TINJAUAN PUSTAKA
Komponen tersebut akan berinteraksi dengan menusia melalui media atau wahana :
Udara, air, tanah, makanan, vektor penyakit (seperti nyamuk) atau manusia itu
sendiri.
f) Pembersihan dinding dilakukan secara periodik minimal 2 (dua) kali setahun dan
di cat ulang apabila sudah kotor atau cat sudah pudar.
g) Setiap percikan ludah, darah, eksudat luka pada dinding/lantai harus segera
dibersihkan dengan menggunakan antiseptik.
Hubungan antara ruang dan bangunan di ruang perawatan Ruman Sakit harus
memenuhi kriteria, ruang bedah untuk penderita penyakit menular harus dipisahkan
dengan ruang bedah pusat dan ruang bedah penyakit menular terletak pada lokasi
yang berdekatan dengan bagian rawat tinggal penderita penyakit menular (Depkes,
2002).
Disain ruangan ICU yang direkomendasi oleh Departemen Kesehatan RI
tahun 2004 untuk mengendalikan infeksi adalah sebagai berikut :
1) Luas setiap kamar 20 m sedangkan untuk ruangan isolasi luas satu kamar
22m.
2) Untuk setiap tempat tidur harus tersedia 1-2 ruang isolasi
3) Jarak tempat tidur satu dengan yang lain 10-12 kaki
4) Untuk setiap tempat tidur, tersedia fasilitas desinfektan tangan
5) Lantai dan dinding harus dapat dicuci/dibersihkan
6) Furniture (meja) yang digunakan harus minimal
7) Peralatan monitoring harus tidak bersentuhan dengan lantai, mudah dipindahkan
dan dibersihkan
c. Kadar debu
Kadar debu berdiameter kurang dari 10 micron dengan rata-rata pengukuran 8
jam atau 24 jam tidak melebihi 150 g/Nm, dan tidak mengandung debu asbes
d. Pencahayaan
Di dalam lingkungan rumah sakit baik di dalam maupun di luar ruangan harus
mendapatkan cahaya dengan intensitas berdasarkan fungsinya pada ruangan
pasien saat tidak tidur intensitas cahaya 100-200 lux dan pada Saat tidur
maksimal 50 intensitas cahaya maksimal 50 lux warna cahaya sedang. Ruangan
operasi umum intensitas cahaya 300-500 lux dan pada ruangan isolasi khusus
penyakit tetanus intensitas cahaya 0,1-0,5 warna cahaya biru, diruangan luka
bakar 100-200 lux.
a.4.
kuman yang terdapat pada permukaan banda dan sisa kuman yang sedikit akan lebih
mudah dibutuhkan oleh zat bahan desinfektan. Menurut Rutata (1996), pada saat ini
telah banyak jenis desinfektan yang beredar dan digunakan pada perawatan pasien,
diantaranya adalah alkohol, klorin dan senyawanya. Hydrogen peroksida, iodorof,
fenolik dan senyawa ammonium kwartener. Desinfektan ini tidak dapat saling
ditukarkan satu dengan yang lainnya dalam penggunaan, yang disebabkan
karakteristik kerjanya yang spesifik. Oleh karena itu pemakaian harus dapat memilih
desinfektan yang sesuai dan menggunakan secara aman dan efisien.
2.3.
Perilaku
sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit. Oleh sebab itu perilaku
pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
a.1. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
a.2. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.
Perlu dijelaskan disini bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka
dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat
kesehatan yang seoptimal mungkin.
a.3. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya
makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan
seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung
pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
b) Perilaku pencarian dan penggunaan sistim atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau
sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
c) Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak
Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Hal ini diupayakan
adalah pendekatan secara individu maupun berkelompok, melalui pelatihan. Masih
ada petugas yang belum mengikuti semua prosedur pelayanan yang telah ditetapkan
dalam melakukan pelayanan keperawatan (Spritia, 2008).
2.
Sikap
Sikap merupakan suatu pandangan, tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan
suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak
sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak
seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu objek baru menjadi sikap
apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan
terhadap objek tersebut. Sikap mempunyai segi motivasi, berarti segi dinamis
mengenai suatu tujuan, berusaha mencapai suatu tujuan. Sikap dapat merupakan
suatu pengetahuan tetapi pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan
bertindak sesuai dengan pengetahuan itu (Purwanto, 1998). Menurut Newcomb yang
dikutip oleh Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan
seseorang untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Menurut Notoatmodjo (2003) dikutip dari Alport (1954) bahwa sikap
mempunyai 3 komponen pokok yaitu : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep
terhadap suatu objek, (2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
dan (3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerak/perbuatan dari tubuh
setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh
atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak
ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.
Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan, namun tidak
dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu
sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang
memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak
(Notoatmodjo, 2003).
Tindakan ini dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran secara tidak
langsung yaitu dengan wawancara atas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Sedangkan pengukuran yang
dilakukan secara langsung yakni mengobservasi tindakan atau kegiatan responden
(Notoatmodjo, 2003).
Kalau terjadi perubahan keadaan, kuman bisa jadi patogen bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain, misalnya: karena pemakaian antibiotik yang lama, kuman
jadi kebal dan tumbuh subur. Kuman ini dapat menjadi virulen dan menyebabkan
terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh menurun.
segala macam jenis penyakit (b) rumah sakit merupakan gudangnya mikroba
patogen (c) mikroba patogen yang ada umumnya sudah kebal terhadap antibiotika.
Semakin luas jangkauan pelayanan, maka semakin banyak penderita yang
memerlukan rawat inap. Bila sanitasi rumah sakit tidak terjamin dengan baik, maka
semakin besar risiko terjadinya ancaman infeksi nosokomial pada penderita-penderita
yang sedang dalam proses asuhan keperawatan (Darmadi, 2008).
Menurut Depkes (2002), infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi atau
didapat penderita ketika sedang dirawat di rumah sakit dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda
klinis dari infeksi yang sedang diteliti.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak dalam masa inkubasi
dari infeksi tersebut.
c. Tanda-tanda khusus infeksi tersebut mulai timbul sekurang-kurangnya setelah
3x24 jam sejak mulai perawatan.
d. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang sama
tetapi lokasi infeksi berbeda.
Banyaknya pasien yang dirawat dan menjadi sumber infeksi bagi pasien lain
maupun lingkungannya.
b.
Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan pasien
lainnya.
c.
Kontak langsung antara petugas rumah sakit yang terkontaminasi oleh kuman
dengan pasien yang dirawatnya.
d.
berasal dari lingkungan yang dapat berupa benda hidup (animate) maupun benda mati
Tempat Keluar
Penjamu
yang rentan
Sumber
Penyebab
Tempat Masuk
b.5. Jalur penyebaran merupakan jalur yang dapat menyebabkan berbagai kuman
mikroorganisme ke berbagai tempat seperti air, makanan, udara dan lain-lain.
a.
Usia
Penelitian Syahrul (1997) dan Kamal (1998) di kutip dari Setiawati (2009),
menemukan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian infeksi
nosokomial. Pada periode neonatal, bayi dengan berat badan lahir rendah dan jenis
kelamin laki-laki beresiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial 1,7 kali
dibandingkan dengan wanita (Nguyen, 2009).
b.
Jenis kelamin
Nguyen (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial
tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada infeksi saluran kemih ada perbedaan
kejadian antara laki-laki dan perempuan karena perempuan secara anatomis memiliki
uretra yang lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki (Garibaldi, 1993).
c.
lebih tinggi dibandingkan dengan lama rawat yang singkat. Semakin lama hari rawat
inap yang merupakan faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi infeksi
nosokomial di rimah sakit ( Ahmad, 2002)
d.
kemungkinan infeksi nosokomial. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang
kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang jelek, seperti ventilasi
kurang memadai, jarak satu pasien dengan yang lain tidak sesuai. Cahaya dengan
intensitas yang kurang dapat menjadi sumber infeksi (Ahmad, 2002)
e.
umumnya mempunyai kondisi umum yang lemah, sehingga lebih terpapar terhadap
infeksi (Garibaldi, 1993).
f.
tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain, Flebitis, kolonisasi kanul yaitu bila
sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam pembuluh
darah, septicemia bila kuman menyebar hematogen dari kanul dan supurasi bila telah
terjadi bentukan pus disekitar inersi kanul.
Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula
intravena yaitu jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter
yang terpasang lebih dari 72 jam. kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak
mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan transfusi darah
karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada
tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering di kanula.
Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi, dan bacteremia
(Utama, 2008).
g.
Pemakaian antibiotik
Pemakaian antibiotik baik jenis atau jumlah yang nasional tanpa menunggu
cegah dengan mencuci. Menurut Jernigan (1995), Disinfeksi alat-alat yang digunakan
pada pasien yang digunakan pada pasien masih kurang dan HH (hand hygiene) gagal.
Sulit untuk diobservasi pada area pelayanan rawat jalan, jumlah infeksi MRSA yang
didapat Di masyarakat yang menderita penyakit kronis dan membutuhkan kontak
sering dengan sistim pelayanan kesehatan melakukan kunjungan pasien rawat jalan.
MRSA bisa berpindah kepetugas kesehatan. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa gaun petugas kesehatan sering menjadi sarana penyebaran setelah melakukan
perawatan pasien dengan infeksi MRSA. Ketika jaket sudah dipakai pada area klinik
sebagai pengganti sebuah gaun, ia menjadi terkontaminasi pada 2/3 kasus dan
tanganpun ikut terkontaminasi, setelah mereka menyelesaikan aktivitas perawatan
pasien dipagi hari dengan infeksi MRSA dibagian sistim saluran perkemihan atau
luka dan 42% personil yang kontak langsung dengan pasien yang terkontaminasi
tangan mereka.
MRSA didapat dari bakteri yang resisten sebagian besar antibiotik termasuk
semua jenis penicilin dan sepalosporin. MRSA dapat menyebar pada orang lain
melalui berbagai cara. Orang bisa membawa melalui hidung, kulit, tanpa menujukkan
gejala sakit disebut kolonisasi. MRSA bisa juga menyebabkan infeksi seperti bisul,
infeksi luka dan pneumonia.
MRSA dapat menyebar melalui tangan dan sentuhan ke orang lain, strategi
untuk pencegahannya adalah melalui cuci tangan dengan sabun, air hangat setelah
bersentuhan langsung dengan klien, pakaian dan sarung tangan bersihkan ruangan
setiap hari, gunakan sarung tangan setiap bersentuhan dengan sampah dan observasi
prosedur isolasi MRSA juga dapat dibawa kerumah melalui pakaian. Melalui
sentuhan ke tubuh yang luka atau adanya keluaran cairan dari pasien. MRSA yang
tidak menurunkan gejala tidak perlu di obati namun jika serius dapat diobati
menggunakan vancomiycin melalui intravena atau oral. Namun begitu vancomiycin
bisa menyebabkan efek samping yang serius (Guideline for the Control of MRSA,
2000).
h. Mikroorganisme
Dari sisi mikroorganisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari
organisme tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama dan
juga kolonisasi dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibodi, dan rendahnya
pertahanan tubuh, kemampuan mikroorganisme untuk menyebabkan infeksi
nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan lokasi bagian tubuh yang
diakibatkan (Potter&Perry, 1993).
Tidak mencuci tangan juga dihubungkan dengan terjangkit multi resisten
klebsiella pneumonia. Penelitian di ruang anak-anak selama 3 minggu, 9 bayi
terinfeksi terpapar dengan klebsiella pneumonia 2 dari 9 bayi berkembang menjadi
septikimia dan satu aspirasi pneumonia. Mikroorganisme yang sama yang juga
berpengaruh terhadap bayi baru lahir yang diisolasi dari lingkungan sumber hidung
dan tangan dokter, tangan perawat, dan dari ibu yang anaknya terinfeksi (Coovadia,
1992) Terjangkit infeksi rotavirus pada pasien pediatrik juga berhubungan dengan
perilaku tidak mencuci tangan, mencuci tangan dengan tepat adalah cara yang efektif
untuk menghindari semua tipe MRSA baik di tangan maupun tubuh (Pearson, 2006).
i.
Status nutrisi
Menurut Patra (2006) dalam Setiawati (2009), umur, status nutrisi, jumlah dan
c. Dekontaminasi, tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani oleh
petugas kesehatan secara aman, terutama petugas pembersihan medis sebelum
pencucian dilakukan. Contohnya adalah meja pemeriksaan, alat-alat kesehatan
dan sarung tangan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh disaat
prosedur bedah/tindakan dilakukan.
d. Pencucian, yaitu tindakan menghilangkan semua darah, cairan tubuh atau setiap
benda asing seperti dabu dan kotoran.
e. Desinfeksi, yaitu tindakan menghilangkan sebagian besar (tidak semua)
mikroorganisme penyebab penyakit dan benda mati. Desinfeksi tingkat tinggi
dilakukan dengan merebus atau dengan menggunakan larutan kimia. Tindakan
ini dapat menghilangkan semua mikroorganisme, kecuali beberapa bakteri
endospora.
f. Sterilisasi, yaitu tindakan untuk meghilangkan semua mikroorganisme (bakteri,
jamur, parasit dan virus) termasuk bakteri endospora.
Terjadinya infeksi tergantung pada interaksi kompleks dari kerentanan
hospes, agen-agen infeksius dan cara penularan. Faktor-faktor pasien dan perawatan
kesehatan berinteraksi untuk menghasilkan resiko infeksi yang signifikan. Identifikasi
resiko infeksi, dari mereka yang telah terinfeksi dan sterategi pengendalian infeksi
yang direkomendasikan meminimalkan insidens dan konsekuensi infeksi yang serius
pada pasien dan petugas perawatan kesehatan, pencegahan dan metode pengendalian
berfokus pada tiga area yaitu:
a)
b)
c)
secara menyeluruh dengan air, f. Keringkan tangan dengan handuk dan g. Matikan
kran dengan menggunakan alas handuk (Schaffer, 2000).
c.2. Penggunaaan sarung tangan
Pakai sarung tangan bila menyentuh darah, cairan yang mengandung darah,
sekresi dan benda-benda yang terkontaminasi. Pakai sarung tangan yang bersih
tepat sebelum menyentuh membran mukosa dan kulit yang tidak utuh. Lepaskan
sarung tangan dengan cepat setelah digunakan, sebelum menyentuh benda-benda
yang tidak terkontaminasi dan permukaan lingkungan, dan sebelum ke pasien
yang lainnya. Cuci tangan dengan segera untuk menghindari pemindahan
mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain (Schaffer, 2000).
c.3. Gaun (Baju Kerja)
Pakai gaun bila memasuki ruangan pasien jika anda mengantisipasi bahwa
pakaian anda akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan, atau alat-alat
di runganan pasien atau jika pasien mengalami inkontinensia (diare) dan drainase
luka yang tidak ditutup dengan balutan. Lepaskan gaun sebelum keluar dari
ruangan pasien. Setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak
dengan permukaan lingkungan yang dicurigai terkontaminasi.
Pakai gaun bersih untuk melindungi kulit dan mencegah pakaian basah
selama prosedur dan aktivitas perawatan pasien yang sepertinya dapat
mencetuskan semburan atau percikan darah, cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi
atau yang menyebabkan pakaian menjadi basah. Lepaskan gaun yang telah basah
ketika membuang jarum suntik yang telah digunakan dan ketika membuang
jarum suntik yang telah digunakan dari spuit, jangan membengkokkan,
mematahkan, letakkan jarum suntik sekali pakai dan alat tajam lainnya, dalam
wadah yang tahan bocor yang diletakkan sedekat mungkin kedaerah dimana alat
tersebut digunakan, agar dapat dipindahkan ke daerah pemrosesan (Schaffer,
2000).
Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi
bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala hingga telapak kaki. Perlengkapan ini
terdiri dari tutup kepala, gaun, sarung tangan, masker, sampai dengan alas kaki.
Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/ dipakai semuanya/ bersamaan,
tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta
perawatan.
Menurut Darmadi (2009), Tiga hal yang penting harus diketahui dan
dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita
saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu :
1. Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas dari
kemungkinan menularkan penyakit.
2. Setiap mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus
membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan hygiene lainnya.
3. Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan
cara yang tepat.
Kriteria 3. Pasien berumur kurang dari 1 tahun didapatkan dua diantara berikut :
Apnea, Takipnea, Bradikardia, Mengi (wheezing), Ronki basah, Batuk.
Dan paling sedikit satu diantara keadaan berikut : (1) Produksi dan sekresi
saluran nafas meningkat (2) Timbul perubahan baru berupa sputum
purulen atau terjadi perubahan sifat sputum (3) Isolasi kuman positif pada
biakan dar;ah (4) Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea,
Sikatan/cuci, bronkus atau biopsi (5) Virus dapat di isolasi atau terdapat
antigen virus dalam sekresi saluran nafas dan (6) Terdapat tanda-tanda
pneumonia pada pemeriksaan histopatologi
Kriteria 4. Gambaran radiologi thorak serial pada penderita umur lebih dari 1 tahun
menunjukan infiltrat baru atau progresif,konsolidasi, kafitas, atau efusi
pleura. Dan paling sedikit satu diantara keadaan berikut : (1) Produksi dan
sekresi saluran nafas meningkat (2) Timbul perubahan baru berupa
sputum purulen atau terjadi perubahan sifat sputum (3) Isolasi kuman
positif pada biakan darah (4) Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi
trakea, Sikatan/cuci, bronkus atau biopsi (5) Virus dapat di isolasi atau
terdapat antigen virus dalam sekresi saluran nafas dan (6) Terdapat tandatanda pneumonia pada pemeriksaan histopatologi.
b. Infeki saluran kemih simptomatik
Depkes RI (2001), Infeksi saluran kemih (ISK) simptomatik harus memenuhi
paling sedikit satu kriteria berikut ini:
Kriteria 1. Didapatkan paling sedikit satu dari tanda-tanda dan gejala-gejala berikut
tanpa ada penyebab lainnya : Demam (>38 C), Nikuria (anyang-anyang),
polakisuria, disuria, nyeri supra pubik, atau biakan urin porsi tengah
(midstream) >10 kuman per ml urin dengan jenis kuman tidak lebih dari 2
spesies.
Kriteria 2. Ditemukan paling sedikit dua dari tanda-tanda dan gejala-gejala berikut
tanpa ada penyebab lainnya: supra pubik demam (>38 C), Nikuria
(anyang-anyang), polakisuria, disuria, nyeri supra pubik. Dan salah satu
dari hal-hal sebagai berikut: (1) Test carik celup (dipstick) positif untuk
leokosit esterase dan atau nitrit (2) Piuria (terdapat 10 leukosit per ml
atau terdapat 3 leukosit per LPB dari urin yang tidak di pusing). (3)
Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak pusing
(dicentrifuge) dan (4) Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut
menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >100 koloni kuman per ml urin yang
diambil dengan kateter (5) Biakan urin paling sedikit dua kali berturutturut menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >10 per ml pada penderita yang lelah
mendapat pengobatan anti-mikroba yang sesuai (6) Didiagnosis ISK oleh
dokter yang menangani dan (7) Telah mendapat pengobatan antimikroba
yang sesuai oleh dokter yang menangani
Kriteria 3. Pada pasien berumur 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tandatanda dan gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya : demam
(>38C), hipotermia (<37 C), apnea, bradikardia <100/menit, letargia,
muntah-muntah. Dan hasil biakan urin 10 kuman/ ml urin dengan tidak
lebih dari dua jenis kuman.
Kriteria 4. Pada pasien berumur 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tandatanda dan gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya: demam
(>38C), hipotermia (<37 C), apnea, bradikardia <100/menit, letargia,
muntah-muntah. Dan paling sedikit satu dari berikut: (1) Test carik celup
(dipstick) positif untuk leokosit esterase dan atau nitrit (2) Piuria (terdapat
10 leukosit per ml atau terdapat 3 lekosit per LPB dari urin yang tidak
di pusing). (3) Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang
tidak pusing (dicentrifuge) (4) Biakan urin paling sedikit dua kali berturutturut menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >100 koloni kuman per ml urin yang
diambil dengan kateter (5) Biakan urin paling sedikit dua kali berturutturut menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus) dengan jumlah >10 per ml pada penderita yang lelah
mendapat pengobatan anti-mikroba yang sesuai (6) Didiagnosis ISK oleh
dokter yang menangani dan (7) Telah mendapat pengobatan antimikroba
yang sesuai oleh dokter yang menangani.
Kriteria 3. Terdapat dua dari tanda berikut : demam (>38C), nyeri lokal, nyeri tekan
pada daerah yang dicurigai terinfeksi. Dan paling sedikit satu dari berikut:
(1) Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi
(2) Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan tempat yang
dicurigai (3) Pemeriksaan radiologi, mis, oltrasonik, CT-scan, MRL,
radiolabel scan (gallioum, technetium) abnormal, memperhatikan gambar
infeksi. (4) Didiagnosis infeksi oleh dokter yang menangani (5) Dokter
yang menangani memberikan pengobatan antimokroba yang sesuai
Kriteria 4. Pada pasien umur 1 tahun ditemukan paling sedikit satu tanda-tanda dan
gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya: demam (>38C),
hipotermia (<37 C), apnea, bradikardia <100/menit, letargia, muntahmuntah. Dan paling sedikit satu dari berikut: (1) Keluar pus atau aspirasi
purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi (2) Ditemukan kuman pada
biakan darah yang sesuai dengan tempat yang dicurigai (3) Pemeriksaan
radiologi, mis, oltrasonik, CT-scan, MRL, radiolabel scan (gallioum,
technetium) abnormal, memperhatikan gambar infeksi. (4) Didiagnosis
infeksi oleh dokter yang menangani dan (5) Dokter yang menangani
memberikan pengobatan antimokroba yang sesuai.
e. Infeksi Luka Operasi (ILO)
ILO Superfisial adalah ILO yang terjadi dalam waktu 30 hari pasca bedah,
ILO dari jaringan diatas fascia Dengan gejala-gejala peradangan lokal dan umum
(demam >83C). Pus keluar dari luka operasi/drain yang terpasang diatas fascia dan
biakannya (+)
ILO Profunda adalah ILO yang terjadi setelah 30 hari sampai 1 tahun pasca
bedah, ILO meliputi jaringan dibawah fascia Dengan salah satu gejala : tanda-tanda
radang umum dan lokal. Pus dari luka dibawah fascia dan dehiscensi luka-luka
dibuka oleh dokter karena adanya tanda infeksi serta biakannya (+)
Cara penilaian keadaan luka bedah adalah (1) Tidak infeksi, bila klinis dan luka
operasi sembuh perprimam. (2) Kemungkinan infeksi, bila dari luka operasi keluar
cairan terus dan ada tanda-tanda radang, tapi biakannya negatif. (3) Bila dari luka
operasi keluar cairan dengan biakannya positif. (4) Bila dari luka operasi keluar pus
dengan / tanpa bukti pemeriksaan mikrobiologik.
f. Infeksi Vena
Infeksi vena adalah infeksi yang timbul karena tindakan invasif pada vena,
seperti setelah pemasangan kanule plastik, atau kateter intravena, tanpa ada organ
atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi.
Kriteria infeksi vena secara klinis dan laboratoris adalah sebagai berikut :
Untuk dewasa & anak > 12 bulan ditemukan salah satu diantara gejala berikut
tanpa penyebab lain : (1) Adanya tanda-tanda radang, panas atau keluar nanah dati
tempat tusukan. (2) Suhu > 370C bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa
pemberian antiseptik. (3) Hipotensi, sistolik < 90 mmHG dan Oliguri, jumlah urin <
0,5 cc/kg BB/jam.
Untuk bayi usia < 12 bulan ditemukan salah satu gejala berikut tanpa
penyebab lain : (1) Tanda radang panas atau keluar nanah dari tempat tusukan. (2)
Demam > 380C. (3) Hipotermi < 370C (4). Apnea (5). Bradikardia < 100/menit.
Untuk neonatus dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila
terdapat 3 atau lebih diantara enam gejala tersebut : (1) Keadaan umum menurun
antara lain : disertai lambung, mencret, muntah dan hepatomegali. (2) Sistem
kardiovaskuler antara lain : tanda renjatan yaitu takikardi, 160/menit atau bradikardi,
100/menit, dan sirkulasi perifer buruk. (3) Sistem pencernaan antara lain : distensi
lambung, mencret, muntah dan hepatomegali. (4) Sistem pernapasan antara lain :
napas tak teratur, sesak, apnea dan takipnea. (5) Sistem saraf dan pusat antara lain :
hipotermi, otot, iritabel, kejang dan letargi dan (6) Manifestasi hematologi antara lain:
pucat, kuning, splenomegali, dan perdarahan.
Variabel Dependen
Suhu
Kelembaban
Pencahayaan
Kadar Debu
Tindakan Sterilisasi
Infeksi
Nosokomial
Angka Kuman
Perilaku Petugas
Kesehatan :
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
1. Ventilasi, Filter AC
2. Penggunaan UV
3. Tekanan Positif (+)