Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu
atau beberapa penyakit, yang merupakan manifestasi dari
lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron
otak oleh karena terganggu fungsinya.
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang
harus

segera

diatasi.

Kejang

didefinisikan

sebagai

gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat


sebagai kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal,
kelainan

prilaku,

gangguan

sensoris,

atau

disfungsi

autonom.1,2 Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada


suhu

badan

yang

tinggi,

disebabkan

oleh

kelainan

ekstrakranial.
Serangan kejang demam pada anak yang satu
dengan yang lain tidak sama, tergantung dari nilai ambang
kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada anak
harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi
pada kasus kejang yang berlangsung lama dan berulang.
Karena

keterlambatan

mengakibatkan

gejala

dan

kesalahan

sisa

pada

prosedur

anak

atau

akan

bahkan

menyebabkan kematian.
Jumlah

penderita

kejang

demam

diperkirakan

mencapai 2-4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika


Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah
penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus

ditangani lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita,


kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak lakilaki. Penderita umumnya memiliki riwayat keluarga (orang
tua atau saudarakandung) penderita kejang demam.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.1
Kejang

demam

berdasarkan

definisi

dari

The

International League Againts Epilepsy (Commision on


Epidemiology

and

Prognosis)

adalah

kejang

yang

disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4oC tanpa


adanya

infeksi

susunan

saraf

pusat

atau

gangguan

elektrolit akut pada anak berusia diatas 1 bulan tanpa


riwayat kejang sebelumnya.1,2
2.2 Epidemiologi
Kejang demam pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5
tahun.2

Anak

yang

pernah

mengalami

kejang

tanpa

demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk


kedalam kejang demam.3 Kejang disertai demam pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang
demam.3 Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam.2,3
2.3 Klasifikasi
Menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal
Project, Klasifikasi kejang demam yaitu :

1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)


Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang
berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan
atau klonik, tanpa gerakan foka. Kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan
80% diantara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex Febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :
Kejang lama > 15 menit
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum

didahului kejang parsial.


Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih

dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan


diantara bangkitan kejang anak tidar sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam.4,5
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau
kejang

umum

yang

didahului

kejang

parsial.

Kejang

berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,


diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang
demam.6
2.4 Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan
muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau
depolarisasi

otak

yang

mengakibatkan

berulang.

Terjadinya

depolarisasi

masuknya

natrium

dan

keluarnya

kalium

melalui

pada

depolarisasi
membran

gerakan
syaraf

yang
akibat

terjadi

karena

sel.

Untuk

mempertahankan potensial membran memerlukan energi

yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme


pompa yaitu keluar nya natrium dan masuk nya kalium.2,7,8
Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling
tidak akibat beberapa hal:
1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan
mekanisme pompa natrium dan kalium. Hipoksemia dan
mengakibatkan penurunan yang tajam produksi energi.
2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmitter
dapat

mengakibatkan

kecepatan

depolarisasi

yang

berlebihan.2,9
Perubahan

fisiologis

selama

kejang

berupa

penurunan yang tajam kadar glukosa otak dibanding kadar


glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai
peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukan mekanisme
transportasi

pada

otak

tidak

dapat

mengimbangi

peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen dan


aliran

darah

otak

juga

meningkat

untuk

mencukupi

kebutuhan oksigen dan glukos. Laktat terakumulasi selama


terjadi kejang dan PH arteri sangat menurun. Tekanan
darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik. Efek
dramatis jangka pendek ini diikuti oleh penurunan struktur
sel dan hubungan sinaptik.2,9
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe
karena keadaan anatomi dan fisiologi pada masa perinatal
yang sebagai berikut:
Keadaan anatomi susunan saraf pusat perinatal:

Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang

masih dalam proses pertumbuhan


Sinaptogenesis belum sempurna

Mielinisasi pada sistem efferent di cortical


belum lengkap

Keadaan fisiologis perinatal:

Sinaps

inhibisi
Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur
Inhibisi kejang oleh sistem substansia nigra

exitatori

berkembang

mendahulaui

belum berkembang

Tabel 1. Mekanisme penyebab kejang pada BBL

Kemungkinan Penyebab
Kelainan
Kegagalan
mekanisme Hipoksemi-Iskemik,
pompa Natrium dan Kalium Hipoglikemia
akibat penurunan ATP
Eksitasi
neurotransmitter Hipoksemi-Iskemik,
yang berlebihan
Penurunan

Hipoglikemia
inhibisi Ketergantungan

neurotransmitter
piridoksin
Kelainan membran sel yang Hipokalsemia
mengakibatkan

kenaikan

permeabilitas Natrium
2.5 Gejala Klinis
Umumnya

kejang

demam

berlangsung

singkat,

berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral.


Seringkali kejang berhenti sendiri, setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak. Tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan
sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam
diikuti hemiparesis sementara (Hemiparesis Tood) yang
berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral
yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering
terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang
dalam 24 jam ditemukan pada 16% pasien.10,11
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang
cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam)
mencapai 39oC atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh,
tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti
dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang
demam

yang

menetap

lebih

lama

dari

15

menit

menunjukan penyebab organik seperti proses infeksi atau


toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.12
2.6 Diagnosis
Beberapa

dapat

mengarahkan

untuk

dapat

menentukan diagnosis kejang demam antara lain:4,11,13


1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasiyang dapat
mendukung diagnosis kearah kejang demam seperti:
Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran,
lama kejang, suhu sebelum dan saat kejan, frekuensi,
interval

pasca

kejang,

penyebab

demam

diluar

susunan saraf pusat.


Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang
demam seperti genetik, menderita penyakit tertentu
yang

disertai

demam

tinggi,

serangan

kejang

pertama disertai suhu dibawah 39oC.


Beberapa faktor yang mempengaruhi kejang demam
berulang adalah usia <15 bulan saat kejang demam
pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga,
kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah
relatif normal, riwayat demam yang serin, kejang

demam pertamaberupa kejang demam kompleks.


2. Gambaran klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang
demam adalah:
Suhu tubuh mencapai 39oC
Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik,
tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak
menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung jenis

kejang
Kulit pucat dan mungkin menjadi biru
Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu
sadar

2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.7.1. Pemeriksaan Laboratorium13
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara
rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai
demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya daraf perifer, elektrolit dan gula darah.
2.7.2 Pungsi Lumbal
Pemeriksaan

cairan

serebrospinal

dilakukan

untuk

menegakan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.


Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau
menyingkirkan

diagnosis

meningitis

karena

manifestasi

klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan


pada:2,9
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi >18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu
dilakukan pungsi lumbal.
2.7.3 Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan

EEG

tidak

dapat

memprediksi

berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan


kejadian

epilepsi

pada

pasien

kejang

demam.

Oleh

dilakukan

pada

karenanya tidak direkomendasikan.


Pemeriksaan

EEG

masih

dapat

keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang

demam pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang


demam fokal.
2.7.4 Pencitraan
Foto X-ray kepala dan CT-Scan atau MRI jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:11
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap
(hemiparesis)
2. Paresis Nervus VI
3. Papiledema

2.8 Penatalaksanaan
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan
pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila
datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5
mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit
atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20
mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua
dirumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal
adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10kg dan 10mg
untuk berat badan lebih dari 10kg. Atau diazepam rektal
dengan dosis 5mg untuk anak usia dibawah 8 tahun atau
dosis 7,5mg untuk anak usia diatas 3 tahun.15,16
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum
berhenti, dapat diulangi dengan cara dan dosis yang sama

10

dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali


pemberian diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke
RS. Di RS dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti
diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 1020

mg/kg/kali

dengan

kecepatan

1mg/kg/menit

atau

kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis


selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka
pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang telah
berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya.
1. Pemberian obat pada saat demam
a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik
mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun
para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis paracetamol yang diberikan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali
diberikan

3-4

asetilsalisilat

kali
dapat

sehari.

Meskipun

menyebabkan

jarang,

asam

sindrom

Reye

terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga


penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.18
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam
pada saat demam menurunkan risiko berulangnya
kejang pada 30% - 60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap jam pada suhu

11

>38,5oC . dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan


ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 2539% kasus.18
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat
demam

tidak

berguna

untuk

mencegah

kejang

demam.17
2. Pemberian obat rumat
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan obat rumat hanya diberikan apabila kejang
demam menunjukan ciri sebagi berikut :
Kejang lama >15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum
atau

sesudah

kejang,

misalnya

hemiparesis,

paresis Todd, cereberal palsy, retardasi mental,

hidrosefalus.
Kejang fokal
Pengobatan rumat di pertimbangkan bila:2,23
a) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam
24 jam
b) Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari
12 bulan
c) Kejang demam >4 kali pertahun

12

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam


>15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan
neurologis

tidak

perkembangan

nyata

ringan

misalnya

bukan

keterlambatan

merupakan

indikasi

pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum


menunjukan bahwa anak mempunyai fokus organik.
b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap
hari

efektif

dalam

menurunkan

risiko

berulangnya

kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam


tidak

berbahaya

dan

penggunaan

obat

dapat

menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat


hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam
jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada
sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang
dari

tahun

asam

valproat

dapat

menyebabkan

gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40


mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg
per hari dalam 1-2 dosis.5,7,10
c. Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang,
kemudian

dihentikan

secara

bertahap

selama

1-2

bulan.5.17
3. Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan
bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua
beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan
ini harus dikurangi dengan cara diantaranya:

13

a. Meyakinkan

bahwa

kejang

demam

umumnya

mempunyai prognosis baik


b. Memberitahukan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang
efektif tetapi harus diingat dan efek samping obat
2.9 Prognosis
a) Kemungkinan

mengalami

kecacatan

atau

kelainan

neurologis.
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam
tidak

pernah

dilaporkan

perkembangan

mental

dan

neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang


sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif
melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang
lama atau kejang berulang berulang baik umum atau fokal.
b) Kemungkinan mengalami kematian
c) Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian
kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila

seluruh

faktor

di

atas

ada,

kemungkinan

berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila


tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang

demam.

Hanya

10%-15%.

Kemungkinan

berulangnya kejang demam paling besar pada tahun


pertama.5,15

14

BAB III
KESIMPULAN
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencangkup
tiga hal:
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas
dan memantau fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam
intravena atau rectal merupakan obat pilihan utama,
oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika
tidak ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan
intramuskular ataupun yang lebih praktis midazolam
intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan
pemeriksaan pungsi lumbal pada saat pertama sekali
kejang demam. Fungsi lumbal juga dianjurkan pada
anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis
sulit ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang
lain dilakukan sesuai indikasi.
3. Pengobatan profilaksis
a. Intermittent : anti konvulsan segera diberikan pada
waktu pasien demam (suhu rektal >38,5oC) dengan
menggunakan

diazepam

oral/rektal,

klonazepam

atau kloralhidrat supositoria.


b. Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital
atau asam valproat tiap hari untuk
berulangnya

kejang

demam.

mencegah

Pemberian

obaat-

obatan untuk penatalaksanaan kejang demam pada


anak,

harus

dipertimbangkan

antara

khasiat

terapeutik obat dan efek sampingnya.

15

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Ismael, S. KPPIK-XI, 1983; Soetomenggolo TS. Buku Ajar
Neurologi Anak 1999.
2. Nelson KB dan Ellenberg JH. Prognosis in children with
febrile seizure. Pediatr 1978; 61: 720-7.
3. Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. Factors
prognostic of unprovoked seizures after febrile convulcions.
NEJM 1987; 316:493-8.
4. Shinnar S. Febrile seizures Dalam: Swaiman KS, Ashwal
S,eds. Pedriatic Neurology principles and practice. St Lois:
Mosby 1999. h. 676-82.
5. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile
Convulsions. HK J Paediatr 2002; 7: 143-151.
6. Dieckman J. Rectal diazepam for prehospital

status

epilepticus. An Emerg Med 1994; 23: 216-24.


7. Knudsen FU. Practical management approaches to simple
and complex febrile seizures. Dalam: Baram TZ, Shinnar S,
eds, Febrile seizures. San Diego: Academic Press 2002. h.
1-20.
8. Soetomenggolo TS. Buku ajar neurologi anak. 1999
9. Fukuyama Y,dkk. Practical guidelines for physician in the
management of febrile seizures. Brain Dev 1996; 18: 479484.
10.
Camfield PR, dkk. The first febrile seizure-antipyretic
instruction plus either phenobarbital or placebo to prevent
recurrence. J Pediatr 1980; 97: 16-21.
11.
Uhari M, dkk. Effect of acetaminophen and of low
intermittent

doses

of

diazepam

on

prevention

of

recurrences of febrile seizure. J Pediatr 1995; 126: 991-5.


12.
Kesepakatan saraf anak, 2005.
13.
Rosman NP dkk. A controlled trial of diazepam
administered during febrile illneses to prevent recurrence
of febrile seizures. NEJM 1993; 329: 79-84.

17

14.

Zempsky

WT.

Pediatrics,

febrile

seizure.

Http//www.emedicine.com/emerg/topic 376.htm.
15.
Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile
seizure. Dalam: Baram TZ, Shinnar S, eds, febrile seizures,
San Diego: Academic Press 2002. h. 1-20.
16.
Hardiono D Pusponegoro, Dwi Putro Widodo, Sofyan
Ismael. 2009. Unit kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
17.
M. Sholeha Kosim, dkk. 2010. Buku ajar neonatalogi.
Cetakan kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan
penerbit IDAI.
18.
Knudsen FU. Intermitten diazepam prophylaxis in
febrile convulsions: Pros and Cos. Acta Neurol Scand 1991;
83(suppl.135): 1-24.

18

Anda mungkin juga menyukai