Referat Spondilitis TB
Referat Spondilitis TB
BAB I
PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang
lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun
1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah
dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan
basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882,
sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 5
tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia
ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering
terkena dibandingkan anak-anak.
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang
sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu
diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan
dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Vertebra
nervus spinalis.
Processus spinosus pendek dan bercabang dua.
b. Vertebra Thoracalis
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (2)
Corpus vertebra berukuran sedang, berbentuk seperti jantung, bagian
c. Vertebra Lumbalis
Vertebra lumbalis bentuknya adalah yang terbesar, corpusnya sangat besar
dibandingkan dengan corpus vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti ginjal
2.2 Definisi
Spondilitis tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman
Micobacterium tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Kuman ini
menyerang terutama di daerah paru yang penderitanya banyak sekali kita temui di
Indonesia. Ternyata dalam perjalanannya, kuman ini tidak hanya menyerang paru,
tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa dikenal
juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan
bagi Pervical Pott seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun
1879 menulis dengan tepat tentang penyakit tersebut. Penyakit ini merupakan
penyebab paraplegia (kelumpuhan) terbanyak setelah trauma, dan banyak
2.3 Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah
berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris
insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma
lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. (6)
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama
mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40 50 tahun sementara di Asia dan
Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1 20
tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan
insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong. (6)
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang
dan
sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi
dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban
(weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih
sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut,
tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulangtulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area
thorako-lumbal terutama thorakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal
bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini
pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti
dengan area servikal dan sakral. (6)
2.4 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga
bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum
(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,
ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).
Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola
resistensi obat. (6)
konvensional.
Dipergunakan
teknik
Ziehl-Nielson
untuk
10
melibatkan dua atau lebih vertebra yang berdekatan melalui perluasan di bawah
ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus
intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan
oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang
jauh melalui abses paravertebral. (6)
Terjadinya nekrosis perkejuan yang meluas mencegah pembentukan tulang
baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular
sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio thorakal. Discus
intervertebralis yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam
ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder
karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan
semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang
menjadi nekrosis. (6)
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut
akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat
badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral
dan lengkung saraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk
kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat
kerusakan, level lesi, dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul
deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas. (6)
Di regio thorakal, kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal
yang normal; di area lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbal
11
12
13
14
di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong
trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis. (6)
6. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku. Jika terdapat
abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi
rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika
abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis. (6)
7. Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul.
Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi
dan
15
Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan
refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan
kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi
kandung kemih dan anorektal. (6)
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
(6)
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di
atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat
paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara
ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. (6)
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena. (6)
Perkusi :
16
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. (6)
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam. (6)
b. Tuberculin skin test / Mantoux test /
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan selama 48
72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau
disertai penyakit lain). (6, 8)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif). (6)
d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif. (6)
e. Tes darah untuk
titer
anti-staphylococcal
dan
anti-streptolysin
17
Xantokrom.
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap
akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.
Kandungan protein meningkat.
2. Radiologis : Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas
infeksi. (6)
o Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).
o Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat
setelah 3 8 minggu onset penyakit.
o Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
o Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut
sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan,
serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena
penyebaran infeksi dari area subligamentous.
o Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa
yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio
tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio
18
lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama
long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik
yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi.
Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat
pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit
tuberkulosa yang melibatkan vertebra thorakal.
o Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan
psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular
dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan
lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi
pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural
sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan
operasi (tergantung ukuran abses).
19
20
(6)
21
22
C
Gambar 7. MRI Spondilitis Tuberkulosis. A dan B gambaran potongan sagital dari
vertebra thorakal, menunjukkan gambar disk space loss dan kompresi vertebral
dengan ekstensi jaringan lunak paravertebral (panah). C menunjukkan abses
paraspinal multiloculated besar. (Dikutip dari kepustakaan nomor 11)
2.7 Komplikasi
1.
Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat
diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor).
23
24
1.
2.
terbagi menjadi :
A. Terapi Konservatif
1.
Pemberian nutrisi yang bergizi.
2.
Pemberian kemoterapi atau terapi antituberkulosa.
Pemberian kemoterapi antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada
seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani
terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil
yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang
belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu
pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda
pemberian terapi. (6)
Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu
pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji
sensitivitas terhadap obat antituberkulosa memakan waktu lama (kurang lebih
6 8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis
membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa
bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik
terhadap obat antituberkulosa juga merupakan suatu bentuk penegakkan
diagnostik. (6)
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi : (6)
25
1) Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang
sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap
satu obat baik itu streptomycin (SM) ataupun isoniazid (INH). Jarang terjadi
resistensi terhadap rifampicin (RMP) atau ethambutol (EMB).
2) Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang
awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan
untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi
ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau
terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan
selama 6 12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi
tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah
kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih
merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12 18 bulan, dapat
menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila
terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh
akan dapat mengalami resistensi sekunder. Obat antituberkulosa yang utama
adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin
(SM) dan ethambutol (EMB). (6)
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. (6)
26
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer :
a. Isoniazid (INH) (6, 12)
27
d.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
3. Atralgia, anoreksia, mual dan muntah, disuria, malaise, dan demam.
Dosis : 15-30mg/kg/hari.
Ethambutol (EMB) (6, 12)
Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler.
Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.
Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi
buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central
scotoma.
Relatif aman untuk kehamilan.
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
Dosis : 15-25 mg/kg/hari.
e. Streptomycin (STM) (6, 12)
Bersifat bakterisidal.
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.
Efek samping : ototoksisitas (kerusakan saraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia).
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
Dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari.
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
28
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi. (6)
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila
tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi
radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan. (6)
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan
mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur
dapat berlangsung 3 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan
melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis
ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu
makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris
menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm.
Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang,
kavitasi ataupun sekuester. (6)
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra thorakal,
thorakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket;
sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan
immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan
29
fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6
bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. (6)
B. Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi
banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis
dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien
biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3 6 minggu. (6)
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3 4 minggu pemberian
terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi
tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi
dengan operasi secara langsung dan untuk mengevakuasi pus tuberkulosa,
mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan
segmen tulang belakang yang terlibat. (6, 14)
Selain indikasi di atas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi
juga diindikasikan bila : (6)
1.
Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan.
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase.
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini.
5. Penyakit yang rekuren
2.10 Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain
Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG
30
akan
menstimulasi
immunitas,
meningkatkan
daya
tahan
tubuh
tanpa
31
yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum
berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah
menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi
masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. (6)
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian
5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa. (6)
2.11 Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia
dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis
serta terapi yang diberikan. (6, 15)
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik
secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis
atau kegagalan pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
32
BAB III
KESIMPULAN
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah
berkurang pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan
distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang
efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara
yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa
sistemik mungkin dapat tertunda.
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat
kuratif, akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri
dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi
operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga
dan tim kesehatan.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
(Online).
(http://www.ehow.com/way_5463147_spondylitis-tb-treatment.html,
diakses tanggal 2 Februari 2014)
J. Cunha, B., dkk.
15. Hidalgo,
2012.
Pott
Disease.
(Online).