrum elektromagnetik (sekitar 50 – 1.000 µm).
Berguna untuk molekul yang mengandung atom berat. Aplikasi spektrofotometri
infra merah jauh digunakan untuk analisis bahan anorganik atau organometalik.
Dari pembagian daerah spektrum elektromagnetik tersebut diatas, daerah panjang
gelombang yang digunakan pada alat spektrofotometer inframerah adalah pada daerah
infra merah pertengahan, yaitu pada panjang gelombang 2,5 – 50 µm atau pada bilangan
gelombang 4.000 – 200 cm-1.
Spektrofotometer Inframerah meskipun bisa digunakan untuk analisa kuantitatif,
namun biasanya lebih pada analisa kualitatif . Umumnya Spektrofotometer IR digunakan
untuk mengidetififikasi gugus fungsi pada suatu senyawa, terutama senyawa organik.
Setiap serapan pada panjang gelombang tertentu menggambarkan adanya suatu gugus
fungsi spesifik.

Dasar spektrofotometri infra merah dikemukakan oleh Hook, dimana didasarkan


atas senyawa yang terdiri dari 2 atom atau diatom yang mana digambarkan dengan dua
buah bola yang saling terikat oleh pegas seperti berikut:

Berdasarkan gambar di atas, jika pegas direntangkan atau ditekan pada jarak keseimbangan
tersebut maka energi potensial dari sisem tersebut akan naik. Bila ikatan bergetar, maka
energi vibrasi terus menerus dan secara periodik berubah dari energi kinetik ke energi
potensial dan sebaliknya. Jumlah energi total adalah sebanding dengan frekuensi vibrasi
dan tetapan gaya (k) dari pegas dan massa (m1 dan m2) dari dua atom yang terikat. Energi
yang dimiliki oleh sinar infra merah hanya cukup kuat untuk mengadakan perubahan
vibrasi. Keadaan vibrasi dari ikatan terjadi pada keadaan tetap, atau terkuantisasi, tingkat-
tingkat energi. Panjang gelombang ekstrak absorpsi oleh suatu tipe ikatan tertentu,
bergantung pada macam getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang
berlainan (C-H, C-C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi infra merah pada panjang
gelombang karakteristik yang berbeda. Namun hanya vibrasi yang menghasilkan
perubahan momen dwikutub saja yang teramati di dalam infra merah. Terdapat dua jenis
vibrasi molekul yaitu vibrasi ulur (stretching) dan tekuk (bending).

2.2 Prinsip Dasar dan Prinsip Kerja


Prinsip dasar dari spektrofotometer inframerah adalah ketika suatu molekul dari
suatu senyawa diberikan energy radiasi inframerah, maka molekul tersebut akan
mengalami Vibrasi dengan syarat energi yang diberikan terhadap molekul cukup untuk
mengalami Vibrasi.
Prinsip kerja spektrofotometer inframerah adalah fotometri. Sinar dari sumber sinar
inframerah merupakan kombinasi dari panjang gelombang yang berbeda-beda. Sinar yang
melalui interferometer akan difokuskan pada tempat sampel. Sinar yang ditransmisikan
oleh sampel difokuskan ke detektor. Perubahan intensitas sinar menghasilkan suatu
gelombang interferens. Gelombang ini diubah menjadi sinyal oleh detektor, diperkuat oleh
penguat, lalu diubah menjadi sinyal digital.
Pada sistem optik FTIR, radiasi laser diinterferensikan dengan radiasi inframerah
agar sinyal radiasi inframerah diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik. Teknik
pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer infra merah. Pada FTIR digunakan
suatu interferometer Michelson sebagai pengganti monokromator yang terletak di depan
monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke detektor sesuai dengan
intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa interferogram (Khopkar, 2008).
Berapa banyak frekwensi tertentu yang melewati senyawa tersebut diukur sebagai
'persentasi transmitasi' (percentage transmittance). Persentasi transmitasi dengan nilai 100
berarti semua frekwensi dapat melewati senyawa tersebut tanpa diserap sama sekali. Dalam
prakteknya, hal itu tidak pernah terjadi. Dengan kata lain selalu ada serapan kecil, dan
transmitansi tertinggi hanya sekitar 95%. Transmitasi sebesar 5% mempunyai arti bahwa
hampir semua frekwensi tersebut diserap oleh senyawa itu
Syarat dapat terbaca oleh Spektrofotometer Inframerah adalah:
a. Frekuensi Spektrofotometer Inframerah sama dengan frekuensi vibrasi dari
ikatan molekul tersebut. Jika mempunyai frekuensi yang sama maka akan terjadi
absorbsi energi oleh molekul tersebut yang menyebabkan ikatan-ikatan pada molekul
tersebut mengalami vibrasi sehingga dapat terdeteksi oleh Spektrofotomer Inframerah
b. Molekul harus merupakan suatu Dwikutub.
Contoh: pada molekul CO atau NO tak simetris, ada perbedaan keelektronegatifan,
molekul tersebut merupakan suatu dwikutub. Bila jarak δ+ dan δ- berfluktuasi, seperti
yang akan terjadi bila molekulnya bergetar, maka dalam molekul tersebut terjadi medan
listrik yang berosilasi , yang akan dapat berinteraksi dengan medan listrik dari sinar
Inframerah. Dan bila sinar Inframerah sama dengan vibrasi alamiah ikatan molekul
tersebut maka energi Inframerah akan diserap molekul yang menyebabkan perubahan
amplitude vibrasi molekul.
Cara kerja pada instrumen FTIR mengikuti tahapan sebagai berikut :
1. Energi inframerah diemisiskan dari sumber sinar glowing black-body. Sinar ini
melewati celah dengan membawa energi yang telah ditentukan menuju sampel.
2. Sinar memasuki tempat sampel, dimana sinar tersebut ada yang diteruskan atau
dipantulkan oleh permukaan sampel menuju detektor.
3. Detektor akan mengukur sinyal yang diteruskan dari sampel
4. Komputer akan memvisualisasikan sinyal dari detektor dalam bentuk spektra FTIR.
Berikut ini merupakan gambar dari skema kerja dari instrumen FTIR :

Gambar 3 skema kerja dari instrumen FTIR


(Madison, 2001: 5-6)
2.3 Komponen Alat Spektrofotometer IR
Spektrometer infra merah biasanya merupakan spektrometer berkas ganda yang terdiri dari
komponen alat sebagai berikut :

1. Sumber radiasi
Prinsipnya sumber radiasi IR dipancarkan oleh padatan lembam yang dipanaskan
sampai pijar dengan aliran listrik. Ada 3 macam sumber radiasi yaitu :
• Globar Source : tabung silica carbide dengan ukuran diameter 5 mm dan panjang 5
mm.
• Nernst Glower : senyawa-senyawa oksida
• Tungsten Filament Lamp : untuk analisis dengan nir-IR.
• Incandescent Wire : merupakan lilitan kawat nikrom.
Pada system optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated
Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang di interferensikan dengan
radiasi inframerah agar sinyal radiasi inframerah yang diterima oleh detektor secara utuh
dan lebih baik.
2. Sampel kompartemen
Cuplikan atau sampel yang di analisis dapat berupa cairan, padatan ataupun gas.
Karena energy Vibrasi tidak terlalu besar, sampel dapat diletakkan langsung berhadapan
langsung dengan sumber radiasi IR. Karena gelas kuarsa atau mortar yang terbuat dari
porselin dapat memberikan kontaminasi yang menyerap radiasi IR, maka pemakaian
alat tersebut harus dihindari. Preparasi cuplikan harus menggunakan mortar yang
terbaru dari batu agate dan pengempaan dilakukan dengan menggunakan logam monel.
3. Monokromator
Monokromator merupakan suatu alat yang berfungsi untuk mendispersikan sinar
dari sinar polikromatik menjadi sinar monokromatik. Ada dua macam tipe
monokromator yaitu monokromator prisma dan monokromator gratting (kisi difraksi).
Gambar 5. Monokromator Prisma Gambar 6. Monokromator gratting

Monokromator IR terbuat dari garam NaCl, KBr, CsBr atau LiF. Oleh sebab itu
Spektrofotometer IR harus diletakkan di suatu tempat dengan kelembaban yang rendah
untuk mencegah kerusakan pada peralatan optiknya. Monokromator celah berfungsi
untuk lebih memurnikan radiasi IR yang dari cuplikan sehingga masuk ke dalam rentang
bilangan gelombang yang di kehendaki. Monokromator prisma yang terbuat dari bahan
garam anorganik berfungsi sebagai pengurai dan pengarah radiasi IR menuju detektor.
Monokromator prisma terbuat dari hablur Nacl yang paling banyak digunakan sebab
memberikan resolusi radiasi IR terbaik dibandingkan dengan yang lainnya. Prisma
leburan garam-garam bromide pada umumnya dipakai sebagai resolusi radiasi IR jauh
sedangkan garam fluorida untuk radiasi sinar IR dekat.
Monokromator yang umum digunakan adalah monokromator kisi difraksi atau
gratting. Kisi difraksi tersebut terbuat dari bahan gelas atau plastik yang tertoreh dengan
halus permukaannya dan terlapisi oleh kondensasi uap aluminium. Jenis monokromator
kisi difraksi sudah banyak digunakan pada spektrofotometer IR yang modern.
Keunggulannya memberikan resolusi yang lebih bagus dengan dispersi yang surambung
lurus, disamping itu tetap menjaga keutuhan radiasi IR menuju detektor. Kelemahannya
adalah timbulnya percikan radiasi IR pada monokromator kisi difraksi. Hal ini
diusahakan dengan memakai monokromator ganda yang merupakan kombinasi dari
monokromator prisma dan monokromator kisi difraksi.
4. Detektor
Berfungsi mengubah sinyal radiasi IR menjadi sinyal listrik. Selain itu detektor dapat
mendeteksi adanya perubahan panas yang terjadi karena adanya pergerakan molekul.
Detektor spektrofotometer yang bersifat menggandakan elektron tidak dapat dipakai
pada spektrofotometer IR sebab radiasi IR sangat lemah dan tidak dapat melepaskan
elektron dari katoda yang ada pada sistem detektor. Ada tiga tipe detektor yang dapat
digunakan pada spektrofotometer IR, yaitu:
• Thermal transducer : terdiri dari dua logam bercabang dimana suhu tergantung pada
potensialnya. Instrument yang menggunakan detektor ini harus disimpan pada tempat
yang ber-AC atu bersuhu konstan karena dapat dipengaruhi oleh suhu sehingga dapat
terjadi kesalahan dalam mendeteksi suatu senyawa. Responnya lambat sehingga
jarang digunakan.
• Pyroelectric transducer : berupa Kristal cairan dari triglisin sulfat (TGS) dimana
temperatur dipengaruhi oleh polaritas senyawa.
• Photoconducting trasducer : terbuat dari bahan semikunduktor seperti timbal sulfide,
eaksa telurida dan cadmium telurida dan indium antimonida. Harus menggunakan
pendingin gas nitrogen sehingga responnya cepat.
Detektor yang digunakan dalam spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra Glycerine
Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak
digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu
memberikan respon yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitive, lebih
cepat. Tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang
diterima dari radiasi inframerah.

5. Amplifier atau Penguat dan Read out


Penguat dalam sistem optik spektrofotometer IR sangat diperlukan karena sinyal
radiasi IR sangat kecil atau lemah. Penguat berhubungan erat dengan derau instrumen
serta celah monokromator, jadi keduanya harus diselaraskan dengan tujuan
mendapatkan resolusi puncak spektrum yang baik dengan derau maksimal.
Sedangkan pencatat atau Red Out harus mampu mengamati spektrum IR secara
keseluruhan pada setiap frekuensi dengan seimbang. Rentang bilangan gelombang 4000
cm-1 - 650 cm-1 dalam keadaan normal harus dapat teramati dalam selang waktu 10 – 15
menit. Untuk masuk pengamatan pendahuluan selang waktu tersebut dapat dipersingkat
ataupun diperlambat untuk mendapatkan hasil resolusi puncak Spektrum IR yang baik.
2.4 Aplikasi Spektrofotometer IR dalam riset
The employment of FTIR spectroscopy in combination with chemometrics for analysis
of rat meat in meatball formulation
1. Abstrak
Bagi masyarakat Indonesia, bakso merupakan salah satu produk makanan daging
favorit. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomis, substitusi daging sapi dengan
daging tikus dapat terjadi karena perbedaan harga antara daging tikus dan daging
sapi. Dalam penelitian ini, kelayakan spektroskopi FTIR dalam kombinasi dengan
kalibrasi multivariat partial least square (PLS) digunakan untuk analisis kuantitatif
daging tikus dalam campuran biner daging sapi dalam formulasi bakso. Sementara
itu, kemometrik analisis komponen utama (PCA) digunakan untuk klasifikasi antara
daging tikus dan bakso sapi. Beberapa wilayah frekuensi di wilayah inframerah
tengah dioptimalkan, dan akhirnya, wilayah frekuensi 750-1000 cm-1 dipilih selama
pemodelan PLS dan PCA.
Untuk analisis kuantitatif, hubungan antara nilai aktual (sumbu x) dan nilai prediksi
FTIR (sumbu y) daging tikus digambarkan dengan persamaan y = 0,9417x + 2,8410
dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,993, dan akar mean square error of
kalibrasi (RMSEC) sebesar 1,79%. Selanjutnya PCA berhasil digunakan untuk
klasifikasi bakso tikus dan bakso sapi.
2. Pendahuluan
Di masyarakat Indonesia, salah satu produk daging favorit adalah bakso. Beberapa
negara memiliki nama sendiri untuk bakso, yaitu Bakso (Indonesia) (Rohman,
Sismindari, Erwanto, & Che Man, 2011), Bebola (Malaysia), Nem nuong (Vietnam),
Kofta (India), Konigsberger klopse (Jerman), Koefte (Turki), Kung-Wan (Taiwan dan
Cina), dan Polpette (Italia) (Huda, Shen, Huey, Ahmad, & Mardiah, 2009). Saat ini di
Indonesia, karena harga daging sapi yang tinggi, beberapa produsen yang tidak etis
mengganti daging sapi dengan daging tikus untuk mendapatkan keuntungan ekonomis.
Daging tikus tergolong daging yang tidak halal seperti yang diikuti oleh sebagian besar
ulama (Rohman & Che Man, 2012). Substitusi daging sapi dengan daging tikus dapat
digolongkan sebagai praktik pemalsuan karena produsen melabeli bakso tikus sebagai
bakso sapi. Daging tikus berpotensi sebagai pengkhianat dalam makanan halal karena
tikus tersedia di beberapa tempat dan dapat diperoleh tanpa harga yang ditawarkan.
Bakso adalah daging olahan yang dihaluskan yang dapat diklasifikasikan sebagai
daging yang direstrukturisasi. Bisa dibuat dari daging sapi, ayam, babi, atau ikan, dan
salah satu yang sangat populer dan banyak ditemukan di pasar Indonesia adalah bakso
sapi (Kurniati, Rohman, & Triyana, 2014; Purnomo & Rahardiyan, 2008). Identitas
daging yang digunakan dalam bakso merupakan suatu keharusan untuk melindungi
hak konsumen, keyakinan agama dan rejeki yang diperoleh dengan susah payah
(Doosti, Ghasemi Dehkordi, & Rahimi, 2011; Fajardo, González, Rojas, García, &
Martín, 2010) . Selain itu, verifikasi daging yang dinyatakan dalam produk bakso juga
diperlukan untuk pencegahan praktik pemalsuan. Saat ini minat terhadap keaslian
daging semakin meningkat. Banyak konsumen yang khawatir tentang daging yang
digunakan dan pelabelan yang akurat dalam produk yang mereka makan (Ballin,
2010). Beberapa negara membuat regulasi untuk memastikan bahwa produk makanan
yang tersedia aman dan asli serta untuk melindungi pasar makanan halal (Ali et al.,
2012; Esslinger, Riedl, & Fauhl-Hassek, 2013). Oleh karena itu, deteksi penipuan
identitas spesies dalam otentikasi produk daging termasuk bakso penting untuk
perlindungan konsumen dan untuk verifikasi produk non-halal (Rahman et al., 2014).
Kesalahan pelabelan daging sapi dengan daging tikus merupakan masalah serius
karena beberapa alasan, yaitu ekonomi, agama (isu halal dan halal) dan masalah
kesehatan (Regenstein, Chaudry, & Regenstein, 2003; Rohman & Che Man, 2012). Di
negara-negara Islam seperti Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah, sertifikasi halal
telah diwajibkan untuk semua produk makanan impor berbasis daging dan daging
seperti bakso. Oleh karena itu, verifikasi kehalalan produk memerlukan metode
analisis yang andal yang mampu mendeteksi barang-barang non-halal seperti daging
tikus bahkan dalam jumlah kecil (Nakyinsige, Che Man, & Sazili, 2012). Akibatnya,
beberapa metode analisis telah dikembangkan, diusulkan dan digunakan untuk
identifikasi dan kuantifikasi komponen non-halal dalam produk makanan (Mursyidi,
2013).
Karena kemampuannya sebagai teknik sidik jari, spektroskopi FTIR yang
dikombinasikan dengan teknik kemometrik yang kuat merupakan metode analisis
yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi jenis daging yang ada dalam bakso
(Rohman et al., 2011). Spektroskopi FTIR cepat, tidak merusak dan tidak melibatkan
preparasi sampel yang melelahkan (Rohman, Nugroho, Lukitaningsih, & Sudjadi,
2014). Di bidang analisis halal, kombinasi spektroskopi FTIR dan kemometrik telah
digunakan untuk analisis lemak babi dalam campuran biner dengan lemak hewani
lainnya (Che Man & Mirghani, 2001), analisis lemak babi pada beberapa minyak
nabati (Rohman, Che Man , Ismail, & Puziah, 2011), analisis lemak babi dalam
formulasi cokelat dan kue menggunakan kalibrasi kuadrat terkecil parsial (Che Man,
Syahariza, Mirghani, Jinap, & Bakar, 2005; Syahariza, Che Man, Selamat, & Bakar,
2005), dan analisis lemak babi pada produk bakso dan kaldu bakso (Kurniati et al.,
2014; Rohman et al., 2011). Dengan penelusuran literatur, belum ada publikasi
mengenai penggunaan spektrum FTIR untuk analisis daging tikus pada bakso. Oleh
karena itu pada penelitian ini dikembangkan spektroskopi FTIR yang dikombinasikan
dengan regresi partial least square (PLS) dan principal component analysis (PCA)
untuk kuantifikasi dan klasifikasi daging tikus pada bakso sapi.
3. Bahan dan Metode
a. Sampel dan Koleksi
Daging tikus (Rattus argentiventer) diperoleh dari lahan petani di
Yogyakarta, Indonesia, sedangkan daging sapi dibeli dari beberapa pasar lokal di
Yogyakarta Indonesia. Untuk mengantisipasi variasi komposisi daging, tikus dan
sapi yang digunakan adalah campuran dari empat lahan petani yang berbeda dan
pasar lokal. Merek komersial empat produk bakso yang berbeda dibeli dari
supermarket di Yogyakarta. Semua sampel yang dikumpulkan diangkut dalam
kondisi dingin (4 °C) dan disimpan pada suhu -20 °C untuk diproses lebih lanjut
dan untuk persiapan formulasi bakso.
b. Persiapan sampel bakso
Bakso dibuat dengan mengemulsi 90% daging giling halus (daging sapi dan
atau daging tikus) dengan 10% pati dan dicampur kuat-kuat dengan garam dan
bahan-bahan tertentu (bubuk bawang putih, bubuk jinten, bawang merah cincang
dan lada hitam). Daging dan semua bahan lainnya dicampur dengan pengadukan
kuat dan campuran daging homogen yang diemulsi dibentuk menjadi bola-bola.
Bakso kemudian dimasak dalam air mendidih (100 °C) selama 10 hingga 20 menit.
c. Penyusunan standar kalibrasi dan validasi
Selama persiapan sampel kalibrasi, satu set standar yang terdiri dari daging
tikus dan lemak sapi disiapkan dengan mencampurkan kedua daging pada rentang
konsentrasi 0, 10, 20, 35, 50, 65, 80, dan 100% (wt/wt ) daging tikus dalam daging
sapi. Untuk memeriksa akurasi dan presisi model kalibrasi, beberapa sampel lain
yang dikenal sebagai sampel validasi juga disiapkan untuk membuat model
validasi. Sampel validasi mengacu pada sampel bakso yang disiapkan secara
mandiri di laboratorium dengan jumlah komposisi daging tikus yang diketahui.
Bakso selanjutnya dipotong kecil-kecil menggunakan blender komersial dan
dilakukan ekstraksi lemak menurut metode Soxhlet tradisional seperti yang
dijelaskan oleh Association of Official Analytical Chemists (AOAC, 1995)
menggunakan heksana sebagai pelarut ekstraksi. Heksana diuapkan di bawah
vakum rotary evaporator pada 60 ° C, dan ekstrak (lemak) dikeringkan dengan
natrium sulfat anhidrat. Lemak yang diperoleh menjadi sasaran pengukuran FTIR
d. Akuisisi spektral FTIR
Spektrum FTIR dari semua sampel yang dievaluasi diperoleh di wilayah
inframerah tengah (400–4000 cm−1) menggunakan spektrofotometer FTIR
MB3000 ABB (Clairet Scientific, Northampton, UK). Instrumen dilengkapi
dengan detektor deuterated triglycine sulfate (DTGS) dan KBR sebagai beam
splitter. Spektrum dipindai pada resolusi 8 cm-1 dengan 32 pemindaian. Spektrum
FTIR diproses menggunakan software FTIR Horizon MB versi 3.0.13.1 (ABB,
Canada). Sampel ditempatkan dalam kontak yang baik dengan elemen reflektansi
total atenuasi horizontal (HATR) (kristal ZnSe) pada suhu lingkungan yang
terkontrol (20 °C). Semua spektrum dijatah dengan latar belakang spektrum udara.
Setelah setiap pemindaian, spektrum latar belakang udara referensi baru diambil.
Semua spektrum FTIR dicatat sebagai nilai absorbansi pada setiap titik data dalam
rangkap tiga.
e. Analisis Statistik
Analisis kuantitatif lemak yang diekstraksi dari bakso yang mengandung
daging tikus dilakukan dengan menggunakan kalibrasi partial least square (PLS).
Keakuratan model PLS dievaluasi dengan koefisien determinasi (R2), sedangkan
ketepatan metode analitik dinilai menggunakan root mean square error in kalibrasi
(RMSEC) dan root mean square error of prediksi (RMSEP).

Yi dan Ŷi masing-masing mewakili nilai aktual dan prediksi daging tikus di


bakso. M dan N masing-masing menunjukkan jumlah sampel dalam set data
kalibrasi dan validasi. Semakin rendah nilai error RMSEC dan RMSEP, semakin
baik kinerja model (Gurdeniz & Ozen, 2009).
Klasifikasi antar sampel bakso dilakukan dengan menggunakan Principal
Component Analysis (PCA). PLS dan PCA dilakukan dengan bantuan software
Horizon MB (Canada) yang termasuk dalam spektrofotometer FTIR.
4. Hasil dan Pembahasan
a. Analisis spektral FTIR lemak tikus dan lemak sapi
Spektrum FTIR seluruh sampel diwakili oleh spektra jenis lemak yang
diperoleh dari ekstraksi bakso yang mengandung daging tikus dan daging sapi.
Spektrum dipindai di wilayah inframerah tengah (400–4000 cm−1) karena banyak
informasi yang tercakup di wilayah ini. Spektroskopi FTIR adalah metode analisis
yang kuat untuk analisis otentikasi lemak dan minyak, karena sifatnya sebagai
teknik sidik jari. Teknik sidik jari dapat dipahami bahwa spektrum FTIR daging
tikus dan daging sapi berbeda dalam hal intensitas puncak, karena lemak pada
dasarnya adalah sistem komponen tunggal trigliserida (TG) yang memiliki
komposisi asam lemak yang berbeda (Guillen & Cabo, 1997; Nunes, 2013)
Spektrum FTIR adalah sarana yang efektif untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif yang berasal dari banyak informasi yang dikumpulkan, dan kelayakan
untuk menandai pita dan bahu serapan tertentu yang terkait dengan gugus fungsi
yang terkandung dalam lemak dan minyak yang bertanggung jawab untuk
penyerapan IR (Bendini et al., 2007). ). Gambar 1.(A) adalah spektrum FTIR
lemak tikus dan lemak sapi pada bilangan gelombang 400–4000 cm−1, sesuai
dengan vibrasi regangan dan tekuk gugus fungsi yang ada dalam lemak, tetapi
profil penyerapan yang rumit diamati pada daerah sidik jari pada bilangan
gelombang 1500 cm−1 (Pavia, Lampman, & Kriz, 1996; Zhang et al., 2012).

Di wilayah sidik jari, semua sampel memiliki profil puncak dan bahu yang
berbeda seperti yang ditunjukkan dalam lingkaran. Seperti ditunjukkan pada
Gambar 1.(A), ada sedikit perbedaan untuk kedua spektrum di mana posisi pita
serapan dan intensitas serapan dari bilangan gelombang yang sama sangat mirip.
Selama spektrum diamati dengan cermat, perbedaan halus tentang posisi pita
serapan dan intensitas puncak pita yang sama ada. Ketika pita serapan diperbesar,
perbedaan muncul seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.(B). Perbedaan-
perbedaan ini selanjutnya dioptimalkan untuk dipilih sebagai bilangan gelombang
yang digunakan untuk analisis kuantitatif daging tikus dalam bakso serta untuk
pemodelan analisis komponen prinsip (PCA). Penugasan masing-masing puncak
dan gugus fungsi yang bertanggung jawab untuk penyerapan IR dikompilasi pada
Tabel 1.

b. Analisis kuantitatif lemak tikus dalam formulasi bakso


Analisis kuantitatif lemak tikus pada sampel bakso yang mengandung 100%
daging tikus, 100% daging sapi dan campuran keduanya dilakukan dengan regresi
partial least square (PLS). Daerah bilangan gelombang yang digunakan untuk
analisis kuantitatif dipilih berdasarkan kemampuan untuk menawarkan model
prediksi terbaik untuk hubungan antara nilai aktual dan nilai prediksi FTIR lemak
tikus dalam formulasi bakso. Akhirnya bilangan gelombang 750-1000 cm-1
digunakan untuk analisis kuantitatif. Bilangan gelombang ini memberikan
koefisien determinasi tertinggi (R2)
c. Analisis kuantitatif lemak tikus dalam formulasi bakso
Analisis kuantitatif lemak tikus pada sampel bakso yang mengandung 100%
daging tikus, 100% daging sapi dan campuran keduanya dilakukan dengan regresi
partial least square (PLS). Daerah bilangan gelombang yang digunakan untuk
analisis kuantitatif dipilih berdasarkan kemampuan untuk menawarkan model
prediksi terbaik untuk hubungan antara nilai aktual dan nilai prediksi FTIR lemak
tikus dalam formulasi bakso. Akhirnya bilangan gelombang 750-1000 cm-1
digunakan untuk analisis kuantitatif. Bilangan gelombang ini memberikan
koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai terendah dari root mean square error
of kalibrasi (RMSEC) dan root mean square error of prediksi (RMSEP).
Gambar 2 menunjukkan hubungan antara nilai aktual lemak tikus (sumbu x) dan
nilai hitung FTIR (sumbu y) dengan nilai R2 dan RMSEC masing-masing sebesar
0,993 dan 1,79% (berat/berat). Selanjutnya, model kalibrasi ini digunakan untuk
prediksi sampel validasi. R2 dan RMSEP yang diperoleh berturut-turut adalah
0,994 dan 0,90% (v/v). Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa
spektroskopi FTIR pada bilangan gelombang 750–1000 cm−1 berbantuan model
kalibrasi PLS dapat memberikan hasil yang akurat (R2 tinggi) dengan kesalahan
rendah (RMSEC dan RMSEP rendah) untuk penentuan daging tikus. dalam
formulasi bakso
d. Klasifikasi bakso yang mengandung lemak tikus dan lemak sapi
Bakso dengan 100% daging tikus dan 100% daging sapi diklasifikasikan
menggunakan chemometrics of principal component analysis (PCA). PCA adalah
teknik pengenalan pola tanpa pengawasan yang banyak digunakan untuk
klasifikasi sampel yang berbeda. Daerah bilangan gelombang untuk PCA juga
dioptimalkan. Akhirnya, bilangan gelombang yang sama yang digunakan untuk
analisis kuantitatif, yaitu 750-1000 cm-1, dipilih untuk pemodelan PCA karena
kemampuannya untuk memberikan pemisahan yang baik di antara sampel yang
dievaluasi. Gambar 3 menunjukkan plot skor PCA lemak tikus dan lemak sapi
dalam bakso, yang mewakili proyeksi sampel yang ditentukan oleh komponen
prinsip pertama (PC 1) dan komponen prinsip kedua (PC 2). Dengan proyeksi ini,
bakso dengan 100% daging tikus dan 100% daging sapi terpisah dengan baik,
artinya PCA dapat memenuhi klasifikasi antar sampel.
Plot skor PCA merupakan variabel laten. Sampel dengan nilai PC yang
sama memiliki komposisi kimia yang mirip dan sebagainya. Sampel komersial
yang digunakan dalam penelitian ini yang diwakili oleh S(a), S(b), S(c), dan S(d)
memiliki profil yang berbeda. Plot skor sampel komersial S(a) dan S(b) lebih dekat
dengan bakso sapi, sehingga dapat disimpulkan bahwa S(a) dan S(b) adalah bakso
sapi. Namun plot skor sampel S(c) dan S(d) jauh dari bakso dengan 100% lemak
sapi dan 100% bakso daging tikus. Dengan demikian, PCA gagal
mengklasifikasikan apakah sampel S(c) dan S(d) adalah bakso sapi atau bakso
tikus. Ada juga kemungkinan bahwa sampel S(c) dan S(d) berasal dari bakso yang
terdiri dari daging yang berbeda.
2.5 Kesimpulan
Spektroskopi FTIR yang dikombinasikan dengan PLS dan PCA pada bilangan gelombang
750–1000 cm−1 berhasil digunakan untuk analisis kuantitatif daging tikus dalam formulasi
bakso. Nilai R2 dan RMSEC yang diperoleh untuk kuantifikasi masing-masing adalah
0,993 dan 1,79%. PCA berhasil digunakan untuk klasifikasi daging tikus dan daging sapi
dalam formulasi bakso. Metode spektroskopi FTIR cepat, mudah dalam penyajian sampel
dan tidak melibatkan persiapan sampel yang ekstensif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Spektrofotometri ini berdasar pada penyerapan panjang gelombang infra merah.
Spektrum infra merah berguna untuk mendeteksi adanya gugus fungsi dalam senyawa
organik. Daerah di bawah frekuensi 650 cm-1 dinamakan infra merah jauh. Sedangkan
daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 dinamakan infra merah dekat. Monokromator terdiri
dari celah masuk dan celah keluar yang berupa kisi difraksi atau prisma. Detektor panas
digunakan untuk mendeteksi sinar infra merah.
Spektrum infra merah mengandung banyak serapan yang berhubungan dengan
sistem vibrasi yang berinteraksi dalam suatu molekul memberikan pita-pita serapan yang
berkarakteristik dalam spektrumnya. Corak pita ini disebut sebagai daerah sidik jari. Pada
spektro IR meskipun bisa digunakan untuk analisa kuantitatif, namun biasanya lebih
kepada analisa kualitatif. Umumnya spektro IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus
fungsi pada suatu senyawa, terutama senyawa organik.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh data kata sempurna oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya bias lebih baik lagi, atas perhatiannya penulis ucapkan
terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Bassler. 1986, Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, edisi keempat, Erlangga, Jakarta
Gunawan, Budi dan Citra Dewi A,. 2005. Karakterisasi Spektrofotometri I R Dan Scanning
Electron Microscopy (S E M) Sensor Gas Dari Bahan Polimer Poly Ethelyn Glycol (P
E G). ISSN 1979-6870
Khopkar SM. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Kristianingrum, Susila..200. Handout Spektroskopi Infra Merah. Jogjakarta
Rahmania, H., & Rohman, A. (2015). The employment of FTIR spectroscopy in combination with
chemometrics for analysis of rat meat in meatball formulation. Meat science, 100, 301-305.

Anda mungkin juga menyukai