Telah dikoleksi 53 jenis mikroba pendegradasi senyawa minyak di laut. Penelitian itu
difokuskan pada isolasi dan karakterisasi mikroba pendegradasi di laut. Sedangkan
monitoring keberadaan mikroba sepanjang musim pada kondisi alami di laut tercemar
juga merupakan bagian faktor yang diamati dan diteliti. Mekanisme penguraian
minyak atas peran bakteri-bakteri tersebut di amati, diteliti, dan dilakukan dalam
skala lapangan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, katanya.
Selanjutnya, di laboratorium, penelitian komposisi dan komunitas bakteri yang
bertanggung jawab atas penguraian minyak di laut diamati menggunakan metode
pendekatan molekuler, yang disebut teknik DGGE (denaturing gradient gel
elektrophoresis). Kami juga melakukan karakterisasi gen yang bertanggung jawab
atas penguraian senyawa hidrokarbon beserta kloningnya, kata Thontowi.
Kami menduga, setiap bakteri yang bekerja untuk meremediasi minyak di laut
punya peran sendiri-sendiri di habitat alamnya, katanya. Dari hasil isolasi, bakteri
tertentu dinyatakan dominan dan relatif memiliki kemampuan mendegradasi minyak
yang signifikan (tinggi), yaitu Marinobacter, Oceanobacter, Alcanivorax,
Thalassospira, Stappia, Bacillus, Novospingobium, Pseudomonas, Spingobium, dan
Rhodobacter.
Untuk di Indonesia, biasanya yang banyak dikenal Pseudomonas, ujarnya. Jika
minyak tumpah ke laut, yang terjadi adalah penguapan, dibawa ombak ke pantai, atau
terendapkan. Minyak mentah sendiri terdiri dari empat jenis senyawa, yaitu
saturates/parafin, aromatik termasuk PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon), resin,
dan aspalten.
Kami menangani untuk pencemar hingga dua senyawa, saturates dan aromatik,
katanya. Secara teori, resin dan aspalten juga bisa diuraikan oleh bakteri. Namun itu
memerlukan penelitian lebih lanjut. Adapun teknik untuk mengunyah minyak
tersebut menggunakan bioremediasi atau biodegradasi. Bioremediasi adalah proses
remediasi atau pemulihan area terpolusi menggunakan mikroba sebagai agen
pendegradatornya.
Bioremediasi dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu bioaugmentasi dan
biostimulasi. Bioaugmentasi adalah teknik menebarkan mikroba ketika terjadi
pencemaran minyak. Sedangkan teknik biostimulasi menggunakan pupuk
mineral untuk menumbuhkan mikroba di lingkungan yang tercemar. Sehingga
mikroba yang tumbuh itu siap menguraikan minyak menjadi senyawa yang lebih
ramah lingkungan. Dan itu yang paling banyak direkomendasikan, meskipun tidak
tertutup kemungkinan menggunakan teknik bioaugmentasi, paparnya.
Thontowi mengingatkan bahwa mikroba yang bekerja menguraikan minyak tidak
hanya sejenis, tapi suatu komunitas. Setiap setiap jenis mikroba memiliki
kemampuan sendiri-sendiri dalam mengurai minyak. Ada yang kemampuannya
mengurai parafin, tugas selanjutnya dilakukan jenis lain, katanya. Namun yang
banyak dikenal mampu mengurai saturates dan aromatik adalah Alcanivorax
borkumensis. Dia memang dikenal memiliki kemampuan yang tinggi, ujarnya.
Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak bervariasi, bergantung pada jenis bakteri,
dari 0 persen-100 persen. Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak didasarkan
pada jumlah minyak yang ada dalam larutan kultur dibandingkan dengan sesudah
treatment bakteri, dihitung seberapa besar minyak yang tertinggal dalam larutan,
termasuk bakterinya.
Monitoring dilakukan menggunakan GC-Mass, alat penera gas kromatografi yang
dapat menganalisis komponen senyawa apa yang ada dalam larutan tersebut dan
bermassa berapa, sehingga diketahui persis masih mengandung minyak atau tidak.
Dalam percobaan, setelah treatment dengan bakteri, minyak habis termakan
bakteri, katanya.
Prosesnya, sebelum makan minyak, bakteri menghasilkan surfactan. Yaitu sejenis
enzim yang dapat menyatukan minyak dengan air. Setelah minyak dan air menyatu,
mulailah bakteri makan minyak. Ditandai dengan terpecah-pecahnya gumpalan
minyak menjadi kecil-kecil, tuturnya. Akhirnya minyak diubah menjadi senyawa
lain yang tidak berbahaya.
Dengan mengembangkan mikroba tropis Indonesia, akan mudah mengembangkan
sistemnya karena telah sesuai dengan habitat tumbuh mikroba tersebut, katanya.