Anda di halaman 1dari 26

KERAGAMAN JENIS LAMUN SEBAGAI BAHAN BAKU FARMASI INDONESIA

YANG BERPOTENSI ALTERNATIF ANTIBAKTERI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Industri farmasi Cina berkembang dengan cepat, termasuk industri bahan baku
obat. Kalangan industri farmasi khawatir dengan skema pemberlakuan perdagangan
bebas dengan Cina Sedangkan, industri farmasi Indonesia berkembang sangat lamban,
dan masih sebatas industri formulasi obat, mengembangkan produk akhir dengan
mengandalkan keunggulan atau kesetaraannya dalam bioavailability/bioequivalent
(BA/BE). Untuk saat ini, hampir semua komponen produksi diimpor. Beberapa usaha
untuk mengganti dengan komponen lokal belum berhasil. Impor bahan baku obat dan
komponen pendukungnya yang digunakan sehari-hari lebih dari 90%, sedangkan bahan
pengepakan sekitar 50%..
Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia dibagi menjadi lima kelompok,
yaitu, (1) inventarisasi sumber daya Indonesia yang potensial untuk pengembangan bahan
baku obat (baik terrestrial maupun marine: mikroba, jamu, tumbuhan obat dan sumber
daya laut), (2) pengembangan bahan baku obat berbasis bahan alam (isolasi, elusidasi
struktur kimia, modifikasi struktur, scalling up dan lain-lain, uji efektivitas, keamanan,
farmakologi dan lain-lain), (3) pengembangan bahan baku obat melalui sintesa kimia, (4)
pengembangan bahan baku obat melalui bioteknologi dan biomolekuler (mengingat saat
ini 67% bahan baku obat yang dikembangkan berasal dari bidang ini), dan (5) teknologi
sel punca, untuk antisipasi ke depan secara jangka panjang.
Secara historis alam merupakan sumber bahan obat yang digunakan sampai
sekarang. Bahan baku tersebut dapat diperoleh dari tanaman darat maupun biota laut.
Menurut Van Soest (1994) kekayaan biota laut wilayah tropis 2-3 kali lebih besar
dibandingkan dengan wilayah subtropis dan yang wilayah beriklim dingin. Di hutan
tropis Indonesia sendiri terdapat 30.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah tersebut sekitar
9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, tetapi baru 200 yang telah dimanfaatkan sebagai

bahan baku pada industri obat tradisional. Faktanya Indonesia memiliki kekayaan
tanaman hayati terbesar di dunia setelah Brazil. Inventaris sumber daya Indonesia yang
potensial untuk pengembangan bahan baku obat salah satunya bersumber dari laut.
Laut tropis indonesia memiliki tiga ekosistem pesisir yang tidak terpisahkan baik
fungsi ataupun fisik, yaitu Ekosistem Lamun, Ekosistem Mangrove, serta Ekosistem
Terumbu Karang. Ekosistem lamun merupakan salah satu penyusun pantai yang memiliki
peranan penting dalam struktur ekologi wilayah pesisir, antara lain sebagai (1) produsen
primer di laut dangkal; (2) habitat hidup biota; (3) perangkap sedimen; dan (4) pendaur
zat hara (Azkab, 1999). Lamun juga diketahui memiliki potensi dimanfaatkan sebagai
bahan baku farmasi. Raja-Kannan et al. (2010) memaparkan Thalassia hemprichii
memiliki potensi bioaktif sebagai antioksidan dan mengandung senyawa golongan
fenolik. Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pamban, Tamil Madu, India diketahui
mengandung senyawa bioaktif potensial sebagai antibakteri, antifungi, antiprotozoa,
antiviral, antifertility, dan yang bahan obat-obatan yang berpengaruh pada sistem
cardiovascular (Laksmi et al., 2006). Sehubungan dengan peran ekologis dan potensi
pemanfaatan lamun yang luas, maka keberadaan lamun di suatu wilayah sangat penting
untuk diketahui dan dianalisis
B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai Untuk
Indonesia
2. Bagaimana keragaman lamun di teluk banten?
3. Bagaimana Pengujian ekstrak lamun sebagai sumber alternatif antibakteri?
4. Bagaimana peta jalan dan strategi Pengelolaan Sumberdaya Padang Lamun?
C. Tujuan
1. mengetahui Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai Untuk
Indonesia
2. mengetahui keragaman lamun di teluk banten?
3. mengetahui hasil Pengujian ekstrak lamun sebagai sumber alternatif antibakteri
4. mengetahui peta jalan dan strategi Pengelolaan Sumberdaya Padang Lamun
BAB II
PEMBAHASAN
A. Langkah-langkah Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai
Untuk Indonesia

Dalam Workshop Pengembangan Bahan Obat Berbasis Sumber Daya Lokal,


Kemenristek, 21 April 2010, Dr. Boen Setyawan, mengusulkan Pengembangan Bahan
Baku Obat di Indonesia dibagi menjadi lima kelompok, yaitu, (1) inventarisasi sumber
daya Indonesia yang potensial untuk pengembangan bahan baku obat (baik terrestrial
maupun marine: mikroba, jamu, tumbuhan obat dan sumber daya laut), (2)
pengembangan bahan baku obat berbasis bahan alam (isolasi, elusidasi struktur kimia,
modifikasi struktur, scalling up dan lain-lain, uji efektivitas, keamanan, farmakologi dan
lain-lain), (3) pengembangan bahan baku obat melalui sintesa kimia, (4) pengembangan
bahan baku obat melalui bioteknologi dan biomolekuler (mengingat saat ini 67% bahan
baku obat yang dikembangkan berasal dari bidang ini), dan (5) teknologi sel punca, untuk
antisipasi ke depan secara jangka panjang. Penelitian pengembangan bahan baku obat di
Indonesia didominasi oleh kegiatan pengembangan dari bahan alam (termasuk jamu),
sekitar 60% dari seluruh kegiatan pengembangan bahan baku obat di Indonesia (Kardono,
2003; Sparinga, 2010).
Untuk menemukan dan mengembangkan bahan baku obat, perlu ditempuh jalan
yang panjang dan biaya yang mahal. Pada saat ini, jarang ada perusahaan global yang
melakukan hal tersebut secara sendiri-sendiri, biasanya mereka melakukannya dalam
suatu kerangka kerjasama. Sedangkan un tuk Indonesia, perlu dibuat strategi untuk
menempuh kemitraan global, untuk melakukannya, harus ditentukan terlebih dahulu
langkah mana yang harus dilakukan untuk memulai kemitraan.
Dalam pengembangan dan penemuan obat baru, ada empat langkah utama, yaitu
(1) dari bahan alam dengan melakukan skrining (penapisan) untuk mencari komponen
bioaktif; (2) modifikasi struktur dari bahan obat yang sudah digunakan untuk
meningkatkan aktivitas atau mencari aktivitas baru; (3) dari bahan kimia sintesa dan
pemodelan hewan percobaan dengan melakukan penapisan skrining bahan-bahan kimia
terhadap penyakit (menggunakan pemodelan hewan percobaan) dan (4) dari pendekatan
modern desain obat dengan mendesain obat berbasis mekanisme fisiologi (Kardono,
2004).
Dalam penelitian dan pengembangan bahan baku obat, beberapa tahap biasanya
dilakukan. Mulai dari tahap kegiatan awal (primary stage), pre-klinis, dan klinis. Dalam
tahap kegiatan awal (primary stage), dimulai dengan kajian pustaka mengenai apa yang
akan dikembangkan, pasar dan sebagainya, penentuan target yang dituju, pengembangan

senyawa pengarah melalui desain obat baru dan sintesa serta penapisan bahan alam
bioaktif, evaluasi aktivitas biologi dan farmakologi dasar, penentuan metode evaluasi,
dan pemilihan kandidat obat baru.
Bagian penting dalam primary stage ini adalah bagaimana mempelajari hubungan
antara struktur obat dengan aktivitasnya (structure activity relationship/SAR) sehingga
pencarian senyawa aktif baru menjadi lebih terarah. Kegiatan SAR tersebut telah
memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular.
Tahap pre-klinis terutama ditujukan untuk kajian kemanjuran (efficacy) dan
keamanannya (safety). Kegiatannya meliputi farmakologi, evaluasi sifat-sifat fisiko
kimia, penentuan toksisitas akut dan sub-akut, penentuan farmakokinetik (adsorpsi,
distribusi, metabolisme, ekskresi/ADME), farmasetika dan pengembangan proses
produksi skala besar (mass production). Uji pre-klinis merupakan persyaratan uji untuk
calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan
percobaan, maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik), yang mempunyai empat
tahapan yang harus dilewati. Sebelum dilakukan pengujian pada manusia, harus diteliti
terlebih dahulu kelayakannya oleh komite etik yang didasarkan pada Deklarasi Helsinki.
Jelaslah, untuk bisa memasarkan bahan baku obat baru, jalan sangat panjang harus
ditempuh. Beberapa bidang ilmu perlu dikembangkan dan ditekuni untuk pengembangan
obat baru di Indonesia.
Pertama, adalah Biology Related Drug Discovery. Pengembangan bahan baku
obat dari genomik menuju proteomik yang meliputi ekspresi protein, sistem ekspresi,
kristalisasi protein, penentuan struktur tiga dimensi dari protein, dan penentuan active
site protein dan mekanisme kerja bahan baku obat pada protein.
Kedua adalah Chemistry Related Drug Discovery and Development, dengan
kegiatan inti bidang kimia medisinal. Langkah ini dimulai dari lead discovery, lead
optimation, chemical process development dan chemical synthesis & scaling up. Lead
discovery meliputi kegiatan medicinal chemistry, combinatorial chemistry, computational
chemistry, natural products isolation dan biocatalysis. Lead optimization meliputi
kegiatan medicinal chemistry, analytical chemistry dan separation chemistry dan

biocatalysis. Chemical process developement berkaitan dengan kegiatan analytical


chemistry, proces research & development, dan biocatalysis. Sedangkan chemical syntesis
dan scaling up mencakup kegiatan analytical chemistry, process research & development,
serta current GMP synthesis.
Kimia Medisinal atau Kimia Farmasetikal adalah disiplin ilmu yang berada pada
persimpangan antara ilmu kimia dan farmakologi yang terlibat dalam proses merancang,
mensintesis dan mengembangkan obat-obatan farmasi. Kimia medisinal terlibat dalam
proses identifikasi, sintesis dan pengembangan senyawa kimia baru yang cocok untuk
terapi. Disiplin ini juga mencakup studi tentang obat yang sudah ada, sifat biologisnya, dan
hubungan secara kuantitatif antara struktur-aktivitas (quantitative structure-activity
relationship, QSAR). Kimia Farmasetikal difokuskan pada aspek kualitas obat dan
bertujuan untuk menjamin fungsi produk obat-obatan. Kimia Medisinal adalah ilmu multi
disiplin yang menggabungkan kimia organik dengan biokimia, kimia komputasi,
farmakologi, pharmacognosy, biologi molekular, statistik, dan kimia fisik.
Dalam process of drug discovery (proses penemuan obat), langkah pertama
penemuan obat melibatkan proses identifikasi senyawa aktif baru, sering disebut "hit",
yang biasanya ditemukan melalui proses skrining dari banyak senyawa untuk mencari sifat
biologis yang diingini. Terdapat sejumlah pendekatan identifikasi terhadap hit, kebanyakan
teknik yang berhasil dipengaruhi oleh intuisi kimia dan biologi yang dikembangkan melalui
pelatihan kimia-biologis yang ketat. Sumber-sumber lain dari hits bisa berasal dari sumbersumber alam, seperti tanaman, hewan, atau jamur. Hit dapat juga berasal dari pustakapustaka kimia, seperti yang diperoleh melalui kimia kombinatorial atau koleksi lama
senyawa kimia yang diuji secara terus menerus terhadap target fisiologis senyawa yang
bersangkutan.
Langkah berikutnya, dalam proses penemuan obat, melibatkan proses modifikasi
kimia lebih lanjut untuk meningkatkan sifat-sifat biologis dan physiochemical dari calon
senyawa. Modifikasi kimia dapat meningkatkan sifat kemampuan dan ikatan geometri
(pharmacophore) afinitas dan farmakokinetiknya, bahkan reaktivitas dan stabilitas
selama degradasi metabolik senyawa tersebut.

Sejumlah metode telah memberikan kontribusi dalam memprediksi proses


metabolik secara kuantitatif. Hubungan kuantitatif struktur-aktivitas (QSAR) dari gugus
farmakofor memainkan peranan penting dalam menemukan senyawa penuntut (lead
compound), yang memperlihatkan potensi, selektivitas, farmakokinetik dan toksisitas
yang terbaik. QSAR yang terutama melibatkan kimia fisik dan tools docking molekular
(CoMFA dan CoMSIA), yang mengarah ke data hasil tabulasi serta persamaan pertama
dan kedua. Ada banyak teori, analisis yang paling relevan adalah analisis Hnsch yang
melibatkan parameter elektronik Hammett, parameter sterik dan parameter logP
(lipofilisitas). Langkah terakhir adalah Chemical Synthesis & Scale-up, yang menekankan
Research & Development Process serta Good Manufacturing Practice untuk sintesis,
untuk mempersiapkan senyawa penuntun (lead compound) terpilih, yang sesuai untuk
digunakan dalam uji klinis.
Langkah ini melibatkan proses optimalisasi rute sintetik untuk produksi secara
besar (masal), dan persiapan formulasi obat yang sesuai. Setelah langkah ini dilewati,
pengembangan berikutnya adalah riset klinis, yang meliputi pre-clinical testing
menggunakan hewan percobaan, dan empat fase clinical trial. Fase I, di mana calon
obat diuji pada sukarelawan sehat. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek
yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat tersebut pada manusia. Fase II, fase
di mana calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi terhadap penyakit yang
diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek
samping tidak ada/rendah atau tidak bersifat toksik. Fase III yang melibatkan kelompok
besar pasien, pada fase ini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat
pembanding yang sudah diketahui.
Selama dalam proses uji klinik, banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak
dapat digunakan. Hanya 1 dari 10.000 senyawa hasil sintesis yang diperbolehkan untuk
digunakan, mengingat efek samping dan risikonya lebih besar daripada manfaatnya atau
efek manfaatnya lebih kecil dibandingkan dengan obat yang sudah ada. Keputusan untuk
mengakui suatu obat baru dapat dipergunakan dilakukan oleh badan pengatur nasional,
untuk Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Fase terakhir adalah Fase IV,
yaitu fase di mana setelah obat dipasarkan, masih tetap dilakukan studi pasca pemasaran

(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, usia dan
ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan efek
jangka panjang dalam penggunaan obat tersebut. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi
masih ada kemungkinan obat ditarik dari perdagangan jika ternyata masih memiliki efek
yang membahayakan.
B. Keragaman Lamun di Teluk Banten
Habitat Lamun atau yang lebih di kenal dengan kata
s e a g r a s s merupakan habitat pantai yang sangat unik.dengan di tumbuhi oleh
lamun(golongan macrophyte) yang dapat beradaptasi dengan kondisi pantai yanglabil,
tumbuhan lamun memberikan amat sangat banyak fungsi ekologisbagi
organisma yang berasosiasi dengannya.
Gambar 1. Struktur Morfologi Tumbuhan Lamun secara Keseluruhan

Gambar 2. Padang Lamun dalam ekosistem Laut

Banyak organisme yangsecara ekologis dan biologis sangat tergantung


pada keberadaan lamun.Banyak orang awam mengenal kata seagrass sebagai
"rumput laut" yangkonotasinya ke arah seaweed. Namun jika dirunut lebih jauh
tentang keduatumbuhan ini akan sangat jauh perbedaanya. Sebagai tumbuhan
sejati,s e a g r a s s

merupakan

tumbuhan

yang

mempunyai

akar

(Ryzome dan serabut akar), bat ang, daun, bu nga dan beb erapa
s p e s i e s b e r b u a h . Berbeda dengan seaweed yang merupakan alga besar
(Macro-alga) yangtidak mempunyai akar, batang dan daun sejati.Sebagai
tumbuhan tingkatt i n g g i , s e a g r a s s m e m p u n y a i s i s t e m r e p r o d u k s i d a n
p e r t u m b u h a n y a n g khas
Keragaman jenis lamun tertinggi selama penelitian ditemukan di Pulau Tunda
(Tabel 1), dimana terdapat lima jenis lamun yang hidup bersama membentuk padang
lamun. Padang lamun yang ditemukan di Pulau Kalih terdiri dari dua jenis lamun, yaitu:
Enhalus acoroides dan Halophila ovalis, sedangkan penyusun padang lamun di Pulau
Panjang adalah jenis: Cymodocea serrulata dan Enhalus accoroides.

Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang ditemukan meluas di semua


lokasi pengambilan data lamun di Teluk Banten (Tabel 1). Enhalus acoroides memiliki
ciri yang sangat khas dan mudah dikenali secara visual, dengan ukuran panjang daun
mencapai 30 cm, lebar daun lebih dari 1 cm, serta rizhoma yang tebal dan memiliki tanda
garis hitam melingkar (Waycott, 2004). Enhalus acoroides umum ditemukan hidup pada
habitat perairan semi tertutup, tenang, dengan substrat yang padat, seperti di daerah teluk
dan lagoon (Den Hartog, 1970). Lamun jenis ini memiliki distribusi yang luas, dilaporkan
oleh Pratiwi (2010) ditemukan di perairan Teluk Lampung, Teluk Gilimanuk (Al-Hakim
& Wahyuni 2009), Kepulauan Seribu (Mardesyawati & Anggraeni, 2009), dan Pantai
Molas, Manado (Maabuat et al., 2012).
Terdapat lima jenis lamun yang dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik
di perairan Teluk Banten, yaitu Cymodocea rotundata, Cymodoceaa serrulata, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, dan Thalassia hemprichii. Kelima jenis lamun tersebut
tergolong dalam empat genus berbeda, serta dua famili yang berbeda pula. Genus
Enhalus, Thalassia, dan Halophila termasuk dalam Famili Hydrocharitaceae, dan genus
Cymodocea masuk dalam Famili Cymodocaceae. Hasil penelitian menunjukkan 5 dari 12
(42%) jenis lamun di Indonesia dapat ditemukan di Teluk Banten (Tabel 2).

Dari perbandingan jenis lamun yang ada di Indonesia, Teluk Gilimanuk, Teluk
Lampung, dan Teluk Banten, terlihat bahwa kelima jenis lamun yang ditemukan saat
penelitian memiliki penyebaran yang luas. Keragaman jenis lamun yang ditemukan di
Teluk Banten lebih rendah dari keragaman jenis lamun yang ditemukan di Teluk
Gilimanuk (Al-Hakim & Wahyuni, 2009) dan Teluk Lampung (Pratiwi, 2010).
C. Pengujian ekstrak lamun sebagai sumber alternatif antibakteri
1) Ekstrak lamun
Ekstrasi lamun dengan pelarut organik berdasarkan pada sifat kepolaran zat
dalam pelarut pada saat ekstraksi. Zat-zat polar yang terkandung dalam lamun hanya larut
pada pelarut polar, yaitu air, etanol,metanol dan butanol, sedangkan zat-zat yang nonpolar
akan larut dalam pelarut nonpolar, antara lain kloroform, heksan, eter (GRITTER et al.
1991).Jenis-jenis lamun yang diperoleh dari lapangan diproses seperti yangdijelaskan
pada bagian metodologi untuk mendapatkan ekstrak kasar dari masing-masing jenis
lamun.

Beberapa

faktor

yang

dapat

mempengaruhi jumlah perolehan bahan aktif yang diekstrak, yaitu kondisi alamiah dari b
ahan aktif, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel,kondisi dan waktu
penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut terhadap

2) jumlah sampel.
Berdasarkan proses ekstraksi yang dilakukan diperoleh 4 jenis ekstrak yang terdiri
dari ekstrak metanol (Me), ekstrak etil asetat (Ea), ekstrak kloroform (Cl) dan ekstrak
heksan (Hx). Dari 10 jenis lamun yang diperoleh jumlah total ekstrak yang diperoleh untuk 4 jenis pelarut adalah methanol sebanyak 10 ekstrak, etil asetat 10 ekstrak, kloroform
10 ekstrak dan heksan8 ekstrak.
3) Uji Antibakteri
Berdasarkan morfologi yang dipelajari bahwa ada sekitar 80% bakterilaut
yang diketahui berbentuk batang dan bersifat gram negatif (ZOBELL Dalam SIDHARTA
2000). Pleomorfisme umum terjadi pada bakteri lautdibandingkan bakteri sungai, danau,
dan

tanah.

Sekitar

seperlima

bakteri batang dari laut berbentuk kumparan

helicoid ,sehingga seringdiklasifikasikan sebagai Vibrio atau spirillum .Bakteri laut


bergerak

secaraaktif,

flagel.Diperkirakan

antara

75-85%

kemampuan

sediaan

bergerak

murni
ini

yang
sebagai

diamati

memiliki

hasil

adaptasi

kehidupan perairan. Jenis-jenis Pseudomonas, Vibrio, Flavobacterium, Achromobacter,


Dan Bacterium merupakan jenis terbanyak yang dijumpai di laut(SIDHARTA
2000).Bakteri akan membentuk lapisan film, yang pada keadaan tertentumenjadi pelapis
luar cat antifouling ,sehingga tidak berpengaruh terhadaporganisme fouling. Secara
perlahan bakteri akan merombak senyawa penyusun pelapis atau cat. Di sisi lain, bakteri
juga mencegah organisme lainyang lebih besar untuk tinggal bersama melalui antibiotik
yang dihasilkannya(SIDHARTA 2000).
Ekstrak lamun yang dihasilkan diuji terhadap bakteri gram (+) dangram (-).
Bakteri uji untuk bakteri gram (+) adalah Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus
sedangkan untuk bakteri gram (-) adalah Vibrioharveyii , Pseudomonas aeruginosa
, Aeromonas hydrophila.Hasil pengujian ekstrak lamun terhadap lima bakteri yang
diujikan menunjukkan bahwaekstrak lamun mampu menghambat pertumbuhan bakteri
dengan tingkatanyang berbeda-beda.

Tabel 3. Hasil Uji Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat,Kloroform dan Hexan

4) Hasil uji antibakteri


Berdasarkan

hasil

pengujian

antibakteri

(tahap

I,II,

dan

III)

tampak bahwa ekstrak nonpolar (kloroform dan heksan) memiliki kemampuan sebagai a
ntibak-teri lebih dominann dibandingkan dengan ekstrak semipolar (etil asetat) dan polar
(metanol). Hal tersebut kemungkinan terjadi karenakandungan bahan aktif antibakteri
dari masing-masing sampel yang diujicenderung bersifat nonpolar. Sifat kandungan
bahan aktif dapat dijelaskan apabila bahan aktif yang berperan sebagai antibakteri
tersebut dipisahkan dandiisolasi. Tehnik pemisahan dan isolasi zat aktif dari ekstrak
lamun

dapatdilakukan

dengan

menggunakan

beberapa

analisa

yang

umum

digunakan,seperti kromatografi lapis tipis.

Berdasarkan hasil kegiatan penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik


kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada 8 jenis lamun yang menunjukkan aktifitas sebagai antibakteri,


2. Jenis lamun yaitu Enhalus acroides tidak menunjukkan aktifitas sebagai
antibakteri.
3. Jenis lamun yang paling berpotensi sebagai antibakteri secara berurutan
adalah Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Syringodiumisoetifolium,
Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata
4. Hasil ekstrak dari masing-masing jenis lamun yang paling dominan
menunjukkan aktifitas sebagai antibakteri adalah ekstrak nonpolar, yaitu
heksan dan kloroform.
5. Hasil ekstrak yang menunjukkan aktifitas clear zone (zona hambat) paling
besar adalah ekstrak dengan pelarut heksan.
6. Bakteri uji yang berhasil dihambat oleh ekstrak lamun (metanol, etilasetat,
kloroform dan heksan) secara berurutan adalah Bacillus subtilis, Vibrio
harveyii, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeroginosa dan Aeromonas
hydrophila (Arlyzha,Irma S.,2008)
D. Peta Jalan dan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Padang Lamun

Strategi
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat
kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat
akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar

kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai
kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya
bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya
alam diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat
sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu,
persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada
cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam
konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah
pengelolaan berbasis masyakarakat (Community Based Management). Raharjo (1996)
mengemukakan bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan
langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam
konteks ini pula perlu diperhatikan mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di
suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber
daya alam pesisir adalah dekstrusi masayakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh
karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya
adalah untuk mangurangi tekanan terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di
kawasan tersebut.
1.

Pengelolaan Berwawasan Lingkungan


Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang

berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan


kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang
merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh.Perencanaan
dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat
dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu
pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu


strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimanan pusat
pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu
daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah
tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base
management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab,
dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan
terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya
(Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah comanagement (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat
lokal

secara

aktif

pengelolaan.Pengelolaan

dalam

kegiatan

berbasis

perencanaan

masyarakat

berawal

dan

pelaksanaan

suatu

dari

pemahaman

bahwa

masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan


mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah
dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhannya.
Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa
masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat
dalam hal pengambilan keputusan.Demikian pula dalam pelaksanaan suatu kegiatan,
dukungan pemerintah masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan,
bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah disepakati bersama. Sebaliknya, bila
tidak ada dukungan partisipasi masyarakat terhadap program yang sudah direncanakan
oleh pemerintah, maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan
masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal
kegiatan.
Konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik
kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep

Cooperative Management (Pomeroy dan Williams, 1994).Dalam konsep Cooperative


Management, ada dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh
pemerintah (goverment centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat (community based management). Dalam konsep ini masyarakat lokal
merupakan partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya
dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan
salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek
pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara
langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut.Tidak ada pengelolaan
sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal
sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut.
Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa ada dua komponen penting
keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat, yaitu: (1) konsensus yang jelas dari tiga
pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan peneliti (sosial, ekonomi, dan
sumberdaya), dan (2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama
akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan
berbasis masyarakat.
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif (Carter,
1996), yaitu: (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang
spesifik, (3) mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsif dan
adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal, (5) mampu
meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu
menumbuhkan stabilitas dan komitmen, dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk
mengelola secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun pada dasarnya adalah suatu proses
pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan
secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat
permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yang menyangkut

berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan
sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait.
Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya
disebabkan oleh masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya
dijadikan sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program
pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh
atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya
menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak
mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis masyarakat ini, yang
dimaksud dengan masyarakat adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung
maupun tak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun,
diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan
peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt
dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada
masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan
ekologi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis
masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan,
sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya.
Pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan
utama, yaitu: (1) masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan
tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) masalah lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang
lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air,
pencemaran).
3. Pendekatan Kebijakan

Perumusan kebijaksanaan pengelolaan ekosistem padang lamun memerlukan


suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara optimal dan berkelanjutan melalui
pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan ini mengacu kepada pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran
pemanfaatan, serta merencanakan kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang
lamun secara terpadu mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis;
(2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholders
(pemakai).
4. Rehabilitasi Padang Lamun
Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguaun
utama dari aktivitas manusia maka untuk merehabilitasinya dapat dilakukan melalui dua
pendekatan: yakni ; 1) Rehabiltasi lunak (soft Rehabilitation), dan 2) rehabilitasi keras
(Hard Rehabilitation)
a) Rehabilitasi lunak
Rehabilitasi lunak lebih

menekankan

pada

pengendalian

perilaku

manusia.Rehabilitasi lunak mencakup hal-hal sebagai berikut:


1)

Kebijakan dan strategi pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan diperlukan


kebijakan dan strategi yan jelas untuk menjadi acuan pelaksanaan oleh para

2)

pemangku kepentingan ( stake holdes).


Penyadaran masyarakat (Public awareness). Penyadaran masyarakat dapa

3)

dilaksanakan dengan berbagai pendekatan.


Pendidikan. Pendidikan mengenai lingkungan termasuk pentingnya melestarikan
lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan lewat jalan pendidikan

4)

formal dan non-formal.


Pengembangan riset.Riset diperlukan untukmendapatkan informasi yang akurat

5)

untuk mendasari pengambilan Keputusan dalam pengelolaan lingkungan.


Mata pencaharian yang alternatif. Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk
mengembangkan mata pencarian alternatif yang ramah lingkungan yang dapat
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera akan
lebih mudah diajak untuk menghargai dan melindungi lingkungan.

6)

Pengikut

sertaan

masyarakat. Pertisipasi masyrakat dalam berbagai

kegiatan lingkungan apat memberi motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin
keberlanjutanya.Kegiaan bersih pantai dan pengelolaan sampah misalnya
7)

merupakan bagian dari kegiatan ini.


Pengembangan Daerah Pelindungan Padang Lamun (segrass sanctuary)be
rbasis masyarakat. Daerah perlidungan padang lamun merupakan bank sumberdaya

8)

yang dapat lebih menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang.
Peraturan perundangan.Pengembangan peraturan perundangan perlu
dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan
masyarakat luas.Keberadaan hukum adat, serta kebiasaan masyarakat lokal perlu

9)

dihargai dan dikembangkan.


Penegakan huku secara konsisten. Segala peraturan perundangan tidak akan ada
dimankan bila tidak ada ditegakan secara konsisten. Lembaga-lembaga yang terkait
dengan penegakan hukum perlu diperkuat, termasuk lembaga-lembaga adat.

b) Rehabilitasi Keras
Rehabiltasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan dilapangan.Ini
dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi
lamun dilingkungan yang perlu direhabilitasi.Kegiatan transplantasi lamun di
Indonesia belum berkembang luas.Berbagai percobaan transplantasi lamun telah
dilaksanakanoleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPIyang masih dalam taraf awal.
Pengembangan transplantasi lamun telah dilaksanakan diluar negeri dengan berbagai
tingkat keberhasilan, (Himnasurai Untama, 2012)
Strategi Nasional dalam Mengembangkan Industri Farmasi di Indonesia
Penelitian

dan

pengembangan

ditentukan

untuk

mempertahankan

dan

mengembangkan industri farmasi, dan kemudian menyediakan kebutuhan obat bagi


masyarakat dengan harga terjangkau. Pemerintah perlu menyediakan dana untuk rencana
pengembangan indusri obat generik, alam dan obat (ISFI, 1997).

Iuran dana (seed

funding) untuk riset bagi industri itu sendiri bisa dikembangkan dan hasil penelitian
dikembalikan ke industri.
Strategi Jangka Panjang
Dalam produksi domestik substansi dasar obat pengembangan bahan baku obat,

telah dilakukan pemeriksaan terhadap berbagai jenis bahan dasar yang dibutuhkan oleh
industri farmasi dan persyaratan yang relatif kecil terutama bagi kebutuhan lokal mereka.
Oleh karena itu, pembenahan ekonomi untuk memproduksi bahan dasar lokal mencapai
skala ekonomi yang jelas menjadi sangat sulit.
Namun, dari sudut pandang sosial politik, kemampuan untuk kemandirian di
bidang industri obat bahan dasar tentu akan meningkatkan stamina bangsa terutama
dalam krisis seperti saat ini. Perintis produksi bahan baku lokal perlu didorong dengan
memperhatikan pemilihan jenis bahan dasar dengan menggunakan kriteria yang
berspektrum kebutuhan cukup lebar sehingga mempunyai kemampuan untuk investasi
serta bahan dasar tersebut dapat dipasarkan, setidaknya regional, sehingga diperoleh
deviden dari ekspor bahan dasar dan dapat memenuhi kebutuhan impor bahan dasar
lainnya yang belum dapat diproduksi secara lokal.
Bahan awal dari bahan dasar tersebut mudah diperoleh dan ditemukan dalam
jumlah besar di Indonesia. Pemilihan bahan dasar yang dapat diproduksi melalui proses
fermentasi atau bioteknologi dengan investasi lebih murah dengan ketergantungan pada
produk antara industri hulu relatif kecil. Meskipun kesadaran akan pentingnya Hak atas
Kekayaan Intelektual di Indonesia yang sudah cukup tinggi, tetapi untuk itu penanganan
suatu produk farmasi untuk paten harus lebih kreatif. Misalnya, menciptakan produk obat
dengan kombinasi baru, suatu sistem drug delivery baru atau obat dengan bioavailability
yang lebih baik.
Disamping itu, perlu dipertahankan suasana kondusif agar secara bertahap industri
farmasi Indonesia mampu menjaga orisinalitas mereka dengan melakukan penelitian di
hulu. Dengan melakukan kerjasama dengan industri multinasional dalam proyek global
dapat menjaga hal tersebut (ISFI, 1997, Kardono, 2004).
Perlu diketahui bahwa meskipun anggaran riset di Indonesia jauh lebih kecil dari
negara maju atau jauh lebih kecil dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan
Thailand, namun efektivitas paten yang dihasilkan sangat baik. Hasil analisa WPO
(Word Patent Office), Geneva, para peneliti Indonesia relatif sangat efisien dalam
kaitannya antara paten dengan dana riset. Dengan dana penelitian sangat kecil per tahun
(tidak lebih dari 10 ribu US $), para peneliti Indonesia sudah mampu menghasilkan satu
paten, meskipun masih paten nasional, belum internasional (Aiman, 2010).

Meskipun pengembangan bahan baku obat dari bahan alam secara global
mengalami penurunan, tetapi pengembangan bahan baku obat dari bahan alam Indonesia
mempunyai prospek yang baik.

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan

kearifan lokal. Pemanfaatan dan pengembangannya masih terus dilakukan dan bahkan
dikombinasi atau banyak dipengaruhi oleh pengembangan di negara besar lainnya, seperti
Cina dan India. Saat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka,
tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi diperlukan untuk
uji keamanan dan efektivitas jamu.
Upaya holistik perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Hal ini tidak hanya dalam medium dan infrastruktur, tetapi juga sumber daya
manusianya. Jumlah dokter perlu ditingkatkan untuk mencapai rasio yang ideal di
Indonesia, yaitu sekitar 1:1.300. Sistem distribusi obat perlu diperbaiki, sehingga
pengembangan obat-obatan dapat mencapai orang-orang di pedesaan. Kebijakan industri
kimia terpadu, sehingga industri yang satu dapat membantu industri yang lain. Sebagai
contoh, bahan kimia dari industri hulu mendukung industri hilir, termasuk industri
farmasi.
Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, dengan jumlah
penduduk lebih dari 230 juta, industri jamu lebih memanfaatkan sumberdaya lokal dan
pasar domestik. Namun, sampai saat ini penggunaan jamu dalam sistem kesehatan
nasional belum menjadi sistem pelayanan kesehatan formal, masih bersifat toleran. Dan
tahun 2009-2010 ini, Kementrian Kesehatan mencangankan Program Saintifikasi Jamu,
yang ditujukan untuk lebih meningkatkan pemanfaatan jamu bagi pelayanan kesehatan.
Pendekatannya memanfaatkan jamu untuk pelayanan kesehatan terlebih dahulu,
sambil memperkuat dukungan ilmiahnya. Hal tersebut merupakan paradigma baru untuk
saintifikasi jamu dengan pengembangan berbasis pelayanan kesehatan, tetapi karena
masih bersifat penelitian, perkembangannya kemungkinan akan lambat. Dengan
berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), Indonesia perlu khawatir
terhadap perlindungan industri jamu Indonesia, dan memberikan bantuan supaya industri
jamu Indonesia mampu bersaing dengan produk China atau produk negara-negara
ASEAN lainnya, untuk menjaga pamornya di negeri sendiri (Kardono, 2009).
Salah satu usulan bagi industri farmasi dan industri jamu untuk menyisihkan dana

penelitian bersama, dikumpulkan dan dikelola oleh mereka sendiri atau suatu lembaga
netral yang didukung oleh pemerintah untuk tujuan tersebut mungkin bisa menjadi salah
solusinya. Di bidang farmasi dan bioteknologi kesehatan, dana bersama tersebut bisa
dimanfaat

untuk

pengembangan

kapabilitas

dan

kompetensi

penelitian

dan

pengembangan bahan baku obat dengan kemitraan global. Strategi dan kehati-hatian
dalam kemitraan global ini perlu kajian dan studi yang mendalam, sehingga benar-benar
lebih menguntungkan Indonesia di masa depan. Dengan demikian, kemitraan global
untuk pengembangan bahan baku obat memperoleh kemajuan yang berarti, sehingga
obat-obat esensial menjadi terjangkau bagi seluruh masyarakat, dan pelayanan kesehatan
di Indonesia menjadi lebih baik.
Perlunya Kemitraan Global
Indonesia perlu belajar dari Singapura. Dalam mengembangkan bahan baku obat,
Singapura

mengundang

pakar-pakar

internasional,

dan

mengundang

industri

multinasional untuk bekerjasama, yang sebagian investasinya berasal dari Singapura.


Salah satu institusi riset yang lahir seperti ini adalah Merlion Pharma, yang
mengembangkan bahan baku obat dari sumber daya alam, dan berawal dari Glaxo.
Awalnya mengembangkan secara bersama, kemudian Singapura mengembangkan sendiri
dengan komitmen yang sangat kuat. Negara yang sudah maju saja perlu kemitraan
global, demikian juga seharusnya Indonesia.
Secara klasik, masing-masing individu peneliti mengembangkan ilmunya antara
lain berdasarkan referensi hasil penelitian berbasis hasil peneliti lain melalui jurnal,
pertemuan-pertemuan ilmiah, konferensi, pengembangan kapasitas peneliti, sarana
prasarana yang mendukungnya. Namun, perlu dicatat bahwa perubahan ilmu mewajibkan
adanya kemitraan global, seberti mapping genomik global, yang memerlukan masukan
atau input dari banyak ilmuwan di dunia secara koheren, sehingga menciptakan peluang
baru yang saling menjembatani, sehingga para peneliti bisa saling mendengarkan, saling
tukar pengalaman, dan saling bisa memprediksi kebutuhan ke depan.
Jelaslah bahwa kemitraan global seperti ini strategis, melihat ke depan, membina
jaringan baik instansi maupun individu ilmuwannya, sehingga bisa menciptakan program
riset bersama, berkoordinasi dan saling berbagi dalam pendanaannya. Kerjasama seperti
ini akan memberi keuntungan atau mengurangi hambatan untuk implementasi hasil riset

(Marks, 2007). Adanya kerjasama antar institusi global akan mempermudah kunjungan
atau penukaran ilmuwan, mendukung diseminasi ilmu transnasional, pengembangan
kapasitas masing-masing ilmuwan dan institusi, saling tukar pengalaman dan
mengembangkan best practice dan benchmark sistem pengembangan atau prosedur,
benchmark komunitas ilmiah, pembagian dana untuk pengembangan infrastruktur,
sehingga peneliti mampu mengerjakan riset lebih efisien dengan prediksi ke depan lebih
baik dan penilaian yang lebih tepat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia dibagi menjadi lima kelompok, yaitu,
(a) inventarisasi sumber daya Indonesia yang potensial untuk pengembangan bahan baku
obat (b) pengembangan bahan baku obat berbasis bahan (c) pengembangan bahan baku
obat melalui sintesa kimia, (d) pengembangan bahan baku obat melalui bioteknologi dan
biomolekuler (e) teknologi sel punca
2. Keragaman lamum di teluk banten yaitu Cymodocea rotundata, cymodocea
serrulata,Enhalus accoroides,Halopila ovalis dan Thalassia hemprichii.

3. Jenis lamun yang paling berpotensi sebagai antibakteri secara berurutan adalah
Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Syringodiumisoetifolium, Cymodocea serrulata
dan Cymodocea rotundata
4. Strategi Pengelolaan sumber daya Lamun yaitu
a. Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
b. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
c. Pendekatan Kebijakan
d. Rehabilitasi Padang Lamun

DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M.H.1988. Pertumbuhan dan produksi lamun, Enhalus acoroides di rataan
terumbu di Pari Pulau Seribu.Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi,Budidaya,
Oseanografi,Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Azkab,M.H.1999.

Kecepatan

tumbuh

dan

produksi

lamun

dari

Teluk

Kuta,

Lombok.Dalam:P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di


Pulau Lombok, Balitbang Biologi Laut, PustlibangBiologi Laut-LIPI, Jakarta.
Azkab,M.H. 1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Dahuri, dkk. 2001. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.

Gufron & Kordi, 2011. Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan
Pengelolaan. Rineka Cipta Jakarta
Himnasurai Untama, 2012. Pengelolaan Padang Lamun. Blog Himpunan
Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himnasurai), Universitas
Antakusuma Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Anda mungkin juga menyukai