Anda di halaman 1dari 60

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk yang akan membahayakan bagi pasien bisa saja terjadi sehingga diperlukan peran penting perawat dalam setiap tindakan pembedahan dengan melakukan intervensi keperawatan yang tepat untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis (Rondhianto, 2008) Sebelum pemulangan pasien dan keluarganya harus mengetahui bagaimana cara memanejemen pemberian perawatan di rumah dan apa yang diharapakan di dalam memperhatikan masalah fisik yang berkelanjutan karena kegagalan untuk mengerti pembatasan atau implikasi masalah kesehatan (tidak siap menghadapi pemulangan) dapat menyebabkan peningkatan komplikasi pada pasien (Perry & Potter, 2006). Ketidaksiapan pasien menghadapi pemulangan juga dapat terjadi karena pasien terlalu cepat dipulangkan sehingga hal ini juga beresiko terhadap terjadinya komplikasi pasca bedah setelah di rumah dan juga dikarenakan pemulangan yang tidak direncanakan yang dapat berakibat kepada hospitalisasi ulang (Torrance, 1997) Ada berbagai macam jenis pembedahan, salah satunya

Appendictomy. Pembedahan untuk mengambil apendic disebut apendictomy, dan ini dilakukan jika peradangan tanpa adanya rupture (Reeves, 1999). Apendictomy dilakukan segera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi

2
(Smeltzer, 2001). Setelah tindakan pembedahan, abdomen memiliki resiko untuk terjadinya infeksi akibat terjadinya stres yang sangat serius kepada tubuh. Sistem imun tubuh menjadi lemah dan fungsi gastrointestinal berubah sehingga menyebabkan status nutrisi insuffiensien (Noname, 2004). Andra (2007) menyatakan pasca pembedahan abdomen dengan etiologi non infeksi insiden terjadinya kurang dari 2% pasca pembedahan untuk penyakit inflamasi tanpa perforasi (misalnya Appendicytis, diverticulitis, kolesistitis). Oleh karena itu perlu diberikan informasi kepada pasien agar mampu mengenali tanda bahaya untuk dilaporkan kepada tenaga medis. Data tentang kasus appendic dari tahun ke tahun meningkat di RSUD Syamrabu Bangkalan. Tahun 2010 angka kejadian Post op Apendictomy 315 pasien sedangkan tahun 2011 Meningkat mencapai 415 pasien. Idealnya pasien siap dalam menghadapi pemulangan, tetapi berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti dari 15 pasien post op appendictomy terdapat 66% pasien yang tidak siap menghadapi pemulangan (tanpa dilakukan discharge planning). Hal ini menunjukkan masih tingginya angka ketidaksiapan pasien Appendictomy menghadapi pemulangan. Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Willams (2006) bahwa mayoritas pasien yang menerima informasi tentang nyeri dan manajemen luka, aktivitas, nutrisi, dan komplikasi pada umumnya merasakan bahwa tidak mengalami perasaan khawatir yang membuat mereka akan mengadakan kunjungan tidak rutin ke fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. Sedangkan pasien yang tidak mendapat informasi tentang nyeri dan manajemen luka menurut William (2006) mengalami kekhawatiran yang post op

3
memaksa mereka untuk melakukan kunjungan tidak rutin kepada suatu fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. Vaughan dan Taylor (1988 dalam Torrance 1997) dalam penelitian juga menemukan bahwa pasien post op appendictomy mengalami defisiensi dalam hal mandi, berpakaian, diet, buang air besar, serta dalam hal aktifitas seksual setelah mereka dipulangkan. Oleh karena itu pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi pemulangan Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa intervensi keperawatan diri sebagai akibat dari adanya keterbatasan. Salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah discharge planning (perencanaan pemulangan pasien) untuk mempromosikan tahap kemandirian tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan, memandirikan aktivitas perawatan diri ( The Royal Marsden Hospital 2004). Discharge planning yang tidak baik dapat menjadi salah satu faktor yang memperlama proses penyembuhan di rumah (Wilson-Barnett dan Fordham, 1982 dalam Torrace, 1997. Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan Rumah Sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Mengingat pentingnya dilakukan discharge planning terhadap pasien post op appendictomy, peneliti merasa tertarik untuk menyelidiki bagaimana perbedaan kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi

pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning. Secara khusus dalam hal ini peneliti ingin meneliti Perbedaan Kesiapan Post Op

4
Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. Mengingat rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan sehingga kemungkinan banyak ditemukan kasus Post Op Appendictomy.

1.2 Identifikasi Penyebab Masalah Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaksiapan pasien Post Op Appendictomy dalam menghadapi pemulangan yaitu : Faktor Internal : - Pendidikan - Pengetahuan - Pengalaman __-- Perawatan diri yang Kurang Faktor Eksternal : - Lingkungan - Informasi yang kurang - Sistem Keperawatan

Masih tingginya angka kejadian ketidaksiapan pasien post op appendictomy menghadapi pemulangan

Gambar 1.1 Identifikasi Masalah

1.2.1

Faktor Internal : a. Pendidikan Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup. Ki Hajar Dewantara dalam Hasbullah (2005). Sehinga semakin

5
tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula tingkat Kesiapan Pasien menghadapi Pemulangan. b. Pengetahuan. Pendapat dari WHO (1992) bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, selain itu juga dari guru, orang tua, buku, dan media masa. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Tingkat pengatahuan yang luas akan mempengaruhi Kesiapan Pasien menghadapi Pemulangan. c. Pengalaman Pengalaman adalah kejadian yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung dsb) baik yang sudah lama atau baru saja terjadi. Jadi jika ada pasien berpengalaman riwayat post operasi, maka pasien akan lebih siap menghadapi pemulangan. d. Perawatan Diri yang kurang Orem (2001, dalam Alligood dan Tomey, 2006) mengatakan bahwa defisiensi perawatan diri merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum di mana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan. Keperawatan dibutuhkan seseorang pada saat tidak mampu atau terbatas untuk melakukan self carenya secara terus menerus. 1.2.2 Faktor Eksternal : a. Lingkungan

6
Lingkungan adalah sesuatu yang berada di luar atau sekitar mahluk hidup. Lingkungan yang kurang nyaman akan menyebabkan ketidaksiapan pasien post op appendectomy menghadapi pemulangan. b. Informasi yang kurang. Dengan kurangnya informasi tentang penting personal hygine, keluarga pasien dan pasien mengangap remeh kebersihan, sehingga menyebabkan luka infeksi. Sehingga menyebabkan ketidaksiapan pasien post op appendictomy menghadapi pemulangan. c. Sistem Keperawatan Orem (1985 dalam Basford, 2006) menjelaskan system keperawatan sebagai Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan ketika perawat menghubungkan satu sejumlah cara membantu pasien dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang dibawah perawatan yang di arahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terpeutik orang tersebut atau untuk mengatur perawatan diri mereka 1.3 Batasan Masalah Apakah ada Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan.

1.4 Rumusan Masalah Apakah ada Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan?

7
1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. 1.5.2 Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki tujuan khusus untuk : a. Mengidentifikasi Tingkat Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. b. Mengidentifikasi Tingkat kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. c. Untuk menganalisis tingkat Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan.

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Bagi Responden

8
Dapat membantu pasien terutama pasien post op appendictomy dalam menghadapi pemulangan. Sehingga mempercepat proses

penyembuhan luka post op appendictomy. 1.6.2 Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk RSUD Syamrabu dalam meningkatkan asuhan keperawatan khususnya pemberian discharge Planning yang dilakukan perawat terhadap kesiapan pasien post op appendictomy menghadapi pasien pulang. 1.6.3 Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh institusi pendidikan dalam pemberian materi Perbedaan Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning. 1.6.4 Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai masukan untuk meningkatkan pemahaman tentang

Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori 2.1.1 Konsep Dasar Appendicytis Akut Pada pembahasan konsep dasar appendicytis akut ini akan membahas tentang anatomi appendicytis, etiologi appendicytis, insiden appendicytis, patofisiologi terjadinya appendicytis , tanda dan gejala appendicytis, komplikasi appendicytis, penatalaksanaan appendicytis akut, apendictomy, perawatan Post Op Appendictomy a. Anatomi Appendic Appendic vermiformis merupakan sisa apeks sekum yang pada manusia fungsinya tidak diketahui. Appendic merupakan tabung yang panjang dan sempit (sekitar 6 sampai 9). Pada Appendic ini terdapat arteria apendikularis yang merupakan end-artery (Price, 2005). Appendic panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katub ileosekal (Smeltzer, 2001). Pada posisinya yang normal, Appendic terletak pada dinding abdomen dibawah titik Mc. Burney. Titik Mc. Burney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilicus. Titik tengah garis ini merupakan pangkal apendiks (Price, 2005)

b. Etiologi

10
Penyebab utama apendiks adalah obstruksi yang dapat disebabkan oleh hyperplasia dari folikel limfoid merupakaan penyebab terbanyak, selain itu penyebab apendisitis yang lain yaitu: Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya (Mansjoer, 2005). 1) 2) Keganasan (karsinoma atau karsinoid) (Sjamsuhidayat, 2005) Cacing

Cacing arkaris dapat pula menyebabkan sumbatan lumen apendisk sehingga terjadi radang karena infeksi dari cacing askaris

(Sjamsuhidayat, 2005). 3) Bakteri.

Bakteri yang dapat menimbulkn terjadinya apendisitis adalah E.Coli dan Streptococcus, bakteri ini sering di temukan dalam apendisk yang meradang. Bakteri ini terdapat dalam usus yang normal tetapi karena ada di dalam apendisk bakteri ini dapat menyebabkan kebocoran yang akan menyebabkan perforasi (Schwartz, 1999). 4) Makanan rendah serat.

Kebiasaan makan makanan yang rendah serat dan pengaruh konstipasi dapat menyebabkan apendisitis dimana serat dapat di temukan dalam biji-bijian, sayur-sayuran, kacang merah dan buah-buahan yang kurang di konsumsidalam menu makanan sehari-hari. Makanan rendah serat dapat menyebabkan konstipasi yang akan menaikkan tekanan instrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendisk dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Makanan rendah serat

11
menghasilkan feses yang keras dan kering yang di sebut fekolit (Ganong, 2002). 5) Parasit.

Parasit golongan Entamoeba Hystolitica mengorosi mukosa apendiks kemudian menyebabkam peradangan apendiks (Sjasuhidayat, 2005). 6) Virus.

Cytomegalovirus juga berhubungan dengan apendisitis telah di laporkan pada pasien AIDS (Schwartz, 1999). c. Insiden Apendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi. Walapun apendisitis dapat terjadi pada semua usia, namun paling sering pada orang dewasa muda (Price, 2005). Insiden apendisitis akut de Negara maju adalah tinggi dari pada di Negara berkembang, namun dalam tiga dawarsa trakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari suatu penurunan dari 100 kasur per 100.000populasi menjadi 52 kasur per 100.000 populasi dari tahun 19751991 (Schwartz, 1999). Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahuninsiden laki-laki lebih tinggi. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu jarang dilaporkan, mungkin karena tidak diduga . insiden tertinggi pada umur 20-30 tahun, setelah itu menurun (Sjansuhidayat, 2005).

d. Patofisiologi

12
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel infloid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosisakibat peradangan sebelimnya atau neoplasma. Obstruksi menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan, makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan

menghambataliran life yang mengakibatkanedema, diapedesisbakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang di tandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat sehingga akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul luas mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulakn nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran ateri terganggu akan terjadi infrak dinding apendiks yang diikuti dengan ganggrene, stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah akan terjadi apendisitis perforasi bila proses semua diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul satu massa local yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjouer, 2000).

e.

Tanda dan gejala apendisitis

13
Gejala awal berupa nyeri abdominal jenis visceral yang disebabkan oleh peningkatan tekanan didalam lumen apendiks biasanya menetap dan kontinyu, tetapi tidak parah dan sering pasien menganggap masalah ini sebagai salah cerna (Marllrath, 1994). Nyeri ini terpusat dalam umbilikus, tidak menyebar dan tidak bertambah berat bila pasien melakukan pegantian posisi makan, kencing, atau buang air besar.sifat nyeri adalah konstan. Muntah selalu terjadi pada pasien usia muda sedangkan pada pasien usia dewasa biasanya tidak ada keluhan ini. Pada umumnya apendisitis akan melaporkan adanya mual dan hilangnya nafsu makan (Norton et al, 2000). Anoreksia begitu sering timbul sehingga ada rasa lapar hendaknya menimbulakan kecurigaan besar pada diagnosis pada apendisitis akut. Mual dan munta terjadi pada 50 sampai 60 persen kasus. Urutan gejala khas (lokasi nyeri perlumbilikus disertai dengan mual dan muntah dengan pengalihan nyeri secara berangsur pada kuandran kanan bawah) terjadi hanya pada 50 sampai 60 persen pasien. Tanda-tanda yang terjadi suhu badan biasanya normal atau ringan 37,2 C sampai 38C (99C sampai 100,5F), namun suhu badan diatas 38,3C (101F) hendaknya selalu memberi kesan timbulnya perforasi.

Pemeriksaan laboratorium tidak menegakkan diagnosis karena yang terakhir didasarkan pada alas an klinis. Meskipun leukositosis sedang dengan jumlah sel 10.000 sampai 18.000 permikoliter sering didapat (seiring dengan pergeseran kearah sel imatur), tidak terdapatnya leukositosis tidak meniadakan kemungkinan apendisitis akut

(Isselbaacher, 2000). Rovsings sign positif bila kita berikan tekanan pada

14
kuandran bawah kiri abdomen akan memberikan nyeri pada sisi kanan dari perut (Sjamsuhidayat, 2005). f. Pemeriksaan Temuan fisik klasik adalah adanya nyeri tekan setempat disekeliling titik Mc. Burney. Pemeriksaan laboratorium minimal (hitung darah lengkap dengan hitung jenis, analisis unire) atau pemeriksan radiografis (radiogram dada dan atau abdomen) diperlukan untuk mendukung menyingkirkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien pada riwayat atau temuan fisik yang atypical dan dan pada pasien dengan penyulit penyakit sitemik, pemeriksaan diagnostik lebih lanjut seperti sonografi abdomen, enema barium atau tomografi kompter (CT) abdomen dapat

membuktikan adanya peradangan atu abses. g. Penatalaksanaan Apendisitis Akut Bila dicurigai apendisitis, hindari pemakaian katartik atau enema dan antibiotik sebaiknya jangan diberikan bila diagnosis masih diragukan karena antibiotik akan menutupi tanda-tanda berkembangnya perforasi. Pengobatannya adalah operasi sedini mungkin dan apendektomi segera setelah pasien dipersiapkan (Isselbaacher, 2000). Hidrasi yang adekuat harus dipastikan, abnormalitas elektrolit harus dikoreksi serta data tentang kondisi jantung, paru-paru dan ginjal sebelumnya harus dipastikan (Schwartz, 1999). Apendektomi (pembedahan untuk

mengangkat apendiks) dilakukan segera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anestesi naming atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopik, yang

15
merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Smeltzer, 2001). Ada tiga alsan untuk mengambil apendiks meskipun terlihat normal, pertama adalah adanya skar (bekas luka operasi) dan riwayat eksplorasi untuk diagnosis dapat digunakan sebagai petunjuk kepada pemberi pelayanan dimasa datang bawah apendiks sudah diambil, keedua jika nyeri timbul lagi, maka pengambilan apendiksw mengalami kesalahan diagnosis dan yang ketiga yaitu meskipun apendiks terlihat normal, perubahan infeksi dini intramural atau serosal (dapat disebut periapendisitis telah terbukti terjadi 25%-50% pada evaluasi mikroskopik atau terjadi pembentukan sitokin infeksi) (Norton et al, 2000). h. Appendictomy Pembedahan untuk mengambil apendiks disebut apendicktomy, ini dilakukan jika peradangan tanpa adanya rupture (Reeves, 1999). Apendektomi dilakukan segera mungkinuntuk mennurunkan resiko perforasi (Smeltzer, 2001). Indikasi apendektomi antara lain apendisitis akut, apendisitis sub akut, massa periapendikuler, apendisitis perforata, apendisitis kronis (Wibowo, 1993).

Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum dilakukan pembedahan antara lain (Wibowo, 1993). a. Pasien harus dipuasakan selama 4 atau 5 jam sebelum operasi. b. Pemberian antibiotika (spectrum luas). Jika ada peritonitis, perlu kateter.

16
c. Pemberian premedikasi anestesi. d. Mempersiapkan lapangan pembedahan dengan membersihkan

(mencuci) dan jika perlu dicukur. e. Ada beberapa cara apendektomi yang secara teknik operatif mempnyai keuntungan dan kerugian, namun teknik yang sering digunakan adalah inisi pada Mc Burney melalui sreat ototoblige internal, kemudian memisahkan serat otot abdominis trasversa masuk kedalam abdomen melalui peritoneum parietal. Ketika apendiks dapat diidentifikasi maka apendiks dipotong mendekati dasar dan sisa apendiks dimasukkan ini kedalam paling lumen sering sekum ( Norton karena

etal,2000).Teknik

digunakan

keuntungannyatidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapengan operasi terbatas, sulit dperluas dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotongotot secara tajam (Mansjoer, 2000).

i. Perawatan Pasca Appendictomy. Pada pasca operasi, pasien ditempatkan pada posisi semi fowler, posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen yang membantu mengurangi nyeri. Opioid, biasanya sulfat morfin, diberikan untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral biasanya diberikan bila

17
mereka dapat mentoleransi, pasien yang mengalami dehidrasi sebelum penbedahan diberikan cairan secara intravena. Makanan dapat diberikan secara bertahap dari mulai bentuk cair,saring, lunak, dan biasa. Apabila apendektomi tidak mengalami komplikasi, pasien dapat dipulangkan pada hari itu juga bila suhu dalam batas normal dan area operasi terasa nyaman (Smeltzer, 2000). Pada kasus yang tidak ada komplikasi, pasien dapat minum cairan dan kemudian makan makanan yang padat secepatnya jika pasien merasa bisa makan dan rencana pemulangan dapat dilakukan dalam 24 sampai 48 jam (Norton et al, 2000). Intervensi keperawatan setelah operasi, pasien harus dimonitor adanya distensi abdomen dan kembalinya bising usus.

2.1.2 Konsep Dasar Discharge Planning Kozier (2004) mendefinisikan disharge planning sebagai proses mempersiapkan pasien untuk meninggalkan suatu unit pelayanan kepada unit yang lain di dalam atau diluar suatu agen pelayanan kesehatan umum. Sedangkan Jackson (1994, dalam The Royal Marsden Hospital, 2004) menyatakan bahwa discharge planning merupakan proses mendifisikasi kebutuhan pasien dan perencanaannya dituliskan untuk memfasilitasi keberlanjutan suatu lingkungan ke lingkungan lain. Rondhianto (2008) mendefinisikan discharge planning sebagai merencanakan kepulangan pasien dan memberkan informasi kepada klien dan keluarganya tentang hal hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan kondisi

18
penyakit pasca bedah. Discharge planning sebaiknya dilakukan sejak pasien diterima disatu agen pelayanan kesehatan, terkhusus dirumah sakit dimana tentang waktu pasien untuk menginap semakin diperpendek. Discharge planning yang efektif seharusnya mencakup pengkajian berkelanjutan untuk

mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang berubah-ubah, peryataan diagnose keperawatan, perencanaan untuk

memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan (Kozier, 2004). a. Pemberi Layanan Discharge planning Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan multidisplin, mencakup semua pemberi layanan kesehatan yang terlibat dalam memberi layanan kesehatan kepada pasien (Perry & Potter, 2006). Discharge planning tidak hanya melibatkan pasien tapi juga keluarga, temen-temen, serta pemberi layanan kesehatan dengan catatan bahwa pelayanan kesehatan dan social bekerjasama (Nixon et al, 1998 dalam The Royal Marsden Hospital, 2004). Seseorang yang merencanakan pemulangan atau koodinator asuhan berkelanjutan (continuning care coordinator) adalah staf rumah sakit yang berfungsi sebagai konsultan untuk proses discharge planning bersama dengan fasilitas kesehatan, menyediakan pendidikan kesehatan, dan memotivasi staf rumah sakit untuk merencanakan dan mengimplementasikan discharge planning (Discharge Planning association, 2008).

19
b. Penerima Discharge planning Semua pasien yang di hospitalisasi memerlukan discharge planning (Discharge Planning association, 2008). c. Tujuan Discharge Planning Discharge planning bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik untuk mempertahankan atau mencapai fungsi maksimal setelah pulang (Capernito,1999). Juga bertujuan memberikan pelayanan terbaik untuk menjamin keberlanjutan asuhan berkualitas antara rumah sakit dan komunitas dengan memfasilitasi komunikasi yang efektif (Discharge planning association, 2008). The Royal Marsden Hospital (2004) menyatakan bahwa tujuan dilakukannya discharge planning antara lain untuk mempersiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan psikologis untuk di transfer ke rumah atau ke suatu lingkungan yang dapat disetujui, menyediakan informasi tertulis dan verbal kepada pasien dan pelayanan kesehatan untuk mempertemukan kebutuhan mereka dalam proses pemulangan, memfasilitasi proses perpindahan yang nyanan dengan mestinya semua fasilitas pelayanan kasehatan yang diperlukan telah dipersiapkan untuk menerima pasien, mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan, memandirikan aktifitas perawatan diri. d. Prinsip Discharge Planning Ketika melakukan discharge planning dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain, ada beberapa prinsip yang harus

20
diikuti/diperhatikan. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dilakukan oleh The Royal Marsden Hespital (2004), yaitu: 1) Discharge Planning harus merupakan proses multidisiplin, dimana

sumber-sumber untuk mempertemukan kebutuhan pasien dengan pelayanan kesehatan ditempatkan pada satu tempat. 2) Prosedur discharge planning harus dilakukan secara konsisten

dengan kualitas tinggi pada semua pasien. Kebutuhan pemberi asuhan (care giver) juga harus dikaji. Pasien harus dipulangkan kepada suatu lingkungan yang aman dan akurat. 3) Keberlanjutan perawatan antar lingkungan harus merupakan hal

yang terutama. 4) Informasi tentang penyusunan pemulangan harus diinformasikan

antar tim kesehatan dengan pasien/care giver, dan kemampuan terakhir disediakan dalam bentuk tertulis tentang perawatan berkelanjutan. 5) Kebutuhan atas kepercayaan dan budaya pasien harus

dipertimbangkan ketika menyusun discharge planning.

e.

Proses Pelaksanaan Discharge Planning Perry dan Potter (2005) menyusun format discharge planning sebagai berikut:

1. Pengkajian a) Sejak pasien masuk, kaji kebutuhan pemulangan pasien dengan menggunakan Riwayat keperawatan, berdiskusi dengan pasien care

21
giver, fokus pada pengkajian berkelanjutan terhadap kesehatan fisik pasien, status fungsional, system pendukung social,sumber finasial , nilai kesehatan, latar belakang budaya dan etnis, tingkat pendidikan, serta rintangan terhadap perawatan. b) Kaji kebutuhan pasien dan keluarga terhadap pendidikan berhubung dengan bagaimana menciptakan terapi di

kesehatan

rumah, pengunaan alat-alat medis di rumah, larangan sebagai akibat ganguan kesehatan, dan kemungkinan terjadinya komplikasi. Kaji cara pembelajaran yang lebih diminati pasien (seperti membaca, menonton video, mendengarkan petunjuk-petunjuk). Jika materi pendidikan yang berbeda-beda dapat mengefektifkan cara

pembelajaran yang berbeda pada pasien. c) Kaji bersama-sama dengan pasien dan keluarga terdapat

setiap faktor Lingkungan di dalam rumah yang mungkin menghalangi dalam perawatan diri seperti dalam ukuran ruangan, kebersihan jalan menuju pintu, lebar jalan, fasilitas kamar mandi, ketersediaan alat-alat yang berguna (seorang perawat perawatan di rumah dapat di rujuk untuk membantu dalam pengkajian). d) Berkolaborasi dengan dokter dan staf pada profesi lain

(seperti dokter pemberi terapi) dalam mengkaji kebutuhan untuk rujukan kepada pelayanan perawatan rumah yang terlatih atau fasilitas perawatan yang lebih luas. e) Kaji persepsi pasien dan keluarga terhadap keberlanjutan

perawatan kesehatan di luar rumah sakit. Mencakup pengkajian

22
terhadap kemampuan keluarga untuk mengamati care giver dalam memberikan perawatan kepada pasien. Dalam hal ini sebelum mengambil keputusan, mungkin perlu berbicara secara terpisah dengan pasien dan keluarga untuk mengetahui kekhawatiran yang sebenarnya atau keraguan diantara keduanya. f) Kaji penerimaan pasien terhadap masalah kesehatan

berhubungan dengan pembatasan. g) Konsultasikan tim pemberi layanan kesehatan yang lain

tetang kebutuhan setelah pemulangan (seperti ahli gizi, pekerja sosial, perawat klinik spesialis, perawat pemberi perawatan kesehatan di rumah) tentukan kebutuhan rujukan pada waktu yang berbeda. 2. Diagnosa keperawatan Penentuan diagnosa keperawatan secara khusus bersifat individual berdasarkan kondisi atau kebutuhan pasien. Adapun diagnosa keperawatan yang dapat di tegakkan antara lain : 1). Kecemasan Hal ini dapat menginterupsi proses keluarga.

2). Tekanan terhadap care giver. Hal yang menyebabkannya adalah ketakutan. 3).Kurang pengetahuan terhadap pembatasan perawatan di rumah. Pasien mengalami defisit perawatan dari dalam hal makan, toileting berpakain, mandi dan kebersihan.

23
4). Stres sindrom akibat perpindahan. Hal ini berhubungan dengan upaya meningkatkan pertahan/pemiharaan di rumah. 3. Perencanaan Hasil yang diharapkan jika seluruh prosedur telah lengkap dilakukan adalah sebagai berikut : a) Pasien atau keluarga sebagai care giver mampu menjelaskan

bagaimana keberlangsungan pelayanan kesehatan di rumah (fasilitas lain), penatalaksanaan atau pengobatan apa yang dibutuhkan, dan kapan mencari pengobatan akibat masalah yang di timbul. b) Pasien mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan diri

(atau anggota keluarga mampu melakukan aturan perawatan ). c) Rintangan kepada pergerakan pasien dan ambulasi telah

diubah dalam setting rumah. Hal-hal yang dapat membahanyakan pasien akibat kondisi kesehatannya telah diubah.

4. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari pemulangan, dan penatalaksanaan yang dilakukan pada hari pemulangan. 1) Persiapan sebelum hari pemulangan pasien

24
a. Menganjurkan cara untuk merubah keadaan rumah demi

memenuhi kebutuhan pasien. b. Mempersiapkan pasien dan keluarga dengan memberikan

informasi tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan komunitas. Rujukan dapat dilakukan sekalipun pasien masih di rumah. c. Setelah menentukan segala hambatan untuk belajar serta

kemauan untuk belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan pasien dan keluarga secepat mungkin selama dirawat di rumah sakit

(seperti tanda dan gejala terjadinya komplikasi, kepatuhan terhadap pengobatan, kegunaan alat-alat medis, perawat lanjutan, diet, latihan pembatasan yang disebabkan oleh penyakit atau pembedahan). d. Komunikasikan respon pasien dan keluarga terhadap

penyuluhan dan usulan perencanaan pulang kepada anggota tim kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien. 2) Penatalaksanaan pada hari pemulangan Jika beberapa aktifitas berikut ini dapat dilakukan sedelum hari pemulangan,perencanaan yang dilakukan akan lebih efektif. Adapun aktifitas yang dilakukan pada hari pemulangan antara lain : a. Biarkan pasien dan keluarga bertanya dan diskusikan isu-isu

yang berhubungan dengan perawat di rumah. Kesempatan terakhir untuk mendemonstrasikan kemampuan juga bermanfaat. b. Periksa instruksi pemulangan dokter, masukkan ke dalam

terapi, atau kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus. (Instruksi harus ditulis sedini mungkin) Persiapkan kebutihan dalam perjalanan

25
dan sediakan alat-alat yang dibutuhkan sebelum pasien sampai di rumah (seperti tempat tidur rumah sakit, oksigen, feeding pump). c. Tentukan apakah pasien dan keluarga telah dipersiapkan

dalam kebutuhan transportasi menuju ke rumah. Tawarkan bantuan untuk memakaikan baju pasien dan mengepak semua barang milik pasien. Jaga privasi pasien sesuai kebutuhan. Periksa seluruh ruang dan laci untuk memastikan barang- barang pasien. d. Dapatkan daftar pertinggal barang-barang berharga yang

telah ditandatangan oleh pasien, dan instruksikan penjaga atau administrator yang tersedia untuk menyampaikan barang-barang berharga kepada pasien. e. Persiapkan pasien dengan prescription atau resep pengobatan

pasien sesuai dengan yang diinstuksikan oleh dokter. Lakukan pemeriksaan terakhir untuk kebutuhan informasi atau fasilitas pengobatan yang aman untuk administrasi diri. f. Berikan informasi tentang petunjuk untuk janji follow up ke

kantor dokter. Hubungi kantor agen bisnis untuk menentukan apakah pasien membutuhkan daftar pengeluaran untuk kebutuhan

pembayaran. Anjurkan pasien dan keluarga mengujungi kantornya. g. Dapatkan kotak untuk memindahkan barang-barang pasien.

Kursi roda untuk pasien yang tindak mampu ke mobil ambulans. Pasien yang pulang dengan menggunakan ambulans. h. Bantuan pasien menuju kursi roda digunakan sikap tubuh

dan teknik pemindahan yang sopan. Dampingi pasien memasuki unit

26
dimana transportasi yang dibutuhkan sedang menunggu. Kunci roda dari kursi roda. Bantu pasien pindah ke mobil pridadi atau kendaraan untuk trasportasi. Bantu keluarga menempatkan barang-barang pribadi pasien ke dalam kendaraan. Kembali ke bagian, dan laporan waktu pemulangan kepada departemen pendaftaran / penerimaan. Ingatkan bagian kebersihan untuk membersihkan ruangan pasien. 5. Evaluasi Minta pasien dan anggota kelurga menjelaskan tentang penyakit, pengobatan yang dibutuhkan, tanda-tanda fisik atau gejala yang harus dilaporkan oleh dokter Minta pasien atau anggota keluarga

mendemonstrasikan setiap pengobatan yang akan dilanjutkan di rumah. Perawat yang melakukan perawatan rumah memperhatikan keadaan rumah, mengidentifikasi rintangan yang dapat membahayakan bagi pasien, dan menganjurkan perbaikan.

f.

Unsur-Unsur Discharge Planning

Discharge Planning Association (2008) mengatakan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada sebuah formulir perencanaan pemulangan antara lain: 1) Pengobatan di rumah, mencakup resep baru, pengobatan yang

sangat di butuhkan, dan pengobatan yang harus di hentikan. 2) Daftar nama obat harus mencakup nama, dosis, frekuensi, dan efek

samping yang umum terjadi.

27
3) Kebutuhan akan hasil test laboratorium yang dianjurkan, dan

pemeriksaan lain, dengan petunjuk bagaimana memperoleh atau bilamana waktu akan diadakan. 4) Bagaimana melakukan pilihan hidup dan tentang perubahan

aktifitas, latihan, diet makanan yang dianjurkan dan pembatasannya. 5) Petunjuk perawatan diri (perawatan luka, perawatan colostomy,

ketentuan insulin, dan lain-lain). 6) Kapan dan bagaimana perawatan atau pengobatan selanjutnya yang

dihadapi setelah dipulangkan. Nama pemberi layanan, waktu, tanggal, dan lokasi setiap janji untuk control. 7) Apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat dan nomor telepon

yang dihubungi untuk melakukan peninjauan ulang petunjuk pemulangan. 8) Bagaimana pengaturan perawatan lanjutan (jadwal pelayanan

dirumah, perawat yang menjenguk, penolong, pembantu jalan walker, kanul, oksigen, dan lain-lain) beserta nama dan nomor telepon setiap institusi yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan. Swearingen (2000) menyatakan bahwa informasi yang harus diketahui oleh pasien post op appendictomy dan orang terdekat sebelum pemulangan antara lain : 1) Obat-obatan, meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, tindakan

pencegahan, interaksi obat/obat dan makanan/obat, dan potensial efek samping. 2) Pentingnya penatalaksaan diet untuk meningkatkan pemeliharaan

nutrisi dan cairan. Diet yang dianjurkan antara lain : diet normal yang

28
mengikuti semua empat kelompok makanan (daging, telur, dan ikan; buah dan sayuran: susu dan keju; serial dan roti) dan minum cairan yang adekuat (setidaknya 2-3 L/hari). Ingatkan pasien untuk menghindarkan kacangkacangan, buah beri dan makan dengan biji. 3) Perawatan insisi, penggantian balutan, dan izin untuk mandi atau

mandi pancuran jika jahitan sudah diangkat. 4) Pembatasan aktivitas pasca bedah sesuai petunjuk : biasanya

mengangkat benda yang berat( > 4 kg), mendorong, menarik, dan mengedan mengontraidikasikan kira-kira 6 minggu untuk mencegah terjadinya herniasi insisi. Antisipasi kembalali dalam 2 minggu untuk pekerja kantor, dan 6 minggu untuk pekerja buruh. Waspadalah terhadap dan istirahat setelah gejala kelelahan, beristirahatlah semaksimal mungkin, meningkatkan aktivitas secara terhadap sesuai toleransi. 5) Pentingnya melaporkan tanda dan gejala terjadinnya infeksi luka :

kemerahan menetap, dan bengkak, drainaser perulen, hangat lokal, bau busuk, dan nyeri. 6) Pentingnya perawatan lanjutan dengan dokter atau perawat, pastikan

jadwal dan waktu perjanjian berikutnya. g. Cara Mengukur Discharge Planning Sebuah discharge planning dikatakan baik apabila pasien telah dipersiapkan untuk pulang, pasien telah mendapatkan penjelasan-

penjelasan yang diperlukan, serta-serta instruksi-instruksi yang harus dilakukan, serta apabila pasien diantarkan pulang sampai ke mobil atau alat trasportasi lainnya (The Royal Marsden Hospital, 2004). Kesuksesan

29
discharge planning menjamin pasien melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Hal ini dapat dilihat dari kesiapan pasien untuk menghadapi pemulangan, yang diukur dengan kuesioner. h. Kesiapan Pasien Menghadapi Pemulangan Menurut Martisusilo (2007), ada dua komponen dari kesiapan yaitu kemampuan dan keinginan. Kemampuan adalah pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki seorang ataupun kelompok untuk melakukan kegiatan atau tugas tertentu. Sedangkan keinginan berkaitan dengan keyakinan, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan tertentu. Kesiapan merupakan kombinasi dari kemampuan dan keinginan yang berbeda yang ditunjukkan seseorang pada tiap-tiap yang diberikan. Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan pasien menghadapi pemulangan adalah kemampuan yang mencakup pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan serta keinginan yang mencakup keyakinan, komitmen, dan motivasi pasien pasca bedah akut abdomen untuk melkukan aktifitas atau kegiatan yang diajarkan serta dianjurkan oleh perawat dan klinisi lain.Pasien siap menghadapi pemulangan apabila pesien mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktifitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan dirumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). i. Kriteria pemulangan Carpenito (1999) mengatakan bahwa sebelum pulang pasien pasca bedah dan keluarga akan mampu menggambarkan pembatasan aktifitas

30
dirumah, menggambarkan penatalaksaan luka dan nyeri dirumah,

mendiskusikan kebutuha cairan dan nutrisi untuk pemulihan luka, menyebutkan tanda dan gejala yang harus dilakukan pada tenaga kesehatan, serta menggambarkan perawatan lanjutan yang diperlukan. Sedangkan Perry dan Potter (2005) mengatakan bahwa pada saat pulang, pasien harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan sumberyang di butuhkan untuk memenuhiperawatan dirinya. Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien

melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realitis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam prry dan Potter, 2006). Oleh karena itu pasien siap menghadapi pemulangan apabila pasien mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan dirumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Pasien dan keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obat-obatan dan tindakan pengobatan untuk kepulangan, antisipasi perawatan tindaklanjut, dan respons yang diambil pada kondisi kedaruratan (Perry & Potter, 2005) j. Tingkat Kesiapan Martisusilo (2007) membagi tingkat kesiapan berdasarkan kuantitas keinginan dan kemampuan bervariasi dari sangat tinggi hingga sangat rendah, antara lain : 1) a) Tingkat kesiapan 1 (R1) Tidak mampu dan tidak ingin, yaitu tingkatan dan tidak mampu dan

hanya memiliki sedikit komitmen dan motivasi.

31
b) Tidak mampu dan takut, yaitu tingkatan yidak mampu dan hanya

dan hanya memiliki sedikit keyakinan. 2) a) Tingkat kesiapan 2 (R2) Tidak mampu tapi berkeinginan, yaitu tingkatan yang memiliki

sedikit kemampuan tetapi termotivasi dan berusaha. b) Tidak mampu tetapi percaya diri, yaitu tingkatan yang hanya

memiliki sedikit kemampuan tetapi tetap merasa yakin. 3) a) Tingkat kesiapan 3 (R3) Mampu tetapi ragu, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan

untuk melaksanakan suatu tugas tetapi tidak yakin dan khawatir untuk melakukannya sendiri. b) Mampu tetapi tidak ingin, tingkatan yang memiliki kemampuan

untuk melakukan suatu tugas tetapi tidak ingi menggunakan kemampuan tersebut. 4) a) Tingkat kesiapan 4 (R4) Mampu dan ingin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk

melakukan tugas sering kali menyukai tugas tersebut. b) Mampu dan yakin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk

melaksanakan tugas dan yakin melakukannya seseorang diri. k. Model Keperawatan Dorothea Orem Model konseptual Dorothea orem (2001, dalam Alligood & Tomey, 2006) terdiri dari tiga teori yang saling berhubungan, yaitu teori perawatan diri yang menggambarkan mengapa dan bagaimana manusia merawat dirinya sendiri, teori defisit perawatan diri yang

32
menggambarkan dan menjelaskan mengapa manusia dapat di Bantu melalui keperawatan, dan teori system keperawatan yang

menggambarkan dan menjelaskan hubungan yang harus dibawa dan dipertahankan agar keperawatan dapat dihasilkan. 1) Teori Perawatan Diri Perawatan diri sendiri adalah prilaku yang diperlukan secara pribaadi dan berorientasi pada tujuan yang berfokus pada kapasitas individu yang bersangkutan untuk mengatur dirinya dan lingkungan dengan cara sedemikian rupa sehingga ia tetap hidup, menikmati kesehatan dan kesejahteraan, dan berkontribusi dalam perkembangannya (Orem, 19985 dalam Basford, 2006) perawatan diri sendiri dibutuhkan oleh setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Ketika keperawatan diri tidak dapat dipertahankan, akan terjadi kesakitan atau kematian. 2) Teori Defisit Perawatan Diri Orem (2001, dalam Alligood dan Tomey, 2006) mengatakan bahwa defisiensi perawatan diri adalah kesenjangan antara kebutuhan perawatan diri terapautik individu dan kekuatan mereka sebagai agen perawat diri yang mana unsure pokok perkembangan kemampuan keperawatan diri tidak berjajan atau tidak adekuat untuk mengetahuai atau mempertemukan sebagian atau smua komponen yang ada atau membangun kebutuhan semua perawatan diri terapaitik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika seseorang tidak cukup mampu untuk merawat dirinya sendiri berkaitan dengan kesehatannya ia dikatakan

33
menderita defisit perawatan diri (Orem, 1985 dalam Basford, 2006).Oleh karena itu dibutuhkan perawat yang bertindak sebagai agen keperawatan yang berhak membangun hubungan interdersonal untuk melakukan, mencari tahu, dan membantu pasien untuk mempertemukan kebutuhan perawatan diri terapautik mereka dan mengulasi perkembangan atau melatih kemampuan mereka sebagai agen perawatan diri sendiri (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2006). 3) Teori Sistem Keperawatan Orem (1985 dalam Basford, 2006) menjelaskan system keperawatan sebagai Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan ketika perawat menghubungkan satu sejumlah cara membantu pasien dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang dibawah perawatan yang di arahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terpeutik orang tersebut atau untuk mengatur perawatan diri merekaSebagai agen keperawatan, perawat menerapkan system keperawatan yang merupakan tindakan praktek keperawatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan bertahap dengan

berkoordinasi dengan pasien untuk mengetahui dan memenuhi komponen kebutuhan perawatan diri terapeutik pasien mereka dan melindungi dan meregulasi latihan atau perkembangan kemampuan pasien sebagai agen perawat diri sendiri (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2006).

34
Untuk mengetahui apakah pasien dapat berkontribusi dan kontribusi pasien yang harus diberikan perawat, Orem (1985, dalam Basford, 2006) membedakan tiga system keperawatan, yaitu : 1) Suportif-edukatif, yaitu jika pasien mampu melakukan atau belajar

tentang perawatan diri, maka intervensi keperawatan harus dibatasi, misalnya hanya pada pemberian dukungan dan pendidikan. 2) Kompensasi parsial, yaitu pasien memiliki beberapa kemampuan

untuk melakukan perawatn diri tetapi tidak mencapai perawatan diri total jika tidak dibantu, dan perawat harus membantu pasien dalam melakukan tugas-tugas tersebut. 3) Kompensasi total, yaitu yaitu jika pasien secara total tidak dapat

melakukan perawatan diri sendiri, dan perawat harus melkukan semua tugas-tugas tersebut untuk pasien, bahkan dalam hal kebutuhan perawatn diri umum seperti memandikan dan memberi makan pasien. 2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy Menghadapi Pemulangan: a. Faktor Internal: 1) Pendidikan Pendidikan adalah proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan perilaku melalui pengajaran. Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, keluarga atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan masyarakat oleh pelaku pendidikan (Notoadmojo,2003), sehingga semakin tinggi pendidikan semakin mudah dalam menerima informasi

35
sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, demikian sebaliknya rendahnya pendidikan menjadi faktor penyebab

ketidaksiapan pasien menghadapi pemulangan. 2) Pengetahuan Pengetahuan adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, simbul, prosedur tehnik dan teori. Seseorang yang

pengetahuannya rendah maka akan mempengaruhi pada kesiapan menghadapi pemulangan pada pasien post op appendictomy. 3) Pengalaman Pengalaman adalah kejadian yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung dsb) baik yang sudah lama atau baru saja terjadi. Jadi jika ada pasien berpengalaman riwayat post operasi, maka pasien akan lebih siap menghadapi pemulangan. 4) Perawatan Diri yang kurang Orem (2001, dalam Alligood dan Tomey, 2006) mengatakan bahwa defisiensi perawatan diri merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum di mana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan. Keperawatan dibutuhkan seseorang pada saat tidak mampu atau terbatas untuk melakukan self carenya secara terus menerus. b. Faktor Eksternal : 1) Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar area, lingkungan ini berpengaruh terhadap perkembangan dari seseorang atau kelompok

36
(Nursalam,2011). Lingkungan yang kurang nyaman karena tempat terbuka membuat pasien kurang menjaga kebersihan dirinya. 2) Informasi yang kurang. Dengan kurangnya informasi tentang penting personal hygine, keluarga pasien dan pasien mengangap remeh kebersihan, sehingga menyebabkan luka infeksi.

3) Sistem Keperawatan Orem (1985 dalam Basford, 2006) menjelaskan system keperawatan sebagai Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan ketika perawat menghubungkan satu sejumlah cara membantu pasien dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang dibawah perawatan yang di arahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terpeutik orang

tersebut atau untuk mengatur perawatan diri mereka

37

2.2 Kerangka Konsep Input Pasien Post op Appendictomy

Internal:
- Pendidikan - Pengetahuan - Pengalaman - Perawatan diri yang Kurang

Eksternal :
- Lingkungan - Informasi yang kurang - Sistem Keperawatan

Proses

Intervensi Keperawatan

Discharge Planning

Output

Kesiapan Pasien Menghadapi Pemulangan

38

Ket: ------ : Yang tidak diteliti : Yang diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah di Discharge Planning.

Pasien post op appendictomy yang menghadapi kesiapan pulang di pengaruhi oleh dua hal yaitu: 1. Internal Dalam hal ini yang lebih banyak berperan yaitu diri sendiri dimana pendidikan, pengetahuan serta pengalaman serta Perawatan diri yang kurang menjadi hal penting pada pasien post op appendictomy kesiapan pulang. 2. Eksternal Pada faktor eksternal bisa dipengaruhi oleh Lingkungan, Informasi yang kurang dari perawat serta Sistem Keperawatan dukungan. Maka dalam hal ini Peneliti meneliti Intervensi Keperawatan salah satunya yaitu Pemberian Discharge Planning yang diberikan oleh Perawat. Dengan harapan pemberian Discharge Planning yang baik yang dilakukan perawat pada pasien post op Appendictomy akan meningkatkan Kesiapan pulang. menghadapi

2.3 Hipotesis Penelitian

39
Hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara 2 (dua) atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam penelitian. (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ada Perbedaan Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Metode

penelitian

merupakan

cara

bagaimana

penelitian

keperawatan dilakukan meliputi desainnya apa, kerangka kerjanya bagaimana, bagaimana populasinya, sampelnya berapa,bagaimana teknik samplingnya, bagaimana identifikasi variabel dan definisi operasionalnya, bagaimana cara pengumpulan data, bagaimana analisa datanya, apa keterbatasannya dan apa masalah etiknya ( Hidayat, 2003).

3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah desain One group pra-post test design yaitu mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi kemudian diobservasi lagi setelah di intervensi. Dalam hal ini Discharge Planning. Subjek Pre Perlakuan Post Tes

40
K O Waktu 1 I Waktu 2 OI Waktu 3

Keterangan : K-A : Subyek O : Observasi Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dilakukan Discharge Planning. I : Intervensi (Discharge planning) OI : Observasi Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sesudah dilakukan Discharge Planning.

3.2 Kerangka Kerja Populasi : Populasi : Selama Bulan Januari 2012 estimasi Sejumlah 40 pasien post op appendictomy

Sampel 15 orang dengan tehnik non probability Purposive sampling

Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum Discharge Planning.

Dilakukan Discharge Planning

Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sesudah Discharge Planning

Pengumpulan Data

Analisa Data uji Wilcoxon

Penyajian Hasil Penelitian

41

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Perbedaan Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning.

3.3 Identifikasi Variabel Variabel penelitian adalah karakteristik/kondisi oleh yang peneliti di manipulasi, dikontrol atau diobservasi dalam suatu penelitian (Narbukodan Achmadi, 1999). Pada penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu : a. Variabel Independen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variable independennya adalah Discharge Planning. b. Variabel Dependen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya ditentukan oleh variabel lainnya/variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variable dependennya adalah Kesiapan Pasien Pulang. 3.4 Definisi Operasional Definisi operasional merupakan penjelasan dari semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga mempermudah dalam mengartikan penelitian ( Nursalam, 2008)

42

Variabel
Variabel Independen Discharge Planning

Definisi Operasional
Semua tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan berkaitan dengan pengetahuan pasien tentang halhal yang perlu diperhatikan dan dipatuhi pasien setelah berada dirumah dimna tindakan Discharge Planning diberikan mulai dari pasien MRS s.d KRS Kemampuan pasien post op appendictomy untuk menyebutkan pengetahuan (tindakan pengobatan dirumah, tandatanda bahaya, perwatan luka, aktivitas dirumah, diet dirumah, serta perawatan

Alat Ukur
Standar Operasional Discharge Planning

Skala
-

Hasil Ukur
-

Variebel Dependen Kesiapan pasien Menghadapi Pemulangan sebelum Discharge Planning

Kuesioner

Ordinal

-Kesiapan 1 (R1) jika skornya 24-44 -Tingkat kesiapan 2 (R2) jika skornya 45-65 -Tingkat kesiapan 3 (R3) jika skornya 65-85 -Tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya

43
lanjutan) sebelum pasien dipulangkan pada pasien yang sebelum Discharge Planning Kemampuan pasien post op appendictomy untuk menyebutkan pengetahuan (tindakan pengobatan dirumah, tandatanda bahaya, perwatan luka, aktivitas dirumah, diet dirumah, serta perawatan lanjutan) sesudah Discharge Planning 86-108.

Variabel Dependen Kesiapan pasien Menghadapi Pemulangan sesudah discharge planning

Kuesioner

Ordinal

-Kesiapan 1 (R1) jika skornya 24-44 -Tingkat kesiapan 2 (R2) jika skornya 45-65 -Tingkat kesiapan 3 (R3) jika skornya 66-85 -Tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya 86-108. (Skala menurut Martisusilo, 2007)

Tabel 3.2 Definisi Operasional Perbedaan Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan

Discharge Planning. 3.5 Populasi dan Sampel 3.5.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah estimasi seluruh pasien post op apendictomy yang menjalani rawat inap di RSUD Syamrabu Bangkalan sejumlah 40 pasien. Pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Januari 2011. 3.5.2 Besar Sampel Besar Sampel dalam penelitian ini dihitung mengunakan rumus dari Federer sebagai berikut:

44
N= (T-1)(R-1) 15 Keterangan : N = Besar sampel T = Jumlah kelompok R = Repitasi ( Jumlah Intervensi yang diberikan) Besar Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: N = ( T-1) (R-1) 15 = (2-1) (1-1) 15 = 1 15 Karena jumlah sampel 15, maka diambil sampel minimal sebesar 15 orang pada masing-masing kelompok (kelompok control dalam kelompok perlakuan) Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non probability purposive sampling. Kriteria sampel: a. Bersedia menjadi responden penelitian b. Pasien yang tidak mengalami komplikasi penyakit. c. Pasien post op apendictomy yang telah menjalani perawatan di ruang rawat inap lebih dari 2 hari d. Px yang tidak mengalami her opname e. Pria/wanita berusia 18-50 tahun 3.5.3 Sampling Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003). Sampling pada penelitian ini

45
menggunakan Purposive Sampling yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti,sehingga sampel tersebut mewakili karakteristik populasi. 3.6 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di RSUD Syamrabu Bangkalan, mengingat rumah sakit pemerintah, dan merupakan rumah sakit pendidikan yang memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan dilaksanakan selama bulan Februari 2012. 3.7 Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan kuesioner. 3.8 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008). Langkah-langkah dalam pengumpulan data tergantung dari desain penelitian dan tehnik instrumen yang digunakan. Pengumpulan data berupa kuesioner dengan pengisian soal oleh masing-masing orang yang sebelumnya sudah dijelaskan terlebih dahulu. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

46
a. Permohonan izin pelaksanaan penelitian didapatkan dari institusi

pendidikan (PSIK-Ngudia Husada Madura). b. Permohonan izin yang diperoleh dikirim ke tempat penelitian (RSUD Syamrabu Bangkalan). c. Peneliti menghubungi perawat ruangan untuk memperkenalkan calon responden kepada peneliti setelah mendapat izin dari pihak RSUD Syamrabu Bangkalan. Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat penelitian, dan prosedur pengumpulan data. d. Peneliti meminta calon responden menandatangani Informed consent sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden. e. Pada Pre Test, peneliti mengukur tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan dengan membacakan pernyataan-pernyataan yang terdapat di dalam kuesioner untuk dijawab oleh responden. Kemudian peneliti melakukan pengakajian, dan setelah itu peneliti menentukan perencanaan bersama-sama dengan responden dan keluarga. Tindakan pada hari 1 ini dilakukan selama 30 menit. f. Pada hari ke-2, peneliti melakukan intervensi Discharge planning dengan penatalaksanaan yaitu mengadakan sesi pengajaran dengan responden dan keluarga tentang : obat-obatan, tanda-tanda bahaya, perawatan luka di rumah, dan aktivitas di rumah, diet di rumah dan perawatn lanjutan. Tindakan ini dilakukan selama 45 menit.

47
g. Pada Post test, peneliti melakukan evaluasi dan mengukur tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan dengan membacakan kembvali pernyataanpernyataan yang terdapat di dalam kuesioner untuk dijawab responden (post test). Tindakan ini dilakukan selama 35 menit. h. Peneliti mengolah /menganalisa data yang terkumpul. 3.9 Pengolahan Data Setelah angket dari responden terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan cara berikut:

3.9.1 Editing Memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data (Setiadi, 2007). 3.9.2 Coding Mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden kedalam kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban (Setiadi, 2007). Martisusilo (2007) membagi tingkat kesiapan berdasarkan kuantitas keinginan dan kemampuan bervariasi dari sangat tinggi hingga sangat rendah, antara lain : Tingkat kesiapan 1 (R1), Tingkat kesiapan 2 (R2), Tingkat kesiapan 3 (R3), Tingkat kesiapan 4 (R4). 3.9.3 Scoring

48
Adalah penentuan jumlah skor, dalam penelitian ini menggunakan skala ordinal. Kode -Kesiapan 1 (R1) jika skornya 24 - 44, Tingkat

kesiapan 2 (R2) jika skornya 45 - 65, Tingkat kesiapan 3 (R3) jika skornya 65 85, Tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya 86 - 108. 3.9.4 Tabulating Mengelompokkan data kedalam suatu tabel tertentu menurut sifatsifat yang dimiliki. Pada saat dianggap bahwa data telah diproses sehingga harus segera disusun dalam suatu pola format yang telah dirancang (Nursalam, 2008).

3.10

Analisa Data Data yang sudah didapat kemudian di lakukan analisa secara bertahap sesuai tujuan penelitian meliputi: a. Analisa Univariat Analisa ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi tiap-tiap variabel yang akan di teliti dengan menggunakan distribusi frekuensi. Penulisan prosentase hasil penelitian mengacu pada Nursalam (2008) yang dikelompokkan menjadi mayoritas = apabila hasil menunjukkan 90-100%, sebagian besar = 66-89%, lebih dari 50% (51-69). b. Analisa Bivariat (Tabulasi Silang) Analisa bivariat ini menggunakan tabulasi silang untuk memudahkan menentukan distribusi antar dua atau lebih variabel dengan skala data ordinal sehingga mampu digunakan sebagai indikasi awal adanya hubungan

49
asosiasi. Untuk mengetahui Perbedaan Kesiapan pasien post op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah di Discharge Planning. Setelah itu disajikan ke dalam tabel ke dalam tabel tabulasi silang, kemudian dilakukan uji statistik Sign Rank test (Wilcoxon test) dengan tingkat kemaknaan = 0,05 dengan ketentuan apabila p value < , maka H0 ditolak. 3.11 Etika Penelitian Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etika yang harus diperhatikan meliputi : 3.11.1 Right to full disclosure Peneliti akan memberikan penjelasan secara rinci tentang penelitian yang akan di lakukan serta akan bertanggung jawab terhadap subjek penelitian jika ada sesuatu yang terjadi akibat penelitian yang di lakukan. 3.11.2 Lembar Persetujuan (Informed Consent) Setelah responden mengetahui maksud dan tujuan riset, serta dampak yang akan terjadi selama dalam pengumpulan data dan responden bersedia diteliti, mereka harus menandatangani lembar persetujuan menjadi responden, jika subjek menolak peneliti harus menghormati hak-hak klien. 3.11.3 Tanpa Nama (Anonymity) Masalah etika merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

50
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan (Nursalam, 2008). 3.11.4 Kerahasiaan (Confidentiality) Informasi yang telah kerahasiaannya oleh peneliti.

dikumpulkan

dari

subjek

dijamin

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Data Umum 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUD Syamrabu Bangkalan. RSUD Syamrabu Bangkalan merupakan Rumah Sakit dengan klasifikasi tipe B yang beralamatkan di jalan Pemuda Kaffa No.09 Bangkalan. RSUD Syamrabu terdiri dari instalasi rawat jalan, instalasi gawat darurat, dan instalasi rawat inap. Instalansi rawat inap terdiri dari Irna A, Irna B, Irna C, Irna D, Irna E, Irna F, Irna G dan Paviliun Kartini. Jumlah staff di masinimasing setiap ruangan 18 orang (6 S1 Keperawatan, 12 D3 Keperawatan). 2 orang administrasi, dan 4 orang cleaning service. 4.1.2 Karakteristik Responden a. Karakteristik responden berdasarkan usia

51
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Post Op Appendictomy Berdasarkan Usia di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 2012 3 Maret 2012 No Usia Anak Frekuensi Prosentase 1. 18 - 30 tahun 9 60 2. 3. 31 - 40 tahun 40 - 50 tahun Jumlah 4 2 15 26,6 13.4 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 18 30 tahun, sebanyak 9 responden (60 %) b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Post Op Appendictomy Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 3 Maret 2012 No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase 1. Laki-laki 8 53,3 2. Perempuan Jumlah 7 15 46,7 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden berjenis kelamin laki-laki, sebanyak 8 responden (53,3%) c. Karakteristik responden berdasarkan tingkat Pendidikan Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Post Op Appendictomy Berdasarkan Tingkat Pendididkan di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 3 Maret 2012 No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase 1. SD 2 13,4 2. 3. 4. SMP SMA Lain-Lain Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

3 8 2 15

20 53,3 13,3 100

52
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden yang tingkat pendidikan SMA, sebanyak 8 responden (53,3%)

4.2 Data Khusus Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesiapan Pulang Pasien Post Op Appendictomy Sebelum dilakukan Discharge Planning Di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 3 Maret 2012 No Kesiapan Pulang Frekuensi Prosentase 1. 2. 3. 4. R1 R2 R3 R4 Jumlah 1 3 9 2 15 6,7 20 60 13,3 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden mengalami Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan sebanyak 9 responden (60%). Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesiapan Pulang Pasien Post Op Appendictomy Sesudah Dilakukan Discharge Planning Di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 3 Maret 2012 No Kesiapan Pulang Frekuensi Prosentase 1. 2. 3. 4. R1 R2 R3 R4 Jumlah 2 13 15 13,3 86,7 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden mengalami Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan sebanyak 13 responden (66,7%).

53
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 3 Maret 2012 Kesiapan No 1. 2. 3. 4. Pulang R1 R2 R3 R4 Sebelum Dilakukan Discharge Planning Frekuensi Prosentase 1 6,7 3 20 9 60 2 15 13,3 100 Sesudah Dilakukan Discharge Planning Frekuensi Prosentase 2 13,3 13 15 86,7 100

Jumlah = 0,05 p value < 0,05

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji statistik Uji wilcoxon, diperoleh significancy 0,008 (p < 0,05) maka Ho ditolak, yang berarti ada Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan.

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Kesiapan Pulang Sebelum dilakukan Discharge Planning Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden Kesiapan Pulang pada Pasien Post Op Appendictomy Sebelum

54
dilakukan Discharge Planning sebagian besar dari responden, sebanyak 9 responden (60%) mengalami Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden (60%) sebelum dilakukan discharge planning sudah memiliki tingkat kesiapan yang cukup baik, dan masuk kategori tingkat kesiapan ke 3 dimana Mampu tapi ragu dan Mampu tapi tidak ingin, pada pembagian tingkat kesiapan menurut Martinsusilo (2007) . Jadi pemberian Discharge Planning yang baik untuk mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan dirumah. Menurut William (1996) menyatakan salah satu bentuk manajemen informasi pada Discharge Planning melalaui tahapan yang jelas, dimana pelayanan akan baik apabila diberikan oleh tim multi disiplin. Dalam hal ini diantaranya perawat, dokter, ahli gizi, fisiotherapi dan anggota tim kesehatan lainnya, untuk saling membagi informasi dalam rangka menyusun Discharge Planning.

Berdasarkan model konseptual Orem (1985, dalam Basford, 2006) tentang sistem keperawatan, maka tingkat Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan dalam penelitian ini sebelum dilakukan Discharge Planning termasuk katagori system kompensasi parsial dimana pasien memiliki beberapa kemampuan untuk melakukan perawatan diri tetapi tidak dapat mencapai perawatan mandiri jika tidak dibantu. Kemampuan yang sudah dimiliki responden dalam penelitian ini antara

55
lain informasi melalui tahapan yang jelas untuk melakukan perawatan diri setelah berada di rumah, baik dalam hal tindakan pengobatan di rumah, tandatanda bahaya, perawatan luka, aktivitas di rumah, diet di rumah, maupun dalam hal perawatan lanjutan. Menurut Orem (1985, dalam Basford 2006) dalam keadaaan ini pasien dan perawat bekerjasama untuk melakukan perawatan diri, dimana perawat selalu meningkatkan dan mendorong keterlibatan pasien untuk mencapai perawatan mandiri. 5.1 Kesiapan Pulang Sesudah dilakukan Discharge Planning Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden Kesiapan Pulang pada Pasien Post Op Appendictomy Sesudah dilakukan Discharge Planning , sebagian besar sebanyak 13 responden (86,7%) mengalami Kesiapan pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan. Dimana memiliki tingkat 4 dalam katagori tingkat kesiapan yang dirumuskan oleh Martinsusilo (2007) dalam menghadapi pemulangan yaitu mampu dan ingin atau mampu dan yakin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah berada di rumah. Berdasarkan model konseptual Orem (1985, dalam Basford, 2006) tentang sistem keperawatan, maka tingkat kesiapan pasien dalam penelitian ini setelah dilakukan Discharge Planning termasuk katagori sistem suportifedukatif, yaitu pasien mampu melakukan atau belajar tentang perawatan diri dan intervensi keperawatan yang perlu dilakukan perawat lebih kepada memotivasi responden untuk melakukan pengetahuan yang sudah diterima.

56
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Galloway, et al (1993, dalam Nursingcenter.com,2009) bahwa pasien mampu memprediksikan kebutuhan mereka akan informasi berhubungan dengan proses penyembuhan, dan mereka menginginkan informasi yang mudah dimengerti sebanyak mungkin sebelum mereka menghadapi pemulangan dan kebutuhan akan informasi ini tidak dipengaruhi usia dan pendidikan. Informasi yang diberikan dalam Discharge Planning bagaimana cara mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan dirumah sehingga meningkatkan pasien dalam menghadapi pemulangan.

5.3 Perbedaan Kesiapan Pulang sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden Kesiapan Pulang pada Pasien Post Op Appendictomy Sebelum dilakukan Discharge Planning responden, sebagian besar 9 responden (60%) mengalami Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan. Sedangkan pada kelompok perlakukan berdasarkan tabel 4.4 didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden Kesiapan Pulang pada Pasien Post Op Appendictomy Sesudah dilakukan Discharge Planning sebagian besar 13 responden (86,7%) mengalami Kesiapan pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan. Berdasarkan data dari lapangan diperoleh, maka peneliti menggunakan uji non-parametrik sign rank test (Wilcoxon) untuk mengindentifikasi

57
perbedaan kesiapan pada pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan Sebelum dan Sesudah dilakukan Discharge Planning.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji statistik Uji wilcoxon, diperoleh significancy 0,008 (p < 0,05) maka Ho ditolak, yang berarti ada Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op

Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. Hasil penelitian juga menunjukkan terjadi Peningkatan Kesiapan pasien menghadapi pemulangan setelah dilakukan Discharge Planning. Hal ini sejalan dengan penelitian Williams (2006) yang mendapati adanya hubungan antara pemberi informasi dengan dilakukannya kunjungan ulang yang tidak rutin ke fasilitas kesehatan. Dalam penelitian tersebut Williams mendapati bahwa mayoritas pasien yang menerima informasi tentang nyeri dan menejemen luka, aktivitas, nutrisi, dan komplikasi pada umumnya merasakan bahwa tidak mengalami perasaan khawatir yang membuat mereka akan mengadakan kunjungan tidak rutin ke fasilitas kesehatan setelah dipulangkan, dalam artian bahwa mereka telah siap menghadapi pemulangan. Sedangkan pasien yang tidak mendapat informasi tentang nyeri dan manajemen luka mengalami kekhawatiran yang memaksa mereka untuk melakukan kunjungan tidak rutin kepada suatu fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa semakin baik Discharge Planning, semakin baik pula pemahaman pasien atau keluarga tentang hal-hal yang harus diwaspadai. Maka tepat Supartini (2000) menyatakan Discharge

58
Planning yang baik dapat membantu pasien dan keluarganya untuk memahami langkah-langkah pencegahan yang harus dicapai.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian, hasil penelitian, analisa data, dan pembahasan yang telah diuraikan maka peneliti mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan Sebelum dilakukan Discharge Planning sebagian besar 9 responden dengan Tingkat

59
Kesiapan 3 Mampu tapi ragu dan Mampu tapi tidak ingin melakukan di rumah. b. Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan Sesudah dilakukan Discharge Planning sebagian besar 13 responden

dengan Tingkat Kesiapan 4 yaitu mampu dan ingin atau mampu dan yakin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah berada di rumah. c. Ada perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning. 6.2 Saran 6.2.1 Bagi rumah sakit dan tenaga kesehatan a. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya Perbedaan Kesiapan pasien Post op Apendictomy menghadapi Pemulangan Sebelum dan Sesudah dilakukan Discharge Planning. Oleh karena itu, sebaiknya perawat di ruangan melakukan Discharge Planning sesuai Prosedur kepada semua pasien

dengan tujuan untuk mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan dimana pasien mampu melakukan perawatan berkelanjutan di rumah. b. Discharge Planning dilakukan sebaiknya sejak pasien diterima di suatu agen pelayanan kesehatan dengan melakukan pengkajian berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang berubah-ubah. c. Mensosialisasikan standar atau prosedur tetap tentang Discharge Planning secara bertahap dan kontinyu, sehingga pelaksanaannya bisa berjalan secara efektif dan optimal.

60
d. Perawat terus meningkatkan pengetahuannya baik dalam bidang Asuhan Keperawatan maupun manajemen keperawatan melalui pelatiha-pelatihan. 6.2.3 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada Perbedaan Kesiapan pasien Post Op Appendictomy menghadapi Pemulangan, oleh karena itu diharapkan pendidikan keperawatan tetap menekankan pemberian materi tentang Discharge Planning. b. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengembangkan penelitian dengan jumlah responden dan variabel yang lebih banyak sehingga memperoleh hasil yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai