Anda di halaman 1dari 5

JENIS PERJANJIAN KERJA SAMA

DALAM BIDANG MIGAS DAN PERTAMBANGAN

Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini banyak kalangan sebagai


komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari
angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding
sektor lain pada pendapatan negara. Oleh karena itu, semua mata jadi
tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi
dalam penambangan migas.
Di Indonesia, hak menguasai dari negara atas kekayaan alam
ditegaskan dalam pasal 33 UUD 1945. Berdasarkan pada hak menguasai
ini, pada akhir 1963 diterapkan jenis Kontrak Migas baru, yaitu Perjanjian
Karya (PK) yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun
1960 (UU MIGAS 1960) yang menyatakan bahwa migas merupakan
kekayaan

nasional

yang

dikuasai

Negara

di

mana

hak

kuasa

pertambangannya diberikan kepada BUMN dan perusahaan asing hanya


akan berpatisipasi sebagai kontraktor untuk BUMN dan pembagian
keuntungan. Berdasarkan ketentuan pokok tersebut, peran perusahaan
asing berubah dari pemegang konsesi menjadi kontraktor BUMN yang
berkewajiban menyediakan modal, teknologi dan ketrampilan yang
diperlukan untuk melakukan kegiatan migas. PK ini kemudian digantikan
dengan Production Sharing Contract atau Kontrak Bagi Hasil (KBH).
Berbeda dengan PK pembagian hasil diberikan dalam bentuk produk dan
kendali manajemen operasional ditangan PERTAMINA.
Mengingat warna dari UU migas ini akhirnya adalah memilih jenis
kontrak yang menguntungkan secara bersama baik negara maupun
kontraktor, maka diharapkan ada jenis kontrak yang mampu menunjang
Ketahanan Energi, asas Kemandirian, asas Manfaat dan asas
1

Otoritas, maka perlu diperjelas dan diperkuat pernyataan dalam UU


22/2001 tentang Migas yang menyatakan bahwa Kontrak Kerja Sama
adalah Kontrak Bagi Hasil atau Bentuk Kontrak Kerja Sama lain dalam
kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang menguntungkan Negara dan
hasilnya diperuntukan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan
UU Migas tersebut, maka sampai saat ini hanya Kontrak Bagi Hasil (KBH)
yang diberlakukan, sedangkan KKS lain belum diterapkan.
Jadi perlu diusahakan ada bentuk Kontrak lain, namun diusahakan
penerimaan

negara

sebesar-besarnya
tersebut,

maka

netto

minimal

51%

untuk

kemakmuran

terdapat

beberapa

sehingga

rakyat.
jenis

mencerminkan

Berdasarkan

Kontrak

yang

hal

dapat

diberlakukan antara lain :


1) Kontrak Bagi Hasil (KBH) seperti yang selama ini berjalan
yang dikenal dengan PSC (Production Sharing Contract), dimana
Biaya (CR, Cost Recovery) harus disejutui pihak BPMIGAS sejak
awal tahun melalui mekanisme WP&B dan AFE, dan pembagian
(share) sudah tertentu dan Konstan yaitu 70:30 untuk gas, dan
85:15 untuk minyak dari Pendapatan bersih (Netto). Pendapatan
bersih adalah pendapatan kotor (GR, Gross Revenue) SETELAH
dipotong CR dan diperhitungkan DMO dan pajak. Manajemen ada
ditangan pemerintah, audit dilakukan pre, current dan Post audit.
Untuk keamanan pendapatan Negara diawal produksi diterapkan
aturan FTP (Fisrt Trech Petroleum), yang niainya saat ini 20%
dipotongkan diawal sebelum terkena pemotongan CR, yang akan
dibagi

kembali

sebaiknya

tetap

antar

pemerintah

diterapkan

pada

dengan
wilayah

Kontraktor.
baru,

KBH

dengan

pembagian kontraktor bila perlu ditingkatkan. Sedangkan Kontrak


lain akan sangat mudah diterapkan saat perpanjangan Kontrak

dilakukan, karena perhitungan nilai Share, Royalti, dll, menjadi


lebih mudah.
2) Kontrak

Karya

pertambangan
kontraktor,

(Konsesi),

umum,

yang

yaitu

penting

seperti

yang

manajemen
kontraktor

berlaku

ada

di

membayar

di

tangan
pajak

penghasilan. System audit dilakukan Post audit oleh departemen


pajak saja.
Kontraktor menerima 100% inkind, pemerintah mendapat Devisa
(penerimaan) dari Pajak dan DMO bagian pemerintah dalam
bentuk Inkind. KK sangat mudah perhitungannya namun Negara
tidak dijamin mendapat bagian di awal-awal produksi.
3) Kontrak Royalti, yaitu kontrak yang membagi langsung dari GR
TANPA dipotong CR dan Pajak, baru kemudian pajak penghasilan
hanya akan dibebankan pada bagian Kontraktor yang sudah
dipotong CR tadi (seperti perusahaan pada umumnya, atau pajak
pribadi). KR

semudah KK namun pemerintah dijamin minimal

sebesar Royalti akan dapat sejak awal produksi.


4) Kontrak

Share

Progresif,

yaitu

seperti

KBH

namun

pembagiannya TIDAK KONTSAN, nilai Share tergantung dari


besar-kecilnya

cadangan,

Tinggi-rendahnya

produksi,

Sulit-

Gampangnya kegiatan, lengkap-tidaknya insfrastuktur sekitar,


sehingga diwakili oleh nilai R/C (Revenue to Cost Ratio), jadi
diatur untuk yang R/C tinggi pemerintah dapet share tinggi,
sedangkan R/C rendah pemerintah harus mau menurunkan Share
nya, maka Investor tidak takut rugi, dan pemerintah tidak
disalahkan saat menarik investor di daerah yang sulit dengan
memberi share lebih besar kepada kontraktor. KSP ini seperti KBH

tanpa FTP, namun nilai Pembagian Share didefinisikan sesuai


dengan tingkat R/C (Revenue to Cost Ratio).
5) Cost Recovery Limit, tujuannya agar yang terbagi bisa terjadi
di awal tahun, sebetulnya metoda ini sama dengan KBH yang
memperbesar nilai FTP, CRL (Cost Recovery Limit) adalah sama
dengan (100%-FTP). CRL ini sama dengan KBH, dengan FTP
diperbesar.
Telah kita ketahui bahwa model Kontrak Kerjasama ala
Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk
hasil alamnya oleh perusahaan tambang. Oleh Karena itu, perlu
adanya alternative kontrak kerjasama yang tidak hanya berkisar
kepada Kontrak Kerjasama atau PSC yang mana dua pilihan
tersebut

sama-sama

menyengsarakan

masyarakt

terutama

masyarakat daerah. Belum ada perdebatan yang keluar dari model


pemberian kontrak menuju suatu sistem yang dapat menjamin
kesejahteraan

rakyat

di

wilayah

pertambangan.

Perdebatan

menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang


sangat diharapkan oleh investor. Oleh karena itu, DPD RI berharap
Pemerintah dapat mengajukan suatu kontrak kerjasama migas dan
pertambangan ini yang dapat memberikan keuntungan kepada
daerah selain keuntungan kepada negara demi tercapainya
pemertaan pembangunan bagi daerah dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terkait

dengan

pihak-pihak

yang

melakukan

kontrak

kerjasama, maka dipandang perlu untuk melakukan reformasi


sehingga nantinya tidak akan ada lagi kontrak baru antara investor
dan pemerintah, tetapi yang akan melakukan kontrak nanti
investor dari dalam negeri maupun luar negeri dengan BUMN atau
dengan prinsip B to B. Selama ini kontrak pertambangan di
4

Indonesia dibagi dalam tiga bentuk, yakni Kontrak Karya (KK)


untuk bidang pertambangan umum, yang diteken pemerintah
dengan

investor

Pertambangan

serta

Batubara

Perjanjian
(PKP2B).

Karya

Lainnya

Pengusahaan
adalah

Kuasa

Pertambangan (KP) yang diterbitkan pemerintah daerah.


Berdasarkan pengawasan yang dilakukan oleh DPD RI
terhadap

Undang-Undang

Nomor

Tahun

2009

tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara serta Undang-Undang Nomor


22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka DPD RI
menilai perlunya melakukan review dan renegosiasi kontrak karya
pertambangan dan investasi asing karena disinyalir selama ini
banyak kontrak karya pertambangan yang merugikan negara dan
rakyat terutama daerah.
Alasan lain perlunya dilakukan review atas Kontrak Karya
karena

pelaksanaan

Kontrak

Karya

mempunyai

hambatan-

hambatan yang bersifat yuridis dan non yuridis. Hambatanhambatan yang bersifat yuridis adalah hambatan-hambatan yang
berkaitan dengan isi dan tujuan yang terdapat dalam Kontrak
Karya, seperti Wilayah Kontrak Karya yang terdapat endapan
mineral yang menjadi tujuan usaha pengusahaan bahan galian
(tambang), pembayaran royalty dan iuran usaha pertambangan,
serta pengembangan masyarakat sekitar wilayah Kontrak Karya
atau

sering

disebut

sebagai

masyarakat

lingkar

tambang.

Hambatan non yuridis adalah hambatan-hambatan yang terdapat


di luar isi Kontrak Karya, yang tidak diatur dalam Kontrak Karya.

Anda mungkin juga menyukai