Anda di halaman 1dari 53

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rumah Sakit


Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan dan gawat darurat (Depkes RI, 2009).
Menurut Wolper dan Pena (1987), di kutip dari Adisasmito (2007), rumah
sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran
serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan
berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Serta dapat dimanfaatkan
sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Karena rumah sakit
merupakan sarana pelayanan kesehatan untuk pelayanan umum dan tempat
berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, yang memungkinkan terjadinya
pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan atau dapat menjadi tempat penyebab
panularan penyakit (Dartini, 2004).

2.2. Sanitasi Lingkungan


Menurut Ehleer dan Steel (1969) sanitasi adalah upaya pencegahan penyakit
melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi rantai penularan penyakit.
Sedangkan menurut Depkes RI (2001), unsur sanitasi dasar di lingkungan

Universitas Sumatera Utara

pemukiman yang perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan


adalah penyehatan perumahan atau pemukiman, pengendalian vektor, penyediaan air
bersih, pembuangan sampah, pembuangan air limbah dan sanitasi makanan.
Dalam bidang kesehatan sebagai komponen lingkungan yang diketahui dapat
merupakan faktor resiko timbulnya gangguan kesehatan masyarakat, dipelajari dalam
ilmu kesehatan lingkungan. Ilmu kesehatan lingkungan merupakan ilmu yang
mempelajari dinamika hubungan interaktif antara kelompok penduduk atau
masyarakat, dengan segala macam perubahan komponen komponen lingkungan
hidup seperti berbagai spesies kehidupan, bahan, zat atau kekuatan disekitar manusia
yang menimbulkan ancaman atau berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan
masyarakat, serta mencari upaya-upaya pencegahannya (Kusnoputranto, 2000).
Komponen kesehatan lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan
penyakit dikelompokkan sebagai berikut (Kusnoputranto, 2000) :
(a) Golongan Fisik : Seperti energi, kebisingan, kelembaban tinggi, pencahayaan
kurang dan cuaca panas.
(b) Golongan Kimia : Bau amoniak, asap rokok, limbah rumah sakit dan bahan
pembersihan lantai.
(c) Golongan Biologi : Seperti spora jamur, bakteri dan cacing
(d) Golongan Psikologi : Seperti hubungan antara pasien, keluarga pasien dengan
perawat, antara bawahan dan atasan.

Universitas Sumatera Utara

Komponen tersebut akan berinteraksi dengan menusia melalui media atau wahana :
Udara, air, tanah, makanan, vektor penyakit (seperti nyamuk) atau manusia itu
sendiri.

2.2.1. Pengelolaan lingkungan dan ruangan rumah sakit dalam upaya


pencegahan infeksi nosokomial.
Untuk mengurangi terjadinya infeksi nosokomial perlu dilakukan langkahlangkah menghilangkan kuman penyebab infeksi dari sumber infeksi, mencegah
kuman tersebut mencapai penderita dan cara menjauhkan penderita/manusia yang
rentan dengan cara isolasi sumber kuman patogen.
Faktor lingkungan rumah sakit yang perlu diperhatikan dalam rangka
menurunkan angka infeksi nosokomial adalah: (a) Lingkungan berdasarkan
tempatnya meliputi antara lain : disain ruang penderita yang memenuhi standar dan
persyaratan, penyediaan air bersih, fasilitas cuci tangan, desinfeksi dan sterilisasi.
Pembuangan limbah cair dan padat, sanitasi dapur, sanitasi binatu/laundry,
pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu, arus lalu lintas orang. (b)
Lingkungan berdasarkan media kualitas air dan udara serta bunga dan tanaman
(Depkes RI, 2002).
Lingkungan rumah sakit berdasarkan tempatnya ada beberapa tata ruang,
ruang rawatan, ruang tindakan medis, rawat jalan, rawat inap, rumah tangga dan
ruang administrasi sebaliknya saling terpisah. Peletakan masing-masing ruangan
harus disesuaikan dengan lalu lintas penderita, pengunjung, dan para petugas rumah

Universitas Sumatera Utara

sakit. Pengaturan ruangan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Cara


penularan penyakit (mode of transmision), arus lalu lintas pasien (patient traffic)
ruang depan isolasi, ruang dengan bangunan lain. Tersedianya tempat sampah yang
sesuai dengan jenis sampahnya.
Prioritas penempatan ruangan adalah pada ruang operasi dan ruang isolasi
penyakit menular. Bila ventilasi yang baik sukar diperoleh dengan peralatan modern
maka ruang operasi diletakkan sejauh mungkin pada tempat yang kemungkinan udara
tercemar, sedangkan ruang isolasi diletakkan sedemikian agar tidak mencemari udara
sekitarnya. Bebas dari gangguan serangga, binatang pengganggu dan binatang
pengerat.
Pemeliharaan ruang dan bangunan yang memenuhi syarat sebagai berikut
(Depkes, 2006).
a) Kegiatan pembersihan ruangan kegiatan pembersihan ruangan minimal dilakukan
2 kali sehari (pagi dan sore).
b) Pembersihan lantai di ruang perawatan dilakukan setelah pembenahan/merapikan
tempat tidur pasien (verbeden) setelah jam makan, setelah kunjungan keluarga
dan sewaktu-waktu bila dibutuhkan.
c) Cara-cara pembersihan ruang yang dapat menebarkan debu harus dihindari.
d) Harus menggunakan cara pembersihan dengan perlengkapan pembersih (pel)
yang memenuhi syarat dan bahan antiseptik yang tepat.
e) Pada masing-masing ruang supaya disediakan perlengkapan pel tersendiri.

Universitas Sumatera Utara

f) Pembersihan dinding dilakukan secara periodik minimal 2 (dua) kali setahun dan
di cat ulang apabila sudah kotor atau cat sudah pudar.
g) Setiap percikan ludah, darah, eksudat luka pada dinding/lantai harus segera
dibersihkan dengan menggunakan antiseptik.
Hubungan antara ruang dan bangunan di ruang perawatan Ruman Sakit harus
memenuhi kriteria, ruang bedah untuk penderita penyakit menular harus dipisahkan
dengan ruang bedah pusat dan ruang bedah penyakit menular terletak pada lokasi
yang berdekatan dengan bagian rawat tinggal penderita penyakit menular (Depkes,
2002).
Disain ruangan ICU yang direkomendasi oleh Departemen Kesehatan RI
tahun 2004 untuk mengendalikan infeksi adalah sebagai berikut :
1) Luas setiap kamar 20 m sedangkan untuk ruangan isolasi luas satu kamar
22m.
2) Untuk setiap tempat tidur harus tersedia 1-2 ruang isolasi
3) Jarak tempat tidur satu dengan yang lain 10-12 kaki
4) Untuk setiap tempat tidur, tersedia fasilitas desinfektan tangan
5) Lantai dan dinding harus dapat dicuci/dibersihkan
6) Furniture (meja) yang digunakan harus minimal
7) Peralatan monitoring harus tidak bersentuhan dengan lantai, mudah dipindahkan
dan dibersihkan

Universitas Sumatera Utara

8) Peralatan penghisap lendir dan sphygmomanometer harus menempel pada


dinding dan mudah dilepaskan.
Selain disain ruangan kita juga harus memperhatikan masalah kebersihan dan
ruangan tersebut. Pembersihan rutin dilakukan setiap hari. Pembersihan ini ditujukan
untuk menghilangkan kotoran secara kasat mata. Harus ada kebijakan dari masingmasing rumah sakit mengenai frekuensi pembersihan lingkungan adalah dengan
menggunakan air panas. Untuk sterilisasi gunakan air panas dengan suhu 80C
selama 45-60 detik. Untuk peralatan memasak gunakan suhu 80C selama 60 detik.
Sedangkan untuk linen gunakan suhu 70C selama 25 menit atau suhu 95C selama
10 menit (Depkes, 2004).
Menurut Depkes (2004), Konstruksi bangunan ruang ICU harus memenuhi
ruangan perawatan pasien yang berbeda antara lain :
a.

Ruang perawatan pasien tanpa infeksi


a.1. Harus selalu dalam keadaan bersih dan mudah dibersihkan, tersedia tempat
sampah sesuai dengan jenis sampahnya serta tersedia fasilitas sanitasi sesuai
dengan kebutuhan.
a.2. Bebas dari gangguan serangga, binatang pengerat dan binatang pengganggu
lainnya.
a.3. Lantai harus selalu bersih, tingkat kebersihan lantai 0-5 CFU/cm.
a.4. Mutu udara memenuhi persyaratan sebagai berikut: Tidak berbau terutama
H 2 S dan Amoniak. Dan Kadar debu (particulate matter) berdiameter kurang

Universitas Sumatera Utara

dari 10 micron dengan rata-rata pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak


melebihi < 150 ug/m dan tidak mengandung debu asbes.
a.5. Tingkat kebisingan disetiap ruang perawatan, isolasi maksimum 40 dBA.
a.6. Tersedia tempat cuci tangan disetiap ruangan dilengkapi dengan air yang
mengalir, desinfektan dan lap kering/tissu.
b. Ruang perawatan pasien dengan infeksi
b.1. Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan dapur,
kamar operasi ruang perawatan pasien dan ruang khusus lainnya.
b.2. Ruang perawatan untuk pasien penyakit tetanus dengan persyaratan sebagai
berikut: Dinding dilapisi sound proof, Dinding berwarna gelap, Pintu harus
terawat baik sehingga tidak bunyi kalau dibuka, dan Hindari masuknya
cahaya sekecil mungkin (lubang exhauster dilengkapi dengan pencangkal
cahaya).
b.3. Ruang perawatan untuk penyakit saluran pencernaan dengan persyaratan
sebagai berikut: dinding dilapisi porselen/bahan yang mudah dicuci,
kemiringan lantai % kearah saluran pembuangan limbah dan letak
exhauster/ventilasi pada dinding dengan ketinggian 40cm dari lantai.
b.4. Ruang perawatan untuk pasien/penderita penyakit pernafasan dan diphteria
dengan persyaratan sebagai berikut: Dinding dilapisi perselen/bahan yang
mudah dibersihkan, ventilasi harus dipasang terletak pada plafond dan Pintu
harus selalu dalam keadaan tertutup.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Faktor lingkungan yang dapat memengaruhi terjadinya infeksi


nosokomial
Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan terkena invasi
mikroorganisme patogen yang tumbuh dan berkembang biak sehingga dapat
menyebabkan sakit.
Faktor lingkungan berperan pula dalam terjadinya infeksi nosokomial. Udara
salah satu faktor lingkungan yang dapat mencegah maupun meningkatkan
kemungkinan timbulnya infeksi nosokomial. Udara adalah sumber mikroorganisme
karena debu halus di udara mengandung sejumlah mikroba yang dapat menempel
pada alat-alat bedah, permukaan kulit, maupun disekitar ruangan perawat. Melalui
jalur kontak tidak langsung mikroorganisme dari udara dapat masuk melalui luka
bakar. Udara yang kita sebut droplet adalah partikel yang dikeluarkan dari pernafasan
dengan ukuran <5 m dapat tinggal di udara dan beredar sebelum jatuh ke lantai
karena gaya gravitasi bumi. Droplet ini dikeluarkan dengan cara batuk, bersin atau
bronkoskopi.
Udara mengandung barbagai macam jenis mikroorganisme dan jumlahnya
pada lokasi dan sistim ventilasi pada ruangan tersebut. Pemakaian filter udara sangat
berguna menghindari penularan yang disebabkan oleh udara seperti tuberkolosis,
varicella dan campak.
Sistim ventilasi pada ruangan operasi atau isolasi harus menggunakan sistem
yang dapat menyaring/membersihkan udara. Udara yang akan masuk ke dalam
ruangan operasi atau isolasi harus disaring/dibersihkan terlebihdahulu dengan cara

Universitas Sumatera Utara

merangsang ruang tersebut sejauh mungkin dari sumber pencemaran udara.


Resirkulasi dapat dilakukan, tetapi melalui filter HEPA (High Efficiency Particulate
Air) sebelum udara masuk kembali keruangan paling sedikit enam kali penggantian
udara per jam. Pada kebanyakan rumah sakit malakukan penggantian udara sebanyak
12 kali perjam untuk mengisolasi.
Depkes RI (2006), menetapkan beberapa nilai standar untuk udara di ruangan:
a. Suhu
Udara dalam ruangan operasi atau isolasi yang menggunakan penyejuk udara/AC.
Suhu dan kelembabannya harus diperhatikan dan disesuaikan dengan luas
ruangan. Suhu yang dianjurkan pada ruangan ICU 22-23 C, AC selain sebagai
penyejuk udara, juga dapat menjadi sumber infeksi yang dapat menyebar
keseluruh ruangan. Mikroorganisme yang berukuran < 5 m dapat menyebar
keseluruh ruangan melalui aliran udara pipa-pipa AC. Filter pada AC harus
diganti atau sering dibersihkan secara hati-hati tanpa menyebabkan sumber
infeksi.
b. Kelembaban
Kelembaban udara pada masing-masing ruang isolasi harus diupayakan
memenuhi syarat, kelembaban udara pada ruangan ICU yaitu 35-60 % tekanan
udara harus positif. Udara yang terlalu lembab dapat menyebabkan timbulnya
jamur dan spora. Udara yang terlalu kering menyebabkan keringnya lapisan
lapisan mukosa dan merupakan predisposisi infeksi saluran pernafasan.

Universitas Sumatera Utara

c. Kadar debu
Kadar debu berdiameter kurang dari 10 micron dengan rata-rata pengukuran 8
jam atau 24 jam tidak melebihi 150 g/Nm, dan tidak mengandung debu asbes
d. Pencahayaan
Di dalam lingkungan rumah sakit baik di dalam maupun di luar ruangan harus
mendapatkan cahaya dengan intensitas berdasarkan fungsinya pada ruangan
pasien saat tidak tidur intensitas cahaya 100-200 lux dan pada Saat tidur
maksimal 50 intensitas cahaya maksimal 50 lux warna cahaya sedang. Ruangan
operasi umum intensitas cahaya 300-500 lux dan pada ruangan isolasi khusus
penyakit tetanus intensitas cahaya 0,1-0,5 warna cahaya biru, diruangan luka
bakar 100-200 lux.

2.2.3. Sterilisasi dan desinfeksi


a. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan tujuan
mematikan semua mikroorganise termasuk endospora pada suatu alat/bahan.
Sterilisasi adalah cara yang paling aman dan paling efektif untuk pengelolaan alat
kesehatan yang berhubungan dengan darah atau jaringan di bawah kulit yang secara
normal bersifat steril (Darmadi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

a.1. Sterilisasi cara fisik


Sterilisasi basah dilakukan dengan uap panas pada tekanan tertentu misalnya
pada Autoclave, atau dengan cara mendidihkan. Sterilisasi dengan autoclave
paling efisien karena suhu yang dicapai melebihi titik didih air yaitu 121C dan
lama sterilisasi pada umumnya 20 menit. Lama sterilisasi dihitung mulai dari
saat suhu mencapai 121C, untuk seperti kain kasa dan kapas lama sterilisasi 30
menit. Untuk mengawasi kualitas sterilisasi basah digunakan spora tahan panas
misalnya spora bacillus stearothermophilus.
a.2. Sterilisasi kering
Dilakukan didalam oven, membutuhkan suhu yang lebih tinggi yaitu umumnya
antara 150-170 C dan waktu yang lebih lama dari pada autoclave. Digunakan
terbatas untuk alat gelas dan bahan minyak, gas atau bubuk yang rusak dengan
uap. Untuk mematikan spora dibutuhkan waktu 2 jam pada suhu 180C.
a.3. Sterilisasi dengan bahan kimia/gas
Ada beberapa bahan kimia yang merupakan racun bagi mikroorganisme tetapi
tidak banyak yang di pakai sebagai bahan sterilisasi. Bahan kimia yang
digunakan untuk sterilisasi antara lain gas etilen oksida, formaldehid. Gas ini
merupakan bahan kimia yang sangat relatif, sehingga cukup berpotensi untuk
membunuh mikroorganisme. Namun kadang-kadang meninggalkan sisa pada
bahan yang disterilkan.

Universitas Sumatera Utara

a.4.

Sterilisasi cara penyaringan (filtrasi)


Merupakan metode sterilisasi yang dipakai untuk larutan yang tidak tahan panas
seperti serum,plasma atau tripsin. Jenis saringan terbuat dari selulosa berpori,
penyaringan (filter) ini mengabsorbsi hanya sedikit cairan yang difiltrasi. Dan
ukuran penyaring (filter) yang digunakan untuk sterilisasi adalah 0,22 m
karena ukuran ini lebih kecil dari bakteri.

a.5. Sterilisasi cara penyinaran ultra violet


Penyinaran ultra violet terutama digunakan untuk mengendalikan infeksi yang
ditularkan melalui udara pada ruang kultur jaringan. Efek samping dapat
merusak retina mata dan sel-sel yang bermitosis sehingga tidak diperbolehkan
bekerja dibawah sinar UV, selain itu sinar Ultra Violet juga bersifat mutogenik.
Menurut Darmadi (2008), sterilisasi merupakan suatu proses dengan metode
tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu bentuk keadaan yang tidak dapat
ditunjukkan lagi adanya mikroorkanisme hidup. Metode sterilisasi cukup banyak,
namun alternatif yang dipilih sangat bergantung pada keadaan serta kebutuhan
setempat. Apapun pilihan metodenya, hendaknya tetap menjaga kualitas hasil
sterilisasi. Kualitas sterilisasi peralatan medis perlu dijaga terus, mengingat risiko
kontaminasi kembali saat penyimpangan dan terutama pada saat penyimpanan dan
terutama pada saat akan digunakan dalam tindakan medis.
Jumlah dan ragam peralatan medis kritis yang dibutuhkan/digunakan oleh
berbagai unit pelayanan di rumah sakit sangat banyak dan harus siap selama 24 jam

Universitas Sumatera Utara

penuh. Peralatan-peralatan medis ini akan selalu memerlukan upaya sterilisasi


berulang dari satu pemanfaatan ke pemanfaatan berikutnya. Semakin banyak kegiatan
tindakan medis dikerjakan, semakin tinggi pula kegiatan upaya sterilisasi. Sterilisasi
sebagai kegiatan khusus atau tersendiri di rumah sakit yang mengelola peralatan
medis steril siap pakai. Unit ini disebut Central Sterile Supply Department (CSSD)
atau instalasi sterilisasi sentral (ISS). Pemusatan kegiatan sterilisasi ini mempunyai
beberapa keuntungan yaitu : (1) Efisiensi dalam penggunaan sarana dan peralatan,
sehingga mampu menghemat biaya investasi operasional serta pemeliharaan. (2)
Efisiensi tenaga peramedis, artinya tenaga paramedis yang berada di masing-masing
unit kerja tidak perlulagi menangani kegiatan sterilisasi. (3) Adanya standarisasi
prosedur kerja dan adanya jaminan mutu hasil sterilisasi (Darmadi, 2008).
Dengan adanya pemusatan (sentralisasi) kegiatan sterilisasi pada sebuah unit
tersendiri ini, CSSD/ISS tinggal mendistribusikan produk sterilisasinya kesemua unit
pelayanan medis yang ada dan sebaliknya menerima peralatan medis yang
terkontaminasi dari unit yang sama. Garis besar kegiatan CSSD/ISS secara berurutan
adalah sebagai berikut:
1) Dekontaminasi
2) Peralatan medis yang terkontaminasi disentifikasi telebih dahulu untuk
meminimalkan jenis dan jumlah mikroba patogen yang ada.
3) Pembersihan
Peralatan medis dibersihkan untuk membebaskan bakteri organik yang

Universitas Sumatera Utara

menempel seperti daerah jaringan tubuh, dan sebagainya kemudian


dilanjutkan dengan proses pengeringan.
4) Pengemasan
5) Membungkus/ mengemas secara rapi peralatan medis disertai pemasangan
label dan siap untuk proses sterilisasi.
6) Proses sterilisasi
7) Peralatan sterilisasi yang terbungkus/terkemas selanjutnya metode menjalani
sterilisasi sesuai metode yang dipilihnya.
8) Penyimpanan
9) Setelah selesainya proses sterilisasi, peralatan medis disimpan dan harus
dijaga kualitas sterilisasinya.
10) Pendistribusian
11) Peralatan medis yang siap pakai selanjutnya didistribusikan ke unit-unit yang
memerlukannya.
b. Desinfeksi
Desinfeksi suatu proses untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme
pathogen, dengan perkecualian spora bakteri dari suatu benda mati (Rutata, 1996).
Desinfektan secara umum dapat dilakukan menggunakan cara fisik dengan
pemanasan suhu 75-100C atau kimiawi (cairan kimia) (Depkes, 2002).
Setiap proses desinfeksi harus selalu didahului dengan proses dekontaminasi
atau pencucian yang memadai, karena proses ini akan menghilangkan sebagian besar

Universitas Sumatera Utara

kuman yang terdapat pada permukaan banda dan sisa kuman yang sedikit akan lebih
mudah dibutuhkan oleh zat bahan desinfektan. Menurut Rutata (1996), pada saat ini
telah banyak jenis desinfektan yang beredar dan digunakan pada perawatan pasien,
diantaranya adalah alkohol, klorin dan senyawanya. Hydrogen peroksida, iodorof,
fenolik dan senyawa ammonium kwartener. Desinfektan ini tidak dapat saling
ditukarkan satu dengan yang lainnya dalam penggunaan, yang disebabkan
karakteristik kerjanya yang spesifik. Oleh karena itu pemakaian harus dapat memilih
desinfektan yang sesuai dan menggunakan secara aman dan efisien.

2.3.

Perilaku

2.3.1. Pengertian Perilaku


Notoatmodjo (2003), yang dikutip dari Skiner (1938) seorang ahli psikologi,
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons,
maka teori Skiner ini disebut teori S-O-R atau Stimulus-Organisme-Respons.
Skiner membedakan adanya dua respons.
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya

Universitas Sumatera Utara

terang menyebabkan mata tertutup. Respondent respons ini juga mencakup


perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau
menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta dsb.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang
ini disebut reinforcingstimulation atau reinforce, karena memperkuat respons.
Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik
(respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi), maka petugas kesehatan
tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
Notoatmodjo (2003), dikutip dari Benyamin Bloom (1908) seorang ahli
psikologi pendidikan membagi perilaku manusia kedalam 3 (tiga) domain, ranah atau
kawasan yakni : (a). Kognitif (cognitive), (b). afektif (affective), (c). psikomotor
(psychomotor).

2.3.2. Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistim pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Menurut Notoatmodjo (2003)
perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.
a) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau
usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak

Universitas Sumatera Utara

sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit. Oleh sebab itu perilaku
pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
a.1. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
a.2. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.
Perlu dijelaskan disini bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka
dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat
kesehatan yang seoptimal mungkin.
a.3. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya
makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan
seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung
pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
b) Perilaku pencarian dan penggunaan sistim atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau
sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
c) Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain bagaimana seseorang


mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri,
keluarga atau masyarakatnya.
1.

Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui


pancaindra manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan (knowledge) apa yang diketahui dalam kamus bahasa Indonesia
disebutkan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti sesudah dilihat atau
sesudah menyaksikan, mengalami atau setelah diajari (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang. Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
dikelompokkan menjadi: a) pengetahuan tentang sakit dan penyakit, b). Pengetahuan
tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, c). Pengetahuan tentang
kesehatan lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan tentang pencegahan infeksi nosokomial sangat penting untuk
petugas rumah sakit terutama mengenai septik dan aseptik. Kemampuan untuk
mencegah transmisi infeksi di rumah sakit, dan upaya pencegahan itu adalah
tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas,
kemampuan mencegah infeksi nosokomial memiliki keterkaitan yang tinggi dengan

Universitas Sumatera Utara

pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Hal ini diupayakan
adalah pendekatan secara individu maupun berkelompok, melalui pelatihan. Masih
ada petugas yang belum mengikuti semua prosedur pelayanan yang telah ditetapkan
dalam melakukan pelayanan keperawatan (Spritia, 2008).
2.

Sikap
Sikap merupakan suatu pandangan, tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan

suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak
sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak
seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu objek baru menjadi sikap
apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan
terhadap objek tersebut. Sikap mempunyai segi motivasi, berarti segi dinamis
mengenai suatu tujuan, berusaha mencapai suatu tujuan. Sikap dapat merupakan
suatu pengetahuan tetapi pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan
bertindak sesuai dengan pengetahuan itu (Purwanto, 1998). Menurut Newcomb yang
dikutip oleh Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan
seseorang untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Menurut Notoatmodjo (2003) dikutip dari Alport (1954) bahwa sikap
mempunyai 3 komponen pokok yaitu : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep
terhadap suatu objek, (2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
dan (3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Universitas Sumatera Utara

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan,


yaitu (Notoatmodjo, 2003) :
a) Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b) Merespon (responding), berarti memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari suatu sikap
tingkat dua.
c) Menghargai (valuing), diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi dari sikap tingkat tiga.
d) Bertanggung jawab (responsible), berarti bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan skala risiko atau merupakan sikap yang paling
tinggi.
Menurut Purwanto (1998), sikap mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan objeknya. Sifat ini
membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus,
kebutuhan akan istirahat.
b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan arena itu pula
sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syaratsyarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

Universitas Sumatera Utara

c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu


terhadap suatu objek.
d. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang
membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan
yang dimiliki seseorang.
Indikator untuk sikap kesehatan sejalan dengan pengetahuan kesehatan yakni :
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana penilaian atau pendapat
seseorang terhadap, gejala atau tanda, penyebab, cara penularan dan pencegahan
penyakit.
b. Sikap cara memelihara dan cara hidup sehat, yaitu penilaian atau pendapat
seseorang terhadap cara memelihara dan cara berperilaku hidup sehat.
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan, yaitu pendapat atau penilaian seseorang
terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
3.

Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerak/perbuatan dari tubuh

setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh
atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak
ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan, namun tidak
dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu
sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang
memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak
(Notoatmodjo, 2003).
Tindakan ini dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran secara tidak
langsung yaitu dengan wawancara atas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Sedangkan pengukuran yang
dilakukan secara langsung yakni mengobservasi tindakan atau kegiatan responden
(Notoatmodjo, 2003).

2.4. Angka kuman


Angka kuman udara ruang operasi yang diperbolehkan adalah 10 mikro
organisme /m udara. Sedangkan angka kuman pada ruangan ICU 200 mikro
organisme /m udara. Sedangkan angka kuman di lantai dan dinding ruangan operasi
0-5 CFU/cm dan bebas patogen dan gas ganggren, ruangan perawat dan ruangan
(Depkes, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.4.1. Kuman udara di ruangan


Menurut WHO (dalam Depkes RI, 2007) kuman penyebab infeksi nosokomial
dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Conventional Pathogens
Menyebabkan penyakit pada orang sehat, karena tidak adanya kekebalan terhadap
kuman tersebut, misalnya staphylococcus aureus, streptococcus, salmonella,
shigella, virus influenza dan virus hepatitis.
b. Conditional Pathogens
Penyebab penyakit kalau ada faktor predisposisi spesifik pada orang dengan daya
tahan tubuh menurun terhadap infeksi (termasuk neonati) atau kuman langsung
masuk kedalam jaringan tubuh/ bagian tubuh yang biasanya steril. Misalnya :
Pseudomonus, Proteus, Klebsiella, Serralia dan Enterobacter.
c. Opportunistic Pathogens
Menyebabkan penyakit menyeluruh (generalized disease) pada penderita yang
daya tahan tubuhnya sangat menurun, misalnya Mycobacteria, Nocardia,
Pneumocytis.
Didalam tubuh manusia, biasa terdapat kuman yang hidup dalam flora normal
secara komensial atau sapropit, antara lain adalah: a) Staphylococcus dan
sterepcoccus viridians ini terdapat di mulut, tenggorokan dan hidung. b) E.coli dan
seratia di usus. c) Pseudomonas aeroginosa terdapat dihidung, tenggorokan dan usus.
Dan d) Candida albicans ini biasanya dikulit dan dianus (Depkes, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Kalau terjadi perubahan keadaan, kuman bisa jadi patogen bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain, misalnya: karena pemakaian antibiotik yang lama, kuman
jadi kebal dan tumbuh subur. Kuman ini dapat menjadi virulen dan menyebabkan
terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh menurun.

2.5. Infeksi Nosokomial


2.5.1. Definisi infeksi nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa yunani yaitu nosokomial yang berarti rumah
sakit. Maka nosokomial diartikan sebagai yang berasal dari rumah sakit. Sementara
kata infeksi memiliki arti hama penyakit, dengan kata lain infeksi nosokomial adalah
infeksi yang muncul selama seseorang dirawat atau setelah selesai dirawat atau
setelah selesai dalam masa perawatan. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit
dan menunjukkan gejala infeksi setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit (Utama,
2008).
Menurut Darmadi (2008), Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di
rumah sakit dan menyerang penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan. Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba patogen
yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Rumah sakit sebagai
institusi pelayanan medis tidak mungkin lepas dari keberadaan sejumlah mikroba
patogen. Hal ini dimungkinkan karena: (a) rumah sakit merupakan tempat perawatan

Universitas Sumatera Utara

segala macam jenis penyakit (b) rumah sakit merupakan gudangnya mikroba
patogen (c) mikroba patogen yang ada umumnya sudah kebal terhadap antibiotika.
Semakin luas jangkauan pelayanan, maka semakin banyak penderita yang
memerlukan rawat inap. Bila sanitasi rumah sakit tidak terjamin dengan baik, maka
semakin besar risiko terjadinya ancaman infeksi nosokomial pada penderita-penderita
yang sedang dalam proses asuhan keperawatan (Darmadi, 2008).
Menurut Depkes (2002), infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi atau
didapat penderita ketika sedang dirawat di rumah sakit dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda
klinis dari infeksi yang sedang diteliti.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak dalam masa inkubasi
dari infeksi tersebut.
c. Tanda-tanda khusus infeksi tersebut mulai timbul sekurang-kurangnya setelah
3x24 jam sejak mulai perawatan.
d. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang sama
tetapi lokasi infeksi berbeda.

2.5.2. Sumber infeksi nosokomial


Menurut Uliyah (2006), Beberapa sumber penyebab terjadinya infeksi
nosokomial adalah :

Universitas Sumatera Utara

a. Pasien, pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi ke


pasien lainnya.
b. Petugas kesehatan, petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak
langsung yang dapat menularkan berbagai kuman ketempat lain.
c. Pengunjung, pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke
dalam lingkungan rumah sakit atau sebaliknya, yang didapat dari dalam rumah
sakit ke luar rumah sakit.
d. Sumber lain, sumber lain yang dimaksud disini adalah lingkungan rumah sakit
yang meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah sakit atau alat
yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau petugas kesehatan
kepada pasien dan sebaliknya.

2.5.3. Cara penularan mikroorganisme


Menurut Uliyah (2006), Proses penyebaran mikroorganisme kedalam tubuh,
baik pada manusia maupun hewan, dapat melalui berbagai cara, diantaranya:
a. Kontak tubuh kuman masuk ke dalam tubuh melalui proses penyebaran secara
langsung, maupun tidak langsung. Penyebaran secara langsung melalui sentuhan
dengan kulit, sedangkan secara tidak langsung dapat melalui benda yang
terkontaminasi.

Universitas Sumatera Utara

b. Makanan dan minuman, terjadinya penyebaran dapat melalui makanan dan


minuman yang telah terkontaminasi, seperti pada penyakit tifus abdominalis,
penyakit infeksi cacing dan lain-lain.
c. Serangga, contoh proses penyebaran kuman melalui serangga adalah penyebaran
penyakit malaria oleh plasmodium pada nyamuk anopheles, dan beberapa
penyakit saluran pencernaan yang dapat ditularkan melalui lalat.
d. Udara, proses penyebaran kuman melalui udara dapat dijumpai pada penyebaran
penyakit system pernafasan.

2.5.4. Faktor yang memengaruhi proses infeksi nosokomial


Menurut Uliyah (2006), Faktor yang mempengaruhi proses infeksi
nosokomial adalah:
a. Sumber penyakit, sember penyakit dapat mempengaruhi apakan infeksi berjalan
cepat atau lambat.
b. Kuman penyebab, kuman penyebab dapat menentukan jumlah mikroorganisme,
kemampuan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan virulensinya.
c. Cara membebaskan sumber kuman, cara membebaskan kuman dapat menentukan
apakah proses infeksi cepat teratasi atau diperlambat, seperti tingkat keasaman
(pH), suhu, penyinaran (cahaya) dan lain-lain.
d. Cara penularan, cara penularan seperti kontak langsung, melalui makanan atau
udara, dapat menyebabkan penyebaran kuman ke dalam tubuh.

Universitas Sumatera Utara

e. Cara masuknya kuman, proses penyebaran kuman berbeda, tergantung dari


sifatnya. Kuman dapat masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan,
kulit dan lain-lain.
f. Daya tahan tubuh, daya tahan tubuh yang baik dapat memperlambat proses
infeksi atau mempercepat proses penyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya
tahan yang buruk dapat memperburuk proses infeksi.
a. Selain faktor tersebut diatas, terdapat faktor lain, seperti status gizi atau nutrisi,
tingkat steres tubuh, faktor usia atau kebiasaan yang tidak sehat.

2.5.5. Pengaruh lingkungan rumah sakit terhadap infeksi nosokomial


Beberapa faktor yang sering menjadi sumber infeksi nosokomial di rumah
sakit diantaranya (Depkes RI, 2002) :
a.

Banyaknya pasien yang dirawat dan menjadi sumber infeksi bagi pasien lain
maupun lingkungannya.

b.

Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan pasien
lainnya.

c.

Kontak langsung antara petugas rumah sakit yang terkontaminasi oleh kuman
dengan pasien yang dirawatnya.

d.

Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang sedang dideritanya.


Infeksi nosokomial dapat bersumber dari faktor endogen dan eksogen yang

berasal dari lingkungan yang dapat berupa benda hidup (animate) maupun benda mati

Universitas Sumatera Utara

(ianimate) yang terkontaminasi oleh kuman patogen manusia. Pelaksanaan


pengelolaan faktor lingkungan di rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan
dan upaya pencegahan infeksi nosokomial dapat berhasil dengan baik (Depkes,
1997).

2.5.6. Rantai penyebaran infeksi


Saat ini tim khusus pengendalian infeksi sepakat bahwa petugas kesehatan
merupakan media yang bisa menyebarkan agen infeksi melalui tangannya sebagian
besar tangan mempunyai makna yang signifikan untuk menyebarkan infeksi
nosokomial. Penyebaran mikroorganisme ini tejadi dalam dua cara dari petugas
kesehatan ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan (Burke, 2003, Larson,
1998). Sebuah penelitian dilakukan oleh Larson (1985) menunjukkan bahwa 21%
dari 103 tangan petugas kesehatan ditemukan spesies bakteri gram negatif seperti
kelompok klebsiella enterobacter dan beberapa spesies serratia.
a.

Skema rantai penularan infeksi nosokomial

Universitas Sumatera Utara

Tempat Keluar

Penjamu
yang rentan

Cara penularan kontak


langsung dan tidak
langsung

Sumber
Penyebab

Tempat Masuk

Gambar 1. Skema rantai penularan infeksi nosokomial


b. Transmisi kuman
Menurut Uliyah (2006), transmisi kuman merupakan proses masuknya kuman
ke dalam tubuh manusia yang dapat menimbulkan radang atau penyakit. Proses
tersebut melibatkan beberapa unsur, diantaranya :
b.1. Reservoir merupakan habitat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme,
dapat berupa manusia, binatang, tumbuhan maupun tanah.
b.2. Jalan masuk merupakan jalan masuknya mikroorganisme ke tempat
penampungan dari berbagai kuman, seperti saluran pernapasan , pencernaan
kulit dan lain-lain.
b.3. Inang (host) tempat berkembangnya suatu mikroorganisme, yang dapat
didukung oleh ketahanan kuman.
b.4. Jalan keluar tempat keluar mikroorganisme, dari reservoir, seperti sistem
pernapasan, sistem pencernaan, alat kelamin dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

b.5. Jalur penyebaran merupakan jalur yang dapat menyebabkan berbagai kuman
mikroorganisme ke berbagai tempat seperti air, makanan, udara dan lain-lain.

2.5.7. Faktor-faktor yang memengaruhi infeksi nosokomial


Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan infeksi nosokomial terdiri dari
dua bagian besar yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi
umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh dan kondisi-kondisi lokal.
Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang merawat,
alat medis, serta lingkungan (Parhusip, 2005). Menurut WHO (2004) faktor yang
berhubungan dengan infeksi nosokomial adalah tindakan invasif yang merusak barier
normal, contoh inhubasi, kateterisasi dan pemasangan infus, ruangan terlalu penuh
dengan staf, penyalah gunaan antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak tepat dan
ketidaktaan terhadap peraturan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.
Weinstein (1998), menyatakan bahwa meningkatnya kejadian infeksi
nosokomial dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan
fasilitas perawatan yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti program
pengendalian infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan
kondisi pasien rumah sakit yang semakin immunocompromised. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian, faktor-faktor yang sering disebut sebagai faktor yang
berhubungan dengan terjadinya infeksi nosokomial secara umum sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

a.

Usia
Penelitian Syahrul (1997) dan Kamal (1998) di kutip dari Setiawati (2009),

menemukan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian infeksi
nosokomial. Pada periode neonatal, bayi dengan berat badan lahir rendah dan jenis
kelamin laki-laki beresiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial 1,7 kali
dibandingkan dengan wanita (Nguyen, 2009).
b.

Jenis kelamin
Nguyen (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial

tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada infeksi saluran kemih ada perbedaan
kejadian antara laki-laki dan perempuan karena perempuan secara anatomis memiliki
uretra yang lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki (Garibaldi, 1993).
c.

Lama hari rawat


Pasien yang dirawat lebih lama di rumah sakit berisiko mendapatkan infeksi

lebih tinggi dibandingkan dengan lama rawat yang singkat. Semakin lama hari rawat
inap yang merupakan faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi infeksi
nosokomial di rimah sakit ( Ahmad, 2002)
d.

Kelas ruang rawat


Pasien yang dirawat yang semakin lama semakin rentan terhadap

kemungkinan infeksi nosokomial. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang
kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang jelek, seperti ventilasi

Universitas Sumatera Utara

kurang memadai, jarak satu pasien dengan yang lain tidak sesuai. Cahaya dengan
intensitas yang kurang dapat menjadi sumber infeksi (Ahmad, 2002)
e.

Komplikasi dan penyakit penyerta


Pasien di rumah sakit dengan komplikasi dan penyakit penyerta pada

umumnya mempunyai kondisi umum yang lemah, sehingga lebih terpapar terhadap
infeksi (Garibaldi, 1993).
f.

Penggunaan alat invasive


Penggunaan alat-alat invasive dihubungkan sebagai faktor yang berperan

dalam menyebabkan infeksi nosokomial (Richard et al, 1999). Semakin lama


pemakaian ventilator mekanik kateter urin, terapi intravena dan infus akan meningkat
resiko untuk terkena infeksi nosokomial (Yelda, 2003), tindakan yang berkomunikasi
dalam menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial diruang PICU dan NICU antara
lain adalah pemasangan kateter arteri umbilical pemberian nutrisi pareteral dan
penggunaan ventilasi mekanik (Mireya, 2006). Suatu penelitian klinis diruang
penyakit dalam tentang infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi jarum
infus, infeksi saluran napas, infeksi kulit, infeksi dan luka operasi dan septicemia.
Diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus, pemakaian infus dan kateter
urin lama yang tidak diganti-ganti dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi dari
kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis. Fisik dan kimiawi, komplikasi
tersebut berupa ekstavasasi infiltrat yaitu cairan infus masuk kejaringan sekitar inersi
kanula. Terjadinya penyumbatan dimana infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya

Universitas Sumatera Utara

tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain, Flebitis, kolonisasi kanul yaitu bila
sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam pembuluh
darah, septicemia bila kuman menyebar hematogen dari kanul dan supurasi bila telah
terjadi bentukan pus disekitar inersi kanul.
Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula
intravena yaitu jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter
yang terpasang lebih dari 72 jam. kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak
mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan transfusi darah
karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada
tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering di kanula.
Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi, dan bacteremia
(Utama, 2008).
g.

Pemakaian antibiotik
Pemakaian antibiotik baik jenis atau jumlah yang nasional tanpa menunggu

kultur dapat menyebabkan timbulnya infeksi nokosomial dengan pemaparan terhadap


antibiotik dimana pasien yang mendapatkan antibotik/berisiko mendapatkan infeksi
3,45 % (Yelda, 2003) adanya organisme yang patogen yang sudah resisten terhadap
methicilin dan anti biotika
Infeksi yang dimulai dari benjolan merah, jerawat atau gigitan serangga.
Kemudian infeksi menyebar keseluruh tubuh dan akhirnya bisa menimbulkan
kematangan infeksi MRSA (Methicillin Resistant Staphlococcus Aureus) dapat di

Universitas Sumatera Utara

cegah dengan mencuci. Menurut Jernigan (1995), Disinfeksi alat-alat yang digunakan
pada pasien yang digunakan pada pasien masih kurang dan HH (hand hygiene) gagal.
Sulit untuk diobservasi pada area pelayanan rawat jalan, jumlah infeksi MRSA yang
didapat Di masyarakat yang menderita penyakit kronis dan membutuhkan kontak
sering dengan sistim pelayanan kesehatan melakukan kunjungan pasien rawat jalan.
MRSA bisa berpindah kepetugas kesehatan. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa gaun petugas kesehatan sering menjadi sarana penyebaran setelah melakukan
perawatan pasien dengan infeksi MRSA. Ketika jaket sudah dipakai pada area klinik
sebagai pengganti sebuah gaun, ia menjadi terkontaminasi pada 2/3 kasus dan
tanganpun ikut terkontaminasi, setelah mereka menyelesaikan aktivitas perawatan
pasien dipagi hari dengan infeksi MRSA dibagian sistim saluran perkemihan atau
luka dan 42% personil yang kontak langsung dengan pasien yang terkontaminasi
tangan mereka.
MRSA didapat dari bakteri yang resisten sebagian besar antibiotik termasuk
semua jenis penicilin dan sepalosporin. MRSA dapat menyebar pada orang lain
melalui berbagai cara. Orang bisa membawa melalui hidung, kulit, tanpa menujukkan
gejala sakit disebut kolonisasi. MRSA bisa juga menyebabkan infeksi seperti bisul,
infeksi luka dan pneumonia.
MRSA dapat menyebar melalui tangan dan sentuhan ke orang lain, strategi
untuk pencegahannya adalah melalui cuci tangan dengan sabun, air hangat setelah
bersentuhan langsung dengan klien, pakaian dan sarung tangan bersihkan ruangan

Universitas Sumatera Utara

setiap hari, gunakan sarung tangan setiap bersentuhan dengan sampah dan observasi
prosedur isolasi MRSA juga dapat dibawa kerumah melalui pakaian. Melalui
sentuhan ke tubuh yang luka atau adanya keluaran cairan dari pasien. MRSA yang
tidak menurunkan gejala tidak perlu di obati namun jika serius dapat diobati
menggunakan vancomiycin melalui intravena atau oral. Namun begitu vancomiycin
bisa menyebabkan efek samping yang serius (Guideline for the Control of MRSA,
2000).
h. Mikroorganisme
Dari sisi mikroorganisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari
organisme tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama dan
juga kolonisasi dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibodi, dan rendahnya
pertahanan tubuh, kemampuan mikroorganisme untuk menyebabkan infeksi
nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan lokasi bagian tubuh yang
diakibatkan (Potter&Perry, 1993).
Tidak mencuci tangan juga dihubungkan dengan terjangkit multi resisten
klebsiella pneumonia. Penelitian di ruang anak-anak selama 3 minggu, 9 bayi
terinfeksi terpapar dengan klebsiella pneumonia 2 dari 9 bayi berkembang menjadi
septikimia dan satu aspirasi pneumonia. Mikroorganisme yang sama yang juga
berpengaruh terhadap bayi baru lahir yang diisolasi dari lingkungan sumber hidung
dan tangan dokter, tangan perawat, dan dari ibu yang anaknya terinfeksi (Coovadia,
1992) Terjangkit infeksi rotavirus pada pasien pediatrik juga berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara

perilaku tidak mencuci tangan, mencuci tangan dengan tepat adalah cara yang efektif
untuk menghindari semua tipe MRSA baik di tangan maupun tubuh (Pearson, 2006).
i.

Status nutrisi
Menurut Patra (2006) dalam Setiawati (2009), umur, status nutrisi, jumlah dan

lama inhubasi serta lamanya dilakukan pemasangan ventilasi, pemberian makanan


melalui selang nasogastrik adalah faktor yang berisiko menyebabkan berkembangnya
pneumonia nosokomial. Status nutrisi dihubungkan dengan pembentukan daya tahan
tubuh sebagai mekanisme pertahanan terhadap infeksi.

2.5.8. Pengendalian dan pencegahan infeksi nosokomial


Menurut Uliyah (2006), Beberapa tindakan pencegahan infeksi nosokomial yang
dapat dilakukan adalah:
a. Aseptik yaitu tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan, istilah ini
dipakai untuk menggambarkan semua usaha yang dilakukan untuk mencegah
masuknya mikroorganisme kedalam tubuh yang kemungkinan besar akan
mengakibatkan infeksi. Tujuan akhirnya adalah mengurangi atau menghilangkan
jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun benda mati
agar alat-alat kesehatan dapat dengan aman digunakan.
b. Antiseptik, yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainya.

Universitas Sumatera Utara

c. Dekontaminasi, tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani oleh
petugas kesehatan secara aman, terutama petugas pembersihan medis sebelum
pencucian dilakukan. Contohnya adalah meja pemeriksaan, alat-alat kesehatan
dan sarung tangan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh disaat
prosedur bedah/tindakan dilakukan.
d. Pencucian, yaitu tindakan menghilangkan semua darah, cairan tubuh atau setiap
benda asing seperti dabu dan kotoran.
e. Desinfeksi, yaitu tindakan menghilangkan sebagian besar (tidak semua)
mikroorganisme penyebab penyakit dan benda mati. Desinfeksi tingkat tinggi
dilakukan dengan merebus atau dengan menggunakan larutan kimia. Tindakan
ini dapat menghilangkan semua mikroorganisme, kecuali beberapa bakteri
endospora.
f. Sterilisasi, yaitu tindakan untuk meghilangkan semua mikroorganisme (bakteri,
jamur, parasit dan virus) termasuk bakteri endospora.
Terjadinya infeksi tergantung pada interaksi kompleks dari kerentanan
hospes, agen-agen infeksius dan cara penularan. Faktor-faktor pasien dan perawatan
kesehatan berinteraksi untuk menghasilkan resiko infeksi yang signifikan. Identifikasi
resiko infeksi, dari mereka yang telah terinfeksi dan sterategi pengendalian infeksi
yang direkomendasikan meminimalkan insidens dan konsekuensi infeksi yang serius
pada pasien dan petugas perawatan kesehatan, pencegahan dan metode pengendalian
berfokus pada tiga area yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a)

Meningkatkan resisten hospes


Resistensi ditingkatkan dengan menggunakan vaksin dan toksoid untuk
imunisasi atau imonoglobulin (antibodi) untuk imunisasi pasif, nutrisi yang
adekuat, dan olah raga juga menambah resistensi hospes.

b)

Menginaktifkan agen-agen infeksius


Inaktifasi agen-agen infeksius dilakukan dengan metode fisik dan kimiawi,
termasuk pemanasan (pasteurisasi dan sterilisasi) dan memasak makanan dengan
adekuat.

c)

Cara penularan/mata rantai infeksi


Cara penularan adalah mata rantai termudah untuk memutus rantai infeksi.
Memutus cara penularan dilakukan dengan isolasi pasien yang terinfeksi,
menggunakan cuci tangan dan teknik aseptik (Schaffer dkk, 2000).
Pencegahan infeksi dilakukan agar perawat dapat mengkhususkan diri
dalam kontrol infeksi dan tanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan dan
program, staf perawat memainkan peran penting dalam menurunkan resiko
infeksi nosokomial, peranan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial
yaitu:
c.1. Mencuci Tangan
Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis
dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air, tujuan cuci tangan
adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit

Universitas Sumatera Utara

dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara, cuci tangan dengan sabun


biasa dan air sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun
antimicrobial (Prawirohardjo, 2004).
Menurut Schaffer (2000), Indikasi mencuci tangan adalah :
1. Sebelum dan setelah kontak dengan pasien atau melakukan prosedur
memasang infus dan lain-lain.
2. Sebelum dan setelah memasang peralatan yang digunakan pasien
contohnya kateter urin dan lain-lain.
3. Setelah menggunakan ruangan istirahat dan setelah membersihkan atau
mengelap hidung.
4. Sebelum dan setelah makan.
5. Sebelum dan sesudah mengambil specimen.
6. Bila tangan kotor.
7. Bila akan bertugas dan bila selesai bertugas.
Prosedur mencuci tangan yang rutin sangat diperlukan sepanjang waktu tiga
komponen untuk mencuci tangan ambil air sabun, air, gosokan, prosedur ini
dilakukan minimal dalam waktu 10-15 detik. Yaitu dengan cara: a. Basahi tangan
dengan air mengalir, b. Usapkan sabun ditengah-tengah tangan yang basah c.
Gosokkan sampai berbusa banyak, d. Gunakan friksi yang kuat dan cepat dengan
menggosokkan kedua tangan gosok dasar kuku dan sela-sela jari, e. Bilas tangan

Universitas Sumatera Utara

secara menyeluruh dengan air, f. Keringkan tangan dengan handuk dan g. Matikan
kran dengan menggunakan alas handuk (Schaffer, 2000).
c.2. Penggunaaan sarung tangan
Pakai sarung tangan bila menyentuh darah, cairan yang mengandung darah,
sekresi dan benda-benda yang terkontaminasi. Pakai sarung tangan yang bersih
tepat sebelum menyentuh membran mukosa dan kulit yang tidak utuh. Lepaskan
sarung tangan dengan cepat setelah digunakan, sebelum menyentuh benda-benda
yang tidak terkontaminasi dan permukaan lingkungan, dan sebelum ke pasien
yang lainnya. Cuci tangan dengan segera untuk menghindari pemindahan
mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain (Schaffer, 2000).
c.3. Gaun (Baju Kerja)
Pakai gaun bila memasuki ruangan pasien jika anda mengantisipasi bahwa
pakaian anda akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan, atau alat-alat
di runganan pasien atau jika pasien mengalami inkontinensia (diare) dan drainase
luka yang tidak ditutup dengan balutan. Lepaskan gaun sebelum keluar dari
ruangan pasien. Setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak
dengan permukaan lingkungan yang dicurigai terkontaminasi.
Pakai gaun bersih untuk melindungi kulit dan mencegah pakaian basah
selama prosedur dan aktivitas perawatan pasien yang sepertinya dapat
mencetuskan semburan atau percikan darah, cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi
atau yang menyebabkan pakaian menjadi basah. Lepaskan gaun yang telah basah

Universitas Sumatera Utara

secepat mungkin dan cuci tangan untuk menghindari transfer mikroorganisme ke


pasien lain atau lingkungan (Schaffer, 2000).
c.4. Masker sebagai pelindung wajah
Pakai masker dan pelindung mata atau tutup wajah untuk melindungi membran
mukosa mata, hidung dan mulut selama prosedur dan aktifitas perawatan pasien
yang sepertinya akan mencetuskan percikan atau semprotan darah, cairan tubuh,
sekresi dan ekskresi.
c.5. Tangani peralatan perawatan pasien yang basah atau darah, cairan tubuh sekresi,
ekskresi dengan cara yang mencegah pemajanan kulit atau membran mukosa,
kontaminasi pakaian dan pemindahan mikroorganisme kepasien lain dan
lingkungan. Peralatan yang dapat digunakan kembali harus diproses dengan tepat
sebelum peralatan tersebut digunakan kembali untuk pasien lainnya, alat-alat
sekali pakai harus dibuang dengan tepat (Schaffer, 2000).
c.6. Linen (alat tenun)
Tangani,transport dan proses linen yang telah digunakan yang basah oleh darah,
cairan tubuh, sekresi, dan ekskresi dengan cara mencegah pemajanan kulit dan
membran mukosa serta kontaminasi pakaian (Schaffer, 2000)
c.7. Pembuangan Jarum Suntik
Dilakukan dengan hati-hati agar tidak mencederai ketika menggunakan jarum
suntik dan benda-benda tajam lainnya, ketika menangani instrument yang tajam
setelah prosedur, ketika membersihkan instrumen yang telah digunakan dan

Universitas Sumatera Utara

ketika membuang jarum suntik yang telah digunakan dan ketika membuang
jarum suntik yang telah digunakan dari spuit, jangan membengkokkan,
mematahkan, letakkan jarum suntik sekali pakai dan alat tajam lainnya, dalam
wadah yang tahan bocor yang diletakkan sedekat mungkin kedaerah dimana alat
tersebut digunakan, agar dapat dipindahkan ke daerah pemrosesan (Schaffer,
2000).
Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi
bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala hingga telapak kaki. Perlengkapan ini
terdiri dari tutup kepala, gaun, sarung tangan, masker, sampai dengan alas kaki.
Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/ dipakai semuanya/ bersamaan,
tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta
perawatan.
Menurut Darmadi (2009), Tiga hal yang penting harus diketahui dan
dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita
saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu :
1. Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas dari
kemungkinan menularkan penyakit.
2. Setiap mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus
membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan hygiene lainnya.
3. Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan
cara yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

2.5.9. Macam penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial


Menurut Depkes RI (2001), Penyakit yang disebabkan oleh infeksi
nosokomial adalah :
a. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi saluran nafas bagian bawah. Pneumonia harus
memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut :
Kriteria 1. Pada pemeriksaan fisik terdapat ronci basah atau pekak (dullness) pada
perkusi, dan salah satu di antaranya keadaan berikut : (1) timbul
perubahan baru berupa seputum purulen atau terjadi perubahan sifat
sputum, (2) Isolasi kuman positif pada biakan darah dan (3) Isolasi kuman
patogen positif dari asfirasi trakea, sikatan/cuci bronkus atau biopsi.
Kriteria 2. Foto thorak menunjukan adanya infiltraf, konsolidasi kavitas, efusi pleura
atau progresif. Dan salah satu diantara keadaan berikut : (1) Timbul
perubahan baru berupa sputum purulen atau terjadi perubahan sifat
sputum. (2) Isolasi kuman positif pada biakan darah. (3) Isolasi kuman
patogen positif dari aspirasi trakea,sikatan/cuci, bronkus atau biopsi (4)
Virus dapat di isolasi atau terdapat antigen virus dalam sekresi saluran
nafas (5) Titer IgM atau IgG spesifik meningkat empat kali lipat dalam
dua kali pemeriksaan dan (6) Terdapat tanda-tanda pneumonia pada
pemeriksaan histopatologi.

Universitas Sumatera Utara

Kriteria 3. Pasien berumur kurang dari 1 tahun didapatkan dua diantara berikut :
Apnea, Takipnea, Bradikardia, Mengi (wheezing), Ronki basah, Batuk.
Dan paling sedikit satu diantara keadaan berikut : (1) Produksi dan sekresi
saluran nafas meningkat (2) Timbul perubahan baru berupa sputum
purulen atau terjadi perubahan sifat sputum (3) Isolasi kuman positif pada
biakan dar;ah (4) Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea,
Sikatan/cuci, bronkus atau biopsi (5) Virus dapat di isolasi atau terdapat
antigen virus dalam sekresi saluran nafas dan (6) Terdapat tanda-tanda
pneumonia pada pemeriksaan histopatologi
Kriteria 4. Gambaran radiologi thorak serial pada penderita umur lebih dari 1 tahun
menunjukan infiltrat baru atau progresif,konsolidasi, kafitas, atau efusi
pleura. Dan paling sedikit satu diantara keadaan berikut : (1) Produksi dan
sekresi saluran nafas meningkat (2) Timbul perubahan baru berupa
sputum purulen atau terjadi perubahan sifat sputum (3) Isolasi kuman
positif pada biakan darah (4) Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi
trakea, Sikatan/cuci, bronkus atau biopsi (5) Virus dapat di isolasi atau
terdapat antigen virus dalam sekresi saluran nafas dan (6) Terdapat tandatanda pneumonia pada pemeriksaan histopatologi.
b. Infeki saluran kemih simptomatik
Depkes RI (2001), Infeksi saluran kemih (ISK) simptomatik harus memenuhi
paling sedikit satu kriteria berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

Kriteria 1. Didapatkan paling sedikit satu dari tanda-tanda dan gejala-gejala berikut
tanpa ada penyebab lainnya : Demam (>38 C), Nikuria (anyang-anyang),
polakisuria, disuria, nyeri supra pubik, atau biakan urin porsi tengah
(midstream) >10 kuman per ml urin dengan jenis kuman tidak lebih dari 2
spesies.
Kriteria 2. Ditemukan paling sedikit dua dari tanda-tanda dan gejala-gejala berikut
tanpa ada penyebab lainnya: supra pubik demam (>38 C), Nikuria
(anyang-anyang), polakisuria, disuria, nyeri supra pubik. Dan salah satu
dari hal-hal sebagai berikut: (1) Test carik celup (dipstick) positif untuk
leokosit esterase dan atau nitrit (2) Piuria (terdapat 10 leukosit per ml
atau terdapat 3 leukosit per LPB dari urin yang tidak di pusing). (3)
Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak pusing
(dicentrifuge) dan (4) Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut
menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >100 koloni kuman per ml urin yang
diambil dengan kateter (5) Biakan urin paling sedikit dua kali berturutturut menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >10 per ml pada penderita yang lelah
mendapat pengobatan anti-mikroba yang sesuai (6) Didiagnosis ISK oleh
dokter yang menangani dan (7) Telah mendapat pengobatan antimikroba
yang sesuai oleh dokter yang menangani

Universitas Sumatera Utara

Kriteria 3. Pada pasien berumur 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tandatanda dan gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya : demam
(>38C), hipotermia (<37 C), apnea, bradikardia <100/menit, letargia,
muntah-muntah. Dan hasil biakan urin 10 kuman/ ml urin dengan tidak
lebih dari dua jenis kuman.
Kriteria 4. Pada pasien berumur 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tandatanda dan gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya: demam
(>38C), hipotermia (<37 C), apnea, bradikardia <100/menit, letargia,
muntah-muntah. Dan paling sedikit satu dari berikut: (1) Test carik celup
(dipstick) positif untuk leokosit esterase dan atau nitrit (2) Piuria (terdapat
10 leukosit per ml atau terdapat 3 lekosit per LPB dari urin yang tidak
di pusing). (3) Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang
tidak pusing (dicentrifuge) (4) Biakan urin paling sedikit dua kali berturutturut menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >100 koloni kuman per ml urin yang
diambil dengan kateter (5) Biakan urin paling sedikit dua kali berturutturut menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >10 per ml pada penderita yang lelah
mendapat pengobatan anti-mikroba yang sesuai (6) Didiagnosis ISK oleh
dokter yang menangani dan (7) Telah mendapat pengobatan antimikroba
yang sesuai oleh dokter yang menangani.

Universitas Sumatera Utara

c. Infeksi saluran kemih asimptomatik


Depkes RI (2001), Infeksi saluran kemih (ISK) asimptomatik harus memenuhi
paling sedikit satu kriteria berikut ini:
Kriteria 1. Pasien pernah memakai kateter kandung kemih dalam waktu 7 hari
sebelum biakan urin. Dan ditemukan dalam biakan urin > 10 kuma per ml
urin dengan jenis kuman maksimal 2 spesies. Dan tidak terdapat gejalagejala / keluhan demam, suhu >38C, polakisuria, nikuria, disuria, dan
nyeri supra pubik.
Kriteria 2. Pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam waktu 7 hari sebelum
biakan pertama positif. Dan biakan urin 2 kali berturut-turut ditemukan
tidak lebih 2 jenis kuman yang sama dengan jumlah < 10 per ml. Dan
tidak terdapat gejala-gejala / keluhan demam, suhu >38C, polakisuria,
nikuria, disuria, dan nyeri supra pubik.
d. Infeksi saluran kemih lain
Infeksi saluran kemih yang lain (ISK) yang lain harus memenuhi paling
sedikit satu kriteria berikut ini:
Kriteria 1. Ditemukan kuman yang butuh dari biakan cairan bukan urin atau jaringan
yang di ambil dari lokasi yang dicurigai terinfeksi
Kriteria 2. Adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik secara
pemeriksaan langsung selama pembedahan atau melalui pemeriksaan
histopatologis.

Universitas Sumatera Utara

Kriteria 3. Terdapat dua dari tanda berikut : demam (>38C), nyeri lokal, nyeri tekan
pada daerah yang dicurigai terinfeksi. Dan paling sedikit satu dari berikut:
(1) Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi
(2) Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan tempat yang
dicurigai (3) Pemeriksaan radiologi, mis, oltrasonik, CT-scan, MRL,
radiolabel scan (gallioum, technetium) abnormal, memperhatikan gambar
infeksi. (4) Didiagnosis infeksi oleh dokter yang menangani (5) Dokter
yang menangani memberikan pengobatan antimokroba yang sesuai
Kriteria 4. Pada pasien umur 1 tahun ditemukan paling sedikit satu tanda-tanda dan
gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya: demam (>38C),
hipotermia (<37 C), apnea, bradikardia <100/menit, letargia, muntahmuntah. Dan paling sedikit satu dari berikut: (1) Keluar pus atau aspirasi
purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi (2) Ditemukan kuman pada
biakan darah yang sesuai dengan tempat yang dicurigai (3) Pemeriksaan
radiologi, mis, oltrasonik, CT-scan, MRL, radiolabel scan (gallioum,
technetium) abnormal, memperhatikan gambar infeksi. (4) Didiagnosis
infeksi oleh dokter yang menangani dan (5) Dokter yang menangani
memberikan pengobatan antimokroba yang sesuai.
e. Infeksi Luka Operasi (ILO)
ILO Superfisial adalah ILO yang terjadi dalam waktu 30 hari pasca bedah,
ILO dari jaringan diatas fascia Dengan gejala-gejala peradangan lokal dan umum

Universitas Sumatera Utara

(demam >83C). Pus keluar dari luka operasi/drain yang terpasang diatas fascia dan
biakannya (+)
ILO Profunda adalah ILO yang terjadi setelah 30 hari sampai 1 tahun pasca
bedah, ILO meliputi jaringan dibawah fascia Dengan salah satu gejala : tanda-tanda
radang umum dan lokal. Pus dari luka dibawah fascia dan dehiscensi luka-luka
dibuka oleh dokter karena adanya tanda infeksi serta biakannya (+)
Cara penilaian keadaan luka bedah adalah (1) Tidak infeksi, bila klinis dan luka
operasi sembuh perprimam. (2) Kemungkinan infeksi, bila dari luka operasi keluar
cairan terus dan ada tanda-tanda radang, tapi biakannya negatif. (3) Bila dari luka
operasi keluar cairan dengan biakannya positif. (4) Bila dari luka operasi keluar pus
dengan / tanpa bukti pemeriksaan mikrobiologik.
f. Infeksi Vena
Infeksi vena adalah infeksi yang timbul karena tindakan invasif pada vena,
seperti setelah pemasangan kanule plastik, atau kateter intravena, tanpa ada organ
atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi.
Kriteria infeksi vena secara klinis dan laboratoris adalah sebagai berikut :
Untuk dewasa & anak > 12 bulan ditemukan salah satu diantara gejala berikut
tanpa penyebab lain : (1) Adanya tanda-tanda radang, panas atau keluar nanah dati
tempat tusukan. (2) Suhu > 370C bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa
pemberian antiseptik. (3) Hipotensi, sistolik < 90 mmHG dan Oliguri, jumlah urin <
0,5 cc/kg BB/jam.

Universitas Sumatera Utara

Untuk bayi usia < 12 bulan ditemukan salah satu gejala berikut tanpa
penyebab lain : (1) Tanda radang panas atau keluar nanah dari tempat tusukan. (2)
Demam > 380C. (3) Hipotermi < 370C (4). Apnea (5). Bradikardia < 100/menit.
Untuk neonatus dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila
terdapat 3 atau lebih diantara enam gejala tersebut : (1) Keadaan umum menurun
antara lain : disertai lambung, mencret, muntah dan hepatomegali. (2) Sistem
kardiovaskuler antara lain : tanda renjatan yaitu takikardi, 160/menit atau bradikardi,
100/menit, dan sirkulasi perifer buruk. (3) Sistem pencernaan antara lain : distensi
lambung, mencret, muntah dan hepatomegali. (4) Sistem pernapasan antara lain :
napas tak teratur, sesak, apnea dan takipnea. (5) Sistem saraf dan pusat antara lain :
hipotermi, otot, iritabel, kejang dan letargi dan (6) Manifestasi hematologi antara lain:
pucat, kuning, splenomegali, dan perdarahan.

2.6. Landasan Teori


Udara merupakan wahana bibit penyakit yang utama seperti bakteri, jamur,
gas-gas atau bahan pencemaran kimia. Masyarakat yang menghirup udara yang
tercemar akan menderita sakit.
Secara sistematis ruang lingkup atau jangkauan pemahaman ahli kesehatan
lingkungan meliputi sumber keberadaan bahan penyakit dalam wahana penyakit,
keberadaan bahan (agen) dalam tubuh manusia, serta dampak yang ditimbulkannya
Secara rinci jangkauan pemahaman dinamika perubahan lingkungan tersebut dapat

Universitas Sumatera Utara

dipilih menjadi simpul-simpul pengamatan, pengukuran dan pengendaliannya


(Kusnoputranto, 2000).
1. Simpul A : pengamatan, pengukuran dan pengendalian agen penyakit pada
sumbernya seperti emisi pencemaran udara, pencemaran air, penyakit alamiah
dan air.
2. Simpul B : pengamatan, pengukuran dan pengendalian bila komponen lingkungan
tersebut sudah berada disekitar manusia contohnya pengukuran konsentrasi
kualitas fisik udara seperti suhu, kelembaban, pencahayaan, debu, sterilisasi dan
menghitung koloni kuman, bakteri E. Coli dalam air minum.
3. Simpul C : pengamatan, pengukuran dan pengendalian bahan (agen) penyakit
apabila sudah barada pada tubuh seperti pengukuran bakteri terhadap kultur
darah, urin, dahak.
4. Simpul D : pengamatan, pengukuran dan pengendalian pasien yang dirawat
(sudah menimbulkan dampak kesehatan).

Universitas Sumatera Utara

2.7. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan latar belakang, tujuan dan manfaat maka dapat digunakan
kerangka konsep sebagai berikut:
Variabel Independen

Variabel Dependen

Sanitasi Ruangan ICU


1.
2.
3.
4.
5.

Suhu
Kelembaban
Pencahayaan
Kadar Debu
Tindakan Sterilisasi
Infeksi
Nosokomial

Angka Kuman
Perilaku Petugas
Kesehatan :
Pengetahuan
Sikap
Tindakan

1. Ventilasi, Filter AC
2. Penggunaan UV
3. Tekanan Positif (+)

Gambar 2. Kerangka konsep penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai