Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR
disusun untuk memenuhi tugas profesi ners
Departemen Surcical di Ruang 13 RS. Dr. Syaiful Anwar

oleh:
Amildya Dwi Arisanti
NIM. 140070300011155

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1. DEFINISI FRAKTUR

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut
Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Documentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan oleh tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap oleh tulang.

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis


dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem
(Smeltzer C Suzanne, 2002)

Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas tulang. Patahan ini mungkin
tidak lebih dari suatu retakan , suatu pengisutan atau perimpilan korteks
(Aris Budiyanto, 2009).

2. KLASIFIKASI FRAKTUR
Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst).

Fraktur Tibia Proksimal


Fraktur ini disebut juga bumper fracture atau fraktur tibia plateau. Fraktur
tibia proksimal biasanya terjadi akibat trauma langsung dari arah samping
lutut dengan kaki yang masih terfiksasi ke tanah. Contohnya pada orang
yang sedang berjalan lalu ditabrak mobil dari samping, yang disebut
bumper fracture.
Manifestasi Klinis :
Luka pada daerah yang cedera membengkak dan disertai rasa sakit,
kadang-kadang ditemukan deformitas varus atau valgus pada lutut.
Penatalaksanaan
a. Nonoperatif
Untuk fraktur yang tidak mengalami dislokasi dapat ditanggulangi
dengan beberapa cara, antara lain:
-

Perban elastik (teknik Robert Jones)

Memasang gips (long leg plaster)

Traksi skeletal menurut cara Appley. Pasien tidur terlentang, pada


tibia 1/3 proksimal dipasang Steinmann pin, langsung ditarik dengan

beban yang cukup (> 6 kg). Sementara dilakukan traksi, lutut pasien
yang cedera dapat digerakkan.
b. Operatif
Apabila terjadi dislokasi yang cukup lebar atau permukaan sendi tibia
amblas lebih dari 2 mm, dilakukan reduksi terbuka dan dipasang fiksasi
interna dengan buttress plate dan cancellous screw.

Fraktur Antebrakhial Distal


Ada empat macam fraktur yang khas:
1. Fraktur Colles
Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok makan (dinner
fork deformity). Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan
pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke ke dalam (endorotasi).
Tangan

terbuka

yang

terfiksasi

di

tanah

berputar

keluar

(eksorotasi/supinasi).
Manifestasi Klinis
-

Fraktur metafisis distal radius dengan jarak _+ 2,5 cm dari


permukaan sendi distal radius

Dislokasi fragmen distalnya ke arah posterior/dorsal

Subluksasi sendi radioulnar distal

Avulsi prosesus stiloideus ulna.


Penatalaksanaan
Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisasi
dengan pemasangan gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu.
Bila disertai dislokasi diperlukan tindakan reposisi tertutup. Dilakukan
dorsofleksi fragmen distal, traksi kemudian posisi tangan volar fleksi,
deviasi ulna (untuk mengoreksi deviasi radial) dan diputar ke arah
pronasio (untuk mengoreksi supinasi). Imobilisasi dilakukan selama
4- 6 minggu.

2. Fraktur Smith
Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar),
karena itu sering disebut reverse Colles fracture. Fraktur ini biasa
terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan
badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada
pergelangan tangan dan pronasi. Garis patahan biasanya transversal,
kadang-kadang intraartikular.
Manifestasi Klinis

Penonjolan dorsal fragmen proksimal, fragmen distal di sisi volar


pergelangan, dan deviasi ke radial (garden spade deformity).
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi
dorsofleksi ringan, deviasi ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan
posisi Colles). Lalu diimobilisasi dengan gips di atas siku selama 4 - 6
minggu.
3. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi
sendi radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka
yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi
pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi.
Manifestasi Klinis
Tampak tangan bagian distal dalam posisi angulasi ke dorsal. Pada
pergelangan tangan dapat diraba tonjolan ujung distal ulna.
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi dan imobilisasi dengan gips di atas siku, posisi
netral untuk dislokasi radius ulna distal, deviasi ulnar, dan fleksi.
4. Fraktur Montegia
Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai
dislokasi sendi radius ulna proksimal. Terjadi karena trauma langsung.
Manifestasi Klinis
Terdapat 2 tipe yaitu tipe ekstensi (lebih sering) dan tipe fleksi. Pada
tipe ekstensi gaya yang terjadi mendorong ulna ke arah hiperekstensi
dan pronasi. Sedangkan pada tipe fleksi, gaya mendorong dari depan
ke arah fleksi yang menyebabkan fragmen ulna mengadakan angulasi
ke posterior.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya
dislokasi. Lihat kesegarisan antara kondilus medialis, kaput radius,
dan pertengahan radius.
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi tertutup. Asisten memegang lengan atas, penolong
melakukan tarikan lengan bawah ke distal, kemudian diputar ke arah
supinasi penuh. Setelah itu, dengan jari kepala radius dicoba ditekan
ke tempat semula. Imobilisasi gips sirkuler dilakukan di atas siku
dengan posisi siku fleksi 90 dan posisi lengan bawah supinasi penuh.

Bila gagal, dilakukan reposisi terbuka dengan pemasangan fiksasi


interna (plate-screw).

Fraktur Sternum
Fraktur sternum terjadi sebagai akibat trauma yang sangat keras.
Biasanya fraktur ini disertai dengan kontusio jantung.
Manifestasi Klinis
Didapatkan keluhan nyeri waktu bernapas, pernapasan dangkal, dan
cepat. Mungkin terdapat deformitas pada tempat hubungan antara
manubrium sternum dengan korpus sternum. Pada auskultasi tentukan
ada atau tidaknya aritmia atau bising jantung untuk mengetahui adanya
kontusio jantung.
Penatalaksanaan
Dengan pemberian analgetik dan fisioterapi. Bila diperlukan, dapat dengan
anestesi setempat infiltrasi atau blok.
Flail Chest
Trauma hancur pada sternum atau iga dapat berakibat terjadinya
pemisahan total dari suatu bagian dinding dada, sehingga dinding dada
tersebut bersifat lebih mobil. Pada setiap gerakan respirasi, maka fragmen
yang mobil tersebut akan terhisap ke arah dalam. Pengembangan normal
rongga pleura tidak dapat lagi berlangsung, sehingga pertukaran gas
respiratorik yang efektif sangat terbatas.
Manifestasi Klinis
Biasanya karena ada pembengkakan jaringan lunak di sekitar dan
terbatasnya gerak pengembangan dinding dada, deformitas, dan gerakan
paradoksal, flail chest yang ada akan tertutupi. Pada mulanya, penderita
mampu mengadakan kompensasi terhadap pengurangan cadangan
respirasinya. Namun bila terjadi penimbunan sekret-sekret dan penurunan
daya pengembangan paru-paru akan terjadi anoksia berat, hiperkapnea,
dan akhirnya kolaps.
Penatalaksanaan
Tindakan stabilisasi yang bersifat sementara terhadap dinding dada akan
sangat menulong penderita, yaitu dengan menggunakan towl-clip traction
atau dengan menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah dengan
pembedahan. Takipnea, hipoksia, dan hiperkarbia merupakan indikasi
untuk intubasi endotrakeal dan ventilasi dengan tekanan positip.

Fraktur Humerus

Dibagi menjadi:
1. Fraktur suprakondilar humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur:
a. Tipe

ekstensi.

Trauma

terjadi

ketika

siku

dalam

posisi

hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi. Hal ini akan


menyebabkan fraktur pada suprakondilar, fragmen distal humerus
akan mengalami dislokasi ke anterior dari fragmen proksimalnya.
b. Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam fleksi, sedang
lengan bawah dalam posisi pronasi. Hal ini menyebabkan fragmen
distal humerus mengalami dislokasi ke posterior dari fragmen
proksimalnya.
Apabila terjadi penekanan pada arteri brakialis, dapat terjadi
komplikasi yang disebut dengan iskemia Volkmanns. Timbulnya sakit,
denyut arteri radialis yang berkurang, pucat, rasa kesemutan, dan
kelumpuhan merupakan tanda-tanda klinis adanya iskemia ini (Ingat
5P: Pain, Pallor, Pulselessness, Puffyness, Paralyses).
Manifestasi Klinis
Pada tipe ekstensi posisi siku dalam posisi ekstensi. Pada tipe fleksi
posisi siku dalam posisi fleksi (semifleksi).
Penatalaksanaan
Bila pembengkakan tak hebat, dapat dicoba reposisi dalam narkosis
umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi secara perlahanlahan. Gerakan fleksi diteruskan sampai arteri radialis mulai tak
teraba. Kemudian siku diekstensikan sedikit untuk memastikan arteri
radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan
imobilisasi dengan gips spalk (foreslab). Pascareposisi harus juga
diperiksa denyut arteri radialis untuk menghindarkan terjadi komplikasi
iskemia Volksmann.
2. Fraktur interkondilar humerus
Pada fraktur ini bentuk garis patah yang terjadi berupa bentuk huruf T
atau Y.
Manifestasi Klinis
Di daerah siku tampak jelas pembengkakan, kubiti varus atau kubiti
valgus.
Penatalaksanaan
Permukaan sendi harus dikembalikan secara anatomis. Bila hanya
konservatif, biasanya akan timbul kekakuan sendi (ankilosis). Untuk

mengatasi keadaan ini dilakukan tindakan operasi reduksi dengan


pemasangan fiksasi interna dengan lag-screw.
3. Fraktur batang humerus
Biasanya terjadi pada penderita dewasa, terjadi karena trauma
langsung yang menyebabkan garis patah transveral atau kominutif.
Manifestasi Klinis
Terjadi functiolaesa lengan atas yang cedera, untuk menggunakan
siku harus dibantu oleh tangan yang sehat. Bila terjadi gangguan pada
nervus radialis, akan terjadi wrist drop (drop hand).
Penatalaksanaan
Tindakan konservatif memberikan hasil yang baik karena fraktur
humerus ini sangat baik daya penyembuhannya. Imobilisasi dengan
gips berupa U-slab atau hanging cast selama 6 minggu.
4. Fraktur kolum humerus
Sering terjadi pada wanita tua karena osteoporosis. Biasanya berupa
fraktur impaksi.
Manifestasi Klinis
Sakit di daerah bahu tetapi fungsi lengan masih baik karena fraktur
impaksi merupakan fraktur yang stabil.
Penatalaksanaan
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan reposisi, lengan yang cedera
cukup diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 3
minggu. Bila disertai dislokasi abduksi, dilakukan reposisi dan
diimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi posisi
overhead.

Fraktur Iga
Merupakan cedera toraks terbanyak, dan komplikasi yang sering terjadi
akibat luka tembus. Fraktur iga bisa disebabkan pukulan, kontusio, atau
penggilasan.
Manifestasi Klinis:
Terlihat gerak pernapasan penderita yang terbatas dan sangat nyeri
pada sisi dada yang terkena trauma, apalagi bila disuruh bernapas dalam.
Usahakan mencari jejas luka. Pada palpasi, tentukan adanya krepitasi
akibat adanya udara dalam jaringan subkutan pada daerah dada yang
sakit. Kemudian tiap tulang iga ditekan secara lembut. Bila terdapat fraktur,
akan timbul rasa nyeri yang hebat. Pada kasus yang meragukan, dada
ditekan secara lembut dengan kedua tangan pemeriksa yang masing-

masing diletakkan di bagian anterior dan posterior bagian yang sakit.


Biasanya timbul nyeri bila terdapat fraktur iga di daerah tersebut. Cara ini
tidak boleh dila.kukan bila terdapat tanda-tanda efusi pleura atau tandatanda trauma intratorakal lainnya.
Pada perkusi dan auskultasi, tentukan posisi trakea dan jantung
untuk melihat adanya pergeseran mediastinum. Pada fraktur iga
sederhana biasanya tidak ditemukan tanda-tanda trauma intratorakal.
Fraktur iga-iga atas, klavikula, atau skapula secara tidak langsung
menunjukkan trauma yang bermakna. Selain itu cedera vaskular harus
dicurigai.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Rontgen toraks harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera
toraks lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga.
Penatalaksanaan
Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan
otot merupakan pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat,
perawatan

rumah

sakit

diperlukan

untuk

menghilangkan

nyeri,

penanganan batuk, dan pengisapan endotrakeal.

Fraktur Jari-jari Tangan


Ada tiga macam fraktur yang khas:
1. Baseball finger (Mallet finger)
Baseball finger (Mallet finger) merupakan fraktur dari basis falang distal
pada insersio dari tendon ekstensor. Ujung jari yang dalam keadaan
ekstensi tiba-tiba fleksi pasif pada sendi interfalang distal karena
trauma, sehingga terjadi avulsi fragmen tulang basis falang distal pada
insersi tendon ekstensor jari.
Manifestasi Klinis
Pasien tidak dapat melakukan gerakan ekstensi penuh pada ujung
distal falang. Ujung distal falang selalu dalam posisi fleksi pada sendi
interfalang distal dan terdapat hematoma pada dorsum sendi tersebut.
Penatalaksanaan
Dilakukan imobilisasi menggunakan gips atau metal splinting dengan
posisi ujung jari hiperekstensi pada sendi interfalang distal sedangkan
sendi interfalang proksimal dalam posisi sedikit fleksi (Mallet splint).
2. Boxer fracture (street fighters fracture)
Boxer fracture (street fighters fracture) merupakan fraktur kolum
metakarpal V, dan posisi kaput metakarpal angulasi ke volar/palmar.

Terjadi pada keadaan tidak tahan terhadap trauma langsung ketika


tangan mengepal.
Penatalaksanaan
Reposisi tertutup dengan cara membuat sendi metakarpofalangeal dan
interfalang proksimal dalam keadaan fleksi 90, kaput metakarpal V
didorong ke arah dorsal, lalu imobilisasi dengan gips selama 3 minggu.
3. Fraktur Bennet
Fraktur Bennet merupakan fraktur dislokasi basis metakarpal I.
Manifestasi Klinis
Tampak pembengkakan di daerah karpometakarpal (CMC) I, nyeri
tekan, dan sakit ketika digerakkan.
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi tertutup dengan cara melakukan ekstensi dan
abduksi dari ibu jari tangan, diimobilisasi. Kadang-kadang pada
keadaan yang tidak stabil, perlu reposisi terbuka dengan kawat
Kirschner atau dilakukan reposisi tertutup di bawah C arm dan diikuti
dengan asi dengan memakai wire (percutaneus pinning).

Fraktur Kompresi Tulang Belakang


Biasanya merupakan fraktur kompresi karena trauma indirek dari atas dan
dari bawah. Dapat menimbulkan fraktur stabil atau tidak stabil.
Manifestasi Klinis
Pada daerah fraktur biasanya didapatkan rasa sakit bila digerakkan dan
adanya spasme otot paravertebra. Bila kepala ditekan ke bawah terasa
nyeri. Perlu diperiksa keadaan neurologis serta kemampuan miksi dan
defekasi.
Penatalaksanaan
1. Bila sederhana (stabil atau tak ada gejala neurologik)
Istirahat di tempat tidur, telentang dengan dasar keras dan posisi
miring ke kiri dan ke kanan untuk mencegah dekubitus (5 pillow
nursing) selama 2 minggu.
Bila sakit, diberikan analgetik.
Pada fraktur yang stabil, kalau tak merasa sakit lagi setelah 2
minggu latih otot-otot punggung dalam 1 -2 minggu. Dilanjutkan
dengan mobilisasi; belajar duduk, jalan, memakai brace, dan bila tak
ada apa-apa pasien dapat pulang. Pada fraktur yang tidak stabil
ditunggu lebih lama 3 - 4 minggu.

2. Bila dengan kelainan neurologik


Kelainan neurologik dapat timbul karena edema, hematomieli, kompresi
dari fraktur, dan karena luksasi tulang belakang. Kelainan dapat komplit
atau inkomplit. Kalau pada observasi keadaan neurologis memburuk,
segera dilakukan operasi dekompresi, misalnya tindakan laminektomi
dan fiksasi tulang belakang. Pada fraktur tulang belakang dengan defisit
neurologis, indikasi tindakan operatif adalah untuk stabilisasi fraktur,
untuk rehabilitasi dini (duduk, berdiri, dan berjalan). Pada fraktur tulang
belakang dengan defisit neurologis yang dilakukan tindakan konservatif
(tanpa operasi), setelah 6 minggu atau fraktur kuat, dilakukan mobilisasi
duduk/berdiri dengan menggunakan external support seperti gips
Bohler, gips korset, jaket Minerva, tergantung dari tempat fraktur.
Pemasangan gips korset harus meliputi manubrium sterni, simfisis,
daerah fraktur, dan di bawah ujung skapula.

Fraktur Kruris
Fraktur kruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas.
Manifestasi Klinis
Gejala yang tampak adanya deformitas angulasi atau endo/eksorotasi.
Daerah yang patah tampak bengkak, juga ditemukan nyeri gerak dan nyeri
tekan.

B. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :


a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur inkomplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang
tulang) seperti:
-

Hair Line Fraktur (patah retak rambut)

Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks


lainnya yang terjadi pada tulang panjang

C. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :


a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).
c. Fraktur Multipel (garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan
sebagainya).

D. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).


a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan

lunak sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan

jaringan subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.

Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata


dan ancaman sindroma kompartement (Rasjad, 2008).

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound),

bila terdapat hubungan antara

hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya


perlukaan kulit.
E. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma.
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
F. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
dan overlapping).
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

sumbu

Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).


G. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
3. ETIOLOGI FRAKTUR
Menurut Buku Saku Patofisiologi Elizabeth J.Corwin penyebab fraktur adalah
sebagai berikut :
a. Trauma

Trauma langsung : trauma yang menyebabkan fraktur pada titik


terjadinya trauma. Sering bersifat terbuka dengan garis patah melintang
atau miring. Misalnya saat seseorang tertabrak mobil pada tungkai atas
maka di tempat trauma tersebut terjadi fraktur.

Trauma tidak langsung : trauma yang menyebabkan fraktur di tempat


yang jauh dari titik terjadinya trauma. Hal ini disebabkan karena tulang
yang mengalami trauma memiliki hantaran vektor yang lemah pada
kekerasan. Seperti jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga,
dimana telapak tangan yang mengalami trauma namun lokasi fraktur
bisa pada lengan atas.

Trauma akibat tarikan otot : trauma yang dapat menyebabkan dislokasi


dan patah tulang. Contohnya fraktur pada patella dan olekranon karena
kontraksi biseps dan trisep secara mendadak.

Stress
Kelelahan atau stress : terjadi pada orang - orang yang melakukan
aktivitas berulang - ulang pada satu daerah tulang misalnya pebulu
tangkis dan pelari.

Patologis
Kelemahan tulang : tekanan yang normal dapat menyebaban fraktur
pada tulang yang lemah. Biasanya akibat infeksi dan penyakit
metabolisme seperti osteoporosis, osteomyelitis, dan tumor pada
tulang.

4. FAKTOR RESIKO FRAKTUR


a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

Faktor Demografi
-

Umur
Patah tulang meningkat pada wanita usia > 45 tahun, sedangkan pada
laki-laki patah tulang baru meningkat pada usia > 75 tahun (Baziad,
2003:79). Risiko terjatuh dan patah tulang menjadi bertambah seiring
bertambahnya usia, hal ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan,
misalnya permukaan tanah yang tidak rata, naik tangga atau
tersandung tepi karpet. Ada juga faktor kesehatan lanjut usia, seperti
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, pikun, keseimbangan
tubuh yang berkurang, otot makin lemah atau akibat penyakit lain
seperti stroke dan encok. Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi
resiko

terkena

osteoporosis.

Hal

ini

dikarenakan

semakin

meningkatnya usia seseorang, maka tulang akan berkurang kekuatan


dan kepadatannya (Purwanti, 2008).
-

Jenis kelamin
Wanita paling rawan menderita rapuh tulang, yaitu 1:3. Peluang laki-laki
menderita rapuh tulang amat kecil yaitu 1:20 (Baziad, 2003:79). Wanita
lebih beresiko terkena osteoporosis karena memiliki jaringan tulang
yang

lebih

sedikit

dan

lebih

cepat

kehilangan

massa

tulang

dibandingkan pria (Purwanti, 2008).


-

Ras
Orang kulit hitam lebih jarang mengalami tulang keropos daripada kulit
putih, orang Eropa atau orang Asia (Tandra, 2009:38). Penelitian
menunjukkan wanita yang tinggal di negara barat memiliki resiko lebih
besar

terkena osteoporosis dibandingkan wanita Asia. Hal ini

disebabkan karena di Asia lebih banyak mendapatkan sinar matahari


(Purwanti, 2008).
Faktor Genetik
-

Riwayat patah tulang anggota keluarga


Besarnya puncak massa tulang sangat ditentukan oleh faktor genetik,
terutama diturunkan dari pihak ibu kepada anak wanitanya. Wanita
yang dalam sejarah kesehatan keluarga, nenek atau ibunya, pernah
mengalami

patah

tulang

belakang,

lebih

beresiko

mengalami

pengurangan massa tulang (Purwanti, 2008).


-

Riwayat patah tulang sebelumnya


Orang yang pernah mengalami patah tulang akan berisiko patah lagi,

karena mungkin tulangnya sudah keropos. Pada wanita yang pernah


patah tulangbelakang, risiko mengalami patah tulang pergelangan
tngan sebanyak 1-2 kali, tulang belakng 4-19 kali, tulang panggul 2-3
kali. Pada orang yang pernah mengalami patah tulang pergelangan
tangan akan berisiko mengalami patah tulang pergelangan tangan 3-4
kali, patah tulang belakang 2-7 kali, patah tulang panggul 1-2 kali. Pada
orang yang pernah patah tulang panggul, akan berisiko mengalami
patah tulang belakang 2-3 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali
(Tandra, 2009).
Faktor hormonal
Usia menopause atau gangguan hormon estrogen. Menopause pada
wanita timbul pada usia sekitar 50 tahun, hormon estrogen wanita akan
turun 2-3 tahun sebelum menopause timbul dan terus berlangsung
sampai3-4

tahun

setelah

menopause

(Tandra,

2009:39).

Wanita

menopause mengalami kekurangan estrogen, sehingga sangat berisiko


terjadinya patah tulang. Risiko patah tulang sangat bergantung pada
kekuatan tulang. Kekuatan tulang ditentukan oleh massa, kandungan
mineral dan mikroarsitektur tulang. Kekurangan estrogen sangat berperan
terhadap patogenesis hilangnya massa tulang.

b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


Faktor Metabolik
-

Berat badan (Body Mass Indeks/BMI rendah)


Patah tulang lebih banyak ditemukan pada orang berpostur tubuh yang
lebih pendek dan kecil. Pada orang bertubuh kecil atau kurus, puncak
massa tulang tidak akan tinggi dibandingkan pada mereka yang
bertubuh besar

Penyakit
Pada orang yang menderita diabetes mellitus atau kencing manis lebih
mudah mengalami tulang keropos. Insulin merangsang pengambilan
asam amino ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukan kolagen tulang, sehingga kekurangan insulin akan mengurangi pembentukan kolagen. Kontrol gula yang buruk juga akan memperberat metabolisme vitamin D. Pada penyakit tiroid atau gondok, kadar hormon tiroid
tinggi atau berlebihan, sehingga menyebabkan penurunan massa
tulang, begitu pula pada hipotiroid yang diberi pengobatan hormon
tiroksin. Beberapa penyakit seperti penyakit hati yang kronis, gagal

ginjal kronis serta radang kronis pada usus besar juga mudah
mengakibatkan tulang keropos. Beberapa kanker tertentu dikaitkan
dengan timbulnya kerapuhan tulang misalnya kanker sumsum tulang.
Faktor Gaya Hidup
-

Merokok
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok bisa menurunkan
estrogen dan mempercepat menopause. Penyerapan kalsium di usus
orang yang biasa merokok menjadi terganggu padahal kalsium
dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang.

Konsumsi Alkohol
Kebiasaan mengkonsumsi alkohol jangka lama bisa menurunkan
massa tulang. Bila minum alkohol pada masa kanak kanak dan remaja,
pertumbuhan tulang akan terhambat, sehingga mengakibatan tulang
keropos di kemudian hari. Minuman yang mengandung alkohol, kafein
dan soda berpotensi mengurangi penyerapan kalsium ke dalam tubuh
(Kemenkes, R.I, 2008).

Olahraga
Olahraga adalah gerakan tubuh yang berirama dan teratur untuk
memperbaiki dan meningkatkan kebugaran. Orang yang tidak bergerak
lama, tidak ada rangsangan gravitasi bumi atau tekanan mekanik lain,
akan membuat banyak mineral tulang hilang dan menyebabkan tulang
menjadi keropos. Kurangnya olahraga dan latihan secara teratur,
menimbulkan efek negative yang menghambat proses pemadatan
massa tulang dan kekuatan tulang. Namun olahraga yang sangat
berlebih (maraton, atlit) pada usia muda,terutama anak perempuan
yang telah haid, akan menyebabkan haidnya terhenti, karena
kekurangan estrogen, sehingga penyerapan kalsium berkurang dengan
segala akibatnya (Kemenkes R.I, 2008).

Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah semua gerakan otot bergaris yang membakar
energi tubuh. Kurang gerak badan akan mengurangi kepadatan tulang,
kekuatan dan kebugaran, juga akan membuat kalsium keluar semakin
meningkat melalui urin yang akan menyebabkan tulang menjadi
keropos. Pada usia lanjut, kurang gerak badan menyebabkan lemahnya
otot dan meningkatkan risiko jatuh dan patah tulang.

Pemakaian hormon steroid dan obat lain

Obat-obatan yang mengandung steroid bisa mempercepat kerapuhan


tulang seperti prednison, prednisolon, atau kortison, termasuk jamu
atau obat tradisional yang biasanya mengandung

steroid yang

diberikan pada penyakit rematik, asma, radang usus, atau beberapa


penyakit kanker. Obat lambung bila dikonsumsi dalam jangka lama juga
menyebabkan tulang keropos (Tandra, 2009).
Faktor diet
-

Asupan kalsium dan vitamin D rendah


Kalsium dan vitamin D adalah mineral penting dalam pertumbuhan
tulang. Vitamin berperan dalam penyerapan kalsium di usus, jika
kalsium dalam darah berkurang maka kalsium dalam tulang akan
dikeluarkan ke dalam darah sehingga tulang menjadi cepat keropos.

Asupan kafein dan fosfat berlebihan


Diet yang kaya akan fosfor misalnya diet tinggi protein atau banyak
minum minuman bersoda menurunkan kalsium tulang. Ini disebabkan
oleh fosfor yang mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari
tulang. Pola makan yang banyak mengandung protein, garam dan
kafein akan meningkatkan risiko tulang keropos (Tandra, 2009).

Stress
Stress meningkatkan hormon stress yaitu kortisol yang dilepaskan oleh
kelenjar adrenal. Kortisol yang tinggi meningkatkan pelepasan kalsium dari
tulang ke dalam peredaran darah dan menyebabkan tulang menjadi rapuh
dan keropos. Hormon kortisol sendiri akan menekan pembentukan hormon
DHEA dan progesteron, juga menekan kinerja hormon tiroid yang penting
dalam metabolisme tulang (Tandra, 2009).
5. MANIFESTASI KLINIS FRAKTUR
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:
a) Nyeri

Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.
b) Edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c) Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d) Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur.
e) Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f)

Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot.
Paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.

g) Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h) Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i)

Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

j)

Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hitung Darah Lengkap
a. Hb dan Ht bisa meningkat (hemokonsentrasi) maupun menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple)
b. Untuk pemeriksaan diagnostik bisa dengan pemeriksaan LED ( Laju
Endap Darah) yang merupakan marker untuk peradangan dimana

menunjukkan peningkatan saat terjadi kerusakan jaringan yang sangat


luas.
c. Pemeriksaan jumlah leukosit yang menampakkan peningkatan, hal ini
normal setelah terjadinya trauma
d. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah
e. Alkali fosfat meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang
f.

Enzim-enzim otot seperti laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat amini


transfererasi (AST), aldolase meningkat pada tahap penyembuhan
tulang

b) PEMERIKSAAN RADIOLOGI
-

Foto polos dan CT scan


Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur secara langsung, biasanya
dilakukan

sesudah

dan

sebelum

operasi

dan

selama

proses

penyembuhan secara periodik. Namun CT scan lebih jelas dari foto


polos.
-

MRI

Ultrasonografi (USG)

Bone scanning

Venogram/ anterogram untuk melihat arus vaskularisasi

Iodium Imaging
Pada pemeriksaan ini didapatkan infeksi pada tulang

Artroskopi
Didapatkan jaringan ikat yang rusak dan sobek karena trauma yang
berlebihan

Elektromiografi
Terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur

Skor tulang tomografi, skor C1, Mr1


Dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak

7. PENATALAKSANAAN
A. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI
Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:

1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
Seluruh Fraktur
1)

Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.

2)

Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur
(setting

tulang)

adalah

mengembalikan

fragmen

tulang

pada

kesejajarannya dan rotasfanatomis. Reduksi tertutup, traksi, atau


reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode
tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur
sesegera

mungkin

untuk

mencegah

jaringan

lunak

kehilaugan

elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada


kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum

reduksi

dipersiapkan untuk

dan

imobilisasi

fraktur,

pasien

harus

menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk

melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.


Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi
harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup.

Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup

dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujungujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara
gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan
menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan
tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen
tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi
dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat

pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat


dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi
terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini
dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang,
alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen
tulang.
3)

Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna
untuk mengimobilisasi fraktur.

4)

Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.

Segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan


imobilisasi

harus

dipertahankan

sesuai

kebutuhan.

Status

neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,


gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan

dikontrol

dengan

berbagai

pendekatan

(mis.

meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk


analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Partisipasi

dalam

memperbaiki

aktivitas

kemandirian

hidup
fungsi

sehari-hari
dan

diusahakan

harga-diri.

untuk

Pengembalian

bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika.


Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan
luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan

menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan (Reksoprodjo,


2005).

B. PENATALAKSANAAN NONFARMAKOLOGI
Menurut buku Klien gangguan Sistem Musculosceletal oleh Suratun dkk
penatalaksanaan non farmakologi adalah sebagai berikut :
1.

Meninggikan bagian yang sakit untuk mengontrol pembengkakan.

2.

Istirahat,

mencegah

cedera

tambahan

,dan

mempercepat

penyembuhan.
3.

Pemberian kompres dingin selama 20-30 menit .Selama 24-48 jam


pertama setelah cedera dapat menimbulkan vasokonstriksi yang akan
mengurangi perdarahan ,edema dan ketidaknyamanan.

4.

Pemasangan balut tekan elastis dapat mengontrol perdarahan


,mengurangi edema, dan menyokong jaringan yang cedera.

5.

Status Neurovaskuler ekstremitas yang cedera dipantau sesering


mungin

6.

Pembedahan jika ada robekab serabut otot dan terputusnya ligament

7.

Imbilisasi dengan gips

8.

Latihan aktif dan pasif prgresif boleh dimulai dalam 3-5 hari .Sprain
berat

mungkin

perlu

diimobilisasi

1-3

minggu

sebelum

latihan

perlindungan dimulai. Latihan awal yang berlebihan dalam perjalanan


terapi dapat memperlama penyembuhan.Strain dan Sprain memerlukan
beberapa minggu sampai beberapa bulan untuk sembuh.Pembidain
diperlukan untuk mencegah cedera ulang.
9.

Fisiotherapy
Alat untuk mobilisasi mencakup exercise, ROM pasif dan aktif

ROM pasif untuk mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan ROM
normal pada sendi

ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan otot


8. PROSES PENYEMBUHAN BESERTA FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN
MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN FRATUR
a) Proses Penyembuhan Fraktur
Proses Hematom
Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk

hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tsb, dan yang
mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom merupakan bekuna darah
kemudian berubah menjadi bekuan semi padat.
Proses Proliferasi
Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah menjadi
padat dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah.
Proses Pembentukan Callus
Pada orang dewasa proses pembentukan callus terjadi antara 6-8 minggu,
sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan proses pembentukan tulang baru,dimana callus dapat terbentuk di luar tulang (subperiosteal callus) dan di dalam tulang (endosteal callus). Proses perbaikan tulang
terjadi sedemikian rupa,sehingga trabekula yang terbentuk dengan tidak
teratur oleh tulang imatur untuk sementara bersatu dengan ujung-ujung
tulang yang patah sehingga terbentu suatu callus tulang.
Proses konsolidasi (penggabungan)
Perkembangan callus secara terus menerus dan terjadi pemadatan tulang
sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentu antara 6-12 minggu (ossificasi)
dan

antara

12-26

minggu

(matur).

Tahap

ini

disebut

dengan

penggabungan atau penggabungan secara terus-menerus.


Proses Remodeling
Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan
tulang ,dan proses pengembalian bentuk seperti semula.Proses terjadinya
remodeling antara 1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi.
b) Faktor-faktor Pemicu proses penyembuhan fraktur

Usia, cepatnya proses penyembuhan ini sangat berhubungna erat dengan


aktivitas osteogenesis dari periosteum dan endosteum.Sebagai contoh
fraktur dialysis femur yang akan bersatu(knsolidasi sempurna) sesudah 12
minggu pada usia 12 tahun, 20 minggu pada usia 20 tahun sampai dengan
usia lansia.

Tempat ( Lokasi) Fraktur


Fraktur pada tulang yang dikelilingi otot akan sembuh lebih cepat daripada
tulang yang berada di subkutan atau daerah persendian.Fratur pada
tulang berongga sembuh lebih cepat daripada tulang kompakta.

Dislokasi fraktur
Fraktur tanpa dislokasi, periosteumnya intake, maka lama penyembuhannya dua kali lebih cepat daripada yang mengalami dislokasi. Semakin

besar dislokasi maka semakin lama penyembuhannya.

Aliran darah ke fragmen tulang

Bila

aliran

tulang

mendapatkan

aliran

darah

yang

baik,

maka

penyembuhan lebih cepat dan tanpa komplikasi.Bila terjadi gangguan


berkurangnya aliran darah atau kerusakan jaringan lunak yang berat,
maka proses penyembuhan menjadi lama atau terhenti.

Nutrisi yang baik

Imobilisasi

Latihan otot
Latihan otot dilakukan untuk mencegah atrofi otot,mencegah kekakuan,
memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan.

c) Faktor yang menghambat proses penyembuhan

Trauma berulang

Kehilangan massa atau kondensitas tulang

Immobilisasi yang tidak memadai

Rongga atau adanya jaringan diantara fragmen tulang

Infeksi

Radiasi atau nekrosis tulang

Usia

Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan)

9. KOMPLIKASI FRAKTUR
a) Komplikasi Awal

Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf,
dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.

Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkmans Ischemia.

Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.

b) Komplikasi Dalam Waktu Lama

Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan supai darah ke tulang.

Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.

Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik (Rasjad, 2008; Ethel,
2003).

10.

ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
b) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
c) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang

menjadi faktor presipitasi nyeri.


Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa

sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.


Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan

seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.


Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah

buruk pada malam hari atau siang hari.


c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bias berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bias diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets
yang

menyebabkan

fraktur

patologis

yang

sering

sulit

untuk

menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat

beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes


menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan

dengan

penyakit

tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti


diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic
f)

(Ignatavicius, Donna D, 1995).


Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga

ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).


g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian

alkohol

yang

bisa

mengganggu

keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak


(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur

timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat


mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga

dan

dalam

masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius,


Donna D, 1995).
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan

kecacatan

akibat

frakturnya,

rasa

cemas,

rasa

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan


pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
(10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk

mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal


ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti:
(a) Kesadaran

penderita:

apatis,

sopor,

koma,

gelisah,

(b)

komposmentis tergantung pada keadaan klien.


Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,

(c)

berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.


Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.

(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin


(a)

Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.

(b)

Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

(c)

Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.

(d)

Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

(e)

Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis


(karena tidak terjadi perdarahan)

(f)

Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.

(g)

Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

(h)

Mulut dan Faring


Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.

(i)

Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.


(j)

Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara

(k)

(l)

tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi


Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak

teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu
Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan

seperti bekas operasi).


Cape au lait spot (birth mark).
Fistulae.
Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).

Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)


Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal 3 5
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan
nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar
dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan
mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
Rencana Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam tingkat
kenyamanan klien terkontrol, tingkat nyeri terkontrol dan nyeri dapat
berkurang
Kriteria Hasil :
Klien menyatakan nyeri berkurang
Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat

dengan tepat
Klien mampu mengon troll nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri


Intervensi :

1. Lakukan pengkajian pada nyeri terhadap lokasi, karakteristik,durasi,


frekuensi, kualitas, intensitas, dan factor pemicu nyeri
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri klien sebelumnya
4. Ajarkan manajemen nyeri pada klien
5. Ajarkan pada klien penggunaan teknik non farmakolohi dalam mengurangi
nyeri seperti relaksasi hypnosis dan terapi music.
6. Ciptakan suasana yang tenang
7. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
8. Kontrol penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
9. Kolaborasi : pemberian analgetik
b. Hambatan Mobilitas Fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 10 x 24 jam pmobilitas fisik
pasien meningkatt dengan
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin
- Pasien dapat Mempertahankan posisi fungsinal
- Pasien dapat Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
- Pasien dapat Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi :
1. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
2. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas
yang sakit dan tak sakit
3. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
4. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS (Aktivitas Kehidupan
Sehari hari) dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai
kebutuhan
5. Ubah psisi secara periodic tiap 2 jam sekali
6. Rujuk pada fisioterapi untuk menentukan latihan fisik
c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer
Tujuan : setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam klien akan terhindar dari
risiko disfungsi neurovaskuler perifer
Kriteria hasil :
- CRT < 2
- Tidak terjadi tromboflebitis dan DVT
- Tidak ada hematoma, cyanosis, dan kepucatan
- Memperlihatkan penyembuhan yang optimal dan adaptasi terhadap gips,
traksi, atau balutan luka
Intervensi :
1. Pantau CRT (Capillary Refill Time)
2. Pantau adanya hematoma, cyanosis, dan kepucatan
3. Pantau adanya tromboflebitis dan DVT
4. Ajarkan klien menggunakan interval waktu, bukan ketidaknyamanan
sebagai acuan perubahan posisi

5. Tinggikan estremitas yang terganggu 20 derajat atau lebih untuk


melancarkan alur balik vena
6. Atur posisi estremitas dalam keadaan menggantung untuk meningkatkan
sirkulasi arteri
7. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mencegah peningkatan
viskositas darah
8. Pantau osisi traksi
9. Pantau dengan cermat terapi panas atau dingin
10. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk program latihan

DAFTAR PUSTAKA
Lestari,Puji.2012.Studi Literatur: Berbagai faktor yang berpengaruh terjadap kejadian
patah

tulang

pada

usia

lanjut

[Electronic

Version].from:http://faktorresikofraktur.pdf.diakses tanggal 13 Desember


2012 Pukul 16.00 WIB
Ethel, Sloane. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit EGC.
Mansjoer, arief, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta:
Media Esculapius.
Rasjad, Chairuddin. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif
Waatampone.
Reksoprodjo, Soelarto. 2005. Ilmu Bedah. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Smetzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner & Suddart. Alih
Bahasa Agung Waluyo [et. al..], editor Bahasa Indonesia Monica Ester. Ed
8. Jakarta : EGC.
Budiyanto, Aris. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca Operasi Pemasangan
OREF

pada

Fraktur

Cruris

Sepertiga

http://etd.eprints.ums.ac.id/1806/2/J100050057.pdf.

Distal
Diakses

Dekstra.
pada

12

Desember 2012.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta : EGC.
Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta : PT.
Gramedia.
Suratun dkk.2006.Klien Gangguan Sistem Musculoskeletal.Jakarta.Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Corwin J.E.2008. Buku Saku Patofisiologi . Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai