BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri farmasi Cina berkembang dengan cepat, termasuk industri bahan baku
obat. Kalangan industri farmasi khawatir dengan skema pemberlakuan perdagangan
bebas dengan Cina Sedangkan, industri farmasi Indonesia berkembang sangat lamban,
dan masih sebatas industri formulasi obat, mengembangkan produk akhir dengan
mengandalkan keunggulan atau kesetaraannya dalam bioavailability/bioequivalent
(BA/BE). Untuk saat ini, hampir semua komponen produksi diimpor. Beberapa usaha
untuk mengganti dengan komponen lokal belum berhasil. Impor bahan baku obat dan
komponen pendukungnya yang digunakan sehari-hari lebih dari 90%, sedangkan bahan
pengepakan sekitar 50%..
Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia dibagi menjadi lima kelompok,
yaitu, (1) inventarisasi sumber daya Indonesia yang potensial untuk pengembangan bahan
baku obat (baik terrestrial maupun marine: mikroba, jamu, tumbuhan obat dan sumber
daya laut), (2) pengembangan bahan baku obat berbasis bahan alam (isolasi, elusidasi
struktur kimia, modifikasi struktur, scalling up dan lain-lain, uji efektivitas, keamanan,
farmakologi dan lain-lain), (3) pengembangan bahan baku obat melalui sintesa kimia, (4)
pengembangan bahan baku obat melalui bioteknologi dan biomolekuler (mengingat saat
ini 67% bahan baku obat yang dikembangkan berasal dari bidang ini), dan (5) teknologi
sel punca, untuk antisipasi ke depan secara jangka panjang.
Secara historis alam merupakan sumber bahan obat yang digunakan sampai
sekarang. Bahan baku tersebut dapat diperoleh dari tanaman darat maupun biota laut.
Menurut Van Soest (1994) kekayaan biota laut wilayah tropis 2-3 kali lebih besar
dibandingkan dengan wilayah subtropis dan yang wilayah beriklim dingin. Di hutan
tropis Indonesia sendiri terdapat 30.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah tersebut sekitar
9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, tetapi baru 200 yang telah dimanfaatkan sebagai
bahan baku pada industri obat tradisional. Faktanya Indonesia memiliki kekayaan
tanaman hayati terbesar di dunia setelah Brazil. Inventaris sumber daya Indonesia yang
potensial untuk pengembangan bahan baku obat salah satunya bersumber dari laut.
Laut tropis indonesia memiliki tiga ekosistem pesisir yang tidak terpisahkan baik
fungsi ataupun fisik, yaitu Ekosistem Lamun, Ekosistem Mangrove, serta Ekosistem
Terumbu Karang. Ekosistem lamun merupakan salah satu penyusun pantai yang memiliki
peranan penting dalam struktur ekologi wilayah pesisir, antara lain sebagai (1) produsen
primer di laut dangkal; (2) habitat hidup biota; (3) perangkap sedimen; dan (4) pendaur
zat hara (Azkab, 1999). Lamun juga diketahui memiliki potensi dimanfaatkan sebagai
bahan baku farmasi. Raja-Kannan et al. (2010) memaparkan Thalassia hemprichii
memiliki potensi bioaktif sebagai antioksidan dan mengandung senyawa golongan
fenolik. Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pamban, Tamil Madu, India diketahui
mengandung senyawa bioaktif potensial sebagai antibakteri, antifungi, antiprotozoa,
antiviral, antifertility, dan yang bahan obat-obatan yang berpengaruh pada sistem
cardiovascular (Laksmi et al., 2006). Sehubungan dengan peran ekologis dan potensi
pemanfaatan lamun yang luas, maka keberadaan lamun di suatu wilayah sangat penting
untuk diketahui dan dianalisis
B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai Untuk
Indonesia
2. Bagaimana keragaman lamun di teluk banten?
3. Bagaimana Pengujian ekstrak lamun sebagai sumber alternatif antibakteri?
4. Bagaimana peta jalan dan strategi Pengelolaan Sumberdaya Padang Lamun?
C. Tujuan
1. mengetahui Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai Untuk
Indonesia
2. mengetahui keragaman lamun di teluk banten?
3. mengetahui hasil Pengujian ekstrak lamun sebagai sumber alternatif antibakteri
4. mengetahui peta jalan dan strategi Pengelolaan Sumberdaya Padang Lamun
BAB II
PEMBAHASAN
A. Langkah-langkah Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai
Untuk Indonesia
senyawa pengarah melalui desain obat baru dan sintesa serta penapisan bahan alam
bioaktif, evaluasi aktivitas biologi dan farmakologi dasar, penentuan metode evaluasi,
dan pemilihan kandidat obat baru.
Bagian penting dalam primary stage ini adalah bagaimana mempelajari hubungan
antara struktur obat dengan aktivitasnya (structure activity relationship/SAR) sehingga
pencarian senyawa aktif baru menjadi lebih terarah. Kegiatan SAR tersebut telah
memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular.
Tahap pre-klinis terutama ditujukan untuk kajian kemanjuran (efficacy) dan
keamanannya (safety). Kegiatannya meliputi farmakologi, evaluasi sifat-sifat fisiko
kimia, penentuan toksisitas akut dan sub-akut, penentuan farmakokinetik (adsorpsi,
distribusi, metabolisme, ekskresi/ADME), farmasetika dan pengembangan proses
produksi skala besar (mass production). Uji pre-klinis merupakan persyaratan uji untuk
calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan
percobaan, maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik), yang mempunyai empat
tahapan yang harus dilewati. Sebelum dilakukan pengujian pada manusia, harus diteliti
terlebih dahulu kelayakannya oleh komite etik yang didasarkan pada Deklarasi Helsinki.
Jelaslah, untuk bisa memasarkan bahan baku obat baru, jalan sangat panjang harus
ditempuh. Beberapa bidang ilmu perlu dikembangkan dan ditekuni untuk pengembangan
obat baru di Indonesia.
Pertama, adalah Biology Related Drug Discovery. Pengembangan bahan baku
obat dari genomik menuju proteomik yang meliputi ekspresi protein, sistem ekspresi,
kristalisasi protein, penentuan struktur tiga dimensi dari protein, dan penentuan active
site protein dan mekanisme kerja bahan baku obat pada protein.
Kedua adalah Chemistry Related Drug Discovery and Development, dengan
kegiatan inti bidang kimia medisinal. Langkah ini dimulai dari lead discovery, lead
optimation, chemical process development dan chemical synthesis & scaling up. Lead
discovery meliputi kegiatan medicinal chemistry, combinatorial chemistry, computational
chemistry, natural products isolation dan biocatalysis. Lead optimization meliputi
kegiatan medicinal chemistry, analytical chemistry dan separation chemistry dan
(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, usia dan
ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan efek
jangka panjang dalam penggunaan obat tersebut. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi
masih ada kemungkinan obat ditarik dari perdagangan jika ternyata masih memiliki efek
yang membahayakan.
B. Keragaman Lamun di Teluk Banten
Habitat Lamun atau yang lebih di kenal dengan kata
s e a g r a s s merupakan habitat pantai yang sangat unik.dengan di tumbuhi oleh
lamun(golongan macrophyte) yang dapat beradaptasi dengan kondisi pantai yanglabil,
tumbuhan lamun memberikan amat sangat banyak fungsi ekologisbagi
organisma yang berasosiasi dengannya.
Gambar 1. Struktur Morfologi Tumbuhan Lamun secara Keseluruhan
merupakan
tumbuhan
yang
mempunyai
akar
(Ryzome dan serabut akar), bat ang, daun, bu nga dan beb erapa
s p e s i e s b e r b u a h . Berbeda dengan seaweed yang merupakan alga besar
(Macro-alga) yangtidak mempunyai akar, batang dan daun sejati.Sebagai
tumbuhan tingkatt i n g g i , s e a g r a s s m e m p u n y a i s i s t e m r e p r o d u k s i d a n
p e r t u m b u h a n y a n g khas
Keragaman jenis lamun tertinggi selama penelitian ditemukan di Pulau Tunda
(Tabel 1), dimana terdapat lima jenis lamun yang hidup bersama membentuk padang
lamun. Padang lamun yang ditemukan di Pulau Kalih terdiri dari dua jenis lamun, yaitu:
Enhalus acoroides dan Halophila ovalis, sedangkan penyusun padang lamun di Pulau
Panjang adalah jenis: Cymodocea serrulata dan Enhalus accoroides.
Dari perbandingan jenis lamun yang ada di Indonesia, Teluk Gilimanuk, Teluk
Lampung, dan Teluk Banten, terlihat bahwa kelima jenis lamun yang ditemukan saat
penelitian memiliki penyebaran yang luas. Keragaman jenis lamun yang ditemukan di
Teluk Banten lebih rendah dari keragaman jenis lamun yang ditemukan di Teluk
Gilimanuk (Al-Hakim & Wahyuni, 2009) dan Teluk Lampung (Pratiwi, 2010).
C. Pengujian ekstrak lamun sebagai sumber alternatif antibakteri
1) Ekstrak lamun
Ekstrasi lamun dengan pelarut organik berdasarkan pada sifat kepolaran zat
dalam pelarut pada saat ekstraksi. Zat-zat polar yang terkandung dalam lamun hanya larut
pada pelarut polar, yaitu air, etanol,metanol dan butanol, sedangkan zat-zat yang nonpolar
akan larut dalam pelarut nonpolar, antara lain kloroform, heksan, eter (GRITTER et al.
1991).Jenis-jenis lamun yang diperoleh dari lapangan diproses seperti yangdijelaskan
pada bagian metodologi untuk mendapatkan ekstrak kasar dari masing-masing jenis
lamun.
Beberapa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi jumlah perolehan bahan aktif yang diekstrak, yaitu kondisi alamiah dari b
ahan aktif, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel,kondisi dan waktu
penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut terhadap
2) jumlah sampel.
Berdasarkan proses ekstraksi yang dilakukan diperoleh 4 jenis ekstrak yang terdiri
dari ekstrak metanol (Me), ekstrak etil asetat (Ea), ekstrak kloroform (Cl) dan ekstrak
heksan (Hx). Dari 10 jenis lamun yang diperoleh jumlah total ekstrak yang diperoleh untuk 4 jenis pelarut adalah methanol sebanyak 10 ekstrak, etil asetat 10 ekstrak, kloroform
10 ekstrak dan heksan8 ekstrak.
3) Uji Antibakteri
Berdasarkan morfologi yang dipelajari bahwa ada sekitar 80% bakterilaut
yang diketahui berbentuk batang dan bersifat gram negatif (ZOBELL Dalam SIDHARTA
2000). Pleomorfisme umum terjadi pada bakteri lautdibandingkan bakteri sungai, danau,
dan
tanah.
Sekitar
seperlima
secaraaktif,
flagel.Diperkirakan
antara
75-85%
kemampuan
sediaan
bergerak
murni
ini
yang
sebagai
diamati
memiliki
hasil
adaptasi
Tabel 3. Hasil Uji Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat,Kloroform dan Hexan
hasil
pengujian
antibakteri
(tahap
I,II,
dan
III)
tampak bahwa ekstrak nonpolar (kloroform dan heksan) memiliki kemampuan sebagai a
ntibak-teri lebih dominann dibandingkan dengan ekstrak semipolar (etil asetat) dan polar
(metanol). Hal tersebut kemungkinan terjadi karenakandungan bahan aktif antibakteri
dari masing-masing sampel yang diujicenderung bersifat nonpolar. Sifat kandungan
bahan aktif dapat dijelaskan apabila bahan aktif yang berperan sebagai antibakteri
tersebut dipisahkan dandiisolasi. Tehnik pemisahan dan isolasi zat aktif dari ekstrak
lamun
dapatdilakukan
dengan
menggunakan
beberapa
analisa
yang
umum
Strategi
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat
kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat
akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar
kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai
kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya
bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya
alam diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat
sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu,
persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada
cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam
konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah
pengelolaan berbasis masyakarakat (Community Based Management). Raharjo (1996)
mengemukakan bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan
langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam
konteks ini pula perlu diperhatikan mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di
suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber
daya alam pesisir adalah dekstrusi masayakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh
karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya
adalah untuk mangurangi tekanan terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di
kawasan tersebut.
1.
secara
aktif
pengelolaan.Pengelolaan
dalam
kegiatan
berbasis
perencanaan
masyarakat
berawal
dan
pelaksanaan
suatu
dari
pemahaman
bahwa
berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan
sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait.
Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya
disebabkan oleh masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya
dijadikan sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program
pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh
atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya
menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak
mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis masyarakat ini, yang
dimaksud dengan masyarakat adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung
maupun tak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun,
diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan
peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt
dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada
masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan
ekologi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis
masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan,
sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya.
Pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan
utama, yaitu: (1) masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan
tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) masalah lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang
lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air,
pencemaran).
3. Pendekatan Kebijakan
menekankan
pada
pengendalian
perilaku
2)
3)
4)
5)
6)
Pengikut
sertaan
kegiatan lingkungan apat memberi motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin
keberlanjutanya.Kegiaan bersih pantai dan pengelolaan sampah misalnya
7)
8)
yang dapat lebih menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang.
Peraturan perundangan.Pengembangan peraturan perundangan perlu
dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan
masyarakat luas.Keberadaan hukum adat, serta kebiasaan masyarakat lokal perlu
9)
b) Rehabilitasi Keras
Rehabiltasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan dilapangan.Ini
dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi
lamun dilingkungan yang perlu direhabilitasi.Kegiatan transplantasi lamun di
Indonesia belum berkembang luas.Berbagai percobaan transplantasi lamun telah
dilaksanakanoleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPIyang masih dalam taraf awal.
Pengembangan transplantasi lamun telah dilaksanakan diluar negeri dengan berbagai
tingkat keberhasilan, (Himnasurai Untama, 2012)
Strategi Nasional dalam Mengembangkan Industri Farmasi di Indonesia
Penelitian
dan
pengembangan
ditentukan
untuk
mempertahankan
dan
funding) untuk riset bagi industri itu sendiri bisa dikembangkan dan hasil penelitian
dikembalikan ke industri.
Strategi Jangka Panjang
Dalam produksi domestik substansi dasar obat pengembangan bahan baku obat,
telah dilakukan pemeriksaan terhadap berbagai jenis bahan dasar yang dibutuhkan oleh
industri farmasi dan persyaratan yang relatif kecil terutama bagi kebutuhan lokal mereka.
Oleh karena itu, pembenahan ekonomi untuk memproduksi bahan dasar lokal mencapai
skala ekonomi yang jelas menjadi sangat sulit.
Namun, dari sudut pandang sosial politik, kemampuan untuk kemandirian di
bidang industri obat bahan dasar tentu akan meningkatkan stamina bangsa terutama
dalam krisis seperti saat ini. Perintis produksi bahan baku lokal perlu didorong dengan
memperhatikan pemilihan jenis bahan dasar dengan menggunakan kriteria yang
berspektrum kebutuhan cukup lebar sehingga mempunyai kemampuan untuk investasi
serta bahan dasar tersebut dapat dipasarkan, setidaknya regional, sehingga diperoleh
deviden dari ekspor bahan dasar dan dapat memenuhi kebutuhan impor bahan dasar
lainnya yang belum dapat diproduksi secara lokal.
Bahan awal dari bahan dasar tersebut mudah diperoleh dan ditemukan dalam
jumlah besar di Indonesia. Pemilihan bahan dasar yang dapat diproduksi melalui proses
fermentasi atau bioteknologi dengan investasi lebih murah dengan ketergantungan pada
produk antara industri hulu relatif kecil. Meskipun kesadaran akan pentingnya Hak atas
Kekayaan Intelektual di Indonesia yang sudah cukup tinggi, tetapi untuk itu penanganan
suatu produk farmasi untuk paten harus lebih kreatif. Misalnya, menciptakan produk obat
dengan kombinasi baru, suatu sistem drug delivery baru atau obat dengan bioavailability
yang lebih baik.
Disamping itu, perlu dipertahankan suasana kondusif agar secara bertahap industri
farmasi Indonesia mampu menjaga orisinalitas mereka dengan melakukan penelitian di
hulu. Dengan melakukan kerjasama dengan industri multinasional dalam proyek global
dapat menjaga hal tersebut (ISFI, 1997, Kardono, 2004).
Perlu diketahui bahwa meskipun anggaran riset di Indonesia jauh lebih kecil dari
negara maju atau jauh lebih kecil dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan
Thailand, namun efektivitas paten yang dihasilkan sangat baik. Hasil analisa WPO
(Word Patent Office), Geneva, para peneliti Indonesia relatif sangat efisien dalam
kaitannya antara paten dengan dana riset. Dengan dana penelitian sangat kecil per tahun
(tidak lebih dari 10 ribu US $), para peneliti Indonesia sudah mampu menghasilkan satu
paten, meskipun masih paten nasional, belum internasional (Aiman, 2010).
Meskipun pengembangan bahan baku obat dari bahan alam secara global
mengalami penurunan, tetapi pengembangan bahan baku obat dari bahan alam Indonesia
mempunyai prospek yang baik.
kearifan lokal. Pemanfaatan dan pengembangannya masih terus dilakukan dan bahkan
dikombinasi atau banyak dipengaruhi oleh pengembangan di negara besar lainnya, seperti
Cina dan India. Saat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka,
tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi diperlukan untuk
uji keamanan dan efektivitas jamu.
Upaya holistik perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Hal ini tidak hanya dalam medium dan infrastruktur, tetapi juga sumber daya
manusianya. Jumlah dokter perlu ditingkatkan untuk mencapai rasio yang ideal di
Indonesia, yaitu sekitar 1:1.300. Sistem distribusi obat perlu diperbaiki, sehingga
pengembangan obat-obatan dapat mencapai orang-orang di pedesaan. Kebijakan industri
kimia terpadu, sehingga industri yang satu dapat membantu industri yang lain. Sebagai
contoh, bahan kimia dari industri hulu mendukung industri hilir, termasuk industri
farmasi.
Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, dengan jumlah
penduduk lebih dari 230 juta, industri jamu lebih memanfaatkan sumberdaya lokal dan
pasar domestik. Namun, sampai saat ini penggunaan jamu dalam sistem kesehatan
nasional belum menjadi sistem pelayanan kesehatan formal, masih bersifat toleran. Dan
tahun 2009-2010 ini, Kementrian Kesehatan mencangankan Program Saintifikasi Jamu,
yang ditujukan untuk lebih meningkatkan pemanfaatan jamu bagi pelayanan kesehatan.
Pendekatannya memanfaatkan jamu untuk pelayanan kesehatan terlebih dahulu,
sambil memperkuat dukungan ilmiahnya. Hal tersebut merupakan paradigma baru untuk
saintifikasi jamu dengan pengembangan berbasis pelayanan kesehatan, tetapi karena
masih bersifat penelitian, perkembangannya kemungkinan akan lambat. Dengan
berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), Indonesia perlu khawatir
terhadap perlindungan industri jamu Indonesia, dan memberikan bantuan supaya industri
jamu Indonesia mampu bersaing dengan produk China atau produk negara-negara
ASEAN lainnya, untuk menjaga pamornya di negeri sendiri (Kardono, 2009).
Salah satu usulan bagi industri farmasi dan industri jamu untuk menyisihkan dana
penelitian bersama, dikumpulkan dan dikelola oleh mereka sendiri atau suatu lembaga
netral yang didukung oleh pemerintah untuk tujuan tersebut mungkin bisa menjadi salah
solusinya. Di bidang farmasi dan bioteknologi kesehatan, dana bersama tersebut bisa
dimanfaat
untuk
pengembangan
kapabilitas
dan
kompetensi
penelitian
dan
pengembangan bahan baku obat dengan kemitraan global. Strategi dan kehati-hatian
dalam kemitraan global ini perlu kajian dan studi yang mendalam, sehingga benar-benar
lebih menguntungkan Indonesia di masa depan. Dengan demikian, kemitraan global
untuk pengembangan bahan baku obat memperoleh kemajuan yang berarti, sehingga
obat-obat esensial menjadi terjangkau bagi seluruh masyarakat, dan pelayanan kesehatan
di Indonesia menjadi lebih baik.
Perlunya Kemitraan Global
Indonesia perlu belajar dari Singapura. Dalam mengembangkan bahan baku obat,
Singapura
mengundang
pakar-pakar
internasional,
dan
mengundang
industri
(Marks, 2007). Adanya kerjasama antar institusi global akan mempermudah kunjungan
atau penukaran ilmuwan, mendukung diseminasi ilmu transnasional, pengembangan
kapasitas masing-masing ilmuwan dan institusi, saling tukar pengalaman dan
mengembangkan best practice dan benchmark sistem pengembangan atau prosedur,
benchmark komunitas ilmiah, pembagian dana untuk pengembangan infrastruktur,
sehingga peneliti mampu mengerjakan riset lebih efisien dengan prediksi ke depan lebih
baik dan penilaian yang lebih tepat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia dibagi menjadi lima kelompok, yaitu,
(a) inventarisasi sumber daya Indonesia yang potensial untuk pengembangan bahan baku
obat (b) pengembangan bahan baku obat berbasis bahan (c) pengembangan bahan baku
obat melalui sintesa kimia, (d) pengembangan bahan baku obat melalui bioteknologi dan
biomolekuler (e) teknologi sel punca
2. Keragaman lamum di teluk banten yaitu Cymodocea rotundata, cymodocea
serrulata,Enhalus accoroides,Halopila ovalis dan Thalassia hemprichii.
3. Jenis lamun yang paling berpotensi sebagai antibakteri secara berurutan adalah
Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Syringodiumisoetifolium, Cymodocea serrulata
dan Cymodocea rotundata
4. Strategi Pengelolaan sumber daya Lamun yaitu
a. Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
b. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
c. Pendekatan Kebijakan
d. Rehabilitasi Padang Lamun
DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M.H.1988. Pertumbuhan dan produksi lamun, Enhalus acoroides di rataan
terumbu di Pari Pulau Seribu.Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi,Budidaya,
Oseanografi,Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Azkab,M.H.1999.
Kecepatan
tumbuh
dan
produksi
lamun
dari
Teluk
Kuta,
Gufron & Kordi, 2011. Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan
Pengelolaan. Rineka Cipta Jakarta
Himnasurai Untama, 2012. Pengelolaan Padang Lamun. Blog Himpunan
Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himnasurai), Universitas
Antakusuma Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.