Anda di halaman 1dari 3

Bakteri Pengunyah Minyak

 14 Apr 2009


 
 
Minyak terbukti menjadi pencemar lautan nomor satu. Separuhnya dihasilkan dari aktivitas industri.
Selebihnya akibat kegiatan pelayaran hingga kecelakaan kapal tanker. Lautan Indonesia sebagai jalur kapal
tanker internasional pun rawan tercemar limbah minyak. Namun laut Indonesia juga memiliki mekanisme
tersendiri untuk menetralisasi pencemaran. Laut Indonesia kaya mikroba pengunyah minyak yang mampu
meremediasi kawasan tercemar.
"Mikroba itu perlu diberdayakan untuk mengurangi pencemaran laut, " kata Ahmad Thontowi,
salah satu anggota tim peneliti bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Thontowi berhasil meraih hibah dari Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) untuk risetnya
itu, di Jakarta, akhir Februari silam. Dengan dana hibah tersebut, Thontowi berharap bisa
melanjutkan penelitian tentang bakteri pemakan minyak. Thontowi memiliki waktu untuk
melakukan riset hingga 31 Maret ini.

Menurut Thontowi, penelitian itu dimulai pada 1 April 2005. "Benar telah berlangsung lebih dari
tiga tahun, " katanya. Dana murni berasal dari Pemerintah Jepang, sedangkan Indonesia
menyumbang fasilitas laboratorium, sumber daya hayati, dan tenaga peneliti. Penelitian itu
diperkiraan menghabiskan dana Rp 3 milyar. Riset itu merupakan kerja bersama antara LIPI
dan National Institute of Technology and Evaluation (NITE), Jepang.

Kerja sama riset ini dipayungi MOU Ristek-NITE/NEDO, Jepang. Di LIPI sendiri, ada tiga pusat
penelitian (puslit) yang terlibat, yaitu Puslit Bioteknologi, Puslit Biologi, dan Puslit Oseanografi.
Latar belakang penelitian itu adalah bahwa tanker-tanker internasional --termasuk Jepang--
melalui jalur laut Indonesia, Selat Malaka, Sunda, dan Lombok. Kepadatan lalu lintas
memungkinkan suatu saat bisa terjadi kecelakaan tanker yang dapat menyebabkan
pencemaran minyak.

Dengan menguasai teknologi penanganan limpahan minyak, bila terjadi kasus pencemaran
minyak, akan lebih mudah mengatasinya. Yaitu menggunakan bakteri pengunyah limbah yang
akan mengubah minyak menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya. Penelitian itu memang
bertujuan mengisolasi dan mengarakterisasi bakteri pendegradasi minyak di laut tropis,
terutama wilayah jalur tanker dari negara produsen minyak ke Jepang melalui Indonesia.

Telah dikoleksi 53 jenis mikroba pendegradasi senyawa minyak di laut. Penelitian itu difokuskan
pada isolasi dan karakterisasi mikroba pendegradasi di laut. Sedangkan monitoring keberadaan
mikroba sepanjang musim pada kondisi alami di laut tercemar juga merupakan bagian faktor
yang diamati dan diteliti. "Mekanisme penguraian minyak atas peran bakteri-bakteri tersebut di
amati, diteliti, dan dilakukan dalam skala lapangan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, " katanya.

Selanjutnya, di laboratorium, penelitian komposisi dan komunitas bakteri yang bertanggung


jawab atas penguraian minyak di laut diamati menggunakan metode pendekatan molekuler,
yang disebut teknik DGGE (denaturing gradient gel elektrophoresis). "Kami juga melakukan
karakterisasi gen yang bertanggung jawab atas penguraian senyawa hidrokarbon beserta
kloningnya, " kata Thontowi.
"Kami menduga, setiap bakteri yang bekerja untuk meremediasi minyak di laut punya peran
sendiri-sendiri di habitat alamnya, " katanya. Dari hasil isolasi, bakteri tertentu dinyatakan
dominan dan relatif memiliki kemampuan mendegradasi minyak yang signifikan (tinggi), yaitu
Marinobacter, Oceanobacter, Alcanivorax, Thalassospira, Stappia, Bacillus, Novospingobium,
Pseudomonas, Spingobium, dan Rhodobacter.

"Untuk di Indonesia, biasanya yang banyak dikenal Pseudomonas, " ujarnya. Jika minyak
tumpah ke laut, yang terjadi adalah penguapan, dibawa ombak ke pantai, atau terendapkan.
Minyak mentah sendiri terdiri dari empat jenis senyawa, yaitu saturates/parafin, aromatik
termasuk PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon), resin, dan aspalten.

"Kami menangani untuk pencemar hingga dua senyawa, saturates dan aromatik, " katanya.
Secara teori, resin dan aspalten juga bisa diuraikan oleh bakteri. Namun itu memerlukan
penelitian lebih lanjut. Adapun teknik untuk mengunyah minyak tersebut menggunakan
bioremediasi atau biodegradasi. Bioremediasi adalah proses remediasi atau pemulihan area
terpolusi menggunakan mikroba sebagai agen pendegradatornya.

Bioremediasi dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu bioaugmentasi dan biostimulasi.
Bioaugmentasi adalah teknik menebarkan mikroba ketika terjadi pencemaran minyak.
Sedangkan teknik biostimulasi menggunakan "pupuk " mineral untuk menumbuhkan mikroba di
lingkungan yang tercemar. "Sehingga mikroba yang tumbuh itu siap menguraikan minyak
menjadi senyawa yang lebih ramah lingkungan. Dan itu yang paling banyak direkomendasikan,
meskipun tidak tertutup kemungkinan menggunakan teknik bioaugmentasi, " paparnya.

Thontowi mengingatkan bahwa mikroba yang bekerja menguraikan minyak tidak hanya sejenis,
tapi suatu komunitas. Setiap setiap jenis mikroba memiliki kemampuan sendiri-sendiri dalam
mengurai minyak. "Ada yang kemampuannya mengurai parafin, tugas selanjutnya dilakukan
jenis lain, " katanya. Namun yang banyak dikenal mampu mengurai saturates dan aromatik
adalah Alcanivorax borkumensis. "Dia memang dikenal memiliki kemampuan yang tinggi, "
ujarnya.

Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak bervariasi, bergantung pada jenis bakteri, dari 0
persen-100 persen. Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak didasarkan pada jumlah minyak
yang ada dalam larutan kultur dibandingkan dengan sesudah treatment bakteri, dihitung
seberapa besar minyak yang tertinggal dalam larutan, termasuk bakterinya.

Monitoring dilakukan menggunakan GC-Mass, alat penera gas kromatografi yang dapat
menganalisis komponen senyawa apa yang ada dalam larutan tersebut dan bermassa berapa,
sehingga diketahui persis masih mengandung minyak atau tidak. "Dalam percobaan, setelah
treatment dengan bakteri, minyak habis termakan bakteri, " katanya.

Prosesnya, sebelum makan minyak, bakteri menghasilkan surfactan. Yaitu sejenis enzim yang
dapat menyatukan minyak dengan air. Setelah minyak dan air menyatu, mulailah bakteri makan
minyak. "Ditandai dengan terpecah-pecahnya gumpalan minyak menjadi kecil-kecil, " tuturnya.
Akhirnya minyak diubah menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya.

"Dengan mengembangkan mikroba tropis Indonesia, akan mudah mengembangkan sistemnya


karena telah sesuai dengan habitat tumbuh mikroba tersebut, " katanya. Di luar negeri, yang
sudah mempraktekkannya adalah Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat. Pencemaran tanker di
sekitar perairan Jepang, Kanada, dan Amerika terjadi akibat tenggelamnya Exxon Valdez yang
berisi 38.800 ton minyak pada 1989.

Anda mungkin juga menyukai