Anda di halaman 1dari 18

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA GELANDANGAN

DAN PENGEMIS:
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA GELANDANGAN DAN
PENGEMIS:
Kasus di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja

Oleh Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA

ABSTRAKSI

Arus urbanisasi ke Kota Denpasar dan kota-kota lainnya seperti


Gianyar, Tabanan dan Singaraja semakin besar seiring dengan
pertumbuhan ekonomi regional. Di sisi lain, kesempatan kerja yang
tersedia dan peluang berusaha di Kota Denpasar termasuk kota-kota
lainnya di Bali (seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja) ternyata tidak
mampu menampung pelaku-pelaku urbanisasi karena keterbatasan
keterampilan yang dimiliki di daerah asal sehingga menimbulkan salah
satu masalah yaitu terjadinya gelandangan dan pengemis.

Berdasarkan pada hasil penelitian, menunjukkan bahwa terdapat


beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng dalah faktor internal
dan eksternal. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial
dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu
faktor dengan faktor yang lainnya. Faktor internal meliputi : (i)
kemiskinan; (ii) umur; (iii) rendahnya tingkat pendidikan formal; (iv)
ijin orang tua; (v) rendahnya tingkat ketrampilan; (vi) sikap mental.
Sedangkan faktor-faktor eksternal mencakup: (i) kondisi hidrologis;
(ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv)
akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif
masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota.

Oleh karena itu, pemecahan masalahnya harus mencakup dua


aspek yaitu: (i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi daerah tujuan.
Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga
mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari
penghasilan di kota dengan cara membuka pekerjaan di desa.
Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di
tempat tujuan harus ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka
tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak akan
memperoleh penghasilan lagi.

ABSTRACTS

Urbanization has been rapidly increased to the cities, such as


Denpasar, Gianyar, Tabanan and Singaraja. In the other hand, the job
opportunities in the cited cities have not fully fitted those who
urbanize, thus bring them to be beggar.

The research pointed out that there are some reasons of being beggar,
namely internal and external factors. These factors could be partially
and mutually influenced the beggar. Internal factors consist of (i)
poverty; (ii) age; (iii) formal education; (iv) permittance of their
parents; (v) low life skill; and (vi) attitude. Meanwhile, the external
factors are : (i) hydrologic conditions; (ii) bad agricultural conditions;
(iii) poor infrastructures; (iv) limited access to information and capital;
and (v) permisiveness of urban people; and (vi) weaknesess of
handling.

The alternative solutions should be comprehensively paid


attention to the two aspects, namely the village condition and
destination cities conditions. It is principally that the solutions should
be able to protect them leaving their village to look for job in the cities
by opening job opportunities in the village itself. Meanwhile, the
beggars in the cities should be handled by making them have no
chance to gain money as beggar.

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hakekatnya, pembangunan ekonomi di Indonesia bertujuan untuk


meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja
dan kesempatan peluang berusaha, meningkatkan pemerataan
pendapatan masyarakat serta meningkatkan hubungan antar daerah.
Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang
dilaksanakan bermuara pada manusia sebagai insan yang harus
dibangun kehidupannya dan sekaligus merupakan sumberdaya
pembangunan
yang
harus
terus
ditingkatkan
kualitas
dan
kemampuannya untuk mengangkat harkat dan martabatnya
(Chambers, 1983).

Kota Denpasar dan kota-kota lainnya di Bali tumbuh juga secara baik
dan bahkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satu
persoalan yang muncul adalah kesenjangan atau ketimpangan yang
semakin besar dalam pembagian pendapatan antara berbagai
golongan pendapatan, antara daerah perkotaan dan pedesaan. Ini
berarti juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat belum berhasil
untuk menanggulangi masalah kemiskinan, seperti pengangguran dan
masalah sosial-ekonomi lainnya, seperti gelandangan dan pengemis.

Tetapi, arus urbanisasi, khususnya yang menuju Kota Denpasar dan


kota-kota lainnya seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja semakin
besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi regional. Kota Denpasar
yang sebagai Ibukota Provinsi Bali menjadi daerah yang subur bagi
penduduk untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, kesempatan
kerja yang tersedia dan peluang berusaha di Kota Denpasar termasuk
kota-kota lainnya di Bali (seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja)
ternyata tidak mampu menampung pelaku-pelaku urbanisasi karena
keterbatasan keterampilan yang dimiliki di daerah asal. Apalagi
mereka yang melakukan urbanisasi tidak memiliki keterampilan
tertentu yang dibutuhkan dan sengaja untuk melakukan kegiatan
sebagai gelandangan dan pengemis.

Akibatnya, mereka yang dengan sengaja untuk menjadi gelandangan


dan pengemis (Gepeng) di kota-kota seperti Denpasar, Gianyar,
Tabanan dan Singaraja akan semakin menjadi sosok yang sangat
tidak dibutuhkan karena dirasakan mengganggu ketertiban dan
keamanan di jalanan termasuk dibeberapa permukiman. Secara
umum, mereka yang menjadi Gepeng di ke empat kota seperti yang
disebutkan di atas hampir seluruhnya berasal dari Dusun Munti
Gunung di Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem. Oleh karena itu, pada penelitian ini juga akan melihat
faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka menjadi Gepeng?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka tujuan penelitian


adalah untuk mengidentifikasi berbagai masalah atau faktor-faktor
yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai Gepeng baik yang
ditemui di daerah asal maupun di daerah tujuan (kota-kota).
Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menjadi
acuan untuk mengatasi masalah Gepeng yang ada di kota-kota, seperti
Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja.

II KERANGKA DASAR TEORI

2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak


sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang
tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan

penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai


cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
(Anon., 1980). Humaidi, (2003) menyatakan bahwa gelandangan
berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara, atau
berkelana (lelana).

Menurut Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan tiga


gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin
atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari
kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar
mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Ali, dkk., (1990)
juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan di Kartasura
seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak,
penjaja makanan, dan pengamen.

Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh


penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja
sektor informal. Sementara itu, Breman (1980) mengusulkan agar
dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial
di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan
memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan
kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau
bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin yang kegiatannya mirip
gelandangan dan pengemis.

Sementara itu Alkostar (1984) dalam penelitiannya tentang kehidupan


gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis
dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak
mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat
psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural,
ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.

2.2 Kemiskinan

Hall dan Midgley (2004), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan


sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan
individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di
mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan
individu yang lainnya dalam masyarakat. Juga, kemiskinan
didefenisikan
sebagai
ketidaksamaan
kesempatan
untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial (Friedmann, 1979).

Kemiskinan merupakan suatu ketidaksanggupan seseorang untuk


memuaskan
kebutuhan-kebutuhan
dan
keperluan-keperluan
materialnya (Oscar, dalam Suparlan, 1984). Dalam proses
dinamikanya, budaya kemiskinan ini selanjutnya menjadi kondisi yang
memperkuat kemiskinan itu sendiri. Keadaan tersebut di atas
memberikan indikasi bahwa kemiskinan merupakan penyebab dan
sekaligus dampak, dimana masing-masing faktor penyebab sekaligus
dampak untuk dan dari faktor-faktor lainnya atau penyebab sirkuler
(Rajab, 1996). Sementara itu, Harris (1984) mengatakan bahwa
kemiskinan disebabkan karena keterbatasan faktor-faktor geografis
(daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan
sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahan, dan air serta
cuaca yang tidak mendukung), teknologi (kesederhanaan sistem
teknologi untuk berproduksi), dan pertumbuhan penduduk yang tinggi
dibandingkan dengan tingkat penghasilannya. Chambers (1983)
mengemukakan bahwa sebenarnya orang-orang miskin tidaklah malas,
fatalistik, boros, dungu dan bodoh, tetapi mereka sebenarnya adalah
pekerja keras, cerdik dan ulet. Argumennya dilandasi bahwa mereka
memiliki sifat-sifat tersebut karena untuk dapat mempertahankan
hidupnya dan melepaskan diri dari belenggu rantai kemiskinan.

III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan


Singaraja, dimana pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive
sampling yaitu pemilihan lokasi atau obyek penelitian secara sengaja

dengan beberapa pertimbangan tertentu. Salah satu pertimbangan


dipilihnya lokasi penelitian tersebut adalah di kota-kota tersebut
memiliki jumlah Gepeng yang cukup besar dibandingkan dengan kotakota lainnya yang ada di lima kabupaten lainnya yang ada di Provinsi
Bali (berdasarkan survai awal peneliti dkk. 2007).

3.2 Populasi dan Responden

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh Gepeng yang tersebar di


Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja dimana jumlahnya
tidak tercatat karena adanya mobilitas yang tinggi. Guna memudahkan
analisis dan memperhatikan keterbatasan waktu, tenaga dan dana
yang tersedia, sampel yang ditentukan adalah sebanyak 74 orang yang
dipilih secara incidental sampling yaitu memberikan sejumlah sampel
pada masing-masing kota, dengan rincian sebagai berikut.
1. Kota Denpasar sebanyak

27 orang

2. Kota Gianyar sebanyak 16 orang


3. Kota Tabanan sebanyak 15 orang
4. Kota Singaraja sebanyak 16 orang

Selain itu, dilakukan wawancara terhadap responden lainnya yang


bersentuhan dengan kegiatan GEPENG, seperti Instansi Pemerintah
yang terkait, pengguna jalan tempat GEPENG beroperasi, warga
masyarakat di daerah operasi GEPENG, sehubungan dengan masalah
yang dihadapinya.

3.3 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder
baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer yang
dikumpulkan meliputi karakteristik sosial, ekonomi, demografi dan

teknis dan data lainnya dari sampel yang berkenaan dengan tujuan
penelitian ini. Misalnya mengenai umur, lama pendidikan formal, jenis
kelamin, saat memulai menjadi Gepeng, dsb. Sedangkan data
sekunder mencakup kondisi geografis, demografis daerah asal, daerah
tujuan Gepeng, dan informasi lainnya yang mendukung tujuan
penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
kuesioner, wawancara, observasi langsung dan dokumentasi.

3.4 Analisis Data

Data yang terkumpul lebih dahulu ditabulasi yang didasarkan pada


masing-masing variabel. Analisis data yang dipergunakan pada
penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu metode yang
dipergunakan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) terhadap
variabel-variabel yang diteliti dan menginterprestasikan sesuai dengan
tujuan penelitian.

IV. PENYEBAB TERJADINYA GELANDANGAN DAN PENGEMIS


Berdasarkan pada hasil survai dan pengamatan langsung di lokasi
penelitian, yaitu di empat kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan
Singaraja), serta observasi di lokasi daerah asal, yaitu Munti Gunung
dan sekitarnya, diperoleh beberapa faktor penyebab terjadinya
Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Beberapa faktor penyebab
tersebut di antaranya dalah faktor yang ada di internal individu dan
keluarga Gepeng, internal masyarakat, dan eksternal masyarakat,
yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini
dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling
mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya.

4.1 Faktor Internal

Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan dalah suatu keadaan


di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka

untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis.


faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini.

Faktor-

4.1.1 Kemiskinan Individu dan Keluarga

Melalui penelitian yang dilakukan ternyata kemiskinan individu


termasuk salah satu faktor yang menentukan terjadinya kegiatan
menggelandang dan mengemis. Kondisi ini tercermin dari informasi
yang diperoleh bahwa rata-rata penguasaan lahan Gepeng dan
keluarganya adalah relatif sempit, yaitu 38,23 are, dengan interval
antara 20-60 are. Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh
kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersediaan air,
kecuali saat musim hujan mengakibatkan mereka tidak dapat
mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Oleh karena itu, pada saat
musim kemarau Gepeng dan keluarganya mencari penghasilan ke kota
(Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) hanya untu memenuhi
kebutuhan yang paling mendasar, yaitu kebutuhan pangan.

Dengan demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan


pertanian yang dikuasainya mendorong mereka untuk meninggalkan
desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan dengan cara-cara
yang mudah dan tanpa memerlukan ketrampilan, yaitu menjadi
Gepeng.

4.1.2 Umur
Ternyata faktor umur memberikan pengaruh yang cukup
signifikan, dimana sebagian terbesar (sekitar 74,32 %) dari
gelandangan dan pengemis yang ditemui adalah berusia yang masih
sangat muda, yaitu kurang dari 13 tahun. Berdasarkan pada
wawancara dengan mereka diketahui bahwa faktor umur yang masih
muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan
menggelandang dan mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu
yang terlalu kuat. Bahkan mereka (anak-anak) terlihat riang berlarilari dan bercanda dengan temannya saat menggepeng. Kondisi ini
sangat berbeda atau berbanding terbalik dengan mereka yang telah
menginjak usia remaja. Hal ini, tercermin dari hasil penelitian bahwa
Gepeng yang berusia antara 15 40 tahun tidak ditemukan di empat
kota yang menjadi lokasi studi. Hal yang menarik juga terlihat dari

penelitian ini, yaitu tidak ditemukannya Gepeng yang berusia 15-40


tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Kondisi ini memberikan indikasi
bahwa laki-laki yang sudah dewasa sudah merasa tidak pantas lagi
menjadi Gepeng karena malu. Selain itu, diperoleh informasi juga
bahwa mereka yang berusia remaja telah beralih fungsi pekerjaan
menjadi buruh, kuli, pembantu rumah tangga, tukang, termasuk buruh
tani, khususnya pada musim-musim panen cengkeh di Kabupaten
Buleleng.
Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan juga bahwa
kaum perempuan berumur lebih dari 40 tahun sepertinya memberikan
peluang yang lebih besar untuk memperoleh belas kasihan dari
penduduk kota. Kondisi tersebut sangat wajar jika dikaji lebih lanjut
dimana mereka akan mendapat beberapa keuntungan, di antaranya
adalah sebagai berikut: (i) calon pemberi uang akan iba melihat
seorang ibu dengan anak kecil yang digendongnya; (ii) uang yang
diperoleh akan lebih banyak, selain terkadang mereka diberikan juga
makanan, khususnya untuk anak yang digendongnya.
4.1.3 Pendidikan Formal
Berkenaan dengan faktor umur tersebut di atas, ternyata faktor
pendidikan juga turut mempengaruhi responden untuk melakukan
kegiatan menggelandang dan mengemis. Pada tingkat umur yang
masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang mengikuti
kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun, mereka memilih
menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki
kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari
kemiskinan
orang
tua.
Tidak
berpendidikannya
responden
menyebabkan
mereka
tidak
memperoleh
pengetahuan
atau
pemahaman tentang budi pekerti, agama dan ilmu pengetahuan
lainnya yang mampu menggugah hati mereka untuk tidak melakukan
kegiatan sebagai Gepeng.
4.1. 4 Ijin Orang Tua
Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang
dan mengemis yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah
mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang
tuanya. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di
desa, alasan tersebut di atas juga dibenarkan mengingat kondisi sosial
ekonomi orang tua anak-anak yang menjadi Gepeng di dusun
tergolong sangat miskin. Sehingga pada musim kemarau, mereka
terpaksa membiarkan anaknya dan menyuruh anaknya untuk ikut
mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah
tangganya.

4.1.5 Rendahnya Ketrampilan


Hasil wawancara terhadap seluruh Gepeng yang beroperasi di
Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja tidak memiliki
ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kondisi ini sangat wajar
terjadi karena sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia
yang belia atau muda. Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan
akademik atau di dunia pendidikan. Sementara mereka yang tergolong
umur relatif lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda
tidak pernah memperoleh pendidikan ketrampilan di desa. Oleh karena
itu, kegiatan menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling
gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara
mudah. Tetapi menurut mereka, mengemis itu terkadang agak sulit
untuk memperoleh uang karena harus berkeliling dan mencoba serta
mencoba untuk meinta-minta, dimana tidak semua calon pemberi
sedekah
langsung
memberikannya,
dan
bahkan
tidak
memperdulikannya.
4.1.6 Sikap Mental
Kondisi ini terjadi karena di pikiran para Gepeng muncul
kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah
sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang
bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber
penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan sarana
produktif, serta terbatasnya ketrampilan menyebabkan mereka
menjadikan mengemis sebagai suatu pekerjaan. Atau dengan kata
lain, mereka mengatakan juga bahwa tiada jalan lain selain mengemis
untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain itu, sikap mental yang malas ini juga didorong oleh lemahnya
kontrol warga masyarakat lainnya atau adanya kesan permisif
terhadap kegiatan menggelandang dan mengemis yang dilakukan oleh
warga karena keadaan ekonomi mereka yang sangat terbatas.
Sementara di sisi lain, belum dimilikinya solusi yang tepat dalam
jangka pendek bagi mereka yang menjadi Gepeng. Keadaan yang
demikian ini juga turut memunculkan dan sedikit menjaga adanya
budaya mengemis yang terjadi.
4.2 Faktor Eksternal/Lingkungan
Pada penelitian ini, faktor lingkungan yang dimaksudkan adalah
beberapa faktor yang berada di sekeliling atau sekitar responden baik
yang di daerah asal maupun di daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut di
antaranya adalah: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii)
kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan

modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan


pananganan Gepeng di kota.
4.2.1 Kondisi Hidrologis

Mempersoalkan kondisi hidrologis di Dusun Munti Gunung, sepertinya


tidak dapat dilepaskan juga dari kondisi yang sama di desa-desa yang
berada di wilayah Kecamatan Kubu, dimana faktor air merupakan
faktor utama sebagai pembatas dalam aktivitas warga. Hanya
beberapa wilayah yang berada di dekat pesisir yang dapat memperoleh
air sepanjang tahun karena pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum
telah membangun sumur-sumur bor dan dilengkapi dengan
prasarananya, seperti mesin pompa dan instalasi pipa-pipa.

Secara alamiah Dusun Munti Gunung termasuk daerah yang sangat


gersang dan tandus sebagai akibat dari keterbatasan ketersediaan air.
Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan
yang rendah dan musim kemarau yang panjang. Pada musim ini,
mereka yang tergolong miskin sangat kesulitan untuk memperoleh air
yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum dan kebutuhan rumah
tangga lainnya. Kondisi inilah yang kemudian mendorong bagi warga
masyarakat yang miskin dengan terpaksa harus keluar dari dusunnya
untuk mencari penghasilan karena pada periode musim kemarau
tersebut mereka tidak dapat melakukan aktivitas ekonomis. Perlu
diketahui juga bahwa, sebagian besar mata pencaharian penduduk
adalah pertanian.

4.2.2 Kondisi Pertanian

Secara topografis, Dusun Munti Gunung memiliki kondisi yang kurang


mendukung jika dihubungkan dengan pengelolaan usahatani atau
pembangunan pertanian (termasuk ternak) di lahan kering.
Topografinya adalah berbukit atau bergunung ditambah dengan
ketiadaan teknologi budidaya pertanian menjadikan penduduk
termasuk Gepeng dan keluarganya tidak mampu mengelola lahannya.
Apalagi keadaan hidrologisnya sangat tidak mendukung untuk kegiatan
pertanian.

Penguasaan teknologi pertanian yang terbatas sangat memperparah


pengelolaan usahatani di desa. Mereka umumnya menanam tanaman
palawija (kacang-kacangan dan umbi-umbian) yang tidak memerlukan
banyak air irigasi. Pengunaan bibit, pemupupukan termasuk
penanganan hama dan penyakit dapat dikatakan sangat rendah
kualitasnya sehingga produktivitas yang dihasilkan juga menjadi
rendah. Kondisi yang demikian inilah selanjutnya mengakibatkan
mereka memperoleh penghasilan/pendapatan yang rendah, sementara
kebutuhan hidup keluarga Gepeng termasuk penduduk lainnya
semakin tinggi. Oleh karena itu, terbatasnya sumber dan besarnya
pendapatan mendorong mereka untuk keluar dari dusun guna mencari
penghasilan di kota.

4.2.3 Kondisi Prasarana Fisik

Keadaan topografis Dusun Munti Gunung yang berbukit dan secara


geografis termasuk terisolasi mengakibatkan pembangunan prasarana
fisik seperti jalan, pasar, sekolah, air bersih adalah sangat terbatas.
Prasarana transportasi sebagai salah satu prasarana yang pokok,
seperti jalan darat baik yang menghubungkan antar dusun maupun di
dalam dusun relatif belum bagus, yaitu sebagian besar merupakan
jalan yang tidak beraspal atau merupakan jalan geladag (yang hanya
diperkeras) atau jalan tanah. Seperti telah disebutkan di depan bahwa
sebesar 70 % dari panjang jalan sekitar 18,50 km jalan yang ada di
wilayah Dusun Munti Gunung merupakan jalan tanah. Rendahnya
kualitas jalan menyebabkan terjadinya inefisiensi di dalam kegiatan
transportasi sehingga mengakibatkan penghasilan yang diperoleh dari
kegiatan ekonomis menjadi relatif rendah. Penghasilan yang kecil ini
tampaknya juga mendorong mereka meninggalkan dusunnya untuk
mencari pekerjaan di luar desa, seperti menggelandang dan
mengemis.

Prasarana lainnya yang terbatas adalah prasarana air bersih, dimana


mereka hanya membangun bak-bak penampungan air yang disebut
dengan cubang baik yang dikelola secara kolektif selain secara
individual yang berfungsi untuk menampung air hujan. Sebagai
penduduk di bawah garis kemiskinan di desa, mereka tertarik

mendapatkan uang di kota. Kota sebagai tempat mengadu nasib


dianggap sebagai faktor penarik hijrahnya orang dari desa ke kota.

4.2.4 Terbatasnya Akses Informasi dan Modal Usaha

Warga Dusun Munti Gunung memiliki keterbatasan di dalam


mengakses informasi baik yang berkenaan dengan berbagai aspek
ekonomi produktif, sosial maupun aspek lainnya. Keterbatasan dalam
mengakses informasi ini juga diperparah oleh keterbatasan pemilikan
prasarana media, seperti televisi, koran dan lain sebagainya. Ternyata,
keterbatasan ini diakibatkan juga oleh belum masuknya jaringan listrik
secara meluas di Dusun Munti Gunung.

Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal usaha. Kesulitan
ini diakibatkan karena perolehan modal usaha memerlukan berberapa
syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh warga dusun, termausk
keluarga Gepeng. Syarat utama yang dibutuhkan adalah adanya
agunan yang berupa sertifikat tanah. Warga dusun dan keluarga
Gepeng tidak berani menyerahkan sertifikat tanahnya sebagai agunan
karena mereka tidak mau mengambil resko terburuk, yaitu tanahnya
disita jika usahanya tidak berhasil.

4.2.5 Kondisi Permisif di Kota Tujuan

Sikap permisif masyarakat di Kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan


Singaraja) terlihat dari adanya sikap yang memberi bila ada Gepeng
yang mendekatinya, baik yang ke rumah, di pinggir jalan, di warung
dan lain sebagainya. Rasa kasihan, kepedulian dan berbagi antar
sesama umat yang merupakan ajaran moralitas mengakibatkan warga
kota memberikan sedekahnya kepada Gepeng. Sementara di sisi lain,
pandangan tersebut dimanfaatkannya secara baik guna terus berlaku
dengan cara menunjukkan kondisi yang layak untuk mendapatkan rasa
welas asih. Selain itu, sikap permisif masih terlihat juga dari
dibiarkannya Gepeng melintasi wilayah-wilayah tertentu, seperti di
sekitar rumahnya atau di tempat umum. Hasil survai dan observasi
menunjukkan juga bahwa terdapat kesulitan bagi warga untuk

melarangnya karena mereka hanya melintas. Selain itu, diperoleh


informasi juga bahwa warga tidak memiliki hak atau kewajiban untuk
menegur apalagi menangkap Gepeng.

4.2.6 Kelemahan Penanganan Gepeng di Kota

Walaupun pemerintah di (Kota Denapasar, Kabupaten Gianyar, Tabanan


dan Buleleng) telah berupaya secara maksimal di dalam menangani
Gepeng di wilayahnya masing-masing, namun hasilnya belum
maksimal. Kondisi ini terlihat dari adanya Gepeng yang telah ditangkap
dan dikembalikan ke desa akan selalu balik kembali untuk melakukan
kegiatannya. Malahan selain ditangkap, Gepeng juga dibina, tetapi
ternyata setelah dipulangkan mereka balik kembali. Oleh karena itu,
terlihat bahwa penanganan Gepeng belum efektif. Selain itu, meskipun
pemerintah seperti di Kota Denpasar telah memasang spanduk yang
berisikan agar warga tidak memberikan sedekah kepada Gepeng,
namun tetap saja terjadi pemberian sedekah kepada Gepeng.

Upaya yang menimbulkan efek jera pada Gepeng belum terwujud


secara baik, sehingga para Gepeng akan kembali dna kembali lagi
setelah tertangkap dan dipulangkan.

V. PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan seperti yang
diuraikan di atas dapat disimpulkan bebrapa hal, di antaranya adalah
sebagai berikut

1.

Beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng dalah faktor internal, yaitu individu dan
keluarga Gepeng serta masyarakat , dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan
aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara
bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya;

2.

Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan dalah suatu keadaan di dalam diri
individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan
menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut dalah : (i) kemiskinan individu dan
keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan
penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha; (ii) umur; (iii) rendahnya
tingkat pendidikan formal; (iv) ijin orang tua; (v) rendahnya tingkat ketrampilan (life skill)
untuk kegiatan produktif; (vi) sikap mental; dan

3.

Faktor-faktor eksternal mencakup: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi
prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif
masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota.

5.2 Saran dan Rekomendasi

Penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di


Bali tidak dapat dilepaskan dari penanganan kemiskinan itu sendiri,
terutama jika dilihat dari sudut pandang daerah asal Gepeng. Memang,
kemiskinan bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya kegiatan
menggelandangan dan mengemis tetapi bisa juga menjadi akar
penyebab. Oleh karena itu, beberapa alternatif pemecahan masalah
yang berkenaan dengan penanganan Gepeng dapat ditinjau dari dua
aspek yaitu: (i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi di luar daerah asal.
Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga
mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari
penghasilan di kota dengan cara mengemis. Sedangkan di sisi lain,
prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan (di Kota
Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja). Gepeng yang beroperasi di
empat kota tersebut harus ditanggulangi atau ditangani sehingga
mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak
akan memperoleh penghasilan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Marpuji, dkk. (1990). Gelandangan di Kertasura. Surakarta:


Monografi 3 Lembaga Penelitian Universitas Muhamadiyah.

Alkotsar, Artidjo (1984). Advokasi Anak Jalanan. Jakarta: Rajawali.

Anonimus (1980). Peraturan Pemerintah No. 31/1980


Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Jakarta.

tentang

Breeman, Jan C (1980). The Informal Sector in Research, Theory and


Practice Comparative Asian Studies. Rotterdam: Program Publication
No. III.

Chambers, Robert, (1983). Rural Development: Putting the Last First.

Friedmann, John. (1979). Urban Poverty in Latin America, Some


Theoretical Considerations. Upsala: Development Dialogue, Vol. I

Hart, Keith (1973). Informal Income Opportunities and Urban


Employment in Ghana. Journal of Modern Africana Studies.

Humaidy, M.Ali Al (?). Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat


Desa Pragaan Daya Sumenep Madura. Pamekasan: STAIN.

Iqbali, Saptono. (2005). Gelandangan-Pengemis (GEPENG) di


Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Denpasar: Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian, Universitas Udayana.

Rajab, Budi, (1996). Persoalan Kemiskinan dalam orientasi


Kebijaksanaan Pembangunan, Bandung: Majalah Ilmiah PDP Unpad
Prakarsa

Suparlan, Parsudi (1984). Gelandangan: Sebuah Konsekuensi


Perkembangan Kota, dalam Gelandangan pandangan Ilmu Sosial.
Jakarta: LP3ES.

Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA

Fakultas Pertanian Univ. Dwijendra Denpasar


Ir.

Sosek Fak. Pertanian UNUD, 1987

M.Sc.Social Development, Dept. of


Sociology and Anthropology,
Ateneo de Manila Univ. 1994
MMA. Manajemen Agribisnis
Pascasarjana UNUD, 2006

Anda mungkin juga menyukai