Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

TRAUMA KEPALA & EPIDURAL HEMATOMA

Disusun oleh :
Ayu Adzani Sabila
John Patria Maruli Sinaga
Puteri Fadillah Zahra
Prishnessha
Fahrul Razi, drg
Willy Bernardi, drg

Perseptor :
Firman Priguna Tjahjono, dr., SpBS, M. Kes

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2016

Keterangan Umum Pasien


Nama

: Tn. A

Jenis Kelamin : Laki-laki


Usia

: 32 tahun

Tanggal lahir : 3/11/1983


Alamat

: Bandung

MRS

: 15-8-2016

Anamnesis
Keluhan Utama

: Penurunan kesadaran

Anamnesa Khusus

Delapan belas hari SMRS pasien sedang memasang genting (plafon) pada
ketinggian 3 meter. Pasien kemudian kehilangan keseimbangan dan jatuh membentur
lantai. Riwayat pingsan (+), muntah (+), pendarahan telinga hidung mulut (-).
Karena keluhannya pasien dibawa ke RSUD Purwakarta, dilakukan CT scan
dan dipulangkan. Dalam perjalanan pulang kondisi pasien menurun sehingga dibawa
ke RS Immanuel, dilakukan CT scan ulang dan dirujuk ke RS Melinda. Kemudian
dilakukan operasi craniotomy evakuasi dan dirawat selama 16 hari kemudian dirujuk
ke RSHS dengan menggunakan ambulans yang didampingi dokter.
Pemeriksaan Emergensi
Primary Survey
Airway : gurgling > suction > intubasi ; C-spine control
Breathing: Bunyi gerak simetris, RR 22x/m
Circulation : nadi 71; Tensi 130/90
Disability : GCS : E2 M4 Vt; paresis motorik -/Secondary Survey
Cor

: Bunyi jantung S1-S2 reguler, kuat, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : vbs ki=ka, rh -/-, wh -/Abdomen: datar, lembut, bunyi usus (+) normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2", paresis -/-

Pemeriksaan Fisik Emergensi


Status Generalis
Kesadaran

: E2M4Vt = 6Vt

Tekanan darah : 130/90 mmHg


Nadi

: 71 x/menit

Respirasi

: 22 x/menit

Suhu

: 36.5oC

At regio thorax: Bentuk dan gerakan simetris


VBS kanan=kiri
Ronchi -/-, wheezing -/At regio abdomen: datar dan lembut
BU (+)
Status Neurologis
Kesadaran

: Stupor

Pupil bentuk bulat isokor, diameter 3 mm


Rangsang cahaya +/+
Nervus cranialis:
NI
N II

: tidak dilakukan
Visus

: tidak dilakukan

Lapang pandang

: normal

N III, IV, dan VI: Pergerakan bola mata

: Atas : (+/+);
Bawah : (+/+);
Lateral : (+ /+)

NV

N VII

Ptosis

: (-/-)

Pupil

: bulat isokor 3mm

Refleks cahaya

: +/+

Posisi mata

: di tengah

Reflek cornea

: (+/+)

Sensoris

: sulit dinilai

Motoris

: M. masseter, M. temporalis sulit dinilai

Angkat alis mata

: sulit dinilai

Memejamkan mata

: sulit dinilai

Gerakan wajah
N VIII
N IX/X

N XI
N XII

Pendengaran

: sulit dinilai

Keseimbangan

: sulit dinilai

Suara/bicara

: sulit dinilai

Menelan

: sulit dinilai

Kontraksi palatum

: sulit dinilai

Refleks gag

: sulit dinilai

Menengok ke kanan/kiri

: sulit dinilai

Angkat bahu

: sulit dinilai

Posisi lidah

: sulit dinilai

Atrofi

: sulit dinilai

Tremor / fasikulasi

: sulit dinilai

Motorik:
Anggota badan atas
Anggota badan bawah

: sulit dinilai

Kekuatan
sulit
dinilai
sulit
dinilai

Tonus
sulit dinilai

Atrofi
(-)

sulit dinilai

(-)

(-)

Refleks:
-

Fisiologis: Biseps (sulit dinilai)


Patella (sulit dinilai)

Fasikulasi
(-)

Patologis: Babinsky (-/-)

Triseps (sulit dinilai)


Achilles (sulit dinilai)
Chaddock (-/-)

Rangsang meningeal:
-

Kaku kuduk

: (-)

Brudzinsky I, II, III

: (-)

Laseque

: (-)

Kernig

: (-)

Diagnosis Klinis
Post Craniotomy Evakuasi a.i Moderate HI + Epidural Hemorrhage at Frontoparietal
Dextra

Pemeriksaan Penunjang (16/8)


Laboratorium
Hematologi

Hasil

Normal

Hb

9,2

(13,5-17,5)

Leukosit

12.900

(4,5-10 ribu)

Ht

29

(40-52)

Trombosit

887.000

(150-450 ribu)

Ureum

31

(15-50)

Kreatinin

0,57

(0,7-1,2)

Albumin

3,2

(3,5-5,2)

Glukosa sewaktu

88

(<140)

Protein Total

6,1

(6,6-8,7)

Na

134

(135-145)

Kimia Klinik

Kalium

4,7

(3,6-5,5)

Analisis Gas Darah


pH

7,421

(7,34-7,44)

pCO2

40,3

(35-45)

PO2

126,0

(69-116)

HCO3

25,9

(22-26)

TCO2

50,1

(22-29)

Base Excess

1,7

(-2 - -3)

Saturasi

98,7

(95-98)

CTscan
Diagnosis Kerja
Post Craniotomy Evakuasi a.i Moderate HI + Epidural Hemorrhage at Frontoparietal
Dextra + Prolong ETT 17 hari

Tatalaksana
Obs TNRS dan GCS
Head up 300
O2 8-10 L/menit dengan ETT
Infus terdiri dari
NaCl 0,9% 1000 cc
Ringer laktat 500 cc
Meropenem 2x1 gr IV
Sanmol 410 gram
Diet 6x200 cc per NGT
Ketorolac 2x30 mg
Ranitidine 2x50 mg
Tracheostomy
Pemeriksaan Post Operasi
Status Generalis
Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg


Nadi

: 68 x/menit

Respirasi

: 20 x/menit

Suhu

: 36.5oC

At regio thorax: Bentuk dan gerakan simetris


VBS kanan=kiri
Ronchi -/-, wheezing -/At regio abdomen: datar dan lembut
BU (+)
Status Neurologis
Kesadaran

: E4 M6 Vt = 10Vt

Pupil bulat isokor diameter 3 mm, refleks cahaya +/+


Paresis motorik -/-

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (24/8/16)
Hematologi

Hasil

Normal

Hb

10,5

(13,5- 17,5)

Leukosit

9.200

(4,5-13 ribu)

Ht

33

(40-52)

Trombosit

512.000

(150-450 ribu)

129

(135-145)

Kimia Klinik
Na
Kalium

4,6

(3,6-5,5)

Analisis Gas Darah (20/8/2016)


pH

7,436

(7,34-7,44)

pCO2

40,8

(35-45)

PO2

58,6

(69-116)

HCO3

27,4

(22-26)

Base Excess

3,0

(-2 - -3)

Saturasi

91,8

(95-98)

Diagnosis Kerja
Post Craniotomy Evakuasi a.i Epidural Hemorrhage at Frontoparietal Dextra + Post
Tracheostomy
Tatalaksana
Obs TNRS dan GCS
Head up 300
O2 6 L/menit via TC
Infus dalam 24 jam terdiri dari
NaCl 0,9% 1500 cc
Aminofusin 500 cc

Diet cair 8x150 cc


Bed positioning per 2 jam
Terapi lain sesuai COP
TC toilet

TRAUMA KEPALA
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi

neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat

temporer atau permanent.


Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat(CKB). Insiden cedera kepala terutama
terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan
olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu
rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap,
terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan
CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,
sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu mempelajari pemeriksaan
dan penanganan yang cepat dan tepat agar dapat memberikan pertolongan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut pada penderita cedera kepala.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi

neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat

temporer atau permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera


kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan

kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.


B. Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal).
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior.
Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus

temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan
serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara
duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan
tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang
melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi
dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu
lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer
serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung
pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada
sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi
memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla
spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat
menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum

bertanggung

jawab

dalam

fungsi

koordinasi

dan

keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula


spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus
sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan
masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak
dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

C. Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH 2O atau 4 sampai
15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang
jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan
serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada

salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga
bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural
dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran
darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin
meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.

D. Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai
GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS,
maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai

cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :
Tabel 1. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala

3.

Traumatic Brain Injury


Ringan
Kehilangan kesadaran < 20 menit
Anamnesa post traumatic < 24 jam
GCS = 14 15
Sedang

Kehilangan kesadaran > 20 menit dan


< 6 jam
Anamnesa post traumatic > 20 menit
dan < 7 hari
GCS = 9-13

Berat
Kehilangan kesadaran > 6 jam
Anamnesa post traumatic > 7 hari
GCS = 3 - 8

Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT
scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan
bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase

c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal
sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya
kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi
dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang
terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area
putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal
Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis
yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya
kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur
tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat
dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus


frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau
hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan
tindakan operasi.
E. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup.
Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur

permukaan

dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

Gambar

1. Coup dan countercoup

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses


patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan
serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel
dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun
akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem
serebri) Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma
dan kemudian oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak
melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di
substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan
mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi dan
hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa
menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal.
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial
herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung
pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang
otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal,
demyelinisasi diffus, banyak neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika
penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan vegetatif dimana
penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun (akineticmutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome). Akinetic mutism coma vigil
lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral dan/atau daerah
mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen
motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah
korteks serebri.
Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk
mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan
Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk
mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka
menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia diffus mengakibatkan
kesadaran akan menurun.

Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi
kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata,
hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi
perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi,, pernafasan yang
melambat dan muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis
(PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler
serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2),
maka CBF dan TPO akan tercukupi. Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka
Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan
tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi
tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral
terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan
konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya
pols berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun
secara drastis. Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan steatorous.
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan
volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata
bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya
mempunyai efek yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan,
kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa
terjadi respiratory arrest.
F. Patologi cedera kepala
a. Fraktura Tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur
kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata,
depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada
foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT
tulang

untuk

memperlihatkan

lokasinya.

scan dengan setelan jendelaSebagai

pegangan

umum,

depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan


operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat
hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena

duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.


Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang
tengkorak

tidak

sadar. Untuk alasan ini,

adanya

fraktura

mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk

pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.


b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau

kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal

termasuk hematoma epidural,

hematoma subdural, dan kontusi (atau

hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara


umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular

cedera otak difusa

menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.


i. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang

potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering

terletak diregio temporal atau temporal- parietal dan sering akibat


robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat
robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5%
dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus
selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya
biasanya

masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status

pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0%


pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada

pasien koma dalam.

Gambar 2. CT-Scan Epidural Hematoma


ii. Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan
EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan
laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada
atau tidak. Selain itu,

kerusakan otak yang mendasari hematoma

subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya

lebih

buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun


mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif.

Gambar 2. CT-Scan Subdural Hematoma

iii. Kontusi dan hematoma intraserebral.


Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun,
dapat secara

lambat

terdapat zona

peralihan, dan kontusi

laun menjadi hematoma intraserebral dalam

beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh
darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan.

Gambar 3. CT-Scan Intracerebral Hematoma

c. Fraktur Basis Cranii


Pada fraktur basis cranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan
kesadaran, kecuali memang diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri.
Gejala tergantung letak frakturnya.

i. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os

petrosum

a) keluar darah dari telinga dan likuorrhoe


b) parese N. VII dan VIII sering dijumpai
ii. Fraktur basis kranii anterior
a) unilateral/bilateral orbital hematom (Raccons eyes)
b) gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum
c) perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti :
Anosmia, anosmia akibat trauma bisa persistent, jarang
bisa sembuh sempurna.

iii. Fraktur basis kranii posterior


a) gejala lebih berat, kesadaran menurun
b) perdarahan dari telinga dan likuorrhoe
c) tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)
Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto
polos basis.

Gambar 4. Tanda Fraktur Basis Cranii

G. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis,

pemeriksaan

fisik

umum,

pemeriksaan

neurologis

dan

pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis


ditanyakan

adalah

mekanisme

informasi

trauma.

penting

yang

harus

Pada pemeriksaan fisik secara

lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan


meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita
datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera
kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan
lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi
motorik, fungsi sensorik, dan refleks- refleks.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale

Jenis pemeriksaan
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tidak ada reaksi
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi normal
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada reaksi

Nilai
4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap


cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 2 mm adalah
abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan
terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf
perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan
semua hasilnya harus dicatat.

Tabel 2. Nervus Craniales


N. I

Olfactorius

N. II

Opticus

N. III

Occulomotorius

N. IV

Trochlearis

N. V

Trigeminus

N. VI

Abducens

N. VII

Facialis

N. VIII

Vestibulocochlearis

N. IX

Glossopharyngeus

N. X

Vagus

N. XI

Accessorius

N. XII

Hypoglossus

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak


Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar.
Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan
tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri,
pembengkakan, dan memar.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan
adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior
dan lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna,
amnesia, atau sakit kepala hebat. Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus
cedera kepala adalah:
1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
2. Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
5. Sakit kepala yang hebat
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan

otak
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
H. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei
primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal
yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera
kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei

primer

sangatlah

penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis


otak.
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Pertolongan pertama pada
kasus cedera kepala adalah dengan Triase :
1. Airway (dengan control Cervical)
a. Bebaskan jalan nafas
Lindungi vertebrae servikalis (c-spine control), tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi yang berlebihan dari leher. Chin
lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan nafas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan bersihkan muntahan, lendir, dan
benda asing lainnya dengan jari atau suction. Untuk menjaga patensi
jalan nafas lakukan pemasangan pipa orofaring.
Semua pasien yang tidak sadar dianggap terdapat cedera leher.
b. Bila penderita dapat berbicara, artinya jalan nafas bebas.
c. Bila terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak / berkumur, pertanda
adanya ostruksi parsial
d. Bila penderita terlihat tidak bernafas, berarti ada obstruksi total.
e. Jika mengalami penurunan kesadaran / GCS <8, pasang O2.
f. Jika curiga adanya fraktur servikal / penderita datang dengan multiple
trauma, pasang alat immobilisasi pada leher sampai kemungkinan
adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.
2. Breathing (dengan ventilasi yang adekuat)
Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat gerakan pernafasan dan
jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan
kanan. Bila hembusan dan pergerakan nafas kurang baik, maka berikan nafas
buatan dengan cara mouth to mouth. Apabila tersedia, berikan O2 dalam

jumlah yang memadai. Pada cedera kepala berat jika penguasaan jalan nafas
belum dapat memberikan O2 yang adekuat, pasang intubasi endotrakeal.
3. Circulation (dengan mengontrol perdarahan)
a. Volume darah
Jika darah turun, maka perfusi ke orak dapat berkurang mengakibatkan
penurunan kesadaran. Perhatikan kulit wajah dan ekstremitas bila
berwarna pucat keabu-abuan menandakan bahwa pasien dalam keadaan
hipovolemik.
b. Nadi
i.
Periksa kekuatan, kecepatan dan irama
ii.
Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur : normovolemia
iii.
Nadi yang cepat dan kecil : hipovolemik
c. Perdarahan
Cari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperature kulit dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh dan lambat.
Pada cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di
atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Bila
denyut a.radialis dapat teraba, kemungkinan tekanan sistolik >90 mmHg.
Bila denyut a.femoralis yang teraba, kemungkinan tekanan sistolik >70
mmHg.
4. Disability
Menilai tingkat kesadaran dengan AVPU dan tingkat keparahan cedera
kepala melalui GCS
A : Sadar (Alert)
V : Respon terhadap suara ( Verbal)
P : Respon terhadap nyeri (Pain)
U : Tidak berespon (Unresponsive)
Posisikan penderita dengan posisi tidur. Cegah posisi head down
karena dapat meningkatkan bendungan vena di kepala dan menyebabkan
peningkatan TIK. Sebaiknya posisikan dalam posisi miring, bila curiga trauma
servikal sudah dapat disingkirkan.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
5. Indikasi rawat inap antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)


c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f.Fraktura tengkorak (kalvaria dan basis kranii)
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i.Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
j.Disertai kelainan lain (DM, post trepanasi)
k. CT scan abnormal
6. Indikasi foto kepala :
a. Jejas >5cm (hematoma, vulnus)
b. Luka tusuk, luka tembak
c. Corpus alienum (peluru, dll)
d. Fraktur terbuka
e. Deformitas kepala
f. Nyeri kepala menetap
g. Gejala neurologis (+)
h. Penurunan kesadaran (GCS <15)
7. Indikasi Head CT-Scan
a. Nyeri kepala / muntah menetap
b. Kejang
c. Luka tusuk, luka tembak
d. Penurunan GCS >1 point
e. Lateralisasi (Pupil anisokor, hemiparese)
f. GCS <15 dengan terapi konservatif tidak membaik
g. Bradikardi yang menyertai salah satu gejala diatas
8. Indikasi untuk tindakan operatif pada
kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi

klinis

pasien,

temuan

neuroradiologi dan patofisiologi dari


lesi.

Secara

umum

digunakan

panduan sebagai berikut :


a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial


b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
c. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
e. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
f. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
g. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
h. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
9. Perawatan di Rumah Sakit
Penderita dengan GCS <13 :
a. Beri masker / nasal O2
b. Atasi hipotensi
c. Inf. D5% dan NaCl 0,45
d. Posisi baring / miring dengan head up 20o
e. Immobilisasi leher dg collar brace
f. Cegah gerakan kepala yang berlebihan karena dapat merangsang
muntah
g. Observasi ketat tiap 15 menit pada 6 jam pertama, dan tiap 30 menit
pada 6 jam berikutnya. Hal-hal yang perlu di observasi antara lain :
i. Waktu observasi
ii. Vital Sign ( Tekanan darah, Nadi, Pernafasan dan Suhu)
iii. GCS
iv. Pupil
v. Balance Cairan

EPIDURAL HEMATOMA
Etiologi EDH
Trauma adalah penyebab paling umum dari EDH. penyebab trauma biasanya
adalah trauma tumpul pada kepala dari kecelakaan, perkelahian, atau terjatuh. Pada
neonatus, dystocia, forceps delivery, dan penekanan berlebihan pada tempurung
kepala saat kelahiran menjadi penyebab EDH. Beberapa penyebab nontrauma seperti
infeksi, malformasi vaskular, dan metastasis ke tengkorak lebih jarang terjadi
Epidemiologi EDH
Area yang umum terkena EDH adalah area temporalis (70-80%) karena tulang
tengkorak relatif tipis dan middle meningeal artery lebih dekat ke tabula interna dari
tengkorak. EDH terjadi pada area frontal, occipital, dan posterior fossa dengan
frekuensi sama. EDH lebih jarang ditemukan di area vertex atau parasagittal.
EDH terjadi jika dura mater terlepas dari tengkorak saat ada hantaman.
Namun, ketika seseorang menua lapisan dura mater lebih kuat menempel ke
tengkorak sehingga frekuensi EDH menurun. Sedangkan, pada anak tengkorak lebih
lunak dan lebih mudah terjadi fraktur
Gejala EDH
Kebanyakan EDH berasal dari trauma tumpul ke kepala. Pasien dapat
memiliki tanda seperti laserasi kulit kepala, cephalohematoma, atau contusio. Akibat
dari tekanan tinggi intrakranial, muncul gejala seperti sakit kepala yang bertambah
berat, muntah, afasia, kejang, dan penurunan kesadaran. Pada hipertensi intrakranial
berat, cushing response (systemic hypertension, bradycardia, dan respiratory
depression) dapat terjadi.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dasar pada EDH diutamakan dengan:

Level kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)

Pergerakan bola mata, rangsang pupil (pupil mungkin berdilatasi ke sisi


ipsilateral EDH), dan tes refleks mata

Tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia

Tanda Vital

: Perubahan tekanan darah, frekuensi nadi, dan pernapasan

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Lab
a. Level Hematokrit, kimia darah, profil koagulasi (termasuk hitung
trombosit)
i. Pada severe head injury terjadi pengeluaran thromboplastin
yang dapat mengakibatkan Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) sehingga profil koagulasi perlu dipantau
ii. Pada anak, yang volume darahnya lebih sedikit, perdarahan
epidural dapat menyebabkan kehilangan darah yang signifikan.
Sehingga pemantauan hematokrit diperlukan.
2. Imaging Studies
a. Radiography
i. Skull x-ray terkadang menunjukkan fraktur melalui bayangan
vaskuler dari middle meningeal artery.
ii. Sekitar 90% EDH disebabkan fraktur tengkorak. Namun,
adanya fraktur tidak menjamin adanya EDH.
b. CT Scanning
i. CT scan adalah metode paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosis EDH akut. Tampilan yang menjadi karakteristik

pada brain window adalah biconvex appearance. Hal ini


disebabkan lesi masih dibatasi oleh dura mater dan tabula
interna dari tengkorak. Midline shift (pergeseran garis tengah
otak) ringan terjadi akibat jaringan otak terdesak oleh lesi.

ii. Tampilan pada bone window umumnya diskontinuitas tulang


akibat

fraktur.

c. MRI
i. Tampilan darah di MRI pada EDH akut adalah isointense,
sehingga kurang sesuai mendeteksi perdarahan pada trauma
akut.

Tata Laksana EDH


1. Terapi Medis
a. Rekomendasi Guidelines for the managemement of Traumatic Brain
Injury pasien dapat dirawat secara konservatif jika:
i. Volume EDH <30mL, ketebalan <15mm, midline-shift <5mm,
tanpa defisit neurologis, GCS >8
2. Terapi Bedah
a. Rekomendasi Guidelines for the managemement of Traumatic Brain
Injury pasien dapat dirawat secara konservatif jika:
i. Volume EDH >30mL tanpa memandang GCS, ketebalan
>15mm, midline-shift >5mm, defisit neurologis
ii. Standar terapi bedah: craniotomy

Komplikasi EDH
Banyak komplikasi EDH muncul ketika tekanan tinggi mengakibatkan brain
shifting. Jika ada oklusi anterior dan posterior cerebral artery maka terjadi cerebral
infarction.
Herniasi transtentorial dapat mengakibatkan nerve palsy Cranial Nerve III
yang ditandai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan bola mata ke
arah medial, atas, dan bawah. Pada anak dibawah 3 tahun, dapat terjadi
leptomeningeal cyst.
Prognosis EDH
Mortalitas pada pasien EDH berkisar 9.4-33%, dengan rata-rata 10%.
Prognosis fungsional dari pasien EDH tergantung skor GCS, and reaksi pupil.
Prognosis membaik jika evakuasi surgical dilakukan sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November 2007. Pekanbaru.
2. Brain

Injury

Association

of

America.

Types

of

Brain

Injury.

Http://www.biausa.org [diakses 19 Juni 2008]


3. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala.
Dalam : Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004.
4. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
nd

Neurosurgery 2

edition. New York: McGraw Hill, 1996.

5. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:


nd

Neurosurgery 2

edition. New York : McGraw Hill, 1996.

6. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of


Neurological and

Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia :

lippincot William & Wilkins, 2003.


7. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed head traumatic brain
injury. Http://findlaw.doereport.com [diakses 19 Juni 2008]
8. Saanin

S.

Cedera

Kepala.

Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery.

[diakses 19 Juni 2008]


9. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta :
Deltacitra Grafindo, 2005
10. Snell, Richard S. Clinical Neuroanatomy .7th Ed. 2010
11. Ropper, Allan H. et. al. Adams and Victors Principles of Neurology. 8th Ed.
2005
12. [Guideline] Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl R, Newell

DW. Surgical management of acute epidural hematomas. Neurosurgery. Mar


2006;58(3 Suppl):S7-15; discussion Si-iv.

Anda mungkin juga menyukai