Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berdasarkan data WHO penyakit kanker merupakan penyebab kematian terbanyak di dunia,
dimana kanker sebagai penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit
kardiovaskular. Setiap tahun, 12 juta orang di dunia menderita kanker dan 7,6 juta
diantaranya meninggal dunia. Diperkirakan pada 2030 kejadian tersebut dapat mencapai
hingga 26 juta orang dan 17 juta di antaranya meninggal akibat kanker, terlebih untuk negara
miskin dan berkembang kejadiannya akan lebih cepat.1
Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi
tumor/kanker di Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk. Prevalensi kanker tertinggi
terdapat di DI Yogyakarta (4,1), diikuti Jawa Tengah (2,1), Bali (2), Bengkulu, dan
DKI Jakarta masing-masing 1,9 per mil. Kanker tertinggi di Indonesia pada perempuan
adalah kanker payudara dan kanker leher rahim. Sedangkanpada laki-laki adalah kanker paru
dan kanker kolorektal.2
Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun
2012, insidens kanker di Indonesia 134 per 100.000 penduduk dengan insidens tertinggi pada
perempuan adalah kanker payudara sebesar 40 per 100.000 diikuti dengan kanker leher rahim
17 per 100.000 dan kanker kolorektal 10 per100.000 perempuan. Sedangkan pada laki-laki
insidens tertinggi adalah kanker paru 26 per 100.000, kanker kolorektal 16 per 100.000 dan
kanker prostat 15 per 100.00 laki-laki. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit 2010,
kasus rawat inap kanker payudara 12.014 kasus (28,7%), kanker leher rahim 5.349 kasus
(12,8%).
Pembiayaan penanganan kanker di Indonesia cukup tinggi. Pembiayaan kanker pada
Jamkesmas tahun 2012, pengobatan kanker menempati urutan ke-2 setelah hemodialisa yaitu
sebanyak Rp. 144,7 miliar. Pembiayaan ini makin meningkat tahun 2014 menjadi 905 Milyar
rupiah. Biaya penatalaksanaan kanker relatif mahal / tinggi mulai dari diagnosis hingga
pengobatan. Untuk pengobatan pasien kanker harus menyediakan dana yang cukup besar
untuk tindakan kemoterapi, radioterapi, dan lainnya.
Meskipun kanker merupakan penyakit yang tidak diketahui penyebabnya secara pasti, namun
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti merokok/terkena paparan asap rokok, mengkonsumsi
alkohol, paparan sinar ultraviolet pada kulit, obesitas dan diet tidak sehat, 5 kurang aktifitas

fisik, dan infeksi yang berhubungan dengan kanker. Para ahli memperkirakan bahwa 40%
kanker dapat dicegah dengan mengurangi faktor risiko terjadinya kanker tersebut.Untuk itu
diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk mencegah faktor risiko tersebut
dan peningkatan program pencegahan dan penanggulangan yang tepat.
Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Kerja (OASE KK) sebagi penggerak dalam
mendukung program pengendalian kanker khususnya deteksi dini kanker leher rahim dan
payudara dengan metoda IVA( Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) bermitra dengan
beberapa kementerian, pemerintah daerah, lembaga-lembaga negara, LSM, organisasi
profesi , lintas program dan lintas sektor serta berbagai pihak lainnya.
Gerakan Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker pada Perempuan Indonesia ini dilaksanakan
selama 5 tahun di seluruh Indonesia, dimana pencanangan dilakukan oleh Ibu Negara pada
tanggal 21 April 2015 di Puskesmas Nanggulan,Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DI
Yogyakarta dengan teleconference 10 provinsi lainnya Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat,Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan
Nusa Tenggara Timur. Yaitu Rangkaian kegiatan meliputi kegiatan promotif, preventif,
deteksi dini, dan tindak lanjut. Melalui kegiatan ini diharapkan kesadaran dan kepedulian
masyarakat terutama dalam mengendalikan faktor risiko kanker dan deteksi dini kanker
sehingga diharapkan angka kesakitan, kematian, akibat penyakit kanker dapat ditekan.
Kegiatan ini merupakan bagian dalam mewujudkan masyarakat hidup sehat dan berkualitas,
hal ini sesuai dengan tercapainya Nawacita kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup
manusia.
Di Puskesmas Kecamatan Tebet wilayah kerja Kelurahan Tebet Timur, cakupan angka
skrining tes IVA, yang merupakan salah satu dari program pengembangan amatlah rendah.
Adapun cakupan presentasi Tes IVA selama bulan Maret Mei 2016 ialah 1,45 %.
Oleh karena cakupan tersebut belum mencapai target 20 %, maka diperlukan evaluasi
terhadap keberhasilan program pengembangan Deteksi Dini Kanker Leher rahim dengan
melakukan skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet periode Maret Mei 2016.
(Program Nasioanal Gerakan Pencegahan dan Deteksis Dini Kanker Leher Rahim dan
Kanker Payudara, Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta : 2015)

1.2.PERUMUSAN MASALAH

1. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya cakupan Skrining Tes IVA di


Puskesmas Kecamatan Tebet?
2. Apa alternatif pemecahan masalah dari kurangnya cakupan Skrining Tes Iva di
Puskesmas Kecamatan Tebet?
1.3.TUJUAN DIAGNOSTIK KOMUNITAS
1.3.1

Tujuan Umum
Meningkatkan cakupan Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.

1.3.2

Tujuan Khusus
a. Menilai Dating input (man, money, material, method) dari masalah kurangnya
cakupan Skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.
b. Menilai proses penyelenggaraan (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan) program Skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.
c. Menilai Dating-faktor lingkungan yang berperan dalam pencapaian Skrining Tes
IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.
d. Menentukan alternatif pemecahan masalah untuk meningkatkan pencapaian
Skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.
e. Membuat dan mengaplikasikan plan of action untuk meningkatkan pencapaian
Skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.

1.4.

MANFAAT EVALUASI PROGRAM


1.4.1. Manfaat untuk Mahasiswa
a. Mengetahui manajemen Puskesmas mengenai program pengembangan deteksi
dini kanker leher rahim
b. Mengetahui upaya kesehatan wajib dan pengembangan di Puskesmas.
c. Melatih kemampuan analisis dan pemecahan masalah program Skrining Tes IVA
di Puskesmas.
d. Menambah pengetahuan mengenai program Skrining Tes IVA sebagai bekal saat
bertugas di Puskesmas pada masa yang akan datang
1.4.2. Manfaat untuk Puskesmas Kecamatan Tebet
a. Mengetahui pencapaian upaya kesehatan pengembangan di Puskesmas.
b. Membantu Puskesmas untuk mengidentifikasi masalah rendahnya cakupan
Skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.
c. Membantu Puskesmas untuk mengidentifikasi penyebab masalah dari rendahnya
angka pencapaian Skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.
d. Membantu Puskesmas untuk memberikan alternatif penyelesaian terhadap
masalah tersebut.
e. Menjadi salah satu acuan dalam mengevaluasi keberhasilan kegiatan program
Skrining Tes IVA di Puskesmas Kecamatan Tebet.

1. who
2. Rikerdas 2013

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
2.1.1. Definisi
Inspeksi Visual Asam Aseat (IVA) adalah pemeriksaan leher rahim secara visual
menggunakan asam cuka dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah
pengolesan asam cuka 3-5% (Depkes, 2010). Skrining IVA merupakan salah satu cara
melakukan tes kanker serviks yang mempunyai kelebihan yaitu kesederhanaan teknik dan
kemampuan memberikan hasil yang segera kepada ibu. Selain itu juga bisa dilakukan oleh
hampir semua tenaga kesehatan, yang telah mendapatkan pelatihan (Depkes, 2007).
Menurut Widyastuti, dkk (2009) skrining IVA merupakan metode untuk mendeteksi
dini kanker serviks yang murah meriah menggunakan asam asetat 3-5%, dan tergolong
sederhana dan memiliki keakuratan 90% Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa skrining IVA merupakan suatu cara pemeriksaan sederhana pada serviks dengan
menggunakan asam asetat dengan tujuan mendeteksi kanker serviks sedini mungkin, yang
cocok dilakukan di Indonesia dengan alasan mudah, murah dan hasilnya efektif dapat
mengidentifikasi kanker serviks.
Keunggulan dan Tujuan Skrining IVA
Menurut WHO (2006) dan Depkes (2009) ada beberapa keunggulan skrining IVA
diantara adalah mudah, murah, dapat dilakukan oleh bidan atau tenaga medis puskesmas dan

hasil didapat dengan segera Sarana yang dibutuhkan sederhana. Dapat dikombinasi dengan
tatalaksana segera lainnya yang cukup dengan pendekatan sekali kunjungan (single visit
approach). Metode skrining IVA juga memenuhi kriteria tes penapisan yang baik, penilaian
ganda untuk sensitivitas dan spesifitas menunjukkan bahwa tes ini sebanding dengan Pap
smear dan kolposkopi.
2.1.2. Sasaran dan Interval Skrining IVA
Sasaran pemeriksaan skrining IVA adalah wanita usia subur khususnya yang sudah
menikah dan memiliki faktor-faktor pencentus terjadinya kanker serviks, misalnya riwayat
KB, berganti-ganti pasangan, jumlah anak, penggunaan antiseptik. Hal ini didukung menurut
Depkes (2006) sasaran skrining IVA dianjurkan bagi semua perempuan berusia antara 30
sampai dengan 50 tahun yang memiliki faktor resiko seperti resiko tinggi IMS akan dapat
meningkatkan nilai prediktif positif dari skrining IVA.
WHO (2006) mengindikasikan skrining deteksi dini kanker leher rahim dilakukan
pada kelompok berikut ini :
1) Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes
sebelumnya, atau pernah menjalani tes 3 tahun sebelumnya atau lebih.
2) Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes sebelumnya.
3) Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca
sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala
abnormal lainnya.
4) Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.
Sedangkan untuk sasaran interval usia melakukan skrining menurut WHO (2006)
merekomendasikan :
1) Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya
dilakukan pada perempuan antara usia 35 45 tahun.
2) Untuk perempuan usia 25- 45 tahun, bila sumber daya memungkinkan, skrining
hendaknya dilakukan tiap 3 tahun sekali.
3) Untuk usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali.
4) Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas 65
tahun, tidak perlu menjalani skrining.
5) Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia interval
pemeriksaan skrining IVA adalah 5 tahun sekali. Jika hasil pemeriksaan negatif maka
dilakukan ulangan 5 tahun dan jika hasilnya positif maka dilakukan ulangan 1 tahun
kemudian. Sedangkan menurut Depkes (2008) ada sedikit perbedaan antara di

Indonesia dan di Amerika; yaitu waktu awal skrining kira-kira 3 tahun setelah
aktivitas seksual yang pertama, intervalnya setiap tahun, atau setiap 2 3 tahun untuk
wanita usia 30 tahun dengan 3 kali berturut-turut hasil skrining negatif; penghentian
skrining pada wanita usia 70 tahun dengan 3 kali berturut-turut hasil tes negatif
dan tanpa hasil tes abnormal dalam 10 tahun terakhir.
Menurut PERMENKES 2015 kelompok Sasaran Skrining kanker Leher Rahim adalah
a. Perempuan berusia 30 50 tahun
b. Perempuan yang menjadi klien pada klinik IMS dengan discharge (keluar cairan) dari
vagina yang abnormal atau nyeri pada abdomen bawah (bahkan jika diluar kelompok
usia tersebut)
c. Perempuan yang tidak hamil
d. Perempuan yang mendatangi puskesmas, klinik IMS, dan klinik KB dianjurkan enam
buln kemudian.

2.1.3 Pengertian dan Faktor- faktor pendukung WUS melakukan skrining IVA
WUS adalah wanita yang sudah mengalami menstruasi dengan umur 15 - 49 tahun,
yang terdiri dari muda paritas rendah (mupar) yaitu yang berumur dibawah 30 tahun dengan
jumlah anak 0-2 orang dan bukan mupar yaitu yang berumur diatas 30 tahun dengan jumlah
anak berapa saja atau umur istri dibawah 30 tahun dengan jumlah anak 3 atau lebih (Lestari,
2013).
Faktor-faktor yang mendukung wanita usia subur melakukan skrining IVA menurut
(Artiningsing, 2011) meliputi:
1) Faktor besarnya jasa pelayanan terhadap IVA dan tempat pelayanan IVA
2) Faktor kualitas pelayanan terhadap pemeriksaan IVA,
3) Faktor aksesibilitas yang mendorong pemeriksaan IVA dan tempat pelayanan IVA
adalah faktor kemudahan sarana transportasi
4) Faktor dari keunggulan IVA yang murah sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat
5) Pelayanan IVA tidak didukung pemberian informasi yang memadai
6) Hubungan interpersonal yang baik antara petugas dengan WUS hanya dengan
pelayanan swasta
7) Penanganan tindak lanjut dalam pelayanan IVA masih sangat kurang Menurut CDC
(2014) kanker serviks adalah adanya perubahan selsel serviks dengan karakteristik
histologi.

Proses perubahan pertama menjadi tumor ini mulai terjadi pada sel-sel squamous
colummar junction yang di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a. Infeksi HPV ; b.
kebiasaan merokok; c. pemakainan celana ketat; d. usia; e paritas; f. faktor pasangan yang
terdiri dari usia pertama melakukan hubungan seks, berganti-ganti pasangan seks; dan
faktor lainya berupa faktor makanan, KB, Ras, polusi udara, pemakaian antiseptic.
Para ahli telah menemukan fakta bahwa kandungan asap tembakau juga
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi virus. Kandungan nikotin di
dalam lendir serviks meningkatkan daya reproduksi jenis sel yang dikenal berpotensi
menjadi sel kanker ganas. Pemakaian celana ketat dapat meningkatkan suhu vagina
sehingga akan merusak daya hidup sebagian mikroorganisme, dan mendukung
perkembangan sebagian mikroorganisme lainnya. Kanker serviks berpotensi paling besar
pada usia antara 35-55 tahun. Paritas kemampuan wanita untuk melahirkan secara
normal. Pada proses persalinan normal, bayi bergerak melalui mulut rahim dan ada
kemungkinan sedikit merusak jaringan epitel di tempat tersebut (CDC, 2014 dan Were et
al., 2011).
Usia ketika wanita mulai melakukan hubungan seks secara aktif juga menjadi salah
satu faktor pemicu kanker serviks. Meskipun secara fungsional rahim wanita dinyatakan
sudah berfungsi sejak mengalami menstruasi (9-15 tahun), namun kesiapan total
umumnya baru tercapai pada usia sekitar 20 tahun, dimana secara mental, wanita juga
sudah siap untuk berhubungan seksual secara sadar. Faktor penyebab yang satu ini
memiliki potensi penularan yang tinggi. Virus HPV dapat ditularkan melalui hubungan
seksual baik normal maupun oral. Pemakaian pil KB secara terus-menerus berpotensi
menimbulkan kanker serviks. Pada pemakaian lebih dari lima tahun, risiko ini menetap
menjadi 2 kali lebih besar dibanding wanita yang tidak memakai pil KB (CDC, 2014 dan
Were et al., 2011 ).
Pemakaian antiseptik di vagina, wanita modern ingin selalu tampil sempurna
termasuk di wilayah pribadinya. Antiseptik tersebut dapat membunuh bakteri di sekitar
vagina, termasuk bakteri yang menguntungkan. Dan apabila digunakan dalam dosis yang
terlalu sering, maka zat antiseptik tersebut dapat mengakibatkan iritasi pada kulit bibir
vagina yang sangat lembut. Iritasi ini biasa berkembang menjadi sel abnormal yang
berpotensi dysplasia (Cancer Research, 2014).
Menurut Medicinet (2014) awal terjadinya kanker serviks biasanya tidak
menimbulkan gejala. Ketika kanker tumbuh lebih besar, kemungkinan menimbulkan

beberapa gejala yaitu: gejala dini dan lanjutan. Gejala dini berupa sedikit sekresi dari
vagina berupa air, perdarahan setelah koitus, metrorargia, perdarahan pasca menopause,
polimenorea. Gejala lanjutan biasanya berupa sekresi dari vagina yang kehitaman serta
bau, nyeri pada daerah pelvis, abdomen, lumbal, bokong, berat badan menurun,
anoreksia, anemia, edema ekstremitas bawah, disuria, perdarahan dari rectum.

2.1.4.Tahapan Pemeriksaan IVA


Deteksi dini kanker leher rahim dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah dilatih dengan
pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam asetat yang sudah di encerkan,
berarti melihat leher rahim dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah
pengolesan asam asetat 3-5%. Daerah yang tidak normal akan berubah warna dengan batas
yang tegas menjadi putih (acetowhite), yang mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin
memiliki lesi prakanker.
Tes IVA dapat dilakukan kapan saja dalam siklus menstruasi, termasuk saat menstruasi, dan
saat asuhan nifas atau paska keguguran. Pemeriksaan IVA juga dapat dilakukan pada
perempuan yang dicurigai atau diketahui memiliki ISR/IMS atau HIV/AIDS.
2.1.4.1. Alat dan Bahan
1) Spekulum
2) Lampu
3) Larutan asam asetat 3-5%
Dapat digunakan asam cuka 25% yang dijual di pasaran kemudian diencerkan
menjadi 5% dengan perbandingan 1:4 (1 bagian asam cuka dicampur dengan 4 bagian
air)Contohnya: 10 ml asam cuka 25% dicampur dengan 40 ml air akan menghasilkan
50 ml asam asetat 5 %. Atau 20 ml asam cuka 25 % dicampur dengan 80 ml air akan
menghasilkan 100 ml asam asetat 5%
Jika akan menggunakan asam asetat 3%, asam cuka 25 % diencerkan dengan air
dengan perbandingkan 1:7 (1 bagian asam cuka dicampur 7 bagian air) Contohnya :
10 ml asam cuka 25% dicampur dengan 70 ml air akan menghasilkan 80 ml asam
asetat 3%
Campur asam asetat dengan baik

Buat asam asetat sesuai keperluan hari itu. Asam asetat jangan disimpan untuk
beberapa hari.
4) Kapas lidi
5) Sarung tangan
6) Larutan klorin untuk dekontaminasi peralatan

2.1.5. Metode Pemeriksaan


1) Memastikan identitas , memeriksa status dan kelengkapan informed consent klien
2) Klien diminta untuk menanggalkan pakaiannya dari pinggang hingga lutut dan
3)
4)
5)
6)
7)
8)

menggunakan kain yang sudah disediakan


Klien diposisikan dalam posisi litotomi
Tutup area pinggang hingga lutut klien dengan kain
Gunakan sarung tangan 6. Bersihkan genitalia eksterna dengan air DTT
Masukkan spekulum dan tampakkan serviks hingga jelas terlihat
Bersihkan serviks dari cairan , darah, dan sekret dengan kapas lidi bersih
Periksa serviks sesuai langkah-langkah berikut :
a. Terdapat kecurigaan kanker atau tidak :
Jika ya, klien dirujuk , pemeriksaan IVA tidak dilanjutkan . Jika pemeriksaan adalah
dokter ahli obstetri dan ginekologi , lakukan biopsi
b. Jika tidak dicurigai kanker, identifikasi Sambungan Skuamo kolumnar (SSK)
Jika SSK tidak tampak , maka : dilakukan pemeriksaan mata telanjang tanpa asam
asetat, lalu beri kesimpulan sementara, misalnya hasil negatif namun SSK tidak
tampak. Klien disarankan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya lebih cepat atau
pap smear maksimal 6 bulan lagi.
c. Jika SSK tampak, lakukan IVA dengan mengoleskan kapas lidi yang sudah
dicelupkan ke dalam asam asetat 3-5% ke seluruh permukaan serviks
d. Tunggu hasil IVA selama 1 menit, perhatikan apakah ada bercak putih ( acetowhite
epithelium) atau tidak
e. Jika tidak (IVA negatif), jelaskan kepada klien kapan harus kembali untuk
mengulangi pemeriksan IVA
f. Jika ada (IVA positif) , tentukan metode tata laksana yang akan dilakukan

9) Keluarkan spekulum
10) Buang sarung tangan , kapas, dan bahan sekali pakai lainnya ke dalam container
( tempat sampah) yang tahan bocor, sedangkan untuk alat-alat yang dapat digunakan
kembali, rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit untuk dekontaminasi
11) Jelaskan hasil pemeriksaan kepada klien, kapan harus melakukan pemeriksaan lagi,
serta rencana tata laksana jika diperlukan.

2.1.6. Penatalaksanaan IVA Positif


Bila

ditemukan

IVA Positif,

dilakukan

krioterapi,

elektrokauterisasi

atau

eksisi

LEEP/LLETZ.

Krioterapi dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau

konsultan onkologi ginekologi


Elektrokauterisasi, LEEP/LLETZ dilakukan oleh dokter spesialis obstetri dan
ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi

Penatalaksanaan pasien yang dicurigai kanker Bila ditemukan pasien yang dicurigai kanker
serviks dilakukan biopsi. Jika pemeriksaan patologi anatomi mengkonfirmasi terdapatnya
kanker serviks maka dirujuk maka dirujuk ke konsultan onkologi ginekologi untuk
penatalaksanaan.

2.2. Kanker Serviks


2.2.1. Definisi
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada leher rahim yang
merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama. (Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2015 tentang penanggulangan
kanker payudara dan kanker leher rahim). Penyakit ini merupakan jenis kanker kedua
terbanyak yang diderita wanita di seluruh dunia, biasanya menyerang wanita berusia 35-55
tahun. Kematian akibat kanker serviks di negara berkembang dilaporkan sekitar 11,2 per
100.000 wanita.(2,3) Menurut Globocan IARC 2002, insiden kanker serviks di Indonesia
diestimasikan sebesar 16 per 100.000 wanita.(4) Data registrasi patologi di Indonesia (1997)
menunjukkan bahwa proporsi kanker leher rahim (26,4%), terbanyak dari 10 jenis kanker
pada wanita setelah kanker payudara.(3) Data dari Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD)
Rawat Jalan (Kasus Baru) tahun 2007, kanker serviks menempati urutan kedua yaitu 264

kasus setelah kanker payudara.(5) Masih tingginya insiden kanker serviks di Indonesia
disebabkan karena kesadaran wanita yang sudah menikah/ melakukan hubungan seksual
dalam melakukan deteksi dini masih rendah (kurang dari 5%).(3,6)
2.2.2. Perubahan Fisiologis Epitel Leher Rahim
Epitel leher rahim terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar.
Daerah pertemuan kedua jenis epitel disebut sambungan skuamosa kolumnar (SSK) dan
letaknya dipengaruhi oleh faktor hormonal yang berkaitan dengan umur, aktivitas seksual dan
paritas. Pada perempuan berusia sangat muda dan menopause, SSK terletak di dalam ostium.
Sedangkan pada perempun usia reproduksi/seksual aktif, SSK terletak di ostium eksternum
karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan perempuan terjadi perubahan fisiologis pada epitel leher rahim,
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari cadangan
epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut proses
metaplasia dan terjadi akibat pengaruh PH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang
tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat dari proses metaplasia ini maka secara
morfogenik terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan SSK baru yang menjadi tempat pertemuan
antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK disebut
daerah tranformasi.
2.2.3. Perjalanan Penyakit
Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) atau Virus Papiloma Manusia biasa terjadi
pada perempuan usia reproduksi. Infeksi ini dapat menetap, berkembang menjadi displasi
atau sembuh sempurna. Virus ini ditemukan pada 95% kasus Kanker Leher Rahim. Ada dua
golongan HPV yaitu HPV risiko tinggi atau disebutkan HPV onkogenik yaitu utamanya tipe
16, 18, dan 31, 33, 45, 52, 58; sedangkan HPV risiko rendah atau HPV non-onkogenik yaitu
tipe 6, 11, 32, dbs.
Proses terjadinya Kanker Leher Rahim sangat erat berhubungan dengan proses metaplasia.
Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara genetik pada
saat fase aktif metaplasia dapat berubah menjadi sel yang berpotensi ganas. Perubahan ini
biasanya terjadi di daerah transformasi.
Sel yang mengalami mutasi disebut sel displastik dan kelainan epitelnya disebut displasia
(Neoplasia Intraepitel Leher Rahim/ NIS). Dimulai dari displasia ringan, sedang, berat dan
karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Lesi displasia

dikenal juga sebagai lesi prakanker. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel
yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel.
Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai
karsinom invasif tetapi membran basalisnya masih utuh.
Pada lesi prakanker derajat ringan dapat mengalami regresi spontan dan menjadi normal
kembali. Tetapi pada lesi derajat sedang dan berat lebih berpotensi berubah menjadi kanker
invasif.
Gambar. Perjalanan alamiah penyakit kanker leher rahim

Sumber : L Nuranna, G Puwoto dkk-FKUI/RSCM 2005


2.2.2. Etiologi
Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu atau lebih
virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang berisiko tinggi menyebabkan
kanker leher rahim, ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease). (1-3)
Wanita biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun sampai tigapuluhan, walaupun
kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. (2) Sebelum terjadinya kanker
didahului oleh perubahan keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel
serviks (NIS), biasanya memakan waktu beberapa tahun sebelum berkembang menjadi
kanker.(1) Oleh sebab itu sebenarnya terdapat kesempatan yang cukup untuk mendeteksi bila

terjadi perubahan pada sel serviks dengan pap smear atau inspeksi visual asam asetat (IVA)
serta menanganinya dengan tepat sebelum menjadi kanker serviks.
Pemeriksaan IVA adalah pemeriksaan oleh dokter/bidan/paramedik terhadap leher rahim yang
telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dengan mata telanjang. Lesi
prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka) akan
berubah warna menjadi putih (acetowhite). Namun bila ditemukan lesi makroskopis yang
dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan dan pasien segera dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap.(2,7-11) Penelitian yang dilakukan Hanafi, dan Ocviyanti (2003)
mendapatkan bahwa sensitivitas IVA dibandingkan sitologi adalah 90,9%, spesifisitas 99,8%,
nilai duga positif 83,3% dan nilai duga negatif 99,9%. Hal ini menunjukkan bahwa
pemeriksaan IVA mempunyai kemampuan yang hampir sama dengan pemeriksaan sitologi
dalam mendeteksi lesi prakanker serviks.(8) Mengingat bahwa kanker serviks dapat dicegah
dengan menghindari faktor risiko dan deteksi dini, pengetahuan tentang penyebab dan faktor
risiko kanker serviks sangatlah penting. (2,6,12) Dengan pengetahuan yang baik diharapkan akan
muncul kesadaran wanita untuk menghindari faktor risiko dan melakukan pemeriksaan secara
dini sehingga kanker serviks dapat ditemukan pada stadium awal, dapat mengurangi beban
sosial ekonomi yang terjadi akibat kanker serviks.(12-20)
2.2.3. Faktor Resiko
Faktor risiko kanker serviks adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan inisiasi
transformasi atipik serviks dan perkembangan dari displasia. Transformasi atipik merupakan
daerah atipik (abnormal) yang terletak di antara perbatasan sel-sel squamouscolumnar serviks
yang asli dengan sel-sel yang baru terbentuk akibat metaplasia sel columnar menjadi sel
squamous.
Penyakit keganasan khusus wanita ini merupakan penyakit menular seksual yang
berasosiasi dengan infeksi kronik Human Papiloma Virus (HPV) tipe onkogenik. Oleh sebab
itu, faktor risiko kanker serviks cenderung sama dengan faktor risiko penyakit menular
seksual lainnya.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai
penyebab dari kanker leher rahim) adalah sebagai berikut :
1) Menikah/ memulai aktivitas hubungan seksual pada usia muda
Faktor ini merupakan salah satu faktor risiko terpenting karena penelitian para
pakar menunjukan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual maka

semakin besar risiko terkena kanker leher rahim. Wanita yang melakukan hubungan
seks pertama sekali pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih
besar daripada wanita yang berhubungan seksual pertama sekali pada usia lebih dari
20 tahun.
2) Multipartner Seksual
Risiko terkena kanker serviks meningkat 10 kali lipat pada wanita yang
mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih. Bukan hanya ini saja, bila seorang
suami juga berganti-ganti pasangan seksual dengan wanita lain misalnya Wanita Tuna
Susila (WTS), maka suaminya dapat membawa virus HPV kepada istrinya.
3) Infeksi Menular Seksual atau radang panggul
4) Perempuan yang melahirkan banyak anak
Pariats yang berisiko adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang
atau jarak persalinan terlampau dekat.hal ini dikarenakan persalinan yang
demikian dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada
mulut rahim dan dapat berkembang menjadi keganasan.
5) Perempuan perokok
Risiko kanker serviks tipe skuamosa oleh tipe HPV tipe 16 atau HPV tipe
meningkat pada perokok berat. Tembakau mengandung bahan-bahan
karsinogenik baik yang dihisap sebagai rokok maupun yang dikunyah. Asap
rokok menghasilakn polycyclic aromatic hydrocarbons heterocylic amine yang
sangat karsinogenik dan mutagenik, sedangkan bila dikunyah akan
menghasilkan nitrosamine. Bahan dari tembakau yang dihisap terdapat pada
getah serviks wanita perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi HPV.
Selain itu bahan-bahan pada tembakau tersebut juga dapat menyebabkan
kerusakan DNA epitel serviks. Perempuan perokok mempunyai risiko dua
setengah kali lebih besar untuk menderita kanker leher rahim dibandingkan
dengan yang tidak merokok. Sedangkan menjadi perokok pasif mempunyai
risiko 1,4 kali dibandingkan perempuan yang hidup dengan udara bebas.
6) Kekurangan Vit A/ Vit C/ Vit E
Menurut risiko dalam menimbulkan kanker serviks, HPV diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Risiko rendah: tipe 6, 11, 42, 43, 44, disebutkan tipe non-onkogenik. Jika terinfeksi,
hanya menimbulkan lesi jinak, misalnya kutil dan jengger ayam.

2) Risiko tinggi: tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, disebut tipe
onkogenik. Jika terinfeksi dan tidak diketahui ataupun tidak diobati, bisa menjadi
kanker. HPV risiko tinggi ditemukan pada hampir semua kasus kanker serviks (99%).
(permenkes-no-34-th-2015-penanggulangan-kanker-payudara-dan-leher-rahim. available 22
juli 2016)
Tulisan ini bertujuan untuk menilai pengetahuan tentang HPV, tingkat pengetahuan terhadap
faktor risiko dan perilaku deteksi dini kanker serviks serta hasil pemeriksaan IVA pada wanita
di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Manfaat yang didapatkan adalah mengetahui
pengetahuan responden tentang HPV, tingkat pengetahuan terhadap faktor risiko dan perilaku
deteksi dini kanker serviks sehingga dapat memberikan masukan kebijakan program
pencegahan kanker serviks di Kota Bogor.
DAFTAR RUJUKAN
1. Andrijino. Kanker Serviks Edisi kedua. Divisi Onkologi Departemen Obstetri- Ginekologi
FK UI. Jakarta. 2009. 1-9.
2. Dirjen PP&PL. Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara & Kanker Leher Rahim.
Kementrian Kesehatan RI Direktorat PP&PL. 2010:1-3.
3. Health Technology Assessment Indonesia. Skrinning Kanker Leher Rahim Dengan Metode
Inspeksi Visual Asam Asetat. Departemen Kesehatan RI. 2008. 3, 24-33.
4. Alliance of Cervical Cencer Prevention. The case for investing in Cervical Cancer Cervical
Cancer Prevention Issues in Depth No. 3. ACCP. 2004. 3-12.
5. Statistik Pasien Rawat jalan Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD).www.dharmais.
co.id. diakses tanggal 20 Maret 2012.
6. Nikko Darnindro dkk. Pengetahuan Sikap Perilaku Wanita yang Sudah Menikah Mengenai
Pap Smear dan Faktor-Faktor yang Berhubungan Di Rumah Susun Klender Jakarta 2006.
Majalah Kedokteran Indonesia Volume: 57 (7). 2007. 1-7.
7. Laila Nuranna. Skrining Kanker Serviks dengan Metode Skrining Alternatif: IVA. Cermin
Dunia Kedokteran No. 133 Obstetri dan Ginekologi. 2001. 22-25.
8. Hanafi, Ocviyanti dkk. Efektivitas Pemeriksaan Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat Oleh
Bidan Sebagainya Upaya Mendeteksi Lesi Pra-Kanker Serviks, Indones J. Obstet Gynecol
27(1). 2003: 59-66.

9. Ocviyanti. Test Pap, Test HPV dan Servikografi sebagai Pemeriksaan Triase untuk Test
IVA positif. Indonesian journal of obstetrics and gynecology No. 4. 2007. 201- 211.
10. Salmiah Agus dan Alfian. Deteksi Dini neoplasia intra epithel serviks dengan metode
IVA. Jurnal Kimia Andalas 10 (1). 2004: 47- 51.
11. Khinkova, Tanchev et all. The role of cytological examination in diagnosis of precancer
and cancer of the uterine cervix. 2010.
12. Artiningsih Ninik. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Wanita Usia Subur
dengan Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat dalam Rangka deteksi Dini kanker Serviks.
Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2011.
13. rika Galvo Lima et all. Knowledge about HPV and Screening of Cervical Cancer
among Women from the Metropolitan Region of Natal, Brazil. ISRN Obstetrics and
Gynecology. 2013. 1-8.
14. Kivistik Alice, Katrin Lang, Paolo Baili, Ahti Anttila and Piret Veerus.Womens
knowledge about cervical cancer risk factors, screening, and reasons for nonparticipation in
cervical cancer screening programme in Estonia. BMC Womens Health. 11:43. 2011. 2-6.
15. Aswathy S, Mariya Amin Quereshi, Beteena Kurian & Leelamoni K. Cervical Cancer
Screening: Current Knowledge & Practice Among Women In A Rural Population Of Kerala,
India. Indian J Med Res 136. 2012. 205-210.
16. Notoatmodjo Soekidjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta.
Rineka Cipta. www.google.book.com. diakses tanggal 15 Desember 2013.
17. Al-Meer F.M, Aseel M.T, J. Al-Khalaf, AlKuwari M.G. and Ismail. Knowledge, attitude
and practices regarding cervical cancer and screening among women visiting primary health
care in Qatar. Eastern Mediterranean Health Journal Vol. 17 (11). 2011. 855-861.
18. Ralston James D., Taylor Victoria M., Yutaka Yasui, Alan Kuniyuki, Jackson J. Carey, and
Shin-Ping Tu. Knowledge of cervical cancer risk factors among Chinese immigrants in
Seattle. Jurnal Community Health. 28(1). 2003. 4157.
19. Nurtini Ade. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Cakupan IVA di
Puskesmas Denpasar. Jurnal Bali: Universitas Denpasar. 2012.

20. Gakidou Emmanuela, Nordhagen Stella, Obermeyer Ziad. Coverage of Cervical Cancer
Screening in 57 Countries: Low Average Levels and Large Inequalities. PLoS Medicine.
2008 (5): 863-8

Anda mungkin juga menyukai