Anda di halaman 1dari 55

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI Topik Penyusun : Hipertensi Urgensi + DM Tipe II : Nanda Rizky Fathiya

I. Identitas Pasien
- Nama - Usia - Pekerjaan - Agama - Alamat - No. CM - Pembiayaan - Ruangan : Ny.A : 46 tahun : Petani : Islam : Bojonegara-Cilegon : xxxxxx : Askes : Nusa Indah

- Tanggal Berobat : 1 Juli 2013

II. Anamnesa
Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 2 Juli 2013 di Ruang Nusa Indah RSUD Cilegon o Keluhan Utama : Sakit kepala berputar dan nyeri tengkuk sejak 3 hari SMRS o Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan sakit kepala sejak 3 hari SMRS. Sakit kepala dirasakan berputar dan dirasakan nyeri hingga ke bagian tengkuk. Pasien juga mengeluhkan mual yang disertai muntah yang berisi cairan bercampur dengan makanan berwarna putih kekuningan tanpa disertai darah sebanyak 6 kali. Sebelum dibawa ke IGD, pasien merasakan pandangannya tiba-tiba kabur dan gelap namun tidak pingsan. Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun hingga dibawa ke IGD. Pasien menyangkal adanya keluhan pada BAB dan BAK. Nafsu makan pasien menurun dalam 3 hari terakhir ini. Pasien tidak mengeluhkan adanya demam. Riwayat trauma disangkal.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 1

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Pada satu tahun terakhir ini, pasien mengeluhkan kedua kaki dan tangannya sering kesemutan. Pasien juga mengeluh sering bolak-balik ke kamar mandi di malam hari. Penglihatannya juga dirasakan menurun. Sebelum masuk ke RS, pasien belum pernah mengecek kadar gula darahnya. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu namun tidak rutin mengkonsumsi obat penurun tekanan darah dan kontrol ke dokter. Pasien memiliki kebiasaan makan ikan asin semasa mudanya, namun mengaku sudah berhenti mengkonsumi sejak mengetahui memiliki tekanan darah yang tinggi. Pasien tidak merokok, tetapi suami pasien merupakan seorang perokok. o Riwayat Penyakit Dahulu: Sakit seperti ini sebelumnya disangkal Riwayat Hipertensi sejak 2 tahun yang lalu Riwayat DM disangkal Riwayat Asma disangkal Riwayat alergi disangkal o Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat DM disangkal o Anamnesis Sistem: Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-) menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien. Kulit (-) (-) Bisul Kuku (-) (-) Rambut Ikterus (-) (-) (-) Keringat malam Sianosis Lain-lain

Kepala (-) (-) Trauma Sinkop (+) (-) Nyeri kepala Nyeri sinus

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 2

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Mata (-) (-) (-) Nyeri Radang Sklera Ikterus (-) (+) (-) Sekret Gangguan penglihatan Konjungtiva anemis

Telinga (-) (-) Nyeri Sekret (-) (-) (-) Tinitus Gangguan pendengaran Kehilangan pendengaran

Hidung (-) (-) (-) (-) Trauma Nyeri Sekret Epistaksis (-) (-) (-) Gejala penyumbatan Gangguan penciuman Pilek

Mulut (-) (-) (-) Bibir Gusi Selaput (-) (-) (-) Lidah kotor Gangguan pengecapan Stomatitis

Tenggorokan (-) (-) Nyeri tenggorok Nyeri menelan (-) Perubahan suara

Leher (-) Benjolan/ massa (-) Nyeri leher

Jantung/ Paru (-) (-) (-) Nyeri dada Berdebar-debar Ortopnoe (-) (-) (-) Sesak nafas Batuk darah Batuk

Abdomen (Lambung / Usus) (-) Rasa kembung (+) Mual (+) Muntah (-) (-) (-) Perut membesar Wasir Mencret

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 3

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

(-) Muntah darah (-) Benjolan (+) Nyeri perut Saluran Kemih / Alat Kelamin (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) Disuria Stranguri Poliuria Polakisuria Hematuria Batu ginjal Ngompol

(-) (-) (-)

Melena Tinja berwarna dempul Tinja berwarna ter

(-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Kencing nanah Kolik Oliguria Anuria Retensi urin Kencing menetes Prostat

Katamenis (-) Leukore (-) Lain-lain Haid (-) (-) (-) Hari terakhir Teratur /tidak Gangguan menstruasi (-) (-) (-) (-) Perdarahan

Jumlah dan lamanya Nyeri Paska menopause

(-) (-)

Menarche Gejala Klimakterium

Otot dan Syaraf (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) Anestesi Parestesi Otot lemah Kejang Afasia Amnesis Lain-lain (-) (-) (-) (-) (-) (+) (-) Sukar menggigit Ataksia Hipo/hiper-estesi Pingsan / syncope Kedutan (tick) Pusing (Vertigo) Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas (-) (-) Bengkak Nyeri sendi (-) (-) Deformitas Sianosis

III. Pemeriksaan Fisik


VITAL SIGNS: - Kesadaran : Composmentis - Keadaan Umum : Lemah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 4

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

- Tekanan Darah - Nadi - Respirasi - suhu - TB/BB - Status Gizi

: 180/120 : 86 kali/menit : 20 kali/menit : 36 celcius : 155cm/50kg : Baik

STATUS GENERALIS: - Kulit : Berwarna sawo matang, keriput, tidak terdapat kelainan warna kulit, dan turgor kulit baik. - Kepala : Normocephal - Rambut: Tidak mudah dicabut. - Alis - Mata : Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut. : Tidak exopthalmus, tidak enopthalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik, lensa jernih, pupil bulat dan isokor, pergerakan bola mata baik. - Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada sekret, dan tidak hiperemis. - Telinga : Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada secret, tidak ada darah, membran timpani intak. - Mulut : Bibir tidak sianosis, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi, lidah tidak kotor, mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, mukosa faring baik. - Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis, subklavikula, pre-aurikula, post-aurikula, oksipital, sternokleidomastoideus, dan supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran tiroid, trakea tidak deviasi, dan Jugular Venous Pressure bernilai 5 - 2 cm H2O. - Thoraks Paru-paru Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan dinamis, perbandingan transversal berbanding anteroposterior 2 : 1, tidak terdapat retraksi dinding dada, tidak terdapat pelebaran sela iga, tidak terlihat pelebaran vena, tidak terdapat bekas luka.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 5

: Normal, simetris kiri dan kanan.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Palpasi Perkusi

: Fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri baik, tidak teraba massa, tidak : Sonor pada seluruh lapang paru

terdapat krepitasi.

Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : Iktus kordis tidak terlihat : Iktus kordis teraba di 2cm lateral ICS IV linea midklavikula sinistra, dan : Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra, batas jantung kiri

tidak terdapat thrill ICS V linea midklavikula sinistra. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur dan gallop - Abdomen Inspeksi : Tampak simetris, datar, tidak terdapat kelainan kulit, tidak tampak caput medusa maupun spider nevy. Auskultasi : Bising (+) bising aorta abdominalis terdengar. Palpasi Perkusi : Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan pada epigastrium, hepatomegaly (-) : Suara timpani di semua lapang abdomen, tidak terdapat nyeri ketuk. : tidak dilakukan pemeriksaan 5 5 5 5 splenomegaly (-) - Genitalia

- Ekstremitas

: Akral hangat, cappilary refill kurang dari 2 detik, kekuatan

otot, tidak terdapat udem pada semua ekstremitas. - Refleks fisiologis dan patologis : Refleks patologis () Refleks fisiologis baik. Refleks sensorik baik

IV. Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 1 juli 2013
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 6

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

GDS : 313 Hb : 15,4g/dl Leukosit : 6420 /uL Ht : 44,4% Trombosit : 367.000/uL SGOT : 57 u/L SGPT : 25 u/L Uerum : 32 mg/dl Kreatinin : 1,1 Natrium : 137,6 mmol/l Kalium : 3,60 mmol/l Chlorida : 98,2 mmol/l

(<200 mg/dl) (P :14-18 ; W: 12-16 g/dl) (5000-10.000 /uL) (P : 40-48, W: 37-43 %) (150-450 ribu /uL) (P<37, W<31 u/l) (P<41, W<31 u/l) (17-43 mg/dl) (P: 0,7-1,1 ; W: 0,6-0,9) (135-155 mmol/l) (3,6-5,5 mmol/l) (95-107 mmol/l)

V. Diagnosis
1. Diagnosis Kerja : Hipertensi Urgensi Vertigo DM tipe II 2. Dasar Diagnosis: Anamnesis : Ny. A, 46 tahun datang dengan keluhan sakit kepala berputar yang dirasakan sejak 3 hari SMRS. Pasien juga merasakan nyeri hingga ke bagian tengkuk. Pasien mengeluhkan mual yang disertai muntah yang berisi cairan bercampur dengan makanan berwarna putih kekuningan tanpa disertai darah sebanyak 6 kali. Sebelum dibawa ke IGD, pasien merasakan pandangannya tiba-tiba kabur dan gelap namun tidak pingsan. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu namun tidak rutin mengkonsumsi obat penurun tekanan darah dan kontrol ke dokter. Pada satu tahun terakhir ini, pasien mengeluhkan kedua kaki dan tangannya sering kesemutan. Pasien juga mengeluh sering bolak-balik ke kamar mandi di malam hari dan penglihatannya juga dirasakan menurun. Pemeriksaan Fisik :

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 7

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Vital Signs: - Kesadaran - Tekanan Darah - Nadi - Respirasi - suhu - TB/BB - Status Gizi : Composmentis : 180/120 : 86 kali/menit : 20 kali/menit : 36 celcius : 155cm/50kg : Baik : (<200 mg/dl) (135-155 mmol/l) (3,6-5,5 mmol/l) (95-107 mmol/l) - Keadaan Umum : Lemah

Pemeriksaan penunjang GDS : 313 Natrium : 137,6 mmol/l Kalium : 3,60 mmol/l Chlorida : 98,2 mmol/l

VI. Diagnosis Banding


Hipertensi Emergensi Hipertensi Grade II

VII. Pemeriksaan yang Dianjurkan


Pemantauan tekanan darah yang dipantau pada 3 6 jam Pemantauan GDS Pemeriksaan Urin lengkap Pemeriksaan Rontgen Thorax Pemeriksaan EKG Pemeriksaan CT Scan Kepala

VIII. Terapi yang diberikan Terapi awal yang diberikan pada saat di IGD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 8

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

IVFD RL 20 tpm Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp Amlodipin tab 1 x 10 mg Curcuma tab 3 x 1 Lansoprazol cap 1 0 - 1 Co. Sp.PD

IX. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam - Quo ad functionam : dubia ad bonam - Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

X. Analisa Kasus
1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah benar? Definisi : Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Hipertensi urgensi (mendesak) ditandai dengan kenaikan TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman. Sedangkan diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Penilaian dari anamnesis membantu menegakkan diagnosis 60 70%. Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan sakit kepala berputar dan nyeri tengkuk tanpa adanya keterlibatan target organ. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan tekanan darah menjadi 180/120.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 9

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Pasien juga mengeluhkan tanda-tanda gejala Klasik diabetes mellitus seperti polidipsia dan poliuri. Tanda gejala lainnya adalah seperti rasa kesemutan pada tangan dan kaki serta penurunan tajam penglihatan. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan peningkatan Gula Darah sewaktu. 2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat? Penatalaksanaan untuk Hipertensi urgensi berbeda dengan penatalaksanaan pada hipertensi biasa maupun hipertensi emergensi. Pada hipertensi urgensi, tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan TD dalam 24 jam sampai batas yang aman agar tidak terjadi komplikasi yang lebih berat lagi. Dilakukan pengawasan dalam 3-6 jam dengan menggunakan obat oral berjangka kerja pendek Untuk menurunkan gula darah, diperlukan penanganan yang sesuai agar target dapat dicapai. Pada pasien ini dilakukan sleeding scale dengan menggunakan insulin kerja cepat. Digunakan sebelum makan dengan pemantauan Gula darah jam sebelum makan lalu kemudian diganti dengan menggunakan OHO golongan biguanid. 3.Bagaimana edukasi pada pasien ini? Edukasi pada Ny. A merupakan edukasi untuk penyakit hipertensi dan penyakit Diabetes Mellitusnya. Hal yang harus di edukasikan meliputi pola makan, olahraga, dan pengobatan dan pemantauan secara rutin ke dokter.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 10

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

FOLLOW UP 02-07-2013 Non farmakologis : S/ mual disertai muntah >10 kali berisi - Tirah baring cairan bercampur makanan tanpa - IVFD RL 30 tpm disertai darah, Sakit kepala berputar, - Diet DM Nyeri tengkuk, Lemas, Belum BAB Farmakologis : sejak kemarin, BAK lancer, nafsu inj Ceftriaxone 1 x 2 g makan menurun. Ondansetron 3 x 4 mg O/ KU : lemah Oral Betahistin 3 x 1 Ks : composmentis Flunarizin 2 x 5 mg TD : 170/100 mmHg Captopril 3 x 12,5 mg N : 96 x/menit R : 20 x/menit S : 36, 7 C Mata : CA -/- SI -/Lansoprazol 1 0 1 Domperidon 3 x 1 Antacyd 3 x II C Cek GDS sleeding scale makan

Cor : BJ I-II reguler,murmur (-),gallop Pagi : GDS 212 ACT 5ui (-) Siang GDS : 137, Actrapid (-) Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/Malam GDS jam sebelum makan : Abd : I : Datar, simetris, supel, NT (+), 150 ACT (-) BU (+) Ext : akral hangat,edema (-)

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 11

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

A/ HT urgensi + vertigo + DM II + Dyspepsia

03-07-2013

Non-farmakologi S/ Sakit kepala berputar, nyeri tengkuk, mual (+), muntah (-), Lemas, Tirah Baring Belum BAB, BAK lancar, nafsu IVFD RL 30 tpm makan menurun Diet DM O/ KU : lemah Farmakologi: Ks : Composmentis Inj: TD : 180/100 mmHg Ceftriaxone 1 x 2g N : 88 x/menit Ranitidin 2 x 1 amp R : 20 x/menit Ondansetron 3 x 4 mg S : 36,5 C Oral : Mata : CA -/- SI -/Flunarizin 2 x 10mg

Cor : BJ I-II regular, murmur (-), Betahistin 3 x 1 gallop (-) Eperison HCL 3 x 1 Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/Captopril 3 x 25 mg Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT Pagi : GDS jam sebelum makan : 168 + Act Ext : akral hangat,edema (-) Siang cek GDS jam sebelum makan : A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + DM 220, Act : 5 ui II + Dyspepsia Malam GDS jam sebelum makan : 104 Act (-)

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 12

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

04-07-2013

S/ Sakit kepala berputar, nyeri Non-farmakologis : tengkuk, mual (+), muntah (-), Lemas, Belum BAB, BAK lancer, nafsu Tirah baring makan menurun Diet DM O/ KU : lemah Farmakologis: Ks : Composmentis IVFD RL 30 tpm TD : 150/90 mmHg Inj : Ceftriaxone 1 x 2g N : 88 x/menit Ondansetron 3 x 4mg R : 20 x/menit Ranitidin 2 x 1 amp S : 36,3 C Oral : Antacyd 3 x IIC Mata : CA -/- SI -/Betahistin 3 x 1 Cor : BJ I-II regular, murmur (-), Eperison HCL 3 x 1 gallop (-) Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/Amlodipin 1 x 10 mg

Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT Captopril 3 x 25 mg + Domperidon 3 x 1 Ext : akral hangat,edema (-) Lansoprazol 1 0 1 A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + DM Pagi GDS jam sebelum makan : 129 II + Dyspepsia Act (-) Siang GDS jam sebelum makan : 193 Act (-) Malam GDS jam sebelum makan : 178 Act (-)

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 13

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

05-07-2013

S/ Sakit kepala berputar, nyeri Non-farmakologi tengkuk, mual (+), muntah (-), Belum BAB, BAK lancar, nafsu makan Tirah baring menurun Diet DM O/ KU : lemah Farmakologi Ks : Composmentis Inj :IVFD RL 30 tpm TD : 130/80 mmHg Ceftriaxone 1 x 2g N : 88 x/menit Ondansetron 3 x 4 mg R : 20 x/menit Ranitidin 2 x 1 amp S : 36,5 C Antacyd 3 x IIC Mata : CA -/- SI -/Betahistin 3 x 1 Cor : BJ I-II regular, murmur (-), Flunarizin 2 x 10 mg gallop (-) Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/Eperison HCL 3 x 1

Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT Amlodipin 1 x 5 mg + Captopril 3 x 25 mg Ext : akral hangat,edema (-) Domperidon 3 x 1 A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + DM Lansoprazol 1 0 1 II + Dyspepsia Pemeriksaan lanjut : CT Scan Kepala Pagi : GDS jam sebelum makan : 129 Act (-) Siang :GDS 1 / jam sebelum makan : 242 act (5ui) Malam : GDS jam sebelum makan : 73 act (-)

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 14

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

06-07-2013

S/ Sakit kepala berputar berkurang, nyeri tengkuk berkurang, mual sudah berkurang, Belum BAB (-), lancar, nafsu makan membaik O/ KU : lemah Ks : Composmentis TD : 140/90 mmHg N : 88 x/menit R : 20 x/menit S : 37,2 C Mata : CA -/- SI -/-

mulai Non-farmakologi mulai mulai Tirah baring BAK Diet DM Farmakologi Inj :IVFD RL 30 tpm Ceftriaxone 1 x 2g Ondansetron 3 x 4 mg Ranitidin 2 x 1 amp Piracetam 3 x 3g Citicoline 3 x 500mg

Cor : BJ I-II regular, murmur (-), Oral : Aspilet 1 x 1 gallop (-) CPG 1 x 75 mg Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/Metformin 500mg (0-0-1) Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT Antacyd 3 x IIC + Ext : akral hangat,edema (-) Betahistin 3 x 1

A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + Flunarizin 2 x 10 mg Infark + DM II + Dyspepsia Eperison HCL 3 x 1 Amlodipin 1 x 5 mg Captopril 3 x 25 mg Domperidon 3 x 1 Lansoprazol 1 0 1 Supp : Dulcolax supp II Pagi : GDS jam sebelum makan : 161 Act (-) Siang : Cek GDS 24 jam
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

08-07-2013

S/ Sakit kepala berputar berkurang, Non-farmakologi nyeri tengkuk berkurang, mual (-), muntah (-), BAB lancar, BAK lancar, Tirah baring nafsu makan membaik Diet DM O/ KU : sedang Farmakologi Ks : Composmentis Inj :IVFD RL 30 tpm TD : 130/90 mmHg Ceftriaxone 1 x 2g N : 86 x/menit Ranitidin 2 x 1 amp R : 20 x/menit Oral : Aspilet 1 x 1 S : 36,7 C CPG 1 x 75 mg Mata : CA -/- SI -/Metformin 2x500mg Cor : BJ I-II regular, murmur (-), Antacyd 3 x IIC gallop (-) Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/Betahistin 3 x 1

Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT Flunarizin 2 x 10 mg (-) Amlodipin 1 x 5 mg Ext : akral hangat,edema (-) Captopril 3 x 25 mg A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + Domperidon 3 x 1 Infark + DM II Lansoprazol 1 0 1 Siang : Cek GDS 24 jam : 212

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 16

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

09-07-2013

S/ BAB lancar, BAK lancar, nafsu Oral : Aspilet 1 x 1 makan membaik CPG 1 x 75 mg O/ KU : sedang Citicoline tab 3 x 500mg Ks : Composmentis Metformin 500mg (0-0-1) TD : 110/70 mmHg Antacyd 3 x IC N : 84 x/menit Betahistin 3 x 1 R : 20 x/menit Flunarizin 2 x 10 mg S : 36,5 C Eperison HCL 3 x 1 Mata : CA -/- SI -/Amlodipin 1 x 5 mg Cor : BJ I-II regular, murmur (-), Captopril 3 x 25 mg gallop (-) Pulmo : SN.Vesikuler, Wh -/-,Rh -/Domperidon 3 x 1

Abd : Datar, simetris, supel, BU +, NT Lansoprazol 1 0 1 (-) Siang : Cek GDS 24 jam : 190 Ext : akral hangat,edema (-) Kontrol : 5 hari A/ Hipertensi Urgensi + vertigo + Infark + DM II RAWAT JALAN TINJAUAN PUSTAKA A. KRISIS HIPERTENSI
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 17

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Definisi Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada umumnya terjadi pada pasien yang lalai atau tidak memakan obat anti hipertensi. Epidemiologi Salah satu penyebab penyakit kardiovaskular adalah hipertensi yang tidak terkontrol. Prevalensi hipertensi di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 29% dari populasi di Indonesia sebesar 31,7%. Hal yang lebih serius lagi adalah terdapat 1% saja yang tercatat sebagai hipertensi krisis dari prevalensi hipertensi namun dampak klinisnya sangat buruk karena angka kematian pasien yang datang ke unit gawat darurat meningkat dari 70% sampai 90% dalam observasi satu tahun. Faktor Resiko a. Penderita hipertensi yang tidak teratur minum obat b. Kehamilan (yang bisa menyebabkan eklampsia) c. Penyakit parenkim ginjal berhubungan dengan RAA d. Penggunaan NAPZA(kokain amfetamin) e. Penderita dengan rangsangan simpatis tinggi (luka bakar, trauma kepala,dll) Klasifikasi Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dipikirkan suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara penaggulangan keduanya berbeda. Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan prioritas pengobatan, sebagai berikut : 1) Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 18

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Tabel 1. Hipertensi Emergensi

2) Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).

Tabel 2. Hipertensi Urgensi

Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg. Patofisiologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 19

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

a. Hipertensi essensial yang tidak diobati adanya resistensi vascular idiopatik sewaktu-waktu dipacu stress dll krisis hipertensi b. Kehamilan (eklampsia) bahan vasokontriktor dari plasenta iskemik hipertensi yg suatu saat bisa jadi krisis c. Penyakit ginjal pengaktifan system RAA vasokontriksi hipertensi yg bisa jadi krisis d. Penggunaan amfetamin dan kokain, feokromositoma, cushing syndrome katekolamin vasokontriksi + denyut jantung krisis e. Rangsangan simpatis tinggi (luka bakar, trauma kepala) simpatis vasokontriksi + denyut jantung krisis Manifestasi Klinis Gejala klinis yang timbul tergantung ada tidaknya organ yang terganggu, dan organ apa yang terganggu. Menurut data, Berikut gejala berdasarkan organ yang terganggu. Mata Otak local Jantung : Hypertensive Heart Failure Hipertensi beban jantung sementara pemenuhan kebutuhan jantung iskemik miokardium sesak, nyeri dada Ginjal : penyakit ginjal hipertensi Hipertensi iskemik jaringan ginjal proteinuria, azotemia : hypertensive retinopathy : bisa menjadi stroke, hypertensive encelopathy hipertensi edema papil, perdarahan retina penglihatan kabur Hipertensi iskemik sakit kepala, gangguan kesadaran, deficit neurologis

Tekanan darah > 220/140 mmHg

Funduskopi Perdarahan

Status neurologi Sakit kepala, kacau

Jantung Denyut jelas

Ginjal Uremia

GIT Mual, muntah

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 20

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Eksudat, Edema papil

Gangguan kesadaran, kejang

Membesar Dekompensas i, oliguria

Proteinuri a

Tabel 3. Manifestasi Klinis pada Hipertensi Emergensi

Kelompok Tekanan darah Gejala

Biasa > 180/110 kepala Gelisah

Mendesak > 180/110 sesak napas

Darurat > 220/140 Sesak napas, nyeri dada, kacau, gangguan kesadaran Ensefalopati, edema paru, gangguan fungsi ginjal, iskemia jantung

Tidak ada, kadang sakit Sakit kepala hebat,

PF

Organ target tidak ada Gangguan organ target

Pengobatan

Awasi 1-3 jam Mulai/teruskan obat oral, naikkan dosis

Awasi 3-6 jam, obat Pasang jalur intravena, oral berjangka kerja pendek periksa lab standar, terapi obat intravena

Rencana

Periksa ulang dalam 3 Periksa ulang dalam Rawat ruangan hari 24 jam Tabel 4. Krisis Hipertensi

Diagnosis Diagnosis krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi. Anamnesis Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting ditanyakan : Riwayat hipertensi : lama dan beratnya. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 21

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Usia : sering pada usia 40 60 tahun. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, perubahan mental, ansietas ) Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ). Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada ) Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

Pemeriksaan Fisik : Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu : 1) Pemeriksaan yang segera seperti : a. Darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolit. b. Urine : Urinalisa dan kultur urine. c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi. d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan terlaksana ). 2) Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama ) : a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ). b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan. c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ). Penatalaksanaan

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 22

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Pada jam pertama turunkan tekanan darah yaitu 20% dari Mean arterial Preassure awal. Kemudian 2-6 jam TD diturunkan sampai 160/100 mmHg Selanjutnya 6-24 jam kemudian diturunkan sampai <140/90 mmHg. Penurunan tekanan darah harus disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi Pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 1530 menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 23 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 180/100 mmHg.

Obat Nifedipin 5-10 mg Kaptopril 12.5-25 mg Klonidin 75-150 ug Propanolol 10-40 mg

Dosis

Efek

Lama kerja 4-6 jam 6-8 jam 8-16 jam 3-6 jam

Perhatian khusus Gangguan coroner Stenosis a.renalis Mulut kering, ngantuk Bronkokonstriksi, blok jantung

Diulang 15 menit 5-15 menit Diulang/ jam Diulang/jam Diulang/ jam 15-30 menit 30-60 menit 15-30 menit

Tabel 5. Obat Hipertensi Oral Obat Klonidin IV 150 ug Nitrogliserin IV Nikardipin IV Diltiazem IV Dosis 6 amp per 250 cc glukosa 5% mikrodrip 10-50 ug 100 ug/cc per 500cc 0.5-6 ug/kg/menit 5-15 ug/kg/menit lalu Efek 30-60 menit 2-5 menit 1-5 menit Sama Lama kerja 24 jam 5-10 menit 15-30 menit Perhatian khusus Ensefalopati dengan gangguan coroner

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 23

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

sama 1-5 ug/kg/menit Nitroprusid IV 0.25 ug/kg/menit Langsung 2-3 menit Selang infus lapis perak Tabel 6. Obat Hipertensi Intravena B. DIABETES MELLITUS 1. Definisi Menurut WHO 1980 dalam PERKENI 2011 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 dalam PERKENI 2011, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. 2. Klasifikasi Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 24

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Tabel 7 . Klasifikasi diabetes menurut etiologinya American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi, Debhryta Ayu, 2009): 1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin. 2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. 3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ). 4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 25

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

3. Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab yang berhubungan dengan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin : a. Faktor genetic b. Usia (meningkat diatas 65 tahun) c. Obesitas d. Riwayat keluarga 4. Patofisiologi Insulin merupakan hormon kunci untuk mengatur kadar gula darah. Secara umum, kadar gula yang normal dipertahankan oleh interaksi yang seimbang antara sekresi insulin dan efektivitas kerja insulin. Dalam keadaan puasa, glukosa yang diproduksi oleh hati, dan setengahnya digunakan untuk metabolisme glukosa otak. Sisanya ditutupi oleh berbagai jaringan, terutama otot dan jaringan adiposa. Dalam situasi ini, tingkat insulin rendah dan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penyerapan glukosa otot. Normalnya hati dapat meningkatkan produksi glukosa menjadi 4 kali lipat dari biasanya atau lebih, dan efek utama dari tingkat insulin yang relatif rendah adalah untuk mencegah produksi glukosa hati. Setelah makan, insulin disekresi dalam jumlah yang lebih besar dari biasanya untuk menurunkan produksi glukosa hati dan menyebabkan penyerapan glukosa dan lemak otot meningkat. Sel pankreas normalnya mampu beradaptasi terhadap perubahan dalam kerja insulin, artinya, penurunan kerja insulin disebabkan oleh penurunan sekresi insulin (dan sebaliknya). Adaptasi sel beta pankreas berfungsi untuk mencegah perkembangan diabetes di sejumlah orang yang resisten terhadap kerja insulin. Ketika adaptasi sel-sel beta tidak adekuat, hal tersebut akan berkembang menjadi toleransi glukosa terganggu (TGT) atau diabetes tipe 2. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa disfungsi selbeta memiliki peranan yang sangat penting dalam patogenesis diabetes tipe 2. Perlu dicatat, bahwa terjadi sedikit peningkatan kadar glukosa pada saat puasa dan saat setelah makan pada orang-orang dengan resistensi insulin. Padahal seharusnya pada keadaan ini dirangsang pelepasan insulin. Jadi, ketika efektifitas kerja insulin menurun
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 26

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

(misalnya pada orang yang gemuk), fisiologis tubuh biasanya mengimbanginya dengan meningkatkan kerja sel beta. Semakin tinggi konsentrasi glukosa saat puasa dan 2 jam setelah makan, maka seharusnya semakin tinggi pula jumlah insulin yanmg dilepaskan oleh sel beta pankreas. Walaupun peningkatan insulin dalam jumlah kecil, perlahan-lahan hal ini akan menjadi racun pada sel-sel beta pankreas di kemudian hari (toksisitas glukosa). Pada pasien dengan diabetes melitus tak tergantung insulin (DMTTI), penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Resistensi insulin terjadi ketika efek biologis insulin tidak normal (efektivitas kerjanya menurun) untuk mencegah pelepasan glukosa dalam otot rangka dan penekanan produksi glukosa endogen di hati. Dalam keadaan berpuasa, jaringan otot hanya berperan kecil dalam memberikan glukosa (kurang dari 20%), sedangkan produksi glukosa endogen (hati) memiliki peran yang lebih besar atas kadar glukosa yang beredar dalam plasma. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 dan pada pasien dengan glukosa puasa terganggu, terjadi percepatan produksi glukosa endogen. Pada orang-orang yang memiliki resistensi terhadap insulin, awalnya masih memiliki kompensasi yang terlihat dengan tingginya kadar insulin. Pada orang yang mengalami resistensi insulin hepatik (dengan meningkatkan produksi glukosa hepatik) akan menjadi pendorong terjadinya hiperglikemia pada diabetes tipe 2. Resistensi insulin telah diketahui berkaitan dengan obesitas. Hal ini berkaitan dengan sejumlah hormon yang beredar, sitokin dan bahan bakar metabolik, seperti asam lemak bebas tak jenuh yang berasal dari adipocyte dan kerja insulin. Pada orang yang gemuk, adipocytes berjumlah banyak, sehingga membuat mereka tidak terpengaruh terhadap kemampuan insulin untuk menekan lipolisis, terutama di lemak visceral atau subkutan. Hasilnya akan menyebabkan asam lemak bebas tak jenuh dan gliserol menjadi meningkat, sehingga akan memperburuk resistensi insulin pada otot rangka dan hati. Diabetes melitus tergantung insulin (DMTI) adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju pada proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 27

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus dengan memproduksi antibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. 5. Manifestasi Klinis Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa poliuria, polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas, ditemukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan satu kali saja glukosa darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk diagnosis klinis DM 6. Diagnosis Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini : 1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 28

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.

Tabel 8. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006 Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Daibetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 29

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Cara pelaksanaan TTGO Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) dari hasil yang diperoleh.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 30

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Tabel 9. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis diabetes melitus Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu. Penatalaksanaan Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 31

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes mellitus. Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu : 1. 2. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neyropati. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan tingkah laku. Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada gambar 2.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 32

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa darah.

Gambar 3. Alur Penatalaksanaan DM tipe II

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 33

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006. Adapun pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut : Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mengikuti pola makan sehat Meningkatkan kegiatan jasmani Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman, teratur Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data yang ada Melakukan perawatan kaki secara berkala Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes. 8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Terapi Gizi Medis. Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 34

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Menurunkan berat badan Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik Menurunkan kadar glukosa darah Memperbaiki profil lipid Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin Memperbaiki sistem koagulasi darah

Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan : 1. Kadar glukosa darah mendekati normal 2. 3. Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl Kadar A1c < 7%

Tekanan darah < 130/80 mmhg Profil lipid yang berkisar normal Kolesterol LDL < 100 mg/dl Kolesterol HDL > 40 mg/dl Trigliserida < 150 mg/dl

4.

Berat badan senormal mungkin Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat,

protein dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 35

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006 adalah sebagai berikut : 1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari 70%jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori. 2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram. 3. Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid = PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. 4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 36

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari. 5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Latihan jasmani. Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Tabel 10. Aktifitas fisik sehari-hari.

Intervensi Farmakologis
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 37

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macammacam penyebab terjadinya hiperglikemia. Obat hipoglikemik oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi beberapa golongan : 1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. 2. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 38

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

3. Penghambat glukoneogenesis: metformin Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. 4. Penghambat glukosidase alfa (acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Cara Pemberian OHO, terdiri dari 1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makansuapan pertama Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 39

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Tabel 11. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C

(Hb-glikosilat)

Tabel 12. Obat hiperglikemia oral Insulin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 40

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untik keperluan regulasi glukosa darah. Insulin diperlukan pada keadaan : 1. Penurunan berat badan yang cepat 2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis 3. Ketoasidosis diabetik 4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik 5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat 6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal 7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) 8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan 9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat 10.Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: 1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin) 2. insulin kerja pendek (short acting insulin) 3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) 4. insulin kerja panjang (long acting insulin) 5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 41

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Tabel 13. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Penilaian hasil terapi Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah : Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah: a) b) Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam posprandial. Pemeriksaan A1C
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 42

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Kriteria pengendalian DM

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 43

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Tabel 14. Kriteria pengendalian diabetes melitus Komplikasi Komplikasi akut 1. Ketoasidosis diabetik : Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai menyebabkan syok. KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, dan hormon pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. KAD ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut 1. 2. 3. 4. Kadar glukosa > 250 mg% pH < 7,35 HCO3 rendah Anion gap yang tinggi

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 44

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

5.

Keton serum positif

2. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik : ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin 3. Hipoglikemia : ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2006). Komplikasi kronik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 45

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika. a. Komplikasi Mikrovaskular Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus. Retinopati diabetika : Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat. Nefropati diabetika : Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah. Komplikasi Makrovaskular

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 46

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular. Penyakit Jantung Koroner : Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko koroner. Aterosklerosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Stroke : Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia Penyakit pembuluh darah : Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 47

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Neuropati : Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. Mnifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.

Pencegahan Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1. Pencegahan Primer Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko tinggi. Mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita penyakit ini, yaitu mereka yang tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45 tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmHg), riwayat keluarga DM, dll. Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang dengan alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Selain makanan, cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Menjaga berat badan agar tidak gemuk, dengan berolah raga teratur. Dengan menganjurkan berolah raga kepada kelompok risiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah.

2. Pencegahan Sekunder
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon Halaman 48

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Pencegahan ini berupa upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran yang penting untuk meningkatkan kepatuhan berobat. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Agar tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid, diutamakan cara-cara non farmakologis dahulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok, dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat, baik secara oral maupun insulin. Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, 3. Pencegahan Tersier Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya, termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap: a. Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebgai pencegahan sekunder b. Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ c. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.

Daftar Pustaka

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 49

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam 1. American Diabetes Association, 2010. Standards of Medical Care in Diabetes.

http://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/S11.extract tanggal 3 Juli 2013

diakses

pada

2. Hiswani. 2009. Penyuluhan Kesehatan Pada Penderita Diabetes Melitus. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 3. PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 4. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 5. Sudoyo, Aru W [et.al]. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Ed V. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 50

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

AMLODIPINE
Farmakologi Amlodipine merupakan antagonis kalsium golongan dihidropiridin (antagonis ion kalsium) yang menghambat influks (masuknya) ion kalsium melalui membran ke dalam otot polos vaskular dan otot jantung sehingga mempengaruhi kontraksi otot polos vaskular dan otot jantung. Amlodipine menghambat influks ion kalsium secara selektif, di mana sebagian besar mempunyai efek pada sel otot polos vaskular dibandingkan sel otot jantung. Efek antihipertensi amlodipine adalah dengan bekerja langsung sebagai vasodilator arteri perifer yang dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular serta penurunan tekanan darah. Efek antiangina amlodipine adalah melalui dilatasi arteriol perifer sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total (afterload), karena amlodipine tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, pengurangan beban jantung akan menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen miokardial serta kebutuhan energi. Amlodipine menyebabkan dilatasi arteri dan arteriol koroner baik pada keadaan oksigenisasi normal maupun keadaan iskemia. Pada pasien angina, dosis amlodipine satu kali sehari dapat meningkatkan waktu latihan, waktu timbulnya angina, waktu timbulnya depresi segmen ST dan menurunkan frekuensi serangan angina serta penggunaan tablet nitrogliserin. Amlodipine tidak menimbulkan perubahan kadar lemak plasma dan dapat digunakan pada pasien asma, diabetes serta gout. Indikasi Amlodipine digunakan untuk pengobatan hipertensi, angina stabil kronik, angina vasospastik (angina prinzmetal atau variant angina). Amlodipine dapat diberikan sebagai terapi tunggal ataupun dikombinasikan dengan obat antihipertensi dan antiangina lain. Kontra Indikasi Amlodipine tidak boleh diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap amlodipine dan golongan dihidropiridin lainnya. Dosis Penggunaan dosis diberikan secara individual, bergantung pada toleransi dan respon pasien. Dosis awal yang dianjurkan adalah 5 mg satu kali sehari, dengan dosis maksimum 10 mg satu kali sehari. Untuk melakukan titrasi dosis, diperlukan waktu 7-14 hari. Pada pasien usia lanjut atau dengan kelainan fungsi hati, dosis yang dianjurkan pada awal terapi 2,5 mg satu kali sehari. Bila amlodipine diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lain, dosis awal yang digunakan adalah 2,5 mg. Dosis yang direkomendasikan untuk angina stabil kronik ataupun angina vasospastik adalah 5-10 mg, dengan penyesuaian dosis pada pasien usia lanjut dan kelainan fungsi hati. Amlodipine dapat diberikan dalam pemberian bersama obat-obat golongan tiazida, ACE inhibitor, -bloker, nitrat dan nitrogliserin sublingual. Efek Samping

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 51

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Secara umum amlodipine dapat ditoleransi dengan baik, dengan derajat efek samping yang timbul bervariasi dari ringan sampai sedang. Pada penelitian klinik dengan kontrol plasebo yang mencakup penderita dengan hipertensi dan angina, efek samping yang umum terjadi adalah sakit kepaia, edema, somnolen, palpitasi, nyeri abdomen, lelah, mual, dan pusingpusing. Tidak ada keiainan-kelainan tes laboratorium yang signifikan secara klinis yang berkaitan dengan amlodipine. Efek samping lain yang sedikit ditemukan pada pengalaman klinis adalah pruritus, rash, astenia, kram otot, hiperplasia gingiva, dispepsia dan yang jarang ditemukan eritema multiforme. Seperti pada calcium channel blockers, efek samping lain jarang dilaporkan dan tidak bisa dibedakan dari gejala penyakit penyebabnya: infark miokard, aritmia (termasuk takikardi ventrikular dan fibrilasi atrium) dan nyeri dada. Belum ada penelitian pemakaian amlodipine pada wanita hamil, sehingga penggunaannya selama kehamilan hanya bila keuntungannya lebih besar dibandingkan risikonya pada ibu dan janin. Belum diketahui apakah amlodipine diekskresikan ke dalam air susu ibu. Karena keamanan amlodipine pada bayi baru lahir belum jelas benar, maka sebaiknya amlodipine tidak diberikan pada ibu menyusui. Efektivitas dan keamanan amlodipine pada pasien anak belum jelas benar. Peringatan dan Perhatian Penggunaan pada penderita gagal ginjal. Amlodipine sebagian besar dimetabolisme menjadi metabolit inaktif, dan 10% diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin. Perubahan-perubahan kadar amlodipine dalam plasma tidak ada korelasi dengan derajat kegagalan ginjal. Dosis normal amlodipine dapat digunakan pada penderita tersebut namun amlodipine tidak dapat didialisis. Penggunaan pada penderita gagal fungsi hepar. Waktu paruh amlodipine menjadi lebih panjang pada penderita gagal fungsi hepar, oleh karena itu perlu perhatian khusus pada penggunaannya. Dosis rekomendasi belum ada yang pasti. Penggunaan pada ibu hamil dan menyusui. Keamanan penggunaan amlodipine pada ibu hamil dan menyusui belum diteliti. Amlodipine tidak menunjukkan toksik pada penelitian reproduktif pada binatang yang diberi dosis 50 kali (dosis maksimum yang direkomendasikan pada manusia), efek yang timbul yaitu hanya memperpanjang parturisi dan kerja pada tikus percobaan. Berdasarkan hal tersebut di atas, penggunaan pada ibu hamil dan menyusui hanya direkomendasikan bila tidak ada altematif lain yang lebih aman dan bila penyakitnya itu sendiri membawa risiko yang besar pada ibu dan anak. Penggunaan pada penderita lanjut usia.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 52

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak amlodipine sama, baik pada orang tua maupun orang muda. Klirens amlodipine akan menurun dengan peningkatan AUC dan eliminasi waktu paruh penderita lanjut usia, karena mudah ditoleransi dengan baik. Oleh karena itu, dosis normal dapat direkomendasikan pada penderita lanjut usia. Interaksi Obat Amlodipine dapat diberikan bersama dengan penggunaan diuretik golongan tiazida, -bloker, -bloker, ACE inhibitor, nitrat, nitrogliserin sublingual, antiinflamasi non-steroid, antibiotika, serta obat hipoglikemik oral. Pemberian bersama digoxin tidak mengubah kadar digoxin serum ataupun bersihan ginjal digoxin pada pasien normal. Amlodipine tidak mempunyai efek terhadap ikatan protein dari obat-obat : digoxin, phenytoin, warfarin dan indomethacin. Pemberian bersama simetidin atau antasida tidak mengubah farmakokinetik amlodipine. Penyimpanan: Simpan pada suhu kamar, di bawah 30C (Yiya, 2009). Over dosis : Walaupun tidak ada peneiitian yang menyebutkan tentang overdosis amlodipine, tetapi dari data yang ada menunjukkan bahwa overdosis dapat menyebabkan vasodilatasi perifer yang berlebihan dengan tanda selanjutnya berupa hipotensi sistemik yang lebih lama. Hipotensi yang signifikan secara klinik karena overdosis amlodipine memerlukan dukungan -katdiovaakuleiLaktif-termasuk pemantauan jantung dan fungsi pernapasan, peninggian anggota badan, dan perhatian terhadap volume cairan sirkulasi daripengeluaran urin. Bahan vasokonstriktor dapat membantu memulihkan tegangan vaskular dan tekanan darah, diberikan bila tidak ada kontraindikasi terhadap penggunaannya. Karena amlodipine sebagian besar terikat dengan protein, dialisis tidak menguntungkan / tidak direkomendasikan. Pada beberapa kasus, pencucian / kuras lambung dapat membantu menurunkan laju absorpsi amlodipine (Lapi laboratories, 2009). PIO Amlodipine : Obat ini merupakan salah satu penyekat saluran kalsium untuk pengobatan hipertensi yang kerjanya lebih aktif di pembuluh darah. Penyekat saluran kalsium ( calcium channel blocker) adalah suatu kelompok obat yang dapat menurunkan tekanan darah dengan jalan mengurangi masuknya ion kalsium melalui saluran kalsium, lambat masuk ke dalam sel otot polos, otot jantung dan saraf, sehingga menyebabakan relaksasi. Untuk penggunaannya, biasanya dokter meresepkan dosis yang paling sesuai dengan kondisi pasien. Penting untuk memulainya dengan dosis rendah dan kemudian ditingkatkan secara bertahap. Jangan menghentikan obat tanpa berkonsultasi dulu dengan dokter, kecuali bila dicurigai adanya efek samping yang disebabkan oleh obat. Dosis satu kali sehari akan menghasilkan penurunan tekanan darah yang berlangsung selama 24 jam. Onset kerja amlodipine adalah perlahan-lahan, sehingga tidak menyebabkan terjadinya hipotensi akut.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 53

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Obat ini memiliki beberapa efek samping yang biasanya dapat ditoleransi dengan baik, tetapi pasien perlu waspada terhadap beberapa efek sampingnya seperti konstipasi, sakit kepala, mual, pembengkakan pada pergelangan kaki, dan rasa panas. Oleh karena itu, obat ini diminum 1 kali sehari setiap pagi setelah makan. Bila tekanan darah menjadi rendah dapat membuat beberapa orang merasa pusing atau kepala terasa ringan. Ini dapat dihindari dengan membatasi berdiri terlalu cepat setelah berbaring. Bila terdapat hal-hal yang terjadi pada diri pasien, cepat hubungi dokter. Hal-hal tersebut di antaranya : - Mengalami efek yang tidak diinginkan dan menggangu - Sedang hamil atau berencana untuk hamil

- Memiliki gagal jantung

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI URGENSI

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 54

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh: Nanda R Fathiya 1102009200

Pembimbing: dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon Periode 13 Mei 2013 20 Juli 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD Cilegon

Halaman 55

Anda mungkin juga menyukai