Anda di halaman 1dari 26

CAPITAL STRUCTURE THEORY

Chapter 7

Disusun Oleh
Abdurrahman Afif
12062

52915
Fathimah Shafiyyah

1206215485

Felix Martua Simbolon

1206265861

Gerry Harlan

1206250651

Gregy Aditya Hartono

1206266050

Sang Bagus Tenno Tanaka S.

1206215301

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Indonesia
2015
7.1 Introduction
Struktur modal merupakan penggabungan relatif antara debt dan equity pada struktur
keuangan jangka panjang perusahaan. Dua pertanyaan mendasar yang ditanyakan dalam studi
mengenai struktur modal adalah (1) apakah struktur modal penting dapatkan nilai sekuritas
perusahaan meningkat atau menurun karena perubahan campuran debt dan ekuitas? (2) jika
struktur modal penting, faktor apa saja yang menentukan campuran optimal dari debt dan
ekuitas yang akan memaksimalkan nilai perusahaan dan meminimalkan biaya modal?

Jika struktur modal memang penting, dan jika bisa ditentukan faktor apa saja yang
mempengaruhi, akan terdapat benefit yang besar untuk masyarakat. Manajer perusahaan
dapat memastikan bahwa perusahaan dimodali dengan biaya terendah, investor dapat
mempercayakan investasinya pada pasar keuangan dengan risiko minimum, dan pembuat
kebijakan public dapat membuat kebijakan dan ketentuan pajak yang memaksimalkan output
agregat pada risiko minimum pada stabilitas nasional.
7.2 Pola Struktur Modal yang Diamati
1. Pola struktur modal yang diamati menunjukkan pola nasional yang berbeda-beda.
Pada negara industry seperti Amerika, Inggris, Jerman, Australia, dan Kanda,
memiliki average book value debt ratio lebih rendah daripada negara Jepang, Prancis,
Itali, dan negara Eropa lainnya. Alasan perbedaan tersebut tidak jelas, namun faktor
historis, institusional, dan bahkan kulturalmempengaruhi, dimana sebuah negara
bergantung pada pasar modal versus bank untuk melakukan pendanaan perusahaan.
2. Struktur modal memiliki pola industri yang sama diseluruh dunia.
Pada negara maju, beberapa industry dikarakteristikkan dengan debt-to-equity ratio
yang tinggi (utilities, transportasi, manufaktur yang mature dan capital intensive),
sementara industri lainnya memiliki long-term debt financing yang rendah. Pola ini
sangat kuat, dimana karakteristik campuran asset optimal industry, ditambah
variabilitas dari lingkungan operasi, secara signifikan mempengaruhi struktur modal
sesungguhnya yang dipilih oleh perusahaan pada suatu industry, dimanapun di dunia.
3. Didalam industri, leverage berhubungan inverse dengan profitability.
Teori keuangan menyatakan bahwa perusahaan dengan akses pada pasar modal yang
berfungsi dengan baik dapat menentukan debt ratio pada tingkat manapun yang
mereka inginkan, atau pada tingkat yang terbaik untuk industri. Selain itu, struktur
modal berbasis pajak mengatakan bahwa perusahaan yang profitable harus meminjam
lebih karena mereka memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk melindungi profit
dari pajak.
4. Pajak secara jelas mempengaruhi struktur modal, namun tidak diputuskan sendiri.
Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pada tingkat pajak penghasilan
perusahaan berhubungan dengan peningkatan penggunaan debt perusahaan.
5. Rasio leverage berpengaruh terbalik dengan perceived cost dari financial distress
Baik secara industry maupun negara, semakin besar perceived cost dari kebangkrutan
dan financial distress, semakin kecil debt yang digunakan. Di negara seperti Jepang,
dimana bank memainkan peran dominan pada hukum keuangan perusahaan dan
kebangkrutan lebih mengutamakan kreditor, perusahaan sehat secara rutin beroperasi
dengan rasio leverage yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan

di Amerika. Lebih jauh lagi, beberapa industry terlihat lebih bisa mentoleransi
leverage ratio yang jauh lebih tinggi dari lainnya karena bisa melewati financial
stress, bahkan kebangkrutan, denga dead weight loss yang lebih rendah pada nilai
ekonomi.
6. Shareholder secara umum mempertimbangkan event leverage-increasing sebagai
berita baik, sementara leverage-decreasing sebagai berita buruk.
Hampir seluruh studi menunjukkan bahwa harga saham meningkat ketika perusahaan
mengumumkan leverage-increasing events, seperti debt-for-equity exchange offers,
debt-financing share repurchase programs, dan lainnya. Alasan sesungguhnya dari
penurunan harga saham tidak jelas.
7. Perubahan pada biaya transaksi dari penerbitan saham baru memiliki pengaruh yang
kecil terhadap struktur modal.
Biaya penerbitan debt dan equity securities baru menurun di seluruh dunia, tapi
efeknya pada leverage ratio perusahaan hanya sedikit. Biaya transaksi akan
mempengaruhi ukuran atau frekuensi penerbitan sekuritas, namun bukan pilihan
struktur modal.
8. Struktur kepemimpinan secara jelas mempengaruhi struktur modal, meskipun
hubungan sesungguhnya ambigu.
Secara umum, semakin terkonsentrasi struktur kepemilikan perusahaan, semakin
besar debt yang diinginkan dan dapat ditoleransi. Karena itu, perusahaan keluarga
cenderung lebih levereddaripada perusahaan lainnya dengan more atomized share
ownership, dan manajer individual yang menilai personal benefit dari mengontrol
perusahaan cenderung untuk memilih new debt to new equity issues untuk
pembiayaan, karena ini meminimisasi dilusi dari ownership mereka.
9. Perusahaan yang dipaksa untuk berganti dari struktur modal yang diinginkan,
akhirnya akan kembali pada struktur tersebut.
Perusahaan senang untuk beroperasi pada target leverage zone, dan akan menerbitkan
equity baru jika debt ratio menjadi terlalu tinggi dan akan menerbitkan debt jika
terlalu rendah. Akan tetapi, predictor terbaik dari penerbitan new equity adalah tren
terbaru pada harga saham. Perusahaan cenderung menerbitkan ekuitas mengikuti
peningkatan tidak biasa pada harga saham, dan menolak untuk menerbitkan ekuitas
baru setelah harga saham telah turun.
7.2.1

Theoretical Explanation for Observed Capital Structure

Terdapat 3 model teori penting struktur modal yang telah dikembangkan, 3 teori itu adalah:

Agency Cost/ Tax Shield Trade-off Theory


Teori ini berasumsi bahwa struktur modal adalah hasil dari trade off sebuah perusahaan dari
kedua hal yaitu benefit pajak dari peningkatan penggunaan hutang terhadap peningkatan
agency cost hasil dari debt ratio pada titik tertentu. Model ini adalah perkembangan dari teori
awal M&M capital market irrelevance hypothesis dan menjadi pilihan kebanyakan dari
akademis dan praktisi keuangan.
The Pecking Order Hypothesis
The pecking order theory dikembangkan oleh Stewart Myers (1984) yang memiliki 2 asumsi
yaitu (1) manajer memiliki informasi yang lebih baik terhadap kesempatan investasi yang
dimiliki dibandingkan investor diluar perusahaan (Asymetric Information) (2) Manajer
berprilaku sesuai dengan interest dari shareholder yang ada. Berdasarkan asumsi tersebut,
Myers menyatakan bahwa perusahaan bisa saja tidak mengambil sebuah proyek yang
memiliki NPV positif, saat mengambil proyek tersebut berarti mereka harus menerbitkan
ekuitas yang baru dengan harga yang tidak menggambarkan nilai perusahaan dengan
kesempatan investasi.
Model ini dapat menjelaskan: (1) Mengapa ratio hutang dan profitability berhubungan
terbalik, (2) mengapa pasar bereaksi negatiif saat terdapat penerbitan ekuitas dan mengapa
manajer terlihat mengambil keputusan tersebut karena tidak memiliki pilihan lain atau
mereka merasa bahwa harga dari saham over-valued (3) Mengapa manajer pada perusahaan
besar sekalipun, memilih untuk memegang kas dan memiliki lebih sedikit hutang. Trade off
theory mampu menjelaskan hutang perusahaan dengan baik tetapi pecking order theory
mampu menjelaskan lebih mendalam perubahan struktur modal khususnya pada kasus yang
menerbitkan sekuritas.

The Signaling Model of Financial Structure


Hipotesis ini juga berdasarkan asumsi dimana terdapat perbedaan informasi antara manajer
dan investor dari luar, tetapi pada kasus ini manajer menggunakan costly signal untuk
membedakan dengan competitor yang lebih lemah. Salah satu signal yang costly dan kredibel
adalah mengadopsi highly levered capital structure. Hanya perusahaan yang kuat yang dapat
mengambil risiko dari financial distress karena memiliki struktur modal seperti itu. Dan

investor akan menetapkan pemisahan antara valuasi yang lebih tinggi pada perusahaan
dengan tingkat hutang yang tinggi dibandingkan menetapkan pada valuasi perusahaan lain.
Beberapa literature saling berhubungan dan menggambarkan pola dari struktur modal sebagai
game theory. Dimana hal ini bisa terjadi pada pasar oligopoly dimana perusahaan
menggunakan struktur modal untuk bekerjasama dan berkomunikasi untuk memaksimalkan
profit industry secara agregat.
7.3

The Modigliani and Miller Capital Structure Irrelevance Proposition

Modigliani dan Miller ingin menjelaskan definisi operasional dari cost of capital dan teori
dari investasi yang secara explisit menyadari adanya ketidakpastian, dan berdasarkan prinsip
dari maksimalisasi nilai pasar
7.3.1

Assumptions of the M&M (1958) Capital Structure Model

Asumsi yang digunakan dalam model M&M adalah

Seluruh aset dimiliki oleh perusahaan

Tidak terdapat pajak baik perusahaan atau personal, tidak ada sekuritas yang bisa dibeli
lebih murah, dan tidak ada bankruptcy cost

Perusahaan hanya bisa menerbitkan 2 jenis sekuritas, risk equity dan risk free debt

Baik perusahaan atau individu dapat meminjam atau meminjamkan pada tingkat bunga
risk free

Investor memiliki ekspektasi yang sama terhadap pendapatan perusahaan di masa depan.

Tidak ada pertembuhan, sehingga seluruh cash flow adalah perpetuity


Seluruh perusahaan bisa diklasifikasikan ke dalam satu atau beberapa equivalent return
classes dimana return on shares dari perusahaan proporsional dan saling berhubungan.
Kunci dari model ini adalah asumsi no 7, yang menyatakan bahwa perusahaan di dalam kelas
risiko memiliki expected return yang sama dan distribusi kemungkinan dari expected return
yang sama, dapat menjadi pengganti yang sempurna antara satu dan lainnya. Perusahaan di
dalam kelas risiko yang berbeda antara satu sama lain hanya pada skala. Mereka memiliki
expected profit yang sama dari modal yang diinvestasikan dan investor dapat berharap bahwa
per share return hampir sama. M&M menyatakan bahwa kelas ini dapat dibandingkan dengan
klasifikasi industri dan hal ini merupakan analogi yang sangat berguna dan intuitif.

7.3.2

M&M Proposition I

Market value dari seluruh perusahaan tidak bergantung dari struktur modal dan diberikan
dengan mengkapitaliasasi expected return pada tingkat p yang sesuai. M&M membuktikan
bahwa proporsi mereka menggunakan argumen arbitrase. M&M mengambarkan bahwa
kesempatan adanya arbitrase saat market value dari debt dan equity yang dikombinasikan dari
perusahaan levered berbeda dengan perusahaan yang memiliki komposisi modal keseluruhan
dari ekuitas.
Computing Return to Levered and Unlevered Shareholders.
Diasumsikan terdapat dua perusahan, U dan L yang memiliki kelas risiko yang sama dan
tingkat expected return yang sama yaitu $100.000/ tahun. Diasumsikan bahwa required return
adalah 10%. Sehingga secara implisit kedua perusahaan memiliki valuasi pasar pada nilai
$1.000.000. Perusahaan U tidak memiliki hutang, perusahaan memiliki 20.000 shares yang
ada di pasar dnegan nilai masing-masing $50. Sementara Perusahaan L menerbitkan hutang
sejumlah $500.000 dengan interest rate 6% per tahun. Dan menggunakan dana tersebut untuk
membeli kembali saham yang ada di dalam pasar. Sehingga saat ini memiliki 10.000 lembar
saham yang ada di pasar dengan nilai masing-masing $50/ saham.
Berapakah return yang bisa diharapkan pemilik saham L pada saham mereka? Untuk
menghitung return, perusahaan harus menghitung obligasi yang dimiliki berupa interest rate
dari hutang sebelum Income bisa diklaim oleh pemegang saham sebesar $30.000. Tabel 7.3
menjelaskan dimana terdapat perbedaaan required return dari ekuitas dari perusahaan
unlevered (U) dan perusahaan levered (L). Dmana L memiliki required return on equity lebih
besar sebesar 14% dibandingkan U sebesar 10%.
Setelah itu tabel 7.4 menggambarkan bagaimana seseorang yang memiliki kemampuan
arbitrase dapat mengambil keuntungan dari adanya perbedaan valuasi. Dengan asumsi, bahwa
investor akan membayar dengan harga premium pada perusahaan levered. Sehingga
diasumsikan investor akan menerima required return yang terlalu rendah, asumsikan
perusahaan L memberikan 12.5% expected return. Hasilnya terdapat disequlibrium valuasi
relatif antara kedua perusahaan.
7.3.3

Proving Proposition I using Homemade Leverage

Bagaimana investor individual dapat melakukan arbitrase terhadap valuasi tersebut? Hal yang
harus diperhatikan adalah kedua perusahaan berada pada industry yang sama dan memiliki
risiko bisnis dan operasi yang sama. Hal yang harus diperhatikan juga adalah investor dapat
meminjam dengan tingkat bunga risk free. Hal ini dapat membuat investor membuat
corporate leverage ratio yang diinginkan didalam portofolio mereka sendiri. Sehingga jika
sebuah investor memiliki 1% dari total saham perusahaan L yang memiliki expected return
12.5% dapat mengambil profit dengan arbitrase dengan langkah traksaksi seperti ini:

Menjual seluruh saham L yang dimiliki ($5.600)


Meminjam sejumlah 1% dari nilai total hutang yang dimiliki perusahaan L dan
menjanjikan sejumlah 6% interest atau $300.
Use $10.000 dari langkah 1 dan 2 untuk membeli 1% dari keseluruhan saham perusahaan
U dengan harga $50 per saham.
Pada awalnya investor ini memiliki kepemilikan 1% pada perusahaan dengan struktur modal
50% ekuitas dan 50% utang (posisi levered). Menggunakan homemade leverage (meminjam
dari akun personal), investor memiliki portfolio yang terdiri $10.000 dari saham perusahaan
U yang menghasilkan net return sebesar $700. Tetapi investor ini masih memiliki dana yang
belum diinvestasikan sebesar $600 yang dapat diinvestasikan pada perusahan L sehingga
mendapat tambahan profit sebesar $75, yang melebihi return dari memiliki 1% saham L,
tanpa risiko tambahan. Kesempatan melakukan arbitrase akan memaksa harga kembali pada
ekulibrium yang seharusnya. Jika kasusnya menjadi berbeda saat expected returm dari L di
tentukan terlalu tinggi maka seorang investor arbitrage akan melakukan hal yang berlawanan
dari yang dijelaskan sebelumnya. Poin penting dari contoh diatas adalah aktivitas untuk
maksimalisasi profit dari investor individu akan memaksa M&M proposition I untuk bernilai
tetap dan yield dari struktur modal akan tidak relevan kapanpun saat tidak ada pajak, dan
asumsi pasar modal yang sempurna terpenuhi.
7.3.4 Proposition II
Proposisi kedua dari Modigliani dan Miller mengukur tingkat expected return dari levered
equity yang harus dipenuhi agar market equilibrium tidak berubah. Proposisi ini menyatakan
bahwa expected return kj dari levered firms equity merupakan fungsi linear dari debt-toequity ratio perusahaan:

k j=c +

( c r ) D j
Sj

Dimana expected yield dari selembar saham sama dengan appropriate capitalization rate
c

untuk pure equity stream in the class, ditambah dengan premium terkait risiko

keuangan sama dengan debt-to-equity ratio dikali dengan spread antara

dan r. Proposisi

ini menyatakan tingkat required return dari levered equity yang harus dipertahankan agar
firm market value tidak berubah, dan agar cost of capital tetap konstan.
Grafik dibawah merepresentasikan expected net operating income dari perusahaan seiring
waktu berubahnya mean value dan probabilitas distribusi outcome. Area dibawah kurva
berbentuk bell adalah nilai keuangan yang dilihat oleh investor ketika ia mengevaluasi
investasinya di dalam perusahaan. Aset perusahaan akan menghasilkan profit dan investor
akan memberikan present value untuk income stream ini dengan mendiskontokan arus kas
menjadi periode sekarang dengan discount rate yang sesuai dengan risiko bisnis.

7.3.5

Capital Structure Irrelevance in Real Financial Markets


Berdasarkan hal tersebut, struktur modal irrelevan pada keadaan dunia dengan pasar
sempurna, namun pada kenyataannya terdapat pajak yang harus dibayar dan transaksi
keuangan memiliki ketidak pastian dan biaya. M&M mencoba mendemonstrasikan bahwa

asumsi yang digunakan tidak jauh berbeda dengan realita untuk perusahaan dan sistem
perpajakan tertentu, asumsikan bahwa kita adalah investor privat di Amerika pada tahun 2006
dan berusaha untuk memvaluasi dua perusahaan hotel dengan ukuran yang sama persis,
dimana satu perusahaan memiliki 90% utang dan 10% modal, dan perusahaan lainnya tidak
memiliki utang. Kedua perusahaan besar dan secara rutin dianalisis oleh security analysts,
dan diekspektasikan untuk memiliki pertumbuhan penjualan yang tidak lebih dari tingkat
inflasi (mendekati 0 persen), dan ditambah dengan tiga asumsi legislasi yang dibuat pada
awal abad 21:

Third Millennium Tax Reform Act (TRA) tahun 2001, dimana kongres
mengganti sistem perpajakan dengan sistem yang hanya memiliki dua jenis
pajak, yaitu 20% pajak pertambahan nilai (sales tax), dan pajak pendapatan

proporsional terhadap pendapatan individu.


The Bankruptcy Reform Act (BRA) tahun 2003 yang merivisi bankruptcy
code Amerika Serikat yang mempercepat proses resolusi kebangkrutan dan

dapat mengurangi deadweight cost dari proses kebangkrutan.


The Banking Deregulation Act (BDA) tahun 2005 yang mengizinkan fullscale investment banking dan mengurangi kompetisi dalam industri jasa
keuangan, sehingga tingkat bunga yang dibayar ke depositor mendekati
tingkat bunga yang ditagih ke deposan.

Melalui asumsi ini, struktur modal menjadi irrelevan, dan berlaku sebaliknya, apabila ketiga
faktor ini tidak terpenuhi maka struktur modal menjadi relevan.
7.3.6

What Can Make Capital Structure Relevant in the M&M Model?

Untuk dapat menentukan asumsi yang diperlukan untuk membuat struktur modal menjadi
relevan di dunia M&M diperlukan asumsi agar leverage menjadi tidak relevan dalam model,
yaitu
1. Perusahaan perhotelan tersebut memiliki zero real growth rates sehingga dapat
mengasumsikan bahwa perusahaan tidak memiliki biaya riset dan pengembangan
yang tinggi dan tidak berinvestasi pada aset tak berwujud.
2. Diasumsikan bahwa perusahaan berukuran besar dan dianalisis oleh security analyst
sehingga dapat mengasumsikan tidak terjadi asymmetric information antara manager
dan shareholder.
3. Berdasarkan TRA tahun 2001, pajak menjadi irrelevan dalam pendanaan perusahaan
dan keputusan investasi individu.

4. Berdasarkan BRA tahun 2003, tangible cost dan intangible cost dari kebangkrutan
perusahaan dapat dianulir.
5. Berdasarkan BDA tahun 2005, keuntungan dari tindakan perusahaan yang dapat
meminjam dalam bunga yang lebih rendah dari individual (differential borrowing
rates) dihapuskan.
Berdasarkan proposisi struktur modal Modigliani dan Miller pada dunia dengan pasar modal
yang sempurna tersebut, dan melihat bagaimana mereka tetap dapat bertahan pada pasar yang
tidak sempurna, diajukan tiga teori untuk menjelaskan struktur modal yang telah diobservasi,
ketiga model tersebut menggunakan M&M sebagai landasannya.
7.4

The Agency Cost/Tax Shield Trade-off Model of Corporate Leverage

Proposisi M&M menyatakan bahwa leverage seharusnya irrelevan, namun pada


kenyataannya dunia bisnis meyakini bahwa struktur modal perusahaan bukan merupakan
detail yang bersifat random maupun minor. Sehingga perlu diteliti apakah dampak dari
memasukkan unsur-unsur berikut ini ke dalam model awal
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
7.4.1

Corporate income taxes


Personal taxes on investment income
Deadweight costs of bankruptcy and financial distress
Agency problems (and costs) between managers, stockholders, and bondholders
Contracting cost associated with writing and enforcing financial agreements
Asset characteristics, earnings volatility, and a firms investment opportunity set
Ownership structure and corporate control
Capital Structure with Corporate Income Taxes

Asumsikan terdapat dua perusahaan, U dan L dengan market value $1,000,000. Perusahaan U
mendanai asetnya sepenuhnya dengan menggunakan modal, sedangkan perusahaan L
menggunakan 50% modal dan 50% utang, dan menghasilkan debt-to-total capital ratio 50%.
Setiap perusahaan menghasilkan $100,000 net operating income (NOI) setiap tahun, dan
semuanya diberikan kepada pemegang saham perusahaan U, sedangkan perusahaan L harus
membayar bunga $30,000 dari utangnya ($500,000 dengan tingkat bunga 6%), dan
menyisakan $70,000 untuk pemegang saham perusahaan L. Dengan menggunakan pajak
perusahaan sebesar 35% maka

Nilai perusahaan U dengan tingkat risiko 10% untuk perusahaan sejenis adalah
V U=

[ NOI ( 1 c ) ] = = $ 65,000 =$ 650,000

0.10

Maka, 35% pajak perusahaan mengakibatkan penurunan market value perusahaan sebesar
$350,000 pada perusahaan yang sepenuhnya menggunakan modal, dan menggambarkan pure
wealth transfer dari pemegang saham perusahaan U terhadap pemerintah.
Namun pada perusahaan L, apabila utang diasumsikan permanen (akan selalu diperpanjang
saat maturitas), pengurangan akibat bunga akan menggambarkan perpetual tax shield sebesar
c rD=0.35 $ 30,000=$ 10,500

per tahun. Untuk mendapatkan present value maka

arus keuntungan ini dikapitalisasi dengan tingkat r, tingkat bunga yang dikenakan pada utang
tanpa risiko perusahaan,
PV Interest Tax Shield=

( c rD )
r

= c D=0.35 ( $ 500,000 ) =$ 175,000

Dengan kata lain, present value dari interest tax shield dari perpetual debt sama dengan
tingkat pajak dikali dengan face value dari outstanding debt, sehingga nilai dari perusahaan
levered L, VL sama dengan nilai unlevered firm ditambah present value dari interest tax
shield yaitu:
V L =V U + PV Tax Shield=V U + cD=$ 650,000+ $ 175,000=$ 825,000
Sehingga seolah pemerintah memberikan subsidi

bagi pemegang saham perusahaan L

sebesar $175,00 atas pemilihan pendanaan dengan utang dibandingkan dengan modal, namun

hal ini bukanlah tingkat keseimbangan karena optimal leverage ratio semua perusahaan
tentunya akan menjadi 100%
7.4.2 Capital Structure with Corporate and Personal Income Taxes
Miller (1977) mencoba menjelaskan bahwa corporate leverage di Amerika Serikat berada di
rentang nilai antara 30% dan 40% dari total modal selama beberapa dekade dengan
pengecualian ketika memasuki Era Depresi. Kondisi ini terlepas dari fakta bahwa corporate
tax rates senantiasa berfluktuasi antara 0% (sebelum tahun 1913) dan di atas 50% (selama
dekade 1950-an) sepanjang periode yang sama. Beliau juga mencoba menjelaskan bahwa
personal tax rates dari investment income turut berfluktasi dengan tren yang serupa dengan
corporate tax rates.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Miller (1977) kemudian merumuskan formulasi yang
hendak membuktikan bahwa corporate leverage --yang di dalamnya meliputi corporate
income taxes dan personal income taxes-- mampu menjelaskan capital structure yakni
sebagai berikut ini:

Dari model gain-to-leverage di atas, dapat ditarik beberapa poin penting. Bila diasumsikan
bahwa dunia tidak mengenal pajak sama sekali, maka versi awal dari M&M irrelevance
proposition yang berlaku dalam menjelaskan capital structure. Bila diasumsikan bahwa dunia
hanya mengenal corporate income taxes, maka 100% optimal debt yang berlaku dalam
menjelaskan capital structure. Namun apabila diasumsikan bahwa dunia mengenal corporate
income taxes dan corporate personal taxes, maka corporate leverage dapat diberlakukan
dalam menjelaskan capital structure. Meskipun begitu apabila personal tax rates on interest
income bernilai sangat tinggi sedangkan personal tax rates on equity income bernilai sangat

rendah, maka corporate leverage tidak lagi memberikan gain seperti hal normalnya. Dengan
demikian, capital structure kembali menjadi irrelevant.

Bond Market Equilibrium in the Miller (1977) Model


Kontibusi terbesar dari model Miller (1977) yaitu memperkenalkan bagaimana corporate
income taxes dan personal income taxes memengaruhi tingkat ekuilibrium interest rate di
perekonomian pasar. Ketika dunia belum mengenal pajak, perusahaan di pasar tidak melihat
perbedaan yang berarti antara debt dan equity. Begitu corporate income taxes diperkenalkan,
perusahaan dengan seketika memperoleh insentif untuk justru menerbitkan debt demi
memenuhi capital structure-nya. Keputusan ini akan diambil secara terus-menerus hingga
tingkat ekuilibrium interest rate meningkat dan berhenti di titik ketika insentif tersebut tidak
lagi memberikan keuntungan bagi perusahaan dan capital structure menjadi irrelevant.
Poin penting yang perlu diperhatikan di sini adalah meskipun corporate income taxes dan
personal income taxes on equity income dapat meningkatkan tingkat ekuilibrium interest
rate, implikasi yang sama belum tentu berlaku untuk personal income taxes on interest
income. Hal ini disebabkan oleh 2 asumsi yang sejak awal dipegang oleh Miller (1977).
Asumsi pertama adalah bahwa terdapat sejumlah investor yang merasa tidak perlu membayar
personal income taxes on interest income. Asumsi kedua adalah bahwa investor memiliki
pilihan untuk justru berinvestasi di risk-and-personal-tax-free municipal bonds (obligasi
yang diterbitkan oleh pemerintah). Seluruh penjelasan di atas dapat diilustrasikan melalui
grafik di bawah ini:

7.4.3 Costs of Bankruptcy and Financial Distress


Para cendekiawan dalam bidang keuangan sering mengemukakan bahwa bankruptcy cost dan
financial distress cost yang sangat besar dapat dengan signifikan mengurangi insentif suatu
perusahaan untuk melakukan debt financing --bahkan ketika diasumsikan bahwa pasar modal
berjalan sempurna. Selain itu, praktik dalam realitanya telah membuktikan bahwa perusahaan
yang menanggung hutang yang menumpuk dapat dijatuhkan sangsi yang sangat merugikan
apabila perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi setiap kewajiban hutangnya tersebut.
Praktik dalam realitanya juga membuktikan bahwa bondholders dapat kehilangan
investasinya dalam perusahaan yang kini bangkrut meskipun bondholders tersebut telah
memperoleh perlindungan investasi sejak awal.
What Makes Bankruptcy Costs Matter?
Kebangkrutan (bankruptcy) dapat didefinisikan sebagai proses hukum yang melibatkan
reorganisasi atas klaim finansial dan pemindahan kepemilikan perusahaan. Bahkan ketika
perusahaan yang dimaksud telah dilikuidasi, aset-aset yang bernilai akan tetap diberdayakan
--namun oleh pihak selain perusahaan tersebut. Menurut regulasi Amerika Serikat,
perusahaan dapat dikatakan bangkrut apabila status tersebut diajukan oleh perusahaan itu
secara sukarela (a voluntary filing) atau diajukan oleh kreditur dan disetujui oleh pengadilan
perdata negara (an involuntary filing). Kebangkrutan merupakan hasil dari financial distress

sedangkan penurunan nilai perusahaan umumnya menjadi penyebab kebangkrutan


perusahaan itu sendiri. Selain itu, kebangkrutan dalam konteks ini mengacu pada opsi
perusahaan untuk default on companys debt. Dengan demikian, kebangkrutan tidak akan
terlalu merugikan shareholders yang sejak awal memiliki limited liability dan (diasumsikan)
memiliki portofolio investasi yang terdiversifikasi.
Bankruptcy costs dan financial distress cost dapat didefinisikan sebagai biaya yang
dikeluarkan sepanjang perusahaan berada di dalam status kebangkrutan dan biaya yang
dikeluarkan untuk menghadapi financial distress. Keduanya akan menurunkan insentif
perusahaan untuk melakukan debt financing (sehingga dengan demikian, memengaruhi
capital structure perusahaan) apabila:
1. Upaya perusahaan dalam menghadapi financial distress mengurangi permintaan
produk perusahaan atau meningkatkan biaya produksinya,
2. Financial distress mendorong manajer perusahaan untuk melakukan tindakan yang
dapat menurunkan nilai perusahaan, atau
3. Status kebangkrutan menciptakan deadweight cost yang tidak dialami oleh
perusahaan yang mengalami financial distress serupa namun tidak mengajukan status
kebangkrutan.
Bankruptcy costs dan financial distress cost seyogyanya lebih diperhatikan oleh perusahaan
yang bergerak dalam bidang durable goods and services (yakni tipe perusahaan yang
menawarkan produk yang dibutuhkan oleh konsumen secara kontinyu dan tidak one-timeonly). Tipe perusahaan semacam ini umumnya berperan sebagai supplier untuk perusahaan
barang jadi. Untuk tipe perusahaan semacam ini, capital structure menjadi semakin berisiko
apabila didominasi oleh debt financing tanpa disertai oleh mekanisme jaminan yang mampu
memitigasi risiko kebangkrutan tersebut. Hal ini dikarenakan operasi perusahaan semacam
ini yang apabila mengalami kebangkrutan dapat menciptakan kerugian yang meluas, baik
bagi konsumen, investor, maupun perusahaan lainnya yang turut memanfaatkan jasa
perusahaan tersebut.

Asset Characteristics and Bankruptcy Cost

Karakteristik aset dari perusahaan juga mempengaruhi keinginan perusahaan untuk


menyelesaikan permasalahan financial distress dengan menggunakan pendanaan utang yang

lebih banyak. Perusahaan yang kebanyakan asetnya merupakan aset berwujud, dan memiliki
pasar yang sudah mapan, harusnya tidak perlu begitu khawatir dengan kesulitan keuangan
ketimbang perusahaan yang asetnya kebanyakan adalah aset tidak berwujud. Masalah
kesulitan keuangan dapat mengguncang perusahaan yang sangat bergantung pada litbang dan
jasa, diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kebanyakan pengeluaran untuk memproduksi barang
dan jasa adalah sunk cost, yang mana hanya dapat dipulihkan dalam jangka waktu yang lama,
dengan jumlah penjualan yang juga harus memuaskan. Kedua, produk barang dan jasa yang
canggih biasanya membutuhkan dana pengembangan dan riset, untuk memastikan bahwa
pasar menerima produk tersebut, dan jika perusahaan bangkrut, maka tidak akan mampu
untuk mendanai pengeluaran tersebut. Financial distress akan membuat perusahaan sulit
untuk menarik rekan bisnis lainnya untuk melakukan joint venture ataupun melakukan
pengembangan proyek tertentu, dengan berbagi risiko.

Asset Substitution Problem

Masalah yang sangat pelik berkaitan dengan financial distress adalah kepercayaan terhadap
manajer yang sebenarnya bisa mengambil keputusan yang salah, tapi rasional. Manajer
biasanya bermain dengan dengan berbagai macam pilihan dan bermain denganmenggunakan
dana yang seharusnya dialokasikan untuk pemegang obligasi. Nantinya perusahaan akan
berhadapan dengan financial distress dan manajer menyadari bahwa perusahaan tidak akan
mampu untuk membayar utangnya kepada pemegang obligasi ketika jatuh tempo.
Diasumsikan bahwa perusahaan masih memiliki cash on hand, yang bisa di simpan atau
diinvestasikan pada salah satu dari dua proyek. Proyek pertama merupakan proyek dengan
risiko rendah, kemungkinan NPV nya positif yang dapat meningkatkan nilai perusahaan,
namun belum tentu bisa membayarkan return yang lebih tinggi kepada pemegang obligasi
ketika sudah jatuh tempo. Sementara itu, proyek dua adalah proyek yang gamble. Sangat
berisiko, dan NPV nya negatif. Tapi jika ini berhasil, maka returnya akan lebih besar untuk
membayar pemegang obligasi. Manajer akan menetukan proyek mana yang akan
memberikan insentif yang lebih besar untuknya. Proyek pertama akan cenderung dipilih oleh
manajer, atau tetap menahan dana tersebut. Namun, pilihan ini belum tentu direstui oleh
pemegang obligasi. Sementara itu, pemegang saham tentu saja memilih proyek kedua, karena
yang digunakan dalam permainan ini adalah dana dari pemegang obligasi. Jika berhasil, maka
proyek ini akan memberikan yield yang cukup bagi pemegang saham untuk membayarkan
utangnya kepada kreditur dan retain ownership dari perusahaan. Namun, apabila proyek
kedua gagal, maka pemegang saham dapat memberikan perusahaan yang dinyatakan default

ini kepada pemegang obligasi pada waktu jatuh tempo. Tidak ada yang kalah dalam
permainan ini, karena pemegang saham memiliki segalanya untuk mendapatkan keuntungan
sebagai dampak dari manajer sebagai agent mereka yang memastikan seluruh kebijakan
perusahaan sesuai dengan yang diinginkan oleh pemegang saham.

Underinvestment Problem

Permainan yang timbul karena financial distress muncul pada kondisi ketika manajer
menyadari bahwa perusahaan akan menghadapi potensi default, namun mereka tetap dapat
menangani masalah tersebut sampai hal itu benar-benar terjadi. Diasumsikan perusahaan
memiliki akses untuk berinvestasi pada proyek yang sangat menguntungkan, namun tidak
tahan lama, yang menjanjikan return yang sangat besar, dan lebih dari cukup untuk
membayar utang kepada pemegang obligasi ketika sudah jatuh tempo. Akan tetapi, untuk
mendanai proyek ini, pemegang saham juga harus ikut serta berkontribusi. Dengan menerima
proyek ini, maka akan meningkatkan nilai perusahaan secara keseluruhan, dan memberikan
keuntungan bagi pemilik obligasi.
Tetapi, pemegang saham secara rasional tidak akan menerima proyek ini, ketika mereka tahu
bahwa mereka harus ikut serta mendanainya, sedangkan keuntungannya lebih banyak
diberikan untuk pemilik obligasi. Dari penjelasan ini, tetap saja nantinya manajer akan
memiliih proyek yang bisa lebih meningkatkan nilai perusahaan seperti pada contoh pertama,
serta akan berkontribusi dalam bentuk kas untuk NPV yang positif pada contoh kedua, karena
biaya untuk menanggulangi financial distress ini akan menimbulkan konflik kepentingan
diantara dua kubu pemegang sekuritas, yang juga bisa disebut sebagai agency cost, diantara
pemilik obligasi dan pemegang saham.

Direct and Indirect Costs of Bankruptcy

Perusahaan yang menghadapi permasalahan kepailitan, akan menghabiskan banyak biaya.


Oleh karena itu, perusahaan memiliki alasan untuk membatasi financial leverage, dengan
tujuan untuk meminimalkan kemungkinan diseretnya perusahaan ke pengadilan. Ada dua
jenis biaya pailit, yakni biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah
pengeluaran kas yang secara langsung berkaitan dengan pengarsipan dan administrasi, yang
dibayarkan secara profesional, contohnya biaya untuk pengacara, akuntan, bankir, dan
pegawai pengadilan. Sementara itu biaya tak langsung adalah biaya yang terkait dengan
kerugian ekonomis yang dihasilkan dari kepailitan itu sendiri.

Empirical Evidence on Bankruptcy Costs

1. Perusahaan yang sedang diambang kebangkrutan mendapati sales yang lebih rendah,
dibandingkan ekspektasi yang sebelumnya sudah ditargetkan berdasarkan ekstrapolasi dari
tingkat pertumbuhan penjualan sebelum kebangkrutan
2. Manajer dari perusahaan yang mengalami kebangkrutan lebih sering kehilangan pekerjaan
dibandingkan manajer yang bekerja di perusahaan yang tidak mengalami kebangkrutan.
Gaji manajer yang bekerja di perusahaan yang berada diambang kebangkrutan akan jauh
terkikis.
3. Pengadilan kepailitan di Amerika Serikat masih sering menyimpang dari tugasnya, yang
seharusnya bisa mengatur distribusi kekayaan diantara pemegang sekuritas. Hal ini
menambah ketidakpastian dari hasil keputusan kepailitan, serta meningkatkan risiko
terhadap seluruh penuntut, dan justru akan menguntungkan pemegang saham dan
karyawan perusahaan untuk bersatu.
4. Beban pengeluaran kebangkrutan di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan negara
maju lainnya, dan keputusan dari pengadilan lebih menguntungkan manajer ketimbang
kreditur pada saat perusahaan akan di likuidasi.
5. Pengurangan utang saat perusahaan dinyatakan bangkrut, jauh lebih kecil dibandingkan
dengan yang sebelumnya sudah diprediksikan dan dibutuhkan, sehingga justru akan
membuat perusahaan lebih rentan untuk mengalami kebangkrutan untuk yang kedua atau
bahkan ketiga kalinya.
6. Perusahaan dengan pendapatan variabel yang lebih tinggi menggunakan lebih sedikit
utang dibandingkan perusahaan lain yang keuntungannya lebih stabil.
7. Rasio leverage pada berbagai macam industri sangat berkaitan dengan peluang
investasinya. Industri padat modal dengan pertumbuhan tertentu akan cenderung lebih
high levered, sedangkan industri yang berbasis teknologi dengan pertumbuhan tertentu
cenderung lebih sedikit menggunakan utang.
8. Rasio leverage berkaitan dengan seberapa mudahkah aset perusahaan dapat melewati
kebangkrutan ini tanpa kehilangan nilainya.
Dari sekian banyak pembuktian diatas, dapat disimpulkan bahwa biaya kebangkrutan ini
sangat kompleks dan mempengaruhi struktur permodalan, namun bisa diprediksi. Oleh karena
itu, sebuah formula untuk valuasi dapat dikembangkan dari pembuktian diatas yaitu :
VL = VU + PV Tax Shields - PV Bankruptcy Costs
VLadalah nilai dari levered firm, dan VUadalah nilai dari unlevered firm. Formula diatas
memperjelas pemahaman kita mengapa teori yang dibangun ini adalah trade off model dari

struktur permodalan perusahaan, semenjak formula ini mengasumsikan bahwa manajer


menghadapi trade off yang berkaitan dengan keuntungan perpajakan dari kenaikan leverage
terhadap kebangkrutan serta agency cost yang bisa meningkat, tetapi justru akan lebih buruk,
seiring dengan meningkatnya leverage.
7.4.4. Agency Costs and Capital Structure
Teori agency cost pertama kali diperkenalkan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976.
Jensen dan Meckling meneliti, ketika pengusaha memiliki 100% kepemilikan saham, maka
tidak ada pemisahan kepemilikan perusahaan dan pengendaliannya. Pengusaha menanggung
semua biaya, dan menikmati semua keuntungannya sendiri, sesuai dengan setiap hal yang dia
lakukan. Jika ada bagian, misalnya yang dijual ke investor luar, maka pengusaha tersebut
hanya akan menanggung konsekuensi sebesar 1- dari apa saja yang sudah dia lakukan. Hal
ini bisa memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk menikmati perquisites. Dengan
menjual beberapa bagian dari kepemilikan perusahaan, maka pengusaha dapat mengurangi
biayanya untuk melakukan aktivitas tertentu, dan hanya menanggung 1- saja. Investor yang
terinformasi mengharapkan kinerja pengusaha akan berubah, seiring dengan dibelinya saham
sebesar dari perusahaan tersebut. Nantinya mereka hanya akan membayar harga per saham
yang betul-betul sesuai dengan penurunan nilai perusahaan yang dihasilkan dari konsumsi
fasilitas perusahaan oleh pengusaha. Kembali lagi, sebetulnya pengusaha akan kembali
membayar penuh biaya yang sudah dia nikmati sendiri. Akhirnya, masyarakatlah yang
dirugikan dengan adanya hal ini karena adanya agency cost dari pemodal luar yang
mengurangi market value dari aset perusahaan dikalikan expected value dari konsumsi
perquisites pengusaha. Menjual saham kepada pihak luar akan menimbulkan agency cost,
namun sangat vital perannya.

Using debt to overcome the agency costs of outside equity

Pendanaan dalam bentuk utang dapat menyelesaikan permasalahan agency cost dari ekuitas
eksternal dengan dua cara. Pertama, penggunaan utang berarti ekuitas eksternal yang dimiliki
akan dijual untuk meningkatkan pendanaan eksternal. Jika agency cost dari ekuitas luar
meningkat melebihi proporsi yang meningkat, maka penghematan terhadap jumlah ekuitas
luar yang dijual akan mengurangi biaya dead weight agency cost dari hubungan antara
manajer dan pemegang saham. Kedua, ini yang paling penting. Efek penggunaan utang dari
luar, dibandingkan dengan pendanaan ekuitas akan mengurangi porsi konsumsi perquisites
manajerial yang berlebihan, karena utang menjadi alat kontrol pengusaha. Ketika utang tidak

bisa dibayarkan, maka pengusaha akan kehilangan kendali terhadap perusahaannya, dan aset
dari perusahaan tersebut akan disita oleh pemegang obligasi. Dalam jurnal Jensen dan
Meckling, hal ini disebut dengan bonding mechanism untuk manajer, agar bisa menunjukkan
itikad baik kepada pemegang saham. Penggunaan utang bisa memastikan bahwa manajer
akan mengambil risiko untuk kehilangan kendali terhadap perusahaan jika mereka gagal
melakukan kinerja yang efektif.

Capital Market Monitoring of Corporate Managers

Walaupun individu atau pemegang saham institusi memiliki porsi kepemilikan yang besar
pada suatu perusahaan, tetap saja mereka akan sulit untuk mengalahkan pihak manajemen
apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Manajemen akan lebih kuat menghadapi berbagai
tantangan dari pemegang saham. Pun seandainya jika pemegang saham secara aktif ingin
mengalahkan manajemen baik itu di pengadilan ataupun menantang manajemen untuk
meningkatkan kinerjanya, maka pemegang saham akan lebih banyak mengeluarkan biaya,
dan nantinya, keuntungan yang didapat juga akan lebih banyak mengalir ke passive
shareholders. Penjelasan ini menunjukkan bahwa agency cost diantara manajemen dan
pemegang saham ini benar adanya, mengakar, dan sulit untuk dikurangi. Satu cara untuk
mengendalikan hal ini adalah dengan menerbitkan surat utang. Hal ini bisa menghasilkan dua
hal, pertama memaksa manajer untuk dikonfrontir dan di monitor langsung oleh pasar modal.
Jika investor memandang buruk kompetensi dari manajemen, maka mereka akan menetapkan
bunga yang lebih tinggi terhadap uang yang mereka pinjamkan kepada perusahaan, atau akan
mendesak perusahaan dengan perjanjian obligasi yang restriktif, untuk membatasi kebebasan
perusahaan untuk bertindak. Kedua, utang akan secara efektif membatasi manajemen
mengurangi nilai dari perusahaan dengan inkompetensi atau konsumsi perquisites yang
berlebihan. Jika manajemen tidak mampu untuk menjalankan perusahaan dengan baik,
setidaknya membayar utang, maka perusahaan akan dinyatakan bangkrut atau pailit. Dengan
utang, manajer akan menerima risiko ini, dan akan mengurangi agency cost dari hubungan
antara manajer dan pemegang saham.

Agency Costs of Outside Debt

Perusahaan tidak dengan serta merta menggunakan seluruh pendanaannya dari utang, karena
akan ada agency cost dari utang, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketika porsi
utang pada struktur modal meningkat, maka pemegang obligasi memiliki porsi yang lebih
luas juga untuk menjalankan bisnis perusahaan dan mengelola risikonya. Akan tetapi,
manajer dan pemegang saham masih tetap dapat mengontrol investasi perusahaan dan

mengambil keputuan. Celah ini yang dapat digunakan oleh manajer untuk mengambil alih
kekayaan pemegang obligasi, untuk keuntungan manajer dan pemegang saham. Nantinya
dana dari obligasi akan digunakan untuk memberikan dividen kepada pemegang saham.
Setelah perusahaan dinyatakan default, maka pemegang obligasi akan mendapatkan
perusahaan yang sudah tidak bernilai lagi, dan limited liablity akan membatasi pemegang
obligasi untuk menuntut haknya kepada pemegang saham secara langsung. Cara lain yang
bisa dilakukan oleh pemegang saham dan manajemen adalah dengan mencari pembeli
obligasi yang bisa dikelabui, dan meminjam dana kepada mereka, bahwa nantinya dana
tersebut akan digunakan untuk investasi yang aman. Pemegang obligasi meyakininya, dan
meminjamkan dana tersebut pada tingkat bunga yang rendah. Pada kenyataanya, mereka akan
berinvestasi pada proyek yang berisiko, dan mungkin saja bisa mendapatkan return yang
tinggi dengan risiko yang tinggi pula. Jika proyek tersebut berhasil, maka pemegang saham
dapat membayarkan pemegang obligasi secara penuh, namun jika gagal, maka perusahaan
dinyatakan default, dan kembali pemegang obligasi akan dirugikan dan ditinggalkan
perusahaan yang sudah tidak ada nilainya lagi. Hal ini betul-betul berbahaya untuk pemegang
obligasi. Saat ini, mereka sudah mulai paham dan menyiapkan siasat untuk menghindari hal
yang tidak diinginkan. Langkah pencegahan yang paling efektif adalah dengan membuat
kontrak utang secara detail, yang dapat membatasi manajer untuk melakukan hal yang tidak
diinginkan, yang dapat merugikan pemegang obligasi dengan mengambil alih dana mereka
untuk tujuan yang justru lebih menguntungkan mereka.
Namun langkah ini ternyata sangat costly, dan membatasi langkah manajemen, yang justru
ingin meningkatkan nilai perusahaan, karena tidak semua manajemen perusahaan memiliki
perilaku yang buruk. Misalnya, perjanjian dimana perusahaan dibatasi untuk membayarkan
dividen, bahkan jika perusahaan itu profitable. Perusahaan bisa jadi akan kelebihan
berinvestasi pada proyek dengan NPV yang negatif jika keuntungan saat itu sedang tinggi,
dan peluang investasi dengan NPV positif sedang sulit. Agency cost dari utang dapat makin
nyata, dan menjadi lebih sangat penting ketika leverage ratio dari perusahaan meningkat.

Menyeimbangkan Agency Cost Diluar Ekuitas dan Hutang

Modern agency cost/tax shield trade-off model dari struktur modal perusahaan adalah model
yang memperlihatkan nilai dari levered firm dalam konteks nilai dari unlevered firm,
menyesuaikan untuk nilai sekarang dari tax shield, bankruptcy cost, dan agency cost of debt
and equity sebagai berikut:

Model di atas menjelaskan bagaimana struktur modal ditentukan secara aktual oleh
perusahaan sesungguhnya. Ketika tidak ada yang berlaku sebagai komponen individu dari
model ini mudah untuk diestimasi secara empiris, banyak dari riset yang tersedia pada
struktur di Amerika dan Internasional konsisten dengan prediksi model tersebut.
7.5 Pecking Order Hypothesis of Corporate Capital Structure
Terdapat tiga kejadian yang sulit untuk menjelaskan keteraturan pada perilaku perusahaan
mempertimbangkan model trade-off dari corporate leverage, yaitu:
1. Dalam setiap industri secara virtual, perusahaan yang paling menghasilkan profit
memiliki rasio utang yang terendah yang mana kebalikan dari prediksi tax-effect
trade-off model
2. Kejadian yang meningkatkan leverage, seperti stock repurchase dan penawaran
pertukaran debt-for-equity, adalah yang paling selalu terkait dengan pengembalian
abnormal yang positif besar bagi pemegang saham perusahaan, dimana kejadian yang
menurunkan leverage mengakibatkan penurunan nilai saham. Berdasarkan trade-off
model, model ini seharusnya menghasilkan pengembalian abnormal sebesar nol
karena perusahaan akan berada di bawah tingkat utang yang optimal saat mereka
menaikkan leverage ketika yang lain akan berada di atas tingkat yang optimum
3. Perusahaan secara berkala menerbitkan surat hutang, namun sangat jarang
menerbitkan ekuitas musiman
7.5.1 Asumsi pada Pecking Order Hypothesis
Asumsi dari model ini berdasarkan pada empat observasi dan/atau asumsi terkait perilaku
keuangan perusahaan:
1. Keteraturan dividen bersifat sticky. Manajer berusaha untuk mengelola pembayaran
dividen dollar-per-share yang konstan
2. Perusahaan lebih memilih pendanaan internal (laba ditahan dan depresiasi) daripada
pendanaan eksternal seperti hutang atau ekuitas
3. Jika perusahaan harus melakukan pendanaan eksternal maka akan memilih yang
paling aman terlebih dahulu

4. Perusahaan yang memerlukan pendanaan eksternal yang lebih, maka pecking order of
securities dimulai dari hutang yang sangat aman, lalu berlanjut pada hutang yang
beresiko, convertible securities, preferred stock, dan yang terakhir yaitu common
stock.
Asumsi ini tidak dihiraukan oleh ekonom modern karena terlalu berdasar pada sesuatu yang
irasional, simple pecking order model terlalu menduga keadaan pasar sangat tidak sempurna
(biaya transaksi yang tinggi, investor yang tidak mendapat informasi, manajer yang benarbenar tidak peka terhadap valuasi nilai saham perusahaan.) yang sulit untuk diterima sebagai
gambaran akurat pasar modal modern. Myers memberikan asumsi yang telah disesuaikan
berdasarkan informasi asimetris.
Myers dan Majluf membuat dua asumsi penting terkait manajer perusahaan, yang pertama
berasumsi bahwa manajer perusahaan lebih mengerti pendapatan dan kesempatan investasi
perusahaan daripada investor luar. Yang kedua berasumsi bahwa manajer berlaku pada
kepentingan terbaik terhadap pemegang saham.
Dua asumsi ini krusial karena dengan adanya informasi asimetris, manajer yang
mengembangkan atau menemukan peluang investasi yang memiliki NPV positif yang
menjanjikan tidak dapat disampaikan kepada investor luar karena adanya ketidakpercayaan.
Karena investor tidak dapat memastikan klaim manajer hingga investasi tersebut berjalan,
investor akan menetapkan nilai rata-rata yang rendah terhadap nilai saham seluruh
perusahaan dan hanya akan membeli ekuitas baru hanya pada tingkat diskonto yang besar
dari nilai ekuilibrium mereka tanpa ada informasi asimetris.
Investor tidak dapat mempercayai manajer sehingga mereka menaruh nilai yang rendah, dan
manajer dipaksa untuk hidup tanpa peluang investasi yang bernilai karena mereka tidak bisa
menyampaikan informasi privat mereka.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan financial slack. Financial slack adalah
memasukkan uang perusahaan dan sekuritas yang dapat diperdagangkan, termasuk juga
kapasitas hutang yang tidak digunakan (risk-free) sehingga dapat digunakan untuk
membiayai proyek dengan NPV positif secara internal. Perusahaan dengan financial slack
yang cukup tidak perlu menerbitkan hutang atau ekuitas yang beresiko.
7.5.2 Implikasi dari Pecking Order Hypothesis
Dengan adanya informasi asimetris, maka sangat diperlukan adanya perantara keuangan.
Tidak semua perusahaan dengan peluang investasi proyek yang bernilai NPV positif
beruntung untuk memiliki financial slack untuk membiayai proyek tersebut. Perusahaan start-

up yang memiliki proyek investasi yang lebih bernilai juga cenderung mengalami
permasalahan informasi asimetris yang serius. Bank dan perantara keuangan lainnya mampu
secara efektif mengatasi permasalah ini dengan insiders bagi perusahaan. Selain itu juga
sebagai perantara yang mampu menilai dan mempertemukan kebutuhan keuangan perusahaan
dengan satu atau instrument kredit lainnya. Perantara juga pada posisi mengawasi performa
manajerial, dan secara langsung terlibat pada operasional perusahaan ketika perusahaan
dalam masalah yang serius. Perantara keuangan dapat melakukan pendanaan langsung,
mengawasi perform peminjam perusahaan tanpa perlu mengatasi permasalahan informasi
asimetris pada pasar modal.
7.5.3 Batasan dari Pecking Order Hypothesis
Sayangnya, Pecking Order Theory tidak dapat menjelaskan seluruh keteraturan struktur
keuangan yang teramati pada prakteknya. Sebagai contoh, teori tersebut lemah jika
dibandingkan dengan trade-off theory karena ketidakmampuan untuk menjelaskan bagaimana
pajak, bankruptcy costs, security issuance costs, dan peluang investasi individu perusahaan
menentukan pengaruh rasio hutang perusahaan yang sebenarnya. Lebih lanjut, teori tersebut
membiarkan agency problem yang signifikan yang dapat muncul dengan mudah ketika
manajer perusahaan mengakumulasi financial slack yang banyak sehingga mereka kebal
terhadap disiplin pasar.
7.6 Memberi Sinyal dan Model Informasi Asimteris dari Leverage Perusahaan yang
Lain
Signaling model yang dikembangkan oleh Ross (1979) dan penulis lainnya berdasarkan atas
ide bahwa eksekutif perusahaan dengan informasi dalam yang baik tentang perusahaan
mereka memiliki insentif yang jelas untuk meyakinkan informasi tersebut kepada investor
luar, agar harga saham perusahaan tersebut meningkat. Namun karena adanya informasi
asimetris, informasi tersebut tidak dapat tersampaikan, adanya pandangan skeptis oleh
pemegang saham dan informasi tersebut hanya dapat divalidasi seiring berjalannya waktu.
7.6.1 Bagaimana Memberi Sinyal dengan Struktur Modal dan Meyakinkan Informasi
Manajer dapat meyakinkan investor dengan memberi sinyal dengan cara mengambil suatu
tindakan yang mahal untuk menduplikasi penilaian perusahaan yang lebih rendah (mimic).
Suatu sinyal adalah tindakan yang memaksakan deadweight cost pada pemberi sinyal agar
meyakinkan nilai yang relatif rendah kepada investor.

Separating equilibrium muncul ketika perusahaan dengan nilai yang tinggi menggunakan
pendanaan dengan hutang yang tinggi dan perusahaan yang bernilai lebih rendah bergantung
lebih pada pendanaan dengan ekuitas. Investor mampu membedakan antara perusahaan yang
bernilai tinggi dan rendah dengan melakukan observasi terhadap struktur modal mereka dan
berkeinginan untuk menilai lebih tinggi terhadap perusahaan yang highly levered. Akhirnya,
karena perusahaan yang lebih lemah tidak berkeinginan untuk meniru perusahaan yang lebih
kuat (dengan mengambil hutang yang lebih tinggi), titik ekuilibriumnya stabil.
7.6.2 Bukti Empiris pada Capital Structure Signaling Model
Signaling model cukup menarik, pola struktur modal yang teramati memperlihatkan bahwa
model tersebut adalah prediktor yang buruk dari perilaku sesungguhnya. Leverage ratio
berkebalikan dengan profitabilitas hampir di semua industri tidak terkait secara langsung
seperti yang signalling model prediksi. Signaling model memperkirakan bahwa industri yang
menggunakan aset terlihat lebih banyak menggunakan hutang yang jauh lebih besar daripada
perusahaan yang pada tahap tumbuh.
Signaling model juga menjelaskan tanggapan pasar terhadap perubahan tipe sekuritas dengan
cukup baik. Menerbitkan hutang memberi sinyal yang baik (manajer percaya diri terhadap
masa depan), dan disambut dengan nilai saham yang positif. Sebaliknya menerbitkan
sekuritas memberi sinyal yang buruk (pendapatan akan turun di masa depan) dan berdampak
nilai saham yang turun.
Rangkuman
Teori keuangan perusahaan modern lahir dari publikasi Modigliani dan Miller tentang teori
struktur modal pada tahun 1958. Mereka menunjukkan bahwa, dalam pasar bebas modal
pajak, biaya transaksi, dan friksi lainnya, pilihan struktur modal perusahaan tidak dapat
mempengaruhi valuasi pasarr karena investor bisa membuat atau tidak membuat setiap
tingkat leverage yang diinginkan dengan meminjam atau meminjamkan pada rekening
pribadi. Pengembangan teori agensi di tahun 1980, ditambah dengan penelitian rinci ke
tingkat dan efek biaya kepailitan selama tahun 1980, menyebabkan pandangan yang lebih
rinci tentang kegunaan dasar M&M teori struktur modal. Akhirnya, pemeriksaan silangbudaya dari pola struktur modal yang diamati di negara-negara industry non-US telah
membawa pada pandangan saat ini bahwa perusahaan bertindak seolah-olah ada, struktur
modal yang optimal yang unik untuk perusahaan individual yang dihasilkan dari sebuah

trade-off antara manfaat pajak dari meningkatnya pengaruh dan meningkatkan biaya
keagenan dan kebangkrutan yang memerlukan utang yang lebih tinggi.
Banyak peneliti, terutama Stewart Myers, telah menunjukkan nyata "blind spot" bahwa
trade-off teori tidak dapat menjelaskan. Hal ini terutama berlaku dari reaksi pasar saham yang
diamati untuk transaksi yang meningkatkan leverage dan menurunkan leverage, yang secara
konsisten menghasilkan kenaikan dan penurunan harga saham. Sebagai alternatif untuk
model trade-off, Myers telah mengajukan Pecking Order hypothesis of Corporate Leverage.
Ini memprediksi bahwa perusahaan akan lebih memilih pendanaan internal untuk
menerbitkan surat berharga, dan jika dipaksa untuk pembiayaan eksternal akan menggunakan
utang sebelum ekuitas. Model ini menjelaskan banyak pola yang diamati di perusahaan
keuangan, termasuk kecenderungan perusahaan untuk tidak menerbitkan saham dan pilihan
mereka untuk mengadakan cadangan kas mengejutkan besar dan bentuk lain dari "financial
slack." Walaupun menjanjikan, model Pecking Order memiliki kelemahan sendiri, dan belum
ada penantang kuat untuk model trade-off.
Akhirnya, berbagai model sinyal dari struktur modal juga telah diusulkan yang menunjukkan
bahwa manajer menggunakan leverage untuk sinyal prospek perusahaan kepada investor
yang memiliki informasi yang buruk, yang percaya sinyal-sinyal ini karena mereka mahal
bagi perusahaan yang lemah untuk meniru. Sayangnya, model ini umumnya memprediksi
bahwa perusahaan dengan pendapatan terbaik dan prospek pertumbuhan akan menggunakan
yang paling berpengaruh, yang merupakan kebalikan dari perilaku yang diamati.

Anda mungkin juga menyukai